• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Sistem politik masa orde lama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perbedaan Sistem politik masa orde lama"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

Pengertian orde

Dalam kamus politik pembangunan, CLC, Lanisius, 1970 :74

Orde berasal dari kata Latin “ordo” : deretan, susunan, atau kelas, kemudian berarti aturan, serta ketertiban. Pengertian asasi orde dapat dirumuskan demikian : adanya banyak unsur; bagian/anggota, yang diatur menurut suatu prinsip/hukum/ide tertentu. Prinsip itu yang menentukan tempat dan fungsi setiap unsur dalam hubungannya dengan unsur-unsur lain, sehingga timbul suatu kesatuan yang tersusun baik, misalnya bagian-bagian rumah, tersusun menurut ide si arsitek, atau suatu organisme yang tersusun menurut prinsip hidup yaitu jiwanya. Sistem pemerintahan orde lama

Sumber : http://mhafizyazid.blogspot.com/2012/11/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html-tentang sistem pemerintahan orde lama.

Masa orde lama yaitu masa pemerintahan yg dimulai dari proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai masa terjadinya G30 S PKI.

Orde Lama adalah istilah yang diciptakan oleh Orde Baru. Bung Karno sangat keberatan masa kepemimpinannya dinamai Orde Lama. Bung Karno lebih suka dengan nama Orde Revolusi. Tapi Bung Karno tak berkutik karena menjadi tahanan rumah (oleh pemerintahan militer Orde Baru) di Wisma Yaso (sekarang jadi Museum TNI Satria Mandala Jl. Gatot Subroto Jakarta). Tokoh dari sistem pemerintahan orde lama yang dimiliki Indonesia ialah siapa lagi kalau bukan Bung Karno. Dengan segenap pemikiran, kepintaran, dan kecakapannya, Bung Karno perlahan mulai "membangun badan" negara ini.

Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968.

Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando. Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer. Presiden Soekarno digulingkan saat Indonesia menggunakan sistem ekonomi komando.

Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja.

Negara berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka. Kondisi sosial ekonomi, sosial politik, sosial budaya dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan hampir bangkrut.

Indonesia di masa Orde Lama (Soekarno, 1945 – 1966) lebih banyak konflik politiknya daripada agenda ekonominya yaitu konflik kepentingan antara kaum borjuis, militer, PKI, parpol keagamaan dan kelompok – kelompok nasionalis lainnya. Kondisi ekonomi saat itu sangat parah dengan ditandai tingginya inflasi yaitu mencapai 732% antara tahun 1964 – 1965 dan masih mencapai 697% antara tahun 1965 – 1966.

(2)

1. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.

2. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.

3. Kas negara kosong.

4. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :

1. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.

2. Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.

3. Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan. 4. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947, Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.

5. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).

Orde Lama telah dikenal prestasinya dalam memberi identitas, kebanggaan nasional dan mempersatukan bangsa Indonesia. Namun demikian, Orde Lama pula yang memberikan peluang bagi kemungkinan kaburnya identitas tersebut (Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945). Beberapa peristiwa pada Orde Lama yang mengaburkan identitas nasional kita adalah; Pemberontakan PKI pada tahun 1948, Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD Sementara 1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965.

Pada Orde Lama terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang tidak stabil. Tercatat ada 7 kabinet pada masa Orde Lama, yaitu :

1. 1950-1951 - Kabinet Natsir

2. 1951-1952 - Kabinet Sukiman-Suwirjo 3. 1952-1953 - Kabinet Wilopo

(3)

7. 1957-1959 - Kabinet Djuanda

Era 1950 - 1959 adalah era di mana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, dimana periode ini berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.

Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950. Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer.

Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan.

Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan periode 1959-1966.

Sistem pemerintahan orde baru

Jatuhnya Soekarno merupakan peristiwa politik cukup menarik dan sangat bersejarah.

Disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode Orde Lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar(Surat Peritah Sebelas Maret).

Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang isinya – berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan darat – menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen.

Supersemar adalah titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama.Orde baru berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap orde lama yang telah menyimpang dari Pancasila.

Setelah pertanggung jawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967 (ditolaknya Pidato Nawaksara yang disampaikan oleh Presiden Soekarno), Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS di tahun yang sama dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.

(4)

yang dikutip dari berbagai sumber, dan sebagian besar, dikutip dari buku "Proses Pelaksanaan Keputusan MPRS No.5/MPRS/ 1996 Tentang Tanggapan Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara Republik Indonesia Terhadap Pidato Presiden/Mandataris MPRS di Depan Sidang Umum Ke-IV MPRS Pada Tanggal 22 Djuni 1966 Yang Berdjudul Nawaksara,"

Di balik kesuksesan pembangunan di depan, Orde Baru menyimpan beberapa kelemahan http://sejarahindonesiaa.blogspot.com/2013/02/runtuhnya-pemerintahan-orde-baru- dan.html;http://sistempemerintahindonesia.blogspot.com/2013/07/sistem-pemerintahan-indonesia-era-reformasi.html; http://id.wikipedia.org/wiki/Soeharto)

Selama masa pemerintahan Soeharto, praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) tumbuh subur. Pembangunan Indonesia berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sehingga menyebabkan ketidakadilan dan kesenjangan sosial. Bahkan, antara pusat dan daerah terjadi kesenjangan pembangunan karena sebagian besar kekayaan daerah disedot ke pusat.

Akhirnya, muncul rasa tidak puas di berbagai daerah, seperti di Aceh dan Papua. Di luar Jawa terjadi kecemburuan sosial antara penduduk lokal dengan pendatang (transmigran) yang memperoleh tunjangan pemerintah. Penghasilan yang tidak merata semakin memperparah kesenjangan sosial.

Pemerintah mengedepankan pendekatan keamanan dalam bidang sosial dan politik. Pemerintah melarang kritik dan demonstrasi. Oposisi diharamkan rezim Orde Baru. Kebebasan pers dibatasi dan diwarnai pemberedelan Koran maupun majalah. Untuk menjaga keamanan atau mengatasi kelompok separatis, pemerintah memakai kekerasan bersenjata. Misalnya, program “Penembakan Misterius” (Petrus) atau Daerah Operasi Militer (DOM). Kelemahan tersebut mencapai puncak pada tahun 1997-1998.

Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997.

Krisis moneter dan keuangan yang semula terjadi di Thailand pada bulan Juli 1997 merembet ke Indonesia. Hal ini diperburuk dengan kemarau terburuk dalam lima puluh tahun terakhir.

Dari beberapa negara Asia, Indonesia mengalami krisis paling parah. Solusi yang disarankan IMF justru memperparah krisis. IMF memerintahkan penutupan enam belas bank swasta nasional pada 1 November 1997.

Hal ini memicu kebangkrutan bank dan negara.

Krisis ekonomi mengakibatkan rakyat menderita. Pengangguran melimpah dan harga kebutuhan pokok melambung. Pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di berbagai daerah.

Daya beli masyarakat menurun. Bahkan, hingga bulan Januari 1998 rupiah menembus angka Rp 17.000,00 per dolar AS. Masyarakat menukarkan rupiah dengan dolar. Pemerintah mengeluarkan “Gerakan Cinta Rupiah”, tetapi tidak mampu memperbaiki keadaan. Krisis moneter tersebut telah berkembang menjadi krisis multidimensi.

(5)

sebagian besar diisi oleh kroni dan tidak berdasarkan keahliannya. Kondisi itulah yang melatarbelakangi munculnya gerakan reformasi.

Gerakan reformasi

Gerakan reformasi dilatarbelakangi oleh terjadinya krisis multidimensi yang dihadapi bangsa Indonesia. Semula gerakan ini hanya berupa demonstrasi di kampus-kampus di berbagai daerah. Akan tetapi, para mahasiswa harus turun ke jalan karena aspirasi mereka tidak mendapatkan jalan keluar.

Gerakan reformasi tahun 1998 mempunyai enam agenda antara lain (1) suksesi kepemimpinan nasional, (2) amandemen UUD 1945, (3) pemberantasan KKN,(4) penghapusan dwifungsi ABRI, (5) penegakan supremasi hukum, dan (6)pelaksanaan otonomi daerah.

Agenda utama gerakan reformasi adalah turunnya Soeharto dari jabatan presiden.

Puncak kekesalan demonstran ketika terjadi Tragedi Trisakti tanggal 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan besar-besaran Mei 1998 (Kerusuhan Mei 1998) sehari setelah kejadian tersebut.

Beberapa hari mereka menduduki gedung Parlemen kala itu. Ketika didalam gedung terjadi rapat pleno Anggota Dewan.

Akhir dari itu tanggal 21 Mei 1998 Suharto secara resmi mengundurkan diri sebagai presiden Republik Indonesia kemudian digantikan oleh wakilnya BJ.Habibie.

Setelah Habibie terpilih menjadi presiden menggantikan Suharto. Habibie membentuk kabinet baru yang bernama "Kabinet Reformasi".

Seperti dilansir dari wikipedia, Tanggal 10 November 1998 dibentukan himpunan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ), ITB Bandung, Universitas Siliwangi serta empat tokoh reformasi yaitu Abrurrahman Wahid (Gus Dur), Amien Rais, Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Megawati Sukarno Putri. Mereka mengadakan dialog nasional di kediaman Gusdur, Ciganjur, Jakarta Selatan, dan menghasilkan 8 Butir Kesepakatan, yaitu :

1. Mengupayakan terciptanya persatuan dan kesatuan nasional. 2. Menegakkan kembali kedaulatan rakyat.

3. Melaksanakan desentralisasi pemerintahan sesuai dengan otonomi daerah.

4. Melaksanakan pemilu yang luber dan jurdil guna mengakhiri masa pemerintahan transisi. 5. Penghapusan Dwifungsi ABRI secara bertahap

6. Mengusut pelaku KKN dengan diawali pengusutan KKN yang dilakukan oleh Soeharto dan kroninya.

7. Mendesak seluruh anggota Pam Swakarsa untuk membubarkan diri. Pidato pengunduran diri Soeharto

http://id.wikipedia.org/wiki/Kejatuhan_Soeharto

Kejatuhan Suharto adalah peristiwa mundurnya Suharto dari jabatan Presiden Indonesia. Suharto mundur pada Mei 1998 setelah runtuhnya dukungan untuk dirinya.

(6)

susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi. Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998.” (Pidato pengunduran diri)

Kejatuhan Suharto juga menandai akhir masa Orde Baru, suatu rezim yang berkuasa sejak tahun 1968. Soeharto telah menjadi presiden Indonesia selama 32 tahun.

BJ Habibie melanjutkan setidaknya setahun dari sisa masa kepresidenannya sebelum kemudian digantikan oleh Abdurrahman Wahid pada tahun 1999(melalui pemilu).

Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur.[3][4][5][6] Suharto juga membatasi kebebasan warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan dianggap sebagai rezim paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah $AS 15 miliar sampai $AS 35 miliar.[7] Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 Januari 2008.

Sistem pemerintahan p ada m asa r eformasi

Sumber : http://sejarahindonesiaa.blogspot.com/2013/02/runtuhnya-pemerintahan-orde-baru-dan.html &http://hitamandbiru.blogspot.com/2011/01/perbandingan-sistem-pemerintahan.html Presiden Habibie sebagai pembuka sejarah perjalanan bangsa pada era reformasi mengupayakan pelaksanaan politik Indonesia dalam kondisi yang transparan serta merencanakan pelaksanaan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemilihan umum yang akan diselenggarakan di bawah pemerintahan Presiden Habibie merupakan pemilihan umum yang telah bersifat demokratis.

Selain itu pada masa pemerintahan Habibie, orang bebas mengemukakan pendapatnya di muka umum. Presiden Habibie memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin menyampaikan pendapat, baik dalam bentuk rapat-rapat umum maupun unjuk rasa atau demonstrasi. Namun khusus demonstrasi, setiap organisasi atau lembaga yang ingin melakukan demonstrasi hendaknya mendapatkan izin dari pihak kepolisian dan menentukan tempat untuk melakukan demonstrasi tersebut.

(7)

Pada masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dilakukan reformasi di bidang hukum. Reformasi hukum itu disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Habibie untuk mereformasi hukum mendapat sambutan baik dari berbagai kalangan masyarakat, karena reformasi hukum yang dilakukannya mengarah kepada tatanan hukum yang didambakan oleh masyarakat.

Presiden Habibie mencabut lima paket undang-undang tentang politik. Sebagai gantinya DPR berhasil menetapkan tiga undang-undang politik baru. Ketiga undang-undang itu disahkan pada tanggal 1 Februari 1999 dan ditandatangani oleh Presiden Habibie. Ketiga undang-undang itu antara lain undang-undang partai politik, pemilihan umum, susunan serta kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

Munculnya undang-undang politik yang baru memberikan semangat untuk berkembangnya kehidupan politik di Indonesia. Dengan munculnya undang-undang politik itu partai-partai politik bermunculan dan bahkan tidak kurang dari 112 partai politik telah berdiri di Indonesia pada masa itu. Namun dari sekian banyak jumlahnya, hanya 48 partai politik yang berhasil mengikuti pemilihan umum tahun 1999. Hal ini disebabkan karena aturan seleksi partai-partai politik diberlakukan cukup ketat. Setalah perhitungan suara berhasil diselesaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), hasilnya lima besar partai yang berhasil meraih suara-suara terbanyak di antaranya PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan pembangunan, Partai Pembangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional.

Setelah Komisi Pemilihan Umum berhasil menetapkan jumlah anggota DPR dan MPR segera melaksanakan sidang. Sidang Umum MPR tahun 1999 diselenggarakan sejak tanggal 1 – 21 Oktober 1999. Dalam Sidang Umum itu Amien Rais dikukuhkan menjadi ketua MPR dan Akbar Tanjung menjadi ketua DPR. Sedangkan pada Sidang Paripurna MPR XII, pidato pertanggung jawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR melalui mekanisme voting dengan 355 suara menolah, 322 menerima, 9 absen dan 4 suara tidak sah. Akibat penolakan pertanggungjawaban itu, Habibie tidak dapat untuk mencalonkan diri mejadi Presiden Republik Indonesia. Hal ini mengakibatkan munculnya tiga calon Presiden yang diajukan oleh fraksi-fraksi yang ada di MPR yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Yuhsril Ihza MAhendra. Namun tanggal 20 Oktober 1999, Yuhsril Ihza Mahendra mengundurkna diri. Oleh karena itu, tinggal dua calon Presiden yang maju dalam pemilihan itu, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnopoutri. Dari hasil pemilihan presiden yang dilaksanakan secara voting, Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 21 Oktober 1999 dilaksanakan pemilihan Wakil Presiden dengan calonnya Megawati Soekaroputri dan Hamzah Haz. Pemilihan Wakil Presiden ini kemudian dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri. Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1999 Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri berhasil membentuk Kabinet Persatuan Nasional.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menduduki jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia tidak sampai pada akhir masa jabatannya. Beliau menduduki jabatan sampai tahun 2001 dikarenakan munculnya ketidakpercayaan parlemen padanya. DPR/MPR kemudian memilih dan mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia dan Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden Indonesia. Masa kekuasaan Megawati berakhir pada tahun 2004.

(8)

Kondisi Sosial Masyarakat Sejak Reformasi

Sejak krisis moneter yang melanda pada pertengahan tahun 1997, perusahaan-perusahaan swasta mengalami kerugian yang tidak sedikit, bahkan pihak perusahaan mengalami kesulitan memenuhi kewajibannya untuk membayar gaji dan upah pekerjanya. Keadaan seperti ini menjadi masalah yang cukup berat karena disatu sisi perusahaan mengalami kerugian yang cukup besar dan disisi lain para pekerja menuntut kenaikan gaji. Tuntutan para pekerja untuk menaikkan gaji sangat sulit dipenuhi oleh pihak perusahaan, akhirnya banyak perusahaan yang mengambil tindakan untuk mengurangi tenaga kerja dan terjadilah PHK.

Para pekerja yang diberhentikan itu menambah jumlah pengangguran, sehingga jumlah pengangguran diperkirakan mencapai 40 juta orang. Pegangguran dalam jumlah yang sangat besar ini akan menimbulkan terjadinya masalah sosial dalam kehidupan masyarakat. Dampak susulan dari pengangguran adalah makin maraknya tindakan-tindakan criminal yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Langkah yang diambil untuk mengatasi masalah tersebut adalah pemerintah dengan serius menangani masalah pengangguran dengan membuka lapangan kerja baru yang dapat menampung para penganggur tersebut. Langkah berikutnya, pemerintah berusaha menarik kembali para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, sehingga dapat membuka lapangan kerja baru untuk menampung para penganggur tersebut.

Kondisi Ekonomi Masyarakta Indonesia

Sejak berlangusngnya krisis moneter pertengahan tahun 1997, ekonomi Indonesia mulai mengalami keterpurukan. Keadaan perekonomian makin memburuk dan kesejahteraan rakyat makin menurun. Pengangguran juga semakin luas. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie untuk memperbaiki perekonomian Indonesia diantaranya :

a. Merekapitulasi perbankan

b. Merekonstruksi perekonomian Indonesia c. Melikuidasi beberapa bank bermasalah

d. Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga di bawah Rp 10.000,-e. Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF

Dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat, pemerintah juga memperhatikan harga produk pertanian Indonesia, karena selama masa pemerintahan Orde Baru maupun sejak krisis 1997 tidak pernah berpihak kepada petani. Apabila pendapatan petani meningkat, maka permintaan pertanian terhadap barang non pertanian juga meningkat. Dengan ditetapkannya harga produk pertanian akan member semangat bangkitnya para pengusaha untuk mengembangkan kegiatan perusahaannya.

Pihak pemerintah telah berusaha ntuk membawa Indonesia keluar dari krisis. Tetapi tidak mungkin dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Oleh sebab itu untuk mengatasi krisis, presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia, memerlukan penyelesaian secara bertahap berdasarkan skala prioritas.

(9)

Perubahan (amandemen) UUD 1945

Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:

 Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945

 Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945

 Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945

 Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945

Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal. Tentang sistem pemerintahan negara republik Indonesia dapat dilihat di dalam pasal pasal sebagai berikut :

Negara Indonesia adalah negara Hukum.

Tercantum di dalam Pasal 1 ayat (3). Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, menghormati hak asasi mansuia dan prinsip due process of law. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka diatur dalam bab IX yang berjumlah 5 pasal dan 16 ayat. (Bandingkan dengan UUD 1945 sebelum perubahan yang hanya 2 pasal dengan 2 ayat). Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat 1 UUD 1945). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sedangkan badan-badan lainnya yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

Sistem Konstitusional

Sistem Konstitusional pada era reformasi (sesudah amandemen UUD 1945) berdasarkan Check and Balances. Perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara dilakukan untuk mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang hendak dibangun adalah sistem “check and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.

(10)

Bahkan rakyat secara langsung dapat melaksanakan kedaulatannya untuk menentukan Presiden dan Wakil Presidennya melalui pemilihan umum.

Tata urutan perundang-undangan RI

Pada era reformasi diadakan tata urutan terhadap peraturan perundang-undangan sebanyak dua kali, yaitu :

Menurut TAP MPR III Tahun 2000:

1. UUD 1945

2. TAP MPR

3. UU

4. PERPU

5. PP

6. Keputusan Presiden 7. Peraturan Daerah Menurut UU No. 10 Tahun 2004:

1. UUD 1945

2. UU/PERPU

3. Peraturan Pemerintah 4. Peraturan Presiden 5. Peraturan Daerah Sistem Pemerintahan

Sistem ini tetap dalam frame sistem pemerintahan presidensial, bahkan mempertegas sistem presidensial itu, yaitu Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen, akan tetap bertanggung kepada rakyat dan senantiasa dalam pengawasan DPR. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena melakukan perbuatan melanggar hukum yang jenisnya telah ditentukan dalam Undang-Undang Dasar atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. DPR dapat mengusulkan untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya manakala ditemukan pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar.

Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). MPR berdasarkan Pasal 3, mempunyai wewenang dan tugas sebagai berikut :

1. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar 2. Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden

3. Dapat memberhentikan presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD

Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurut UUD.

(11)

dipilih dan diangkat oleh MPR (Pada Pemerintahan BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri untuk masa jabatan lima tahun. Tetapi, sesuai dengan amandemen ketiga UUD 1945 (2001) presiden dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket.

Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Dengan memperhatikan pasal-pasal tentang kekuasaan pemerintahan negara (Presiden) dari Pasal 4 s.d. 16, dan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 19 s.d. 22B), maka ketentuan bahwa Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR masih relevan. Sistem pemerintahan negara republik Indonesia masih tetap menerapkan sistem presidensial.

Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

(12)

PERBEDAAN :

– Orde lama (Demokrasi Terpimpin) 1. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)

Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :

a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.

b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.

c. Kas negara kosong.

d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain : a.Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.

b.Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.

c.Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan. d.Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947

Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.

e.Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan). 2. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)

Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :

a)Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.

b)Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan

(13)

serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.

c)Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.

d)Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak

Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.

e)Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.

3. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)

Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :

a)Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.

b)Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.

c)Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.

Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.

– Orde Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila)

Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa itu pemerintah sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas ekonomi. Karena hal itulah maka pemerintah jarang sekali melakukan perubahan-perubahan kebijakan terutama dalam hal anggaran negara.

(14)

pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan

pemerataan pembangunan.

Hal ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan mengalami stabilitas politik sehingga menunjang stabilitas ekonomi. Kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa itu dituangkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang pada akhirnya selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi APBN.

APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsi-asumsi perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental ekonomi nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan tetapi, lebih kearah yang bersifat mikro-ekonomi. Misalnya, masalah-masalah dalam dunia usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia swasta dan BUMN yang baik dan bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah realistis sesuai keadaan yang terjadi.

Format APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan serta pengeluaran terdiri dari

pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal ini diterapkan seseuai dengan masa panen petani, sehingga menimbulkan kesan bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.

APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang sama antara penerimaan dan pengeluaran. Hal perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak mungkin, karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk menutup anggaran yang defisit.

Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada anggaran penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pada dasarnya APBN pada masa itu selalu mengalami defisit anggaran.

Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit negara ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga antara penerimaan dan pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan pajak saat minim sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.

Namun prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah pada masa itu untuk mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang ekonomi. Karena pemerintah dapat

(15)

Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip ini merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana pinjaman luar negeri hanya digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut pemerintah, pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri.

Pada dasarnya kebijakan ini sangat bagus, karena pinjaman yang digunakan akan membuahkan hasil yang nyata. Akan tetapi, dalam APBN tiap tahunnya cantuman angka pinjaman luar negeri selalu meningkat. Hal ini bertentangan dengan keinginan pemerintah untuk selalu meningkatkan penerimaan dalam negeri. Dalam Keterangan Pemerintah tentang RAPBN tahun 1977, Presiden menyatakan bahwa dana-dana pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri harus meningkat. Padahal, ketergantungan yang besar terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-akibat. Diantaranya akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi.

Hal lain yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan terwujud. Sehingga yang terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu pinjaman luar negeri yang banyak akan menimbulkan resiko kebocoran, korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih parahnya lagi

ketergantungan tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha meningkatkan penerimaan dalam negeri.

Prinsip ketiga yang diterapakan oleh pemerintahan Orde Baru dalam APBN adalah, dinamis yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk membiayai pembangunan. Dalam hal ini pemerintah akan berupaya untuk mendapatkan kelebihan pendapatan yang telah dikurangi dengan pengeluaran rutin, agar dapat dijadikan tabungan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah dapat memanfaatkan tabungan tersebut untuk berinvestasi dalam pembangunan. Kebijakan pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi perbankan dan reformasi perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama. Akibatnya, kebijakan untuk mengurangi bantuan luar negeri tidak dapat terjadi karena jumlah pinjaman luar negeri terus meningkat. Padahal disaat yang bersamaan persentase pengeluaran rutin untuk membayar pinjaman luar negeri terus meningkat. Hal ini jelas menggambarkan betapa APBN pada masa pemerintahan Orde Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri. Sehingga pada akhirnya berakibat tidak dapat terpenuhinya keinginan pemerintah untuk

meningkatkan tabungannya.

– Masa Reformasi (Demokrasi Liberal)

Pada masa krisis ekonomi,ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.

(16)

menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.

Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :

a)Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.ke-3 triliun.

b)Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi

Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.

Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.

Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.

Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang

ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.

(17)

o Masalah pemanfaatan kekayaan alam.

Pada masa orde lama : Konsep Bung Karno tentang kekayaan alam sangat jelas. Jika Bangsa Indonesia belum mampu atau belum punya iptek untuk menambang minyak bumi dsb biarlah SDA tetap berada di dalam perut bumi Indonesia. Kekayaan alam itu akan menjadi tabungan anak cucu di masa depan. Biarlah anak cucu yang menikmati jika mereka sudah mampu dan bisa. Jadi saat dipimpin Bung Karno, meski RI hidup miskin, tapi Bung Karno tidak pernah menggadaikan (konsesi) tambang-tambang milik bangsa ke perusahaan asing. Penebangan hutan pada masa Bung Karno juga amat minim.

Pada masa Orde Baru konsepnya bertolak belakang dengan orde lama.Apa yang bisa digadaikan; digadaikan. Kalo bisa ngutang ya ngutang. Yang penting bisa selalu makan enak dan hidup wah. Rakyat pun merasa hidup berkecukupan pada masa Orba. Beras murah, padahal sebagian adalah beras impor. Beberapa gelintir orang mendapat rente ekonomi yang luar biasa dari berbagai jenis monopoli impor komoditi bahan pokok, termasuk beras, terigu, kedelai dsb. Semua serba

tertutup dan tidak tranparan. Jika ada orang mempertanyakan, diancam tuduhan subversif. Hutan dijadikan sumber duit, dibagi menjadi kapling-kapling HPH; dibagi-bagi ke orang-orang tertentu (kroni) secara tidak transparan. Ingat fakta sejarah: Orde Baru tumbang akibat demo mahasiswa yang memprotes pemerintah Orba yang bergelimang KKN. Jangan dilupakan pula bahwa ekonomi RI ambruk parah ditandai Rupiah terjun bebas ke Rp 16.000 per dollar terjadi masih pada masa Orde Baru.

Masa Reformasi krisis ekonomi parah sudah terjadi. Utang LN tetap harus dibayar. Budaya korupsi yang sudah menggurita sulit dihilangkan, meski pada masa Presiden SBY pemberantasan korupsi mulai kelihatan wujudnya.. Rakyat menikmati kebebasan (namun sepertinya terlalu “bebas”). Media masa menjadi terbuka.

Yang memimpikan kembalinya rezim totaliter mungkin hanyalah sekelompok orang yang dulu amat menikmati previlege dan romantisme kenikmatan duniawi di zaman Orba.Sekarang kita mewarisi hutan yang sudah rusak parah; industri kayu yang sudah terbentuk dimana-mana akibat dari berbagai HPH , menjadi muara dari illegal logging.

o Sistem pemerintahan

Orde lama : kebijakan pada pemerintah, berorientasi pada politik,semua proyek diserahkan kepada pemerintah, sentralistik,demokrasi Terpimpin, sekularisme.

Orde baru : kebijakan masih pada pemerintah, namun sektor ekonomi sudah diserahkan ke swasta/asing, fokus pada pembangunan ekonomi, sentralistik, demokrasi Pancasila, kapitalisme. Soeharto dan Orde Baru tidak bisa dipisahkan. Sebab, Soeharto melahirkan Orde Baru dan Orde Baru merupakan sistem kekuasaan yang menopang pemerintahan Soeharto selama lebih dari tiga dekade. Betulkah Orde Baru telah berakhir? Kita masih menyaksikan praktik-praktik nilai Orde Baru hari ini masih menjadi karakter dan tabiat politik di negeri ini. Kita masih menyaksikan koruptor masih bercokol di negeri ini. Perbedaan Orde Baru dan Orde Reformasi secara kultural dan substansi semakin kabur. Mengapa semua ini terjadi? Salah satu jawabannya, bangsa ini tidak pernah membuat garis demarkasi yang jelas terhadap Orde Baru. Tonggak awal reformasi 11 tahun lalu yang diharapkan bisa menarik garis demarkasi kekuatan lama yang korup dan otoriter dengan kekuatan baru yang ingin melakukan perubahan justru “terbelenggu” oleh faktor kekuasaan.Sistem politik otoriter (partisipasi masyarakat sangat minimal) pada masa orba

(18)

sipil, dll.

Orde reformasi : pemerintahan tidak punya kebijakan (menuruti alur parpol di DPR), pemerintahan lemah, dan muncul otonomi daerah yang kebablasan, demokrasi Liberal (neoliberaliseme), tidak jelas apa orientasinya dan mau dibawa kemana bangsa ini. Referensi :

http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090126174820AAFGt08 http://yunaniabiyoso.blogspot.com/2008/04/perbedaan-determinasi-kebijakan.html http://labtani.wordpress.com/2008/11/07/sejarah-perekonomian-indonesia/

http://www.mudrajad.com/upload/Reformasi%20di%20Persimpangan%20Jalan.pdf Pohan, Aulia. 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia.Jakarta:Rajawali pers.

Yustika, Ahmad Erani. 2002. Pembangunan dan Krisis, Memetakan Perekonomian Indonesia. Jakarta : PT. Grasindo.

DENGAN Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno membubarkan Konstituante yang bertugas merancang UUD baru bagi Indonesia, serta memulai periode yang dalam sejarah politik kita disebut sebagai “Demokrasi Terpimpin”. Peristiwa ini sangat penting, bukan saja karena menandai berakhirnya eksperimen bangsa Indonesia dengan sistem demokrasi yang liberal, tetapi juga tindakan

Soekarno tersebut memberikan landasan awal bagi sistem politik yang justru kemudian dibangun dan dikembangkan pada masa Orde Baru. Tapi bukankah Soekarno amat berbeda dari Soeharto, pendiri Orde Baru yang menggantikannya lewat serangkaian manuver politik sejak tahun 1965 yang hingga kini masih banyak diselimuti misteri?Tentu banyak perbedaan antara Soekarno dan Soeharto yang amat gamblang. Presiden pertama RI dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialisme dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.

Presiden kedua RI sama sekali bukan orator, jauh lebih tertutup, serta dikenal sebagai orang yang-meskipun pemerintahannya penuh dengan kasus kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN)-memimpin proses bergabung kembalinya Indonesia dengan sistem kapitalisme internasional, setelah sempat hendak diputus oleh pendahulunya. Ia juga terkesan curiga dengan kekuatan rakyat: kebijaksanaan “massa mengambang” Orde Baru didasari premis bahwa rakyat harus dipisahkan dari politik.

Namun, di balik kesan kuat adanya keterputusan antara “Orde Lama” dan “Orde Baru”, terdapat pula beberapa kontinuitas yang cukup penting. Pertama, dua-duanya sangat anti terhadap hal-hal yang dapat menyebabkan disintegrasi teritorial Indonesia, dua-duanya dapat dikatakan sangat “nasionalis” dalam hal itu. Dengan demikian, baik Soekarno maupun Soeharto amat

mementingkan retorika “persatuan” dan “kesatuan”. Bahkan, sejak 1956, Soekarno sudah menuduh partai politik di Indonesia pada waktu itu sebagai biang keladi terpecah-belahnya bangsa, dan sempat mengajak rakyat untuk “mengubur” partai-partai tersebut dalam sebuah pidato yang amat terkenal.

Dengan mengubur partai politik, Soekarno menganggap bahwa bangsa Indonesia dapat kembali kepada “rel” revolusi yang sejati dengan semangat persatuan. Soeharto bahkan dikenal lebih antipartai politik, dengan merekayasa sebuah sistem yang pada dasarnya didominasi oleh satu “partai negara”, yakni Golkar, dan dua partai “pajangan”. Sebenarnya, didirikannya satu “partai negara” atau “pelopor” adalah ide yang juga lama digandrungi oleh Soekarno, walau

keinginannya tidak pernah menjadi kenyataan di masa kekuasaannya.

(19)

mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, keduanya mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antar-partai.

Pada akhirnya, tidaklah terlalu sulit untuk menemukan banyak kontinuitas antara “Demokrasi Terpimpin”-nya Soekarno dan “Demokrasi Pancasila”-nya Soeharto, dengan perbedaan bahwa Soekarno mementingkan politik mobilisasi massa, sedangkan Soeharto justru sebaliknya.

Perbedaan kedua adalah simpati Soekarno pada gerakan-gerakan anti-imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu konsekuensi, penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah. Soeharto sendiri menjalankan pembangunan bercorak kapitalis, termasuk dengan merangkul kekuatan-kekuatan kapitalisme terdepan di dunia, dan justru telah menutup arena politik untuk kekuatan komunisme. Tapi dua-duanya, dengan caranya masing-masing, mencanangkan sistem politik yang berwatak anti-liberal dan curiga pada pluralisme politik. Dua-duanya mementingkan “persatuan”-yang satu demi “revolusi” dan yang lainnya demi

“pembangunan”.

Boleh dikatakan bahwa Orde Lama serta Demokrasi Terpimpin telah pave the way, membuka jalan, bagi Orde Baru dan “Demokrasi Pancasila” versi Soeharto. Tidak mengherankan bahwa Soekarno telah mengawali Demokrasi Terpimpinnya dengan kembali pada Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan Soeharto, di masa kekuasaannya, selalu bersikeras tentang sifat “sakral” konstitusi, yang tidak boleh diamandemen.

Sikap menomorsatukan UUD 1945 bukanlah hanya mencerminkan masalah ideologis atau filosofis yang abstrak, tetapi masalah kekuasaan yang konkret. Baik Soekarno maupun Soeharto amat mengerti bahwa UUD ‘45 memusatkan kekuasaan pada lembaga kepresidenan, suatu hal yang hari ini justru menjadi masalah dengan adanya tarik-menarik antara Presiden dan DPR. Hal yang menarik adalah justru pada tahun 1945 Soekarno pernah berucap bahwa konstitusi itu hanya bersifat sementara. Sebab, UUD ‘45 diciptakan dalam keadaan darurat, jadi sama sekali bukan sesuatu yang “suci”, sebagaimana diklaim oleh Soeharto, dan beberapa aktor politik lebih kontemporer.

Dalam pengamatan yang lebih seksama, ternyata ada banyak sekali “utang” Orde Baru pada Orde Lama. Untuk menjelaskan hal ini, mungkin ada baiknya kita kembali dulu kepada latar belakang pembubaran Konstituante oleh Soekarno serta kembalinya Indonesia kepada UUD 1945.

Dalam versi sejarah yang dibaca di sekolah, tahun 1950-an di Indonesia ditandai oleh

ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer yang berlaku pada waktu itu. Sistem ini bersifat sangat liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai parlemen. Toh Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI-kini masih dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan sepanjang sejarah Indonesia. Namun, sisi lain dari sistem parlemen yang dikuasai partai ini adalah sering jatuh bangunnya kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah yang kita baca di sekolah akan menekankan pula bahwa integritas nasional terus-menerus diancam oleh berbagai gerakan separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.

(20)

baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara.

Seperti diketahui, salah satu aspek yang penting dari Demokrasi Terpimpin adalah berpusatnya kekuasaan di tangan eksekutif (presiden) dan berkurangnya kekuasaan lembaga legislatif, atau DPR. Hal ini telah difasilitasi dengan kembalinya Indonesia kepada UUD ‘45. Bahkan, bentuk parlemen pun diubah dengan dicanangkannya suatu lembaga yang pada dasarnya memberikan tempat yang lebih besar untuk golongan-golongan “fungsional” dalam masyarakat, yang kemudian dikenal sebagai golongan “karya”. Pada saat yang sama, tempat partai di dalam parlemen juga dibatasi-sebab menurut Soekarno-politisi partai hanya mewakili kepentingan partainya, dan yang diperlukan adalah individu-individu yang dapat mewakili kepentingan “rakyat” atau yang depat menyuarakan “kepentingan nasional” yang sebenarnya.

Di masa Orde Baru, dengan sistem kekuasaan yang jauh lebih terpusat dibandingkan pada masa Soekarno, hal ini kemudian menjadi masalah yang amat besar. Negara-dalam hal ini hampir tidak bisa dibedakan dari Soeharto, keluarga, sekutu serta kroninya- mengambil-alih seluruh hak untuk mendefinisikan “kepentingan nasional” tersebut. Akibatnya, kepentingan nasional menjadi identik dengan kepentingan segelintir penguasa politik dan ekonomi, dan segala unsur dalam masyarakat yang menentangnya dinyatakan sebagai pengkhianat. Bahkan “oposisi” menjadi kata yang kotor. Mungkin terjadinya hal seperti itu akan sukar dibayangkan oleh Soekarno sendiri, meskipun ia senang memandang dirinya sebagai “penyambung lidah rakyat” berada “di atas” konflik-konflik kepentingan yang sempit.

ADALAH penting juga untuk dicatat bahwa salah satu kekuatan pendukung utama upaya Soekarno untuk memberlakukan Demokrasi Terpimpin adalah Angkatan Darat. Mengapa Angkatan Darat mendukung upaya Soekarno? Jawabannya sebenarnya cukup sederhana. Ada persamaan nasib antara Soekarno dan tentara di dalam sistem demokrasi liberal yang

mementingkan peranan partai dan parlemen, yakni keduanya tidak mempunyai akses yang langsung terhadap jalannya roda pemerintahan.

Dengan kata lain, di luar jatuh bangunnya kabinet dalam sistem liberal tahun 1950-an serta pemberontakan-pemberontakan di daerah, baik Soekarno dan Angkatan Darat mempunyai kepentingan nyata untuk membangun suatu sistem politik baru yang memberikan mereka

kekuasaan yang lebih langsung. Bisa dikatakan Soekarno tidak puas sebagai presiden yang hanya bersifat figure-head, sedangkan Angkatan Darat telah berkembang menjadi kekuatan yang juga tidak puas dalam peranan hanya sebagai penjaga pertahanan dan keamanan belaka. Pembahasan terhadap kepentingan-kepentingan konkret seperti ini tidak lazim ditemukan dalam pelajaran sejarah di sekolah pada tahun 1950-an.

Perlu diingat pula bahwa, untuk sebagian, penaklukan terhadap pemberontakan daerah telah menghasilkan suatu pimpinan Angkatan Darat yang jauh lebih bersatu dibandingkan

sebelumnya. Jenderal Abdul Haris Nasution telah tampil sebagai pimpinan yang mampu untuk meredam tantangan yang diajukan oleh komandan-komandan lokal yang memberontak karena tidak senang dengan dominasi Jakarta/Jawa. Di samping itu, kondisi darurat yang dicanangkan untuk menghadapi pemberontakan daerah telah menempatkan banyak perwira militer sebagai administrator roda pemerintahan. Lebih jauh lagi, nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di tahun 1957-yang sebenarnya dipelopori oleh serikat buruh-telah menempatkan banyak perwira militer di pucuk pimpinan perusahaan-perusahaan negara yang terbesar. Di antaranya adalah Ibnu Sutowo yang kemudian mengembangkan Pertamina.

(21)

Soekarno memberikan peluang. Di antara golongan “fungsional” atau “karya” yang boleh duduk dalam parlemen adalah tentara.

Dalam konteks ini, kita perlu mengingat pula bahwa Jenderal Nasution telah mengajukan apa yang disebut sebagai “jalan tengah” untuk militer Indonesia. Dalam konsepsi ini, militer

Indonesia tidak akan bersifat intervensionis-dan terlibat dalam kudeta demi kudeta-sebagaimana di Amerika Latin, namun juga tidak akan tinggal diam sebagai penonton arena politik,

sebagaimana di negeri-negeri Barat. Walaupun sering dikatakan bahwa maksud awal Nasution telah dipelesetkan oleh Soeharto, dalam ide ini kita melihat cikal-bakal dari “dwifungsi” ABRI yang dipraktikkan Orde Baru.

Jadi, bila Soekarno telah memberikan dasar dari konsepsi sistem politik yang akan

dikembangkan dalam versi yang lebih birokratis, otoriter dan ekslusioner pada masa Orde Baru, Nasution telah memberikan landasan awal bagi peranan militer di dalamnya. Nasution pulalah yang pertama mengusulkan bahwa hak pilih tentara dan polisi dicabut dan diganti oleh hak otomatis memperoleh perwakilan di badan legislatif. Oleh karena itu, Orde Baru dapat dipandang sampai tingkat tertentu sebagai hasil yang tidak disengaja (unintended consequence) dari

manuver-manuver politik Soekarno dan Nasution di tahun 1950-an. Bisa dikatakan bahwa Soeharto tidak mungkin “ada” secara politik tanpa manuver kedua pendahulunya itu, masing-masing sebagai pimpinan negara dan tentara.

Tentunya, Soekarno dan Nasution pada waktu itu berada dalam situasi yang ditandai oleh keharusan untuk bernegosiasi dan bekerja sama, tetapi juga tidak jarang oleh konflik. Khususnya, militer amat tidak senang dengan upaya Soekarno untuk mengikutsertakan PKI dalam pemerintahan, sedangkan Soekarno semakin mengandalkan PKI sebagai satu-satunya kekuatan politik di awal tahun 1960-an yang dapat mengimbangi Angkatan Darat.

Dalam pikiran Soekarno, PKI adalah bagian tak terpisahkan dari “front” nasional menentang imperialisme dan untuk memajukan revolusi nasional. Ternyata-walaupun cukup “sukses” dalam pemilu nasional dan lokal sebelumnya-PKI mampu beradaptasi dengan lingkungan politik baru setelah berakhirnya masa demokrasi parlementer, seperti juga PNI dan NU (dua elemen lain dari Nasakom-nya Soekarno).

Konflik militer-PKI sendiri setidaknya sudah berawal pada peristiwa Madiun, dan diperburuk sejak tentara semakin aktif mengembangkan ormas untuk melawan dominasi PKI terutama di bidang organisasi buruh dan tani. Apalagi tentara sejak 1957 berhadapan langung dengan SOBSI-serikat buruh yang dekat dengan PKI-di perusahaan nasional yang dikelola militer. Sebagaimana diketahui, konflik militer dan PKI itu akhirnya berkulminasi dengan peristiwa 1965 yang hingga kini masih misterius, dan naiknya Jenderal Soeharto ke pucuk pimpinan negara. Adalah dalam konteks konflik militer dengan PKI ini jugalah lahir “bayi” yang kemudian menjadi entitas politik bernama Golkar. Setelah Soekarno memperjuangkan konsep perwakilan politik berdasarkan “fungsi” dalam masyarakat, ideolog militer macam Jenderal Soehardiman juga mengembangkan konsep “karyawan” di bidang perburuhan dengan mendirikan SOKSI (terutama berbasis pada perusahaan negara yang dikuasai militer). Akhirnya, Sekretariat Bersama Golkar (Sekber Golkar) didirikan oleh tentara untuk menghimpun kekuatan-kekuatan keormasan dan politik yang berseberangan dengan kekuatan komunis.

(22)

bersih.

ADALAH menarik bahwa pada masa awal Orde Baru, terjadi pula perdebatan di antara para pendukungnya sendiri (ketika itu, termasuk para intelektual dan mahasiswa) tentang peranan partai politik yang wajar di Indonesia. Intelektual macam Mochtar Lubis pun menulis di koran Indonesia Raya tentang perlunya lapangan politik dibersihkan dari partai politik yang identik dengan Orde Lama, yang katanya menghambat pembangunan. Tentu dia tidak sendiri, karena pandangan ini dikumandangkan juga oleh banyak intelektual lain-termasuk yang kemudian menjadi lawan Soeharto yang gigih dan tokoh gerakan demokrasi-serta sejumlah jenderal. Perdebatan di antara para pendiri atau pendukung Orde Baru berkisar sejauh dan secepat

manakah partai politik perlu di-’kubur’. Dalam hal-hal macam ini pulalah kita bisa melihat satu lagi “utang” Orde Baru-nya Soeharto pada “Orde Lama”-nya Soekarno. Seperti diketahui, setelah proses perdebatan dan intrik yang panjang, akhirnya semua partai “sisa” Orde Lama memang difusikan menjadi Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia di tahun 1973, disertai oleh Golkar, partainya golongan karya.

Salah satu tokoh yang paling penting dalam proses perekayasaan sistem politik Orde Baru adalah Jenderal Ali Moertopo. Peranannya menonjol baik sebagai ideolog maupun sebagai operator politik utama Soeharto di awal Orde Baru (dengan Aspri dan Opsus-nya). Jenderal Moertopo menerbitkan beberapa karya yang amat gamblang menggambarkan dasar-dasar pemikiran, blueprint, politik Orde Baru. Moertopo bukan seorang Soekarnois, tapi saya kira ada beberapa aspek dari pemikirannya-yang meskipun mungkin “dipinjam” dari tempat lain- “bertemu” secara tidak langsung dengan ide-ide yang sempat diperjuangkan oleh Soekarno di tahun 1950-an. Salah satu “pertemuan” itu adalah dalam penempatan “negara” sebagai suatu entitas yang diidealisasikan berada di atas konflik dan perbedaan dalam masyarakat. Dalam pidato kenegaraan di tahun 1956, Soekarno menyatakan bahwa negara atau bangsa adalah suatu organisme yang tidak bisa dipilah-pilah, sedangkan strategi politik Moertopo dicurahkan terutama untuk menjamin bahwa tidak ada kekuatan dalam masyarakat yang mampu untuk menentang kemauan negara sebagai pengejewantahan dari kepentingan bersama.

Menurut David Bourchier (seorang pengamat politik Indonesia berasal dari Australia), pemikiran Moertopo banyak dipengaruhi oleh pemikiran Gereja Katolik Eropa awal abad ke-20, yang juga mengajukan konsep adanya pertalian yang erat, hubungan organik, antara negara dan

masyarakat. Pemikiran ini aslinya dikembangkan di Eropa sebagai respons terhadap bahaya “fragmentasi” masyarakat yang disebabkan oleh kemunculan politik perjuangan kelas yang dimotori oleh kaum sosialis. Menurut Bourchier, Moertopo mungkin memperoleh gagasan ini dari intelektual Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang sempat menjadi dapur pemikirannya. Seperti dikemukakan sebelumnya, Soekarno pun mengkhawatirkan proses

fragmentasi di Indonesia, walaupun lebih menurut aliran politik atau sentimen kedaerahan. Di masa Orde Baru, ketakutan akan fragmentasi-atas dasar kelas, agama, atau hal lain-digabungkan dengan praktik-praktik politik represif yang membungkam bukan hanya partai, tetapi semua suara oposisi dengan dalih ancaman terhadap persatuan nasional dan sebagainya. Bahkan, protes daerah-daerah tertentu mengenai berbagai kebijakan pemerintah pusat dijawab dengan

pengiriman tentara demi menjamin lestarinya persatuan nasional.

(23)

diklaim bercorak kepribadian nasional yang khas. Sebaliknya, retorika Soekarno seperti biasa dibumbui oleh jargon-jargon revolusioner yang cenderung romantis dan yang menekankan bersatunya pemimpin dengan rakyat

TULISAN ini telah memusatkan perhatian pada beberapa kontinuitas-mungkin terasa agak ironis-antara Orla dan Orba, meskipun ada banyak perbedaan di tingkat permukaan. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan betapa relevannya pemikiran dan tindakan Soekarno pada masa yang jauh melampaui kurun waktu kehidupannya sendiri-walaupun dalam bentuk unintended consequence-yakni berdiri, berkembang, dan bercokolnya Orde Baru.Pada dasarnya, kontinuitas adalah tema yang masih amat relevan dibicarakan di Indonesia, bahkan dewasa ini karena masih eratnya kaitan antara aktor-aktor politik di masa reformasi ini dengan berbagai kepentingan yang menonjol di masa Orde Baru. Bedanya, kepentingan-kepentingan ini bukan lagi dilindungi oleh negara yang otoriter tetapi justru oleh partai-partai yang tumbuh relatif bebas dalam alam demokratisasi.

Seperti di tahun 1950-an dan 1960-an, perilaku partai politik yang dianggap mementingkan diri sendiri juga telah menyebabkan banyak orang menjadi sinis terhadapnya. Apakah sejarah akan berulang dan partai politik kembali dicap sebagai biang keladi fragmentasi bangsa, sebagaimana pernah dituduhkan Soekarno?

Mudah-mudahan saja solusi politik yang akhirnya ditemukan oleh bangsa Indonesia akan sangat berbeda dari solusi yang pernah muncul sebelumnya. Mudah-mudahan sejarah tidak berulang dengan naiknya tentara sebagai panglima politik, dan bercokolnya rezim yang otoriter untuk waktu yang lama.

PERSAMAAN

Sama-sama masih terdapat ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan Setelah Indonesia Merdeka, ketimpangan ekonomi tidak separah ketika zaman penjajahan namun tetap saja ada terjadi ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan. Dalam 26 tahun masa orde baru (1971-1997) rasio pendapatan penduduk daerah terkaya dan penduduk daerah

termiskin meningkat dari 5,1 (1971) menjadi 6,8 (1983) dan naik lagi menjadi 9,8 (1997). Ketika reformasi ketimpangan distribusi pendapatan semakin tinggi dari 0,29 (2002) menjadi 0,35 (2006).

Sehingga dapat dikatakan bahwa kaum kaya memperoleh manfaat terbesar dari pertumbuhan ekonomi yang dikatakan cukup tinggi, namun pada kenyataanya tidak merata terhadap masyarakat.

o Adanya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) Orde Lama: Walaupun kecil, korupsi sudah ada.

Orde Baru: Hampir semua jajaran pemerintah koruptor (KKN).

Reformasi: Walaupun sudah dibongkar dan dipublikasi di mana-mana dari media massa,media elektronik,dll tetap saja membantah melakukan korupsi.

Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat yang sulit untuk disembuhkan akibat praktik-pratik pemerintahan yang manipulatif dan tidak terkontrol.

PERBEDAAN :

(24)

1. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)

Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :

a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.

b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.

c. Kas negara kosong.

d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain : a.Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.

b.Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.

c.Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan. d.Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947

Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.

e.Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan). - Orde Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila)

Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa itu pemerintah sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas ekonomi. Karena hal itulah maka pemerintah jarang sekali melakukan perubahan-perubahan kebijakan terutama dalam hal anggaran negara.

Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan politik yang dijalankan oleh pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan

pemerataan pembangunan.

(25)

pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang pada akhirnya selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi APBN.

APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsi-asumsi perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental ekonomi nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan tetapi, lebih kearah yang bersifat mikro-ekonomi. Misalnya, masalah-masalah dalam dunia usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia swasta dan BUMN yang baik dan bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah realistis sesuai keadaan yang terjadi.

Format APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan serta pengeluaran terdiri dari

pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal ini diterapkan seseuai dengan masa panen petani, sehingga menimbulkan kesan bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.

APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang sama antara penerimaan dan pengeluaran. Hal perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak mungkin, karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk menutup anggaran yang defisit.

Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada anggaran penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pada dasarnya APBN pada masa itu selalu mengalami defisit anggaran.

Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit negara ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga antara penerimaan dan pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan pajak saat minim sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.

Namun prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah pada masa itu untuk mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang ekonomi. Karena pemerintah dapat

menghindari terjadinya inflasi, yang sumber pokoknya karena terjadi anggaran yang defisit. Sehingga pembangunanpun terus dapat berjalan.

Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip ini merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana pinjaman luar negeri hanya digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut pemerintah, pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri.

Referensi

Dokumen terkait

Pengambilan keputusan dapat dianggap sebagai suatu hasil atau keluaran dari proses mental atau kognitif yang membawa pada pemilihan suatu jalur tindakan di antara beberapa

Ada atau tidaknya pengaruh terhadap keterampilan berbicara siswa kelas III MIN 7 Bandar Lampung dengan menerapkan pembelajaran menggunakan metode Role Playing dan menggunakan

Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh likuiditas yang diukur dengan Current Ratio (CR) terhadap profitabilitas yang

[r]

Dari teknologi ini, hanya tekanan tinggi telah terbukti berkesan dalam menghapuskan semua spora dan enzim disamping mengekalkan tahap mutu yang sama atau lebih

<nfeksi bakteri maupun infeksi jamur yang tidak diobati dengan baik, iritasi kulit yang disebabkan cairan otitis media, trauma berulang, adanya benda asing,

Adapun salah satu hubungan kerjasama Radio Immanuel dengan pelayanan sosial dan pastoral yang bernaung di bawah Gereja Kristen Jawa Margoyudan Surakarta (GKJ) adalah lewat program

Kocapkeun isukan deui, Nyi Randa seug unjukkan, Ka éta Nangkoda Habsi, Gaduh pinarah ka kuring, Ka Engkang anu saéstu, Man anték teuing manah, Kana manuk jisim