MAKNA PESAN PADA VIDEO IKLAN POLITIK Versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK Untuk Keluarga Indonesia”
TESIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Seni Rupa
Oleh :
Gravinda Putra Perdana
S011302006
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
v
ABSTRAK
Perdana, Gravinda P. S011302006. 2015: MAKNA PESAN
PADA VIDEO IKLAN POLITIK Versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK
Untuk Keluarga Indonesia”. Tesis Program Studi Magister Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pembimbing I Dr. Nooryan Bahari, M.Sn. dan Pembimbing II Drs. Ahmad Adib, M.Hum, Ph.D.
Tujuan pokok video iklan politik adalah mempersuasi khalayak untuk memperhatikan pesan yang sampaikan. Pesan dalam iklan memiliki dua tingkatan makna yang berbeda yaitu makna yang dikemukakan secara denotasi di permukaan dan makna yang dikemukakan secara konotasi dibalik tampilan iklan. Video iklan politik versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK Untuk Keluarga Indonesia” senantiasa melibatkan tanda dan kode. Tanda pada setiap bagian iklan secara mendasar berarti sesuatu yang memproduksi makna.
Teknik analisis data dilakukan berdasarkan teori yang
dikemukakan oleh Roland Barthes yaitu “The Second Order
Signification”. Mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kajian dapat dilakukan melalui sistem tanda dalam video iklan. Video iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas teks verbal maupun visual pendekatan semiotika digunakan sebagai sebuah metodologi untuk mengupas dan mengurai unsur pemaknaan tanda yang terkandung dalam iklan dan menafsirkannya.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada sebuah usaha penciptaan citra Jokowi-JK, penonton dapat menyaksikan bagaimana Jokowi mencoba mendekatkan diri pada rakyat. Dalam pesannya Jokowi berpesan bahwa keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah kehidupan. Masyarakat juga akan melihat kehidupan Jokowi sebagai kepala keluarga, suami, bapak, manusia biasa dan kemesraan hubungan mereka sekeluarga yang disuguhkan dalam suasana ramadhan.
Kata kunci: iklan, video, politik, verbal, nonverbal, semiotika, pesan, makna.
vi
ABSTRACT
Perdana Gravinda P. S011302006. 2015: THE MEANING OF POLITICAL ADVERTISING MESSAGE ON VIDEO Version "Ramadhan Message Jokowi-JK For Indonesian Family". Thesis : Advisor Dr. Nooryan Bahari, M.Sn. and Co-Advisor Drs. Ahmad Adib, M. Hum., Ph.D. The Graduate Program in Fine Art, Sebelas Maret University, Surakarta.
The main purpose of political advertising video is to persuade the audience to convey the message. Messages in advertising has two different levels of meaning is the meaning set forth in denotation on the surface and the meaning set forth in the connotation behind the display advertising. Political advertising video version of "Message of Ramadhan Jokowi-JK For Indonesian Family" always involves signs and codes. Sign on every part ad basically means something that produce meaning.
The data analysis technique based on the theory proposed by Roland Barthes called "The Second Order signification". Assessing ads in semiotic perspective, the study can be done through a system of signs in the video ad. Video ads using the sign system consisting of verbal and visual text semiotics approach is used as a methodology to peel and break down the elements of meaning contained in the advertisement signs and interpret them.
The results of this study indicate that there is an image of business creation Jokowi-JK, the audience can see how Jokowi trying to get closer to the people. In his message Jokowi advised that the family has a very important role in a life. Communities will also see Jokowi life as head of the family, husband, father, ordinary people and affection of their family relationships are presented in an atmosphere of Ramadan.
Keywords: advertising, video, politics, verbal, nonverbal, semiotics, message, meaning.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur kepada Allah SWT yang telah
memberikan segala kemudahan dan kelancaran dalam penyusunan Tesis
ini. Penghargaan dan terimakasih penulis kepada Dr. Nooryan Bahari,
M.Sn., Selaku pembimbing akademik yang selalu memberikan
kemudahan dan dorongan untuk menyelesaikan tanggung jawab
akademis di Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Rasa terimakasih
juga penulis sampaikan kepada juga kepada Drs. Ahmad Adib, M.Hum.
Ph.D, yang telah memberikan koreksi serta saran-saran untuk penelitian
ini.
Penghargaan dan rasa terimakasih penulis sampaikan kepada
Prof. Dr. Ir Ahmad Yunus, MS. selaku Direktur Pascasarjana UNS yang
telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengenyam, dan
meneruskan jenjang pendidikan pada program pascasarjana Universitas
Sebelas Maret. Penghargaan dan terimakasih juga penulis sampaikan
kepada Prof. Dr. Nanang Rizali, MSD., selaku Ketua Program Studi Seni
Rupa Pascasarjana UNS Rasa terimakasih yang dalam juga penulis
sampaikan kepada seluruh dosen Program Studi Seni Rupa Pascasarjana
UNS Indonesia Surakarta yang telah memberikan ilmu, wawasan, dan
referensi yang bermanfaat.
Kepada teman-teman Program Studi Seni Rupa Pascasarjana
UNS dari berbagai daerah dan latarbelakang, terimakasih telah dan selalu
bersedia menjadi teman yang saling mendukung, berbagi ilmu, berbagi
wawasan, pengalaman, serta berimajinasi bersama. Rasa terimakasih tidak
lupa diberikan kepada sahabat, para praktisi dan pengajar audio visual
Program Studi Televisi dan Film ISI Surakarta yang telah bersedia
berdiskusi, berbagi perasaan dan pemikiran kritisnya.
Kebahagiaan dan rasa syukur mendalam yang tak terbatas, penulis
sampaikan kepada keluarga; Mama dan Papa yang telah memberikan
viii
awal untuk menjalani jenjang berikutnya. kepada istri tercinta terimakasih
telah setia menemani di kala senang dan duka.
Akhir kata, retaknya sebuah keramik Dinasti Ming bukan
menjadi cacat suatu peradaban, melainkan membuka celah pengetahuan
tersembunyi dan bermanfaat bagi generasi berikutnya. kekurangan Tesis
ini bukan untuk dibiarkan tetapi di harapkan menggugah kritik usulan
dan saran yang semakin membuka pengetahuan bagi penulis dan
pembaca sekalian. Terima Kasih.
Surakarta, Februari 2015
Gravinda Putra Perdana
ix DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
PERNYATAAN iv
ABSTRAK v
ABSTRACT vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR TABEL xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Pembatasan Masalah 8
C. Perumusan Masalah 9
D. Tujuan Penelitian 9
E. Manfaat penelitian 9
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 11
1. Semiotika 11
a. Ferdinand de Saussure 15
b. Charles Sander Pierce 19
c. Roland Barthes 23
1) Sistem Pemaknaan Tingkat Pertama
(Denotatif) 24
2) Sistem Pemaknaan Tingkat Pertama
(Denotatif) 26
2. Semiotika Film 34
a. Film 37
b. Genre Film 40
c. Struktur Film 45
x
d. Unsur-unsur pembentuk Film 46
1). Unsur Naratif 46
2). Unsur Sinematik 46
3. Semiotika Komunikasi Visual 55
4. Unsur Semiotika Komunikasi Visual 58
a. Tanda 58
b. Kode 59
c. Makna 59
5. Iklan 63
a. Elemen-Elemen Iklan Televisi 66
b. Iklan Politik 67
6. Komunikasi 69
a. Pesan 70
b. Verbal 71
c. Nonverbal 71
B. Penelitian yang Relevan 74
C.Kerangka Berpikir 81
BAB III METODE PENELITIAN
A.Paradigma Penelitian 82
B.Teknik Pengumpulan Data 82
C.Teknik Keabsahan Data 90
D.Teknik Analisis Data 90
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 92
1. Profil Joko Widodo 92
2. Jokowi Dalam Video Iklan Politik 93
3. Identifikasi Tanda 94
a. Tanda Verbal 96
b. Tanda Visual 97
B. Pembahasan Analisis Semiotika Roland Barthes 98
1. Adegan satu (scene 1) 98
xi
3. Adegan tiga (scene 3) 108
4. Adegan empat (scene 4) 113
5. Adegan lima (scene 5) 118
6. Adegan enam (scene 6) 130
7. Adegan tujuh (scene 7) 136
8. Adegan delapan (scene 8) 143
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 154
B. Saran 156
DAFTAR PUSTAKA 157
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta tanda Saussure 16
Gambar 2. Tipologi Pierce 20
Gambar 3. Peta Tanda Roland Barthes 24
Gambar 4. Konsep Konotasi dan Denotasi 27
Gambar 5. Teknik Pengambilan Jarak Gambar 49
Gambar 6. Skema Kerangka Berpikir 81
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tipologi Pierce 20
Tabel 2. Sudut pandang (angle) Pengambilan Gambar 51
Tabel 3. Ukuran Gambar (type of shot) 51
Tabel 4. Fokus Pengambilan Gambar (focussing) 52
Tabel 5. Pergerakan Kamera (camera moving) 52
Tabel 6. Pencahayaan (lighting) Pengambilan Gambar 53
Tabel 7. Tipe Lensa (focal lenght) Pengambilan Gambar 53
Tabel 8. Pewarnaan (color temp) Pengambilan Gambar 53
Tabel 9. Penelitian Terdahulu (Rizky Rachdian S, 2012) 74
Tabel 10. Penelitian Terdahulu (Elara Karla N, 2014) 75
Tabel 11. Penelitian Terdahulu (Fajar Aji, 2014) 76
Tabel 12. Penelitian Terdahulu (Nidya Fitri, 2011) 77
Tabel 13. Penelitian Terdahulu (I Wayan Mulyawan, 2008) 78
Tabel 14. Penelitian Terdahulu (Deddi Duto Hartanto, 1999) 79
Tabel 15. Penelitian Terdahulu (Muslikh Madiyant, 2003) 80
Tabel 16. Tema Video Iklan Politik “ Jokowi For President ” 83
Tabel 17. Video Iklan Politik “ Jokowi Adalah Kita ” 84
Tabel 18. Unit Identifikasi Unsur Naratif 96
Tabel 19. Unit Identifikasi Unsur Visual 97
Tabel 20. Unit Analisis Scene 1, Shot 1 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 98
Tabel 21. Unit Analisis Scene 1, Shot 2 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 99
Tabel 22. Unit Analisis Scene 1, Shot 3 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 99
Tabel 23. Unit Analisis Scene 1, Shot 4 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 100
Tabel 24. Unit Analisis Semiotika Roland Barthes
Scene 1 (Pantai) 100
xiv
Tabel 25. Unit Analisis Scene 2, Shot 1 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 104
Tabel 26. Unit Analisis Semiotika Roland Barthes
Scene 2 (Pasar tradisional) 104
Tabel 27. Unit Analisis Scene 3, Shot 1 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 108
Tabel 28. Unit Analisis Scene 3, Shot 2 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 109
Tabel 29. Unit Analisis Scene 3, Shot 3 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 109
Tabel 30. Unit Analisis Semiotika Roland Barthes
Scene 3 (Masjid) 110
Tabel 31. Unit Analisis Scene 4, Shot 1 Unsur Sinematik
(sinematografi) 113
Tabel 32. Unit Analisis Scene 4, Shot 2 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 113
Tabel 33. Unit Analisis Scene 4, Shot 3 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 114
Tabel 34. Unit Analisis Scene 4, Shot 4 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 114
Tabel 35. Unit Analisis Semiotika Roland Barthes
Scene 3 (Sahur bersama keluarga) 115
Tabel 36. Unit Analisis Scene 5, Shot 1 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 118
Tabel 37. Unit Analisis Scene 5, Shot 2 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 118
Tabel 38 Unit Analisis Scene 5, Shot 3 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 119
Tabel 39. Unit Analisis Scene 5, Shot 4 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 119
Tabel 40. Unit Analisis Scene 5, Shot 5 : Unsur Sinematik
xv
Tabel 41. Unit Analisis Scene 5, Shot 6 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 120
Tabel 42. Unit Analisis Scene 5, Shot 7 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 121
Tabel 43. Unit Analisis Scene 5, Shot 8 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 121
Tabel 44. Unit Analisis Scene 5, Shot 9 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 122
Tabel 45. Unit Analisis Scene 5, Shot 10 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 122
Tabel 46. Unit Analisis Scene 5, Shot 11 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 123
Tabel 47. Unit Analisis Semiotika Roland Barthes Scene 5
(Rutinitas pagi di sebuah pedesaan) 123
Tabel 48. Unit Analisis Scene 6, Shot 1 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 130
Tabel 49. Unit Analisis Scene 6, Shot 2 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 130
Tabel 50. Unit Analisis Scene 6, Shot 3 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 131
Tabel 51. Unit Analisis Scene 6, Shot 4 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 131
Tabel 52. Unit Analisis Scene 6, Shot 5 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 132
Tabel 53. Unit Analisis Semiotika Roland Barthes
Scene 6 (Kota) 132
Tabel 54. Unit Analisis Scene 7, Shot 1 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 136
Tabel 55. Unit Analisis Scene 7, Shot 2 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 136
Tabel 56. Unit Analisis Scene 7, Shot 3 : Unsur Sinematik
xvi
Tabel 57. Unit Analisis Scene 7, Shot 4 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 137
Tabel 58. Unit Analisis Scene 7, Shot 5 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 138
Tabel 59. Unit Analisis Scene 7, Shot 6 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 138
Tabel 60. Unit Analisis Scene 7, Shot 7 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 139
Tabel 61. Unit Analisis Semiotika Roland Barthes
Scene 7 (Aktifitas sore hari) 139
Tabel 62. Unit Analisis Scene 8, Shot 1: Unsur Sinematik
(sinematografi) 143
Tabel 63. Unit Analisis Scene 8, Shot 2 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 143
Tabel 64. Unit Analisis Scene 8, Shot 3 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 144
Tabel 65. Unit Analisis Scene 8, Shot 4 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 144
Tabel 66. Unit Analisis Scene 8, Shot 5 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 145
Tabel 67. Unit Analisis Scene 8, Shot 6 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 145
Tabel 68. Unit Analisis Scene 8, Shot 7 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 146
Tabel 69. Unit Analisis Scene 8, Shot 8 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 146
Tabel 70. Unit Analisis Scene 8, Shot 9 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 147
Tabel 71. Unit Analisis Scene 8, Shot 10 : Unsur Sinematik
(sinematografi) 147
Tabel 61. Unit Analisis Semiotika Roland Barthes
1 BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia kini memiliki Joko Widodo (Jokowi) sebagai
presiden baru. Tepat tanggal 20 Oktober 2014 Joko Widodo dan Jusuf
Kalla dilantik sebagai presiden dan wakil presiden periode 2014-2019.
Meskipun masih menyisakan problem politik yang terkait dengan
penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2014. Namun secara faktual,
rangkaian pelaksanaan pemilihan presiden tahun 2014 telah
menghasilkan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang
didukung oleh kabinet kerja sebagai pemegang tampuk kekuasaan
sampai dengan tahun 2019.
Figur Joko Widodo dinilai menjadi daya tarik tersendiri dalam
realitas politik Indonesia dewasa ini, Jokowi bertingkah laku dengan
sederhana sebagaimana yang ada di pikiran rakyat kebanyakan. Dalam
sejarah akhir-akhir ini, jarang ditemui tokoh sederhana semacam itu.
kemudian dengan kemunculan Jokowi mengenakan pakaian rakyat
keba-nyakan, bukan memakai safari seperti kebiasaan pejabat ketika
menyambangi rakyatnya (detiknews, 2014). Gaya kepemimpinannya
yang melawan mainstream menjadi daya magnet luar biasa yang
kemudian melambungkan nama Jokowi yang memperkenalkan cara
blusukan sebagai konsep pemimpin yang dekat dengan rakyat. Semua
adegan dalam kehidupannya telah menjadi konsumsi khalayak, bahkan
ketika dirinya sedang tidak bertugas sebagai pejabat negara sekalipun.
Isu-isu semacam ini yang pada akhirnya diangkat menjadi tema
iklan-iklan video politik Jokowi pada masa kampanye pilpres 2014 yang lalu.
Masa kampanye pilpres 2014 telah membawa fenomena baru
dalam media massa Indonesia. Sebelum masa kampanye, media massa
umumnya menayangkan iklan produk dan jasa, saat masa kampanye
video iklan politik. Video Iklan-iklan politik dengan biaya milyaran
rupiah ini dikemas dalam berbagai format (www.iklancapres.org/iklan).
Pada umumnya iklan para para calon presiden cenderung lebih bersifat “malu-malu dan tidak langsung”. Publik disajikan iklan berupa film berdurasi beberapa puluh detik yang menampilkan cuplikan “kehidupan keseharian” sang kandidat, dan secara konsisten menayangkan sisi positif para calon presiden (Loisa, 2009;62-72).
Tujuan pokok seorang kandidat dengan adanya video iklan
politik adalah mempersuasi khalayak untuk memperhatikan pesan yang
mereka sampaikan tentang identitas pribadi kandidat. Khalayak dituntut
untuk bisa memahami persuasi tersebut, membedakan dengan identitas
kandidat yang lain, dan memutuskan bahwa mereka memang memiliki
identitas pribadi yang layak dipercaya masyarakat. Para kandidat tersebut
memperkenalkan identitas pribadinya dengan menggunakan slogan untuk
membuat pembedaan karakteristik serta melalui pemberian pesan dan
tampilan iklan yang menarik perhatian masyarakat. Para kandidat
mengikat masyarakat pada janji-janji yang disertakan dengan membujuk
partisipasi masyarakat dalam penciptaan makna iklan dan menjamin
bahwa masyarakat mempertimbangkan kredibilitas sang kandidat.
Berdasar uraian diatas mengiklankan produk politik juga
menuntut keterampilan seperti layaknya mengiklankan produk komersial.
Kreativitas adalah faktor penting dalam trend iklan sekarang ini. Tentu
bukan hal mudah untuk memunculkan ide kreatif dalam sebuah iklan,
dibutuhkan olah pikir yang serba ekstra untuk mendapatkan saripati ide
yang bisa dituangkan ke dalam iklan sehingga menghasilkan iklan yang
tidak hanya kreatif tetapi juga bermanfaat secara kualitatif untuk
kepentingan para kandidat. Sangat penting untuk mengemas pesan-pesan
yang akan ditampilkan menjadi sederhana dan mudah diingat, bahkan
bisa terlontar begitu saja dalam percakapan sehari-hari. Kesederhanaan
pesan inilah yang menjadi kunci dalam iklan politik. Pengelolaan pesan
yang baik akan menentukan berbagai makna yang terkandung di
menyangkut suasana kebersamaan dalam kelompok ras, agama, dan suku
bangsa.
Masa kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun
ini bertepatan dengan bulan ramadhan 1435 hijriah, bagi para kandidat
kehadiran bulan suci ramadhan menjadi momentum politik yang penting
dan sayang jika dilewatkan untuk berkompetisi dalam upaya
menyakinkan sebagai poros paling religius melalui bentuk iklan politik.
Bentuk video iklan dengan pendekatan seperti ini memang sudah lumrah
dilakukan oleh para kandidat, tidak mengherankan bila pendekatan
kampanye seperti ini menuai banyak opini-opini negatif dari masyarakat,
salah satu opini negatif tersebut datang dari artikel berjudul “politikus memolitisasi ramadhan” yang menuliskan, bahwa ramadhan seperti panggung fashion show yang menampilkan model-model para politikus
dengan jargon-jargon politik yang diimbuhi kata-kata berbau ramadhan
(Solopos, 2013). Suara senada datang dari Baharuddin, bulan yang
dimanfaatkan untuk kampanye politik dimana ucapan selamat berpuasa
dibungkus dengan nuansa kepentingan politik yang sangat pragmatis
(kompasiana.com, 2013).
Model pendekatan garap video iklan politik yang lebih halus
ditunjukkan dari kubu Jokowi-JK dalam video iklan politiknya versi “pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia”. Dalam jangka pendek model iklan dengan pendekatan seperti ini memang tidak
dapat langsung mempengaruhi khalayak, tidak pula menjamin bisa
menghilangkan atau mengurangi komentar-komentar bernada miring
yang datang dari masyarakat, namun setidaknya video iklan politik versi “pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia” yang menyisipkan ucapan “selamat menunaikan ibadah puasa” didalam isi iklannya. Hadir dengan format yang berbeda dan konsep yang lebih
tertata. Mengapa dikatakan demikian, alasannya adalah satu, format
tayangan video iklan ini tergolong panjang untuk ukuran sebuah iklan
televisi yaitu berdurasi satu menit tiga puluh detik. Ke-dua, tampilan
sebuah alur cerita dan bentuk dramatisasi layaknya sebuah konsep dalam
film fiksi, dan yang terakhir ada peran yang memainkan karakter
protagonis layaknya sebuah film cerita, karakter tersebut tentunya
Jokowi. Model-model video iklan semacam ini tentunya diharapkan
dapat menanamkan citra atau image yang baik ke dalam benak
masyarakat.
Melihat dari aspek visual yang dihasilkan video iklan politik
televisi ini mengingatkan khalayak pada iklan-iklan komersial milik
perusahaan-perusahaan rokok yang memang sejak dulu iklan-iklannya
dibuat sangat menarik. Melalui tata pengambilan gambar yang bagus,
objek-objek gambar yang indah serta warna yang prima, objek gambar
yang diambil menggambarkan keindahan alam Indonesia dengan alur
cerita yang dibuat sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan. Begitu
pula dengan model iklannya, dipilih karakter yang sesuai dengan target
audiensnya. Iklan tersebut dianggap bagus karena dikemas dengan gaya
yang membumi. Unsur-unsur ini sesuai dengan karakter pasarnya, yaitu:
laki-laki, usia muda, orang-orang sederhana, menghargai kebersamaan,
tingkat sosial yang tinggi, berjiwa petualang(djarumbeasiswaplus.org).
Kesan yang sama muncul ketika khalayak menyaksikan video
iklan politik versi “pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga
Indonesia”, secara visual video iklan ini tidak kalah prima dengan video
iklan-iklan komersial perusahaan rokok tersebut. Video Iklan politik
versi “pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia” ini
mengangkat realitas sosial dalam masyarakat sebagai ide utamanya,
disuguhkan dalam suasana ramadhan dengan Jokowi sebagai tokoh
sentralnya. Dalam video iklan politik versi “pesan Ramadhan Jokowi-JK
untuk keluarga Indonesia”, ada sebuah usaha penciptaan citra bahwa
Jokowi-JK digambarkan sebagai representasi masyarakat Indonesia
sesungguhnya dengan slogannya “Jokowi-JK adalah kita”. dibubuhi
narasi yang terdengar seperti bait puisi, “saya adalah kamu. kami adalah
kita, dan kita adalah bangsa Indonesia.” Selain itu, Jokowi dalam iklan
masyarakat yang baik. Sebagaimana Jokowi berpesan: “Hikmah
Ramadan adalah mensyukuri kehidupan yang telah dianugrahkan kepada
kita. Keluarga adalah tempat pertama untuk mempelajari semua itu, agar
kita menjadi manusia, keluarga, dan bangsa yang lebih baik”.
Mengedepankan unsur kreatif dan mengoptimalkan aspek visualnya,
secara sepintas memang tampilan video ini tidak dikenali sebagai iklan,
namun lebih dikenali seperti cuplikan film bedurasi pendek atau dikenal
sebagai trailer.
Tampilan video iklan senantiasa melibatkan tanda dan kode.
Setiap bagian iklan pun menjadi “tanda” atau (signs), yang secara
men-dasar berarti video iklan adalah sesuatu yang memproduksi makna.
Tanda berfungsi mengartikan atau merepresentasikan (menggambarkan)
serangkaian konsep, gagasan atau perasaan sedemikian rupa yang
memungkinkan seorang penonton untuk men-decode atau
meng-interpretasikan maknanya. Jika tanda adalah material atau tindakan yang
menunjuk sesuatu, kode adalah sistem di mana tanda-tanda
diorganisasikan dan menentukan bagaimana tanda lain. Bahari
(2008;110) “....dalam film, antara gambar dan kata-kata, pada dasarnya
berasal dari sistem tanda yang berbeda, tetapi bekerjasama. Dalam iklan
kode-kode yang secara jelas dapat dibaca adalah bahasa berupa narasi
atau unsur tekstual, audio, dan audio visual.
Pada konteks “pembacaan” video iklan, mempertalikan video
iklan dan semiotika nampaknya dapat menjadi satu bahan penelitian yang
menarik. Iklan televisi sebagai sebuah teks adalah satu sistem tanda
terorganisir yang merefleksikan sikap, keyakinan dan nilai-nilai tertentu.
Hal ini didasari oleh pemikiran Guy Cook (1994) dalam bukunya
berjudul The Discourse of Advertising, London and New York,
Routledge, yang mendefinisikan teks sebagai semua bentuk bahasa,
bukan hanya yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis
ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan
sebagainya. Bentuk video iklan telah menjadi satu bagian kebudayaan
bahkan ideologi. Menariknya, video iklan-iklan politik televisi kemudian
tidak luput dari perannya sebagai arena komodifikasi, dimana pesan
video iklan bukan lagi sekadar mengenalkan seorang kandidat dan
mempersuasi masyarakat, melainkan juga menjadi semacam alat untuk
menanamkan makna simbolik.
Guna memahami pesan yang ada pada sebuah video iklan.
Diperlukan sebuah pendekatan semiotika yang meliputi analisis tanda,
simbol, dan makna yang memungkinkan untuk menggali lebih dalam
makna pesan yang terkandung dalam video iklan politik versi “pesan
Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia”. Setiap pesan dalam
iklan memiliki dua tingkatan makna, yaitu makna yang dikemukakan
secara ekplisit di permukaan dan makna yang dikemukakan secara
implisit di balik tampilan iklan (Noviani dalam Kusrianti, 2004;1).
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda. Semiotika, atau dalam istilah Roland Barthes adalah semiologi,
pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)
memaknai hal-hal (things) (Sobur, 2009). Guna mengkaji iklan dalam
perspektif semiotika, kajian dapat dilakukan melalui sistem tanda dalam
video iklan. Video iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas teks
verbal maupun nonverbal (visual). Iklan juga menggunakan tiruan
indeks, terutama dalam iklan radio, televisi, dan film (Sobur, 2003;116).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1989;1260) bahwa
bahasa verbal adalah unsur-unsur lingual yang diucapkan secara lisan
melalui artikulasi setiap manusia, baik berupa bunyi maupun tulisan yang
dapat dimengerti oleh setiap lawan tutur. Selain itu, tanda nonverbal
merupakan visualisasi berupa gambar, lambang, dan logo. Pada bab-bab selanjutnya istilah tanda “nonverbal” di ganti dengan istilah “visual”.
Iklan kampanye menarik untuk dicermati dan dikaji secara
mendalam dengan pendekatan semiotika karena sebagaimana layaknya
pariwara, kampanye memerlukan strategi dan metode beriklan yang tepat
untuk memasarkan diri. Penggunaan bahasa oleh para kandidat bukan
pendapat umum dengan membenarkan pendapat satu pihak dan
menyalahkan pihak lain (Jufri, 2005;1). Dengan ini, pendekatan
semiotika digunakan sebagai sebuah metodologi untuk mengupas dan
mengurai unsur pemaknaan tanda yang terkandung dalam iklan dan
menafsirkannya.
Video iklan memiliki konsep yang beragam, salah satunya
adalah video iklan yang memiliki jalan cerita layaknya drama. Video
iklan tersebut merupakan karya seni multidimensional, karena di
dalamnya terdapat dua unsur sekaligus yaitu film dan musik. Dyer
(2009;75) menyebutkan unsur visual adalah sesuatu yang dapat dilihat
oleh mata sedangkan narasi dalam video merupakan unsur verbal. Kedua
hal tersebut merupakan tanda yang dapat dikaji menggunakan semiotika.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari makna pesan yang
terkandung dalam video iklan dengan menganalisa unsur naratif dan
unsur sinematik melalui cuplikan narasi dan video yang telah dipilah
menjadi potongan-potongan kalimat serta gambar. Video iklan politik
versi “pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia”
menghasilkan satu rangkaian kalimat narasi, beberapa adegan pada setiap
gambar dan narasi akan mewakili durasi video satu detiknya, dengan
penggunaan unsur naratif dan unsur sinematik sebagai aspek utama
pembentukan makna pesan pada video iklan politik versi “pesan
Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia” menjadi fokus dalam
penelitian ini.
B.Pembatasan Masalah
Pertama, untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi
dalam penelitian ini, Dibuat beberapa batasan masalah agar penelitian
memiliki arah dan fokus yang jelas. Penelitian ini diarahkan pada
pembacaan pesan yang terdapat pada tanda verbal dan visual melalui
analisa unsur naratif dan unsur sinematik yang terdapat pada iklan politik
versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia”.
Kedua, pemaknaan pesan yang terkandung dalam tanda verbal
dan visual menggunakan analisa denotasi-konotasi Roland Barthes
dengan menggunakan cuplikan potongan gambar / shot.
Ketiga, tahap intrepretasi makna pesan yang terkandung dalam
tanda verbal dan visual pada video iklan politik versi “Pesan Ramadhan
Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia”.
Pendekatan yang digunakan memakai pendekatan Semiotika.
Pertama, berpijak pada teori Ferdinand de Saussure
(sign-signifier-signifield. Tanda adalah sesuatu selalu memiliki penanda (signifier) dan
petanda (signified) (Piliang, 2003;43–44). Bentuk fisik gambar dan
Bunyi-bunyi pada video iklan politik versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK
untuk keluarga Indonesia” disebut Signifier, dan konsep-konsep dari
bunyi-bunyian dan gambar pada video iklan politik versi “Pesan
Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia”. disebut Signified.
Bergulir menuju aksi selanjutnya yang memuat pembacaan
makna dengan melakukan tafsir denotatif pada tiap tanda yang disajikan
dan kemudian melakukan interpretasi makna pada tataran konotatif.
Untuk mempermudah segala macam tanda yang tampak dan disajikan
baik itu verbal maupun visual, dilakukan pembagian scene (potongan
adegan) agar dapat memahami pola, fokus, “nyawa”, dan kejelasan,
yang dapat membantu khalayak memahami cerita (Seger, 1987:4).
C.Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah tersebut di atas,
maka perumusan masalah pokok dalam penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut.
1. Apakah pesan yang terdapat pada tanda verbal dan visual pada video
iklan politik versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga
Indonesia” ?
2. Bagaimana tanda verbal dan visual direpresentasikan secara denotasi
dan konotasi pada video iklan politik versi “Pesan Ramadhan
Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia” ?
3. Bagaimana makna yang hendak disampaikan pada video iklan politik
versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia” ?
D.Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan pesan yang terdapat pada tanda verbal dan visual pada video iklan politik versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia”.
2. Mendeskripsikan lebih mendalam tanda verbal dan visual yang
direpresentasikan secara denotasi dan konotasi pada video iklan
politik versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia”.
3. Mendeskripsikan makna yang hendak disampaikan pada video iklan politik versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia”.
E. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan akan dapat diperoleh
manfaat sebagai berikut.
1. Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah
penelitian tentang tanda verbal dan tanda visual pada video iklan
politik di televisi melalui analisis semiotika, terutama di bidang
perfilman dan desain komunikasi visual.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan
politik versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia”.
Kepada semua pihak yang ingin mengetahui atau terkait dengan iklan,
baik pengiklan maupun pemirsa iklan. Selain itu hasil penelitian
ju-ga dapat dipakai sebaju-gai referensi bagi para peneliti yang ingin
melanjutkan penelitian tentang semiotika.
3. Secara akademis, penelitian ini ditujukan sebagai salah satu syarat
untuk memperolah derajat Derajat Magister Program Studi Seni Rupa,
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
11 BAB II
LANDASAN TEORI A.Tinjauan Pustaka
Terdapat kecenderungan yang penting dalam kajian-kajian seni
rupa dan ilmu-ilmu seni di akhir abad ke-20 di Indonesia, yaitu
berpalingnya sejumlah ahli teori kepada semiotika sebagai teori dasar
untuk mengupas dunia kesenirupaan. Seni rupa dan desain yang
sementara dikelompokkan dalam format budaya, kemudian mengalami
pergeseran, yaitu seni rupa dipandang sebagai suatu bahasa yang secara
lebih spesifik dikenal sebagai bahasa rupa. Karya seni dapat dipandang
sebagat sebuah “prosa” atau “puisi” yang sarat akan pesan dan tanda
konotatif maupun denotatif. Cara memandang karya seni rupa sebagai
bahasa, kemudian membuka berkembangnya teori-teori semiotika sebagai alat “pembedah” karya-karya tersebut.
Meskipun kehadirannya belum semantap dalam wilayah kajian
linguistik ataupun sastra, namun kajian-kajian semiotika telah menjadi
kecenderungan di berbagai perguruan tinggi khususnya seni di Indonesia
sebagai sebuah metodologi baru dalam memaparkan nilai-nilai estetik.
Gagasan pemikir semiotika sendiri mengalami proses pengembangan
seperti pada Pierce, Levi Strauss, Roland Barthes, Umberto Eco hingga
Vihma.
1. Semiotika
Secara etimologis, semiotika berasal dari bahasa yunani:
semeion yang berarti tanda. Kata semiotik telah digunakan pertama
kalinya oleh ahli filsafat Jerman Lambert pada abad XVIII (Zoest,
1992;2). Secara terminologis, Van Zoest (dalam Sobur, 2009;95)
mengartikan semiotik sebagai ilmu tanda (sign) dan segala yang
berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata
lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang
adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign), berfungsinya tanda dan
memproduksi makna.
Semiotika telah digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam
menelaah sesuatu yang berhubungan dengan tanda, misalnya karya sastra
dan teks video iklan dalam media televisi. Tanda terdapat dimana-mana.
Kata adalah tanda, demikian juga gerak isyarat, lampu lalu lintas,
bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan
dan nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Semiotika menurut
Berger (dalam Tinarbuko, 2009;11) memiliki dua tokoh yakni Ferdinand
de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Pierce (1839-1914). Kedua
tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak
mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Pierce di Amerika.
Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi. Hidayat
(dalam Tinarbuko, 2009;12) mengemukakan bahwa di mana ada tanda,
disana ada sistem.
Pada tahun 1956, Roland Barthes yang membaca karya
Saussure: Cours de linguistique générale melihat adanya kemungkinan
menerapkan semiotika ke bidang-bidang lain. Barthes mempunyai
pandangan yang bertolak belakang dengan Saussure mengenai
kedudukan linguistik sebagai bagian dari semiotika. Menurutnya,
semiotika merupakan bagian dari linguistik karena tanda-tanda dalam
bidang lain tersebut dapat dipandang sebagai bahasa, yang
mengungkapkan gagasan (artinya, bermakna), merupakan unsur yang
terbentuk dari penanda - petanda, dan terdapat di dalam sebuah struktur.
Berdasar uraian di atas, tanda menyampaikan suatu informasi
sehingga bersifat komunikatif, tanda mampu menggantikan sesuatu yang
lain yang dapat dipikirkan atau dibayangkan. Untuk menganalisis teks
dan kode visual, metode semiotik bersifat kualitatif-interpretatif,
Kusumarini (2006) Metode semiotika secara prinsip bersifat
kualitatif-interpretatif dan dapat diperluas sehingga bersifat kualitatif-empiris.
Metode kualitatif-interpretatif lebih berfokus kepada teks dan kode yang
subyek pengguna teks. Video iklan sebagai sebuah teks adalah sistem
tanda terorganisir menurut kode-kode yang merefleksikan nilai-nilai
tertentu, sikap dan juga keyakinan tertentu.
Noviani (dalam Kusrianti, 2004;1) Setiap pesan dalam iklan
memiliki dua tingkatan makna yang dinyatakan secara eksplisit di
permukaan dan makna yang dikemukakan secara implisit di balik
permukaan iklan. Dengan demikian, semiotika menjadi metode yang
sesuai untuk mengetahui kontruksi makna yang terjadi dalam video iklan
dengan menekankan peran sistem tanda dengan konstruksi realitas, maka
melalui semiotika ideologi-ideologi di balik iklan bisa dibongkar.
Semiotika adalah suatu bentuk strukturalisme, karena ia berpandangan
bahwa manusia tidak bisa mengetahui dunia melalui istilah-istilahnya
sendiri, melainkan hanya melalui struktur-struktur konseptual dan
linguistik dalam kebudayaan.
Semiotika adalah usaha untuk menganalisis signifikasi
tanda-tanda. Salah satu refleksi signifikasi tanda adalah iklan. Signifikasi tanda
digunakan untuk menyampaikan pesan kepada pembaca atau penonton.
Menurut Pierce, sebuah tanda itu mengacu pada suatu acuan, dan
representasi adalah fungsi utamanya. Hal ini sesuai dengan definisi dari
tanda itu sendiri, yaitu sebagai sesuatu yang memiliki bentuk fisik, dan
harus merujuk pada sesuatu yang lain dari tanda tersebut. Dalam
pengertian semiotik, termasuk tanda adalah kata-kata, citra, suara, bahasa
tubuh atau gesture dan juga obyek. (Noviani, 2002;77).
Karya audio visual (film, video iklan, video musik, animasi)
merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau
semiotik. Seperti dikemukakan oleh Van Zoest (1992) film dibangun
dengan tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang
bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan.
Rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan.
Karena itu menurut Van Zoest, bersamaan dengan tanda-tanda pada film
terutama digunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang
audio visual adalah persamaannya dengan realitas yang ditunjukan.
Gambar yang dinamis dalam film ikonis bagi realitas sosial (Noviani
2002;128).
Menurut Tinarbuko (2010) dalam bukunya Semiotika
Komunikasi Visual, unsur semiotika dalam desain komunikasi visual
adalah tanda, kode, dan makna. Tanda menurut Saussure merupakan
kesatuan dari penanda dan petanda. Walaupun penanda dan petanda
tampak sebagai entitas yang terpisah namun keduanya hanya ada sebagai
komponen dari tanda. Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa.
Artinya kedua hal dari tanda itu tidak dapat dipisahkan, jika pemisahan
berlaku maka hanyalah akan menghancurkan “kata” tersebut. Selanjutnya
tanda kebahasaan menurut Saussure bersifat arbitrair, atau
semena-mena. Artinya tidak ada hubungan alami dari petanda dan penanda.
Sebagai contoh tentang ini bahwa orang tidak dapat mengerti mengapa
istilah blusukkan dipahami sebagai bahasa Indonesia sedangkan kata
blusukkan adalah sebuah kata dalam bahasa Jawa. Tanda kebahasaan
tersebut tidak dapat dipikirkan sebabnya, tetapi semua orang dapat
mengerti bahwa “blusukkan” adalah istilah untuk keluar masuk pada
tempat yang jarang dilewati atau didatangi orang tanpa harus
memperdebatkannya.
Menurut Roland Barthes, semiotika adalah suatu ilmu atau
metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah seperangkat
yang dipakai dalam rangka upaya berusaha mencapai jalan di dunia ini,
di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Ia pun
membedakan dua pengertian (signification) dari semiotika yaitu denotasi
dan konotasi. Denotasi adalah level deskriptif dan harfiah makna yang
disepakati seluruh anggota budaya. Pada level konotasi, makna
dihasilkan oleh hubungan antara signifier dan budaya secara luas yang
mencakup kepercayaan-kepercayaan, tingkah laku, kerangka kerja dan
ideologi dari sebuah formasi sosial. Semiotika, atau dalam istilah
Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana
dalam hal ini tidak dapat dicampur adukkan dengan mengkomunikasikan
(to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.
(Sobur, 2003;15).
Sedangkan menurut Pierce, tanda adalah sesuatu yang mewakili
sesuatu. Jika sesuatu misalnya A adalah baju kotak-kotak, maka ia dapat
mewakili B, yaitu misalnya pendukung Jokowi (pengalaman). Tanda
semacam itu dapat disebut sebagai indeks, yakni antara A dan B ada
keterkaitan (contiguity). Sebuah foto atau gambar adalah tanda yang
disebut ikon. Tanda juga bisa merupakan lambang, jika hubungan antara
tanda itu dengan yang diwakilinya didasarkan pada perjanjian
(convention), misalnya lampu merah yang mewakili larangan (gagasan)
berdasarkan perjanjian yang ada dalam masyarakat. Ketika semua bentuk
komunikasi adalah tanda, maka dunia ini penuh dengan tanda. Ketika
berkomunikasi, pada saat itu juga menciptakan tanda sekaligus makna.
Dalam perspektif semiologi atau semiotika, pada akhirnya komunikasi
akan menjadi suatu ilmu untuk mengungkapkan pemaknaan dari tanda
yang diciptakan oleh proses komunikasi itu sendiri.
a. Ferdinand de Saussure
Sebagai seorang ahli linguistik, Saussure tertarik pada bahasa.
Dia lebih memperhatikan cara tanda-tanda terkait dengan tanda lain dan
bukannya cara tanda terkait dengan objeknya seperti yang dikemukakan
Pierce. Saussure hanya benar-benar menaruh perhatian pada simbol
karena kata-kata merupakan simbol. Saussure sangat tertarik pada relasi
penanda dengan petanda dan satu tanda dengan tanda-tanda yang lain. Istilah “petanda” dari Saussure mirip dengan interpretant dari Pierce, tapi Saussure tak pernah menggunakan kata “efek‟ untuk mengaitkan
penanda dengan petanda. Ada lima pandangan dari Saussure yang
kemudian menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi Strauss,
diantaranya:
1). Signified dan Signifier
Bagi Saussure tanda merupakan objek fisik dengan sebuah
makna atau untuk menggunakan istilahnya sebuah tanda terdiri atas
penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda (Signifier) adalah
citra tanda seperti yang dipersepsikan. Signifier adalah bunyi bermakna
atau coretan yang bermakna yakni apa yang dikatakan dan apa yang
ditulis atau dibaca. Sedangkan signified adalah gambaran mental yakni
pikiran atau konsep mental dari bahasa (Sobur, 2009;125). Menurut
Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda. Suara-suara baik
suara manusia, binatang, atau bunyi-bunyian hanya bisa dikatakan
sebagai bahasa atau berfungsi sebagai bahasa apabila suara atau bunyi
tersebut mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan ide-ide,
pengertian-pengertian tertentu. Meskipun antara penanda dan petanda
tampak sebagai entitas yang terpisah namun keduanya hanya ada sebagai
komponen tanda. Saussure menggambarkan tanda yang terdiri dari
signifier dan signified itu sebagai berikut.
Gambar 1. Peta Tanda Saussure
Sumber: Sobur, Analisis Teks Media. (2009;125)
Hubungan antara keberadaan fisik tanda konsep mental
dinamakan signification. Dengan kata lain, Fiske (dalam Sobur,
2009;125) menyatakan bahwa signification adalah upaya dalam memberi
makna terhadap dunia. Hubungan diantara signifier dan signified bersifat
peraturan dari kultur pemakai bahasa tersebut. Bagi Saussure, sifat
arbitrer tanda merupakan inti bahasa manusia. Artinya tidak ada relasi
pasti antara penanda dan petanda. Relasinya ditentukan berdasarkan
konvensi aturan atau kesepakatan diantara penggunanya.
2). Form and Content
Saussure membandingkan form and content dengan permainan
catur. Dalam permainan catur, papan dan biji catur tidak terlalu penting.
Yang penting adalah fungsinya yang dibatasi dan aturan-aturan
permainannya. Jadi bahasa berisi sistem nilai, bukan koleksi unsur yang
ditentukan oleh materi, tetapi ditentukan oleh perbedaannya (Sobur,
2009;48). Contoh lainnya adalah kata “padi” dalam bahasa Indonesia
umpamanya tidak sama persis dengan kata “rice” dalam bahasa inggris
karena kata Indonesia tersebut terpisah dari kata atau dibedakan dengan
kata rice. Artinya kata “padi” tidak masuk dalam differensiasi sistem arti
dalam bahasa inggris.
3). Langue and Parole
Saussure membedakan tiga istilah dalam bahasa Prancis:
langage, langue (sistem bahasa), dan parole (kegiatan ujaran). Langage
mengacu kepada bahasa pada umumnya yang terdiri dari langue dan
parole. Sobur (2009;49) mengungkapkan langage adalah kemampuan
berbahasa yang ada pada setiap manusia yang sifatnya pembawaan,
namun pembawaan ini mesti dikembangkan dengan lingkungan dan
stimulus yang menunjang.
Pengertian umum langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa
pada tingkat sosial budaya, sedangkan parole adalah ekspresi bahasa
pada tingkat individu (Sobur, 2009;50). Dalam konsep Saussure, langue
dimaksudkan bahasa sejauh merupakan milik bersama dari suatu
golongan bahasa tertentu. Kleden dan Probonegoro (dalam Sobur,
2009;50) mengungkapkan langue sebagai cabang linguistik yang
menaruh perhatian pada tanda-tanda bahasa atau pada kode bahasa. Kode
bahasa ini terdiri atas fonem dan morfem. Jika langue mempunyai objek
bahasa yang hidup atau bahasa sebagaimana terlihat dalam
penggunaannya (Sobur, 2009;51). Parole lebih memperhatikan faktor
pribadi pengguna bahasa.
4). Synchronic and Diachronic
Kedua istilah ini berasal dari kata Yunani “khronos” yang
berarti waktu dan dua awalan “syn” dan “dia”, masing-masing berarti “bersama” atau “melalui”, yang dimaksud dengan studi sinkronis sebuah bahasa menurut Lyons (dalam Sobur, 2009:53) adalah deskripsi tentang
keadaan tertentu bahasa tersebut pada suatu masa. Sinkronis mempelajari
bahasa tanpa mempersoalkan urutan waktu. Sedangkan yang dimaksud
dengan diakronis menurut Barthes (dalam Sobur, 2009;53) adalah
menelusuri waktu. Jadi studi diakronis atas bahasa tertentu adalah
deskripsi tentang perkembangan sejarah melalui waktu. Misalnya studi
diakronis bahasa Inggris mungkin mengalami perkembangan dimasa
catatan-catatan kita yang paling awal sampai sekarang ini.
5). Syntagmatic dan Associative
Satu lagi struktur bahasa yang dibahas dalam konsepsi dasar
Saussure tentang sistem pembedaan diantara tanda-tanda adalah
mengenai syntagmatic dan associative atau antara sintagmatik dan
associative. Hubungan-hubungan ini terdapat pada kata-kata sebagai
rangkaian bunyi-bunyi maupun kata-kata sebagai konsep. Cobley dan
Jansz (dalam Sobur 2009;55) memberi contoh sederhana. Jika kita
mengambil sekumpulan tanda “seekor kucing berbaring diatas karpet”.
Maka satu elemen tertentu, kata “kucing” misalnya, menjadi bermakna
sebab ia memang bisa dibedakan dengan “seekor”, “berbaring” atau “karpet”. Sekarang kita lihat bagaimana kemudian kata “kucing” dikombinasikan dengan elemen-elemen lainnya. Kini digabungkan dengan “seekor”, “berbaring”, “di”, “atas”, “karpet”. Kata “kucing” menghasilkan rangkaian yang membentuk sebuah sintagma (kumpulan
tanda yang berurut secara logis). Melalui cara ini, “kucing” bisa memiliki
b. Charles Sander Pierce
Filsuf Amerika ini terkenal dengan pemikiran pragmatisnya
yang menyatakan bahwa tidak ada objek atau konsep yang memiliki
secara inheren keabsahannya. Kebermaknaannya hanya ada apabila objek
atau konsep tersebut diterapkan dalam praktik. Peirce dikenal dengan
konsep triadik dan trikotominya. Prinsip dasar dari tanda triadik tersebut
bersifat representatif. Berdasarkan prinsip ini, tanda menjadi wakil yang
menjelaskan sesuatu.
Peirce called the perceivable part of the sign a representamen (literally “something that does the representing”) and the concept that it encodes the object (literally”something cast
outside for observation”). He termed the meaning that someone
gets from the sign the interpretant (Danesi dan Perron, Analizyng Culture. 1999;73)
Rumusan ini mengimplikasikan bahwa makna sebuah tanda
dapat berlaku secara pribadi, sosial atau bergantung pada konteks khusus
tertentu. Representamen berfungsi sebagai tanda (Saussure
menamakannya signifier). Perlu dicatat bahwa secara teoritis, Peirce
menggunakan istilah representamen dengan merujuk pada triadik secara
keseluruhan. Namun secara terminologis, ia kadang-kadang
menggunakan istilah sign alih-alih representamen. Object adalah sesuatu
yang di-wakili oleh representamen yang berkaitan dengan acuan. Object
dapat berupa representasi mental (ada dalam pikiran), dapat juga berupa
sesuatu yang nyata di luar tanda.
Interpretant merupakan makna dari tanda. Pada beberapa
kesempatan, ia menggunakan istilah significance, signification, atau
interpretation. Tanda sendiri tidak dapat mengungkapkan sesuatu. Tanda
hanya menunjukkan. Tugas penafsir memberi makna berdasarkan
pengalamannya (Nöth, Hanbook of Semiotics. 1995;42,43). Tipologi
dasar dari Peirce dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2. Tipologi Pierce
Sumber : Danesi dan Perron, Analizyng Culture. (1999;74-75)
Ketiga unsur tersebut diperinci menjadi tiga trikotomi seperti terlihat
pada tabel berikut.
Tabel 1. Tipologi Pierce
Sumber : Danesi dan Perron, Analizyng Culture. (1999;74-75)
Mode Of Representation. Hal tersebut berkenaan dengan tingkat
keberlakuan tanda yang berkaitan dengan upaya manusia memahami
dunianya.
1. Dikatakan firstness karena ikon adalah bentuk
representamen yang paling lekat dengan objek yang
diwakilinya sehingga tanda dikenali pada tahap awal. Selain
normal dalam narasi juga merupakan ikon dari sekuen suatu
peristiwa, contoh: kalimat Julius Caesar: veni, vidi, vici. Ada
ikon yang terbentuk dalam konteks kultural. Oleh karena itu,
manifestasinya dalam setiap budaya dapat berbeda.
2. Dikatakan secondness karena index merupakan sebab akibat
atau ada kontiguitas antara tanda sekunder yang
memperingatkan adanya tanda lain yang utama. Tingkat
keberlakuan tanda dan pemahaman berhadapan dengan
kenyataan, ada pertemuan dengan dunia luar. Pada tingkat
ini, tanda masih ditandai secara individual.
3. Dikatakan thirdness karena representamen yang tidak dapat
terlepas dari konteks sejarah/sosial suatu masyarakat adalah
simbol yang terbentuk berdasarkan kesepakatan; antara
simbol dan interpretant tidak ada kaitan apa pun. Tingkat
keberlakuan tanda dan pemahaman penafsir bersifat sebagai
aturan, hukum, atau yang sudah berlaku umum.
4. Dari sudut pandang interpretant, sebuah teks adalah rheme
apabila teks tersebut tidak lengkap, teks didominasi dengan
fungsi ekspresif, atau struktur teks memungkinkan berbagai
interpretasi. Contoh: teks sastra, puisi.
5. Teks deskriptif, baik fiksi maupun nonfiksi memiliki ciri
dicisign karena bersifat informatif.
6. Teks ilmiah dan hukum sarat dengan argument.
Sudut pandang pragmatik teks dapat memiliki berbagai
interpretant, bergantung pada pengaruhnya terhadap penafsir. Hoed
(Bahasa dan Sastra dalam Tinjauan Semiotik dan Hermeneutik. 2004;55)
mengemukakan bahwa, berbeda dengan Saussure, Peirce melihat tanda
tidak sebagai suatu struktur, tetapi sebagai suatu proses pemaknaan tanda
yang disebutnya semiosis. Semiosis merupakan proses tiga tahap dan
dapat terus berlanjut. Artinya, interpretant pada gilirannya dapat menjadi
semiosis tidak terbatas, bergantung pada pengalaman. Berikut ini uraian
proses semiosis.
a. Pencerapan representamen (R) yang dilihat oleh manusia (ini yang disebut dengan “tanda”).
b. Perujukan representamen pada objek (O) yang merupakan
konsep yang dikenal oleh pemakai tanda.
c. Penafsiran makna interpretant (I) oleh pemakai tanda, setelah
representamen dikaitkan dengan objek.
• Contoh semiosis pada gambar : O : Diponegoro
R : (Gambar) seorang laki-laki I/O : Komandan pasukan
R : Pejuang melawan Belanda I/O : Pahlawan
R : Orang yang membela kebenaran I/O : Pemberani, dst
• Contoh semiosis pada bahasa :
O : Makanan pokok di Maluku
R : (Kata) Sagu I : Makanan tradisional
• Contoh semiosis pada emoticon : O : Wajah tersenyum
R :
☺
I : GembiraSumber : Irzanti Susanto “Metode Semiotika”
( perkuliahan Prof. Dr.B.H.Hoed “Teori dan Metode Penelitian” )
c. Roland Barthes
Salah seorang pengikut Saussure, Roland Barthes membuat
sebuah model sistematis dalam menganalisis makna dari tanda-tanda.
Semiotika atau dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal
(things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat
dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate).
Bertolak dari prinsip-prinsip Saussure, Barthes menggunakan
konsep sintagmatik dan paradigmatik untuk menjelaskan gejala budaya,
seperti sistem busana, menu makan, arsitektur, lukisan, film, iklan, dan
karya sastra. Ia memandang semua itu sebagai suatu bahasa yang
memiliki sistem relasi dan oposisi. Beberapa kreasi Barthes yang
merupakan warisannya untuk dunia intelektual adalah (1) konsep
konotasi yang merupakan kunci semiotik dalam menganalisis budaya,
dan (2) konsep mitos yang merupakan hasil penerapan konotasi dalam
berbagai bidang dalam kehidupan sehari-hari.
Barthes (dalam Sobur, 2009;15) mengungkapkan memaknai
berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal
mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi
sistem terstruktur dari tanda.
Menurut Barthes (dalam Sobur, 2009:63) bahasa adalah sebuah
sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat
tertentu dalam waktu tertentu. Salah satu area penting yang dirambah
Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader).
Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan
pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas
apa yang disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun
di atas sistem lain yang telah ada. Sistem pemaknaan kedua ini oleh
Barthes disebut dengan konotatif, sedangkan pemaknaan tataran pertama
ia sebut denotatif.
Fokus perhatian Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang
signifikasi dua tahap (two order of signification) seperti terlihat pada
gambar berikut.
Gambar 3. Peta Tanda Roland Barthes
Sumber: Sobur, Semiotika Komunikasi, 2009
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3)
terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat yang
bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Hanya jika kita mengenal tanda “singa” barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan dan keberanian menjadi mungkin.
1). Sistem Pemaknaan Tingkat Pertama (Denotatif)
Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier
dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes
menyebutnya sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Jadi
dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
melandasi keberadaannya. Dalam hal ini, denotasi justru diasosiasikan
dengan ketertutupan makna (Sobur, 2009;70).
Menurut Lyons (dalam Sobur, 2009;263) denotasi adalah
hubungan yang digunakan dalam tingkat pertama pada yang secara
bebas memegang peranan penting didalam ujaran. Kridalaksana (dalam
Sobur, 2009;263) mendefinisikan denotasi sebagai makna kata atau
kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada
sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan
sifatnya objektif.
Denotasi dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang
sesungguhnya bahkan kadang juga dirancurkan dengan referensi atau
acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut denotasi ini
biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai
dengan apa yang terucap. Makna denotasi bersifat langsung yaitu makna
khusus yang terdapat pada sebuah tanda pada dasarnya meliputi hal-hal
yang ditunjuk oleh kata-kata yang disebut sebagai makna referensial,
makna yang biasa ditemukan dalam kamus. Keraf (dalam Sobur,
2009;265) mengungkapkan bahwa makna denotasi (denotative meaning)
disebut juga dengan beberapa istilah seperti makna denotasional, makna
kognitif, makna konseptual atau ideasional, makna referensial atau
makna proposisional. Disebut makna denotasional, referensial,
konseptual atau ideasional karena makna itu menunjuk pada (denote)
kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari sebuah referen.
Disebut makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran
atau pengetahuan, dan makna ini disebut juga makna proposisional
karena ia bertalian dengan informasi-informasi atau
pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual.
Ketika mengucapkan sebuah kata yang mendenotasikan suatu
hal tertentu, maka itu berarti kata tersebut menunjukkan, mengemukakan
dan menunjuk pada hal itu sendiri. Misalnya kata “ayam”
mendenotasikan atau merupakan sejenis unggas tertentu yang memiliki
2). Sistem Pemaknaan Tingkat Kedua (Konotatif)
Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk
menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi
yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari
pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai
makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain,
Fiske (dalam Sobur, 2009;128) mengatakan bahwa denotasi adalah apa
yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek sedangkan konotasi
adalah bagaimana menggambarkannya.
Konotasi menempatkan denotasi sebagai penanda terhadap
petanda atau Signified baru sehingga melahirkan makna konotasi (second
order signification). Penanda dalam pemaknaan konotasi terbentuk
melalui tanda denotasi yang digabungkan dengan petanda baru atau
tambahan sehingga tanda denotasi akan sangat menentukan signifikasi
selanjutnya. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi
ideologi yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk
mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan
yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Konotasi mengacu pada
makna yang menempel pada suatu kata karena sejarah pemakainnya. Jika
denotasi sebuah kata adalah objketif kata tersebut, maka konotasi sebuah
kata adalah makna subjektif atau emosionalnya.
Barthes merumuskan tanda sebagai sistem yang terdiri dari
expression (E) yang berkaitan relation (R) dengan content (C). Ia
berpendapat bahwa E-R-C adalah sistem tanda dasar dan umum. Teori
tanda tersebut dikembangkannya dan ia menghasilkan teori denotasi dan
konotasi. Menurutnya, content dapat dikembangkan. Akibatnya, tanda
pertama (E1 R1 C1) dapat menjadi E2 sehingga terbentuk tanda kedua:
E2 (=E1 R1 C1) R2 C2. Tanda pertama disebutnya sebagai denotasi;
yang kedua disebutnya semiotik konotatif. Barthes menggambarkan
hubungan kedua makna tersebut sebagai berikut:
Gambar 4. Konsep Konotasi dan Denotasi
Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap; sedangkan
konotasi sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Meskipun
berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks. Makna yang
pertama, makna denotatif, berkaitan dengan sosok acuan, misalnya kata
merah bermakna “warna seperti warna darah” (secara lebih objektif,
makna dapat digambarkan menurut tata sinar). Konteks dalam hal ini
untuk memecahkan masalah polisemi; sedangkan pada makna konotatif,
konteks mendukung munculnya makna yang subjektif. Konotasi
membuka kemungkinan interpretasi yang luas. Dalam bahasa, konotasi
dimunculkan melalui: majas (metafora, metonimi, hiperbola, eufemisme,
ironi, dsb), presuposisi, implikatur. Secara umum (bukan bahasa),
konotasi berkaitan dengan pengalaman pribadi atau masyarakat
penuturnya yang bereaksi dan memberi makna konotasi emotif misalnya
halus, kasar/tidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan,
menakutkan, bahaya, tenang, dsb. Jenis ini tidak terbatas. Pada contoh di
atas: MERAH bermakna konotatif emotif. Konotasi ini bertujuan
membongkar makna yang terselubung. Salah satu karya besarnya yang
merupakan hasil dari penerapan metode analisis struktural, konsep
sintagmatik, dan paradigmatik adalah sistem berbusana. Ia
mengana-logikan dikotomi dari Saussure: langue - parole dengan tata busana
(unsur-unsur mode dan aturannya) aktualisasi individual. Tata busana
menentukan mode pada masa tertentu. Di negara yang memiliki empat
sebagai denotasi, misalnya, warna gelap (hitam, abu-abu, biru, hijau tua)
dan model tertutup untuk musim dingin, warna cerah dan untuk musim
semi; model terbuka untuk musim panas. Di samping hal tersebut,
majalah mode, pada umumnya, menambahkan keterangan tentang waktu,
tempat pakaian dengan model tertentu bisa dikenakan, tentang gaya pero-
rangan, tentang efek sosial yang ditimbulkan. Ini semua termasuk ke
dalam sistem konotasi mode.
Arthur Asa Berger (dalam Sobur, 2009;263) mengemukakan
bahwa konotasi melibatkan simbol-simbol, historis dan hal-hal yang
berhubungan dengan emosional. Makna konotatif bersifat subjektif
dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif)
karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Kalau makna
denotatif hampir bisa dimengerti banyak orang, maka makna konotatif
hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya lebih kecil.
Keraf (dalam Sobur, 2009;266) mengungkapkan bahwa konotasi
atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif
atau makna evaluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis makna dimana
stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif
sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju
tidak setuju, senang-tidak senang dan sebagainya pada pihak pendengar.
Konotasi sebagai makna kedua dari tanda dapat juga
ditampilkan melalui teknik-teknik visual. Dalam video maupun gambar
terkandung level produksi yang berbeda (Framing, layout, technical
treatment, choice). Untuk memunculkan sebuah makna konotasi, Barthes
(2010;6) menyusun tahap-tahap konotasi. Agar dipahami dengan jelas,
tiga tahap pertama (trick effect, pose dan object) harus dibedakan dengan
tiga tahap terakhir (photogenia, aesthetisicm, dan sintax). Tahap-tahap ini
sudah sering didengar dan tidak dijelaskan dengan detail, tetapi hanya
diposisikan secara struktural.