• Tidak ada hasil yang ditemukan

eL-Hekam: Jurnal Studi Keislaman https://ojs.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/elhekam/index

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "eL-Hekam: Jurnal Studi Keislaman https://ojs.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/elhekam/index"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

eL-Hekam: Jurnal Studi Keislaman

https://ojs.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/elhekam/index P - ISSN: 2528-2506

E - ISSN: 2549-8940)

POLITIK HUKUM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

“BIDANG PERADILAN AGAMA”

Afrian Raus1, Hebby Rahmatul Utamy*2,Roni Efendi3

1,2,3Universitas Islam Negeri Mahmud Yunus Batusangkar, Indonesia

Korespondensi: Jl. Jenderal Sudirman No.137, Limo Kaum, Kec. Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat 27217

e-mail: afrianraus1@gmail.com1, hebby.ru@iainbatusangkar.ac.id2, roniefendi@iainbatusangkar.ac.id3

*) Corresponding Author

Abstrak: Kekuasaan kahakiman di Indonesia sebagai lembaga yang memberikan keadilan dan pengayoman kepada masyarakat sejak sebelum kemerdekaan sampai saat ini sudah mengalami perubahan terkait dengan kemandirian pada lembaga tersebut. Peradilan agama salah satu yang menjalankan tugas kekuasaan kehakiman mengalami pasang surut disebabkan perubahan hukum dan politik negara Indonesia. Dasar yuridis peradilan agama di Indonesia yakni Pancasila, Dekrik Presiden 5 Juli tahun 1959 dan Undang-undang Dasar 1945. Pada awal kemerdekaan peradilan agama berada di bawah Departemen Agama. Namun, pada tahun 1948 keberadaannya sudah tidak diakui lagi. Tahun 1957 peradilan agama dibentuk kembali melalui Peraturan Pemerintah guna memenuhi kehendak masyarakat. Tahun 1964 peradilan agama kembali masuk pada kekuasaan kehakiman namun tidak setara dengan peradilan lain karena peradilan agama termasuk pada peradilan khusus. Tahun 1970 peradilan agama baru disetarakan dengan peradilan lain.

Kemudian peradilan agama diatur dalam Undang-undang No. 7 tahun 1989 namun kemandirian sudah tidak ada lagi karena perkara yang diputuskan oleh peradilan agama harus dikukuhkan oleh peradilan negeri. Setelah era reformasi kemandirian dan wewenang peradilan agama baru setara dengan peradilan lain dan dinyatakan Undang-undang Dasar 1945 setelah diamandemen.

Gerakan reformasi berhasil merubah tatanan politik dan hukum di Indonesia sehingga semua lembaga peradilan berada dalam satu atap di bawah lingkungan Mahkamah Agung.

Kata Kunci: Politik Kekuasaan Kehakiman, Peradilan Agama

Abstract: Judicial power in Indonesia as an institution that provides justice and protection to the community since before independence until now has undergone changes related to the independence of the institution. Religious courts, one of which carries out the duties of judicial power, have experienced ups and downs due to changes in the law and politics of the Indonesian state. The juridical basis of religious courts in Indonesia is Pancasila, the Presidential Decree of 5 July 1959 and the 1945 Constitution. At the beginning of independence, the religious courts were under the Ministry of Religion. However, in 1948 its existence was no longer recognized. In 1957 the religious court was re-established through a Government Regulation to fulfill the will of the people. In 1964 the religious court returned to judicial authority but was not equal to other courts because the religious court was included in a special court. In 1970 the new religious court was equated with other courts. Then religious justice is regulated in Law no. 7 of 1989 but independence no longer exists because cases decided by the religious court must be confirmed

(2)

by the district court. After the reform era, the independence and authority of the new religious court was equal to other courts and was stated in the 1945 Constitution after being amended.

The reform movement succeeded in changing the political and legal order in Indonesia so that all judicial institutions were under one roof under the Supreme Court.

Keywords: Judicial Power Politics, Religious Courts

PENDAHULUAN

Kekuasaan kahakiman di Indoensia telah mengalami beberapa kali perubahan. Setiap perubahan memiliki pengaruh yang cukup besar hal ini dapat dilihat dari terjadinya perubahan Undang-undang sampai perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. (Rachmani Puspitadewi, 2006:

1) Sehingga kekuasaan kehakiman sangat fundamental sebagai bagian dari poros kekuasaan yang berfungsi menegakkan keadilah (Achmad Edi Subiyanto, 2012: 661)

Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh empat badan Peradilan yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah rechtspraaken yakni: Peradilan Gubernemen, Peradilan Pribumi, Peradilan Swapraja dan Peradilan Desa. Peradilan Gubernemen terdiri Peradilan Sipil dan Peradilan Militer. Peradilan Sipil terdiri atas empat kamar yaitu: Landgreceht (yang berlaku untuk semua golongan), Inlandsche Rechtspraak atau Peradilan Pribumi, Europeesche Rechtspraak dan Peradilan Agama yang mengadili perkara agama Islam terdapat di Jawa dan Madura. ( Bahder Johan Nasution, 2014: 15-16)

Pada masa pemerintahan Jepang peradilan bertujuan hanya untuk melindungi para tentara Jepang, pembentukannya didasarkan pada Osamu Gunrei Nomor 2/1942, sementara sebelumnya dengan Osamugunrei Nomor 1/1942 telah diatur tentang jenis-jenis hukuman pidana yang dapat dijatuhkan.

Seiring dengan itu Gunritukaigi berwenang mengadili tindak pidana yang pada pokoknya dikualifisir sebagai kejahatan yang bersifat menggangu, menghalang-halangi dan melawan bala tentara Jepang. Selain peradilan yang bersifat melindungi kepentingan milter, dengan UU Nomor 14 Tahun 1942 kemudian diubah dengan UU Nomor 34 tahun 1942 dibentuklah Gunsei Hoin yaitu Pengadilan Pemerintah Balatentara dan Gunsei Kensatu Kyoku atau

Kejaksanaan Pemerintah Balatentara. Kedua Undang-undang itu merupakan peraturan dasar bagi pembentukan organisasi peradilan di Jawa dan Madura. Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 1 tahun 1942, pada prinsipnya organisasi dan struktur badan peradilan sama dengan organisasi dan struktur badan peradilan sebelumnya yang berlaku pada masa Hindia Belanda dengan perubahan seperlunya. ( Bahder Johan Nasution, 2014:

22-24)

Setelah Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan landasan bagi terbentuknya sistem tata hukum baru yaitu sistem hukum Ketatanegaraan Indonesia. Dengan sistem hukum baru tersebut bangsa Indonesia bertekad untuk mengganti seluruh sistem hukum kolonial dengan sistem hukum nasional Indonesia. Hal ini merupakan konsekuensi suatu negara merdeka yang bebas dan berhak mengatur sendiri tata negara dan tata hukumnya. (Ridham Priskap, 2020: 324)

Kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 diatur dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman yang terdiri atas dua pasal, yakni Pasal 24 dan Pasal 25. Dalam Pasal 24 ayat (1) dinyatakan, bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang- undang. Ayat (2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan undang-undang. Adapun isi Pasal 25 berkaitan dengan syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Rumusan kedua pasal tersebut kemudian pada bagian Penjelasan UUD 1945 disebutkan, bahwa “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasan pemerintah. Rumusan kedua pasal tersebut merupakan sumber dari semua hukum yang terkait pelaksanaan kekuasaan kehakiman.

(Mahkamah Konstitusi RI, 2008: 10)

(3)

Kekuasaan kehakiman hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Lembaga Mahkamah Agung tersebut, sesuai dengan prinsip independent of judiciary diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya.(Jimly Asshiddiqie, 2005: 237) Kekuasaan kehakiman sejak awal kemerdekaan diniatkan sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dari lembaga-lembaga politik seperti Legislatif dan Presiden serta memiliki hak untuk menguji yakni hak menguji formil (formele toetsingrecht) dan hak menguji meteril (materiele toetsingrecht). (Abu Daud Busroh, 2001: 11, Sofyan Jailani, 2012: 2)

Sejak kemerdekaan negara republik Indonesia kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai puncak dari badan-badan pengadilan. Peradilan negara terdiri dari; Peradilan Umum, Peradilan Tata- usaha Pemerintahan dan Peradilan Ketentaraan. Sementara peradilan agama tidak termasuk ke dalam tiga peradilan negara tersebut. ini bukan berarti bahwa peradilan agama tidak ada, hanya saja pengaturan peradilan agama mengacu pada aturan yang sudah ada sebelumnya sebagai hukum peninggalan kolonial yakni Staatblad (LN) 1882 No. 152 jo Staatblad 1937 untuk Peradilan Agama di Jawa dan Madura, StaatBlad 1937 No. 638 dan 639 di Kalimantan Selatan. Artinya peradilan agama sudah diterapkan secara riil hanya saja belum seperti tiga badan peradilan yang sudah ada.(A. Hafizh Martius, 2016: 59-60)

Peradilan agama diartikan suatu upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan atau menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama Islam melalui lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman menuru peraturan perundang-undangan yang berlaku.(Abdullah Tri Wahyudi, 2016: 286-287) Perjalanan peradilan agama dalam sistem konstitusi negara Indonesia bisa dikatakan pasang surut yang disebabkan oleh perubahan hukum dan politik yang sering terjadi di negara Indonesia.

Mulai dari zama orde lama, orde baru sampai era reformasi. Peradilan agama sebagai lembaga yang menjalankan fungsinya di bawah

kekuasaan kehakiman tidak serta merta berada di posisi mandiri sebagai lembaga peradilan yang menciptakan hukum yang berkeadilan.

METODE

Sesuai dengan fokus tulisan ini, berikut akan di uraikan tentang politik hukum kekuasaan kehakiman di Indonesia bidang Peradilan Agama mulai dari awal kemerdekaan samapai era reformasi. Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan secara singkat tentang perjalanan peradilan agama dalam konstitusi Negara Republik Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Peradilan Agama dalam Politik hukum kekuasaan kehakiman di Indonesia.

1. Peradilan Agama dari Awal Kemerdekaan Dasar yuridis Peradilan agama di Indonesia menurut Mahfud MD paling tidak ada tiga yakni Pancasila, Dekrik Presiden 5 Juli 1959 dan Undang-undang Dasar 1945. (Mahfud MD, 1992: 16) Pancasila sebagai dasar dapat dilihat dari Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan Dekrik Presiden sebagai dasar dapat terlihat dengan tercantumnya Piagam Jakarta. Di dalam dekrit tersebut memberlakukan kembali UUD 1945 yang menyebabkan rumusan sila pertama Pancasila mendapat tambahan, yaitu “berkesesuaian dengan hakikat Tuhan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”.

Undasng-undang Dasar sebagai dasar dapat dilihat pada ketentuan Pasal II aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa semua “lembaga dan peraturan yang ada (pada saat sebelum Indonesia merdeka) masih terus berlaku selama belum dibuat lembaga dan peraturan baru menurut Undang-undang Dasar”. Dengan demikian peradilan agama di Indonesia merupakan lembaga peradilan yang diakui keberadaaannya secara konstitusinal.

Pada awal tahun 1946, tepatnya tanggal 3 Januari 1946, dibentuklah Kementrian Agama melalaui PP No. 1/SD tahun 1946.

Departemen Agama dimungkinkan melakukan konsolidasi atas seluruh

(4)

administrasi lembaga lembaga Islam dalam sebuah badan yang bersifat nasional.

Berlakunya Undang-undang No. 22 tahun 1946 menunjukkan dengan jelas maksud untuk mempersatukan administrasi Nikah, Talak, dan Rujuk di seluruh Indonesia di bawah pengawasan Departemen Agama sendiri. Pada masa ini, Pengadilan Agama dan Mahkamah Islam Tinggi yang telah ada tetap berlaku berdasarkan Aturan Peralihan.

Selang tiga bulan berdirinya Departemen Agama yang dibentuk melalui Keputusan Pemerintah Nomor 1/SD, Pemerintah mengeluarkan penetapan No. 5/SD tanggal 25 Maret 1946 yang memindahkan semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dari Departemen Kehakiman kepada Departemen Agama. (Ari Wibowo, 2007:

130)

Mulai saat itu pembinaan pengadilan agama menjadi tanggung jawab Departemen Agama. Usaha-usaha Departemen Agama untuk mendirikan peradilan agama di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan baru berhasil pada tahun 1950. Pada mulanya Departemen Agama mengajukan usulan untuk pembentukan pengadilan agama di Aceh.

Hasilnya, pemerintah pusat menyetujuinya dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1957 tanggal 6 Agustus 1957. Melihat prospek baik ini, Departemen Agama RI mengajukan lagi usul pembentukan pengadilan agama di daerah-daerah yang dianggap penting.

Dalam sidang kabinet tanggal 26 Agustus 1957 pemerintah pusat menyetujui usul tersebut dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tanggal 5 Oktober 1957 Lembaran Negara Nomor 99 Tahun 1957. (Abdul Gafar Mallo, 2013:

195-196)

Lahirnya Undang-undang Nomor 19 tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman sebagai prinsip “unifikasi” yang diterapkan pada masa pemerintah kolonial Belanda”.

Prinsip “unifikasi” itu kemudian muncul dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 19 Tahun 1948. Pasal 6 menyatakan bahwa dalam negara Republik Indonesia hanya ada

tiga lingkungan peradilan yakni Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Pemerintahan, dan Peradilan Ketentaraan.

Sementara Pasal 7 Undang-undang itu menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dalam Peradilan Umum dilaksanakan oleh:

Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Berdasarkan Ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 itu ternyata keberadaan Peradilan Agama tidak tercakup di dalamnya. Juga tidak ada ketentuan yang tegas dalam Undang-undang tersebut yang menghapuskan keberadaan Peradilan Agama itu.

Undang-undang Nomor 19 tahun 1948 ini secara tidak langsung menghapuskan peradilan agama. Hal ini terlihat dalam Pasal 35 ayat (2) yang menyatakan bahwa perkara-perkara perdata antara orang Islam yang menurut hukum yang hidup, harus diperiksa dan diputus menurut hukum agamanya, harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri yang terdiri dari seorang Hakim yang beraga Islam sebagai Ketua, dan dua orang Hakim ahli agama Islam sebagai anggota yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan Meteri Kehakiman. Dengan demikian berarti bahwa, Pengadilan Agama dihapuskan kemudian di gabungkan dalam peradilan umum.

Perkara-perkara bidang perdata yang diajukan oleh umat Islam diperiksa dan diputus oleh peradilan umum, hanya saja hakim untuk perkara tersebut harus yang beragama Islam sebagai ketua dan sebagai anggota harus hakim yang ahli agama Islam ini berlaku untuk semua tingkatan peradilan yaitu Peradilan Tingkat Pertama, Peradilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 35, 45 dan 53.

Pada masa berikutnya pada tanggal 5 oktober 1957 lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/

Mahkamah Syariah di luar Jawa dan Madura. terutama di daerah Aceh, guna untuk memenuhi kehendak masyarakat setempat sekaligus untuk meredakan suasana keamanan dan ketertiban, menurut ketentuan Pasal 1 “Di tempat-tempat yang

(5)

ada Pengadilan Negeri ada sebuah Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya sama dengan daerah hukum Pengadilan Negeri.” Sedangkan menurut ketentuan pasal 11 “apabila tidak ada ketentuan lain di Ibu kota provinsi di adakan Pengadilan Tinggi Agama / Mahkamah Syariah provinsi yang wilayahnya meliputi satu, atau lebih, daerah provinsi yang di tetapkan oleh Menteri Agama. Peratusan Pemerintah ini lahir berdasarkan pada ketentuan Pasal 98 UUD sementara dan Pasal 1 ayat (4) UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951. (Alaiddin Koto, 2011: 21)

Diundangkannya Undang-undang Nomor 19 tahun 1964 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tepatnya pada tanggal 31 oktober 1964 menjadikan peradilan agama masuk dalam lingkungan Kekuasaan Kehakiman. Akan tetapi keberadaannya belum sama dengan peradilan umum sebagaimana Pasal 7 menyebutkan bahwa:

(1) Kekuasaan Kehakiman yang berkepribadian Pancasila dan yang menjalankan fungsi Hukum sebagai Pengayoman, dilaksanakan oleh Pengadilan dalam lingkungan:

a. Peradilan Umum;

b. Peradilan Agama;

c. Peradilan Militer;

d. Peradilan Tata Usaha Negara.

(2) Semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung, yang merupakan pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan peradilan.

(3) Peradilan-peradilan tersebut dalam ayat (1) di atas teknis ada di bawah pimpinan Mahkamah Agung, tetapi organisatoris, administratif dan finansial ada di bawah kekuasaan Departemen Kehakiman, Departemen Agama dan Departemen-departemen dalam lingkungan Angkatan Bersenjata.

(4) Ketentuan dalam ayat (1) tetap membuka kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian di luar pengadilan.

Perihal poin ke-3 yang menempatkan para hakim di bawah pengawasan eksekutif

melalui Departemen terkait selain di bawah pengawasan Mahkamah Agung sesungguhnya pada saat perancangan Undang-undang No. 19 Tahun 1964 itu telah mendapat reaksi keras dari organisasi profesi para hakim. Namun reaksi keras itu ternyata kandas karena Menteri Kehakiman dalam pembahasan rancangan Undang- undang tetap menolak usulan organisasi profesi hakim itu.

Jenis peradilan menurut Undang- undang Nomor 19 tahun 1964 ini sesuai dengan penjelasan Pasal 7 yang membedakan antara Peradilan Umum, Peradilan Khusus dan Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Umum antara lain meliputi pengadilan Ekonomi, Pengadilan Subversi, Pengadilan Korupsi. Peradilan Khusus terdiri dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer. Yang dimaksudkan dengan Peradilan Tata Usaha Negara adalah yang disebut "peradilan administratif"

dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960, dan antara lain meliputi juga yang disebut

"peradilan kepegawaian". Sementara Peradilan agama di masa ini belum lagi sama kedudukannya dengan peradilan umum.

Tahun 1970 lahirlah Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Pada saat ini merupakan kemunculan era Orde Baru yang bertekat akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Undang- undang ini lahir sebagai akibat lahirnya Undang-undang Nomor 6 tahun 1969 tentang Pernyataan tidak berlakunya Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Undang- undang Nomor 6 tahun 1969 menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 19 tahun 1969 tidak memiliki kekuatan berlaku karena materinya bertentangan dengan UUD 1945. Namun ketidakberlakuan itu berlangsung bila telah ada Undang-undang baru yang menggantikannya. Untuk keperluan penggantian itu badan legislatif kemudian berhasil menciptakan Undang- undang baru yaitu Undang-undang Nomor

(6)

14 Tahun 1970 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

(Bahder Johan Nasution, 2014: 28) Hal ini termuat dalam konsideran Undang-undang Nomor 14 tahun 1970.

Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 Pasal 10 (1) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh:

a. Peradilan Umum b. Peradilan Agama c. Peradilan Militer

d. Peradilan Tata Usaha Negara

Penyebutan yang tadinya berbeda telah diseragamkan oleh Undang-undang No. 14 Tahun 1970. Namun lebih tegas dicantumkan dalam Keputusan Menteri Agama tanggal 28 Januari 1980, Nomor 6 tahun 1980 nama-nama pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama yang ada di Indonesia telah diseragamkan menjadi Pengadilan Agama. Dengan demikian, sebutan semua pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di seluruh Indonesia telah menjadi seragam. (Khisni, 2011: 7-8) Begitu juga dengan keberadaan peradilan agama disebutkan di dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970

“kedudukan pengadilan agama sama dan sederajat dengan pengadilan dalam lingkungan peradilan lainnya.

Perihal Peradilan Agama, keberadaannya lebih jauh diatur dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.

Sebagai Peradilan Khusus, Pasal 1 ayat (1) menegaskan Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Kekuasaan kehakiman pada Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama yang berkedudukan di Kotamadya atau ibu kota Kabupaten dan Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota Propinsi. Sama halnya dengan Peradilan Umum, Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung. Pada masa ini masih terjadi dualisme dalam kekuasaan kehakiman yaitu teknis peradilan berada di bawah Mahkamah Agung Sedangkan administrasinya berada di bawah Departemen Kehakiman. (Rukiah Latuconsina, 2015: 155)

Keberadaan peradilan agama tingkat banding semakin hari semakin dibutuhkan ditandai dengan banyaknya perkara banding, departemen agama membentuk cabang mahkamah Islam Tinggi di Surabaya dan Bandung. Karena dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan Mahkamah Islam tinggi cabang Bandung bertugas menyelesaikan perkara banding yang berasal dari pengadilan agama di Jawa Barat; dan Mahkamah Islam Tinggi cabang Surabaya mempunyai tugas menyelsaikan perkara- perkara banding yang berasal dari Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara.

Pembentukan cabang Mahkamah Islam tinggi ini hanya bersifat sementara, karena untuk membentuk pengadilan tingkat banding yang difinitif harus berdasarkan undang-undang. Dengan lahirnya Undang- Undang RI Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yang diundangkan tanggal 29 Desember 1989 Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 49, menyatakan semua cabang Mahkamah Islam Tinggi secara resmi berubah menjadi pengadilan agama tingkat banding dan mempunyai kedudukan sama dengan pengadilan tingkat banding dalam lingkungan pengadilan yang lain. (Abdul Gafar Mallo, 2013: 196)

Sedangkan kewenangan pengadilan agama sebagaimana dalam pasal 49 UndangUndang RI Nomor 7 tahun 1989 adalah “memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan sadaqah”. Sedangkan pengadilan tinggi agama berwenang mengadili perkara- perkara yang menjadi tugas dan kewenangan pengadilan agama di tingkat banding,

Berlakunya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama diharapkan: dapat tercapai perwujudan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-

(7)

undang Dasar 1945; terwujud jaminan perasaan kedudukan warga negara dalam hukum, di mana diperlukan upaya menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat; tercipta salah satu upaya untuk menegakan keadilan, kebenaran dan kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.

Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 juga membawa perubahan yang sangat besar, dimana putusan pengadilan agama sebelum ini seakan-akan dianggap sebagai putusan pengadilan kelas dua tidak dapat dieksekusi sebelum mendapat pengukuhan dari pengadilan negeri setempat yang dikenal dengan sebutan executoire verklaring atau bisa juga dinamakan fiat executie. Bahkan setelah kemerdekaan, yakni ketika diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dilaksanakan dengan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, putusan perceraian yang dijatuhkan oleh pengadilan agama harus pula dikukuhkan oleh pengadilan negeri. Dengan diundangkannya Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, putusan pengadilan agama tidak lagi perlu dikukuhkan pengadilan negeri. (Muhammad Alim, 2013:

39-40)

Peradilan Agama di Era Reformasi Tap MPR Nomor XVII Tahun 1989 telah menetapkan bahwa pembaruan di bidang hukum akan terus dilaksanakan dengan memberikan landasan yang kuat terhadap kelembagaan kekuasaan kehakiman, menata kembali peraturan perundang-undangan guna menunjang pembangunan nasional dan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat agar peraturan-peraturan itu dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Dalam kaitan ini, langkah awal yang telah dilaksanakan adalah mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 khususnya bab IX pasal 24 ayat 2 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Amandemen Undang-undang Dasar 1945 memberikan pengaruh pada Peradilan Agama dimana posisinya semakin kuat sebab ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan Peradilan Agama sejajar dengan lembaga peradilan lain.

Kesejajaran dengan lingkungan peradilan lain dan perluasan kompetensi lembaga peradilan agama ini berdampak di bidang pembinaan, kepengurusan dan pelaksanaan tugas wewenangnya. Menurut Bagir Manan, untuk mengejar ketertinggalan ini perlu diadakan strategi pengembangan dan pembinaan yang tepat dan cepat untuk mencapai beberapa hal: 1) Pengembangan dan pembinaan organisasi baik organisasi yustisial dan non yustisial; 2) Pengembangan dan pembinaan ketenagaan (hakim dan non hakim) mulai dari sistem pendidikan, rekruitmen, promosi dan sebagainya; 3) Pengembangan dan pembinaan tatacara beracara, tata tertib persidangan dan sebagainya; 4) Pengembangan dan pembinaan tata kerja pelayanan administrasi yang selektif dan efisien; 5) Pengembangan dan pembinaan satuan fasilitas (kantor, peralatan, kepustakaan dan sebagainya); 6) Pengembangan dan pembinaan integritas serta disiplin seperti sistem mutasi hakim yang tidak menunjukan integritas dan kecapakan melaksanakan kekuasaan kehakiman sebagai tempat mewujudkan keadilan dan kebenaran. (Bagir Manan, 1989:

4-5)Langkah utama yang harus dilakukan dalam rangka pembinaan dan pengembangan lembaga peradilan agama di masa reformasi ini adalah: 1) Usaha mewujudkan sistem peradilan yang terpandang, berwibawa, bermutu dan mampu berjalan seiring dengan lingkungan badan peradilan lain; 2) Mewujudkan sistem

(8)

peradilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang mampu mewujudkan keadilan, kebenaran dan sekaligus menjadi wadah penting untuk mewujudkan Islam sebagai rahmat seluruh alam; 3) Usaha memperbesar peranan sistem Peradilan Agama, selain di bidang yustisial juga di bidang non yusitsial dengan cara memberi pertimbangan, nasehat dan pendapat hukum kepada penyelenggara negara di tingkat pusat dan daerah. (Bagir Manan, 1989: 10)

Perubahan yang signifikan tentang peradilan agama ketika diundangkannya Undang-Undasng Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Dalam konsiderannya menyebutkan:

a. Bahwa kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan oleh karena itu untuk mewujudkan kekuasaan Kehakiman yang mandiri dan terlepas dari kekuasaan Pemerintah dipandang perlu melaksanakan pemisahan yang tegas antar fungsi- fungsi dari eksekutif.

b. Bahwa pengorganisasian, pengadministrasian, dan pengaturan finansial. Badan-badan Peradilan yang berada di masing-masing Departemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tenang Ketentuan- ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman perlu disesuaikan dengan tuntutan perkembangan keadaan.

Undang-undang ini lahir untuk memperbaiki ketentuan-ketentuan yang selama ini dianggap tidak tepat di antaranya pengorganisasian, pengadministrasian, dan pengaturan finansial badan-badan peradilan dari departemen masing-masing ke Mahkamah Agung akan dilakukan secara bertahap, paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku (Pasal 11A ayat (1), kecuali mengenai Peradilan Agama yang waktunya tidak ditentukan (Pasal 11 A ayat (2). Itulah hasil kompromi politik di DPR antara dua pihak yang menyetujui dan yang tidak tentang konsep

satu atap Peradilan Agama ke Mahkamah Agung. (Malik Ibrahim, 2013: 657)

Gerakan Reformasi, selain berhasil merespon hal-hal yang terkait dengan persoalan politik, juga telah berhasil merespon tuntutan atas pembenahan hukum dan lembaga peradilan. (Warkum Sumitro, 2005: 222) Pentingnya pembenahan hukum dan peradilan, mengingat pada masa Orde Baru banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan dan aparatur penegak hukum, sehingga akibatnya hukum tidak bisa tegak karena peradilannya korup (judicial corruption).

Karena itu, setelah gerakan Reformasi berhasil, isu seputar independensi kekuasaan kehakiman terasa semakin menggema yang selama ini dikebiri oleh kekuasaan eksekutif. (Ahmad Mujahidin, 2007: 120) Dengan demikian putusan sebagai produk lembaga peradilan akan berkualitas dan bermutu pada akhirnya akan menjadi sumber hukum yang dapat dipakai dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. (A. Muktiarto, 2012: 76)

Penerapan sistem peradilan satu atap dimaksudkan untuk menjadikan sistem hukum sebagai subjek Reformasi (variabel independent). Hal ini didasarkan pada hipotesis, bahwa, hukum sebagai sarana pengintegrasi, yang didayagunakan sebagai alat untuk mempercepat evolusi (accelerated evolution vehicle) berupa transisi dari tertib hukum yang bernuansa represif dan otoriter ke arah kehidupan masyarakat yang demokratis, tanpa embel- embel yang penuh dengan nuansa akrobatik politik. Seperti istilah Demokrasi Terpimpin pada masa Orde Lama atau Demokrasi Pancasila pada masa Orde Baru. (Abdul Halim, 2000: 155) Di samping itu, penyatuatapan badan peradilan bertujuan untuk menciptakan indepensi lembaga peradilan, dimana pada awal perjuangan ke arah terwujudnya independensi lembaga peradilan senantiasa berpulang pada gagasan perubahan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokokpokok Kekuasaan Kehakiman (Ridwan Nasir, 2005: 92)

Namun, seiring adanya amandemen UUD 1945 yang menyebutkan bahwa

(9)

pemegang kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi selain Mahkamah Agung, maka Undang-undang No. 35 Tahun 1999 mengalami perubahan untuk disesuaikan dengan UUD 1945 menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.( (A.

Muktiarto, 2012: 175)) Undang-Undang ini juga menganut sistem satu atap sehingga tetaplah Mahkamah Agung yang berwenang melakukan pembinaan secara teknis yustisial, administratif, organisasi dan finansial terhadap empat lingkungan peradilan yang ada di bawahnya.

Peradilan Agama secara resmi berada di bawah Mahkamah Agung baru mulai pada hari Rabu tanggal 30 Juni 2004 yang sebelumnya di bawah Departemen Agama, sesuai dengan konsideran Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. mengingat sejarah perkembangan Peradilan Agama yang spesifik dalam sistem peradilan nasional, pembinaan terhadap Badan Peradilan Agama dilakukan dengan memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia. (Wahyu Widiana, 2005: 94- 95)

Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sangat berpengaruh pada peradilan agama, perubahan tersebut secara substansi adalah:

1. Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial PA ke MA dilakukan selambat- lambatnya tanggal 30 Juni 2005.

2. Pengalihan tersebut dilakukan oleh Keppres yang harus keluar selambat lambatnya 60 hari sebelum 30 Juni 2004.

3. Di MA dibentuk Ditjen Badan Peradilan Agama.

4. Pegawai dan aset PA menjadi pegawai dan aset MA, bukan lagi milik Departemen Agama.

5. Pegawai Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menjadi pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung. (Wahyu Widiana, 2005: 95)

Perubahan pada peradilan agama selanjutnya tentang kompetensi absolut PA itu sendiri yang sebelumnya berwenang

memeriksa dan memutus perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan shadaqah sebagaimana yang termuat dalam Pasal 49 (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 bertambah wewenangnya untuk perkara sengketa ekonomi syariah sebagaimana yang terdapat dalam Pasa 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

Kemandirian peradilan tidak terlepas dari keberadaan Badan Peradilan di Indonesia. (M. Fauzan, 2005: 4) Pada tahun 2009 sejak diundangkannya Undang- undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman diatur tentang pembentukan pengadilan khusus sebagaimana diatur pada Pasal 27 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 yang menyatakan: 1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; 2) Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang-undang. Dalam menyahuti Undang-undang ini, lahirlah Undang- undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dalam konsiderannya menyebutkan bahwa undang-undang yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum, maka pada Pasal 3A 1) dan 2) menyebutkan; (1) Di lingkungan peradilan agama dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undangundang; (2) Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.

Mahkamah Syariah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001

(10)

tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Khusus Istimewa Aceh yang disebutkan oleh Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman.

(Arini Indika Arifin, 2017: 356-357)

Menurut Saldi Isra, peradilan Syariah Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam walaupun diposisikan sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama, Mahkamah Syariah memiliki wewenang yang merupakan yurisdiksi peradilan umum. Dengan demikian, secara fungsi dan wewenang yang dimilikinya, Mahkamah Syariah pada dasarnya pengadilan khusus yang berbeda dengan pengadilan khusus lainnya yang semata-mata berada dalam salah satu lingkungan peradilan saja. (Saldi Isra, 2021:

302) Lebih lanjut Saldi Isra mengemukakan:

“Apabila diletakkan dalam rumusan Pasal 1 angka 8 UU kekuasaan Kehakiman.

Mahkamah Syariah terlihat sebagai sebuah anomali. Hanya saja, apabila dibaca dari aspek kekhususan yang dimiliki Pemerintahan Aceh, kewenangan Mahkamah Syariah yang sebagiannya bukan merupakan yurisdiksi peradilan agama merupakan bagian dari wewenang kekhususan Aceh. Dikatakan demikian, wewenang Mahkamah Syariah untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi yurisdiksi peradilan umum merupakan substansi yang diatur di luar UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Dalam UU No 11/2006 dinyatakan bahwa Mahkamah Syariah berwenang memeriksa dan mengadili masalah hukum keluarga, hukum perdata, dan hukum pidana.

Dengan kewenangan tersebut, meski Mahkamah Syariah ditempatkan sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama, namun eksistensinya harus diletakkan dalam kerangka otonomi khusus sebagaimana dijamin dan diakui dalam Pasal 18B UUD NRI 1945”. (Saldi Isra, 2021: 302- 303)

Berlakunya Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama membawa perubahan yang sangat mendasar di lingkungan peradilan agama di antaranya;

1) Peradilan Agama menjadi peradilan yang

mandari serta keudukannya setara dengan peradilan lain. 2) Nama, susunan dan wewenang serta hukum acaranya sama dan seragam di seluruh wilayah Indonesia. 3) Terlaksananya ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, terutama yang disebut pada Pasal 10 ayat (1) mengenai kedudukan Pengadilan Agama dan Pasal 12 tentang susunan, kekuasaan, dan hukum acaranya.

(Andi Intan Cahyani, 2019: 124)

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama memiliki rekam sejarah yang panjang tentang penanganan perkawinan perkara hukum keluarga dan ekonomi syariah sampai saat ini sehingga semua perkara yang menjadi kewenangannya tidak lagi muncul pilihan hukum untuk menyelesaikannya, semuanya harus diselesaikan melalui peradilan agama.

(Ahmad Rajafi.ed, 2020: 137) Akhirnya undang-undasng ini secara yuridis mendadi dasar yang sangat kuat sehingga menempatkan Peradilan Agama sama dengan lembaga Peradilan lainya.

KESIMPULAN

Negara hukum Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 menempatkan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana dan penyelenggara kekuasaan kehakiman. Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman mengalami perubahan sejak indonesia merdeka hingga saat ini.

Perubahan tersebut dalam rangka memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum.

Perubahan posisi peradilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman semenjak indonesia merdeka berawal dari peradilan agama masuk pada bagian dari peradilan umum, kemudian peradilan agama berada di bawah departemen agama. Perkembangan selanjutnya barulah peradilan agama merupakan satu dari empat lingkungan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Perubahan yang sangat besar ketika peradilan agama satu atap di bawah mahkama agung sebagai akhir dari ketidakpastian yang

(11)

selama ini terjadi dan perubahan terakhir tentang adanya pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Alim, Muhammad, 2013, Beberapa Perlakuan Diskriminatif Terhadap Pengadilan Agama, Majalah Varia Peradilan‖, No. 335 Arifin, Arini Indika, 2017, Reformasi Kekuasaan

Mengadili Pengadilan Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Millah Vol. XVI, No. 2

Asshiddiqie, Jimly, 2005, Konstitusi &

Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta

Busroh, Abu Daud, 2001, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta Cahyani, Andi Intan, 2019, Peradilan Agama

sebagai Penegak Hukum Islam di Indeonesia, jurnal Al-Qadau Peradilan dan Hukum Keluarga Islam, Vol. 6 No. 1

Fauzan, M, 2005, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta

Halim, Abdul, 2000, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000

Ibrahim, Malik, 2013, Peradilan Satu Atap (The One Roof System) Di Indonesiadan Pengaruhnya Terhadap Peradilan Agama, Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 47 No. 2

Isra, Saldi, 2021, Lembaga Negara ‘ Konsep Sejarah, Wewenang, dan Dinamika Konstitusional, Rajawali Pers, Depok Jailani, Sofyan, 2012, Independensi Kekuasaan

Kehakiman Berdasar Undang-Undang Dasar 1945, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 6 No.3

Khisni, 2011, Hukum Peradilan Agama, Unissula Press, Semarang

Koto, Alaiddin, 2011, sejarah Peradilan Islam, Rajawali Pers, Jakarta

Latuconsina, Rukiah, 2015, Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman, jurnal Tahkim Vol.

XI No. 2, Fakultas Hukum Universtas Darussalam, Ambon

Mahkamah Konstitusi RI, 2008, Naskah Komprehensif Prerubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Buku IV Kekuasaan Kehakiman, Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta

Mallo, Abdul Gafar, 2013, Pengaruh Politik Hukum terhadap Kompetensi Peradilan Agama Di Indonesia, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 2

Manan, Bagir, 1989, Stategi Pengembangan Peradilan Agama, PPHIM dan Departemen Agama RI, Jakarta

Martius, A. Hafizh, 2016, Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Indonesia, Jurnal Hukum Diktum, Vol. 14 No. 1

MD, Mahfud, 1992, Peluang Konstitusional bagi Peradilan Agama, Jurnal Unisia No. 16 tahun XIII Triwulan V

Mujahidin, Ahmad, 2007, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, Cet.

I

Mukti arto, A, 2012, Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Nasir Ridwan, (editor),2005, Peradilan Satu Atap dan Profesi Advokat, Balitbang Departemen Agama, Jakarta, Cet. I Nasution, Bahder Johan, 2014, Sejarah

Perkembangan Kekuasaan Kehakinan di Indonesia, Jurnal Inovatif, Volume VII Nomor III,

Priskap, Ridham, 2020, Sejarah Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Jurnal JIBHJ 20 (1) Jambi

Puspitadewi, Rachmani, 2006, Sekelumit Catatan tentang Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 24 No.1

Rajafi, Ahmad,(ed), 2020, Progres Hukum Keluarga Islam Di Indonesia Pasca Reformasi (Dimensi Hukum Nasional-Fiqh Islam- Kearifan Lokal), CV. Istana Agensy, Yogyakarta

Subiyanto, Achmad Edi, 2012, Mendesain Kewenangan Kekuasaan Kehakiman setelah Perubahan UUD 1945, Jurnal Konstitusi Vol.9 No. 4

Sumitro, Warkum, 2005, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di

(12)

Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, hlm

Wahyudi, Abdullah Tri, 2016, Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia pada Masa Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi, Yudisia, Vol. 7 No. 2

Wibowo, Ari, 2007, Perkembangan Eksistensi Peradilan Agama di Indonesia Menuju ke Peradilan Satu Atap, Jurnal Al-Mawarid Edisi XVII

Widiana, Wahyu, 2005, Peradilan Satu Atap dan Profesi Advokat, Balitbang, Jakarta, hlm.

94- 95

Referensi

Dokumen terkait

Secara in vitro, ekstrak buah pare (M.charantia L) menunjukkan aktivitas antiplasmodium paling tinggi menggunakan plasmodium falsiparum strain 3D7 dengan nilai ED

Mengenai kewajiban perusahaan, Kementerian Agama Republik Indonesia dalam (Rahmadani et al., 2018) menjelaskan, untuk membayar zakat Agama Republik Indonesia

Walaupun sebagian masyarakat juga kadang belum memahami maksud dan tujuan serta hikmah dari palaksanaan ritual tersebut, dan kadang juga belum mengetahui, bagaimana yang

Selain itu untuk mengetahui suatu senyawa telah murni, dapat dilihat profil noda tunggal pada kromatogram KLT dengan uji campuran tiga eluen yang berbeda dengan tingkat kepolaran

Setelah mengikuti layanan melalui e-counseling/cyber counseling, peserta didik mampu mengatasi masalah belajar yang terjadi pada dirinya serta memperbaiki kebiasaan belajar

Adapun saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut : (1) pola pembelajaran ceramah, tanya jawab, pemberian tugas dan diskusi merupakan metode

Remaja yang jarang melakukan aktivitas fisik akan memiliki nilai kelincahan yang kurang dari remaja yang sering melakukan aktivitas fisik.Tujuan dari penelitian ini adalah

Peneliti menilai bahwasannya Rubrik Persib Mania Di Koran Harian Tribun Jabar merupakan strategi dari Koran Harian Tribun Jabar dalam upaya menarik minat