PENDAHULUAN
Penyesuaian perkawinan merupakan serangkaian usaha untuk mengenali
dan membiasakan diri pada kehidupan perkawinan, melalui proses adaptasi,
modifikasi dan mengubah pola-pola yang bersifat individual menjadi pola-pola
perilaku pasangan (DeGenova & Rice, 2005). Penyesuaian perkawinan penting
dilakukan dengan harapan tiap individu dapat mencapai kepuasan dan
kebahagiaan dalam perkawinan. Konsep penyesuaian perkawinan yang
menyertakan dua individu menurut kesediaan dua pasangan untuk
mengakomodasi berbagai kebutuhan, keinginan, dan harapan pasangan lainnya.
Penyesuaian perkawinan berarti mencapai taraf yang baik dalam kenyamanan
relasi yang diperoleh melalui saling memberi dan mengambil. Hal ini tidak berarti
bahwa penyesuaian diri merupakan suatu kondisi absolud, namun lebih kepada
suatu proses yang berlanjut (Sadarjoen, 2005).
Pasangan suami istri melakukan penyesuaian untuk hidup bersama secara
harmonis. DeGenova & Rice (2005) menyatakan bahwa dalam penyesuaian
perkawinan ada yang disebut dengan tugas penyesuaian perkawinan.Tugas
penyesuaian perkawinan merupakan bidang perhatian dalam perkawinan dimana
penyesuaian perlu dilakukan.Dalam tugas penyesuaian perkawinan terdapat 12
area yang mencakup penyesuaian yang harus diwujudkan dalam
perkawinan.Tugas-tugas tersebut adalah dukungan emosional, penyesuaian
seksual, kebiasaan pribadi, peran gender, keuangan, pekerjaan dan prestasi,
kehidupan sosial termasuk persahabatan dan rekreasi bersama keluarga,
Penyesuaian menjadi hal penting dalam sebuah perkawinan dan akan
berdampak pada keberhasilan serta keharmonisan rumah tangga (Anjani &
Suryanto, 2006). Keberhasilan penyesuaian perkawinan yang sangat berpengaruh
pada kepuasan dalam perkawinan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ada
faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian perkawinan pada suami istri. Dyer (1983)
menyatakan bahwa faktor sosial dan demografis berhubungan dengan
penyesuaian perkawinan. Faktor sosial dan demografis tersebut salah satunya
adalah usia.
Perkawinan beda usia dimana pria lebih muda dari wanita sedikit menggeser
budaya di masa lalu. Umumnya dalam sebuah perkawinan usia pria lebih tua dari
usia wanita. Usia suami yang lebih tua dipercaya akan membawa perkawinan ke
arah yang lebih baik, mengingat peran suami dalam sebuah keluarga adalah
menjadi pemimpin dalam rumah tangga dan keluarga. Suami yang lebih tua dari
istri diharapkan akan dapat memberikan bimbingan kepada keluarga dengan
bijaksana (Walgito, 2000).
Kondisi perkawinan dimana suami lebih muda dari istri atau sebaliknya
belum tentu terbebas dari masalah-masalah. Masalah-masalah dalam kehidupan
perkawinan juga dapat merupakan sumber persoalan yang sering membawa akibat
yang cukup rumit. Ketika usia istri lebih tua dari suami, maka perkembangan
psikologis dari istri jauh akan mencapai kematangan lebih dahulu. Dengan
demikian besar kemungkinannya pandangan, sikap, maupun pendapat mengenai
membawa kesulitan, karena memang alam perkembangannya berbeda (Walgito,
2000).
Di samping perkembangan psikologis dari istri yang jauh akan mencapai
kematangan terlebih dahulu, juga dapat dilihat dari kemampuan dalam bidang
fisiologis. Istri akan lebih dahulu menurun bila dibandingkan dengan suami
khususnya dalam bidang seksual. Bila suami tidak dapat mengerti tentang keadaan
tersebut, hal itu akan merupakan sumber persoalan dalam kehidupan keluarga
yang bersangkutan (Walgito, 2000). Sedangkan dalam penelitiannya, Yahya &
Zahra (2011) menyebutkan bahwa kepuasan seksual menjadi prediktor terkuat
dalam penyesuaian perkawinan. Ketika pasangan suami istri memiliki kegiatan
seksual yang optimal dan lebih memperhatikan kebutuhan seksual pasangan,
mereka memiliki penyesuaian perkawinan yang lebih baik.
Fatimah (2012) menemukan bahwa perbedaan usia antara pasangan
memberikan pengaruh signifikan untuk keberhasilan proses penyesuaian
perkawinan. Sebagian besar masalah yang timbul terjadi padapasangan dengan
perbedaan usia lebih dari 6 tahun. Pasangan yang memiliki rentang perbedaan usia
yang terlalu besar dapat memengaruhi perbedaan sudut pandang dan prinsip hidup
bagi setiap pasangan. Selain itu, kondisi lingkungan juga memengaruhi
kemampuan seseorang dalam pertimbangan, penerimaan terhadapperbedaan, dan
meningkatkan manfaat untuk keberhasilan proses penyesuaian di antara mereka.
Kondisi dimana pria memilih wanita yang usianya lebih tua sebagai
pasangan hidup atau sebaliknya wanita memilih pria yang usianya lebih muda
(2010) menyebutkan bahwa ada faktor sosial dan ekonomi yang memengaruhi
seseorang untuk memilih pasangan dengan perbedaan usia. Pria memili wanita
yang usianya lebih tua karena wanita memiliki status sosial yang baik dan
ekonomi yang mapan.Begitu pula sebaliknya ketika wanita memilih pria yang
usianya jauh lebih muda.
Ketika usia istri lebih tua dari suami, kemungkinan timbulnya permasalahan
dalam keluarga akan lebih terbuka (Walgito, 2000). Selisih usia antara suami dan
istri yang sangat banyak akan membuat banyak perbedaan dan dapat
menyebabkan masalah mulai dari hubungan, rasa, dan cara memandang suatu
peristiwa atau hal tertentu. Wim Groot & Henriette (2002) mengatakan bahwa
perbedaan usia antara suami dan istri turut memengaruhi kepuasan terhadap
kehidupan perkawinan. Sedangkan kepuasan perkawinan dapat dicapai bila ada
penyesuaian perkawinan yang baik.
Dari paparan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang
penyesuaian perkawinan pada istri yang melakukan perkawinan beda usia dimana
usia istri lebih tua dari usia suami.
Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana
gambaran penyesuaian perkawinan pada istri yang menikah dengan perbedaan
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan melihat gambaran mengenai penyesuaian
perkawinan yang dilakukan pada istri yang menikah beda usia dalam kehidupan
perkawinannya.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan
ilmu pengetahuan di bidang psikologi perkawinan dan keluarga. Sedangkan dari
segi praktisnya dapat memberikan informasi kepada pasangan suami istri yang
menikah dengan perbedaan usia mengenai kemungkinan permasalahan yang
dihadapi.
PENYESUAIAN PERKAWINAN 1. Pengertian penyesuaian perkawinan
Penyesuaian perkawinan diartikan sebagai proses modifikasi, adaptasi, serta
mengubah pola-pola individu kedalam pola perilaku dan interaksi sebagai
pasangan guna mencapai kepuasan maksimal dalam hubungan suami istri
(DeGenova & Rice, 2005).
2. Aspek penyesuaian perkawinan
Menurut DeGenova & Rice (2005), penyesuaian perkawinan mencakup 12 area
yang harus diwujudkan dalam perkawinan, yaitu:
a. Pemenuhan dan dukungan emosional
1). Belajar untuk memberi dan menerima perhatian dan cinta
3). Memberikan dukungan emosional, membangun semangat, pemenuhan
kebutuhan ego
b. Penyesuaian seksual
1). Belajar untuk memberikan kepuasan, pemenuhan kebutuhan seksual satu
sama lain
2). Bekerja di luar mode, sikap atau perilaku, waktu, serta ekspresi seksual
3). Menggunakan sarana pengontrol kelahiran yang tepat.
c. Kebiasaan pribadi
1). Menyesuaikan pada kebiasaan pribadi masing-masing, perkataan,
kebersihan, sikap atau perilaku, pola makan, tidur
2). Meghilangkan atau mengubah kebiasaan pribadi yang mengganggu
masing-masing
d. Peran gender
1). Menetapkan peran pasangan di dalam dan diluar rumah
2). Bekerja di luar peran gender dalam hubungan untuk menghasilkan
pendapatan, perawatan rumah, mengurus rumah tangga, mengurus anak
e. Materi, keuangan
1). Memilih tempat tinggal: area geografi, lingkungan sekitar, tipe rumah
2). Melengkapi dan mengurus rumah
3). Perolehan pendapatan dan pengelolaan uang
f. Pekerjaan, prestasi
1). Mencari, seleksi, mempertahankan pekerjaan
3). Bekerja di luar jadwal ketika salah satu dari pasangan bekerja
4). Mengatur perhatian kepada anak ketika salah satu pasangan bekerja
g. Kehidupan sosial, pertemanan, rekreasi, hiburan
1). Memilih dan menjalin pertemanan, kegiatan sosial
2). Mengunjungi teman bersama pasangan
3). Memutuskan tipe, frekuaensi aktivitas sosial sebagai individu dan
sebagai pasangan
h. Keluarga
1). Membangun hubungan kekerabatan dengan ipar, mertua
2). Kompromi dengan keluarga
i. Komunikasi
1). Mengungkapkan dan mengkomunikasikan ide, kecemasan, perhatian,
kebutuhan
2). Saling mendengarkan satu sama lain dan bicara satu sama lain dengan
cara yang konstruktif
j. Kekuatan / kekuasaan, pengambilan keputusan
1). Memperoleh keseimbangan dalam status, kekuatan / kekuasaan
2). Belajar untuk membuat, menjalankan, melaksanakan keputusan
3). Kerjasama dalam mengambil keputusan
k. Konflik, pemecahan masalah
1). Belajar untuk mengidentivikasi penyebab konflik
2). Mengatasi konflik
4). Meminta bantuan jka diperlukan
l. Moral, nilai, ideologi
1). Memahami / mengerti, menyesuaikan pada moral individu, nilai, etnis,
kepercayaan, filosofi, dan tujuan hidup
2). Menetapkan nilai bersama, tujuan,filosofi
3). Menyesuaikan dan menerima keyakinan / agama masing-masing
4). Membuat keputusan dalam kaitannya dengan agama
3. Faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian perkawinan
Dyer (1983) juga menyatakan bahwa faktor sosial dan demografis
berhubungan dengan penyesuaian perkawinan. Faktor sosial dan demografis
tersebut adalahusia,agama, ras, pendidikan, dan keluarga.
B. PERKAWINAN BEDA USIA 1. Pengertian perkawinanbeda usia
Perkawinan adalah suatu ikatan antara pria dan wanita sebagai suami
isteri berdasarkan hukum (UU), hukum agama atau adat istiadat yang berlaku
(Hawari, 2006).
Menurut Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun
1974) yang dimaksud dengan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ikatan lahir-batin, yang berarti bahwa dalam perkawinan itu perlu adanya
ikatan tersebut pada keduanya. Ikatan lahir adalah merupakan ikatan yang
menampak, ikatan formal sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada. Ikatan
formal ini adalah nyata, baik yang mengikat dirinya yaitu suami dan istri,
maupun bagi orang lain yaitu masyarakat luas. Ikatan batin adalah ikatan yang
tidak nampak secara langsung, tetapi merupakan ikatan psikologis. Antara
suami dan isteri harus ada ikatan ini, harus saling mencintai satu sama lain dan
tidak adanya paksaan dalam perkawinan. Bila perkawinan dengan paksaan,
tidak adanya cinta kasih satu dengan yang lain, maka berarti bahwa dalam
perkawinan tersebut tidak ada ikatan batin (Walgito, 2010).
Dugerdil et al. (2006) menjelaskan mengenai arti perbedaan usia dalam
hubungan perkawinan. Perbedaan usia diartikan sebagai rata-rata selisih usia
antara laki-laki dan perempuan dimana salah satu pasangan adalah yang lebih
muda atau yang lebih tua. Suami bisa saja lebih tua dari istri atau lebih muda
dari istri.
Atas dasar pendapat-pendapat atau rumusan-rumusan tersebut dapatlah
dikatakan bahwa perkawinan beda usia adalah ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dan seorang wanita; sebagai suami-istri atas dasar cinta dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang MahaEsa dengan kondisi selisih usia yang
2. Tujuan perkawinan
Tujuan perkawinan implisit di dalam rumusan tentang pengertian
perkawinan sebagaimana diuraikan di muka. Lebih jelasnya, dalam pasal 1
Undang-Undang Perkawinan tersebut dikemukakan bahwa tujuan perkawinan
adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan tujuan perkawinan tersebut
mengisyaratkan bahwa tujuan kedua individu yang melakukan perkawinan itu
haruslah sama. Kalau sampai terdapat tujuan yang berbeda, tentu saja perlu
mendapatkan perhatian yang serius, karena tujuan yang tidak sama antara
suami dan isteri akan merupakan sumber permasalahan dalam keluarga.
Di samping tujuan yang akan dicapai harus sama antara suami dan isteri,
kebahagiaan dalam keluarga perlu dijadikan arah dan bila perlu dijadikan target
yang harus dicapai. Menurut Erich Fromm hidup bahagia itu adalah kriteria
bagi kehidupan yang utama, bagi kehidupan yang etis. Itulah seni hidup yang
paling sukar. Jika kondisi itu tercapai, dapat dikatakan bahwa hidup kita telah
berhasil sebagai hidup yang produktif, yang sangat besar manfaatnya, hidup
yang banyak amalnya, yang tidak konsumtif sebagai parasit yang hidup dari
usaha orang lain.
3. Faktor yang memengaruhi perkawinan beda usia
Lawton & Calister (2010) menjelaskan ada faktor yang memengaruhi
perkawinan beda usia. Ada faktor sosial dan ekonomi yang memengaruhi
seseorang untuk memilih pasangan dengan perbedaan usia. Pria memilih
dan ekonomi yang mapan.Begitu pula sebaliknya ketika wanita memilih pria
yang usianya jauh lebih muda.
4. Permasalahan pada perkawinan beda usia
Walgito (2010) menyebutkan bahwa ketika usia istri lebih tua dari suami,
maka perkembangan psikologis dari istri jauh akan mencapai kematangan lebih
dahulu. Sehingga dengan demikian besar kemungkinannya pandangan, sikap,
maupun pendapat mengenai sesuatu akan jauh berbeda.
Adanya perbedaan pandangan, sikap, pendapat akan membawa kesulitan,
karena memang alam perkembangannya berbeda. Di samping itu juga dapat
dilihat dari kemampuan dibidang fisiologis. Istri akan lebih dahulu menurun
bila dibandingkan dengan suami khususnya dalam hubungan seksual. Bila
suami tidak dapat mengerti tentang keadaan tersebut, hal itu akan merupakan
sumber persoalan dalam kehidupan keluarga yang bersangkutan.
PENYESUAIAN PERKAWINAN PADA ISTRI YANG MENIKAH DENGAN PERBEDAAN USIA (USIA ISTRI LEBIH TUA DARI SUAMI)
Kondisi dimana pria memilih wanita yang usianya lebih tua sebagai
pasangan hidup atau sebaliknya wanita memilih pria yang usianya lebih muda
sebagai pasangan hidup dipengaruhi oleh beberapa faktor. Selisih usia antara
suami dan istri yang sangat banyak akan membuat banyak perbedaan dan dapat
menyebabkan masalah mulai dari hubungan, rasa, dan cara memandang suatu
peristiwa atau hal tertentu. Wim Groot & Henriette (2002) mengatakan bahwa
kehidupan perkawinan. Sedangkan kepuasan perkawinan dapat dicapai bila ada
penyesuaian perkawinan yang baik.
Hüseyin & Ebru (2013) mengungkapkan bahwa kelompok yang memiliki
penyesuaian perkawinan yang baik, mereka memiliki relasi yang lebih baik
dengan pasangan mereka. Mereka juga memiliki hubungan yang baik dengan
keluarga dan keluarga pasangan Dalam penelitian ini juga diungkapkan bahwa
kelompok yang memiliki penyesuaian perkawinan yang baik memiliki
kemampuan menyelesaikan permasalahan perkawinan yang baik.
METODE PENELITIAN 1. Metode Penelitian
Metode kualitatif dengan partisipan dalam penelitian ini adalah wanita yang
sudah menikah, usia istri lebih tua dari suami dengan selisih lebih dari 6 tahun,
dan usia perkawinan antara 1 sampai 10 tahun
2. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini ialah penyesuaian perkawinan pada istri yang menikah
dengan perbedaan usia lebih dari 6 tahundimana usia istri lebih tua dari usia
suami.
3. Sumber Data Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu mengetahui bagaimana gambaran
mengenai penyesuaian perkawinan yang dilakukan pada istri yang menikah
beda usia dalam kehidupan perkawinannya, maka sumber data dalam penelitian
atau perilaku yang dimunculkan partisipan dalam proses wawancara yang
memiliki makna tertentu.
4. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan wawancara dan
observasi.
5. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan selama dua bulan dari tanggal 18 Mei 2014 sampai
tanggal 20 Juni 2014. Penelitian ini dilakukan di rumah masing-masing
partisipan yaitu di Semarang dan di Ambarawa.Sebelum melakukan
wawancara peneliti menghubungi partisipan untuk menanyakan kesediaan
partisipan kapan partisipan bisa untuk diwawancarai.Dalam penelitian ini, data
hanya diperoleh dari istri.
Wawancara dilakukan dengan partisipan masing-masing dua kali.Waktu
yang digunakan dalam tiap kali wawancara 60 menit.Pertemuan ke dua
merupakan wawancara lanjutan. Hal ini dilakukan karena peneliti merasa perlu
untuk menggali lebih dalam pertanyaan-pertanyaan yang dinilai peneliti masih
perlu digali lebih spesifik lagi. Wawancara lanjutan ini dilakukan setelah
peneliti mendengarkan rekaman dan menuliskan hasil wawancara dalam
bentuk verbatim.
6. Analisis Data
Dalam penelitian ini, analisis data yang dilakukan yaitu: menjadikan satu
verbatim wawancara; mengkategorisasikan dan mengklasifikasikan data
berdasarkan aspek-aspek penyesuaian perkawinan; analisis data.
7. Uji Keabsahan Data
Uji keabsahan data yang digunakan ialah triangulasi dengan sumber
berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu
informasi (Moleong, 2002), yaitu dengan membandingkan hasil pengamatan
dengan hasil wawancara, membandingkan data yang diberikan partisipan
dengan pendapat orang lain yang mengenal partisipan (suami), melakukan
member check atau diskusi dengan partisipan tentang hasil penelitian yang bertujuan untuk mengklasifikasikan atau menyelaraskan maksud peneliti
dengan maksud partisipan terhadap suatu pernyataan dan hasil yang diperoleh,
serta untuk memastikan apakah data yang diperoleh perlu untuk ditambah atau
dikurangi oleh partisipan
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Partisipan 1
1. Identitas dan latar belakang
Partisipan adalah seorang ibu rumah tangga berinisial S dan berusia 28
tahun. Ia tinggal di kota Semarang. Usia perkawinannya 3 tahun dengan
kondisi perbedaan usia 6 tahun dimana partisipan lebih tua dari suaminya.
Dalam kehidupan perkawinannya, partisipan dan suami dikaruniai seorang
Partisipan merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan
terakhir partisipan sekolah menengah atas. Partisipan dan suami berpacaran
selama dua tahun. Pacaran dijalani partisipan dengan cara backstreet, tanpa sepengetahuan orang tua karena partisipan tidak diijinkan untuk berpacaran.
Tidak ada keterbukaan mengenai usiaantara partisipan dan suami pada saat
pacaran. Sehingga ketika partisipan hamil di luar nikah dan akan menikah
dengan suami muncul perasaaan kaget ketika mengetahui bahwa usia suami
lebih muda dari istri. Kondisi ini memengaruhi kesiapan suami dan istri dalam
menikah.Menikah menjadi sebuah pertanggungjawaban karena istri hamil
terlebih dahulu, bukan suatu kesepakatan dan keputusan yang dibicarakan oleh
kedua belah pihak keluarga.
2. Hasil
Permasalahan yang paling mencolok adalah hubungan dengan orang tua,
komunikasi, kebiasaan pribadi, dan keuangan. Kondisi perkawinan ini
membuat timbulnya rasa kecewa pada ayah istri dan berpengaruh pada
hubungan dengan keluarga kecilnya karena ayah belum bisa menerima kondisi
ini.Setelah kelahiran anak, kondisi mulai berubah. Ayah sudah bisa menerima
kehadiran cucu. Namun sampai sekarang keluarga besar istri masih kerap kali
menanyakan kepada istri mengapa memilih yang lebih muda.
Pribadi yang sama-sama memiliki sifat diam dalam keluarga ini
memberikan efek yang tidak baik dalam keluarga ini.Kebiasaan saat pacaran
yaitu melakukan komunikasi hanya seperlunya saja masih dibawa sampai
yang berkaitan dengan anak saja. Selama menikah, istri merasa apa yang
dikomunikasikan dengan suami menjadi percuma karena suami hanya diam
dan tidak memberikan respon. Hal ini mengakibatkan munculnya ketidak
pedulian antara suami dan istri karena tidak adanya keterbukaan satu sama lain.
Sehingga pemenuhan serta dukungan emosional tidak tampak dalam keluarga
ini. Seolah-olah mereka menjalankan kewajiban apa yang harus dijalankan
saja.
Keuangan juga menjadi masalah dalam keluarga karena pekerjaan suami
yang penghasilannya sedikit dan tidak menentu ditambah kebiasaan suami dari
pacaran sampai sekarang yang menghambur-hamburkan uang untuk membeli
rokok, miras dan mabuk-mabukan dengan teman-temannya. Kebiasaan pribadi
pasangan yang tidak menyenangkan hati dihadapi partisipan dengan lebih
banyak diam.
Kepentingan anak menjadi faktor yang memengaruhi suami untuk
melakukan perubahan dan memengaruhi partisipan untuk melakukan
penyesuaian. Sedangkan sifat diam dan tertutup menjadi faktor penghambat.
Partisipan 2
1. Identitas dan latar belakang
Partisipan adalah seorang ibu rumah tangga berinisial E dan berusia 45
tahun. Ia tinggal di kota Ambarawa. Usia perkawinannya 7 tahun dengan
Dalam kehidupan perkawinannya, partisipan dan suami dikaruniai seorang
anak.
Partisipan merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan
terakhirnya adalah sarjana dan memiliki karier yang baik dalam pekerjaan.
Pengalaman traumatis akan kegagalan dalam menuju perkawinan di masa lalu
memengaruhi partisipan dalam memilih pasangan. Partisipan menjadi lebih
selektif dalam memilih pasangan.Pertemuan tidak sengaja dengan suami
membawa pada hubungan perkawinan yang berlanjut hinggga sekarang.
Awal hubungan partisipan dengan suami sudah penuh konflik. Perbedaan
usia dan perbedaan agama menjadi masalah bagi istri untuk melanjutkan
hubungan menuju perkawinan. Melihat keseriusan suami, serta sikap suami
yang menerima perbedaan keyakinan akhirnya mereka pun menikah.Namun
dalam perkawinan ini partisipan merasa antara yakin dan tidak yakin bahwa
sudah menikah dan bisa menjalani perkawinan, partisipan hanya menjalaninya
saja.
2. Hasil
Pemasalahan yang paling mencolok adalah kebiasaan pribadi, keuangan,
dan hubungan dengan mertua dan ipar. Kebiasaan suami dari pacaran sampai
pada saat sudah menikahdimana suami suka pergi tanpa pamit turut
menyumbang timbulnya konflik dalam keluarga.Masalah ekonomipun juga,
karena gaji istri lebih tinggi, suami sering kali tidak memberikan nafkahnya
bagi istri, sering bolos kerja. Hal ini juga memengruhi hubungan istri dengan
keluarga suaminya karena istri memiliki gaji yang besar karena kedudukannya
yang tinggi di kantor. Sampai pada akhirnya suami menjual cincin kawin untuk
mencukupi keuangan keluarga karena istri sudah tidak lagi bekerja.Setelah istri
tidak lagi bekerja serta kebutuhan yang semakin banyak setelah kelahiran anak,
suami mulai ada perubahan. Suami menjadi lebih rajin dalam bekerja. Ada
perubahan dalam hal kebiasaan pribadi suami. Adanya komunikasi yang
terbuka antara suami dan istri menjadi cara yang ampuh untuk menyelesaikan
setiap konflik yang muncul.
PEMBAHASAN
Dengan merujuk kembali pada tujuan penelitian yaitu melihat gambaran mengenai
penyesuaian perkawinan yang dilakukan pada istri yang menikah beda usia dalam
kehidupan perkawinannya, berikut merupakan ulasan dari kedua partisipan.
Pemenuhan dan dukungan emosional
Kedua partisipan memiliki caranya masing-masing dalam mengekspresikan
perhatian dan cintanya kepada pasangan. Partisipan 1, karena memiliki latar
belakang sifat yang sama dengan suaminya yaitu diam, tidak banyak komunikasi
yang dilakukan membuat ia tertutup dan lebih banyak menyimpan segala
sesuatunya sendiri. Partisipanmerasa apa yang dikomunikasikan dengan suami
menjadi percuma karena suami hanya diam dan tidak memberikan respon. Hal ini
mengakibatkan munculnya ketidak pedulian antara suami dan istri karena tidak
adanya keterbukaan satu sama lain. DeGenova & Rice (2005) menyatakan bahwa
kecemasan, perasaan, sikap dan keyakinan. Sehingga pemenuhan serta dukungan
emosional tidak tampak dalam keluarga ini.
Partisipan 2 memiliki upaya untuk mendekatkan diri secara emosional
kepada suaminya. Hal ini dilakukan dengan cara bekerja sama dalam setiap hal,
memiliki waktu untuk sharring bersama suaminya. Tindakan ini melahirkan kedekatan, keintiman, empati dan saling membutuhkan satu sama lain.Partisipan
juga seringkali menunjukkan perhatiannya kepada suami dengan tindakan.
Penyesuaian seksual
Kebutuhan seksual merupakan kebutuhan fisiologis dan sifatnya mendasar
dalam hirarki kebutuhan Maslow. Kebutuhan ini setara dengan kebutuhan makan
dan minum, oleh sebab itu pemenuhan pun menjadi prioritas sebelum pemenuhan
kebutuhan lainnya. Hal ini disadari sepenuhnya oleh kedua sebjek, namun ada
beberapa keterbatasan dalam proses pemenuhannya.
Ada kesamaan antara partisipan 1 dan partisipan 2, tanggung jawab untuk
mengasuh anak menjadi kendala dalam pemenuhan kebutuhan seksual. Beardsley
dan Sanford (1994, dalam Anjani & Suryanto, 2006) menyatakan bahwa pasangan
suami istri yang telah memiliki anak akan lebih mencurahkan kasih sayangnya
kepada anak sehingga tidak memiliki waktu untuk bersama dengan pasangan.
Kecemasan tentang anak akan membelokkan perhatian istri dari seks mungkin
karena kelelahan. Kedua partisipan merasa bahwa perbedaan usia tidak
memengaruhi aktivitas seksualnya, hanya saja kehadiran anak di tahun pertama
Upaya penyesuaian pada kedua partisipan memiliki kesamaan, yaitu mereka
tidak membuat jadwal khusus, tetapi lebih disesuaikan dengan kondisi
masing-masing. Pada partisipan 1 dan partisipan 2 sama-sama melakukan aktivitas seksual
sesuai permintaan suami. Namun yang menjadi perbedaan partisipan 2 memiliki
inisiatif untuk menawarkan diri. Ketika sedang tidak ingin melakukan aktivitas
seksualpun kedua partisipan sama-sama menolak dengan cara yang halus dan
memberikan alasan. Dengan begitu suami dapat mengerti kondisi partisipan ketika
sedang tidak ingin melakukan aktivitas seksual.
Kebiasaan pribadi
Kebiasaan adalah perilaku yang dibawa sejak kecil dan cenderung menetap
hingga dewasa. Permasalahan mengenai kebiasaan pribadi menimbulkan dampak
pada perkawinan kedua partisipan. Pada partisipan 1, kebiasaan suami yang gemar
merokok dan mabuk-mabukan saat pacaran dan masih terbawa sampai ke
perkawinan membawa permasalahan baru, yaitu masalah ekonomi. Pendapatan
suami yang tidak pasti dan kecil jumlahnya tidak diimbangi dengan pengeluaran
yang ada. Kebiasaan tersebut bukan hanya merugikan, namun juga menyebabkan
ketidakstabilan pemasukan untuk membiayai kebutuhan rumah tangga. Untuk
menyiasati kebiasaan suaminya, partisipan memberikan larangan
minum-minuman keras dan memberikan batasan jumlah rokok yang dikonsumsi oleh
suami. Dalam hal ini ada upaya dari suami untuk berkompromi dengan cara
memberikan semua penghasilan kepada partisipan, ketika suami ingin membeli
puntebih terkontrol.Partisipan sekarang juga merasa ada perubahan dari suami
terutama setelah kelahiran anak.
Pada partisipan 2 kebiasaan suami yang suka main tanpa pamit menjadi
sumber konflik. Partisipan sering kali marah-marah karena kebiasaan suaminya
itu. Untuk menyiasatinya, partisipanmemberikan pelajaran kepada suami dengan
cara mengambil sikap yang sama dengan suami yaitu pergi tanpa pamit. Setelah
itu partisipan bersama suami saling mengkomunikasikan apa saja perasaan yang
muncul ketika salah satu dari mereka pergi tanpa pamit. Karena suami bisa
merasakan apa yang dirasakan istrinya, suami mulai melakukan perubahan. Saat
ini partisipan merasa ada perubahan dari suami. Partisipan merasa suami lebih
jujur dan terbuka.
Hampir semua perkawinan akan mengalami kekagetan terhadap kebiasaan
suami. Disini dapat dilihat adanya kontribusi pasangan dalam menyesuaikan diri.
Salah satu faktor penghambat penghambat penyesuaian perkawinan ialah tidak
bisa menerima kebiasaan pasangan dan memaksakan kehendak untuk merubah
pasangan seperti yang diinginkan (Anjani & Suryanto, 2006)
Peran gender
Hoffman & Nye (1974, dalam Anjani & Suryanto, 2006)
menyorotipenyesuaian perkawinan berdasarkanpembagian tugas rumah tangga
antara suamiistri. Wanita biasanya ditugaskan untukmengurus rumah tangga,
mengasuh danmerawat anak karena dianggap cocok bagi kondisi psikologis dan
dilayani dan dihormatioleh istri. Hal ini lah yang terjadi pada partisipan 1. Semua
pekerjaan rumah tangga serta pengasuhan anak menjadi tanggung jawab
partisipan. Sedangkan tugas suami hanya bekerja dan mencari nafkah.
Kondisi ini berbeda dengan yang dialami oleh partisipan 2. Ada pertukaran
peran gender antara partisipan dengan suaminnya. Tidak ada pembagian pekerjaan
yang harus dilakukan. Masing-masing memiliki kesadaran untuk saling membantu
dan bekerja sama dalam mengurus rumah tangga dan membesarkan anak. Hanya
saja pemenuhan keuangan keluarga menjadi tanggung jawab suami karena
sekarang istri sudah pensiun dan tidak lagi bekerja.
Materi dan keuangan
Kondisi perkawinan yang disertai dengan permasalahan keuangan membuat
kedua partisipan harus memiliki strategi pengelolaan keuangan yang baik.
Stroraasli dan Markman (1990, dalam DeGenova & Rice, 2005) menempatkan
persoalan keuangan sebagai masalah yang paling tinggi prosentasinya pada tahun
pertama perkawinan. Pada penelitian ini, didapati perbedaan sumber pemasukan,
biaya yang harus ditanggung dan cara pengelolaan menjadikan cara penyesuaian
kedua partisipan pun berbeda.
Sumber keuangan partisipan 1 berasal dari pendapatan suami. Pendapatan
suami yang tidak menentu dan kecil jumlahnya ditambah dengan kebiasaan suami
yang gemar merokok dan mabuk-mabukan menyebabkan partisipan harus pandai
mengelola keuangan dalam keluarga. Kondisi keuangan yang seperti ini tidak
partisipan harus berkontribusi menambah penghasilan keluarga. Mencari uang
tambahan dengan berjualan makanan dan minuman di rumahnya dilakukan
partisipan untuk menutupi kekuran keuangan. Sekarang keuangan lebih tertata
karena ada usaha dari suami untuk berkompromi dengan menyerahkan semua
pendapatan kepada istri yang juga merupakan usaha suami untuk mengurangi
kebiasaanya merokok dan mabuk-mabukan.
Pada partisipan 2, sumber keuangan berasal dari kedua belah pihak karena
keduanya sama-sama bekerja. Namun karena istri memiliki kedudukan yang
tinggi dikantornya, penghasilan istripun lebih besar dari penghasilan suami.
Kondisi ini menimbulkan konflik karena suami kerap kali tidak memberikan
nafkah untuk istri dan anak, tetapi kerap kali menggunakan uang tabungan istri
untuk hal-hal yang tidak jelas. Namun seiring berjalannya waktu, karena sekarang
istri sudah tidak lagi bekerja, suami menjadi lebih giat lagi bekerja untuk
memenuhi segala kebutuhan rumah tangga dan keuangan hanya bersumber dari
suami.
Pekerjaan dan prestasi
Pekerjaaan yang dimiliki menentukan seberapa besar penghasilan yang
dimiliki keluarga untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Pekerjaan yang
diambil dan siapa yang bekerja dalam keluarga juga turut memengaruhi. Untuk
urusan pekerjaan, partisipan 1 sebenarnya memiliki keinginan untuk bekerja
suami. Karena penghasilan yang didapat kecil, partisipan sering memberi
masukan tentang pekerjaan lain yang mungkin dapat diambil oleh suami.
Lain halnya dengan partisipan 2. Partisipan 2 bersama suami sama-sama
meiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Namun karena partisipan mengajukan
pensiun dini untuk merawat ibunya, bekerja untuk mencari nafkah sekarang
menjadi tanggung jawab suami.
Kehidupan sosial, pertemanan, rekreasi, dan hiburan
Kedua partisipan sama-sama mengetahui dan kenal dengan teman-teman
suami, begitu pula dengan suami yang mengetahui dan kenal dengan teman-teman
istrinya. Kedua partisipan juga memiliki hubungan yang baik dengan
teman-temannya. Teman-teman partisipan 1 sering berkunjung dan berkumpul dirumah
partisipan. Tidak ada batasan yang diberikan partisipan terhadap kehidupan
sosialnya bersama suami. Partisipan dan suami juga sering meluangkan waktu
untuk rekreasi bersama anak.
Partisipan 2 merasa bangga pada suami yang tidak malu kepada
teman-temannya untuk mengakui bahwa usianya lebih muda dari partisipan. Sifat
terbuka yang dimiliki oleh partisipan dan suami membawa pengaruh yang positif
dalan kehidupan sosial mereka. Relasi dengan teman-teman pun terjaga dengan
baik karena mereka saling mengetahui satu sama lain teman-teman
masing-masing. Partisipan bersama suami juga sering meluangkan waktu untuk berekreasi
Keluarga
Masa perkenalan selama berpacaran ternyata memengaruhi kedekatan
interaksi antara orang tua, keluarga, mertua, dan ipar. Hal ini juga berlaku pada
perkawinan yang dijalani partisipan.
Pengalaman partisipan 1, karena pacaran backstreet dan hamil diluar nikah membuat ia bersama suaminya sama-sama belum saling mengenal keluarga
masing-masing. Kondisi ini mempersulit keduannya untuk saling mendekatkan
dengan keluarga pasangan karena kekecewaan yang dirasakan oleh kedua belah
pihak keluarga. Terutama ayah partisipan yang merasa kecewa dengan partisipan
karena sebenarnya partisipan tidak dibolehkan untuk pacaran.
Sebaliknya, pada partisipan 2, meskipun awal hubungan partisipan dengan
suami sudah penuh konflik mengenai perbedaan yang ada yaitu perbedaan usia,
perbedaan keyakinan, dan perbedaan pendapatan, partisipan merasa bahwa kedua
belah pihak keluarga bisa menerima ia besama suami sebagai anggota keluarga.
Perasaan ini muncul ketika ibu mertua bersedia hadir dalam acara pemberkatan
perkawinan yang diadakan di gereja dan melepas hijabnya.
Namun ada kesamaan antara partisipan 1 dan partisipan 2 yang menjumpi
kesulitan dalam menjalin hubungan dengan kerabat dan ipar. Respon dari keluarga
partisipan 1 kerap kali menimbulan perasaan yang tidak enak pada partisipan.
Keluarga masih kerap kali menanyakan kepada partisipan mengapa memilih
laki-laki yang usianya jauh lebih muda. Pada partisipan 2, partisipan merasa bahwa
bahwa dirinya dianggap sebagai ATM berjalan karena ia memiliki penghasilan
Komunikasi
DeGenova & Rice (2005) menyatakan bahwa perkawinan yang berhasil
terjadi ketika pasangan dapat mengkomunikasikan ide, kecemasan, perasaan,
sikap dan keyakinan. Namun pada partisipan 1 tidak terlihat adanya komunikasi
yang baik yang dilakukan dengan suami. Sifat diam yang dimiliki partisipan dan
suami sangat menghambat proses komunikasi yang efektif. Terlebih ada perasaan
kecewa pada diri partisipan dan anggapan bahwa melakukan komunikasi dengan
suami menjadi suatu hal yang percuma karena tidak adanya respon dari suami.
Sampai sekarang pun partisipan masih belum bisa terbuka dengan suami.
Partisipan hanya mengkomunikasikan hal-hal yang berkaitan dengan anak saja.
Berbeda dengan partisipan 2. Sifat terbuka yang dimiliki oleh keduanya
menjadikan proses komunikasi lebih efektif. Baik partisipan maupun suami tidak
pernah ragu untuk mengkomunikasikan hal-hal apa saja pada pasangannya. Hal
ini didukung oleh masing-masing pihak yang selalu memberikan respon sehingga
proses komunikasi menjadi efektif.
Kekuatan dan kekuasaan
Kedua partisipanmemiliki kedudukan yang sama dalam keluarga. Tidak ada
salah satu diantara partisipan dan pasangan yang lebih menonjol. Yang menjadi
prioritas adalah anak, bagaimana mememenuhi kebutuhan anak dan mengatur
Konflik dan pemecahan masalah
Konflik yang mucul bisa dari berbagai sumber dan dengan berbagai bentuk.
Keuangan menjadi sumber konflik yang dihadapi oleh kedua partisipan. Kedua
partisipan sama-sama menganggap bahwa konflik yang terjadi bisa diredakan asal
ada kemuaan dan kesadaran diri bukan karena bantuan orang lain Kedua
partisipan menunjukkan cara yang berbeda dalam menyelesaikan konflik.
Partisipan 1 mengambil tindakan diam untuk meredakan amarah
masing-masing. Ketika semua tenang, mereka mulai mengkomunikasikan apa yang
dirasakan.Partisipan 2 cenderung lebih meledak-ledak emosinya. Ia kerap kali
marah-marah ketia menghadapi permasalaah. Namun pada saat itu pula
permasalahan diselesaikan dan saling meminta maaf satu sama lain.
Peneliti juga melihat suami partisipan2 lebih memiliki usaha untuk
menyelesaikan konflik. Suami partisipan 1 lebih banyak diam dan terkesan
menghindar ketika istri mengajak berdiskusi mengkomunikasikan permasalahan
yang ada. Sehingga permasalahan yang ada kerap kali tidak terselesaikan dan
tidak mendapatkan solusi dan pada akhirnya dibiarkan begitu saja. Sedangkan
suami partisipan 2 memiliki inisiatif untuk mengajak berbicara dan belajar
mengalah serta berani mengakui kesalahan dan meminta maaf.
Moral, nilai, dan ideologi
Kedua partisipan sama-sama mengajarkan nilai-nilai keagamaan yang
mereka anut. Partisipan 1 dan suaminya yang beragama Islam mengajarkan
memiliki latar belakang perbedaan agama. Burgess & Cotrell (1939, dalam Dyer
1983)menyatakan bahwa meskipun perselisihanagama hanya memainkan peran
kecil dalammembangun rumah tangga, tetapi terdapat hubungan positif antara
kesamaan agamadan kebahagiaan perkawinan. Karena suami merasa tidak
mendampingi anak dan istrinya secara batin, suami memutuskan untuk memeluk
agama yang sama dengan partisipan 2 yaitu Katolik. Partisipan 2 kini merasa
kehidupan perkawinannya lebih bahagia setelah suaminya memeluk agama yang
sama dengannya. Ia bersama suami juga mengajarkan nilai-nilai sesuai denan
ajaran agamannya.
Dari pembahasan tersebut, didapati hasil yang berbeda karena kedua
partisipan memiliki latar belakang yang berbeda dilihat dari usia saat menikah,
agama, latar belakang pendidikan, dan latar belakang perkawinan.
KESIMPULAN
1. Pemenuhan dan dukungan emosional sangat diperlukan guna melahirkan
kedekatan, keintiman, empati dan saling membutuhkan satu sama lain. Ketika
pasangan dapat mengkomunikasikan ide, kecemasan, perasaan, sikap dan
keyakinan maka keberhasilan perkawinan dapat dicapai.
2. Pemenuhan kebutuhan seksual menjadi masalah yang sulit dilakukan oleh
kedua partisipan. Hal ini dipengaruhi oleh kehadiran anak pada tahun pertama
perkawinan.Kedua partisipan tidak membuat jadwal khusus untuk melakukan
3. Kebiasaan pribadi suami masing-masing partisipan pada saat masih lajang
memberikan pengaruh pada kehidupan perkawinan. Masing-masing
partisipan memiliki cara yang efektif untuk menyesuaikan diri pada kebiasaan
pribadidengan melakukan kompromi bersama pasangan.
4. Kesadaran untuk saling membantu dan bekerjasama dalam mengurus rumah
tangga dan mebesarkan anak sangat dibutuhkan sehingga tidak menutup
kemungkinan adanya pertukaran peran gender dalam keluarga. Dengan
demikian penyesuaian perkawinan dapat terjadi jika ada hubungan timbal
baik yang baik.
5. Kesulitan menyesuaikan diri dalam masalah keuangan disebabkan oleh
adanya ketidakseimbangan antara pemasukan yang didapat dengan biaya
yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Berjualan makanan
dan minuman serta menggabungkan pendapatan dilakukan untuk
menyesuaikan dengan kondisi keuangan.
6. Pekerjaaan yang dimiliki menentukan seberapa besar penghasilan yang
dimiliki keluarga untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Pekerjaan yang
di ambil dan siapa yang bekerja dalam keluarga juga turut memengaruhi
terjadinya penyesuaian dalam hal keuangan.
7. Adanya penerimanan dari lingkungan sosial mengengai perkawinan beda usia
membuat partisipan dan suami lebih mudah menyesuaikan diri dengan
8. Masa perkenalan selama berpacaran ternyata memengaruhi kedekatan
interaksi antara orang tua, keluarga, mertua, dan ipar.Hal ini menentukan
seberapa erat hubungan antara partisipan, suami dan keluarga.
9. Komunikasi yang efektif memberikan pengaruh pada jalannya penyesuaian
dengan pasangan. Respon komunikatif sangat diperlukan dalam membangun
kedekatan bersama pasangan.
10. Anak menjadi priortas dalam keluarga kedua partisipan. Kedudukan yang
sama dalam keluarga memungkinkan adanya kerja sama dalam memenuhi
kebutuhan dan mengatur masa depan anak.
11. Komunikasi merupakan strategi yang efektif dalam menyelesaikan konflik.
Selain itu diperlukan juga inisiatif untuk mengajak berbicara dan belajar
mengalah serta berani mengakui kesalahan dan meminta maaf.
12. Kesamaan agama yang dianut memudahkan partisipan untuk mengajarkan
nilai-nilai agama pada anak dan menciptakan kebahagiaan dalam perkawinan
karena adanya pendampingan secara batin.
SARAN
Saran yang dapat peneliti berikan dari penelitian ini antara lain:
Untuk penelitian selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa
penyesuaian perkawinan belum berjalan maksimal disebabkan beberapa hal
seperti kebiasaan pribadi, keuangan, hubungan dengan orang tua, mertua dan ipar,
dan komunikasi. Peneliti merekomendasikan beberapa faktor tersebut untuk dicari
lebih mendalam. Peneliti juga merekomendasikan adanya penelitian lanjutan
DAFTAR PUSTAKA
Anjani, C., & Suryanto. (2006). Pola penyesuaian perkawinan pada periode awal. Insan Media Psikologi, 8, 198-210.
Burgess, E. W. & Locke, H. J. (1971).The Family (4th edition).Canada : Van NostrandReinhold Co.
DeGenova, M. K, & Rice, F.P. (2005). Intimate, relationship, marriages and family (6th Ed). USA: McGraw Hill.
Dugerdil, Sauvain. C, Mascie-Taylor. N, Leridon. H. (2006). Human clocks: the bio-cultural meanings of age, population, family, and society Vol 5. Peter Lang Bern
Duvall, E.M.,& Miller, B.C. 1985. Marriage and family development.(9th Ed). New York : Harper & Row Publishers.
Dyer, E.D,. (1983). Courtship, marriage, and family: american style. Illionis: TheDorsey Press.
Ebenua, E.E.O. (2011). Environmental factors as preictors of marital adjustment among married persons in delta state of nigeria: implication for conselling Practice. Jurnal Psychology, 2 (1): 29-35
Fatimah, P.L.R. 2012. Improvement on marital satisfaction by using quality approach. Jurnal of Social Sciences and Humanities 7 :133-148
Groot, W & Henriette, M. 2002. Age and education differences in marriages and their effects on life satisfaction. Journal of Happiness Studies 3: 153-165
Hawari, D. (2006). Marriage counseling (Konsultasi perkawinan). Jakarta: Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia
Hüseyin, B & Ebru, C. (2013). Factors related with marital adjustment. Eurasian Journal of Educational Research, Issue 53/A, 297-312
Kazemi, Y & Nikmanesh, Z. (2011). Predictors of marital adjustment: the communication skills and sexual satisfaction. Jurnal of the Indian Academy of Applied Psychology 3: 162-168
Lasswel, M., & Lasswel, T. 1987.Marriage &The Family. 2nd Edition.California : Wadsworth Publishing Co.
Lawton, Z & Callister. P. 2010. Older women-younger men relationships: the social phenomenonof ‘cougars’. A Research Note. Institute of policy studies Meleong, L.J. (1989). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya
Mulyana, D. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Sadarjoen, S. S. (2005). Konflik Marital: Pemahaman Konseptual, Aktual dan Alternatif Solusi. Bandung: PT. Refika Aditama
Soetjiningsih, C. H. (2012). Kumpulan Handout Psikologi Keluarga. Salatiga: Fakultas Psikologi UKSW.