• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802009045 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802009045 Full text"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Penyesuaian perkawinan merupakan serangkaian usaha untuk mengenali

dan membiasakan diri pada kehidupan perkawinan, melalui proses adaptasi,

modifikasi dan mengubah pola-pola yang bersifat individual menjadi pola-pola

perilaku pasangan (DeGenova & Rice, 2005). Penyesuaian perkawinan penting

dilakukan dengan harapan tiap individu dapat mencapai kepuasan dan

kebahagiaan dalam perkawinan. Konsep penyesuaian perkawinan yang

menyertakan dua individu menurut kesediaan dua pasangan untuk

mengakomodasi berbagai kebutuhan, keinginan, dan harapan pasangan lainnya.

Penyesuaian perkawinan berarti mencapai taraf yang baik dalam kenyamanan

relasi yang diperoleh melalui saling memberi dan mengambil. Hal ini tidak berarti

bahwa penyesuaian diri merupakan suatu kondisi absolud, namun lebih kepada

suatu proses yang berlanjut (Sadarjoen, 2005).

Pasangan suami istri melakukan penyesuaian untuk hidup bersama secara

harmonis. DeGenova & Rice (2005) menyatakan bahwa dalam penyesuaian

perkawinan ada yang disebut dengan tugas penyesuaian perkawinan.Tugas

penyesuaian perkawinan merupakan bidang perhatian dalam perkawinan dimana

penyesuaian perlu dilakukan.Dalam tugas penyesuaian perkawinan terdapat 12

area yang mencakup penyesuaian yang harus diwujudkan dalam

perkawinan.Tugas-tugas tersebut adalah dukungan emosional, penyesuaian

seksual, kebiasaan pribadi, peran gender, keuangan, pekerjaan dan prestasi,

kehidupan sosial termasuk persahabatan dan rekreasi bersama keluarga,

(2)

Penyesuaian menjadi hal penting dalam sebuah perkawinan dan akan

berdampak pada keberhasilan serta keharmonisan rumah tangga (Anjani &

Suryanto, 2006). Keberhasilan penyesuaian perkawinan yang sangat berpengaruh

pada kepuasan dalam perkawinan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ada

faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian perkawinan pada suami istri. Dyer (1983)

menyatakan bahwa faktor sosial dan demografis berhubungan dengan

penyesuaian perkawinan. Faktor sosial dan demografis tersebut salah satunya

adalah usia.

Perkawinan beda usia dimana pria lebih muda dari wanita sedikit menggeser

budaya di masa lalu. Umumnya dalam sebuah perkawinan usia pria lebih tua dari

usia wanita. Usia suami yang lebih tua dipercaya akan membawa perkawinan ke

arah yang lebih baik, mengingat peran suami dalam sebuah keluarga adalah

menjadi pemimpin dalam rumah tangga dan keluarga. Suami yang lebih tua dari

istri diharapkan akan dapat memberikan bimbingan kepada keluarga dengan

bijaksana (Walgito, 2000).

Kondisi perkawinan dimana suami lebih muda dari istri atau sebaliknya

belum tentu terbebas dari masalah-masalah. Masalah-masalah dalam kehidupan

perkawinan juga dapat merupakan sumber persoalan yang sering membawa akibat

yang cukup rumit. Ketika usia istri lebih tua dari suami, maka perkembangan

psikologis dari istri jauh akan mencapai kematangan lebih dahulu. Dengan

demikian besar kemungkinannya pandangan, sikap, maupun pendapat mengenai

(3)

membawa kesulitan, karena memang alam perkembangannya berbeda (Walgito,

2000).

Di samping perkembangan psikologis dari istri yang jauh akan mencapai

kematangan terlebih dahulu, juga dapat dilihat dari kemampuan dalam bidang

fisiologis. Istri akan lebih dahulu menurun bila dibandingkan dengan suami

khususnya dalam bidang seksual. Bila suami tidak dapat mengerti tentang keadaan

tersebut, hal itu akan merupakan sumber persoalan dalam kehidupan keluarga

yang bersangkutan (Walgito, 2000). Sedangkan dalam penelitiannya, Yahya &

Zahra (2011) menyebutkan bahwa kepuasan seksual menjadi prediktor terkuat

dalam penyesuaian perkawinan. Ketika pasangan suami istri memiliki kegiatan

seksual yang optimal dan lebih memperhatikan kebutuhan seksual pasangan,

mereka memiliki penyesuaian perkawinan yang lebih baik.

Fatimah (2012) menemukan bahwa perbedaan usia antara pasangan

memberikan pengaruh signifikan untuk keberhasilan proses penyesuaian

perkawinan. Sebagian besar masalah yang timbul terjadi padapasangan dengan

perbedaan usia lebih dari 6 tahun. Pasangan yang memiliki rentang perbedaan usia

yang terlalu besar dapat memengaruhi perbedaan sudut pandang dan prinsip hidup

bagi setiap pasangan. Selain itu, kondisi lingkungan juga memengaruhi

kemampuan seseorang dalam pertimbangan, penerimaan terhadapperbedaan, dan

meningkatkan manfaat untuk keberhasilan proses penyesuaian di antara mereka.

Kondisi dimana pria memilih wanita yang usianya lebih tua sebagai

pasangan hidup atau sebaliknya wanita memilih pria yang usianya lebih muda

(4)

(2010) menyebutkan bahwa ada faktor sosial dan ekonomi yang memengaruhi

seseorang untuk memilih pasangan dengan perbedaan usia. Pria memili wanita

yang usianya lebih tua karena wanita memiliki status sosial yang baik dan

ekonomi yang mapan.Begitu pula sebaliknya ketika wanita memilih pria yang

usianya jauh lebih muda.

Ketika usia istri lebih tua dari suami, kemungkinan timbulnya permasalahan

dalam keluarga akan lebih terbuka (Walgito, 2000). Selisih usia antara suami dan

istri yang sangat banyak akan membuat banyak perbedaan dan dapat

menyebabkan masalah mulai dari hubungan, rasa, dan cara memandang suatu

peristiwa atau hal tertentu. Wim Groot & Henriette (2002) mengatakan bahwa

perbedaan usia antara suami dan istri turut memengaruhi kepuasan terhadap

kehidupan perkawinan. Sedangkan kepuasan perkawinan dapat dicapai bila ada

penyesuaian perkawinan yang baik.

Dari paparan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang

penyesuaian perkawinan pada istri yang melakukan perkawinan beda usia dimana

usia istri lebih tua dari usia suami.

Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana

gambaran penyesuaian perkawinan pada istri yang menikah dengan perbedaan

(5)

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan melihat gambaran mengenai penyesuaian

perkawinan yang dilakukan pada istri yang menikah beda usia dalam kehidupan

perkawinannya.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan

ilmu pengetahuan di bidang psikologi perkawinan dan keluarga. Sedangkan dari

segi praktisnya dapat memberikan informasi kepada pasangan suami istri yang

menikah dengan perbedaan usia mengenai kemungkinan permasalahan yang

dihadapi.

PENYESUAIAN PERKAWINAN 1. Pengertian penyesuaian perkawinan

Penyesuaian perkawinan diartikan sebagai proses modifikasi, adaptasi, serta

mengubah pola-pola individu kedalam pola perilaku dan interaksi sebagai

pasangan guna mencapai kepuasan maksimal dalam hubungan suami istri

(DeGenova & Rice, 2005).

2. Aspek penyesuaian perkawinan

Menurut DeGenova & Rice (2005), penyesuaian perkawinan mencakup 12 area

yang harus diwujudkan dalam perkawinan, yaitu:

a. Pemenuhan dan dukungan emosional

1). Belajar untuk memberi dan menerima perhatian dan cinta

(6)

3). Memberikan dukungan emosional, membangun semangat, pemenuhan

kebutuhan ego

b. Penyesuaian seksual

1). Belajar untuk memberikan kepuasan, pemenuhan kebutuhan seksual satu

sama lain

2). Bekerja di luar mode, sikap atau perilaku, waktu, serta ekspresi seksual

3). Menggunakan sarana pengontrol kelahiran yang tepat.

c. Kebiasaan pribadi

1). Menyesuaikan pada kebiasaan pribadi masing-masing, perkataan,

kebersihan, sikap atau perilaku, pola makan, tidur

2). Meghilangkan atau mengubah kebiasaan pribadi yang mengganggu

masing-masing

d. Peran gender

1). Menetapkan peran pasangan di dalam dan diluar rumah

2). Bekerja di luar peran gender dalam hubungan untuk menghasilkan

pendapatan, perawatan rumah, mengurus rumah tangga, mengurus anak

e. Materi, keuangan

1). Memilih tempat tinggal: area geografi, lingkungan sekitar, tipe rumah

2). Melengkapi dan mengurus rumah

3). Perolehan pendapatan dan pengelolaan uang

f. Pekerjaan, prestasi

1). Mencari, seleksi, mempertahankan pekerjaan

(7)

3). Bekerja di luar jadwal ketika salah satu dari pasangan bekerja

4). Mengatur perhatian kepada anak ketika salah satu pasangan bekerja

g. Kehidupan sosial, pertemanan, rekreasi, hiburan

1). Memilih dan menjalin pertemanan, kegiatan sosial

2). Mengunjungi teman bersama pasangan

3). Memutuskan tipe, frekuaensi aktivitas sosial sebagai individu dan

sebagai pasangan

h. Keluarga

1). Membangun hubungan kekerabatan dengan ipar, mertua

2). Kompromi dengan keluarga

i. Komunikasi

1). Mengungkapkan dan mengkomunikasikan ide, kecemasan, perhatian,

kebutuhan

2). Saling mendengarkan satu sama lain dan bicara satu sama lain dengan

cara yang konstruktif

j. Kekuatan / kekuasaan, pengambilan keputusan

1). Memperoleh keseimbangan dalam status, kekuatan / kekuasaan

2). Belajar untuk membuat, menjalankan, melaksanakan keputusan

3). Kerjasama dalam mengambil keputusan

k. Konflik, pemecahan masalah

1). Belajar untuk mengidentivikasi penyebab konflik

2). Mengatasi konflik

(8)

4). Meminta bantuan jka diperlukan

l. Moral, nilai, ideologi

1). Memahami / mengerti, menyesuaikan pada moral individu, nilai, etnis,

kepercayaan, filosofi, dan tujuan hidup

2). Menetapkan nilai bersama, tujuan,filosofi

3). Menyesuaikan dan menerima keyakinan / agama masing-masing

4). Membuat keputusan dalam kaitannya dengan agama

3. Faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian perkawinan

Dyer (1983) juga menyatakan bahwa faktor sosial dan demografis

berhubungan dengan penyesuaian perkawinan. Faktor sosial dan demografis

tersebut adalahusia,agama, ras, pendidikan, dan keluarga.

B. PERKAWINAN BEDA USIA 1. Pengertian perkawinanbeda usia

Perkawinan adalah suatu ikatan antara pria dan wanita sebagai suami

isteri berdasarkan hukum (UU), hukum agama atau adat istiadat yang berlaku

(Hawari, 2006).

Menurut Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun

1974) yang dimaksud dengan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

(9)

Ikatan lahir-batin, yang berarti bahwa dalam perkawinan itu perlu adanya

ikatan tersebut pada keduanya. Ikatan lahir adalah merupakan ikatan yang

menampak, ikatan formal sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada. Ikatan

formal ini adalah nyata, baik yang mengikat dirinya yaitu suami dan istri,

maupun bagi orang lain yaitu masyarakat luas. Ikatan batin adalah ikatan yang

tidak nampak secara langsung, tetapi merupakan ikatan psikologis. Antara

suami dan isteri harus ada ikatan ini, harus saling mencintai satu sama lain dan

tidak adanya paksaan dalam perkawinan. Bila perkawinan dengan paksaan,

tidak adanya cinta kasih satu dengan yang lain, maka berarti bahwa dalam

perkawinan tersebut tidak ada ikatan batin (Walgito, 2010).

Dugerdil et al. (2006) menjelaskan mengenai arti perbedaan usia dalam

hubungan perkawinan. Perbedaan usia diartikan sebagai rata-rata selisih usia

antara laki-laki dan perempuan dimana salah satu pasangan adalah yang lebih

muda atau yang lebih tua. Suami bisa saja lebih tua dari istri atau lebih muda

dari istri.

Atas dasar pendapat-pendapat atau rumusan-rumusan tersebut dapatlah

dikatakan bahwa perkawinan beda usia adalah ikatan lahir dan batin antara

seorang pria dan seorang wanita; sebagai suami-istri atas dasar cinta dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang MahaEsa dengan kondisi selisih usia yang

(10)

2. Tujuan perkawinan

Tujuan perkawinan implisit di dalam rumusan tentang pengertian

perkawinan sebagaimana diuraikan di muka. Lebih jelasnya, dalam pasal 1

Undang-Undang Perkawinan tersebut dikemukakan bahwa tujuan perkawinan

adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan tujuan perkawinan tersebut

mengisyaratkan bahwa tujuan kedua individu yang melakukan perkawinan itu

haruslah sama. Kalau sampai terdapat tujuan yang berbeda, tentu saja perlu

mendapatkan perhatian yang serius, karena tujuan yang tidak sama antara

suami dan isteri akan merupakan sumber permasalahan dalam keluarga.

Di samping tujuan yang akan dicapai harus sama antara suami dan isteri,

kebahagiaan dalam keluarga perlu dijadikan arah dan bila perlu dijadikan target

yang harus dicapai. Menurut Erich Fromm hidup bahagia itu adalah kriteria

bagi kehidupan yang utama, bagi kehidupan yang etis. Itulah seni hidup yang

paling sukar. Jika kondisi itu tercapai, dapat dikatakan bahwa hidup kita telah

berhasil sebagai hidup yang produktif, yang sangat besar manfaatnya, hidup

yang banyak amalnya, yang tidak konsumtif sebagai parasit yang hidup dari

usaha orang lain.

3. Faktor yang memengaruhi perkawinan beda usia

Lawton & Calister (2010) menjelaskan ada faktor yang memengaruhi

perkawinan beda usia. Ada faktor sosial dan ekonomi yang memengaruhi

seseorang untuk memilih pasangan dengan perbedaan usia. Pria memilih

(11)

dan ekonomi yang mapan.Begitu pula sebaliknya ketika wanita memilih pria

yang usianya jauh lebih muda.

4. Permasalahan pada perkawinan beda usia

Walgito (2010) menyebutkan bahwa ketika usia istri lebih tua dari suami,

maka perkembangan psikologis dari istri jauh akan mencapai kematangan lebih

dahulu. Sehingga dengan demikian besar kemungkinannya pandangan, sikap,

maupun pendapat mengenai sesuatu akan jauh berbeda.

Adanya perbedaan pandangan, sikap, pendapat akan membawa kesulitan,

karena memang alam perkembangannya berbeda. Di samping itu juga dapat

dilihat dari kemampuan dibidang fisiologis. Istri akan lebih dahulu menurun

bila dibandingkan dengan suami khususnya dalam hubungan seksual. Bila

suami tidak dapat mengerti tentang keadaan tersebut, hal itu akan merupakan

sumber persoalan dalam kehidupan keluarga yang bersangkutan.

PENYESUAIAN PERKAWINAN PADA ISTRI YANG MENIKAH DENGAN PERBEDAAN USIA (USIA ISTRI LEBIH TUA DARI SUAMI)

Kondisi dimana pria memilih wanita yang usianya lebih tua sebagai

pasangan hidup atau sebaliknya wanita memilih pria yang usianya lebih muda

sebagai pasangan hidup dipengaruhi oleh beberapa faktor. Selisih usia antara

suami dan istri yang sangat banyak akan membuat banyak perbedaan dan dapat

menyebabkan masalah mulai dari hubungan, rasa, dan cara memandang suatu

peristiwa atau hal tertentu. Wim Groot & Henriette (2002) mengatakan bahwa

(12)

kehidupan perkawinan. Sedangkan kepuasan perkawinan dapat dicapai bila ada

penyesuaian perkawinan yang baik.

Hüseyin & Ebru (2013) mengungkapkan bahwa kelompok yang memiliki

penyesuaian perkawinan yang baik, mereka memiliki relasi yang lebih baik

dengan pasangan mereka. Mereka juga memiliki hubungan yang baik dengan

keluarga dan keluarga pasangan Dalam penelitian ini juga diungkapkan bahwa

kelompok yang memiliki penyesuaian perkawinan yang baik memiliki

kemampuan menyelesaikan permasalahan perkawinan yang baik.

METODE PENELITIAN 1. Metode Penelitian

Metode kualitatif dengan partisipan dalam penelitian ini adalah wanita yang

sudah menikah, usia istri lebih tua dari suami dengan selisih lebih dari 6 tahun,

dan usia perkawinan antara 1 sampai 10 tahun

2. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini ialah penyesuaian perkawinan pada istri yang menikah

dengan perbedaan usia lebih dari 6 tahundimana usia istri lebih tua dari usia

suami.

3. Sumber Data Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu mengetahui bagaimana gambaran

mengenai penyesuaian perkawinan yang dilakukan pada istri yang menikah

beda usia dalam kehidupan perkawinannya, maka sumber data dalam penelitian

(13)

atau perilaku yang dimunculkan partisipan dalam proses wawancara yang

memiliki makna tertentu.

4. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan wawancara dan

observasi.

5. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan selama dua bulan dari tanggal 18 Mei 2014 sampai

tanggal 20 Juni 2014. Penelitian ini dilakukan di rumah masing-masing

partisipan yaitu di Semarang dan di Ambarawa.Sebelum melakukan

wawancara peneliti menghubungi partisipan untuk menanyakan kesediaan

partisipan kapan partisipan bisa untuk diwawancarai.Dalam penelitian ini, data

hanya diperoleh dari istri.

Wawancara dilakukan dengan partisipan masing-masing dua kali.Waktu

yang digunakan dalam tiap kali wawancara 60 menit.Pertemuan ke dua

merupakan wawancara lanjutan. Hal ini dilakukan karena peneliti merasa perlu

untuk menggali lebih dalam pertanyaan-pertanyaan yang dinilai peneliti masih

perlu digali lebih spesifik lagi. Wawancara lanjutan ini dilakukan setelah

peneliti mendengarkan rekaman dan menuliskan hasil wawancara dalam

bentuk verbatim.

6. Analisis Data

Dalam penelitian ini, analisis data yang dilakukan yaitu: menjadikan satu

(14)

verbatim wawancara; mengkategorisasikan dan mengklasifikasikan data

berdasarkan aspek-aspek penyesuaian perkawinan; analisis data.

7. Uji Keabsahan Data

Uji keabsahan data yang digunakan ialah triangulasi dengan sumber

berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu

informasi (Moleong, 2002), yaitu dengan membandingkan hasil pengamatan

dengan hasil wawancara, membandingkan data yang diberikan partisipan

dengan pendapat orang lain yang mengenal partisipan (suami), melakukan

member check atau diskusi dengan partisipan tentang hasil penelitian yang bertujuan untuk mengklasifikasikan atau menyelaraskan maksud peneliti

dengan maksud partisipan terhadap suatu pernyataan dan hasil yang diperoleh,

serta untuk memastikan apakah data yang diperoleh perlu untuk ditambah atau

dikurangi oleh partisipan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Partisipan 1

1. Identitas dan latar belakang

Partisipan adalah seorang ibu rumah tangga berinisial S dan berusia 28

tahun. Ia tinggal di kota Semarang. Usia perkawinannya 3 tahun dengan

kondisi perbedaan usia 6 tahun dimana partisipan lebih tua dari suaminya.

Dalam kehidupan perkawinannya, partisipan dan suami dikaruniai seorang

(15)

Partisipan merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan

terakhir partisipan sekolah menengah atas. Partisipan dan suami berpacaran

selama dua tahun. Pacaran dijalani partisipan dengan cara backstreet, tanpa sepengetahuan orang tua karena partisipan tidak diijinkan untuk berpacaran.

Tidak ada keterbukaan mengenai usiaantara partisipan dan suami pada saat

pacaran. Sehingga ketika partisipan hamil di luar nikah dan akan menikah

dengan suami muncul perasaaan kaget ketika mengetahui bahwa usia suami

lebih muda dari istri. Kondisi ini memengaruhi kesiapan suami dan istri dalam

menikah.Menikah menjadi sebuah pertanggungjawaban karena istri hamil

terlebih dahulu, bukan suatu kesepakatan dan keputusan yang dibicarakan oleh

kedua belah pihak keluarga.

2. Hasil

Permasalahan yang paling mencolok adalah hubungan dengan orang tua,

komunikasi, kebiasaan pribadi, dan keuangan. Kondisi perkawinan ini

membuat timbulnya rasa kecewa pada ayah istri dan berpengaruh pada

hubungan dengan keluarga kecilnya karena ayah belum bisa menerima kondisi

ini.Setelah kelahiran anak, kondisi mulai berubah. Ayah sudah bisa menerima

kehadiran cucu. Namun sampai sekarang keluarga besar istri masih kerap kali

menanyakan kepada istri mengapa memilih yang lebih muda.

Pribadi yang sama-sama memiliki sifat diam dalam keluarga ini

memberikan efek yang tidak baik dalam keluarga ini.Kebiasaan saat pacaran

yaitu melakukan komunikasi hanya seperlunya saja masih dibawa sampai

(16)

yang berkaitan dengan anak saja. Selama menikah, istri merasa apa yang

dikomunikasikan dengan suami menjadi percuma karena suami hanya diam

dan tidak memberikan respon. Hal ini mengakibatkan munculnya ketidak

pedulian antara suami dan istri karena tidak adanya keterbukaan satu sama lain.

Sehingga pemenuhan serta dukungan emosional tidak tampak dalam keluarga

ini. Seolah-olah mereka menjalankan kewajiban apa yang harus dijalankan

saja.

Keuangan juga menjadi masalah dalam keluarga karena pekerjaan suami

yang penghasilannya sedikit dan tidak menentu ditambah kebiasaan suami dari

pacaran sampai sekarang yang menghambur-hamburkan uang untuk membeli

rokok, miras dan mabuk-mabukan dengan teman-temannya. Kebiasaan pribadi

pasangan yang tidak menyenangkan hati dihadapi partisipan dengan lebih

banyak diam.

Kepentingan anak menjadi faktor yang memengaruhi suami untuk

melakukan perubahan dan memengaruhi partisipan untuk melakukan

penyesuaian. Sedangkan sifat diam dan tertutup menjadi faktor penghambat.

Partisipan 2

1. Identitas dan latar belakang

Partisipan adalah seorang ibu rumah tangga berinisial E dan berusia 45

tahun. Ia tinggal di kota Ambarawa. Usia perkawinannya 7 tahun dengan

(17)

Dalam kehidupan perkawinannya, partisipan dan suami dikaruniai seorang

anak.

Partisipan merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan

terakhirnya adalah sarjana dan memiliki karier yang baik dalam pekerjaan.

Pengalaman traumatis akan kegagalan dalam menuju perkawinan di masa lalu

memengaruhi partisipan dalam memilih pasangan. Partisipan menjadi lebih

selektif dalam memilih pasangan.Pertemuan tidak sengaja dengan suami

membawa pada hubungan perkawinan yang berlanjut hinggga sekarang.

Awal hubungan partisipan dengan suami sudah penuh konflik. Perbedaan

usia dan perbedaan agama menjadi masalah bagi istri untuk melanjutkan

hubungan menuju perkawinan. Melihat keseriusan suami, serta sikap suami

yang menerima perbedaan keyakinan akhirnya mereka pun menikah.Namun

dalam perkawinan ini partisipan merasa antara yakin dan tidak yakin bahwa

sudah menikah dan bisa menjalani perkawinan, partisipan hanya menjalaninya

saja.

2. Hasil

Pemasalahan yang paling mencolok adalah kebiasaan pribadi, keuangan,

dan hubungan dengan mertua dan ipar. Kebiasaan suami dari pacaran sampai

pada saat sudah menikahdimana suami suka pergi tanpa pamit turut

menyumbang timbulnya konflik dalam keluarga.Masalah ekonomipun juga,

karena gaji istri lebih tinggi, suami sering kali tidak memberikan nafkahnya

bagi istri, sering bolos kerja. Hal ini juga memengruhi hubungan istri dengan

(18)

keluarga suaminya karena istri memiliki gaji yang besar karena kedudukannya

yang tinggi di kantor. Sampai pada akhirnya suami menjual cincin kawin untuk

mencukupi keuangan keluarga karena istri sudah tidak lagi bekerja.Setelah istri

tidak lagi bekerja serta kebutuhan yang semakin banyak setelah kelahiran anak,

suami mulai ada perubahan. Suami menjadi lebih rajin dalam bekerja. Ada

perubahan dalam hal kebiasaan pribadi suami. Adanya komunikasi yang

terbuka antara suami dan istri menjadi cara yang ampuh untuk menyelesaikan

setiap konflik yang muncul.

PEMBAHASAN

Dengan merujuk kembali pada tujuan penelitian yaitu melihat gambaran mengenai

penyesuaian perkawinan yang dilakukan pada istri yang menikah beda usia dalam

kehidupan perkawinannya, berikut merupakan ulasan dari kedua partisipan.

Pemenuhan dan dukungan emosional

Kedua partisipan memiliki caranya masing-masing dalam mengekspresikan

perhatian dan cintanya kepada pasangan. Partisipan 1, karena memiliki latar

belakang sifat yang sama dengan suaminya yaitu diam, tidak banyak komunikasi

yang dilakukan membuat ia tertutup dan lebih banyak menyimpan segala

sesuatunya sendiri. Partisipanmerasa apa yang dikomunikasikan dengan suami

menjadi percuma karena suami hanya diam dan tidak memberikan respon. Hal ini

mengakibatkan munculnya ketidak pedulian antara suami dan istri karena tidak

adanya keterbukaan satu sama lain. DeGenova & Rice (2005) menyatakan bahwa

(19)

kecemasan, perasaan, sikap dan keyakinan. Sehingga pemenuhan serta dukungan

emosional tidak tampak dalam keluarga ini.

Partisipan 2 memiliki upaya untuk mendekatkan diri secara emosional

kepada suaminya. Hal ini dilakukan dengan cara bekerja sama dalam setiap hal,

memiliki waktu untuk sharring bersama suaminya. Tindakan ini melahirkan kedekatan, keintiman, empati dan saling membutuhkan satu sama lain.Partisipan

juga seringkali menunjukkan perhatiannya kepada suami dengan tindakan.

Penyesuaian seksual

Kebutuhan seksual merupakan kebutuhan fisiologis dan sifatnya mendasar

dalam hirarki kebutuhan Maslow. Kebutuhan ini setara dengan kebutuhan makan

dan minum, oleh sebab itu pemenuhan pun menjadi prioritas sebelum pemenuhan

kebutuhan lainnya. Hal ini disadari sepenuhnya oleh kedua sebjek, namun ada

beberapa keterbatasan dalam proses pemenuhannya.

Ada kesamaan antara partisipan 1 dan partisipan 2, tanggung jawab untuk

mengasuh anak menjadi kendala dalam pemenuhan kebutuhan seksual. Beardsley

dan Sanford (1994, dalam Anjani & Suryanto, 2006) menyatakan bahwa pasangan

suami istri yang telah memiliki anak akan lebih mencurahkan kasih sayangnya

kepada anak sehingga tidak memiliki waktu untuk bersama dengan pasangan.

Kecemasan tentang anak akan membelokkan perhatian istri dari seks mungkin

karena kelelahan. Kedua partisipan merasa bahwa perbedaan usia tidak

memengaruhi aktivitas seksualnya, hanya saja kehadiran anak di tahun pertama

(20)

Upaya penyesuaian pada kedua partisipan memiliki kesamaan, yaitu mereka

tidak membuat jadwal khusus, tetapi lebih disesuaikan dengan kondisi

masing-masing. Pada partisipan 1 dan partisipan 2 sama-sama melakukan aktivitas seksual

sesuai permintaan suami. Namun yang menjadi perbedaan partisipan 2 memiliki

inisiatif untuk menawarkan diri. Ketika sedang tidak ingin melakukan aktivitas

seksualpun kedua partisipan sama-sama menolak dengan cara yang halus dan

memberikan alasan. Dengan begitu suami dapat mengerti kondisi partisipan ketika

sedang tidak ingin melakukan aktivitas seksual.

Kebiasaan pribadi

Kebiasaan adalah perilaku yang dibawa sejak kecil dan cenderung menetap

hingga dewasa. Permasalahan mengenai kebiasaan pribadi menimbulkan dampak

pada perkawinan kedua partisipan. Pada partisipan 1, kebiasaan suami yang gemar

merokok dan mabuk-mabukan saat pacaran dan masih terbawa sampai ke

perkawinan membawa permasalahan baru, yaitu masalah ekonomi. Pendapatan

suami yang tidak pasti dan kecil jumlahnya tidak diimbangi dengan pengeluaran

yang ada. Kebiasaan tersebut bukan hanya merugikan, namun juga menyebabkan

ketidakstabilan pemasukan untuk membiayai kebutuhan rumah tangga. Untuk

menyiasati kebiasaan suaminya, partisipan memberikan larangan

minum-minuman keras dan memberikan batasan jumlah rokok yang dikonsumsi oleh

suami. Dalam hal ini ada upaya dari suami untuk berkompromi dengan cara

memberikan semua penghasilan kepada partisipan, ketika suami ingin membeli

(21)

puntebih terkontrol.Partisipan sekarang juga merasa ada perubahan dari suami

terutama setelah kelahiran anak.

Pada partisipan 2 kebiasaan suami yang suka main tanpa pamit menjadi

sumber konflik. Partisipan sering kali marah-marah karena kebiasaan suaminya

itu. Untuk menyiasatinya, partisipanmemberikan pelajaran kepada suami dengan

cara mengambil sikap yang sama dengan suami yaitu pergi tanpa pamit. Setelah

itu partisipan bersama suami saling mengkomunikasikan apa saja perasaan yang

muncul ketika salah satu dari mereka pergi tanpa pamit. Karena suami bisa

merasakan apa yang dirasakan istrinya, suami mulai melakukan perubahan. Saat

ini partisipan merasa ada perubahan dari suami. Partisipan merasa suami lebih

jujur dan terbuka.

Hampir semua perkawinan akan mengalami kekagetan terhadap kebiasaan

suami. Disini dapat dilihat adanya kontribusi pasangan dalam menyesuaikan diri.

Salah satu faktor penghambat penghambat penyesuaian perkawinan ialah tidak

bisa menerima kebiasaan pasangan dan memaksakan kehendak untuk merubah

pasangan seperti yang diinginkan (Anjani & Suryanto, 2006)

Peran gender

Hoffman & Nye (1974, dalam Anjani & Suryanto, 2006)

menyorotipenyesuaian perkawinan berdasarkanpembagian tugas rumah tangga

antara suamiistri. Wanita biasanya ditugaskan untukmengurus rumah tangga,

mengasuh danmerawat anak karena dianggap cocok bagi kondisi psikologis dan

(22)

dilayani dan dihormatioleh istri. Hal ini lah yang terjadi pada partisipan 1. Semua

pekerjaan rumah tangga serta pengasuhan anak menjadi tanggung jawab

partisipan. Sedangkan tugas suami hanya bekerja dan mencari nafkah.

Kondisi ini berbeda dengan yang dialami oleh partisipan 2. Ada pertukaran

peran gender antara partisipan dengan suaminnya. Tidak ada pembagian pekerjaan

yang harus dilakukan. Masing-masing memiliki kesadaran untuk saling membantu

dan bekerja sama dalam mengurus rumah tangga dan membesarkan anak. Hanya

saja pemenuhan keuangan keluarga menjadi tanggung jawab suami karena

sekarang istri sudah pensiun dan tidak lagi bekerja.

Materi dan keuangan

Kondisi perkawinan yang disertai dengan permasalahan keuangan membuat

kedua partisipan harus memiliki strategi pengelolaan keuangan yang baik.

Stroraasli dan Markman (1990, dalam DeGenova & Rice, 2005) menempatkan

persoalan keuangan sebagai masalah yang paling tinggi prosentasinya pada tahun

pertama perkawinan. Pada penelitian ini, didapati perbedaan sumber pemasukan,

biaya yang harus ditanggung dan cara pengelolaan menjadikan cara penyesuaian

kedua partisipan pun berbeda.

Sumber keuangan partisipan 1 berasal dari pendapatan suami. Pendapatan

suami yang tidak menentu dan kecil jumlahnya ditambah dengan kebiasaan suami

yang gemar merokok dan mabuk-mabukan menyebabkan partisipan harus pandai

mengelola keuangan dalam keluarga. Kondisi keuangan yang seperti ini tidak

(23)

partisipan harus berkontribusi menambah penghasilan keluarga. Mencari uang

tambahan dengan berjualan makanan dan minuman di rumahnya dilakukan

partisipan untuk menutupi kekuran keuangan. Sekarang keuangan lebih tertata

karena ada usaha dari suami untuk berkompromi dengan menyerahkan semua

pendapatan kepada istri yang juga merupakan usaha suami untuk mengurangi

kebiasaanya merokok dan mabuk-mabukan.

Pada partisipan 2, sumber keuangan berasal dari kedua belah pihak karena

keduanya sama-sama bekerja. Namun karena istri memiliki kedudukan yang

tinggi dikantornya, penghasilan istripun lebih besar dari penghasilan suami.

Kondisi ini menimbulkan konflik karena suami kerap kali tidak memberikan

nafkah untuk istri dan anak, tetapi kerap kali menggunakan uang tabungan istri

untuk hal-hal yang tidak jelas. Namun seiring berjalannya waktu, karena sekarang

istri sudah tidak lagi bekerja, suami menjadi lebih giat lagi bekerja untuk

memenuhi segala kebutuhan rumah tangga dan keuangan hanya bersumber dari

suami.

Pekerjaan dan prestasi

Pekerjaaan yang dimiliki menentukan seberapa besar penghasilan yang

dimiliki keluarga untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Pekerjaan yang

diambil dan siapa yang bekerja dalam keluarga juga turut memengaruhi. Untuk

urusan pekerjaan, partisipan 1 sebenarnya memiliki keinginan untuk bekerja

(24)

suami. Karena penghasilan yang didapat kecil, partisipan sering memberi

masukan tentang pekerjaan lain yang mungkin dapat diambil oleh suami.

Lain halnya dengan partisipan 2. Partisipan 2 bersama suami sama-sama

meiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Namun karena partisipan mengajukan

pensiun dini untuk merawat ibunya, bekerja untuk mencari nafkah sekarang

menjadi tanggung jawab suami.

Kehidupan sosial, pertemanan, rekreasi, dan hiburan

Kedua partisipan sama-sama mengetahui dan kenal dengan teman-teman

suami, begitu pula dengan suami yang mengetahui dan kenal dengan teman-teman

istrinya. Kedua partisipan juga memiliki hubungan yang baik dengan

teman-temannya. Teman-teman partisipan 1 sering berkunjung dan berkumpul dirumah

partisipan. Tidak ada batasan yang diberikan partisipan terhadap kehidupan

sosialnya bersama suami. Partisipan dan suami juga sering meluangkan waktu

untuk rekreasi bersama anak.

Partisipan 2 merasa bangga pada suami yang tidak malu kepada

teman-temannya untuk mengakui bahwa usianya lebih muda dari partisipan. Sifat

terbuka yang dimiliki oleh partisipan dan suami membawa pengaruh yang positif

dalan kehidupan sosial mereka. Relasi dengan teman-teman pun terjaga dengan

baik karena mereka saling mengetahui satu sama lain teman-teman

masing-masing. Partisipan bersama suami juga sering meluangkan waktu untuk berekreasi

(25)

Keluarga

Masa perkenalan selama berpacaran ternyata memengaruhi kedekatan

interaksi antara orang tua, keluarga, mertua, dan ipar. Hal ini juga berlaku pada

perkawinan yang dijalani partisipan.

Pengalaman partisipan 1, karena pacaran backstreet dan hamil diluar nikah membuat ia bersama suaminya sama-sama belum saling mengenal keluarga

masing-masing. Kondisi ini mempersulit keduannya untuk saling mendekatkan

dengan keluarga pasangan karena kekecewaan yang dirasakan oleh kedua belah

pihak keluarga. Terutama ayah partisipan yang merasa kecewa dengan partisipan

karena sebenarnya partisipan tidak dibolehkan untuk pacaran.

Sebaliknya, pada partisipan 2, meskipun awal hubungan partisipan dengan

suami sudah penuh konflik mengenai perbedaan yang ada yaitu perbedaan usia,

perbedaan keyakinan, dan perbedaan pendapatan, partisipan merasa bahwa kedua

belah pihak keluarga bisa menerima ia besama suami sebagai anggota keluarga.

Perasaan ini muncul ketika ibu mertua bersedia hadir dalam acara pemberkatan

perkawinan yang diadakan di gereja dan melepas hijabnya.

Namun ada kesamaan antara partisipan 1 dan partisipan 2 yang menjumpi

kesulitan dalam menjalin hubungan dengan kerabat dan ipar. Respon dari keluarga

partisipan 1 kerap kali menimbulan perasaan yang tidak enak pada partisipan.

Keluarga masih kerap kali menanyakan kepada partisipan mengapa memilih

laki-laki yang usianya jauh lebih muda. Pada partisipan 2, partisipan merasa bahwa

bahwa dirinya dianggap sebagai ATM berjalan karena ia memiliki penghasilan

(26)

Komunikasi

DeGenova & Rice (2005) menyatakan bahwa perkawinan yang berhasil

terjadi ketika pasangan dapat mengkomunikasikan ide, kecemasan, perasaan,

sikap dan keyakinan. Namun pada partisipan 1 tidak terlihat adanya komunikasi

yang baik yang dilakukan dengan suami. Sifat diam yang dimiliki partisipan dan

suami sangat menghambat proses komunikasi yang efektif. Terlebih ada perasaan

kecewa pada diri partisipan dan anggapan bahwa melakukan komunikasi dengan

suami menjadi suatu hal yang percuma karena tidak adanya respon dari suami.

Sampai sekarang pun partisipan masih belum bisa terbuka dengan suami.

Partisipan hanya mengkomunikasikan hal-hal yang berkaitan dengan anak saja.

Berbeda dengan partisipan 2. Sifat terbuka yang dimiliki oleh keduanya

menjadikan proses komunikasi lebih efektif. Baik partisipan maupun suami tidak

pernah ragu untuk mengkomunikasikan hal-hal apa saja pada pasangannya. Hal

ini didukung oleh masing-masing pihak yang selalu memberikan respon sehingga

proses komunikasi menjadi efektif.

Kekuatan dan kekuasaan

Kedua partisipanmemiliki kedudukan yang sama dalam keluarga. Tidak ada

salah satu diantara partisipan dan pasangan yang lebih menonjol. Yang menjadi

prioritas adalah anak, bagaimana mememenuhi kebutuhan anak dan mengatur

(27)

Konflik dan pemecahan masalah

Konflik yang mucul bisa dari berbagai sumber dan dengan berbagai bentuk.

Keuangan menjadi sumber konflik yang dihadapi oleh kedua partisipan. Kedua

partisipan sama-sama menganggap bahwa konflik yang terjadi bisa diredakan asal

ada kemuaan dan kesadaran diri bukan karena bantuan orang lain Kedua

partisipan menunjukkan cara yang berbeda dalam menyelesaikan konflik.

Partisipan 1 mengambil tindakan diam untuk meredakan amarah

masing-masing. Ketika semua tenang, mereka mulai mengkomunikasikan apa yang

dirasakan.Partisipan 2 cenderung lebih meledak-ledak emosinya. Ia kerap kali

marah-marah ketia menghadapi permasalaah. Namun pada saat itu pula

permasalahan diselesaikan dan saling meminta maaf satu sama lain.

Peneliti juga melihat suami partisipan2 lebih memiliki usaha untuk

menyelesaikan konflik. Suami partisipan 1 lebih banyak diam dan terkesan

menghindar ketika istri mengajak berdiskusi mengkomunikasikan permasalahan

yang ada. Sehingga permasalahan yang ada kerap kali tidak terselesaikan dan

tidak mendapatkan solusi dan pada akhirnya dibiarkan begitu saja. Sedangkan

suami partisipan 2 memiliki inisiatif untuk mengajak berbicara dan belajar

mengalah serta berani mengakui kesalahan dan meminta maaf.

Moral, nilai, dan ideologi

Kedua partisipan sama-sama mengajarkan nilai-nilai keagamaan yang

mereka anut. Partisipan 1 dan suaminya yang beragama Islam mengajarkan

(28)

memiliki latar belakang perbedaan agama. Burgess & Cotrell (1939, dalam Dyer

1983)menyatakan bahwa meskipun perselisihanagama hanya memainkan peran

kecil dalammembangun rumah tangga, tetapi terdapat hubungan positif antara

kesamaan agamadan kebahagiaan perkawinan. Karena suami merasa tidak

mendampingi anak dan istrinya secara batin, suami memutuskan untuk memeluk

agama yang sama dengan partisipan 2 yaitu Katolik. Partisipan 2 kini merasa

kehidupan perkawinannya lebih bahagia setelah suaminya memeluk agama yang

sama dengannya. Ia bersama suami juga mengajarkan nilai-nilai sesuai denan

ajaran agamannya.

Dari pembahasan tersebut, didapati hasil yang berbeda karena kedua

partisipan memiliki latar belakang yang berbeda dilihat dari usia saat menikah,

agama, latar belakang pendidikan, dan latar belakang perkawinan.

KESIMPULAN

1. Pemenuhan dan dukungan emosional sangat diperlukan guna melahirkan

kedekatan, keintiman, empati dan saling membutuhkan satu sama lain. Ketika

pasangan dapat mengkomunikasikan ide, kecemasan, perasaan, sikap dan

keyakinan maka keberhasilan perkawinan dapat dicapai.

2. Pemenuhan kebutuhan seksual menjadi masalah yang sulit dilakukan oleh

kedua partisipan. Hal ini dipengaruhi oleh kehadiran anak pada tahun pertama

perkawinan.Kedua partisipan tidak membuat jadwal khusus untuk melakukan

(29)

3. Kebiasaan pribadi suami masing-masing partisipan pada saat masih lajang

memberikan pengaruh pada kehidupan perkawinan. Masing-masing

partisipan memiliki cara yang efektif untuk menyesuaikan diri pada kebiasaan

pribadidengan melakukan kompromi bersama pasangan.

4. Kesadaran untuk saling membantu dan bekerjasama dalam mengurus rumah

tangga dan mebesarkan anak sangat dibutuhkan sehingga tidak menutup

kemungkinan adanya pertukaran peran gender dalam keluarga. Dengan

demikian penyesuaian perkawinan dapat terjadi jika ada hubungan timbal

baik yang baik.

5. Kesulitan menyesuaikan diri dalam masalah keuangan disebabkan oleh

adanya ketidakseimbangan antara pemasukan yang didapat dengan biaya

yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Berjualan makanan

dan minuman serta menggabungkan pendapatan dilakukan untuk

menyesuaikan dengan kondisi keuangan.

6. Pekerjaaan yang dimiliki menentukan seberapa besar penghasilan yang

dimiliki keluarga untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Pekerjaan yang

di ambil dan siapa yang bekerja dalam keluarga juga turut memengaruhi

terjadinya penyesuaian dalam hal keuangan.

7. Adanya penerimanan dari lingkungan sosial mengengai perkawinan beda usia

membuat partisipan dan suami lebih mudah menyesuaikan diri dengan

(30)

8. Masa perkenalan selama berpacaran ternyata memengaruhi kedekatan

interaksi antara orang tua, keluarga, mertua, dan ipar.Hal ini menentukan

seberapa erat hubungan antara partisipan, suami dan keluarga.

9. Komunikasi yang efektif memberikan pengaruh pada jalannya penyesuaian

dengan pasangan. Respon komunikatif sangat diperlukan dalam membangun

kedekatan bersama pasangan.

10. Anak menjadi priortas dalam keluarga kedua partisipan. Kedudukan yang

sama dalam keluarga memungkinkan adanya kerja sama dalam memenuhi

kebutuhan dan mengatur masa depan anak.

11. Komunikasi merupakan strategi yang efektif dalam menyelesaikan konflik.

Selain itu diperlukan juga inisiatif untuk mengajak berbicara dan belajar

mengalah serta berani mengakui kesalahan dan meminta maaf.

12. Kesamaan agama yang dianut memudahkan partisipan untuk mengajarkan

nilai-nilai agama pada anak dan menciptakan kebahagiaan dalam perkawinan

karena adanya pendampingan secara batin.

SARAN

Saran yang dapat peneliti berikan dari penelitian ini antara lain:

Untuk penelitian selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa

penyesuaian perkawinan belum berjalan maksimal disebabkan beberapa hal

seperti kebiasaan pribadi, keuangan, hubungan dengan orang tua, mertua dan ipar,

dan komunikasi. Peneliti merekomendasikan beberapa faktor tersebut untuk dicari

(31)

lebih mendalam. Peneliti juga merekomendasikan adanya penelitian lanjutan

(32)

DAFTAR PUSTAKA

Anjani, C., & Suryanto. (2006). Pola penyesuaian perkawinan pada periode awal. Insan Media Psikologi, 8, 198-210.

Burgess, E. W. & Locke, H. J. (1971).The Family (4th edition).Canada : Van NostrandReinhold Co.

DeGenova, M. K, & Rice, F.P. (2005). Intimate, relationship, marriages and family (6th Ed). USA: McGraw Hill.

Dugerdil, Sauvain. C, Mascie-Taylor. N, Leridon. H. (2006). Human clocks: the bio-cultural meanings of age, population, family, and society Vol 5. Peter Lang Bern

Duvall, E.M.,& Miller, B.C. 1985. Marriage and family development.(9th Ed). New York : Harper & Row Publishers.

Dyer, E.D,. (1983). Courtship, marriage, and family: american style. Illionis: TheDorsey Press.

Ebenua, E.E.O. (2011). Environmental factors as preictors of marital adjustment among married persons in delta state of nigeria: implication for conselling Practice. Jurnal Psychology, 2 (1): 29-35

Fatimah, P.L.R. 2012. Improvement on marital satisfaction by using quality approach. Jurnal of Social Sciences and Humanities 7 :133-148

Groot, W & Henriette, M. 2002. Age and education differences in marriages and their effects on life satisfaction. Journal of Happiness Studies 3: 153-165

Hawari, D. (2006). Marriage counseling (Konsultasi perkawinan). Jakarta: Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia

Hüseyin, B & Ebru, C. (2013). Factors related with marital adjustment. Eurasian Journal of Educational Research, Issue 53/A, 297-312

Kazemi, Y & Nikmanesh, Z. (2011). Predictors of marital adjustment: the communication skills and sexual satisfaction. Jurnal of the Indian Academy of Applied Psychology 3: 162-168

Lasswel, M., & Lasswel, T. 1987.Marriage &The Family. 2nd Edition.California : Wadsworth Publishing Co.

Lawton, Z & Callister. P. 2010. Older women-younger men relationships: the social phenomenonof ‘cougars’. A Research Note. Institute of policy studies Meleong, L.J. (1989). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya

Mulyana, D. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

(33)

Sadarjoen, S. S. (2005). Konflik Marital: Pemahaman Konseptual, Aktual dan Alternatif Solusi. Bandung: PT. Refika Aditama

Soetjiningsih, C. H. (2012). Kumpulan Handout Psikologi Keluarga. Salatiga: Fakultas Psikologi UKSW.

Referensi

Dokumen terkait

Trigonometri sebagai suatu metode dalam perhitungan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan perbandingan- perbandingan pada bangun geometri, khususnya dalam

Jalur langsung adalah jalur yang memiliki jalur khusus berupa trotoar yang menghubungkan langsung antar gedung asal dengan gedung yang menjadi tujuan pejalan

Lebih daripada itu, dalam Renstra ini telah termuat visi, misi, sasaran, kebijakan, program dan kegiatan dalam bidang perpustakaan dan kearsipan yang nantinya akan

• Bagian pent ing OLED adalah lapisan elekt rode dan lapisan t ipis yang t erdiri dari molekul-molekul organik sebagai pemancar cahaya dimana keduanya disusun bert umpuk. •

kepala madrasah menunjuk perwakilannya untuk mengikuti kegiatan tersebut tanpa di pungut biaya. Demikian atas perhatian dan kerjasamanya kami sampaikan

Laju pengeringan kadar air bahan pada tahap permulaan adalah besar (laju pengeringan pada periode menurun / falling rate period), kemudian laju penurunan kadar air bergerak

Dari hasil analisis sensitivitas, bahwa usaha ini kurang sensitif terhadap penurunan harga dan jumlah penjualan produk, kenaikan harga bahan kimia, penurunan

Bangunan dirancang dengan konsep strong coloum weak beam dengan sistem rangka pemikul momen khusus agar lebih daktail. Dalam perencanaan tahanan gedung terhadap