1
Bab I
Pendahuluan
A.Latar Belakang Masalah
Secara umum isu hukum yang ingin dikaji oleh penelitian ini adalah normativitas keberlakuan hukum internasional dalam sistem hukum nasional melalui pengadilan domestik di mana konstitusinya tidak memiliki ketentuan eksplisit mengenai isu tersebut. Secara khusus isu hukum ini adalah tentang praktik penggunaan hukum internasional oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) dalam melakukan pengujian konstitusionalitas undang-undang. Hal ini menarik untuk diteliti karena ketiadaan otorisasi konstitusional secara eksplisit telah menyebabkan keberagaman praktik di Indonesia sehingga menimbulkan satu pertanyaan mendasar: “Is international law legal or abusive to national law?” Penelitian ini ingin menjawab bahwa hukum internasional dapat diberlakukan secara sah oleh pengadilan nasional Indonesia (dalam hal ini MK RI) meskipun tidak didasari adanya ketentuan konstitusional secara eksplisit.
“When interpreting the Bill of Rights, a court, tribunal or forum: (a) mustpromote the values that underlie an open and democratic society based on human dignity, equality and freedom; (b) must consider international law; and (c) may consider foreign law.”
Konstitusi Afrika Selatan mempreskripsi supaya lembaga peradilan menggunakan pertimbangan hukum internasional dan hukum negara asing untuk menginterpretasithe Bill of Rights dalam putusannya. Contoh lain dapat ditemukan dalam konstitusi negara Amerika Serikat, Timor Leste, Rusia, Belanda, Perancis, Jepang dan Jerman.1 Konstitusi negara-negara tersebut memberi ruang kepada hukum internasional untuk dapat digunakan dalam forum domestiknya.
Tidak seperti negara-negara di atas, Konstitusi Indonesia tidak mengatur posisi hukum internasional dalam sistem hukum nasional. Konstitusi Indonesia hanya mengatur kewenangan Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengadakan perjanjian internasional 2 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perjanjian Internasioal tanpa
1 Article 6 The Constitution of the United States of America,
Section 9 Constitution of the Democratic Republic of Timor-Leste,Article 15 (4) The Constitution of the Russian Federation, Article 94 The Constitution of the Kingdom of the Netherlands, Article 55 the Constitution of the Fifth Republic (France), Article 98 (2) The Constitution of Japan, Article 25 Constitution of German Democratic Republic.
2 Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
3
menjelaskan posisi hukum internasional dalam sistem hukum nasional. Meski demikian, praktik
para hakim Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (MK RI) dalam menerapkan hukum internasional kerap kali muncul, tercermin dalam putusan-putusannya dalam menjalankan fungsinya sebagai the interpreter of Constitution di bidang
pengujian undang-undang. 3 Penelitian yang
dilakukan Diane Zhang menunjukkan bahwa selama tahun 2003-2008, terdapat 78 kasus pengujian undang-undang terhadap 56 jenis undang-undang dimana 86% atau berjumlah 62 putusan MK RI merujuk pada 813 rujukan asing berupa kasus hukum, hukum internasional dan domestik, praktik hukum, tulisan akademik, dan lain-lain.4
Sebagai contoh, Putusan MK RI No. 2-3/PUU-V/2007 mengenai konstitusionalitas hukuman mati yang menunjukkan bahwa hakim MK RI telah menginterpretasi hak untuk hidup (the right to life)
yang secara eksplisit tertulis pada Pasal 28A
Konstitusi dengan pertimbangan hukum
internasional. Terlepas dari kontroversi hukuman
mati, nyatanya para hakim MK RI telah
menginterpretasi the right to life tersebut dengan
3Pasal 24C Undang-Undang Dasar Repubik Indonesia Tahun
1945 memberikan kewenangan terhadap MKRIuntuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk (salah satunya) menguji Undang terhadap Undang-Undang Dasar.
4Diane Zhang, “The Use and Misuse of Foreign Materials by the
pertimbangan hukum internasional perjanjian internasional seperti Universal Declaration of Human Rights, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Protocol Additional I to the 1949 Conventions and Relating to the Protection ofVictims of International Armed Conflict, Protocol Additional II to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict, Rome Statute of International Criminal Court, Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (European Convention on Human Rights), American Convention on Human Rights, Protocol No. 6 to the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms Concerning the Abolition of the Death Penalty, Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, Statute of International Court of Justice
serta melakukan perbandingan praktik negara di Singapura dan Malaysia.
5
tersebut ternyata belum mampu memberi jawaban atas dasar normativitas hukum internasional yang berlaku di Indonesia. 5 Hal tersebut dikarenakan adanya inkonsistensi cara pandang terhadap normativitas hukum internasional pada tataran praktik yang kemudian menghasilkan sengketa doktrinal antara monist dan dualist 6 untuk menjustifikasi keterikatan negara Indonesia dengan hukum internasional. Ini menjadi tahapan keberlanjutan dari kebimbangan dalam menentukan dasar normativitas hukum internasional dalam sistem hukum nasional.
Selain menjawab isu hukum di atas, penelitian ini juga ingin memberikan kontribusi pada perkembangan sistem hukum di Indonesia dalam kaitan dengan keberlakuan hukum internasional. Penulis memahami bahwa hakim MK RI dalam menjalankan fungsinya sebagai the Interpreter of Constitution, kerap menggunakan pertimbangan hukum internasional untuk menginterpretasi Konstitusi dalam pengujian undang-undang di Indonesia terutama dalam kasus mengenai hak asasi manusia. Tindakan MK RI tersebut memerlukan justifikasi terutama pada aspek normativitas dari hukum internasional itu sendiri.
Kata “normativitas” yang dimaksud di sini adalah daya normatif atau mengharuskan dari hukum internasional dalam konteks penerapan atau
5Ibid, hlm. 7-9.
6Tim Hillier, Sourcebook On Public International Law, London:
keberlakuan pada ranah atau forum domestik. Dalam konteks demikian maka tesis atau argumen yang hendak dipertahankan penelitian ini adalah dasar keharusan (normativitas) dari keterikatan Indonesia terhadap hukum internasional, termasuk dalam hal ini MKRI, memiliki kausa halal yaitu internalisasi hukum internasional sebagai dikte hukum (bukan sekadar preferensi politik). Internalisasi hukum internasional di sini mengandung tuntutan perlunya konstitusi dipahami dalam perspektif hukum internasional meskipun tidak didukung oleh ketentuan konstitusional yang ekplisit dalam UUD NRI 1945 sendiri. Kata “normativitas” ini dibedakan dengan kata “aplikabilitas” yang digunakan dalam Bab IV dimana kata “aplikabilitas” dimaksudkan untuk menjelaskan penerapan dari normativitas hukum internasional secara konkret pada aras domestik, yakni dalam penelitian ini adalah pengadilan nasional MK RI. Dengan demikian, orientasi dari penelitian ini adalah menjabarkan (breakdown) tesis atau argumen penelitian tersebut.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, maka isu sentral penelitian ini adalah dasar normativitas keterikatan Indonesia terhadap hukum internasional, khususnya dalam pengujian undang-undang oleh MKRI, untuk menginterpretasi Konstitusi dengan
menggunakan hukum internasional. Untuk
7
penulis kaji dalam penelitian ini yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Teori monisme-dualisme dan teori
internasionalisme sebagai penjelasan atas isu kedudukan hukum internasional di depan pengadilan domestik.
2. Perbandingan antara teori monisme-dualisme dan teori internasionalisme dalam menjawab isu kedudukan hukum internasional di depan pengadilan domestik.
3. Aplikabilitas teori internasionalisme sebagai dasar normativitas hukum internasional untuk menjawab isu kedudukan hukum internasional di depan pengadilan domestik di Indonesia, dalam hal ini penggunaan hukum internasional oleh MK RI dalam rangka interpretasi konstitusi.
C. Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan teori monisme-dualisme dan teori internasionalisme dalam memandang hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional
secara umum dan kedudukan hukum
internasional di depan pengadilan domestik secara khusus;
3. Menjelaskan bahwa teori internasionalisme dapat diberlakukan di Indonesia sebagai dasar normativitas hukum internasional untuk menjawab isu kedudukan hukum internasional di depan pengadilan domestik di Indonesia, dalam hal ini penggunaan hukum internasional oleh MK RI dalam rangka interpretasi konstitusi di mana berdasarkan kajian terhadap konstitusi Indonesia dapat ditemukan pemikiran yang mendukung posisi teori tersebut.
D. Orisinalitas Penelitian
9
teori internasionalisme sebagai dasar normativitas hukum internasional dalam hukum nasional.
E. Landasan Teori : Teori Internasionalisme dan Teori Monisme-Dualisme
Pada Sub-judul ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi landasan berpikir dalam memahami hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional, terutama untuk isu
international law before municipal courts (kedudukan hukum internasional di depan pengadilan nasional). Dalam pembahasan ini penulis menggunakan satu varian teori yang disebut teori internasionalisme sebagai alternatif untuk teori tradisional yaitu teori monisme-dualisme dalam menjelaskan normativitas hukum internasional. Isu normativitas hukum internasional tersebut timbul berkenaan dengan
berbeda-bedanya praktik hukum nasional
berkenaan dengan isu kedudukan hukum
internasional di depan pengadilan domestik, di mana perbedaan tersebut biasa dijelaskan dengan apakah negara menganut teori monisme atau teori dualisme.7
7 Pengadilan Inggris menggunakan hukum internasional
Oleh karena itu, karena kelemahan dalam penjelasan teoretis yang diberikan oleh teori monisme-dualisme tersebut maka penulis berusaha mencari alternatif lain yang di sini disebut teori internasionalisme. Yang dimaksud dengan teori internasionalisme tersebut mencakup pandangan dari perspektif hukum internasional8 maupun dari perspektif hukum nasional (hukum konstitusional)9 terkait dengan keterikatan suatu negara terhadap hukum internasional sehingga sebagai implikasinya pengadilan nasional didorong untuk memberikan kontribusi positif terhadap hukum internasional tersebut melalui penggunaan hukum internasional oleh pengadilan domestik jika suatu kasus atau
perkara mengandung dimensi hukum
internasional.10
Sementara itu, secara singkat, teori monisme menitikberatkan pada pemikiran bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu kesatuan dalam sistem hukum yang terintegrasi dan seharusnya dianggap sebagai suatu manifestasi dari
8 Dalam hal ini teori transnational legal process yang
dikemukakan oleh Harold Hongju Koh.
9 Dalam hal ini teori international constitution yang
dikemukakan oleh Sarah Cleveland.
10 Transnational legal process dalam kasus demikian
11
kesatuan konsep hukum. 11 Sedangkan teori
dualisme menekankan bahwa sistem hukum
internasional dan hukum nasional berada pada tempat yang terpisah dan independen.12
Pada level praktik di pengadilan nasional yang menghasilkan suatu putusan hakim, teori monisme-dualisme memiliki teknik aplikasi berbeda. Pertama,
teori monisme menggunakan teori incorporation yang juga sering disebut sebagai teori adoption. Teori ini
menerangkan bahwa aturan dalam hukum
internasional menjadi hukum nasional tanpa kebutuhan untuk teknik pengadopsian aturan tersebut. 13 Partsch menjelaskan teori adopsi merupakan tindakan negara untuk membuat hukum internasional dapat diterapkan di hukum nasional tanpa mengubah dasar hukumnya. 14 Teknik inkorporasi ini menghasilkan suatu klasifikasi jenis hukum yang bersifat self-executing,
atau dengan istilah lain direct effect atau direct enforceable, dimana self-executing treaty bersifat dapat diterapkan secara langsung dalam sistem
11 Hersch Lauterpacht, International Law: Collected Papers,
London: Cambridge University Press, 1970, hlm. 216. Inti terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, teori monoisme memiliki karakter: 1) Ia menyangkal adanya dua hukum yang berbeda; 2) Pada dasarnya, kedua hukum tersebut merupakan perintah yang mengikat para subyek hukum yang secara independen atas kehendak mereka; 3) Hukum internasional dan hukum nasional jauh dari kata berbeda, bahwa ia harus dianggap sebagai manifestas konsep tunggal hukum.
12Malcolm N. Shaw, Op.Cit,. hlm. 131.
13 Martin Dixon, Textbook on International Law, London:
Blackstone Press Limited, 1993, hlm. 74.
14Damos Dumoli Agusman, Treaties Under Indonesian Law: A
hukum nasional.15 Contoh kasus Sei Fujii vs. State
dimana putusannya menganggap bahwa the
California Alien Land Law tidak berlaku dan mendiskriminasi pemilik tanah berkebangsaan Jepang dan dinyatakan bertentangan dengan ketentuan hak asasi manusia dalam United Nations (UN) Charter. Kasus tersebut menyatakan bahwa ketentuan UN Charter tersebut adalah self-executing.
Kedua, teori dualisme menggunakan teori
transformation dalam memandang aplikabilitas hukum internasional. Teori transformation pada dasarnya adalah salah satu bentuk dari positivist-dualist16yang memandang bahwa “International law
is not ipso facto part of municipal law”17. Case Regina
vs. Keyn (1876) mendefinisikan transformation
sebagai suatu proses legislasi yang dibutuhkan untuk mengubah hukum internasional menjadi bagian dari the law of the land.18Dengan demikian,
transformation mengharuskan hukum internasional diekspresikan dan ditransformasikan ke dalam
hukum nasional sesuai dengan instrumen
konstitutional yang benar. Jenis hukum yang menggunakan teori transformation adalah yang bersifat non-self-executing. Non-self-executing
dimaknai sebagai ketiadaan daya eksekusi tanpa
alat tambahan yang digunakan untuk
15Ibid, hlm. 101.
16Malcolm N. Shaw, Op.Cit., hlm. 105. 17Martin Dixon, Op.Cit., hlm. 74.
13
menerapkannya. 19 Wright mencoba untuk
mengklasifikasi perjanjian non-self-executing sebagai berikut:
1) Treaty provisions dealing with finances; 2) Treaty provisions which require for their performance detailed supplementary legislation or specific acts which the Constitution provides shall be performed by Congress (e.g., incorporation of territory, organization of offices and courts, and declaration of war); 3) Treaty provisions which are by nature self-executing, but because of historical tradition and constitutional interpretation require legislation to be executed (e.g., treaties defining crimes).20
Klasifikasi di atas membagi jenis ketentuan treaty
yang dikategorikan sebagai non-self-executing yakni
yang berhubungan dengan keuangan, yang
membutuhkan legislasi tambahan untuk
pelaksanaannya, dan yang secara alamiah bersifat
self-executing namun membutuhkan legislasi untuk dilaksanakan oleh karena tradisi sejarah dan interpretasi konstitusionalnya. Contoh kasusnya adalah ketika hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat yaitu Judge Marshall memutus kasus Foster vs. Neilson. 21 Kasus tersebut memutus bahwa perjanjian antara Amerika Serikat dan Spanyol dalam amity, settlement, and limits adalah perjanjian yang non-self-executing. Alasannya adalah terdapat frasa “shall be ratified and confirmed” (harus diratifikasi dan dikonfirmasi) di dalam ‘bahasa kontrak’.
19Ibid, hlm. 107. 20Ibid.,hlm. 111.
Keseluruhan teori di atas merupakan konstelasi teori yang menggambarkan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional pada umumnya. Dalam pembahasan ini perlu dipahami lebih dulu bahwa landasan teori di atas sekadar bersifat sebagai background dan penjelasan awal terhadap isu teoretis mengenai hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional karena dalam pembahasan selanjutnya hal itu akan menjadi objek kritisisme penulis. Dengan demikian, sebagai landasan teori, teori monisme-dualisme tidak penulis posisikan sebagai preskripsi untuk argumen yang akan penulis bangun (misalnya untuk mengklaim apakah Indonesia monis atau dualis), tetapi hanya sekadar pembahasan yang bersifat informatoris atas isu yang ada secara umum.
F. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum dengan orientasi penelitian pada tataran teori konstitusi dan teori hukum internasional. Penelitian ini secara spesifik bertujuan untuk menemukan suatu teori hukum selain teori monisme-dualisme sebagai preskripsi untuk menjawab isu normativitas
keterikatan suatu negara terhadap hukum
internasional, terutama normativitas penerapan hukum internasional oleh pengadilan domestik tanpa didukung oleh dasar konstitusional yang eksplisit.
15
perbandingan. Pendekatan yang utama digunakan adalah pendekatan konseptual (conceptual approach)
untuk memecahkan rumusan masalah penelitian dengan teori-teori maupun konsep-konsep yang dikemukakan oleh para ahli hukum. Sesuai dengan pendekatan tersebut maka bahan hukum yang akan digunakan di sini adalah treatise atau ajaran yang dikemukakan oleh ahli-ahli hukum (yuris konstitusional dan internasional). Pendekatan kedua adalah pendekatan perbandingan (comparative approach). Dalam pendekatan perbandingan ini
kasus atau putusan-putusan yudisial dan
perundang-undangan negara lain akan diacu dalam mengkonstruksikan argumen penelitian ini.
G. Sistematika
Bab I penelitian ini menjelaskan latar belakang masalah yang kemudian memunculkan isu-isu hukum yang dijabarkan dalam rumusan masalah. Selain itu juga memuat tentang tujuan dan manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, landasan teori, dan metode penelitian yang digunakan.
Bab II akan berbicara mengenai elaborasi kedua teori klasik yaitu teori monisme dan teori dualisme dalam menjelaskan keterikatan negara terhadap hukum internasional. Selain itu elaborasi lanjutan dilakukan untuk mendeskripsikan teori
internasionalisme yang memiliki konsep
menunjukkan kelemahan yang dimilikinya masing-masing.
Bab III membahas mengenai perbandingan antara teori monisme-dualisme dan teori internasionalisme. Bab ini akan spesifik menjelaskan kelemahan sifat teoritis pada teori monisme-dualisme yang menyebabkan minimnya daya keterikatan suatu negara terhadap hukum internasional yang berakibat inkonsistensi dalam praktiknya. Oleh sebab itu, teori monisme dan teori dualisme dipandang tidak memadai dalam memberi penegasan keterikatan negara terhadap hukum internasional. Lebih lanjut dijelaskan bahwa teori internasionalisme merupakan teori yang lebih memadai ketimbang teori monisme dan teori dualisme karena ia memiliki karakter yang lebih kuat sehingga daya keterikatan negara lebih kuat, jelas, dan tegas pada praktiknya di lembaga-lembaga negara seperti MK RI.
17
keinginan untuk patuh terhadap hukum