• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Pemilihan Kepala Daerah Seca

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Efektivitas Pemilihan Kepala Daerah Seca"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Efektivitas Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara kepulauan di mana terdapat kurang lebih 13.000 pulau yang tersebar di seantero nusantara. Suku dan budaya di Indonesia pun sangatlah beragam pula. Keanekaragaman suku dan budaya Indonesia ini terpecah ke dalam 34 provinsi dan sekitar 497 kabupaten atau kota. Terbaginya Indonesia ke dalam 34 provinsi dan sekitar 497 kabupaten/kota ini menimbulkan konsekuensi yang logis akan pembagian wewenang dalam pemerintahaan. Pembagian wewenang dalam pemerintahan terbagi menjadi 2, yaitu pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pembagian ini didasarkan pada asas otonomi daerah yang diarahkan untuk dapat mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dalam pembangunan daerahnya masing-masing. Prinsip ini memberikan kewenangan daerah seluas-luasnya untuk dapat mengeksplorasi potensi-potensi yang dimiliki daerahnya masing-masing. Daerah juga diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintahan yang ditetapkan dalam undang-undang.

Selain pemberian wewenang dalam mengatur dan mengelola daerahnya sendiri, daerah juga diberi wewenang untuk menentukan dan memilih pemimpinnya sendiri. Ini dimaksudkan agar daerah dipimpin oleh putra-putri daerah yang mengetahui dan paham akan potensi-potensi yang dimiliki oleh daerahnya. Sehingga, ketika pemerintah daerah mengeluarkan suatu kebijakan, harapannya adalah kebikajakan tersebut tepat guna bagi masyarakat daerah tersebut.

(2)

atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007. Hal ini pun dibarengi dan disahkan dengan pengesahan UU nomor 22 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati , dan Walikota (UU Pilkada).

UU nomor 22 tahun 2014 ini pun mendapat beberapa penolakan dari masyarakat dengan berbagai alasan karena dinilai kurang sepaham dengan sistem yang ada, misalnya Keputusan ini telah menyebabkan beberapa pihak kecewa. Keputusan ini dinilai sebagai langkah mundur di bidang pembangunan demokrasi, sehingga masih dicarikan cara untuk menggagalkan keputusan itu melalui uji materi ke MK. Bagi sebagian pihak yang lain, Pemilukada tidak langsung atau langsung dinilai sama saja. Tetapi satu hal prinsip yang harus digarisbawahi adalah: Pertama, Pemilukada tidak langsung menyebabkan hak pilih rakyat hilang. Kedua, Pemilukada tidak langsung menyebabkan anggota DPRD mendapat dua hak sekaligus, yakni hak pilih dan hak legislasi. Padahal jika Pemilukada secara langsung, tidak menyebabkan hak pilih anggota DPRD (sebagai warga negara) hak pilihnya tetap ada. Maka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya mengesahkan Perpu nomor 1 tahun 2014 untuk menganulir UU Pilkada tersebut.

Pembahasan

(3)

Dalam pelaksanaannya Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Khusus di Aceh, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Khusus di Aceh, peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai politik lokal.

Pemilihan kepala daerah ini pun memberikan tantangan kepada Pemerintah untuk dikelola secara lebih profesional, demokratis, dan memberi dampak terhadap perubahan politik. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional(RPJMN), dalam kurun waktu Juni 2005 hingga pertengahan Tahun 2013 tercatat 886 Pilkada langsung yang dilaksanakan di provinsi, kabupaten dan kota. Dalam kurun waktu 5 tahun ke depan, sejumlah juga daerah akan melaksanakan Pilkada.

Banyaknya daerah yang melaksanakan Pilkada menimbulkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelaksanaannya. Isu dan permasalahan dalam pelaksanaan Pilkada mencakup mahalnya biaya penyelenggaraan Pilkada, serta maraknya konflik selama pelaksanaan Pilkada yang berdampak pada kerugian material maupun non-material, seperti perusakan terhadap tidak kurang dari 279 unit rumah tinggal, fasilitas umum di 156 lokasi, dan kantor pemerintahan di 56 lokasi.

(4)

Konstitusi telah menerima sejumlah 638 gugatan terkait sengketa hasil Pilkada. Dari jumlah tersebut, hanya 601 kasus yang telah diputus dan berkekuatan hukum tetap. Proses pegadilan politik ini membawa sejumlah dampak sistemik seperti meningkatnya ketidakpastian politik, terganggunya roda pemerintahan, serta semakin mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan calon kepala daerah dan partai politik dalam proses pertarungan politik.

Hal tersebut jelas jauh dari semangat Nawacita untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis, termasuk pada tingkat daerah. Untuk menghindari hal tersebut terjadi pada Pilkada berikutnya, Presiden Jokowi menandatangani Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Penandatanganan UU nomor 8 tahun 2015 itu dilakukan pada 18 Maret 2015, bersamaan dengan penandatanganan UU No. 9 tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam UU Nomor 8 tahun 2015, pelaksaanan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dilaksanakan setiap lima tahun sekali secara serentak. Hanya saja, pelaksanaan serentak nasional itu baru benar-benar bisa dilaksanakan pada 2027.

Pemungutan suara serentak kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2015 dan yang masa jabatannya berakhir pada bulan Januari sampai Juni 2016, dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember 2015. Adapun pemungutan suara serentak kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada Juli sampai Desember 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada 2017, dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada Februari 2017.

(5)

Untuk proses pemilihan kepala daerah calon tunggal, surat suara akan dibuat berbeda. Surat suara khusus ini hanya akan berisi satu pasangan calon kepala daerah, dengan pilihan "Setuju" atau "Tidak Setuju" dibagian bawahnya. Apabila pilihan "Setuju" memperoleh suara terbanyak, maka calon tunggal ditetapkan sebagai kepala daerah yang sah. Namun jika pilihan "Tidak Setuju" memperoleh suara terbayak, maka pemilihan ditunda hingga pilkada selanjutnya.

Pemilukada gubernur pastilah berpotensi menimbulkan konflik. Tidak dipungkiri jika konflik pasti akan mengiringi demokrasi dalam pemilihan kepala daerah. Adanya konflik tentu bukan untuk diperbesar atau sebaliknya dihilangkan sama sekali, tapi justru yang paling penting konflik perlu dikelola dengan baik.

Konflik yang biasa muncul mengiringi pemilihan kepala daerah dibagi menjadi 2 kategori, konflik horizontal dan konflik vertikal. Konflik horizontal adalah konflik diantara pasangan kandidat, sedangkan konflik vertikal berarti konflik antara kandidat dengan KPU sebagai lembaga penyelenggara pilkada.

Konflik horizontal yang melibatkan antar pasangan cagub atau cawagub ini terkait dengan persaingan secara tidak sehat antar pasangan cagub atau cawagub dalam usahanya untuk merebut perhatian dan mencari pendukung guna menduduki jabtan no 1 di tingkat provinsi. Peta persaingan yang ketat antar pasangan cagub/cawagub memunculkan adanya indikasi-indikasi praktik kecurangan dalam persaingan (Black Campaign). Konflik vertikal contohnya ketidak puasan salah satu pasangan cagub/cawagub terhadap KPU terkait daftar pemilih tetap (DPT) dan konflik sengketa hasil penghitugan suara.

(6)

Pemenangan perjuangan politik seperti Pemilu legislatif atau Pilkada eksekutif sangat penting untuk mendominasi fungsi-fungsi legislasi, pengawasan budget dan kebijakan dalam proses pemerintahan (the process of government).

Dalam kerangka ini cara-cara “lobbying, pressure, threat, batgaining and compromise” seringkali terkandung di dalamnya. Namun dalam Undang-undang tentang Partai Poltik UU No. tahun 2008, yang telah dirubah dengan UU No.2 tahun 2011, selalu dimunculkan persoalan budaya dan etika politik. Masalah lainnya sistem perekrutan calon kepala daerah (Bupati, Wali kota, Gubernur) bersifat transaksional, dan hanya orang-orang yang mempunyai modal finansial besar, serta popularitas tinggi, yang dilirik oleh partai politik, serta beban biaya yang sangat besar untuk memenangkan Pilkada atau Pemilukada, akibatnya tidak dapat dielakan maraknya korupsi di daerah, untuk mengembalikan modal politik sang calon, serta banyak Perda-Perda yang bermasalah, dan memberatkan masyarakat dan iklim investasi.

Beberap hal tersebut tentulah sangat menggangu keefektivitasan dan efisiensi yang ada dalam Pilkada. Berikut ini beberapa permasalahan dan rincian dari permasalahan yang terjadi dalam Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung yang dapat menggangu efektivitas dari Pilkada Langsung itu sendiri, adapun permasalahan tersebut antara lain sebagai berikut :

1. Daftar Pemilih Tidak Akurat.

Permasalahan daftar pemilih yang tidak akurat dalam Pilkada, sering dijadikan oleh para pasangan calon yang kalah untuk melakukan gugatan.

Berdasar Pasal 47 UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa PPS mempunyai tugas dan wewenang antara lain mengangkat petugas pemutakhiran data pemilih dan membantu KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK melakukan pemutakhiran data pemilih, daftar pemilih sementara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap.

(7)

tidak akurat akan dapat diminimalisir, karena RT/RW adalah lembaga yang paling mengetahui penduduknya.

Hal yang mengikuti atau menjadi faktor yaitu, sebagai berikut :

a. Sebagian besar DP4 dari Kab/Kota tidak dapat diandalkan. b. Calon pemilih banyak yang memiliki domisili lebih dari satu

tempat.

c. Calon pemilih dan Parpol bersikap pasif dalam menyikapi DPS.

d. Pelibatan RT/RW dalam pemutakhiran data pemilih tidak maksimal.

e. Para pihak baru peduli atas kekurang-akuratan data pemilih ketika sudah ditetapkan sebagai daftar pemilih tetap atau ketika sudah mendekati hari pemungutan suara.

f. Kontrol Panwaslu untuk akurasi data pemilih tidak maksimal.

2. Proses Pencalonan yang Bermasalah.

Permasalahan dalam pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu konflik internal partai politik/gabungan partai politik dan keberpihakan para anggota KPUD dalam menentukan pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada.

Secara yuridis pengaturan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dari beberapa pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat besar kepada KPUD dalam menerima pendaftaran, meneliti keabsahan persyaratan pencalonan dan menetapkan pasangan calon, yang walaupun ada ruang bagi partai politik atau pasangan calon untuk memperbaiki kekurangan dalam persyaratan adminitrasi, namun dalam praktek beberapa kali terjadi pada saat penetapan pasangan calon yang dirugikan.

(8)

a. Munculnya dualisme pencalonan dalam tubuh partai politik. b. Perseteruan antar kubu calon yang berasal dari partai yang

sama.

c. KPU tidak netral dalam menetapkan pasangan calon.

d. Tidak ada ruang untuk mengajukan keberatan dari pasangan calon atau Parpol terhadap penetapan pasangan calon yang ditetapkan oleh KPU.

e. Terhambatnya proses penetapan pasangan calon.

f. Dalam hal terjadi konflik internal Parpol, KPU berpihak kepada salah satu pasangan calon atau pengurus parpol tertentu sehingga parpol yang sebenarnya memenuhi syarat namun gagal mengajukan pasangan calon. Akibat lebih lanjut, partai politik maupun konstituen kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kepala daerah yang merupakan preferensi mereka.

3. Pemasalahan pada Masa Kampanye.

Pengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal 75 sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi pengaturan mengenai teknis kampanye, waktu pelaksanaan, pelaksana kampanye, jadwal kampanye, bentuk dan media kampanye, dan larangan-larangan selama pelaksanaan kampanye. Kandidat dan tim kampanyenya cenderung mencari celah pelanggaran yang menguntungkan dirinya.

Kampanye yang diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengenalan pemilih terhadap calon kepala daerah agar pemilih mendapatkan informasi yang lengkap tentang semua calon, menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke depan perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi program.

Berikut beberapa indikator pelanggaran dalam kampaye, antara lain sebagai berikut :

a. Pelanggaran ketentuan masa cuti.

(9)

c. Care taker yang memanfaatkan posisi untuk memenangkan Pilkada.

d. Money politics.

e. Pemanfaatan fasilitas negara dan pemobilisasian birokrasi. f. Kampanye negatif.

g. Pelanggaran etika dalam kampanye.

h. Curi start kampanye, kampanye terselubung, dan kampanye di luar waktu yang telah ditetapkan.

4. Manipulasi dalam Penghitungan Suara dan Rekapitulasi Hasil Penghitungan.

Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara dapat terjadi di setiap tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU Kabupaten, dan KPU Provinsi.

Permasalahan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara akan manipulasi, disebabkan oleh banyaknya TPS yang tersebar dalam wilayah yang luas. Dengan banyaknya TPS yang tersebar luas membuat para pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan saksi yang banyak dan biaya besar. Di lain pihak para penyelenggara Pilkada di beberapa daerah tidak netral, berhubung sistem seleksi anggota KPUD tidak belum memadai.

Hal yang mendasari antara lain :

a. Belum terwujudnya transparansi mengenai hasil penghitungan suara dan rekapitulasi penghitungan suara.

b. Manipulasi penghitungan dan rekapitulasi penghitungan suara dilakukan oleh PPK, KPU Kab/kota, dan KPU Provinsi. c. Belum lengkapnya instrument untuk mengontrol akuntabilitas

PPK, KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi.

d. Keterbatasan saksi-saksi yang dimiliki oleh para pasangan calon.

(10)

a. Keberpihakan anggota KPUD dan jajarannya kepada salah satu pasangan calon.

b. Kewenangan KPUD yang besar dalam menentukan pasangan calon.

c. Tidak adanya ruang bagi para bakal calon untuk menguji kebenaran hasil penelitian administrasi persyaratan calon. d. Pengambilalihan penyelenggaraan sebagian tahapan Pilkada

oleh KPU di atasnya.

e. Keberpihakan anggota Panwaslu kepada salah satu pasangan calon.

f. Anggota Panwasal menjadi pembela/promotor bagi pasangan calon yang kalah.

Hal terjadi karena kurangnya pemahaman para anggota KPU, KPUD, dan Panwaslu dalam melaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta sistem seleksi para anggota KPU, KPUD, Panwaslu belum mengetengahkan adanya kebutuhan anggota KPU, KPUD, Panwaslu yang obyektif, netral, mempunyai integritas tinggi, tidak mudah mengeluarkan statement, dan memiliki pemahaman yang baik terhadap ketentuan peraturan perundang-undang Pemilu.

6. Putusan MA dan MK yang Menimbulkan Kontroversi.

Sengketa Pilkada diatur dalam pasal pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang pada intinya menyatakan bahwa sengketa hasil penghitungan suara dapat diajukan oleh pasangan calon kepada pengadilan tinggi untuk pilkda bupati/walikota dan kepada MA untuk pilkda Gubernur. Putusan yang dikeluarkan pengadilan tinggi/Mahkamah Agung bersifat final. Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan penyelesaian sengketa pilkada beralih dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.

(11)

menimbulkan kontroversi di masyarakat, akibatnya penyelesaian Pilkada berlarut-larut.

7. Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 Dan UU No. 12 Tahun 2008.

8. Penyesuaian Tata Cara Pemungutan Suara dan Penggunaan KTP sebagai Kartu Pemilih.

9. Posisi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Incumbent dalam Pilkada ang tadinya kurang diatur dalam UU Pilkada.

Namun demikian, Pilkada langsung memiliki kelebihan-kelebihan, di antaranya :

1. Kepala daerah terpilih akan memilki mandat dan legitimasi yang sangat kuat;

2. Kepala daerah terpilih tidak perlu terikat pada konsesi partai-partai atau faksi-faksi politik yang mencalonkannya;

3. Sistem Pilkada langsung lebih accountabel karena adanya akuntabilitas publik;

4. Checks and balances antar lembaga legislatif dan eksekutif dapat lebih berjalan seimbang;

5. Kriteria calon Kepala Daerah dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang yang akan memebrikan suaranya;

6. Pillkada langsung sebagai wadah pendidikan politik rakyat;

7. Kancah pelatihan (training ground) dan pengembangan demokrasi; 8. Pilkada langsung sebagai persiapan untuk karier politik lanjutan; 9. Membangun stabilitas politik dan mencegah separatisme; 10. Kesetaraan politik; dan

11. Mencegah konsentrasi kekuasaan di pusat. 12. Efisiensi anggaran.

13. Efektivitas lembaga pemilihan umum.

14. Sarana menggerakkan kader partai politik secara luas dan gencar.

Dapat dilihat dari kelebihan yang dimiliki oleh Pilkada secara langsung, maka hal itu dapat dijadikan sebagai salah satu faktor yang dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pemilihan kepala daerah secara langsung.

(12)

kepala daerah secara langsung. Adapun pengetahuan yang mendasar mengenai hal itu adalah tentang tinjauan dasar dalam pilkada langsung, yaitu sebagai berikut :

1. Tinjauan Yuridis

Memiliki dasar :

a. Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa, "Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang",

b. Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis",

c. Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyatakanbahwa, "Setiap warga negera berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan".

Bahwa tidak ada perintah pemilihan gubernur dipilih secara langsung, sehingga pemilihan gubernur dilakukan melalui system perwakilan tidak bertentangan dengan konstitusi.

2. Tinjauan Filosofis

a. Dari sisi ruang partisipasi rakyat untuk memilih, pemilihan kepala daerah melalui sistem perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah dibanding dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama.

b. Dari sisi ruang partisipasi rakyat untuk dipilih, baik sistem pemilihan secara langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan bagi kedua sstem tersebut sama.

(13)

d. Dari sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat dan daerah, pemilihan kepala daerah melalui perwakilan dimana selain DPRD, Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang kepala daerah akan memiliki nilai yang lebih baik, karena di satu sisi kepala daerah harus menjamin terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain kepala daerah juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan oleh DPRD.

e. Dari sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana kepala daerah harus dapat mejamin dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah provinsi/kabupaten/kota, maka posisi kepala daerah yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.

f. Dari sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.

3. Tinjauan Politis

a. Perkuatan sistem NKRI.

(14)

peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.

b. Penataan posisi gubernur/ kepala daerah dan sumber legitimasi.

Pemilihan gubernur/kepala daerah secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang besar yang membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka sumber legitimasi gubernur akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.

4. Tinjauan Sosiologis

a. Menumbuhkan Budaya Persaingan yang Sehat.

Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat.

b. Menumbuhkan Kesadaran akan Kebutuhan Pemimpin yang Mampu Membawa Kemajuan Daerah.

(15)

memberi pertanggungjawaban atas pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.

5. Tinjauan Efektivitas dan Efisiensi

Dari segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan melalui Pilkada secara langsung.

Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung lebih banyak kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.

Simpulan

Untuk melaksanakan tugas-tugas dan fungsi pemerintahan daerah sudah barang tentu harus memerlukan pemimpin yang akan mengambil kebijakan-kebijakan dalam menjalankan roda pemerintahan daerah tersebut. Untuk memilih pemimpin sautu daerah tersebut harus dipilih langsung oleh rakyatnya sebagai perwujudan pengembalian hak-hak dasar masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen pimpinan daerah sehingga mendinamisir kehidupan demokrasi di tingkat lokal.

Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat saat ini memang masih menjadi solusi yang terbaik untuk digunakan dalam system pemerintahan daerah di Indonesia. Namun satu hal yang perlu dicermati, bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat ini juga memiliki problematika.

(16)

presiden menentukan kebijakan yang harus dijalankan oleh seluruh lapisan pemerintah di daerah.

Sedangkan kebijakan tersebut tidak sejalan dengan apa yang diinginkan oleh partai oposisi. Maka bukan tidak mungkin tugas gubernur sebagai penghubung atau coordinator antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak menjalankan tugasnya dengan baik untuk menyampaikan kebijakan pemerintah pusat kepada daerah-daerah di bawahnya.

Meski masih harus menjalani proses pematangan lebih lanjut, inisiatif penandatanganan undang-undang ini sebaiknya dianggap sebagai inisiatif mewujudkan proses demokrasi yang bersih di seluruh wilayah Indonesia. Pelaksanaan Pilkada serentak pun tentu meminta komitmen dan tanggung jawab semua pihak, agar dapat berjalan dengan jujur, adil dan demokratis, serta melahirkan sosok-sosok pemimpin baru dengan ikhtiar memajukan daerahnya, serta negara Indonesia.

Daftar Pustaka

Budiardjo, Miriam. 1994. Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Dewanto, Nugroho. 2006. Pancasila dan UUD 1945. Bandung : Nuansa Aulia.

Kaligis, OC. 2009. Perkara-Perkara Politik dan Pilkada di Pengadilan. Bandung : PT. Alumni.

Nadir, Ahmad. 2005. Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi. Malang : Averroes Press.

(17)

Prihatmoko,Joko. 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.

Harmantyo, Djoko. 2007. Pemekaran Daerah Dan Konflik Keruangan Kebijakan Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia. Makara, Sains, Vol. 11, No. 1, April 2007: 16-22.

Prasojo, Eko dan Teguh Kurniawan. 2008. Reformasi Birokrasi dan Good Governance : Kasus Best Practicedari Sejumlah Daerah di Indonesia. Jurnal Antropologi Indonesia 5th International Symposium. 22-25 Juli 2008.

http://www.kpu.go.id/index.php/post/read/2015/3829/Arief-Tujuan-Pilkada-Serentak-Untuk-Terciptanya-Efektivitas-dan-Efisiensi-Anggaran/berita (diakses pada 5 Desember 2016, pukul 12:33:56 WIB).

http://www.presidenri.go.id/reformasi-birokrasi/pilkada-serentak-demi-efektivitas-dan-efisiensi-demokrasi.html (diakses pada 5 Desember 2016, pukul 12:23:36 WIB).

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk mengangkat derajat kedudukan petani lontar tersebut adalah dengan mendirikan pabrik pengolahan gula dalam bentuk gula

2, Implementasi Pembelajaran Kooperatif Model Scramble dalam Meningkatkan cara Berpikir Kritis Siswa ... Peningkatan Berpikir Kritis Siswa Setelah Menggunakan

Berdasarkan hasil penelitian dari 34 orang yang mengalami TB Paru terdapat 4 pasien dengan kepadatan hunian memenuhi syarat karena pasien denga ventilasi rumah

[r]

PENERAPAN METODE KARYA WISATA PADA MATA PELAJARAN IPS TENTANG MACAM-MACAM SUMBER DAYA ALAM UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Berdasarkan rendemen pulp, konsumsi alkali, dan bilangan kappa, maka pulp batang pisang yang dihasilkan dari proses semikimia pada konsentrasi alkali 4% lebih layak teknis

Hal ini menunjukkan bahwa keyakinan karyawan akan diperlakukan secara adil akan membuat mereka lebih memiliki komitmen karyawan pada organisasi sehingga dapat

Peserta UN/US yang telah selesai mengerjakan soal sebelum waktu UN/US berakhir diperbolehkan meninggalkan ruangan dengan menyerahkan LJUN/LJUS dan