• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asuransi Pendidikan: Alternatif Pendanaan Pendidikan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Asuransi Pendidikan: Alternatif Pendanaan Pendidikan."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

ASURANSI PENDIDIKAN: ALTERNATIF PENDANAAN PENDIDIKAN

Caroline Paskarina1

Pengantar

Investasi dalam bentuk sumber daya manusia yang berkualitas tampaknya sekarang

telah menjadi mode. Di hampir semua daerah di Indonesia, bahkan juga di tingkat nasional

dan global, peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan, kesehatan, dan

kemampuan ekonomi menjadi agenda strategis yang diprioritaskan. Millenium Development

Goals, misalnya, menempatkan 6 (enam) agenda dari 8 (delapan) agenda yang langsung

berkaitan dengan sumber daya manusia. Keenam agenda tersebut adalah pemberantasan

kemiskinan dan kelaparan ekstrem; pendidikan dasar untuk semua; kesetaraan gender dan

pemberdayaan perempuan; penurunan angka kematian anak; peningkatan kesehatan ibu; dan

perang terhadap HIV/AIDS, malaria, serta penyakit lainnya.

Selain menjadi bagian dari agenda pembangunan abad ke-21, pembangunan kualitas

sumber daya manusia juga menjadi kata kunci penting sebagaimana tergambar dalam konsep

human capital. Manusia dipandang sebagai modal yang perlu dikelola secara optimal agar

pembangunan dapat terjamin keberlanjutannya. Dalam konsepsi ini, pembangunan manusia

melalui pendidikan dan kesehatan pada dasarnya merupakan bagian dari investasi untuk

mempersiapkan sumber daya manusia yang memiliki intelektualitas dan kompetensi

memadai untuk mengelola sumber daya-sumber daya lainnya, sehingga taraf hidup dan

kesejahteraan meningkat.

Pentingnya mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas bahkan menjadi

bagian dari agenda konstitusi sebagaimana termuat dalam pasal 30 UUD 1945. Dalam

Amandemen UUD 1945, jaminan terhadap hak memperoleh pendidikan diperkuat dengan

kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan minimal 20% dari anggarannya untuk

pembiayaan pendidikan, di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Jumlah ini

tentunya tidak seberapa dibanding tugas berat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang

mampu berdaya saing dan produktif. Namun juga, bukan jumlah yang kecil bila dikaitkan

dengan kapasitas keuangan Pemerintah dan pemerintah daerah yang sangat beragam.

1

(2)

Selama ini, pembiayaan pendidikan tidak hanya bersumber dari pemerintah. Dalam

penyelenggaraan pendidikan, setidaknya terdapat 3 (tiga) sumber pembiayaan, yakni:

anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah (termasuk dari hibah dan pinjaman luar

negeri); iuran siswa/keluarga siswa (disalurkan melalui sekolah ataupun dibelanjakan

sendiri); dan sumbangan masyarakat (selain keluarga siswa). Dari ketiga sumber pembiayaan

ini, peran keluarga siswa (orang tua) masih sangat dominan dalam menopang

penyelenggaraan pendidikan2. Padahal, tidak semua anggota masyarakat memiliki

kemampuan ekonomi yang memadai, sehingga berdampak pada tingginya angka putus

sekolah. Kondisi ini juga terjadi di Jawa Barat, yang angka Rata-rata Lama Sekolah (RLS)

pada tahun 2007 baru mencapai 7 tahun lebih. Hal ini berarti bahwa kebanyakan anak usia

sekolah di Jawa Barat hanya mengenyam pendidikan hingga jenjang SMP, dan itupun tidak

semuanya tamat.

Bila dikaitkan dengan paradigma pembangunan manusia dan human capital,

tingginya angka putus sekolah ini tentunya sangat tidak kondusif dalam penciptaan sumber

daya manusia yang berkualitas. Sebaliknya, makin banyak jumlah anak putus sekolah, maka

beban negara dan pemerintah akan makin berat karena negara harus menyediakan jaring

pengaman sosial yang lebih banyak untuk menopang masyarakat marginal tersebut. Tingkat

pendidikan yang rendah umumnya akan berkorelasi pada lemahnya akses terhadap berbagai

sumber daya, seperti lapangan pekerjaan yang layak, pelayanan kesehatan yang memadai,

juga ketiadaan jaminan kesejahteraan di hari tua. Akibatnya, akan timbul lingkaran setan

kemiskinan yang tidak terputuskan yang menyebabkan berapapun tingkat pertumbuhan

ekonomi yang tercapai tidak akan mampu mewujudkan kesejahteraan yang merata.

Karena itu, wacana anggaran pembiayaan pendidikan sebenarnya punya makna yang

lebih dalam dan komprehensif, tidak hanya terkait pembangunan pendidikan tapi juga

investasi sosial. Penggunaan anggaran pendidikan dengan tepat akan menjadi langkah awal

untuk memutus rantai kemiskinan. Isu pokok yang perlu segera dicari pemecahannya adalah

bagaimana memanfaatkan sebaik mungkin alokasi anggaran pendidikan yang terbatas

tersebut agar dapat menimbulkan efek pemerataan pendidikan seoptimal mungkin.

2

Hasil penelitian Fatah (2000), Supriadi (2001), dan Balitbang Depdiknas menunjukkan bahwa proporsi sumber dana yang berasal dari orang tua atau wali siswa masih menjadi yang terbesar untuk menopang penyelenggaraan pendidikan. Sumber dana dari orang tua dan wali siswa masih berada pada proporsi 70% lebih dan besarannya bisa meningkat seiring peningkatan level pendidikan. Lihat lebih jauh dalam Nanang Fattah. 2003. Konsep

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah. Bandung : C.V. Pustaka Bani Quraisy; Dedi Supriadi.

2004. Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah : Rujukan bagi Penetapan Kebijakan Pembiayaan

Pendidikan pada Era Otonomi dan Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung : Rosdakarya; dan Pusat Penelitian

(3)

Model Pendanaan Pendidikan

Penyelenggaraan pelayanan pendidikan memiliki karakteristik yang unik karena

pendidikan merupakan barang publik sekaligus barang privat. Disebut barang publik karena

pendidikan berkaitan dengan hak konstitusional yang dijamin bagi setiap warga negara,

sebaliknya, pendidikan juga adalah barang privat karena setiap orang memiliki kebebasan

penuh untuk menentukan jenis pendidikan yang akan ditempuhnya. Karena dua sisi inilah,

maka pembiayaan pendidikan pun tidak sepenuhnya bersumber dari anggaran publik, tetapi

juga didukung oleh dana yang bersumber dari perorangan maupun swasta. Bahkan, pada

praktiknya, penyelenggaraan pendidikan sesungguhnya lebih banyak ditopang oleh

pendanaan yang bersumber dari perorangan (orang tua siswa) dan swasta (dalam bentuk

penyelenggaraan pendidikan swasta).

Sebagai barang publik, pelayanan pendidikan harus dapat menjangkau seluruh warga

negara, apapun kondisi sosial dan ekonominya. Inilah yang disebut dengan dimensi equity

dari penyelenggaraan pendidikan. Dimensi equity (keadilan) berfokus pada upaya untuk

mendistribusikan sumber-sumber daya dan akses pendidikan secara merata untuk mencapai

tujuan-tujuan moral dan sosial yang ditetapkan. Penyelenggaraan pendidikan juga berkaitan

dengan dimensi adequacy (kecukupan), yang mengandung arti bahwa penyelenggaraan

pendidikan berfokus pada upaya mendayagunakan sumber-sumber daya yang tersedia untuk

menopang standar-standar yang telah ditetapkan, baik yang berupa standar profesi maupun

standar publik, untuk menjamin tercapainya kualitas atau kompetensi yang diperlukan. Selain

kedua dimensi tersebut, penyelenggaraan pendidikan juga terkait dengan dimensi efficiency

(efisiensi), yang berfokus pada upaya menjamin akuntabilitas tenaga pendidik dan kinerja

lembaga pendidikan. Ketiga dimensi inilah yang menjadi hasil (outcome) dari

penyelenggaraan pendidikan.

Model pendanaan pendidikan seyogianya disusun dengan berbasis pada ketiga

dimensi tersebut, karena pada dasarnya model pembiayaan pendidikan merupakan strategi

untuk mengelola sumber-sumber daya yang tersedia, khususnya dana, untuk mencapai

pendidikan yang merata, memenuhi standar, dan akuntabel. Dari sisi pendanaan pendidikan

di daerah, idenya adalah bagaimana mencari sumber pembiayaan pendidikan yang memiliki

dua karakteristik dasar. Pertama, cukup dan stabil bagi sektor pendidikan di daerah untuk

memenuhi target 20% anggaran untuk pendidikan. Kedua, berada dalam kewenangan

pemerintah daerah, sehingga memungkinkan dijadikan “kebijakan fiskal” di daerah

(4)

PP No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan hanya mengatur secara rinci

komponen pembiayaan pendidikan, sedangkan sumber pendanaannya hanya disebutkan

secara umum berasal dari anggaran Pemerintah Pusat, anggaran pemerintah daerah, dan dari

masyarakat (baik dari orang tua/wali siswa maupun dari pihak lain dalam bentuk

sumbangan/hibah maupun biaya penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan

masyarakat).

Skema 1

Pembiayaan Pendidikan menurut PP No. 48 Tahun 2008

Ketiga komponen pembiayaan tersebut menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah

Pusat, Daerah, dan masyarakat. Adapun skema penganggaran untuk pembiayaan pendidikan

sebagaimana diatur dalam PP No. 48 Tahun 2008 adalah sebagai berikut:

Tabel 1

Skema Penganggaran Biaya Pendidikan

No. Pembiayaan Sumber

Anggaran

Penempatan

1 Investasi lahan dan selain lahan yang menghasilkan aset fisik

APBN/APBD Belanja modal dan/atau belanja barang

2 Investasi SDM dan investasi lain yang tidak menghasilkan aset fisik

APBN/APBD Belana pegawai dan/atau belanja barang

3 Operasional personalia APBN/APBD Belanja pegawai dan/atau

bantuan sosial

4 Operasional non personalia APBN/APBD Belanja barang dan/atau

bantuan sosial

(5)

Konstitusi mengamanatkan anggaran minimal 20% adalah untuk pembiayaan

pendidikan selain gaji pendidikan dan biaya pendidikan kedinasan, karena itu, prioritas

pembiayaan pendidikan perlu diarahkan pada komponen biaya investasi, bantuan biaya

pendidikan, dan beasiswa untuk menopang biaya pribadi yang bersumber dari peserta didik.

Realisasi dari prioritas ini tidak mudah karena kemampuan pemerintah untuk memenuhi

kewajiban 20% sangat relatif. Sekalipun terdapat sumber-sumber pendapatan daerah, namun

kontribusi dari tiap sumber pendapatan tersebut terhadap total APBD masih berkisar pada

rentang 1,4% hingga 7%3. Sementara itu, mekanisme alokasi dana pendidikan dari pusat ke

daerah masih belum menemukan skema yang tepat, apalagi bila dikaitkan dengan

kewenangan pusat yang terbatas dalam penyelenggaraan pendidikan. Kondisi ini

menempatkan daerah sebagai ujung tombak dalam penyelenggaraan pendidikan, sehingga

daerah (khususnya kabupaten/kota) perlu mencari formula penganggaran yang tepat untuk

merealisasikan kewajiban minimal 20% tersebut. Di sinilah peran pemerintah provinsi sangat

diperlukan untuk menjamin agar penyelenggaraan pendidikan memenuhi kriteria keadilan,

kecukupan, dan efisiensi di seluruh kabupaten/kota yang termasuk dalam wilayahnya.

Asuransi Pendidikan

Salahsatu alternatif pengelolaan biaya pendidikan yang dapat dikembangkan oleh

pemerintah provinsi adalah asuransi pendidikan. Skema asuransi pendidikan merupakan

bagian dari kebijakan asuransi sosial (social insurance) atau keamanan sosial (social

security) yang menempatkan pelayanan pendidikan sebagai salahsatu jenis pelayanan dasar

yang harus bisa diperoleh oleh setiap warga negara, terlepas dari apapun kondisi

sosial-ekonominya. Pada awalnya, kebijakan jaminan sosial diterapkan sebagai upaya untuk

menopang kelompok masyarakat yang lemah, yang tidak memiliki cukup kemampuan untuk

bertahan di tengah persaingan industri. Kelompok ini sebagian besar adalah kaum buruh atau

pekerja yang menanggung resiko tertinggi dari pekerjaannya, namun di sisi lain juga

memperoleh bagian keuntungan terkecil dari sisi pendapatan. Kelompok yang jumlahnya

merupakan bagian terbesar dari seluruh warga ini merupakan kelompok yang paling rentan

terhadap fluktuasi pertumbuhan ekonomi. Manakala terjadi guncangan ekonomi, misalnya

akibat kenaikan harga atau terkena musibah, maka mereka akan dengan mudah meluncur ke

bawah garis kemiskinan.

Karena itu, skema asuransi sosial dibentuk untuk melindungi kelompok rentan ini

agar bisa tetap bertahan hidup di tengah perubahan-perubahan sosial dan ekonomi. Skema

3

(6)

asuransi sosial mencakup setiap program pemerintah yang ditandai dengan karakteristik

sebagai berikut:

1. Manfaat, prasyarat, dan aspek-aspek lainnya dari program tersebut ditetapkan dengan

tegas dalam peraturan perundang-undangan;

2. Ketentuan-ketentuan eksplisit disusun untuk menjamin kepastian pendapatan dan

pembiayaan (misalnya, melalui trust fund atau dana perwalian);

3. Biaya-biaya tersebut diperoleh melalui pajak atau premi yang dibayar oleh peserta,

meskipun bisa juga dicari alternatif sumber dana lainnya;

4. Program ini diarahkan untuk sejumlah orang yang telah ditentukan jumlahnya

sebelumnya dan partisipasi bersifat wajib, atau program ini disubsidi oleh para

individu yang dinilai memiliki kapasitas memadai untuk membantu pendanaannya.

Skema asuransi sosial seringkali juga dimaknai sebagai program untuk memindahkan

resiko-resiko yang semula ditanggung oleh masyarakat kepada organisasi lain atau

pemerintah yang secara normatif ditetapkan sebagai penyedia pelayanan. Program-program

yang termasuk dalam skema asuransi sosial ini, antara lain: asuransi kesehatan, penyediaan

pensiun, tunjangan bagi penganggur, dll.

Inti gagasan dari skema asuransi sosial adalah bagaimana negara (melalui pemerintah)

dapat berperan untuk memberi jaminan standar pelayanan minimal untuk seluruh warganya.

Permasalahan pendidikan yang terutama dihadapi oleh Jawa Barat adalah tingginya angka

putus sekolah, yang ditandai terus menurunnya Angka Partisipasi Murni (APM) pada ketiga

level pendidikan. APM jenjang SD/sederajat pada tahun 2006 sebesar 94,21%. APM

SLTP/sederajat lebih rendah lagi, yaitu sekitar 62,13%, sedangkan jenjang SLTA/sederajat

hanya 37,84%. Artinya anak-anak yang lulus SD hanya sekitar 2/3 yang melanjutkan

pendidikan tingkat SLTP dan hanya 1/3 yang melanjutkan kembali pada tingkat

SLTA/sederajat (Statistik Pembangunan Jabar, 2007).

Di antara Kabupaten-Kota di Jawa Barat, Kota Bekasi memiliki APM SLTA/sederajat

yang tertinggi, yaitu sekitar 2/3 anak usia 16-18 tahun telah bersekolah. Kota Bandung, Kota

Sukabumi, Kota Cimahi, Kota Depok, Kota Cirebon dan Kota Banjar masing-masing sekitar

51%. Untuk Kabupaten Majalengka, Sumedang, Bogor, Sukabumi, Ciamis, Karawang dan

Tasikmalaya umumnya hanya 1/3 atau kurang yang bersekolah. Bahkan di Kabupaten

Cianjur hanya sekitar 20% yang bersekolah di tingkat SLTA. Umumnya mereka menjadi

pengangguran terbuka, bekerja membantu orang atau menjadi setengah pengangguran.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa capaian pembangunan pendidikan di berbagai

(7)

yang berbeda, juga perbedaan dalam komitmen politik para pemimpin daerahnya. Pemerintah

provinsi harus dapat mengoreksi perbedaan capaian pembangunan pendidikan ini untuk

meminimalkan kesenjangan antarkabupaten/kota. Mengacu pada kewenangan provinsi dalam

bidang pendidikan, pemerintah provinsi dapat memfokuskan perannya pada perumusan

kebijakan strategis untuk memfasilitasi Kab/Kota dengan afirmative action. Skema asuransi

pendidikan diharapkan dapat menjadi alternatif afirmative action untuk mengoreksi

kesenjangan capaian pendidikan antarkabupaten/kota.

Anggaran pendidikan di level provinsi dapat digunakan untuk mendanai asuransi

pendidikan, atau bisa juga bersumber dari pajak yang dikelola provinsi. Skema asuransi

pendidikan dapat dipadukan dengan sistem earmarking seperti yang diterapkan di Amerika

Serikat dan negara-negara Eropa Barat. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, selain dengan

transfer dana dari Pusat ke Daerah, sektor pendidikan dibiayai dengan property tax (analog

dengan Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia) yang merupakan pajak daerah. Jadi,

tinggi-rendahnya tarif property tax ditentukan oleh besar-kecilnya kebutuhan pendanaan pendidikan

di daerah tersebut. Jika suatu daerah ingin pembangunan pendidikannya lebih baik

dibandingkan daerah lain, secara sadar mereka tahu bahwa itu artinya mereka harus

membayar property tax yang lebih tinggi.

Untuk penerapan di Jawa Barat, tentunya sumber pajak yang akan digunakan harus

disesuaikan dengan kewenangan pajak yang dikelola provinsi sebagaimana diatur dalam UU

No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah. Di antara jenis-jenis pajak yang dikelola provinsi, tampaknya Pajak

Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sangat potensial untuk

digunakan dalam menopang berjalannya skema asuransi pendidikan. Pendapatan dari sektor

pajak ini terus meningkat dengan pesat, tetapi di level kabupaten/kota seringkali muncul

masalah karena banyak pengguna kendaraan membayar pajak ini ke daerah A tetapi lebih

banyak menggunakan fasilitas transportasi di daerah B. Dengan menggunakan sebagian

pendapatan dari pajak ini untuk asuransi pendidikan yang dikelola provinsi, maka

permasalahan lintas kabupaten/kota ini dapat diminimalkan karena daerah memperoleh

kompensasi dalam bentuk pelayanan pendidikan.

Penggunaan asuransi pendidikan juga dapat disesuaikan dengan prioritas pemasalahan

yang akan ditangani lebih dahulu. Misalnya untuk periode 2008-2013, prioritas adalah

penanganan putus sekolah sampai tingkat SMA, maka skema asuransi pendidikan disusun

untuk menangani kelompok sasaran daerah-daerah yang tingkat putus sekolahnya tinggi

(8)

penting untuk menunjang keberhasilan skema asuransi pendidikan, sehingga koordinasi

dengan kabupaten/kota hingga ke level desa/kelurahan mutlak diperlukan.

Untuk jangka panjang, skema asuransi pendidikan dapat terus dikembangkan, namun

pada prinsipnya, skema ini dapat menjadi alternatif untuk mengoptimalkan penggunaan

anggaran pendidikan, khususnya untuk menjamin standar pelayanan minimal dalam

penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, ada kepastian bagi setiap anggota

masyarakat apapun kemampuan sosial ekonominya untuk memperoleh pelayanan pendidikan,

minimal hingga SMA misalnya, dengan standar yang telah diatur dalam perda tentunya.

Dengan demikian, untuk menunjang penerapan skema asuransi pendidikan, sejumlah faktor

perlu disiapkan, antara lain: pertama, perda yang mengatur ketentuan-ketentuan sumber

pendanaan, manfaat, prasyarat, dan aspek-aspek lainnya dari program asuransi pendidikan,

termasuk mekanisme kemitraan dengan pelaku usaha. Dana-dana corporate social

responsibility, misalnya, dapat diintegrasikan dalam skema asuransi sosial (termasuk dalam

asuransi pendidikan), sehingga lebih akuntabel dan jangkauan dampaknya lebih luas. Kedua,

harus ada basis data yang aktual dan dapat diandalkan validitasnya sebagai dasar untuk

menghitung besaran premi dan kompensasi pelayanan pendidikan yang akan diberikan. Basis

data ini tidak hanya menyangkut kejelasan alokasi dana pendidikan yang tersedia, tapi juga

jumlah anak-anak usia sekolah yang akan menjadi tanggungan dalam program asuransi

pendidikan ini. Jangan sampai terjadi kesalahan target dalam pemberian asuransi pendidikan.

Ketiga, mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban yang transparan dan akuntabel

dalam pengelolaan asuransi pendidikan, misalnya melalui audit rutin, sehingga kemungkinan

penyimpangan atau kendala dapat segera diatasi.

Skema asuransi pendidikan yang disusun oleh provinsi pada dasarnya adalah untuk

menjamin pelayanan minimal bagi seluruh daerah kabupaten/kota, sehingga bentuk maupun

mekanismenya masih dapat dikembangkan, sehingga dalam jangka panjang bisa saja

dikembangkan skema asuransi pendidikan sebagai matching program dengan yang dibuat

kabupaten/kota. Namun, prinsipnya, provinsi wajib mengupayakan agar tidak terjadi

kesenjangan dalam capaian pelayanan pendidikan di wilayahnya, terutama dalam capaian

standar pelayanan minimal pendidikan, baik dari sisi fasilitas, ketersediaan SDM pendidik,

dan kualitas output yang dihasilkan.

Gambar

Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 4 menjelaskan model konseptual yang dilakukan pada perancangan perbaikan layanan E-commerce Cotton.go dengan menggunakan metode QFD (Quality Function Deployment).. Gambar

Secara umum proses sertifikasi mencakup : peserta yang telah memastikan diri kompetensinya sesuai dengan standar kompetensi untuk paket/okupasi Operator Kran Jembatan s/d

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah hasil belajar siswa kelas XI.IA.1 di MAN 1 Aceh Timur dengan penerapan model pembelajaran Probing Prompting berbasis

d. Sasaran dan strategi jangka menengah/panjang Perseroan. Merekomendasikan kepada Dewan Komisaris mengenai calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi

Berkaitan dengan pemberdayaan anak yatim, maka dalam hal ini akan dilakukan penelitian yang lebih fokus pada pelayanan pemberdayaan anak yatim pada lembaga Amil Zakat

Seperti telah dijelaskan pada bab 1, dimana pada studi ini ditentukan suatu simpang yang mempunyai komposisi arus lalu lintas tiap lengan yang bervariasi mulai dari kendaraan

Seluruh data yang terkumpul akan dikupas pada pembahasan sekaligus menjawab pertanyaan penelitian tentang penggunaan prinsip-prinsip Islam dalam mendidik lanjut usia

Yang dimaksud dengan "sesuai ketentuan dapat menerima lebih dari 1 (satu) Tunjangan Hari Raya" adalah sesuai ketentuan pemberian Tunjangan Hari Raya seorang