• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penadahan menurut fikih islam Un

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penadahan menurut fikih islam Un"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PENADAHAN MENURUT PERSPEKTIF FIKIH ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

Oleh: Artiyanto I. PENDAHULUAN

Sebagai negara berkembang dengan angka kemiskinan mencapai 28,28 juta penduduk pada tahun 2014, atau setara 11,25 % dari total jumlah penduduk,1 Indonesia menghadapi

problematika sosial yang kompleks, antara lain: tingginya angka kejahatan terhadap hak milik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), angka kejahatan terhadap hak milik dalam skala nasional yang terjadi pada tahun 2014 masih didominasi kejahatan pencurian, yaitu sebanyak 24.538 kasus, pencurian dengan kekerasan (mengggunakan sejata api/senjata tajam) sebanyak 10.4143 kasus, dan pencurian kendaraan bermotor sebanyak 42.165, kasus penadahan sendiri sebanyak 354 kasus.2

Kejahatan pencurian terhadap harta benda tidak akan tumbuh subur jika tidak ada pihak yang bersedia menampung dan membeli hasil curian itu, barang-barang hasil curian tidak mungkin selalu untuk dimiliki dan digunakan sendiri oleh pencuri, melainkan juga untuk dijual. Disinilah peran seorang penadah. Adanya penadah membuat transaksi atas barang hasil curian menjadi mudah dan cepat, sehingga pencuri tidak lagi menjual barang hasil curiannya langsung di tengah-tengah masyarakat dengan resiko ketahuan/kedapatan yang sangat tinggi juga membutuhkan waktu lama. Dengan adanya penadah, pencuri atau perampok cukup membawa barang hasil curian ke tempat penadah, lalu pulang dengan membawa uang tunai.

Di lain sisi, keberadaan penadah dapat membuat seseorang yang sedang membutuhkan uang untuk berbagai keperluan, baik yang halal misalnya makanan, pakaian, biaya berobat, dll., maupun yang haram seperti kebutuhan pecandu narkoba terhadap sabu-sabu, peminum terhadap minuman keras, akan dengan mudah berpikir untuk mendapatkan uang dengan cara pintas, misalnya membegal3 sepeda motor, lalu pulang dengan membawa sejumlah uang. Jika tidak ada

penadah, aktifitas menjual sepeda motor hasil curian tentu akan lebih sulit jika dibandingkan 1Badan Pusat Statistik, Statistik 70 Tahun Indonesia Merdeka, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015), Hal.

56-57.

2Badan Pusat Statistik, Statistik Kriminal 2015, Hal. 37.

3Membegal berarti merampas dijalan; menyamun. (Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Bahasa Indonesia,

(2)

menjual kepada penadah. Maraknya aksi begal akhir-akhir ini yang diberitakan berbagai stasiun televisi nasional tidak lepas dari peran penadah yang membuat aktifitas jual beli hasil curian menjadi mudah. Karena itulah, penadahan (heling) disebut juga pemudahan (begunstinging) karena peran seorang penadah yang mempermudah aktifitas pencurian, penggelapan atau penipuan.4

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Penadahan

Secara bahasa penadahan berasal dari kata tadah, yaitu barang untuk menampung sesuatu. Menadah berarti menampung atau menerima barang hasil curian (untuk menjualnnya lagi). Sedang penadahan berarti proses, cara atau perbuatan menadah. Orang yang menerima atau memperjualbelikan barang-barang curian dinamakan penadah atau tukang tadah.5

Menurut Kamus Hukum penadahan berarti menerima, membeli, menukar barang yang berasal dari suatu kejahatan dan dapat dipersalahkan ikut membantu dalam suatu kejahatan.6

Dari pengertian di atas dapat disimpulakan bahwa penadahan adalah tindakan menerima, membeli, menukar suatu barang yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan dan dapat dituntut pidana karena turut serta membantu lahirnya tindak kejahatan.

B. Kriteria Penadah

Tidak semua pembeli barang hasil curian dinyatakan sebagai penadah karena bisa jadi jual beli terjadi karena ketidaktahuan pembeli mengenai asal-usul barang yang ia beli. Hal ini dapat dipahami sebab tidak ada kewajiban bagi pembeli untuk mengetahui asal usul barang yang ia beli, sebagaimana tidak wajibnya penjual mengetahui untuk apa barang yang ia jual digunakan.7

4P.A.F.Lamintang dan C.Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus – Kejahatan Yang Dilakukan Terhadap Hak Milik Dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik, (Bandung: Nuansa Aulia, 2011), Cet. Ke-2, Hal. 1,

P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus; Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet. Ke-1, Hal. 362.

5Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Bahasa Indonesia…, Hal. 1264.

6Simorangkir, ddk, Kamus Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Hal. 123.

7 Kewajiban pembeli terbatas pada: (1) Membayar harga. (2) Menerima barang dan menanggung biayanya,

(3)

Agar tidak semua pembeli disangkakan sebagai penadah, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan beberapa kriteria penadah dalam Pasal 480 yang menjadi dasar hukum penadahan, yang berbunyi:8

“Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah karena penadahan:

1. Barangsiapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau karena ingin mendapat keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan suatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahataan.

2. Barangsiapa menarik keuntungan dari hasil suatu barang benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.

Terkait pasal di atas, R. Soesilo menjelaskan bahwa: 9

1. Yang dinamakan “sekongkol” atau disebut pula “tadah” dalam bahasa asingnya “heling”, itu sebenarnya perbuatan yang disebutkan pada sub 1 dari pasal ini.10

2. Perbuatan yang tersebut pada sub 1 dibagi atas dua bagian:

a. Membeli, menyewa, dan sebagainya (tidak perlu dengan maksud hendak mendapat untung) barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan.

b. Menjual, menukarkan, menggadaikan, dan sebagainya dengan maksud hendak mendapat untung barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan.

3. Elemen penting pasal ini adalah terdakwa harus mengetahui atau patut dapat menyangka bahwa barang itu berasal dari kejahatan. Di sini terdakwa tidak perlu tahu dengan pasti asal barang itu dari kejahatan apa (pencurian, penggelapan, penipuan,

barang bebas dari aib dan bebas dari kepemilikkan orang lain. Lihat: Musthafa Ahmad Al-Zarqa, ‘Âqd Al-Bai‘,

(Damaskus: Dar Al-Qalam, 2012 H/1433 H), Cet. Ke-2, Hal. 104 dst.

8Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2006),

Vol. 1, Hal. 1757.

9R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1995), Hal. 314.

10Dalam terjemahan KUHP yang penulis gunakan tidak terdapat kata “sekongkol” seperti penjelasan R.

Soesilo ini, berbeda dengan KUHP terjemahan R. Soesilo sendiri yang pada awal sub 1 dari pasal ini menyatakan

(4)

pemerasan, uang palsu atau lain-lain), akan tetapi sudah cukup apabila ia patut dapat menyangka (mengira, mencurigai) bahwa barang itu bukan barang “terang”.

Untuk membuktikan elemen ini memang sukar, akan tetapi dalam prakteknya biasanya dapat dilihat dari keadaan atau cara dibelinya barang itu, misalnya dibeli dengan di bawah harga, dibeli pada waktu malam secara bersembunyi yang menurut ukuran di tempat itu memang mencurigakan.

4. Barang asal dari kejahatan misalnya berasal dari pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, sekongkol, dll.

P.A.F. Lamintang menguraikan dengan lebih jelas unsur-unsur yang terdapat di dalam rumusan kejahatan seperti di atur dalam pasal 480 ayat 1 dengan menyatakan bahwa unsur-unsur yang terdapat di dalam pasal tersebut terdiri dari unsur-unsur obyektif dan unsur-unsur subyekif sebagai berikut:11

a. Unsur-unsur obyektif:

1. membeli, menyewa, menukar, menerima sebagai gadai, menerima sebagai hadiah;.

2. karena ingin mendapatkan keuntungan menjual, menyewakan, menukarkan; memberikan sebagai gadai, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan. 3. (a) sebuah benda; (b) yang diperoleh karena kejahatan;

4. Penadahan;

b. Unsur-unsur subyektif: 1. yang ia ketahui;

2. yang ia patut dapat menduga.

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan kejahatan seperti yang diatur dalam pasal 480 ayat 2 juga terdiri dari unsur-unsur objektif dan unsur-unsur subyektif yaitu sebagai berikut.

a. Unsur-unsur obyektif 1. mengambil keuntungan; 2. pendapatan dari suatu benda;

3. (a) sebuah benda; (b) yang diperoleh karena kejahatan; b. Unsur-unsur subyektif

(5)

1. yang ia ketahui;

2. yang ia patut dapat menduga.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa, seseorang terbukti/dinyatakan seagai penadah apabila memenuhi unsur-unsur dalam pasal 480 KUHP di atas, khususnya perbuatan yang disebutkan pada sub 1 dari pasal tersebut. Dengan demikian, apabila seseorang membeli, menyewa, menerima tukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau karena hendak mendapatkan untung, menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan, atau menyembunyikan sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut disangkanya diperoleh karena kejahatan, maka ia disebut sebagai penadah.12

C. Bentuk-Bentuk Penadahan

Berdasarkan rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang tindak pidana penadahan yang terdapat pada pasal 480, 481 dan 482, dapat diketahui bahwa bentuk-bentuk penadahan yang dirumuskan oleh pembentuk-bentuk undang-undang terdiri dari tiga bentuk-bentuk sebagai berikut.

1. Penadahan dalam bentuk pokok

Rumusan ini terdapat dalam ketentuan pasal 480 KUHP yang menyakatan: Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah karena penadahan:

1) Barangsiapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau karena ingin mendapat keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan suatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahataan;

2) Barangsiapa menarik keuntungan dari hasil suatu barang benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.

2. Penadahan sebagai kebiasaan

Tindak pidana penadahan yang sudah menjadi kebiasaan atau dilakukan lebih dari satu kali diatur dalam pasal yang berbeda, yaitu pasal 480 dan dengan hukuman yang berbeda pula, yaitu pidana penjara paling lama 7 tahun dan pencabutan hak-hak tertentu.13

12http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5297f87f6f637/kriteria-seorang-penadah, di akses pada

tanggal, 12/12/2016.

(6)

1) Barang siapa menjadikan sebagai kebiasaan dengan sengaja membeli, menukar, menerima gadai, menyimpan, atau menyembunyikan barang yang diperoleh dari kejahatan, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

2) Yang bersalah dapat dijatuhi pencabutan hak-hak tersebut dalam pasal 35 nomor 1-414 dan haknya untuk melakukan pekerjaan dalam mana kejahatan itu

dilakukan.

Dari pasal 481 dapat diketahui bahwa sebab pelaku tindak pidana yang diatur dalam pasal 481 KUHP diancam dengan hukuman yang lebih berat dari hukuman yang diberikan kepada pelaku pidana dalam pasal 480 karena tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 481 telah dilakukan oleh pelaku sebagai kebiasaan atau lebih dari satu kali (tegasnya harus terjadi dua kali).

3. Penadahan ringan

Ketentuan mengenai penadahan ringan diatur dalam pasal 482 yang berbunyi:

Perbuatan tersebut dalam pasal 480, diancam karena penadahan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah, bila benda tersebut diperoleh dari salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 364, 373, dan 379.

Dari pasal di atas jelaslah bahwa suatu perbuatan dinyatakan sebagai penadahan ringan apabila perbuatan yang disebutkan dalam pasal 480 KUHP dilakukan terhadap benda-benda sebagai hasil kejahatan pencurian ringan, penggelapan ringan atau penipuan ringan, seperti yang berturut-turut di atur dalam pasal 364, 373 dan 379 KUHP.15

D. Hukum Penadahan

Penentuan hukum penadahan dalam tulisan ini berangkat dari perspektif bahwa penadahan memiliki sisi negatif sebagai berikut:

14Pasal 35 ayat 1 berbunyi: Hak-hak terpidana yang dapat dicabut dengan putusan hakim dalam hal-hal yang ditentukan dalam kita, undang-undang ini, atau dalam aturan umum yang lain, ialah:

1. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; 2. hak memasuki angkatan bersenjata;

3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan tertentu;

4. hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan,hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri.

(7)

1. Penadahan dapat mendorong seseorang melakukan kejahatan karena adanya kemudahan yang diberikan oleh penadah, yaitu kemudahan menjual, seorang pencuri atau penipu dapat memiliki uang dalam waktu cepat jika menjual barang curian kepada penadah.

2. Penadahan merupakan bentuk tolong menolong dalam dosa dan kemungkaran. Seseorang yang sudah mengetahui atau patut menduga bahwa barang yang akan ia beli adalah hasil curian semestinya melapor kepada pihak yang berwenang atas temuanya tersebut, bukan membeli hasil curian tersebut.

3. Dalam penadahan seorang pencuri atau penipu memakan harta pemilik barang dengan cara bathil, kemudian penadah membantu pencuri untuk memakan harta pemilik barang dengan cara membeli barang tersebut, penadah juga ikut serta memakan harta tersebut dengan cara batail, yaitu dengan membeli barang curian itu dengan harta yang pada umumnya sangat murah.

Berangkat dari perspektif di atas, penulis berpendapat bahwa dalil yang digunakan dalam menentukan hukum penadahan terdiri dari Al-Qur`an, hadits dan dalil ‘aqlî sebagai berikut:

1. Al-Qur`an

1

-



















Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Qs. Al-Maidah: 2)

Wijh Al-Istidlâl: ayat di atas melarang orang mukmin untuk tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran, sedang penadah membantu pencuri/penipu dengan membeli barang hasil curiannya, yang sudah diketahui atau patut diduga oleh pembeli bukan merupakan hak milik pencuri.

2. Hadist

ِنَم" :َلاَََق ُهّن

َأ َمّل َََسَو ِهََْيَلَع ُهََللا ىّل َََص ّيِبّنلا ِنَع ،َةَرََْيَرُه يِبَأ ْنَع

."اَهِمْثإَو اَهِراَع يِف َكِر ْشُأ ْدَقَف ٌةَقِرَس اَهّنَأ ُمَلْعَي َوُهَو ًةَقِرَس ىَرَت ْشا

16

(8)

Dari Abu Huraira RA. dari Nabi SAW bersabda: “barang siapa yang membeli barang hasil curian, sedang ia tahu bahwa barang tersebut adalah hasil curian, maka ia telah bersekutu dalam aib dan dosanya. (HR. Baihaqi, Hadist No. 10826).

Wijh Al-Istidlâl: Hadist di atas menyatakan bahwa seseorang yang membeli barang hasil curian, sedang ia mengetahui barang itu hasil curian, maka pembeli tersebut telah bersekutu dalam aib dan dosa pencurian tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa, perbuatan membeli barang hasil curian atau penipuan (penadahan) merupakan dosa yang haram untuk dilakukan.

3.Dalil ‘aqlî

Membolehkan penadahan akan membuka pintu bagi berbagai bentuk kejahatan terhadap hak milik seperti pencurian, penggelapan dan penipuan. Dan Allah SWT ketika mengharamkan sesuatu, misalnya pencurian, segala perantara yang dapat mengantarkan seseorang melakukan pencurian juga diharamkan, misalnya penadahan. Sebagai implementasi kaidah fikih “sadd al-dzarâ‘î”.

Kesimpulan: Dari dalil di atas dapat disimpulkan bahwa hukum penadahan adalah haram berdasarkan dalil-dalil yang telah dikemukakan.

Pendapat di atas sejalan dengan fatwa Ibnu Taimiyyah yang menyatakan: “jika yang ada di tangan mereka (yaitu orang Tartar) atau ditangan selain mereka merupakan harta yang diketahui bahwa mereka mendapatkannya dengan cara merampas dari orang-orang yang dilindungi hartanya, maka yang demikian tidak boleh membelinya bagi orang yang hendak memiliki harta tersebut; tapi jika harta tersebut dibeli dengan maksud akan menyelamatkannya, untuk diserahkan kepada pihak yang berwenang, sehingga kembali kepada pemiliknnya, jika itu memungkinkan, atau harta itu dipergunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin, maka yang begini dibolehkan.”17

E. Hukuman Penadah

1. Hukuman Penadah Menurut Fikih Islam

Sebelum membahas hukuman bagi penadah, terlebih dahulu perlu dikemukan bentuk kesalahan yang dilakukan oleh penadah sehingga hukuman yang diberikan sesuai dengan bentuk kesalahannya. Dalam hal ini kesalahan seorang penadah terletak pada transaksi yang ia lakukan

17Ibnu Taimiyyah, Majmu‘ Al-Fatawa, Tahqiq: Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim, (Madinah:

(9)

yaitu membeli, menukarkan, menggadaikan dan sebagainya atas barang yang ia ketahui atau patut ia duga berasal dari tindak kejahatan.

Penentuan hukuman bagi penadah dalam tulisan ini dilakukan dengan cara memasukkan penadahan ke dalam salah satu jenis kejahatan ditinjau dari besarnya hukuman yang diberikan atas kejahatan/tindak pidana tersebut.

Ditinjau dari besarnya hukuman yang berikan, kejahatan dalam fikih islam dibagi ke dalam tiga jenis:18

Pertama, Kejahatan Hudud, yaitu kejahatan-kejahatan yang dihukum dengan hadd, yaitu hukuman yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Dalam hukuman hadd, tidak ada batas minimal dan maksimal, tidak boleh pula untuk dibatalkan oleh individu ataupun golongan karena semata-mata merupakan hak Allah SWT. Jenis-jenis kejahatan hudud terbagi ke dalam tujuh macam sebagai berikut: (1) zina; (2) menuduh berzina; (3) minum minuman keras; (4) pencurian; (5) perampokkan; (6) murtad; (7) membangkang kepada pemerintah yang sah.

Penadahan tidak termasuk salah satu dari bentuk-bentuk kejahatan hudud, sehingga tidak dapat dihukum dengan hukuman hudud.

Kedua, Kejahatan Qishash dan Diyat, yaitu kejahatan yang dihukum dengan hukuman qishash atau diyat (denda). Qishash dan diyat juga merupakan hukuman yang telah ditetapkan kadar dan batasannya, dalam arti kata tidak memiliki batas minimal atau maksimal dan merupakan hak korban, di mana ia dapat menuntut pelaku kejahatan atau memberikan maaf. Jenis-jenis kejahatan qishash dan diyat sebagai berikut: (1) membunuh dengan sengaja; (2) membunuh serupa dengan sengaja; (3) membunuh karena kesalahan; (4) kejahatan terhadap tubuh tidak sampai membunuh (seperti memukul, melukai) yang dilakukan dengan sengaja; (5) kejahatan terhadap tubuh tidak sampai membunuh karena kesalahan.

Penadahan tidak termasuk salah satu dari bentuk-bentuk qishash atau diyat, sehingga tidak dapat dihukum dengan qishash atau diyat.

18Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‘ Al-Jinâ‘, (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1997 M/1418 H), Cet. Ke-14,

(10)

Ketiga, Kejahatahan Ta‘zîr, yaitu kejahatan yang dijatuhi hukuman satu atau lebih dari bentuk hukuman ta‘zîr. Hukuman ta‘zîr adalah “hukuman yang tidak ditetapkan batasnya dalam syariat, yang wajib dilaksanakan terhadap pelanggaran atas hak Allah atau hak manusia terhadap kemaksiatan yang tidak ditentukan hukumannya atau kafaratnya, pada umumnya.”19

Dalam syariat islam, hukuman tidak ditentukan, baik batas minimal ataupun batas maksimal, akan tetapi cukup dengan memberikan salah satu bentuk bentuk hukumannya dari yang paling ringan hingga yang paling berat. Pemilihan bentuk hukuman tersebut diserahkan kepada hakim sesuai dengan tingkat kejahatannya atau pertimbangan kondisi pelaku kejahatan.

Bentuk-bentuk kejahatan/kemaksiatan yang dijatuhi hukuman ta‘zir adalah sebagai beirkut:20

1) Meninggalkan kewajiban atau melakukan maksiat yang tidak ditetapkan batasan hukumnnya. Contoh meninggalkan kewajiban, misalnya tidak membayar zakat, tidak membayar hutang, tidak menjalankan amanat, tidak mengembalikan barang hasil curian, menyembunyikan cacat barang yang dijual, dll. Contoh maksiat yang tidak ditetapkan hukumannya, misalnya mencuri barang yang bernilai sangat rendah yang tidak mencapi nishab, khalwat, bersaksi palsu, melakukan transaksi riba, dll.

2) Melakuan perbuatan yang pada dasarnya adalah perbuatan yang dibolehkan (mubah) akan tetapi perbuatan tersebut mendatangkan kemudaratan, yang mana hukumnya menurut banyak ulama adalah haram, khususnya kalangan malikiyyah berdasarkan kaidah fikih “sadd al-dzarâ‘i”. Dengan demikian, perbuatan jenis ini dijatuhi hukuman ta‘zîr apabila tidak ditemukan batasan hukuman yang ditetapkan oleh syariat.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa penadahan termasuk salah satu dari bentuk-bentuk kejahatan ta‘zîr yang hukumannya diserahkan kepada keputusan hakim berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya besar kecil nilai barang yang ditadah, situasi tempat kejahatan terjadi, misalnya apakah kejahatan tersebut terjadi di daerah yang makmur atau di daerah yang sedang paceklik, kondisi penadah, misalnya apakah penadahan 19Wizarat Al-Auqaf wa Al-Syu`un Al-Islamiyay-Kuwait, Al-Mausû‘at Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,

(Kuwait: Dar Al-Salâsil, 1404-1427 H), Vol. 12, Hal. 254.

20Wizarat Al-Auqaf wa Al-Syu`un Al-Islamiyay-Kuwait, Al-Mausû‘at Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah…,

(11)

tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan primer ataukah untuk memenuhi kebutuhan akan hal-hal yang diharamkan dan sebagainya.

Bentuk-bentuk hukuman ta‘zîr yang dapat dijatuhkan kepada pelaku pidana kejahatan ta‘zîr seperti halnya penadahan sebagai berikut: (1) hukuman mati, (2) hukuman cambuk, (3) penahanan/penjara, (3) pengasingan, (4) hukuman keuangannya, misalnya pemblokiran, pemusnahan harta/barang bukti atau pembayaran denda, (5) pemanggilan ke hadapan hakim, (6) celaan dengan kata-kata, dll.21

2. Hukuman penadah menurut undang-undang

Kitab undang-undang hukum perdata (KUHP) memberikan hukuman yang berbeda-beda terhadap penadah sesuai dengan tingkat kejahatannya sebagai berikut.

1. Penadahan dalam bentuk pokok, yang baru dilakukan sekali dijatuhi hukuman penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 900 (sembilan ratus rupiah).

2. Penadahan sebagai kebiasaan, yang dilakukan sekurang-kurangnya dua kali dapat dihukumi pidana penjara paling lama tujuh tahun, dan dapat ditambah dengan pencabutan hak-hak berikut:

1) hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; 2) hak memasuki angkatan bersenjata;

3) hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan tertentu;

4) hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan,hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri.

3. Penadahan ringan yang dilakukan terhadap benda-benda sebagai hasil kejahatan pencurian ringan, penggelapan ringan atau penipuan ringan dijatuhi hukuman pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 900 (sembilan ratus rupiah).

21Wizarat Al-Auqaf wa Al-Syu`un Al-Islamiyay-Kuwait, Al-Mausû‘at Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah…,

(12)

Dari penjelasan mengenai hukuman penadah di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat kesamaan hukuman yang diberikan oleh undang-undang dengan hukuman yang terdapat dalam fikih islam, yaitu penadah dijatuhi hukuman ta‘zir dalam bentuk penahanan/pemenjaraan atau pembayaran denda, meskipun hukuman yang diberikan oleh undang-undang lebih lebih jelas dalam hal batasan-batasannya.

III.KESIMPULAN DAN PENUTUP

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa fikih islam belum memberikan perhatian yang serius terhadap kejahatan penadahan sebagaimana halnya KUHP dan pakar hukum positif. Hal ini dapat dilihat dari tidak ditemukannya pembahasan mengenai penadahan dalam buku-buku fikih, atau paling tidak istilah lain dari penadahan dalam bahasa arab, sejauh pengetahuan penulis. Meski demikian, para ulama telah membicarakan penadahan dari sisi hukum melakukannya, yaitu membeli barang hasil kejahatan seperti yang dikemukan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Majmu` Al-Fatawa yang tidak membolehkan membeli barang hasil rampasan. Dengan telah diketahuinya hukum penadahan menurut fikih islam dan undang-undang hendaknya setiap orang terkhusus kaum muslimin lebih berhati-hati dalam membeli suatu barang yang dapat diduga merupakan hasil kejahatan, misalnya barang tersebut dijual dengan harta yang sangat murah, dalam kondisi tidak biasa misalnya tanpa surat, atau pada waktu yang tidak biasa, misalnya tengah malam, agar tidak terjebak pada kejahatan penadahan atau disangkakan sebagai penadah.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Baihaqi. 2003/1424. Sunan Al-Kubra, Vol. 5. Bairut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.

Audah, Abdul Qadir Audah. 1997/1418. Al-Tasyri‘ Al-Jinâ‘, Vol.1. Beirut: Muassasah Al-Risalah.

Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik 70 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Badan Pusat Statistik-Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Kriminal 2015. Jakarta: Badan Pusat Statistik-Jakarta.

(13)

Lamintang, P.A.F dan Samosir, C.Djisman. 2011. Delik-Delik Khusus – Kejahatan Yang Dilakukan Terhadap Hak Milik Dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik. Bandung: Nuansa Aulia.

Lamintang, P.A.F dan Lamintang, Theo. 2009. Delik-Delik Khusus; Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan. Jakarta: Sinar Grafika.

Pusat Bahasa Depdiknas. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. R. Soesilo. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia.

Simorangkir, ddk,. 2009. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Taimiyyah, Ibnu. 1995/1416. Majmu‘ Al-Fatawa, Vol. 29. Madinah: Majma‘ Al-Malik Al-Fahd. Wizarat Al-Auqaf wa Al-Syu`un Al-Islamiyay-Kuwait. 1404-1427. Al-Mausû‘at Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Vol. 12. Kuwait: Dar Al-Salâsil.

Referensi

Dokumen terkait

Lahan sawah bukan sekadar tempat penghasil bahan pangan saja, tetapi terdapat fungsi lain dari lahan sawah yang tentunya memberikan manfaat yang tidak dirasakan

Dengan Nilai koefisien determinasi R = 50,13% menunjukkan bahwa kontribusi Kepuasan Kerja Terhadap Turnover Intention Pengemudi Blue Bird pada PT Blue Bird Pool Ciputat

Ia dapat menyatakan dirinya bebas dari -penjaminan akseptasi; tiap-tiap Klausula yang membebaskannya dari kewajiban penjaminan pembayaran, dianggap tidak ditulis. Bila

Skrining aktivitas antifungi terhadap hidrolisat menunjukkan bahwa peptida yang diperoleh dari hasil hidrolisis susu kambing pada pH 7 pada waktu hidrolisis 30 maupun

Oleh karena itu, kegiatan kemitraan yang dilakukan dalam pengelolaan wisata di Wana Wisata Kawah Putih Ciwidey dengan masyarakat desa hutan maupun berbagai pihak

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan dan melimpahkan segala karunia, nikmat dan rahmat-Nya yang tak terhingga kepada penulis,

Dimana gejala tersebut, seperti tidak berjalannya pelaksanaan pengadaan barang dan jasa sesuai dengan aturan yang ada, rendahnya alokasi dana untuk program

Hal tersebut ditunjukkan oleh presentase sebaran petani pada daerah hulu yang lebih dari 60% dan sekitar 90% daerah hilir telah mendapatkan layanan jadwal pengairan yang