Membongkar Nalar dan Menakar Masa Depan Kapitalisme
oleh Yustinus Prastowo 1
Krisis finansial yang mendera Amerika Serikat dan berbagai negara baru saja mereda.
Sebuah gejala yang sering disebut ekonomi gelembung (bubble economy) itu telah meletus dan menyisakan kegamangan. Dalam suasana itulah John Cassidy, editor ekonomi majalah
The New Yorker, bertandang ke Universitas Chicago untuk merekam situasi di sana. 2
Sebagaimana diketahui, Universitas Chicago adalah pilar penting penggagas apa yang disebut
aliran monetarisme yang dikenal luas menggantikan Keynesianisme di akhir 1970-an. Adalah
Eugene Fama, seorang profesor di universitas itu yang kemudian lirih berujar:
Saya tidak paham apa yang disebut gelembung kredit. Kata ini sedemikian populer tapi karenanya juga tak berarti apa-apa. Orang-orang sudah terlanjur menimpakan kesalahan pada pasar finansial. Saya dapat menceritakan dengan mudah bahwa pasar finansial hanyalah korban dari resesi, dan bukan penyebabnya.” 3
Pendapat Profesor Fama ini tentu saja mencengangkan, namun tidak untuk sebuah keyakinan
yang telah mendarah daging mengenai keutamaan pasar (market virtue). Sebagaimana ditegaskan koleganya Prof John Cochrane bahwa pemicu krisis adalah pidato Presiden
Obama yang menyatakan bahwa pasar finansial mendekati kebangkrutan. Kekeliruan
pemerintah ini mengikuti kesalahan sebelumnya ketika dua perusahaan milik pemerintah AS,
Freddie Mac dan Fannie Mae, diumumkan bangkrut. Di sisi lain Richard Posner, ahli hukum
dari mengumumkan dirinya kini menjadi seorang Keynesian. Bahkan Gary Becker, ekonom
yang sangat berpengaruh dan pernah mengatakan bahwa ekonomi menyediakan semesta
pendekatan untuk memahami semua perilaku manusia hanya bisa ikut meratap dan mencari-cari kesalahan.
Dalam tegangan ideologis dan intelektual di atas, tulisan sederhana ini akan memotret
dinamika internal kapitalisme dari pemikiran Karl Polanyi [1886-1964] – sejarawan dan
antropolog ekonomi – dan mengiris sebagian kecil sejarah kapitalisme untuk memahami akar
persoalan dan mencari jalan keluar dari jebakan sejarah yang berulang.
Ringkasan dari buku ‘Ekonomi Insani” terbitan Marjin Kiri. Penulis adalah Direktur Eksekutif CITA (Center
1
for Indonesia Taxation Analysis) dan dapat dihubungi di yus$nus.prastowo@cita.or.id
John Cassidy, “Letter From Chicago: After The Blowup”, The New Yorker, Januari 11,2010, hlm.1-6.
2
Mencari Akar Tegangan
Perdebatan mencari penyebab terjadinya krisis rupanya berujung pada dua kutub.
Pertama, mereka yang meyakini bahwa sistem ekonomi yang dominan pada saat ini terbukti
tidak mampu bekerja dengan baik. Apa yang disebut keyakinan pasar dan upaya melepaskan
diri dari kontrol diyakini telah kebablasan dan mendorong perekonomian masuk ke jurang
kehancuran. Pihak lain berpendapat bahwa apa yang terjadi saat ini dikarenakan pemerintah 4
yang masih campur tangan dan terlibat aktif dalam kinerja pasar. Jika ditilik dari sisi sejarah,
apa yang kini menjadi tema perdebatan sebenarnya tidak pernah beranjak dari persoalan
klasik yang muncul menyertai Depresi Besar di tahun 1920-1930-an yang mempertanyakan
efektivitas kinerja sistem pasar dan merosotnya Keynesianisme (welfare-state school) pada akhir 1970-an.
Namun secara umum diakui, membiaknya pasar finansial yang berujung pada kredit
beracun yang menyebabkan keruntuhan tata keuangan global tak lepas dari gejala semakin
tercerabutnya kinerja sektor finansial dari kinerja sektor riil. Ekonomi yang dulu secara
harfiah dipahami sebagai urusan pemenuhan kebutuhan rumah tangga (oikonomia), kini menjadi ranah yang lebih dekat dengan persoalan harga, indikator, dan kalkulasi matematis
sebagaimana dituturkan Giovanni Arrighi,”para ekonom tidak berurusan dengan ekonomi;
mereka berurusan dengan model-model matematis yang tidak ada kaitannya dengan
ekonomi”. Data juga mendukung penilaian bahwa sektor finansial melaju kencang 5
meninggalkan kinerja sektor riil. Keutamaan pasar (6 market virtue) telah telanjur menjadi jargon dalam ranah ekonomi politik, khususnya pasca runtuhnya negara komunis Uni Soviet
dan negara-negara di Eropa Tengah dan Eropa Timur. Ujung perdebatan diakhiri dengan dua
pilihan: sistem pasar atau perencanaan terpusat, bahkan segera diikuti dengan labelisasi ‘pro’
dan ‘anti’ pasar, tanpa upaya reflektif memikirkan kemungkinan di luar itu. Sistem ekonomi
pasar swatata (self-regulating market) hadir bersamaan dengan dominasi diskursus ekonomi
Bandingkan Paul Krugman, The Return of Depressions Economics and the crisis of 2008, W.W. Norton &
4
Company, 2009, John Bellamy Foster dan Fred Magdoff, The Great Financial Crisis: cause and consequence, Monthly Review Press,2009.
Giovanni Arrighi, dalam Greta Krippner, ‘Polanyi Symposium: a Conversation on embeddedness’, Socio-5
Economic Review, 2004, hlm. 125.
Gérard Duménil dan Dominique Lévy, Capital Resurgence; Roots of the Neoliberal Revolution, Harvard, 2004
6
politik kontemporer yang dikuasai oleh kapitalisme sebagai sebuah kekuatan hegemonik. 7
Dengan demikian mengurai nalar kapitalisme dan membongkar cara berpikir yang melambari
merupakan proyek yang niscaya.
Membongkar Nalar Pasar: Modus Ketercerabutan
Polanyi tidak mengabaikan bahwa dalam semua tipe masyarakat faktor ekonomi
senantiasa berperan. Sepanjang sejarah peradaban manusia - entah komunitas relijius atau
non relijius, materialis ataupun spiritualis - eksistensi mereka selalu dipengaruhi dan dibatasi
kondisi-kondisi material. Namun secara alamiah tidak pernah ada peradaban yang secara
prinsipiil dikendalikan pasar meski institusi ini sudah ada sejak zaman Batu. Baru pada
peradaban abad ke-19 ekonomi ditempatkan sebagai sesuatu yang berbeda. Sistem pasar
melahirkan sistem pasar swatata. Ekonomi pasar adalah sistem ekonomi yang dikendalikan,
diatur, dan diarahkan oleh pasar semata. Tata produksi dan distribusi dipercayakan pada
mekanisme swatata. Yang diasumsikan oleh sistem ini adalah pasokan barang (dan jasa) dan
permintaan akan barang (dan jasa) berada pada tingkat harga yang setara. Produksi dan
distribusi dikendalikan oleh harga.
Polanyi merumuskan beberapa asumsi pokok sistem pasar swatata. Pertama, mengenai eksistensi pasar itu sendiri. Dengan mengatakan bahwa sistem ekonomi
dikendalikan dan diatur oleh pasar saja, berarti terjadi identifikasi antara ekonomi dan pasar.
Ekonomi tidak lain adalah sistem pasar itu sendiri. Implikasinya adalah modus-modus
ekonomi di luar pasar dianggap tidak ada. Kedua, ekonomi kini dipahami melalui pola menjelaskan dirinya sendiri (self explanatory). Ini berarti eksistensi pasar berikut keseluruhan asumsi dan mekanisme yang menyertai adalah alamiah kecuali muncul campur tangan yang
menjadikannya tidak dapat bekerja. Ciri menjelaskan diri sendiri (self explanatory) pada gilirannya juga menunjukkan corak sistem ekonomi pasar yang mengacu pada dirinya sendiri
(self-referential). Ekonomi tidak lagi mengacu pada sesuatu di luar dirinya (non-ekonomi) melainkan mengacu pada hukum permintaan dan pasokan yang merupakan bagian dari
ekonomi. Untuk memperjelas watak acu-diri ini dapat disajikan ilustrasi. Misalnya terhadap
Polanyi sendiri menghindari pemakaian istilah kapitalisme dalam karyanya. Pemakaian istilah “masyarakat
7
kasus konversi penggunaan minyak tanah ke pemakaian elpiji. Alasan yang selalu
dikemukakan adalah permintaan minyak tanah yang tetap tinggi sedangkan pasokan akan
semakin turun. Pemerintah tidak sanggup lagi menanggung biaya subsidi. Tapi ketika
kebijakan ini diambil, tidak pernah diperhitungkan atau dikaji sejauh mana pola hidup dan
keyakinan masyarakat yang telanjur bergantung pada pemakaian minyak tanah (tata kultural,
disebut institusi B), bagaimana pemerintah memainkan peran membuat regulasi dan
pengawasan (tata pemerintahan, disebut institusi C), dan sejauh mana secara sosiologis
kebijakan ini akan berdampak pada penurunan daya beli atau bahkan gejolak sosial (tata
masyarakat, disebut institusi D).
Ketiga, implikasi dari identifikasi ekonomi dan pasar adalah kolonisasi terhadap ranah di luar pasar dan modus-modus ekonomi non-pasar. Sistem ekonomi swatata melakukannya
melalui mekanisme harga. Harga dibentuk oleh kesetimbangan yang terjadi karena pertemuan
permintaan dan pasokan di pasar. Di sini lalu terjadi penghematan konseptual yang
menyimpan daya rusak tinggi. Pertemuan antara permintaan dan pasokan mengandaikan
informasi sempurna yang dimiliki baik oleh penjual maupun pembeli. Yang menjadi
persoalan selanjutnya adalah, apakah asimetri informasi ini justru tidak dikondisikan untuk
menciptakan manipulasi harga? Pasokan dapat membanjiri pasar bukan karena tingginya
permintaan. Permintaan dapat diciptakan dan bukan pertama-tama karena terkait dengan
kebutuhan. Harga tidak lagi secara acu-diri dapat dipahami dalam konteks informasi
sempurna dan merupakan titik equilibrium alamiah yang mempertemukan pasokan dan
permintaan. Pada titik ini terletak kekhawatiran akan ketercerabutan antara kinerja ekonomi
pasar dengan kebutuhan nyata di masyarakat. Ini dapat dipandang sebagai persoalan
ketercerabutan sosiologis/ontologis (sociological /ontological disembedding).
Agar sistem ekonomi pasar swatata dapat bekerja, seluruh barang dan jasa harus
dijual di pasar. Ini berarti seluruh hasil produksi dimaksudkan untuk dijual di pasar dan
seluruh pendapatan diturunkan dari penjualan. Dengan kata lain terdapat pasar-pasar untuk
seluruh elemen industri, bukan hanya barang dan jasa melainkan juga bagi tenaga kerja,
tanah, dan uang. Singkatnya, semua harus dijadikan komoditas. Faktanya tidak semua yang
ada di dunia ini adalah komoditas. Tapi demi kepentingan tata kerja pasar swatata, apa yang
selama ini tidak pernah dianggap komoditas dan sejatinya memang bukan komoditas, harus
Faktor pendorong orang melakukan tindakan ekonomi pun didasarkan pada sesuatu
yang baru. Hanya ada dua faktor pendorong bagi kinerja ekonomi yaitu ketakutan akan
kelaparan dan hasrat memperoleh keuntungan. Mengapa takut akan kelaparan? Karena ketika
semua barang dan jasa sudah menjadi komoditas di pasar, daya belilah yang kemudian
menjadi penentu apakah manusia dapat memenuhi kebutuhannya. Ketika mekanisme harga
menjadi penentu bagi tenaga kerja, manusia harus masuk ke pasar guna menjadi tenaga kerja
untuk mendapatkan upah atas kerjanya, maka daya belinya ditentukan oleh adanya upah.
Laku tidaknya tenaga kerja di pasar tentu sangat bergantung pada prospek laba. Maka urusan
eksistensial manusia yaitu perihal hidup-mati kini hanya menjadi urusan dua motif, yaitu
motif takut akan kelaparan dan motif laba. Pada titik ini muncul persoalan antropologis yang
besar. Hal yang bersifat mendasar dalam sistem pasar swatata adalah secara ontologis
manusia digerakkan oleh dua hasrat itu. Ini tentu tidak berarti bahwa hanya ada dua motif itu
yang beroperasi dalam hidup konkret. Persoalannya adalah tata laksana ekonomi pasar
swatata mensyaratkan manusia hanya mengikuti dua motif itu. Artinya motif lain yang
beraneka ragam dalam dunia kehidupan ini harus disisihkan dan dianggap tidak relevan. Pada
titik ini terjadi ketercerabutan antropologis (antrophological disembbeding).
Makna Formal dan Substantif Ekonomi
Polanyi membedakan dua pengertian terkait istilah “ekonomi”, yaitu formal dan
substantif. Arti formal dari ekonomi diturunkan dari watak logis hubungan sarana-tujuan.
Pengertian ini mengacu pada situasi khas soal pilihan, yaitu memilih pemakaian sarana yang
berbeda dikarenakan keterbatasan sarana yang tersedia. Pengertian formalistik berakar pada
logika matematis. Implikasi dari pengertian formal ini adalah serangkaian aturan yang
menunjuk pada pilihan antara berbagai alternatif pemakaian dari sarana-sarana yang terbatas.
Di sisi lain pengertian substantif dari ekonomi diturunkan dari ketergantungan hidup manusia
pada alam dan sesamanya. Ini menunjuk pada hubungan timbal balik dengan alam dan
lingkungan sosial yang menyediakannya dengan sarana-sarana untuk memenuhi kebutuhan
material. 8
Polanyi, Karl (G.Dalton, ed.), Primitive Archaic and Modern Economies: Essay of Karl Polanyi. (PAME),
8
Kritik Polanyi terhadap aliran formalis dan upayanya membela makna substantif
ekonomi difokuskan pada dua persoalan penting yaitu pilihan (choice) dan kelangkaan (scarcity). Kaum formalis berpendapat bahwa pilihan disebabkan ketidakcukupan yaitu kelangkaan sarana (scarcity situation). Polanyi lantas menyodorkan pandangan bahwa pilihan dapat tetap ada, baik tersedia ataupun tidak tersedia sarana yang memadai. Pilihan moral
misalnya, diindikasikan dengan niat dari pelaku untuk melakukan apa yang benar. Relasi
tujuan-sarana bahkan menjadi urusan nonekonomi. Persimpangan baik-buruk misalnya,
adalah subjek dari etika. Ketika Badu dihadapkan pada pilihan mencuri atau tidak mencuri, ia
berada dalam sebuah persimpangan dan harus menentukan pilihan yang tidak mengandaikan
kelangkaan. Badu harus memilih salah satu sebagai keputusan moral. Dengan demikian
pilihan tidak niscaya menyatakan ketidakcukupan sarana, dan sebaliknya ketidakcukupan
sarana tidak niscaya menunjukkan adanya pilihan atau kelangkaan.
Sebagai contoh mungkin dapat diberikan gambaran perburuan ikan paus di Lamalera
Nusa Tenggara Timur. Para pemburu ikan paus tidak pernah memiliki target berapa ikan paus
harus ditangkap. Mereka melakukan kerjasama antara nelayan, pemilik perahu, pemilik alat,
dan petugas penangkap ikan. Meski jumlah ikan paus yang tersedia cukup banyak,
berdasarkan kesepakatan dan intuisi mereka tahu kapan harus berhenti berburu. Ini
disebabkan kuatnya tradisi dan kebiasaan yang dihayati penduduk setempat. Pilihan secara
sengaja dibatasi oleh tradisi dan bukan karena kelangkaan sarana. Contoh sebaliknya adalah
praktik pertanian Subak di Bali. Mengikuti tekstur lahan pertanian yang berbentuk terasiring,
air dialirkan dari bagian atas (hulu) ke bagian bawah (hilir). Jika sumber air yang terbatas ini
dimiliki oleh individu yang sekedar memenuhi kebutuhan sendiri, tentu saja areal persawahan
yang lebih rendah akan kekurangan air. Nyatanya keterbatasan sarana (air) tidak
mengakibatkan para petani harus melakukan pilihan rasional. Sebagaimana diketahui pada
lahan pertanian tersebut juga menyebar hama. Dan penyebaran hama pada umumnya diawali
dari bawah ke atas. Jika petani di bagian bawah membiarkan penjalaran hama dan hanya
membersihkan hama di lahannya, maka areal persawahan di atasnya akan dirugikan. Dalam
praktiknya mekanisme koordinasi tetap dapat dijalankan melalui kesepakatan adat. Sarana
yang terbatas (air) tidak mengharuskan adanya pilihan-pilihan yang diambil sebagai
maksimisasi kepentingan individual tetapi pilihan yang diambil secara kolektif dana konteks
Cukup pasti bahwa kelangkaan bukan merupakan kondisi atau situasi nyata, tetapi
dipostulatkan. Jelas bahwa air dan udara tidak terbatas, juga sumber daya alam tidak terbatas
dan tidak langka. Tetapi sistem pasar swatata menghendaki adanya kelangkaan, maka sumber
daya alam yang tidak langka itu dijadikan komoditas dan kepadanya dilabelkan harga (price making). Pemberian harga berarti kini pemerolehan sumber daya alam bergantung pada daya beli (purchasing power), meskipun pada kenyataannya sumber daya alam ini melimpah. Yang dapat memiliki barang itu hanya mereka yang memiliki daya beli. Pada level ini terjadi
ketercerabutan epistemik (epistemic disembedding) yaitu makna ekonomi tercerabut dari asal usulnya. Dari pemenuhan kebutuhan manusia dan terkait dengan mata pencaharian menjadi
kalkulasi rasional terkait hubungan sarana-tujuan.
Makna substantif ekonomi ini menjadi kerangka metodologis yang penting.
Pengertian ekonomi sebagai pemenuhan kebutuhan individu dalam relasinya dengan sesama
dan lingkungannya membuka ruang untuk memikirkan alternatif bagi konsep ekonomi pasar.
Artinya ketika ekonomi adalah penyediaan dan pemenuhan kebutuhan material dan
mengandaikan hubungan dengan lingkungan atau alam, tak terelakkan lagi bahwa proses ini
menyangkut proses kelembagaan (kelembagaan). Polanyi berkontribusi mengintegrasikan
antropologi ekonomi ke dalam analisis perbandingan sistem ekonomi secara komprehensif.
Ekonomi formal yang bersekutu dengan paham liberal mengenai titik tolak ontologi yang
bercorak individualistik mendapatkan tantangan karena ketika ekonomi adalah bagian dari
relasi dengan struktur sosial yang lebih luas, ekonomi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri.
Ekonomi hanyalah salah satu cara mengada manusia dan bukan sesuatu yang secara soliter
dan berdiri sendiri dengan klaim universalnya. Justru makna substantif berhasil
mengintegrasikan fakta bahwa sistem ekonomi pra-kapitalis berbeda dengan sistem ekonomi
kapitalis. Dan di bawah pengertian ekonomi sebagai pemenuhan kebutuhan hidup manusia
dalam relasi sosialnya dengan sesama dan alam, semua sistem ekonomi yang merentang
dalam sejarah dapat dipahami.
Komodifikasi, Gerakan Ganda, dan Ketertanaman
Sistem pasar swatata memiliki prinsip memproduksi barang dan jasa untuk dijual di
pasar dan menjadikan harga pasar sebagai satu-satunya patokan. Konsekuensi dari prinsip ini
adalah semua elemen industri dijadikan komoditas, termasuk terhadap tenaga kerja, tanah,
dianggap seolah-olah komoditas (komoditas semu). Prinsip ini berimplikasi pada kehancuran
masyarakat karena untuk dapat mewujudkan komodifikasi terhadap tenaga kerja, tanah, dan
uang, harus dilakukan pemisahan manusia dari alam dan masyarakatnya. Terjadi pemisahan
antara ranah ekonomi dan ranah politik. Implikasinya ekonomi pasar (market economy) mengandaikan masyarakat pasar (market society).
Komodifikasi pada gilirannya menjadi dehumanisasi dan masyarakat sebagai
keseluruhan melakukan tindak perlindungan-diri untuk menghindarkan diri dari kehancuran
masyarakat. Di sinilah terletak konsep penting untuk memahami sistem pasar swatata, yaitu
gerakan ganda. Upaya perlindungan-diri ini juga menjadi penghalang sistem pasar swatata itu
sendiri, karena menggerogoti asumsi-asumsi yang diandaikan dalam membangun sistem ini,
yakni komodifikasi manusia, alam, dan uang. Perlindungan-diri oleh masyarakat bekerja
dalam dua tataran. Pertama, tataran kelas yaitu kelas sosial, khususnya kelas pekerja yang
berperan penting dalam melawan komodifikasi terhadap tenaga kerja. Kedua, tataran
kelembagaan, yang bersumber pada pemisahan antara wilayah politik dengan wilayah
ekonomi.
Ide Polanyi tentang gerakan ganda menyediakan kerangka konseptual yang penting
untuk memahami masyarakat kapitalis dan watak kontradiktifnya. Pertama, masyarakat
kapitalistik – yang dicirikan oleh pemisahan kelembagaan antara ranah ekonomi dan ranah
politik – mengidap penyakit tidak stabil yang inheren karena pemisahan ini menciptakan
tegangan antar kelas sosial dalam masyarakat. Kedua, gerakan ganda menunjukkan perspektif
‘societal’ (kemasyarakatan), karena menggambarkan dinamika antarkelas yang terjadi dalam masyarakat. ‘Kelas’ menurut Polanyi tidak dapat dipahami sekedar sebagai kelas yang 9
didasarkan pada kepentingan ekonomi.
Gerakan ganda ditilik dari perspektif lingkup masyarakat adalah pertarungan antara
kekuatan yang mencerminkan ekonomi ‘tercerabut’ (disembedded) dan mereka yang mewakili masyarakat yang mencoba ‘menanam kembali’ (reembedding) ekonomi dalam masyarakat. Polanyi dipengaruhi Ferdinand Tönnies mengenai pembedaan antara
gemeinschaft (paguyuban) dan gesellschaft (patembayan), yakni Gemeinschaft identik dengan Wesenwille (terkait dengan insting, perasaan, dan kebiasaan) sedangkan Gesellschaft
Polanyi, Karl, The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Times (GT), Beacon
9
mendasarkan pada keputusan rasional (Kurtwille). Kari Polanyi menegaskan bahwa perspektif gerakan ganda yang luas menunjukkan bahwa konsep ini bukanlah mekanisme
swa-koreksi untuk memoderasi fundamentalisme pasar. Gerakan ganda adalah upaya
menunjukkan kontradiksi eksistensial antara kebutuhan sistem pasar swatata akan ekspansi
tak-terbatas dengan kebutuhan umat manusia untuk hidup dalam relasi saling-dukung dan
saling-menguntungkan dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan komoditas semu, 10
gerakan ganda bertujuan menggantikan komodifikasi atas manusia, alam, dan uang (modal)
yang dilakukan sistem pasar swatata dengan komoditas sesungguhnya. Artinya pasar swatata
digantikan oleh pasar yang terkendali (regulated market). 11
Bob Jessop lalu melakukan konseptualisasi embeddedness ke dalam beberapa level.12
(i) Ketertanaman sosial (Social embeddedness), sebagaimana dipahami dalam sosiologi ekonomi. Yang dimaksud dengan ketertanaman sosial di sini adalah relasi ekonomi
antarpribadi yang terpilin dalam jejaring seperti identitas, kepentingan, kemampuan,
dan praktik.
(ii) Ketertanaman kelembagaan (Institutional embeddedness), yaitu ketertanaman kelembagaan yang terjadi dalam relasi antarorganisasi. Hal yang sentral adalah
negosiasi yang berfungsi sebagai penengah berbagai kepentingan yang saling
bertentangan dan bagaimana upaya mengatasinya melalui kerjasama.
(iii) Ketertanaman lingkup masyarakat (Societal embeddedness), yaitu corak ketertanaman institusi-institusi yang terbedakan secara fungsional dalam tata
hubungan yang kompleks dalam sebuah masyarakat yang decentered. Dan level ketiga inilah yang sangat relevan dengan pemikiran Polanyi tentang embeddedness.
Kari Polanyi-Levitt ‘Tracing Polanyi’s Institutional Political Economy’, dalam Karl Polanyi in Vienna,
10
hlm. 385.
Fikret Adaman and Yahya M. Madra, “Theorizing the "Third Sphere": A Critique of the Persistence of the
11
"Economistic Fallacy", Journal of Economic Issues, Vol. 36, No. 4 (Dec., 2002), hlm. 1049-1050.
Bob Jessop, Regulationist and Autopoieticist Reflections on Polanyi’s Account of Market Economies and the
12
Market Societies, Departement of Sociology, Lancaster University, diunduh dari http://
Skema pemikiran Polanyi menurut Jessop dapat ditunjukkan sebagai berikut.
Ekonomi Substantif Ekonomi Formal
Ekonomi tertanam secara kelembagaan Ekonomi tercerabut secara kelembagaan
Kesesatan Ekonomistik
Rumah tangga Ketimbalbalikan Redistribusi Ekonomi Pasar didasarkan pada pertukaran
Terkendali Tidak terkendali
(self-regulating/laissez-faire)
Proyek Menanam Kembali Ekonomi
Gagasan Polanyi tentang ketertanaman memberi kerangka teoretik untuk memahami
letak ekonomi dalam masyarakat. Setelah menunjukkan sifat tak alamiah sistem pasar
swatata, Polanyi menunjukkan upaya meloloskan ekonomi dari relasinya dengan
institusi-institusi sosial yang lebih luas pada akhirnya runtuh. Ketertanaman menjadi hakekat ontologi
yang memperkuat pengertian bahwa institusi mendahului individu, atau dalam pengertian
Aristotelian, ‘yang keseluruhan’ lebih utama dibanding ‘yang sebagian’, dan dalam bahasa
Polanyi sendiri itu adalah kesatuan dan stabilitas (unity and stability). Untuk memahami kompleksitas dalam masyarakat dibutuhkan epistemologi yang mampu menjelaskan
hubungan-hubungan yang ada secara rasional, yaitu konsep ekonomi sebagai proses
terlembaga (economy as instituted process). Jika konsep embeddedness berhasil menunjukkan bahwa cara berpikir mengacu diri (self-referential) itu keliru, maka konsep ekonomi sebagai proses terlembaga menyediakan landasan pemahaman terhadap bagaimana
ekonomi harus mengacu pada sesuatu di luar dirinya (other-referential), yakni institusi-institusi nonekonomi.
Ekonomi sebagai proses terlembaga menunjukkan pendekatan lingkup masyarakat
masyarakat. Struktur adalah titik masuk ontologis yang dibingkai oleh kodrat ontologis
bahwa ekonomi tertanam dalam relasi sosial. Metodologi pemahaman terhadap ekonomi
sebagai proses terlembaga yang ditopang oleh bentuk-bentuk integrasi tertentu dapat
menjelaskan mengapa satu sistem ekonomi tertanam sedangkan sistem ekonomi lainnya
cenderung tercerabut dari struktur sosial yang lebih luas. Dalam konteks ini, sistem pasar
swatata dapat dikatakan disembedding dalam arti mengabaikan eksistensi bentuk integrasi lain yang mendasarkan keberadaannya pada nilai nonekonomi. Dengan demikian, upaya
mengkonstruksi kaitan embeddedness dengan ‘ekonomi sebagai proses kelembagaan’, pelembagaan kembali proses ekonomi berarti pula proses menanamkan kembali
(reembeding) ekonomi ke dalam institusi-institusi sosial. Maka persoalannya modus ketertanaman seperti apa yang memungkinkan kinerja ekonomi kembali terkait dengan
makna substantif, yaitu mata pencaharian? Proses itu dapat digambarkan sebagai berikut. 13
Masyarakat Pra Great Transformation
Kapitalisme (disembedded)
Fikret Adaman, Pat Devine, dan Begum Ozkaynak, ‘Reinstituting the economic process: (re)embedding the
13
economy in society and nature’, dalam Harvey, M. , Ramlogan, Ronnie., and Randles, Sally, Karl Polanyi New Perspective on the place of the economy in society, Manchester University Press, 2007, hlm. 98.
Ekonomi sebagai proses terlembaga
Alam Masyarakat
Ekonomi
Ekonomi sebagai proses terlembaga
Alam Masyarakat
Self-Governing Society ( Masyarakat Swatata )
Social Control ( Kontrol Sosial )
Keterangan:
Hubungan organik ( organic link ) Kontrol sosial ( social control )
Mediasi kesadaran ( conscious mediation )
Polanyi memandu kita menyusuri pengapnya situasi dan sempitnya ruang berpikir
alternatif. Melalui proyek membongkar nalar kapitalisme, Polanyi menunjukkan pada
generasi sekarang bahwa kapitalisme kontemporer sangat mungkin dikritik. Masa depan
kapitalisme tak lain adalah proyek menanam kembali ekonomi, yaitu mengembalikan kinerja
ekonomi substantif. Secara konkret Polanyi memperhitungkan lembaga seperti keluarga,
komunitas, lembaga agama, serikat dagang, serikat pekerja, asosiasi profesi, hingga negara.
Secara integratif, Polanyi menunjukkan bahwa ketimbalbalikan dan redistribusi adalah dua
model integrasi yang ampuh menopang kehidupan dan penghidupan umat manusia.
Karenanya, gerakan Occupy Wall Street, Forum Sosial Dunia, gerakan kredit mikro di dunia
ketiga, kesadaran menuntut keadilan pajak, regionalisme, dan sebagainya harus dipandang
sebagai bentuk aktualisasi manusia yang ingin menyelamatkan kemanusiaan yang Ekonomi sebagai proses
terlembaga
Alam Masyarakat
Ekonomi
Civil Society
Alam Negara
dihancurkan nalar kapitalisme gelojoh. Dan melalui Polanyi kita paham bahwa berguru pada
masa lalu bukanlah ajakan untuk menjadi primitif, melainkan kejernihan bahwa dengan
membentang sungai waktu hingga ke masa silam, kita akan menemukan cara hidup dan cara
berpikir yang jika kita rentang ke masa kini akan menunjukkan benang merah yang
merupakan arus sejarah yang bersabda tentang arti sebuah pencarian akan kebenaran.
Daftar Pustaka
Bugra,Asye and Kaan Agartan, Reading Karl Polanyi for the Twenty-First Century Market Economy as a Political Project, Palgrave Macmillan, NY, 2007.
Cassidy, John, “Letter From Chicago: After The Blowup”, The New Yorker, Januari 11,2010, hlm.1-6.
Dale, Gareth, Karl Polanyi The Limit of Market, Polity Press, London, 2010a.
Duménil, Gérard and Lévy, Dominique, Capital Resurgence; Roots of the Neoliberal Revolution, Harvard, 2004
Gemici, Kurtuluş, ‘Karl Polanyi and The Antinomies of Embeddedness’, Socio-Economic Review, 2008, hlm. 5-33.
Granovetter, Mark dan Richard Swedberg (eds.), The Sociology of Economic Life, Westview Press, 2001.
Hann, Chris and Keith Hart ( eds. ), Market and Society: the Great Transformation Today, Cambridge University Press, UK, 2009.
Jessop, Bob, ‘Regulationist and Autopoieticist Reflections on Polanyi’s Account of Market Economies and the Market Societies’, Departement of Sociology, Lancaster University, diunduh dari http://www.comp.lancs.ac.uk/sociology/papers/Jessop-Regulationist-and-Autopoieticist-Reflections.pdf
Levitt, Kari Polanyi, ed., The Life and Work of Karl Polanyi, Black Rose Books, 1990.
Herry-Priyono, B., Karl Polanyi Menanam Ekonomi, Orasi Ilmiah disampaikan pada Colloquium Studi Etika tentang Ekonomi dan Relasi Sosial: Pemikiran Karl Polanyi, disampaikan pada 28 Oktober 2010 di Unika Atma Jaya, Jakarta
Polanyi, Karl, The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Times, Beacon Press,2001 (asli,1944)
Polanyi,Karl, Conrad Arensberg, and Harry Pearson, eds., Trade and Market in The Early Empires, Glencoe,IL:Free Press,1957
Polanyi, Karl (G.Dalton, ed.), Primitive Archaic and Modern Economies: Essay of Karl Polanyi. Anchor.1968
Polanyi, Karl, Livehood of Man, (ed. Harry W. Pearson ), Academic Press, New York, 1977
Sen, Amartya, “Rational Fools: A Critique of the Behavoral Foundations of Economic Theory”, Philosophy and Public Affairs, Vol. 6, No.4, 1977, hlm. 317-344.