• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENGUKURAN PENDIDIKAN KARAKTER melalui

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "METODE PENGUKURAN PENDIDIKAN KARAKTER melalui"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

“THICK DESCRIPTION” SEBAGAI METODE PENGUKURAN DAN

Many schools in Indonesia implementing character building as a part of their curriculum. However, measurement and evaluation often just a normative, by using scores or an alphabet (A, B or C). This paper purpose that the evaluation of character building is understanding pupils’ character through a thick description adopted from Clifford Geertz’s ethnographic studies. The subject observed is different, but the principle of the method is the same. The end result of character building curriculum is a result of thorough observation and teacher’s interpretation with caution.

Banyak sekolah menerapkan pendidikan karakter. Pada umumnya pelaksanaan pendidikan karakter diintegrasikan dalam kurikulum pelajaran. Akan tetapi, pengukuran dan peniliannya seringkali hanya normatif, bahkan menggunakan angka atau huruf. Makalah ini mengajukan sebuah usulan agar hasil dari pengukuran dan penilaian karakter adalah berupa pemahaman karakter siswa. Metode yang digunakan adalah thick description yang digunakan oleh Clifford Geertz dalam etnografi. Prinsip dari metodenya sama meskipun subjek yang diamati oleh guru berbeda. Hasil akhir dari pengukuran dan penilaian pendidikan karakter berupa hasil dari pengamatan dan pemaknaan oleh guru.

Keyword: pendidikan karakter, akhlak mulia, evaluasi, pengukuran, penilaian, pendidikan, thick description.

A. Pendahuluan

Pendidikan karakter dewasa ini mengalami pasang dan surut pembahasan. Pembahasan

mengenai pendidikan karakter yang bersifat abstrak atau teoretis hingga praktis, semua banyak

ditemukan di media massa maupun buku-buku. Sungguh banyak wacana dan referensi

mengenai bagaimana pendidikan karakter yang baik dan dapat diterapkan di sekolah, keluarga,

maupun masyarakat. Kurikulum pendidikan karakter pun banyak kita temukan di berbagai

sekolah. Ada yang memisahkan kurikulum pendidikan karakter dari pelajaran atau bidang

studi, sampai dengan sekolah yang justru mengintegrasikan pendidikan karakter dalam setiap

(2)

Akan tetapi, ketika pendidikan karakter diterapkan dalam realita pengajaran di kelas dan

para guru mulai melaporkan, mengevaluasi dan memberi penilaian, muncullah permasalahan.

Peserta didik acap kali mendapatkan skor nilai atau huruf-huruf. Misalnya, kedisiplinan 90%

atau dengan menggunakan skema nilai huruf, contohnya nilai kedisiplinan adalah A. Selain

penilaian terkadang bersifat normatif saja, apa yang ada di balik angka itu pun dapat

dipersoalkan. Sebagai contoh, peserta didik dengan nilai kedisiplinan A, apa bedanya dengan

peserta didik dengan nilai kedisiplinan B?

Selain menggunakan penilaian yang berbau positivistik di atas, ada pula institusi

pendidikan yang menggunakan deskripsi. Sebagai contoh, Anton adalah anak yang rajin di

kelas. Ia suka membantu temannya. Ia berani bertanya kepada guru saat tidak mengerti materi

yang disampaikan. Komentar deskriptif semacam itu bukan tanpa masalah. Pada saat Anton

melihat komentar yang identik terhadap teman sekelas, maka kualitas penilaian guru pun

dipertanyakan bahwa jangan-jangan sang guru hanya copy dan paste kalimat tanpa

sungguh-sungguh mengetahui seperti apa gerangan Anton di kelas.

Berbagai permasalahan dalam evaluasi dan penilaian ini sesungguhnya serius karena

evaluasi dan pengukuran adalah bagian yang sama pentingnya dengan proses pengajaran itu

sendiri. Oleh karena itu, makalah ini hendak membahas sebagai berikut.

1. Memaparkan dan menganalisis permasalahan penilaian oleh para guru.

2. Mengulas penggunaan metode “thick description” sebagai alternatif dalam

pengukuran dan penilaian pendidikan karakter.

3. Memberikan rekomendasi bagi sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan

karakter, baik yang terintegrasi dengan bidang studi maupun yang dipisahkan dari

(3)

B. Permasalahan dalam Pengukuran dan Penilaian

Hasil akhir dari pendidikan karakter adalah bahwa dalam praktik sehari-hari, seorang

siswa memiliki akhlak mulia. Misalnya lebih santun, rapi, disiplin, jujur dan sebagainya.

Namun, dari sisi evaluasi pembelajaran di dalam institusi pendidikan, sekolah memiliki

tanggung jawab untuk merumuskan dengan sebaik mungkin hasil pembelajaran tersebut dan

melaporkannya kepada orangtua atau wali murid.

Pada saat guru hendak mengukur keberhasilan pendidikan karakter yang diterapkan, guru

mengalami beberapa kendala. Pertama, indikator yang semestinya ada dalam pendidikan

adalah indikator yang dapat diamati. Namun, dalam konteks karakter, ternyata bahwa karakter

seseorang seringkali tidak mungkin diamati dalam waktu singkat atau dalam kondisi yang

monoton. Indikator yang telah ditetapkan, misalnya “mensyukuri kemampuan dalam

mengendalikan diri” bersifat insidental, dan tidak mungkin dapat diamati sesaat. Artinya,

pengajar harus melihat suatu peristiwa saat siswa harus mengendalikan dirinya dari situasi

yang sulit atau mengganggu keberadaan dirinya. Contoh lain misalnya “patuh pada peraturan

dan tata tertib sekolah” hanya bisa diamati dengan cara sebaliknya, yaitu saat seseorang

“ketahuan” melanggar, maka baru diketahui bahwa ia tidak patuh. Namun, bagi yang tidak

“ketahuan” atau pura-pura patuh, maka tidak mungkin akan dapat diamati tingkat

kepatuhannya.

Oleh karena itu, kita menemukan permasalan pertama dalam pengukuran dan penilaian

pendidikan karakter yaitu masalah indikator terlihat dan indikator tidak terlihat. Indikator

terlihat merupakan perilaku yang memang dapat diamati. Hal itu sangat dekat dengan

pengamatan behavioristik. Jika seorang siswa terlihat patuh, belum tentu sikap hatinya patuh.

(4)

tidak diketahui oleh orang lain. Dapat dikatakan bahwa kepatuhan siswa berasal dari rangsang

eksternal (extrinsic motivation) bukan rangsang internal (intrinsic motivation). Hal semacam

itu memang menjadi pembicaraan karena memang pendekatan behavioristik tidak dapat

menangkap apa yang terjadi di dalam diri siswa dan tindakan yang dilakukan biasanya karena

hadiah yang disediakan oleh pengajar, bukan dari dalam diri (Martin dan Lomis, 2014). Oleh

karena itu, untuk mengetahui apakah seseorang memiliki rangsang internal seperti yang

dikatakan oleh Deci (1975) yaitu bahwa seseorang melakukan suatu tindakan tanpa adanya

hadiah atau reward, melainkan karena dia merasa senang atau rela hati saat melakukannya,

merupakan hasil dari sebuah pengamatan yang sungguh-sungguh.

Memang kita tahu bahwa pengukuran tidak dapat dilakukan untuk seluruh aspek hidup

dan pribadi manusia, melainkan hanya sebagian saja dan bahwa apa yang diukur itu saja yang

diperhitungkan. Prinsip lain pula adalah apa yang diukur dengan alat ukurnya harus sesuai,

analoginya adalah menghitung panjang menggunakan penggaris dan berat menggunakan

timbangan. Akan tetapi masalahnya dalam pendidikan karakter tidak ada penggaris atau

timbangan untuk mengukur pribadi seorang siswa. Pada kenyataannya, jika pendidikan

karakter diselenggarakan, pengukurannya hanya normatif dan tidak diupayakan untuk seakurat

mungkin. Jika memang demikian halnya, maka pendidikan karakter tidak akan mendapatkan

legitimasi yang cukup untuk dilanjutkan keberadaaannya di institusi formal seperti sekolah.

Oleh karena itu, indikator yang terlihat dan tidak terlihat sebaiknya dirumuskan oleh pembuat

kurikulum. Jika indikator terlihat memang tidak menjadi masalah, indikator yang tidak terlihat

seperti contohnya “sikap dan kerelaan seseorang” mungkin tidak akan dijadikan sebagai

indikator. Hal itu karena seorang guru tidak mungkin menilai yang tidak terlihat. Padahal,

(5)

Indikator tidak terlihat adalah sebuah indikator sikap dalam diri seseorang yang tidak

dapat dibuktikan dalam perilaku dan kejadian sesaat. Indikator yang dimaksudkan berupa pola

(pattern) yang tidak didasarkan pada bukti-bukti visual, melainkan lebih pada naratif atau

cerita berhubungan sebab-akibat. Sebagai contoh, “Pada Selasa dua minggu lalu Agus tidak

mengerjakan PR. Kemarin, ia melakukan hal itu lagi. Setelah ditanya alasanya apa, ia

menjawab bahwa ia lupa. Setelah ditanyakan kepada orangtuanya, ternyata memang Agus

tidak pernah mau belajar saat berada di rumah. Di rumah, ia lebih banyak bermain komputer

dan gadget. Ia tidak peduli saat dihukum oleh orangtua maupun guru karena tidak mengerjakan

PR. Hari ini diketahui bahwa Agus membawa handphone di kelas dan bermain game saat

pelajaran menggunakan handphone tersebut. Agus sama sekali tidak peduli pada pelajaran.”

Berdasarkan contoh kasus di atas, sebagian guru Agus akan berkesimpulan bahwa Agus

adalah “seorang siswa yang malas karena tidak mengerjakan PR” namun sebagian lagi akan

berpendapat “Agus kecanduan game” dan sebagian lagi berpendapat bahwa Agus “tidak peduli

pada pelajaran atau nilai”. Namun, pada pelaporannya mungkin guru akan menulis, “Agus

perlu lebih menaruh perhatian pada tugas-tugas dan pekerjaan rumah dengan lebih serius.”

Pelaporan semacam itu akan lebih “berguna” bagi orangtua atau institusi pendidikan untuk

mengambil kesimpulan mengenai profil Agus jika dibandingkan dengan, misalnya, Nilai

Kepedulian = B. Pada umumnya institusi pendidikan akan menjadikannya tetap normatif

seperti tertulis tersebut atau mungkin justru memilih untuk melaporkan dengan menulis huruf

(6)

C. Metode Thick Description dalam Pendidikan Karakter

Thick Description digunakan oleh Clifford Geertz (1973) dalam penelitian antropologi

untuk memahami apa yang terjadi pada sebuah aktivitas sosial atau budaya dalam suatu

masyarakat. Pada prinsipnya, apa yang dilakukan Geertz adalah pekerjaan etnografis seperti

membuat laporan-laporan, sekaligus juga menyeleksi informan (individu yang merupakan

subjek penelitian) dan mencatat berbagai informasi yang didapatkan dari pengamatan

langsung, menerjemahkan teks, menyimpan jurnal catatan harian, dan sebagainya (Geertz,

1973). Thick description yang dimaksudkan oleh Geertz terinspirasi oleh Gilbert Ryle yang

pada intinya dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukannya itu adalah sebuah upaya intelektual

untuk mengelaborasi atau menguraikan apa yang diamati. Dengan demikian di dalamnya atau

suatu prosedur atau struktur yang sistematis untuk dilakukan.

Di dalam thick description Geertz tidak hanya mendeskripsikan perilaku-perilaku

terlihat, tetapi juga makna simbolik yang terjadi dalam sebuah peristiwa atau dalam

sekelompok orang. Sebagai contoh, pada saat orang Bali melakukan sabung ayam, Geertz

(1973) melihat bahwa yang terjadi bukan semata-mata ada orang yang mengadu ayam,

melainkan ada makna simbolik yaitu terjadinya sebuah interaksi sosial untuk mendapatkan

status sosial yang lebih tinggi di tengah masyarakat. Artinya, apa yang diamati dan tampak di

luar ternyata hanyalah sebuah fenomena atau penangkapan yang tertangkap oleh panca indera,

padahal seorang peneliti harus menangkap noumena atau yang menyebabkan apa yang terlihat

itu terjadi.

Dalam pendidikan karakter, oleh karena itu, guru menjadi semacam “peneliti” dalam

konteksnya sendiri. Subjek penelitian para guru agak berbeda dengan subjek penelitian Geertz.

(7)

evaluasi dan penilaian pendidikan karakter ini. Dari sudut pandang inilah thick description

perlu dipertimbangkan dengan serius oleh para guru dan pimpinan sekolah sebagai salah satu

cara untuk mengukur, mengevaluasi, dan melaporkan karakter siswa. Jika Geertz meneliti

dengan subjek penelitiannya adalah manusia dan kebudayaan, maka guru meneliti siswa dan

sekelompok siswa sebagai subjek penelitiannya.

Untuk menjadikannya lebih operasional dalam konteks pengukuran dan penilaian

pendidikan karakter, maka prinsip-prinsip dalam thick description dapat diadopsi sebagai

berikut.

1. Tujuan dari akhir penilaian pendidikan karakter bukan untuk memberikan label, cap,

atau kesimpulan, melainkan adalah pemahaman. Artinya, setiap orang yang

membaca pengukuran dan penilaian guru memahami pribadi siswa dengan lebih baik.

2. Subjek yang dievaluasi atau diukur oleh guru adalah siswa sebagai individu yang

tidak boleh dilepaskan dari aktivitas sosial kesehariannya.

3. Sarana yang digunakan oleh guru untuk mengukur dan menilai seharusnya meliputi

beberapa alat ukur seperti catatan pengamatan kelompok dan individu, survey atau

tanya jawab (dialog), kemudian dilengkapi dengan instrumen terlihat seperti perilaku

atau bukti-bukti tindakan yang dapat diamati.

4. Hasil akhir berupa deskripsi yang diberikan oleh guru bukan semata-mata

pengamatan perilaku, melainkan juga pola-pola perilaku individu, dan konteks

sosialnya dan maknanya bagi sang guru.

Dengan mempertimbangkan empat hal tersebut yaitu tujuan, subjek, sarana, dan hasil akhir, maka

pengukuran dan penilaian pendidikan karakter bukan berupa uraian singkat yang sumir atau huruf

(8)

berdasarkan pengamatan atas individu siswa dalam konteks sosialnya, ditambahkan dengan makna

bagi sang penilai. Dengan demikian pengukuran dan penilaian menggunakan thick description

adalah sebuah metode yang digunakan untuk memahami karakter siswa sebagai individu di tengah

konteks sosialnya. Metode ini mensyaratkan deskripsi yang berasal dari pengamatan,

pengumpulan data, penyampaian bukti, sampai dengan pola-pola perilaku dan maknanya bagi guru

yang mengamati. Oleh karena itu, para guru perlu mendapatkan pemantapan indikator dan

pelaporan apa yang perlu ditampilkan sebagai laporan atau penilaian itu.

Lantas bagaimanakah guru merumuskan indikator internal atau yang tidak terlihat itu?

Teori belajar kognitif sosial yang diuraikan oleh Albert Bandura (1977, 1986) dapat dijadikan

sebagai salah satu acuan untuk merumuskan indikator-indikator terlihat dan tak terlihat ini.

Bandura (1986) berpendapat bahwa dalam siswa belajar dan mengimitasi perilaku, misalnya,

mereka melalui tahap (1) memerhatikan, (2) menyimpan, (3) menirukan, dan (4) memotivasi diri.

Pada waktu siswa menirukan atau melakukan apa yang diminta, tentu para guru dapat dengan jelas

menemukan bukti dari apa yang dilihatnya. Akan tetapi, guru tidak dapat sepenuhnya memahami

motivasi dalam diri siswa pada waktu siswa melakukan sesuatu. Apakah memang siswa

melakukan sebuah tindakan itu dari hati mereka ataukah semata-mata kepalsuan karena takut atau

demi nilai, hal itu diserahkan kepada guru yang mengamati. Guru mengambil kesimpulan

berdasarkan pengamatan dan bukti-bukti, sehingga guru menemukan sebuah pola. Inilah yang

dimaksudkan bahwa guru menjadi “peneliti” yang mendeskripsikan bukan hanya perilaku siswa,

melainkan juga pola perilaku atau “simbol-simbol” yang sesungguhnya menjadi motivasi siswa.

Dengan thick description pelaporan akan pengukuran dan penilaian karakter siswa akan

lebih sesuai dengan terdiri dari (1) deskripsi karakter siswa di tengah konteks sosialnya, (2) pola

(9)

mengamati beberapa indikator karakter dan mendeskripsikan karakter unik siswanya dengan

menarasikan peristiwa yang menjadi konteksnya. Kemudian guru juga menarasikan apa yang

diamatinya dan memberikan makna atau kesan yang ditangkap olehnya.

Namun demikian, pengukuran dan penilaian dengan thick description semacam ini hanya

mungkin dilakukan apabila guru memiliki waktu yang cukup untuk mengamati, mengumpulkan

bukti, dan mencatat peristiwa, guru memiliki waktu yang cukup untuk merangkai dan

menginterpretasikan pemahamannya mengenai karakter siswa, dan jumlah siswa yang diamati

cukup atau tidak melebihi kemampuan guru. Ketiga persyaratan di atas tentu saja bukan masalah

untuk para guru, melainkan masalah bagi yayasan atau manajemen sekolah. Hal itu karena pada

umumnya waktu yang cukup dan siswa yang tidak terlalu banyak adalah hal yang mewah bagi

sekolah-sekolah dengan jumlah siswa yang sangat banyak dan rasio guru dibanding siswa terlalu

banyak.

D. Rekomendasi untuk Sekolah

Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah membutuhkan keseriusan dalam hal

kurikulum, pelaksanaan, dan evaluasinya. Untuk memenuhi pendidikan karakter yang baik,

sekolah perlu memberikan waktu yang cukup bagi para guru untuk mengamati dan mencatat

hal-hal penting dari pengamatannya. Hal itu berarti bahwa pendidikan karakter massal dengan rasio

guru sangat sedikit dibandingkan dengan murid yang terlalu banyak mungkin memang dapat

berhasil mendidik karakter, namun pertanggungjawabannya tidak dapat diukur dengan baik.

Demikian pula dengan guru yang tidak memiliki waktu untuk mengamati, mereka pada akhirnya

(10)

dipertanggungjawabkan atau sekedar kelihatan bagus, tetapi tidak menyentuh esensi dari

pendidikan karakter itu sendiri.

Oleh karena itu untuk mewujudkan pendidikan karakter yang berkualitas manajeman

perlu mempertimbangkan jumlah beban mengajar guru yang cukup atau tidak terlampau banyak

dan rasio guru-murid yang dianggap ideal oleh para guru. Dengan demikian pelaporan mengenai

pengukuran dan penilaian karakter siswa dapat dilakukan dengan menggunakan thick description

yang lebih mencerminkan kualitas pelaporan sekolah.

Kita semua berharap agar pendidikan karakter dilaksanakan dengan sungguh-sungguh

oleh institusi sekolah. Dengan pelaporan hasil pengukuran dan penilaian yang komprehensif,

terukur, dan bermutu, pengembangan pendidikan karakter dalam institusi sekolah akan semakin

dapat diandalkan. Sebaliknya, dengan pelaporan yang sifatnya sekedarnya atau bahkan sekedar

ada saja akan membuat pendidikan karakter semata-mata sebagai aksesoris atau komoditi yang

pada gilirannya merugikan siswa dan institusi sekolah.

(Sigit Setyawan email: sigit@notredame.sch.id)

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Bandura, Albert. 1977. Social Learning Theory. NJ: Prentice Hall.

Bandura, Albert. 1983. Social Foundation of Thought and Action: A Social Cognitive Theory.

NJ: Prentice Hall.

Deci, E.L.1975. Intrinsic Motivation. NY: Plenum Press.

Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.

Hagernhahn, B.R. dan Olson M.H. 2008. Theories of Learning (diterjemahkan oleh Tri

Wibowo B.S. Jakarta: Prenada Media.

Koesoema-A, D. 2007. Pendidikan Karakter. Jakarta: Grasindo.

Martin, David Jerner dan Kimberly S. Loomis. 2014. Building Teachers: A Constructivist

Approach to Introducing Education (Edisi ke-2). Belmont: Wadsworth.

Piaget, Jean. 1950. The Psichology of Intelligence (diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh

Malcolm Piercy dan D.E. Beriyne. NY: Routledge.

Reiser, Robert A (ed.). Trends and Issues in Instructional Design and Technology. NJ:

Merrill Prentice Hall.

Ryle, Gilbert. 2009. The Concept of Mind (Edisi peringatan ke-60 tahun). New York:

Routledge.

Suparno, Paul. 2003. Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi. Yogyakarta: Kanisius.

Suparno, Paul. 2015. Pendidikan Karakter di Sekolah: Sebuah Pengantar. Yogyakarta:

Kanisius.

Thorndike, Robert M. 1997. Measurement and Evaluation in Psychology and Education (6th

Referensi

Dokumen terkait

Membandingkan jumlah ekspresi TNF-α, IL-1, dan IL-10 pada lesi dan non-lesi kulit dengan pemeriksaan imunohistokimia, dan hubungan jumlah ekspresi TNF-α, IL-1, dan

Pun begitu, bagaimanakah anak anak muda ini dapat mengetahui sesuatu maklumat yang diterima dari aplikasi komunikasi digital itu baik?. Apakah yang perlu di lakukan sebelum

Menyewa Rumah (Studi Kasus di Kampung Joyodiningratan Kratonan Solo), Surakarta: Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2015.. Skripsi karya Rati Widiastuti yang berjudul

Jumlah individu betina dalam suatu populasi dapat memengaruhi nilai keperidian, sedangkan jumlah telur yang dihasilkan oleh imago betina dapat memperlihatkan tingkat

Jenis dan metode pengumpulan data digunakan penulis untuk mendapatkan data sebagai bahan kajian dalam penelitian ini dengan tujuan membuat suatu perancangan sistem informasi

Imam Al Kholaal berkata : ‘Imam Ahmad merujuk kepada hadits Malik ibnul Huwairits tentang duduk istirahat, beliau berkata’ : ‘akhbaronii Yusuf bin Musa bahwa

Semua nilai penggantian dari pengangkutan orang dan atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan

Mojokerto Industria Park yang dinyatakan sebagai tanah terlantar, Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia telah menggunakan dasar hukum yang kuat