• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of KAEDAH KEDABITAN PERIWAYAT: KAEDAH AL-JARH WA TADHBIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of KAEDAH KEDABITAN PERIWAYAT: KAEDAH AL-JARH WA TADHBIT"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Qolamuna : Jurnal Studi Islam Vol. 08 No. 02 (2023) :123-138

Available online at https://ejournal.stismu.ac.id/ojs/index.php/qolamuna

KAEDAH KEDABITAN PERIWAYAT: KAEDAH AL-JARH WA TADHBIT

Muadilah Hs. Bunganegara1, I Gusti Bagus Agung Perdana Rayyn2

1,2Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Muadilahsyam@gmail.com1, rayynbugis@gmail.com2

DOI: ………..

Received: Desember 2022 Accepted: Januari 2023 Published:Februari 2023 Abstract :

Kedabitan is one of the requirements for categorizing a hadith, whether it is of valid, hasan or daif quality. The narrator's method of inheritance is a very important measurement tool in hadith research, especially in the aspect of the narrator's intellectual credibility. The existence of different views among hadith critic scholars in assessing the intellectual credibility of the narrator gave birth to the criteria for the narration of hadith narrators. This research focuses on redefining the understanding of "kedabitan" and the methods used in addressing differences in the intellectual credibility of narrators and differences of opinion among hadith critics in assessing the credibility of narrators. The purpose of this research is to provide an understanding related to the rules of obedience of hadith narrators, which will have implications for the quality of a hadith. This research is a literature research that is descriptive qualitative in nature, by collecting relevant literature and information in order to prove the accuracy of a study, and not cause any confusion in the hadith narration process. So that the results of this study, namely the hadith critic scholars have some fundamental differences in addressing the credibility of hadith narrators, namely in terms of the method used as a measuring tool, the pronunciations of the narrator's assessment of the authenticity of the narrator as an analytical knife and the method of analyzing the authenticity of the narrators of hadith as a form of effort to find out and ensure that the hadiths are truly sourced from the Prophet.

Keywords : Dabit, Narrator, Al-Jarh, Tadhbit Abstrak :

Kedabitan merupakan salah satu syarat untuk mengkategorikan suatu hadis, apakah berkualitas sahih, hasan atupun daif. Kaedah kedabitan periwayat menjadi alat ukur yang sangat penting dalam penelitian hadis, khususnya pada aspek kredibilitas intelektual periwayat. Adanya perbedaan pandangan dikalangan ulama kritikus hadis dalam menilai kredibilitas intelektual periwayat melahirkan kaedah kedabitan periwayat hadis. Penelitian ini berfokus pada pendeskripsian kembali pemahaman terkait “kedabitan” serta kaedah- kaedah yang digunakan dalam menyikapi perbedaan kredibilitas intelektual periwayat dan perbedaan pandangan dikalangan ulama krtikus hadis dalam menilai kredibilitas periwayat.

Adapun tujuan penelitian ini untuk memberikan pemahaman terkait dengan kaedah-kaedah kedabitan periwayat hadis, yang nantinya sangat berimplikasi terhadap kualitas suatu hadis.

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka yang bersifat kualitatif deskriptif, dengan mengumpulkan literatur dan informasi yang relevan agar dapat dibuktikan akuratnya suatu penelitian, dan tidak menimbulkan adanya kekeliruan terhadap proses periwayatan hadis.

Sehingga hasil dari penelitian ini, yaitu ulama kritikus hadis memiliki beberapa perbedaan mendasar dalam menyikapi kredibilitas periwayat hadis, yaitu dari segi kaedah yang digunakan sebagai sebuah alat ukur, lafal-lafal penilaian kedabitan periwayat sebagai sebuah pisau analisis serta metode analisis kedabitan periwayat hadis sebagai bentuk upaya untuk mengetahui dan memastikan hadis-hadis tersebut benar bersumber dari Nabi Saw.

Kata Kunci: Dabit, Periwayat, Al-Jarh, Tadhbit

(2)

PENDAHULUAN

Hadis merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw.

baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (pengakuan) atau sifat (Alfiah, Fitriadi,

& Suja’i, 2016). Selain itu, hadis adalah sumber hukum umat Islam setelah al- Qur’an, yang berfungsi. sebagai mubayyin (penjelas) terhadap ayat-ayat al- Qur’an ada berbagai macam bentuk, yaitu bayan al-tafsil, bayan al-takhsis, bayan al- tasyri’ dan lain-lain (Alwi, Fauzi, Rahman, Wasalmi, & Zulfahmi, 2021). Q.S. al- Nahl/16; 44: berisikan tentang peran dari Rasulullah sebagai mubayyin, untuk memberikan penjelasan bagi umat manusia atas al-Quran, Allah swt. berfirman:

Terjemahnya:

“(Kami mengutus mereka) dengan (membawa) bukti-bukti yang jelas (mukjizat) dan kitab-kitab. Kami turunkan Aż-Żikr (Al-Qur’an) kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan”. (Q.S. al- Nahl/16; 44: (Kementerian Agama RI, 2019).

Pada dasarnya al-Qur’an dan Hadis senantiasa menarik perhatian umat Islam sejak masa Nabi Muhammad saw. hingga saat ini bahkan hingga akhir zaman kelak. Namun berbeda dengan al-Qur’an, hadis berkembang sangat pesat dari segi keilmuan dan juga pemahaman, bahkan tak jarang sebagian hadis-hadis Nabi Muhammad saw. mengalami penolakan dari sebagai kelompok yang mempertanyakan keontentikan ataupun keorisinilan hadis-hadis Nabi Muhammad saw (Malik & Bunganegara, 2022; Rayyn, Tangngareng, & Puyu, 2021).

Penelitian terhadap hadis ini sangatlah diperlukan, disebabkan dari segi wurudnya, hadis tidak seluruhnya diyakini berasal dari Nabi saw., melainkan ada dari selain Nabi saw. Hal ini disebabkan sifat dari lafal-lafal hadis tidak mengandung mukjizat seperti al-Qur’an dan juga perhatian terhadap penulisan hadis di zaman Rasulullah saw. agak berkurang, karena Rasulullah pernah melarang penulisan hadis (Nata, 1999).

Terlepas dari mana asalnya hadis tersebut, dari Nabi saw. atau selain Nabi saw., maka penelitian yang mendalam ada pada jalur-jalur yang biasa disebut sanad, yakni sesuatu yang menghubungkan dari isi hadis atau matan. Adapun upaya untuk mempertahankan hadis Nabi saw. memiliki tiga cara yakni: 1) memperhatikan orang yang menyampaikan riwayat, 2) mengkritik para ulama yang melakukan penelitian terhadap para periwayat, dan 3) membuat indikasi- indikasi bahwa hadis tersebut palsu (Munadi, 2021).

M. Mustafa Azami pun menyebutkan tiga cara yang ditempuh dalam mengkritik hadis untuk mengetahui otentisitasnya yakni: 1) karakter yang dimiliki para periwayat, dengan ketentuan: periwayat yang dipercaya haruslah adil, kapasitas intelektual perawi (dabit), 2) perbandingan tekstual, 3) kritik nalar (Alkaoud & Syed, 2021; Syarifuddin & Rosyid, 2019).

Demi kepentingan penelitian hadis ini, ulama menciptakan kaidah- kaidah yang berkaitan dengan hadis. Di antara kaidah itu ada yang disebut kaidah sanad hadis, yakni segala syarat atau kriteria yang berlaku pada sanad hadis yang berkualitas sahih (Ismail, 1995b). Adapun Kriteria atau kaidah sanad dan matan hadis, dapat diketahui melalui istilah hadis sahih. Menurut Ibnu

(3)

Salah, hadis sahih ialah:

Artinya:

Hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada nabi), diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dabit sampai akhir sanad, (didalam hadis itu) tidak terdapat syaz (janggal) dan ‘illat (cacat) (Ibn al-Salah, 2002).

Adanya tiga unsur yang disebutkan pertama berkaitan dengan aspek sanad, sedangkan dua unsur berikutnya berkaitan dengan sanad dan matan.

Dengan demikian, unsur-unsur yang menjadi persyaratan umum (kaidah mayor) dalam kaidah kesahihan hadis ada tujuh macam, yakni lima macam berkaitan dengan sanad dan 2 macam berkaitan dengan matan. Apabila unsur- unsur kaidah mayor pada kesahihan sanad disertakan dengan kaidah minornya, maka dapat dikemukakan sebagai berikut: (Ismail, 1995a).

1. Unsur kaidah mayor pertama: sanad bersambung, memiliki unsur kaidah minor yaitu: a) muttasil (bersambung), b) marfu’ (bersandar kepada Nabi Saw.), c) mahfuz (terhindar dari syudz), dan d) bukan mu’allal (bercacat).

2. Unsur kaidah mayor kedua: periwayat bersifat adil, memiliki unsur kaidah minor yaitu: a) beragama Islam, b) mukalaf (balig dan berakal), c) melaksanakan ketentuan agama Islam, d) memlihara muru’ah (adab kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia kepada tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan-kebiasaan).

3. Unsur kaidah mayor ketiga: periwayat bersifat dabit, mengandung unsur- unsur kaidah minor: a) hafal dengan baik hadis yang diriwayatkannya, b) mampu dengan baik menyampaikan riwayat hadis yang dihafalnya kepada orang lain, c) terhindari dari syudz dan d) terhindar dari illat.

Sedangkan hadis hasan hampir sama dengan hadis sahih, hanya dibedakan oleh daya ingat periwayatnya yang kurang sempurna dibandingkan hadis shahih yang sempurna (Amin, 2011). Salah satu kriteria hadis sahih yang telah disebutkan adalah dabit, yang nantinya sangat mempengaruhi aspek kualitas suatu hadis baik memiliki kualitas sahih, hasan, atau dhaif.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu penelitian yang bersifat kualitatif deskriptif dengan mengacu pada kajian library research (pustaka). Teknik pengambilan data yang dilakukan peneliti yakni dengan data- data yang dikumpulkan dari berbagai sumber, baik dari buku, jurnal, dan lain- lain yang relevan dengan tema penelitian. Setelah itu, data yang telah terkumpul kemudian dianalisis oleh peneliti dan memberikan penjelasan dengan tujuan memperkuat hasil penelitian.

HASIL PENELTIAN DAN PEMBAHASAN Tinjauan Umum tentang Dabit

Kata dabit dalam bahasa Arab طباض- اطبض – طبضي – طبضartinya hafalan dengan kuat, artinya dijaganya dengan kuat dan hafal yang sangat ketat (al-Rasikh, 2012). Dalam kamus al-Munawwir, kata dabit diartikan sempurna, yang sangat kuat, teliti (al-Munawwir, 1997). Kata dabit yang berbentuk isim fa’il dapat berarti orang yang menetapi, menguatkan atau memelihara sesuatu yakni menunjukkan

(4)

subjek dari pekerjaan tersebut. Adapun dalam bentuk masdar-nya, dapat diartikan tetap, kuat, kokoh, cermat atau betul yakni menunjukkan kata benda atau sifat dari pekerjaan (Ilyas, Ahmad, & Assagaf, 2020). Seorang perawi dikatakan dabit, ketika memiliki daya ingat sempurna terhadap hadis yang diriwayatkannya (Hasan, 2012), artinya menghafal dengan sangat baik hadis yang diriwayatkannya tanpa melihat teks, dan ketika menuliskan, tulisannya bagus dan sesuai teks sumber tulisan/hafalan (Hafid, 2014). Dengan demikian, dabit secara bahasa berarti seorang periwayat yang kuat dan cermat dalam proses periwayatan hadis.

Dabit secara terminologi, diartikan sebagai seorang perawi yang memiliki hafalan sempurna yakni kuat hafalannya ketika meriwayatkan hadis tanpa keraguan. Adapun pengertian dabit secara istilah menurut ulama, antara lain (Yahya, 2016):

1. Menurut Ibn Hajar al-Atsqalani yang disebut orang dabit, ialah orang yang memiliki kemampuan hafalan kuat dalam menyampaikan hafalannya dan terhadap apa yang telah didengarnya kapan pun dikehendaki. Dabit adalah orang yang memahami pembicaraan dan mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya, bersungguh-sungguh dalam menghafalnya, dan berhasil menghafal dengan sempurna, sehingga mampu menyampaikan dengan baik kepada orang lain tentang hafalan yang dimilikinya.

2. Menurut as-Syakhawy, bahwa dabit ialah orang yang memahami dengan pemahaman yang mendetail melalui mendengarkan riwayat kemudian menghafalnya dengan sempurna dan meyakini kemampuan yang demikian itu, mulai ketika mendengar riwayat itu hingga riwayat tersebut disampaikan kepada orang lain.

3. Menurut Subhi al-Shalih, dabit ialah orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana mestinya, memahami dengan pemahaman yang terperinci, kemudian menghafalnya dengan sempurna, mempertahankan secara lengkap sehingga tidak adanya keraguan yang ditimbulkan, dan kemampuan tersebut dimiliki mulai dari ketika riwayat tersebut didengarkan sampai riwayat tersebut disampaikan kepada orang lain.

Dabit merupakan kesadaran seorang perawi ketika menerima hadis, paham ketika mendengarkan dan menghafalnya sejak ia menerima hadis tersebut sampai menyampaikan atau meriwayatkan kepada orang lain.

Sedangkan menurut Mahmud Tahan, dabit merupakan perawi yang memiliki daya ingat yang sempurna, baik itu melalui ingatan maupun berupa catatan yang ia tulis. Apabila di dalam diri seorang rawi telah terkumpul sifat adil dan dabit, maka ia pantas untuk menyandang gelar siqah (terpercaya) (Satria, 2020).

Pendapat lain, bahwa dabit adalah istilah dalam bahasa Arab yang menunjuk pada kapasitas intelektual seseorang. Dalam bidang hadis, dabit diukur dari daya hafal seseorang. Seorang periwayat yang dikenal memiliki hafalan yang kuat ketika meriwayatkan hadis, ia disebut dabit dan hadis yang diriwayatkannya menjadi sahih. Jika ternyata ada kekurangan yang dapat dimaafkan dari daya hafalnya itu, misalnya pernah sekali dua kali lupa, maka ia disebut ―qalla ḍabṭuhu‖ dan hadis yang diriwayatkannya menjadi hadis hasan

(5)

dengan syarat memenuhi 4 kriteria kesahihan lainnya. Adapun periwayat yang daya hafalnya rendah, terbukti dengan seringnya ia lupa atau menjadi pikun, itu berarti tidak memenuhi kriteria ḍabṭ dan hadis yang diriwayatkannya adalah hadis daif (Rajab, 2021).

Apabila hadis memiliki kecacatan, khususnya pada aspek kedabitan misalnya sering berbuat salah, buruk hafalannya, lalai, sering ragu, dan menyalahi keterangan orang-orang terpercaya, maka hadis tersebut dapat dikategorikan hadis dhaif dan ditolak sebagai dalil (Yuslem, 2001). Dengan demikian, dabit ialah periwayat yang meriwayatkan hadis memiliki hafalan yang kuat, mulai ketika riwayat tersebut didengarkan (diterima) sampai riwayat tersebut disampaikan kepada orang lain serta memahami apa yang telah disampaikan.

Adapun dabit dibagi menjadi 2: dabt sadr dan dabt al-kitabah, dijelaskan sebagai berikut:

1. Dabt sadr, yaitu kuat dalam dada. Artinya, semenjak menerima riwayat hadis dari guru telah memiliki daya ingatan dan hafalan yang sangat kuat, hingga meriwayatkan kepada orang lain, atau memiliki kemampuan untuk meriwayatkannya kapan saja orang lain perlukan (Ilyas et al., 2020;

Wangsa & Rayyn, 2022)

2. Dabt al-kitabah, yaitu kuat dalam tulisan. Artinya, perubahannya, pergantian dan pengurangan tulisan hadisnya terpelihara sejak mendengar dari gurunya. Artinya, tidak terjadi kesalahan-kesalahan penulisan kemudian diubah dan diganti, karena hal demikian akan mendatangkan keraguan terhadap kedabitan seorang perawi (Ilyas et al., 2020; Wangsa & Rayyn, 2022). Selain itu, dabit kitab yaitu tulisan hadis yang tertulis dalam kitab yang ada padanya dipahami dengan baik oleh seorang periwayat hadis, dan apabila terdapat kekeliruan dalam kesalahan tulisan maka diketahui letak kesalahannya. Selain itu, seorang yang dabit kitab juga, buku-bukunya akan dipelihara dari tangan-tangan orang yang hendak merusak hadis-hadis didalam kitab-kitab lainnya (Yahya, 2016).

Secara sederhana, Fatchur Rahman mengungkapkan bahwa dabt fi al-sadr ialah seorang yang memiliki daya ingatan kuat sejak menerima sampai kepada hadis tersebut disampaikan kepada orang lain, dan juga mampu mengeluarkan ingatannya kapan dan di mana saja dikehendaki. Sedangkan, jika yang disampaikannya itu berdasar pada buku catatannya maka disebut orang yang dabit fi al-kitab (Rahman, 1978).

Adapun yang membedakan istilah dabit, berdasarkan bentuk kedabitan seorang periwayat hadis yang dibagi menjadi 2, sebagai berikut (Ismail, 1995b):

1. Istilah dabit saja, diperuntukkan bagi perawi yang menerima hadis dan hafal dengan sempurna hadis tersebut dan hadis tersebut dihafalkan kepada orang lain dengan baik.

2. Istilah tam dabt yakni dabt yang sempurna, diperuntukkan bagi perawi yang hadis diterimanya dihafal dengan sempurna, dan hadis yang dihafalnya mampu disampaikan dengan baik kepada orang lain serta paham dengan baik hadis yang dihafalnya tersebut.

(6)

Dabit yang termasuk dalam syarat-syarat hadis sahih adalah dabit yang sempurna (ad-dabt al-tamm). Sempurna baik dalam hal hafalan (dabit al-sadr) maupun dalam hal tulisan (dabit al-kitab). Ini pula yang nantinya membedakan pengertian antara hadis sahih dengan hadis hasan. Jika kedabitan perawi itu kurang atau sedikit, maka syarat hadis sahih tidak akan terpenuhi sehingga turunlah derajatnya menjadi hadis hasan (AW, 2022).

Adapun sebagian ulama hadis (seperti Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib) menggabungkan kriteria adil dan dabit menjadi satu istilah yakni tsiqah. Karena hakikatnya, 2 istilah tersebut sama bahkan istilah tsiqah tidak bisa mengubah defenisi hadis sahih atau maqbul. Istilah tsiqah pun lebih dikenal dikalangan para muhaddisin sebagai gabungan adil dan dabit (Zein, 2014).

Kaedah-Kaedah dan Kriteria Kedabitan Periwayat Hadis

Adapun penjelasan dalam ilmu hadis, bahwa periwayat dapat diterima riwayatnya ketika bersifat adil dan dabit, sebab periwayat yang bersifat adil belum tentu bersifat dabit. Sifat adil berkaitan dengan integritas pribadi seseorang diukur menurut ajaran Islam, sedangkan sifat dabit berkaitan dengan kemampuan intelektualnya. Seorang periwayat yang memiliki sifat adil dan dabit, disebut periwayat yang tsiqah (Ismail, 1995a). Jadi, orang yang tsiqah sudah pasti adil dan dabit, tetapi orang yang hanya adil atau hanya dabit belum tentu tsiqah.

Ulama hadis pada umumnya, tidak menerangkan argument unsur kaedah periwayat bersifat dabit secara mendasar. Akan tetapi, yang dikemukakan hanya berkaitan dengan salah satu unsur kaedah keshahihan sanad hadis sebagai pengertian dabit. Imam Al-Syafiy dari Ibnu Mas’ud telah meriwayatkan sabda Nabi yang berbunyi:

Artinya:

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ibrahim Ad Dimasyqi berkata: telah menceritakan kepada kami Mubasysyir bin Ismail Al Halabi dari Mu'an bin Rifa'ah dari Abdul Wahhab bin Bukht Al Makki dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Mudah-mudahan Allah mengaruniakan keelokan wajah kepada hambanya yang mendengar sabdaku, kemudian menghafalnya, memeliharanya, dan menyampaikannya kepada orang lain. Banyak orang yang menerima pengetahuan (hadis) hanya mampu menghafalnya dan tidak memahami benar pengetahuan itu, dan banyak orang yang menerima pengetahuan (hadis) kemudian menyampaikannya kepada orang yang paham darinya”. (HR. Ibnu Majah). (al-Qazwaini, n.d.).

Dari hadis tersebut diperoleh petunjuk bahwa penerimaan riwayat hadis yang lazim terjadi pada zaman Nabi ialah melalui cara al-sama’ (mendengarkan).

Sedangkan, orang-orang yang menyampaikan hadis (ada’ al-hadis) terlebih dahulu harus menghafal serta mampu menyampaikan riwayat hadis yang diterimanya itu kepada orang lain. Periwayat yang hafal, mampu menyampaikan dan paham secara mendalam terhadap hadis yang diriwayatkannya dengan sendirinya lebih baik (berbobot), daripada seorang

(7)

periwayat yang hanya hafal dan mampu menyampaikan hadis saja (Ahmad, 2013).

Abdul Majid Khon menjelaskan bahwa, untuk mengetahui ke-dabitan seorang periwayat hadis yakni dengan melakukan komparasi dengan riwayat- riwayat orang yang siqah lainnya atau adanya keterangan dari seorang peneliti yang dapat dipertanggung jawabkan (mu’tabar). Adapun proses perbandingan sanad periwayatan hadis dengan berbagai sanad yang berbeda, jika riwayatnya memiliki banyak kesesuaian dengan riwayat orang-orang yang siqah maka termasuk perawi yang dabit, tetapi ketika riwayatnya bertentangan maka ia tidak termasuk dabit (Ilyas et al., 2020). Prosedur dabit terbagi menjadi dua yakni mahfuz (yang dihafalkan) dan melayankannya semula kepada keseorangan.

Untuk mengetahui sudah sesuai prosedurnya, melalui bandingan untaian rawi yang lebih tsiqah darinya, serta komentar hadis yang terpercaya (Ismail, 1992).

Selain itu, pendapat lain terkait cara mengetahui ke-dabitan periwayat hadis menurut pendapat ulama ialah sebagai berikut (Yahya, 2016):

1. Kedabitan periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama, 2. Kedabitan periwayat dapat diketahui juga berdasar riwayatnya dengan

riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal kedabitannya, baik kesesuaian itu sampai tingkat makna maupun sampai tingkat harfiah,

3. Periwayat yang sekali-kali mengalami kekeliruan, tetap dinyatakan dabit asalkan kesalahan itu tidak sering terjadi. Jika ia sering mengalami kekeliruan dalam riwayat hadis, maka tidak disebut dabit.

M. Syuhudi Ismail menyebutkan dalam bukunya “Metodologi Penelitian Hadis Nabi”, bahwa kriteria ke-dabitan seorang perawi hadis, maka ulama telah memberikan rumusan kaedah-kaedah dabit perawi, yaitu (Ismail, 1992):

1. Periwayat itu memahami riwayat yang telah didengar atau diterimanya dengan baik,

2. Periwayat itu hafal riwayat yang telah didengarnya atau diterimanya dengan baik,

3. Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya itu dengan baik; a) kapan saja dia mengkhendakinya, dan b) sampai pada saat dia menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.

Adapun Abustani Ilyas dkk., menjelaskan kriteria ke-dabitan seorang perawi hadis dengan memberikan rumusan kaedah ke-dabitan perawi yakni:

1. Hafal dengan baik hadis yang diriwayatkan, artinya kemampuan hafalan perawi merupakan syarat untuk dapat disebut sebagai orang yang dabit, meskipun ada ulama yang mendasarkan kedabit-an bukan hanya pada kemampuan hafalan saja tetapi juga kemampuan pemahaman. Selain itu, seorang perawi tidak melakukan penambahan atau pengurangan (kata atau kalimat) pada hadis yang diriwayatkan, yakni harus meriwayatkan seperti saat penerimaan dan pengamalan hadis yang dihafalnya (Ilyas et al., 2020; Wangsa & Rayyn, 2022).

2. Terpelihara catatan hadisnya (dabt al-kitab), artinya ketika seorang perawi menerima hadis melalui catatan atau tulisan berupa buku, maka perawi tersebut dikehendaki memelihara dengan sempurna dimulai ketika

(8)

diterima dari gurunya hingga disampaikan kepada perawi lain atau murid-muridnya. Hal demikian karena dabt kitab, ialah perawi yang memahami dengan baik tulisan hadis yang terdapat didalam kitab yang ada padanya, sehingga ketika ada kesalahan tulisan dalam kitab maka diketahui letak kesalahannya. Sehingga, apabila terjadi kerusakan atau kehilangan dalam tulisannya maka perawi tersebut tidak lagi disebut dabt al-kitab karena ke-dabitannya tergantung pada kitab atau tulisannya tersebut (Ilyas et al., 2020; Wangsa & Rayyn, 2022).

3. Paham hadis yang diriwayatkan, bahwa sebagian ulama tidak mengharuskan perawi memahami dengan baik riwayat hadis yang telah didengarnya, dengan pertimbangan bahwa: a) apabila seorang perawi telah hafal dengan baik riwayat yang diterimanya, maka dengan sendirinya dia telah memahami apa yang telah dihafalnya itu., b) yang dipentingkan bagi seorang perawi adalah hafalannya dan bukan pemahamannya tentang apa yang diriwayatkannya. Adapun pemahaman seorang perawi terhadap hadis yang diriwayatkannya sangat berguna dalam periwayatan hadis, khususnya ketika terjadi perbedaan riwayat antara sesama perawi dabit. Sehingga, seorang perawi hadis yang hafal dan paham maka dinilai lebih kuat daripada perawi yang hanya hafal saja (Ilyas et al., 2020; Wangsa & Rayyn, 2022).

Adapun ukuran kedabitan periwayat hadis, yakni bisa dilihat dari kriteria dabit di atas, kriteria pertama mengatakan bahwa tidak semua ulama menyebutkannya. Kriteria kedua bahwa para ulama sependapat dengan hal itu, sedangkan kriteria ketiga terdapat dua versi yang berbeda, yaitu ada yang melakukan pembatasan waktu dan ada yang tidak melakukan pembatasan waktu. Adapun ulama yang tidak menyatakan kriteria pertama, boleh jadi mereka tidak mempunyai pertimbangan, bahwa:

1. Apabila seorang periwayat telah hafal dengan baik riwayat yang diterimanya, maka dengan sendirinya dia telah memahami apa yang telah dihafalnya itu, atau

2. Yang dipentingkan bagi seorang periwayat adalah bukan pemahamannya tentang apa yang diriwayatkan melainkan cukup hafalannya saja.

Pertimbangan yang disebutkan pertama tidak cukup kuat. Karena orang yang hafal tidak dengan sendirinya paham akan apa yang dihafalnya. Jika demikian halnya, pertimbangan yang disebutkan kedua merupakan dasar kedabitan periwayat menurut sebagian ulama di atas.

Ali Mustafa Yaqub menjelaskan metode mengetahui kedabitan seorang perawi. Yaitu dengan melakukan dua cara: 1) Uji perbandingan dengan hadis lain, 2) Uji perbandingan dengan teks-teks Alquran. Untuk metode pertama yaitu dengan melakukan uji perbandingan antara hadisnya dengan hadis siqah lain.

Bilamana hadis lain maksudnya banyak kesesuaian dengan riwayatnya, maka ia termasuk kategori dabit, sebaliknya bila tidak demikian maka ia dinilai tidak dabit. Itu sekaligus menjadikan hadisnya gugur, dan tidak dapat dijadikan hujah.

Untuk metode kedua, menurut Mustafa Yaqub adalah dengan melakukan uji pencocokan antara hadisnya dengan Alquran. Apabila maksudnya seiring sejalan, maka ia diterima sebagai perawi yang dabit. Begitu pula sebaliknya,

(9)

apabila terdapat pertentangan antara maksud Alquran dengan hadis-hadisnya maka ia diniliai tidak dabit. Namun demikian, tidak semua hadis yang kelihatannya berlawanan dengan Alquran secara otomatis riwayatnya gugur.

Sebab, adakalanya orang yang meriwayatkan hadis sejenis itu sudah dikenal sebagai perawi yang dabit. Dalam hal seperti ini, hadis yang kontreversian dengan Alquran tetap disebut sebagai hadis sahih, hanya saja ia termasuk ke dalam kategori hadis-hadis mukhtalif. Untuk hadis-hadis semacam ini, sudah ada metode khusus dalam memahaminya (Darta, 2019).

Adapun pendapat lain terkait upaya mendeteksi kedabitan perawi dengan memperbandingkan hadis-hadis yang diriwayatkannya dengan hadis lain atau al-Qur’an, maka dapat melalui 6 metode perbandingan hadis yaitu (Yahya, 2016):

1. Memperbandingkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah sahabat Rasulullah antara satu dengan yang lain.

2. Memperbandingan hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi pada masa yang berlainan.

3. Memperhatikan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para periwayat yang berasal dari guru hadis.

4. Memperbandingkan suatu hadis yang diajarkan oleh seorang dengan hadis semisal yang diajarkan oleh guru lain.

5. Memperbandingkan antara hadis-hadis yang tertuis dalam buku dengan yang tertulis dalam buku lain atau dengan hafalan hadis.

6. Memperbandingkan hadis-hadis dengan ayat-ayat al-Qur’an.

Dalam upaya mendeteksi ke-dabitan rawi dengan memperbandingkan hadis-hadis yang diriwayatkannya dengan hadis lain atau dengan al-Qur’an, maka dapat melalui enam metode perbandingan hadis sebagai berikut:

1. Memperbandingkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah sahabat Rasulullah, antara satu dengan yang lain. Metode ini sudah muncul pada masa abu Bakar al-Shiddiq, dan beliaulah orang yang pertama kali menggunakan metode ini. Misalnya: ketika didatangi seorang nenek yang menuntut hak warisnya. Abu Bakar berkata, “Dalam kitab Allah saya tidak menemukan bahwa anda memperoleh hak waris.

Saya juga tidak tahu apakah rasulullah pernah memperoleh hak waris”.

Beliau kemudian menanyakan para sahabat yang lain tentang hak waris bagi nenek. Maka kemudian al-Mughirah menjawab, “Saya pernah melihat rasulullah memberikan bagian seperenam dari harta pusaka untuk nenek”. Apakah kamu punya saksi untuk itu?” tanya Abu Bakar kepada al-Mughirah. Tiba-tiba Muhammad bin Maslamah berdiri dan mengatakan bahwa ia menyaksikan hal itu. Akhirnya Abu Bakar memutuskan untuk memberikan bagian seperenem dari harta pusaka mayit untuk nenek. Di sini Abu Bakar telah membanding hadis riwayat al-Mughirah dengan hadis riwayat Muhammad bin Maslamah. Dan sebenarnya beliau bukan tidak percaya terhadap kredibilitas al-Mughirah sebagai rawi, melainkan beliau hanya ingin mengetahui hadis itu lebih tajam (Yahya, 2016).

2. Memperbandingkan Hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi pada masa yang berlainan. Seperti yang dilakukan ‘umm al-Mukminin Aisyah

(10)

ra. Beliau menyuruh ponakannya ‘urwah bin al-Zubair untuk menanyakan hadis-hadis kepada Abdullah bin Amr. ‘Urwah kemudian melakukan hal itu dengan memberitahukannya kepada Aisyah. Satu tahun kemudian, Aisyah menyuruh lagi untuk melakukan hal yang sama.

Dan ternyata Abullah bin Amr menyampaikan hadis-hadis yang sama seperti yang disampaikan pada tahun yang lalu. Karenanya, setelah Aisyah diberi tahu, beliau berkomentar, “dugaanku tepat”, Abdullah bin Amr benar. Ia tidak menambah atau mengurangi hadis-hadis itu (Yahya, 2016).

3. Memperhatikan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para periwayat yang berasal dari guru hadis, Seperti upaya yang pernah dilakukan oleh ibn Ma’in. Beliau mencocokkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh muridmurid Hammad bin Salamah. Hadis-hadis itu dicocokkan dari satu murid ke murid yang lain, sehingga apabila terdapat kekeliruan hal itu dapat segera diketahui (Yahya, 2016).

4. Memperbandingkan Suatu hadis yang sedang diajarkan oleh seorang dengan hadis semisal yang diajarkan oleh guru lain, seperti peristiwa yang terjadi pada Sufyan al-Tsauri Ketika itu ia sedang mengajarkan hadis, ia menuturkan bahwa hadis itu dterimanya dari al-Zuhri. Tiba-tiba muridmuridnya mempertanyakan hadis itu, karena mereka megetahui bahwa Malik mengatakan bahwa ia menerima hadis itu dari al-Miswar bin Rifa’ah, bukan dari al-Zuhri. Sufyan kemudian menjawab, “saya benar-benar mendengar hadis itu dari al-Zuhri seperti yang saya ceritakan tadi. (Yahya, 2016).

5. Memperbandingkan antara hadis-hadis yang tertulis dalam buku dengan yang tertulis dalam buku lain, atau dengan hafalan hadis. Abdurrahman al- Ashpahani pernah mengajarkan suatu hadis yang –menurutnya- berasal dari Abu Huraerah. Hadis itu berbunyi, “Akhirkan Shalat Dhuhur (pada waktu panas), karena panas yang sangat itu berasal dari luapan jahannam”. Kemudian Abu Zur’ah keliru. Orang-orang yang meriwayatkan hadis itu dari Abu sa’id bukan Abu Huraerah”. Kritik Abu Zur’ah itu tampaknya mengena. Abdurrahman akhirnya melihat kembali bukunya. Dan ternyata disitu tertulis “ dari Abu Sa’id” (Yahya, 2016).

6. Memperbandingkan Hadis-hadis dengan Ayat-ayat al-Qur’an.

Pencocokan hadis dengan ayat-ayat al-Qur’an ini merupakan upaya kritik hadis yang sudah muncul sejak dini. Misalnya: Khalifah Umar bin al- Khattab pernah menolak hadis yang disampaikan oleh fatimah binti Qais.

Ia dithalak suaminya, dan katanya, Rasulullah tidak memberikan hak nafkahnya dan tempat tinggal kepadanya. Menurut Umar, hadis yang diriwayatkan fatimah itu bertentangan dengan al-Qur’an, surah al-Thalaq ayat 1. Karenanya, umar tetap memberikan hak nafaqahnya dan tempat tinggal kepada wanita seperti itu. “kami tidak akan meninggalkan kitab Allah dan sunnah Rasulullah saw. Hanya karena ucapan seorang wanita yang boleh jadi ia ingat atau lupa”, begitu beliau beralasan (Yahya, 2016).

Dasar penetapan kedabitan periwayat secara implisit adalah hafalannya dan bukan tingkat pemahaman periwayat tersebut terhadap hadis yang

(11)

diriwayatkannya. Pemahaman akan hadis yang diriwayatkan tetap sangat berguna dalam periwayatan hadis, khususnya ketika terjadi perbedaan. Dengan demikian, periwayat yang paham dan hafal dinilai lebih kuat daripada periwayat yang sekedar hafal saja. Jadi bagaimanapun, periwayat yang hafal, atau hafal dan mampu menyampaikan hadis yang diriwayatkan itu kepada orang lain akan tetap mendapat tempat yang lebih tinggi daripada periwayat yang hanya hafal dan mampu menyampaikan hadis yang diriwayatkan itu kepada orang lain (Syahraeni, 2011).

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa penetapan unsur periwayat bersifat dabit berdasarkan kepada argumen naqli (hadis Nabi Saw.). Dari hadis Nabi tersebut pun dapat dipahami, bahwa ada periwayat yang hafal dan mampu menyampaikan riwayat hadis tetapi kurang paham terhadap kandungannya.

Disamping itu, ada pula periwayat yang hafal, mampu menyampaikan hadis yang telah dihafalnya dan paham akan kandungan hadis yang diriwayatkannya (Ismail, 1995b).

Adapun argumen lain yang mendasari unsur periwayat yang bersifat dabit selain naqli, ialah argumen sejarah dan argumen logika. Unsur tersebut dinyatakan emmiliki argumen sejarah, krena periwayatan hadis dalam sejarahnya lebih banyak berlangsung secara lisan daripada secara tertulis.

Periwayatan lisan mengharuskan periwayatnya memiliki hafalan yang baik, sebab jika tidak memiliki hafalan yang baik maka sangat sulit dipercaya kesahihan riwayatnya. Adapun argumen logikanya dapat dinyatakan sebagai berikut:

1. Sulit dipercaya seorang periwayat menyampaikan riwayat hadis secara lisan (hafalan), sedangkan periwayat tersebut tidak hafal tentang hadis yang diriwayatkannya.

2. Sulit dipercaya seorang periwayat menyampaikan hadis secara tertulis, sedangkan periwayat tersebut tidak memahami apa yang termaktub dalam catatan hadisnya.

3. Periwayat yang paham, hafal dan mampu menyampaikan riwayat hadis lebih dapat dipercaya daripada periwayat yang hafal dan mampu menyampaikan riwayat hadis tetapi tidak memahami hadis yang diriwayatkannya.

Dengan demikian, argumen-argumen yang mendasari unsur periwayat hadis bersifat dabit cukup kuat, karena adanya argumen naqli, sejarah dan logika.

Menurut Ibn Hajar al-Asqalani yang pendapatnya dijelaskan pula oleh Ali al-Qari, bahwa perilaku atau keadaan yang dapat merusak berat ke-dabitan periwayat ada 5 macam, yaitu (Ismail, 1992):

1. Dalam proses periwayatan hadis, lebih banyak salahnya daripada benarnya (fahusya galatuhu),

2. Lebih menonjol sifat lupanya daripada hafalnya (al-gaflah ‘an al-itqan), 3. Riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan (al-

wahm),

4. Riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang disampaikan oleh orang- orang yang siqah,

(12)

5. Jelek hafalannya, walaupun ada juga sebagian riwayatnya itu yang benar.

Adapun hadis-hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang memiliki sifat sebagian dari sifat-sifat yang telah disebutkan, maka dinilai oleh ulama hadis sebagai hadis yang memiliki kualitas lemah (dhaif).

Dalam bukunya Ahmad Umar Hasyim yang berjudul Qawaid Ushul al- Hadis, menjelaskan bahwa ada enam hal yang menyebabkan kecacatan rawi yang diakibatkan oleh hilangnya syarat dhabith, hal tersebut adalah sebagai berikut (Hasyim, 1991):

1. Fahsy al-Ghalad (banyak/sering salah). Perawi yang memiliki sifat ini, menurut Ibnu Hajar, hadisnya munkar atau matruk.

2. Fahsy al-Ghaflah (banyak/sering lupa), jika seorang perawi keadaannya seperti ini maka hadis yang diriwayatkanya tergolong hadis munkar atau matruk.

3. Suu al-hifzhi orang yang tidak ditajrih (dikuatkan) sisi ketepatan (hafalannya) atau sisi kesalahan (hafalannya).

4. Al-Ikhtilat yaitu, rusaknya akal dan tidak teraturnya perkataan dan perbuatan disebabkan oleh hal-hal yang al-tariah (incidental), apakah karena usia, hilangnya penglihatan, hilangnya buku catatan hadis, atau sebab lain sehingga hafalannya menjadi buruk, pada hal sebelumnya ia dabit. Maka semua perawi yang masuk dalam golongan ini jatuh dari derajat shahih dan hasan. Namun dapat naik ketingkat hasan jika ada syahid atau tabi’.

5. al-Wahm, jika didapatkan melalui qarinah-qarinah dan pengumpulan jalur- jalur, maka hadisnya mu’allal.

6. Mukhalafah al-Tsiqah. jika terjadi dengan mengubah siyaq, maka menjadi mudraj al-Isnad atau mencampurkan yang mauquf dengan yang marfu’

maka menjadi mudraj al-matan atau mentaqdimkan atau mentakhirkan, maka menjadi maqlub atau dengan penambahan seorang rawi.

Sayyi’ul hifz (orang yang memiliki sifat su’ul hifz), ialah perawi yang tidak dapat dikuatkan sisi kebenaran hafalannya atas keburukan hafalannya. Adapun su’ul hifz terbagi menjadi 2 macam (Al-Qaththan, 2015):

1. Su’ul hifz yang dimulai sejak lahir dan masih tetap padanya, dan menjadikan riwayatnya ditolak. Menurut pendpat sebagian ahli hadis, khabr yang dibawanya disebut “syadz”.

2. Sesuatu yang menimpa perawi seiring perjalanan waktu, baik karena lanjut usianya, hilang penglihatan (buta), atau karena kitab-kitabnya terbakar. Hal demikian tersebut disebut “al-mukhtalith (rusak akalnya, fikirannya atau hafalannya)”. Hukum periwayatannya adalah:

a. Jika terjadi sebelum rusak hafalannya dan masih dapat dibedakan, maka diterima riwayatnya.

b. Jika terjadi setelah rusak hafalannya, amka ditolak riwayatnya.

c. Adapun jika tidak bisa ditentukan apakah terjadi sebelum rusak atau sesudahnya, maka hukum riwayat seperti ini adalah tawaqquf (yaitu tidak diterima dan tidak pula ditolak sampai ada ketentuan yang bisa membedakan).

(13)

Lafal-lafal Jarh wa Ta’dil

Ibnu Salah mengutip pendapat Ibnu Abi Hatim al-Razi, membagi tingkatan al-jarh wa ta’dil menjadi 4 tingkatan, sebagai berikut:

1. Tingkatan al-ta’dil menurut al-Razi, yakni (Sya’roni, 2008; Wangsa &

Rayyn, 2022):

a. Bila dikatakan bagi rawi

تبث

(orang yang teguh),

نقتم

(orang yang meyakinkan),

ةقث

(orang yang terpercaya), maka perawi tersebut merupakan orang yang hadisnya dapat diterima dan dipakai berhujjah. Selanjutnya Ibn Salah menambahkan istilah lain,

طباض

(orang yang kuat ingatannya),

ظفاح

(orang yang hafal), dan

هجح

(orang yang ahli).

b. Bila dikatakan

قودص

(orang yang jujur/benar),

قودصلا لمح

(tempatnya kejujuran),

هب سبأ لا

(orang yang tidak cacat), maka ia adalah orang yang hadisnya dapat ditulis dan diperhatikan. Dan berada pada tingkatan ke-2.

c. Bila dikatakan baginya

خيش

(orang tua), maka ia adalah orang yang hadisnya dapat ditulis dan diperhatikan namun statusnya dibawah tingkat ke-2.

d. Bila para ulama mengatakan

ثيدلحا لحاص

(baik hadisnya), maka hadisnya ditulis untuk I’tibar.

2. Tingkatan al-jarh menurut ar-Razi, yakni (Sya’roni, 2008):

a. Bila para ulama mengatakan tentang seorang rawi bahwa ia

ثيدلحا ينل

(lunak hadisnya), maka ia adalah orang yang hadisnya dapat ditulis dan diperhatikan untuk I’tibar.

b. Bila para ulama mengatakan

باوق هب سيل

(tidak kuat), maka orang yang bersangkutan dapat ditulis hadisnya akan tetapi berada ditingkatan dibawahnya.

c. Bila mereka mengatakan

ثيدلحا فيعض

(lemah hadisnya), maka yang bersangkutan berada dibawah tingkatan ke-2 namun hadisnya tidak boleh ditolak, melainkan dijadikan I’tibar.

d. Bila mereka mengatakan

ثيدلحا كوترم

(hadisnya ditinggalkan),

بهاذ ثيدلحا

(hilang hadisnya), maka yang bersangkutan hadisnya gugur dan tidak boleh ditulis. Dan posisinya berada ditingkatan ke-4.

Rawi yang cerdas serta mempunyai sifat ataupun akhlak yang baik maka periwayat yang seperti ini masuk kategori tsiqah, ketika hanya mempunyai satu sifat saja antar baik dan cerdas maka hal ini masuk kategori shoduq. Klasifikasi seperti ini sangat berimplikasi terhadap hadis yang diriwaytkannya. Perawi yang tsiqah maka kualitas hadisnya shahih, sedangkan perawi yang shaduq kualitas hadisnya hasan, dan begitu seterusnya (Saeed, Yousuf, Khan, & Rajput,

(14)

2022).

Untuk sifat adil dan dabit, masing-masing memiliki kriteria tersendiri.

Dengan adanya beberapa kriteria terhadap sifat adil dan sifat dhabith mengharuskan seorang peneliti bersikap cermat, sungguh-sungguh dan hati- hati, di samping itu seorang peneliti dituntut penguasaan terhadap kaedah- kaedah jarh wa al-ta’dil yang telah dikemukakan oleh para kritikus hadis selain ada beberapa macam, juga memiliki argumen yang mendukung lahirnya masing-masing kaedah. Para kritikus hadis adakalanya sependapat dalam menilai pribadi periwayat hadis tertentu dan adakalanya berbeda pendapat.

Selain itu, adakalanya seorang kritikus dalam menilai periwayat tertentu berbeda, misalnya saja pada suatu saat dia menyatakan

سبأ هب سيل

dan pada saat yang lain dia menyatakan

فيعض

terhadap periwayat tertentu tersebut. Padahal, kedua lafal itu memiliki pengertian dan peringkat yang berbeda (Wangsa &

Rayyn, 2022). Dengan demikian, para ahli hadis sepakat bahwa hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang bersifat tam al-dabt menempati posisi tertinggi.

Artinya, suatu hadis bisa disebut sahih sanadnya, apabila hadis tersebut diriwayatkan secara berkesinambungan oleh rawi yang tsiqah.

KESIMPULAN

Dabit ialah periwayat yang memiliki hafalan yang kuat dalam meriwayatkan hadis, mulai dari ketika mendengarkan (menerima) riwayat sampai menyampaikan riwayat kepada orang lain dan memahami apa yang disampaikannya itu. Terkait Kaedah-kaedah kedabitan, menurut para ulama yaitu: a) Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengar atau diterimanya, b)Periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya atau dttiterimanya, c) Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya itu dengan baik yakni: kapan saja dia mengkhendakinya, dan sampai pada saat dia menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.

Adapun terkait dengan lafal-lafal Jarh wa Ta’dil, ulama berbeda pandangan terkait dengan peristilahan, tingkatan bahkan dalam mengklasifikasi. Lafal-lafal tersebut mengalami perkembangan berdasarkan penilaian kritikus hadis.

Uraian terkait dengan kedabitan periwayat hadis, masih sangat dibutuhkan utamanya pada penelitian hadis di aspek matan hadis karena kedabitan periwayat akan mempengaruhi kualitas atau kondisi sebuah matan hadis.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, A. (2013). Metodelogi Pemahaman Hadis: Kajian Ilmu Ma’ani al-Hadis.

Makassar: Cet. II; Alauddin University Press.

al-Munawwir, A. W. (1997). Kamus al-Munawwir. Surabaya: Cet. XIV; Pustaka Progresif.

Al-Qaththan, M. (2015). Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (12th ed.; A. Z. Akaha &

M. Ihsan, eds.). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Al-Qazwaini>, I. M. A. ‘Abdilla>h M. bin Y. (n.d.). Sunan Ibn Ma>jah. In 1 (p.

15). t.t: Da>r al-Ih}ya> al-Kitab al-‘Arabiyyah.

Al-Rasikh, A. M. (2012). Kamus Istilah-Istilah Hadis. Bekasi: Cet. II; PT. Darul Falah.

Alfiah, Fitriadi, & Suja’i. (2016). Studi Ilmu Hadis. In IAIN PO Press. Pekanbaru:

Kreasi Edukasi.

Alkaoud, M., & Syed, M. (2021). Learning to Identify Narrators in Classical Arabic Texts. Procedia CIRP, 189, 335–342.

https://doi.org/10.1016/j.procs.2021.05.109

Alwi, Z., Fauzi, A., Rahman, Wasalmi, & Zulfahmi. (2021). Studi Ilmu Hadis Jilid 1 (1st ed.; Hakis & S. Nurachma, eds.). Depok: Rajawali Press.

Amin, M. (2011). Ilmu Hadis. Gorontalo: Cet. II; Sultan Amai Press.

AW, L. C. (2022). Hadis Tarbawi: Relevansi Hadis-Hadis Tarbawi dengan Teori Pendidikan Modern. In http://repository.uinsby.ac.id/. Surabaya: Cet. I;

Penerbit Nuwailah Ahsana.

Darta, A. (2019). Aplikasi Al-Jarh Wa Al-Ta’Dil Muhammad Al-Ghazali dan Ali Mustofa Ya’Kuf. Al-I’jaz : Jurnal Kewahyuan Islam, 53(9), 24–42. Retrieved from http://www.elsevier.com/locate/scp

Hafid, E. (2014). Kamus Istilah Hadis Kumpulan Istilah Ahli Hadis Disusun Berdasarkan Abjad. Makassar: Cet. I; Alauddin University Press.

Hasan, M. (2012). Ilmu Hadis. Cet. I; Bandung: CV. Pustaka Setia.

Hasyim, A. U. (1991). Qawa’id al-Ushul al-Hadis. Kairo.

Ibn al-Salah, U. bin A. al-R. A. A. T. al-D. (2002). Ma’rifat al-Anwa’ ’Ulum al-Hadis - Muqaddimah Ibn Salah. Cet. I; Dar al-Kitab al-’Ilmiyah.

Ilyas, A., Ahmad, L. O. I., & Assagaf, M. Y. (2020). Epistemologi Kritik Sanad; Antara Normativitas, Historisitas dan Aplikatif (1st ed.). Bantul: Semesta Aksara.

Ismail, M. S. (1992). Metodologi Peneltian Hadis Nabi. Jakarta: Cet. I; Bulan Bintang.

Ismail, M. S. (1995a). Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya.

Jakarta: Cet. I; Gema Insani Press.

Ismail, M. S. (1995b). Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Cet. II; Bulan Bintang.

(16)

Kementerian Agama RI. (2019). Al-Qur’an dan Terjemahnya. Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an.

Malik, M., & Bunganegara, M. H. (2022). Tinjauan Pemahaman Hadis dan Sunnah;

Aspek Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis. 24(2), 184–200. Retrieved from https://journal3.uin-

alauddin.ac.id/index.php/alfikr/article/view/30108

Munadi, R. (2021). Peran Pengkaji Hadis dalam Menjaga Eksistensi Sunnah.

Jurnal Ushuluddin: Media Dialog Pemikiran …, 23(1), 45–56. Retrieved from https://journal3.uin-

alauddin.ac.id/index.php/alfikr/article/view/19445

Nata, A. (1999). Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Rahman, F. (1978). Ikhtishar Mushthalahul-Hadits. Bandung: Cet. II; Al-Ma’arif.

Rajab, H. (2021). Hadis Mardūd Dan Diskusi Tentang Pengamalannya. Jurnal

Studi Islam, 10(1), 523–544.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.3347/jsi.v2i1.2229

Rayyn, I. G. B. A. P., Tangngareng, T., & Puyu, S. D. (2021). Sejarah dan Kaidah Al-Jarh wa al-Ta’dil. Ihyaussunnah : Journal of Ulumul Hadith and Living

Sunnah, 2(1), 142–163.

https://doi.org/https://doi.org/10.24252/ihyaussunnah.v1i2.29997 Saeed, S., Yousuf, S., Khan, F., & Rajput, Q. (2022). Social network analysis of

Hadith narrators. Journal of King Saud University - Computer and Information Sciences, 34(6), 3766–3774. https://doi.org/10.1016/j.jksuci.2021.01.019 Satria, O. (2020). Interpretasi Sufistik Hadis (Telaah Pemikiran Jalaluddin Rumi

dalam Kitab Fihi Mā Fihi). Ishlah: Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab Dan Dakwah, 1(1), 1–23. https://doi.org/10.32939/ishlah.v1i1.26

Sya’roni, U. (2008). Otentisitas Hadis: Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi. Jakarta:

Cet. II; Pustaka Firdaus.

Syahraeni, A. (2011). Kritik Sanad Dalam Perspektif Sejarah. Makassar: Cet. I;

Alauddin University Press.

Syarifuddin, & Rosyid, M. Z. (2019). Persoalan Otentitas Hadis Perspektif Ignaz Golziher. Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan Dan Kemasyarakatan, 13(2), 193–211. https://doi.org/10.35931/aq.v3i2.158

Wangsa, F. A., & Rayyn, I. G. B. A. P. (2022). Al-Jarh} wa Al-Tadil: Sebuah Pengantar.

Bantul: Cet.I; Semesta Aksara.

Yahya, M. (2016). Ulumul Hadis Sebuah Pengantar dan Aplikasinya. In Mutmainnah (Ed.), Repository UIN Alauddin Makassar. Makassar: Cet. I;

Penerbit Syahadah.

Yuslem, N. (2001). Ulumul Hadis. t.t: Mutiara Sumber Widya.

Zein, M. M. (2014). Ilmu Memahami Hadis Nabi. Yogyakarta: Cet. I; Pustaka Pesantren.

Referensi

Dokumen terkait

Dari 46 jenis mamalia yang teridentifikasi tersebut, terdapat 37 jenis mamalia termasuk dalam daftar jenis mamalia yang telah dilindungi oleh IUCN dengan

Mitos menurut semiotik Roland Barthes menjelaskan bahwa makna hedonisme memiliki pengertian yang dapat direpresentasikan menjadi suatu aktivitas dan tindakan-tindakan

Cara guru melibatkan peserta didik ini kemudian lazim disebut dengan gaya mengajar ( teaching style ). Harus kita sadari bersama bahwa proses pembelajaran Penjas

n. Memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi social. Calon anak angkat adalah kembar, pengangkatan anak dapat dilakukan sekaligus dengan saudara kembarnya oleh

Efek ini ekstrak batang brotowali terhadap peningkatan nafsu makan setara dengan efek yang diberikan oleh ekstrak kurkumin dari kunyit seperti terlihat dari

Waktu kematian nimfa dan imago sangat bervariasi, karena itu pengamatan dilakukan terhadap estimasi rata-rata hati kematian nimfa dan imago dengan mengamati jumlah

Tujuan dari penelitian ini, yaitu menentukan pengaruh perbedaan konsentrasi rumput laut, kolagen dan interaksi keduanya terhadap sifat fisiko-kimia serta mutu sensoris

Aplikasi sensor accelerometer pada handphone android se- bagai pencatat gempabumi secara online ini menggunakan web server untuk menghimpun data dari pembacaan getaran di lapangan