1
PROBLEMATIKA UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
(Kajian Terhadap Dimensi Politik Hukum Pembentukan dan Pelaksanaannya)
Ali Ridho1
A. Pendahuluan
Pergulatan pemikiran tentang Hak Asasi Manusia (HAM) sesungguhnya
bukanlah wacana yang tabu dalam diskursus politik dan ketatanegaraan di
Indonesia. Sejak kemerdekaan, para perintis bangsa ini telah memercikkan
berbagai gagasan guna memperjuangkan harkat dan martabat manusia yang lebih
baik.2 Sehingga menjadi hal yang lumrah jika berbagai tuntutan atas tiap-tiap pelanggaran HAM secepatnya harus diselesaikan tanpa tebang pilih. Hal ini
jugalah yang kemudian melatar belakangi berdirinya Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (KOMNAS HAM) di Indonesia.3 Pada mulanya pembentukan komisi ini memang masih disambut secara skeptis, bahkan sinis, namun secara bertahap
lembaga ini pun mulai memperoleh kepercayaan masyarakat.4
Pembentukan KOMNAS HAM sesungguhnya sejalan dengan tujuan yang
tertera pada ketentuan pasal 44 TAP MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 Tentang
Hak Asasi Manusia.5 Guna memperkuat penegakan HAM yang efektif di Indonesia, maka kemudian ditetapkanlah UU Nomor 39 tahun 1999. Akan tetapi
mengingat terdapat berbagai kelemahan yang ada, maka pada perkembangan
selanjutnya ditetapkan Peraturan pengganti undang-undang (Perpu) Nomor 1
Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pada tahap selanjutnya Perpu
1
Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
2 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jilid 1. (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahakamah Konstitusi, 2006 ), hlm. 85. Lihat juga dalam Rhona K.M. Smith, Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta, PUSHAM UII, 2008), hlm. 277.
3 R. Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006), hlm. 3. 4
Saafroedin Bahar, Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia , (Jakarta: Sinar Harapan, 2002), hlm. 370-371.
5 Pasal 44 menerangkan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
2 a quo diajukan ke DPR namun ditolak, sehingga kemudian pemerintah mengajukan rancangan undang-undang (RUU).6 Inisiatif pemerintah tersebut yang akhirnya melahirkan Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Adanya undang-undang terbaru tentang pengadilan HAM tersebut
harapannya dapat menjadi dasar penguat dalam mewujudkan kepastian hukum
dan keadilan pada proses penegakan HAM di Indonesia. Namun sejauh ini
nampaknya persoalan penegakan HAM masih saja mewarnai perjalanan bangsa
Indonesia. Selain disebabkan oleh peran Komnas HAM yang belum optimal
karena adanya beberapa ketentuan pasal yang membatasi tugas dan wewenang
Komnas HAM, dan juga karena adanya penyempitan terhadap konsepsi
pelanggaran HAM yang terkandung dalam UU pengadilan HAM.
Misalnya dalam ketentuan UU a quo yang mengamanatkan untuk membentuk pengadilan HAM Ad Hoc tapi pada tahap realisasinya sangat rumit. Padahal banyak kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan. Semisal
dalam hal ini ialah kasus pembunuhan atas masyarakat sipil di Wasior dan
Wamena, pelanggaran HAM Berat atas jatuhnya korban dalam penangkapan
Daftar Pencarian Orang (DPO) di Gebang Rejo, Poso, Sulawesi Tengah dan
peristiwa penangkapan dan penahanan di luar hukum terhadap orang-orang yang
dituduh sebagai anggota PKI ke Pulau Buru, peristiwa penembakan misterius
6 Alasan penolakan Perpu tersebut sebagai berikut: (1). Secara konstitusional pembentukan
3 (petrus), peristiwa Tanjung Priok, empat kasus daerah operasi militer (DOM)
Aceh dan Papua.7
Di luar itu, Indonesia sebenarnya telah meratifikasi Konvenan Internasional
tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya melalui UU No. 11 Tahun 2005
tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Namun
ketentuan pasal yang ada dalam UU pengadilan HAM hanya mencantumkan
pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan politik, sedangkan pelanggaran hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya tidak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang
berat.8 Padahal kalau melihat beberapa kasus yang ada, pelanggaran HAM berat juga ada yang dilatar belakangi oleh faktor ekonomi, sosial, dan budaya.
Melihat deskripsi diatas tentunya menjadi sebuah kemirisan yang amat
sangat, Indonesia yang seharusnya sudah bisa berbicara banyak dalam penegakan
HAM tetapi justru malah banci dengan berbagai aturan yang ada. Oleh karenanya
dalam hal ini penulis mencoba menguraikan berbagai latar belakang yang
menjadikan tidak efektif pola penegakan HAM di Indonesia, serta bagaimana
solusi penyelesaiannya.
PEMBAHASAN
A.Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia: Mengatasi
Masalah dengan Masalah
1. Politik Hukum Pembentukan dan Pelaksanaan Undang-undang
Pengadilan HAM
Istilah Pengadilan HAM untuk pertama kalinya disebutkan secara formil
dalam Bab IX tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 104 ayat (1), (2),
dan (3) Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. UU ini
menyatakan bahwa pengadilan HAM dibentuk untuk mengadili pelanggaran
HAM yang berat, seperti pembunuhan masal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan (arbitary/extra judicial
7 Komnas HAM: Lima Pelanggaran HAM Berat di Indonesia,
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/01/23/brk,20040123-16,id.html, , diakses 27 Agustus 2010.
8
4 killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination) yang sesuai dengan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 rome statute of the international criminal court.9
Salah satu konsekuensi diberlakukannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM ialah agar secepatnya dibentuk Pengadilan HAM. Sesungguhnya wacana
terbentuknya pengadilan HAM telah lama muncul, akan tetapi dengan berbagai
argumen politis pemerintah, sampai pada implementasi UU a quo belum juga dibentuk pengadilan yang diproyeksikan untuk mengadili kasus pelanggaran
HAM berat. Namun sering dengan menguatnya isu penegakan HAM, maka wacana tersebut semakin mengkristal dan tidak ada alasan lain bagi pemerintah
untuk membentuk pengadilan HAM. Sehingga pada akhirnya Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1
Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM pada tanggal 8 Oktober 1999.
Apabila dilacak historis pembentukan Perpu, Perpu tersebut sesungguhnya
dipersiapkan pemerintah dalam keadaan tergesa-gesa, yaitu sehubungan
dengan terbentuknya opini umum, baik di dalam maupun luar negeri. Di dalam
dapat dilihat pada situasi politik waktu itu masyarakat mendesak dan
menghendaki pemerintah melalui pengadilan untuk segera mengadili
pelaku-pelaku pelanggaran HAM di Timor Timur pasca jajak pendapat di Timor
Timur pada akhir bulan Agustus 1999. Secara internasional saat itu, maka
dapat dijelaskan bahwa Negara Indonesia sebagai bagian (state party) organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah menjadi sorotan oleh
masyarakat dunia internasional karena dinilai tidak mampu menyelesaiakan
problematika pelanggaran HAM yang terjadi. Sehingga apabila Indonesia tidak
merespon opini masyarakat adanya pelanggaran HAM berat di Timor Timur
maka diperkirakan dapat menyudutkan posisi Indonesia dalam pergaulan antar
bangsa.10
9 Lihat penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 junto penjelasan Pasal 7 UU
No. 26 Tahun 2000.
10 Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia: Catatan dan
5 Hasil pemaparan di atas terlihat adanya tekanan dari dalam dan luar negeri
ke Indonesia menjadi latar belakang untuk segera membentuk ataupun
mendirikan suatu institusi penegak hukum dibidang HAM, tugasnya tidak lain
adalah untuk memeriksa dan mengadili kasus-kasus yang terkait dengan
pelanggaran atau kejahatan HAM yang terjadi di Indonesia. Dikeluarkannya
Perppu a quo kemudian dipandang sebagai solusi untuk memberikan kepastian awal bagi masyarakat dan dunia internasional bahwa Indonesia memiliki
kemauan untuk memproses segala bentuk pelanggaran atau kejahatan HAM.
Potret ini jika dilihat dari aspek politik hukum, maka proses pembentukannya
bertitik tolak atas perkembangan hukum masyarakat dalam negeri dan dan
masyarakat global, dengan kata lain proses ini memiliki tendensi untuk
kepentingan nasional agar tetap eksis dalam percaturan dunia global. Apabila
Indonesia tidak segera merespon situasi politik pada saat itu, dapat dipastikan
Indonesia yang telah mentasbihkan diri bergabung dengan PBB akan
dikucilkan dalam pergaulan dunia. Hal ini mengingat PBB secara tegas
menjunjung nilai universal HAM dan berkomitmen menegakannya.
Namun demikian, mengingat masyarakat belum merasa puas jika payung
hukum pengadilan HAM hanya berdasarkan Perpu, maka masyarakatpun
mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan Perpu a quo menjadi UU. Akhirnya pada tahun 2000 Perpu a quo disahkan menjadi Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Dengan demikian,
pemberlakuan UU a quo merupakan bagian dari program strategis pemerintah untuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa Indonesia dapat
menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM dengan sistem hukum nasional
6 yang berlaku dan proses pemgadilan dapat dilaksanakan oleh bangsa sendiri.11 Hal ini merupakan kebijakan pemerintah dalam menjalankan politik hukumnya
untuk mewujudkan supremasi hukum yang berasaskan nilai-nilai HAM.
Politik hukum HAM merupakan kebijakan hukum (legal policy) tentang HAM yang mencakup kebijakan negara tentang bagaimana hukum tentang
HAM itu telah dibuat dan bagaimana pula seharusnya hukum tentang HAM itu
dibuat untuk membangun masa depan yang lebih baik, yakni kehidupan Negara
yang bersih dari pelanggaran-pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh
penguasa.12 Artinya pemerintah ketika hendak merumuskan atau membuat aturan HAM harus memiliki pertimbangan matang dan koheren dengan situasi
politik yang ada. Maka dalam konteks UU tentang pengadilan HAM,
pertimbangan pemerintah dalam penyusunan UU pengadilan HAM
(sebelumnya RUU) adalah sebagai berikut:13
1. Merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Dengan demikian merupakan tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal HAM yang ditetapkan oleh PBB, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur mengenai HAM yang telah dan atau diterima oleh Negara Republik Indonesia;
2. Dalam rangka melaksanakan TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Hal ini mengingat kebutuhan hukum yang sangat mendesak, baik ditinjau dari sisi kepentingan nasional maupun dari sisi kepentingan internasional, maka segera dibentuk Pengadilan HAM sebagai pengadilan khusus untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang berat;
3. Untuk mengatasi keadaan yang tidak menentu di bidang keamanan dan ketertiban umum, termasuk perekonomian nasional. Keberadaan Pengadilan HAM ini sekaligus diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai penegakan HAM di Indonesia.
11 Lihat penjelasan umum UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 12
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia , cet. II, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2005), hlm. 32
7
2. Kelemahan UU No. 26 Tahun 2000
Dibentuknya undang-undang tentang pengadilan HAM adalah agar
tercapainya keadilan dalam kasus pelanggaran HAM dan terselesaikannya
permasalahan HAM di Indonesia. Namun semangat yang dibangun dari
undang-undang a quo nampaknya tidak sejalan dengan faktanya, hal ini tidak bisa dilepaskan karena masih adanya kelemahan dalam UU a quo, seperti proses pembentukan undang-undangnya maupun
ketentuan-ketentuan pasalnya. Serta sempitnya definisi pelanggaran HAM yang dapat
ditangani oleh Komnas HAM, Kejaksaan Agung (kejagung), dan belum
terbentuknya Pengadilan HAM.
Seperti yang kita ketahui, pembentukan undang-undang a quo terjadi ketika terungkapnya fakta telah terjadi pelanggaran HAM berat di
Indoensia, sehingga muncul desakan dari PBB untuk segera diadili
pelaku-pelakunya. Mengingat waktu itu Indoensia belum mempunyai instrumen
hukumnya, maka muncul gagasan dari PBB agar pelakunya diadili melalui
pengadilan HAM internasional atau Mahakamah Internasional. Apabila hal
itu terjadi, maka yuridksi hukum nasional tidak ddigunakan dalam proses
mengadili pelaku-pelakunya. Sehingga sebagai langkah antisipasi,
pemerintah membentuk Pepru sebagai legitimasi pembentukan pengadilan
HAM, kemudian disahkan menjadi UU No. 26 Tahun 2000. Proses tersebut
jelas sangat mendadak dan terburu-buru karena seolah-olah hanya
dimaksudkan agar menghindarkan para pelaku pelanggaran HAM berat dari
jerat Mahkamah Pidana Internasional. Selain itu juga diiringi motif
Indonesia untuk mengadili pelaku di Indonesia dengan hokum nasional yang
ada.14 Fakta-fakta inilah yang kemudian mengantarkan masih terdapat titik lemah dalam UU a quo.
Misalnya dalam ketentuan Pasal 7 dan Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000,
menjelaskan bahwa yang diakui sebagai pelanggaran HAM yang berat
hanyalah pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan politik saja. Sedangkan
14aPengadilanaHAMadiIndonesiaa
8 pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak masuk dalam
rumusan UU a quo. Padahal apabila kita memperhatikan kebanyakan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, biasanya juga
dilatarbelakangi oleh pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya, seperti perampasan tanah-tanah masyarakat adat yang berujung
penembakan terhadap masyarakat sipil, atau pencemaran lingkungan yang
dilakukan oleh perusahaan transnasional yang berujung penangkapan dan
penyiksaan terhadap masyarakat sipil.
Potret di atas jelas sangat kontraproduktif mengingat Indonesia telah
meratifikasi Kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya melalui UU No. 11 Tahun 2005. Sehingga tidak ada alasan bagi
Pemerintah untuk tidak mengakui pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi,
sosial, dan budaya sebagai pelanggaran HAM yang berat. Berdasarkan hal
itu maka definisi pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur di dalam
pasal 7, 8, dan 9 UU No. 26 Tahun 2000 sudah tidak layak lagi dan sudah
seharusnya pasal-pasal tersebut direvisi dengan memperluas definisi
pelanggaran HAM yang berat.15 Sehingga nantinya definisi pelanggaran HAM yang berat tidak hanya mencakup pelanggaran terhadap hak-hak sipil
dan politik saja, namun semua pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi,
sosial, budaya juga harus diakui sebagai bagian dari pelanggaran HAM yang
berat.
Faktor lain yang membuat UU No. 26 Tahun 2000 tidak efektif adalah
pembatasan terhadap tugas dan wewenang Komnas HAM yang hanya dapat
melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat
sebagaimana diatur di dalam Pasal 18, 19, dan 20 UU No. 26 Tahun 2000.16 Sehingga dalam praktiknya, seringkali hasil penyelidikan yang dilakukan
15 Romli Atmasasmita, Tafsir dan Penjelasan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, dalam http://www.legalitas.org/?q=node/373, diakses pada tanggal 20 Mei 2013.
9 oleh Komnas HAM dipatahkan pihak Kejagung yang di dalam
undang-undang ini bertindak sebagai penyidik dan penuntut umum.
Aspek lain titik lemah dalam UU a quo juga dapat kita temukan uraiakan sebagai berikut, yaitu:
1.„Widespread or systemic attack directed against any civilian population‟ dalam Statuta Roma diterjemahkan menjadi ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil17, padahal seharusnya berbunyi ditujukan kepada populasi sipil. Kata “langsung” ini bisa berimplikasi pada seolah-olah hanya pelaku di lapangan saja yang dapat dikenakan pasal ini sedangkan pelaku diatasnya yang membuat kebijakan tidak tercakup dalam pasal ini. istilah “penduduk” untuk menterjemahkan kata “population” telah menyempitkan subyek hukum dengan menggunakan batasan-batasan wilayah yang akan menyempitkan target-target potensial korban kejahatan terhadap kemanusiaan hanya kepada warga negara dimana kejahatan tersebut berlangsung.18Hal diatas berkaitan erat dengan „delik tanggung-jawab komando‟ sebagaimana yang diatur di dalam pasal 42 ayat 1 yang menyatakan : “Komandan Militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif atau dibawah kekuasan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengandalian pasukan secara patut…..”. Penggunaan kata dapat dan bukannya kata akan atau harus, telah menyebabkan bahwa tanggungjawab komando dalam kasus pelanggaran HAM berat tidak bersifat wajib, tapi lebih dibebankan kepada pelaku langsung di lapangan (dalam hal ini para anak buah/prajurit dilapangan);
2.Pada pasal 10 UU No. 26 tahun 2000 secara eksplisit dinyatakan bahwa : “Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini, hukum atas perkara pelanggaran HAM yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan Hukum Acara Pidana”, yang berarti bahwa hukum acara yang dipakai adalah sesuai KUHAP yang dalam banyak hal tidak sesuai dengan standar dalam praktek peradilan internasional. Sebagai contoh yang paling konkrit adalah soal alat bukti, dimana di dalam KUHAP ini tidak memadai jika dikomparasikan dengan praktek-praktek peradilan internasional, karena pengalaman praktek
17 Lihat Pasal 9 UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
18 Zainal Abidin, Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia….op. cit, hlm. 11. Lihat juga
10 peradilan internasional yang menyidangkan kasus pelanggaran HAM berat justru lebih banyak memakai alat-alat bukti diluar yang diatur dalam KUHAP, seperti rekaman (film atau kaset yang berisi pidato), siaran pers, wawancara korban, wawancara pelaku, kliping koran, artikel lepas/opini. Sedang alat bukti yang sah menurut pasal 184 KUHAP adalah : keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, yang seringkali sangat sulit untuk dilengkapi dengan minimal dua alat bukti yang sah. Ketidaksesuaian KUHAP sebagai hukum acara proses peradilan HAM ini akan berdampak serius. Penolakan pemeriksaan saksi melalui teleconference itu sedianya untuk meminta keterangan saksi kunci dari kasus tersebut.19
3.Disamping persoalan-persoalan adopsi/penerjemahan yang tidak sesuai yang penulis sebutkan diatas (lepas apakah hal itu disengaja atau tidak), terbukti telah menyebabkan munculnya pengertian/penafsiran yang berbeda pada isi pasal-pasal yang ada dalam UU No. 26/2000 dengan ketentuan yang ada pada Statuta Roma yang dijadikan dasar/rujukan. Tapi yang tidak kalah penting adalah tidak adanya/tidak dicantumkannya apa yang disebut sebagai element of crimes di dalam UU Peradilan HAM. Karena dalam element of crimes itulah secara jelas terdapat elaborasi atas unsur-unsur, definisi-definisi dan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, sehingga perbedaan penafsiran maupun interpretasi dalam hal ini bisa diminimalkan.20
Sebenarnya, sebagai salah satu „buah‟ reformasi yang sejak lama diperjuangkan, kehadiran Peradilan HAM cukup membawa angin segar bagi
upaya penegakan HAM di tanah air, sekaligus sebagai bukti dan upaya agar
kita bisa masuk kategori bangsa yang dianggap menghormati Hak Asasi
Manusia. Hal ini mengingat track-record Indonesia yang selalu terpuruk dalam hal penegakan dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Akan
tetapi mengingat pengadopsian HAM yang ada selama ini kurang
memperhatikan instrumen internasiona secara utuh, akbiatnya hasil UU
yang telah dilahirkan melalui legislatif belum mampu berbicara banyak.
Pada akhirnya banyak kasus-kasus pelangaran HAM di Indonesia yang
tidak sampai ke meja pengadilan dan hanya menjadi bahan dokumentasi
19 Budi Santoso, Evaluasi Kritis Atas Kelemahan UU Peradilan HAM, Makalah Disampaikan pada“Workshop Merumuskan Amandemen Undang-Undang Peradilan HAM‟ yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII, Yogyakarta, pada tanggal 26 Agustus 2003.
11 Komnas HAM. Apabila kita bandingkan fungsi Komnas HAM dalam UU
No. 26 Tahun 2000 dengan fungsi KPK dalam UU No. 30 tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) sangatlah
jauh berbeda. Di dalam Pasal 6 huruf (c) UU No. 30 Tahun 2002 dijelaskan
bahwa tugas KPK adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.21
B.Langkah-langkah Hukum yang dapat Dilakukan dalam Menegakan HAM
di Indonesia Agar Berjalan Lebih Efektif
Menyikapi ketidak sempurnaan dalam peraturan yang UU tentang pengadilan
HAM, tentunya diperlukan langkah-langkah konkrit dan sifatnya segera.
Diantaranya:
1. Amandemen dan Harmonisasi Undang-undang
Amandemen UU No. 26 Tahun 2000 yang kemudian diikuti dengan proses
harmonisasi yang mengacu pada statuta roma secara komprehensif,
terutama mengenai perluasan definisi pelanggaran HAM yang berat serta
perluasan fungsi Komnas HAM harus dijadikan sebagai satu agenda khusus
oleh pemerintah. Sehingga persoalan-persoalan terkait dengan pelanggaran
HAM dapat diselesaikan dengan cepat tanpa ada hambatan kedepannya.
DPR dan pemerintah harus mengambil langkah cepat untuk melakukan
harmonisasi seluruh Undang-undnag dengan Undang-undang hasil
ratifikasi tentang Konvensi Hak Sipil dan Politik serta Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya, serta meratifikasi statuta roma. Jika pemerintah dan
DPR tidak melakukannya, seluruh kebijakan dalam bidang HAM hanya
menjadi hiasan hukum tanpa fungsi;
2. Pembuatan Hukum HAM Responsif
Langkah lain yang dirasa positif adalah dengan membuat peraturan hukum
yang baru namun responsif. Regulasi hukum responsif akan selalu
dikaitkan dengan tujuan-tujuan sosoial yang melampaui narasi tekstual
12 aturan. Nonet dan Selznick meneybutnya sebagai “the souvereignity of purpose”.22 Proses partisipatif pembuatannya dengan mensyaratkan dua hal,23 pertama, DPR meletakan dirinya sebagai kekuatan politik formal masyarakat, dan tidak memerankan diri sebagai konseptor UU, apalagi
memonopoli proses lahir hingga evaluasi produk perundang-undangan.
Kedua, organisasi masyarakat sipil menjadi kekuatan intlektual yang mengakji dan merumuskan kebutuhan hukum HAM masyarakat. Perpaduan
DPR yang sejatinya adalah representasi (politik) rakyat dengan organisasi
masyarakat sipil diproyeksikan mampu merumuskan subtansi hukum HAM
yang memiliki kekuatan perlindungan (to protect), penghormatan (to respect), dan pemenuhan (to fulfill) HAM yang kontekstual dengan kebutuhan subtansial masyarakat, bukan produk hukum yang sekedar
responsif terhadap demokrasi politik. Bagian penting dari prinsip
partisipasi dalam konsepsi responsif bidang HAM adalah sifat afirmatif
yang dilegalsiasi melalui pertauran perundang-undangan sebagai respon
atas kebutuhan riil masyarakat.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, pertama, politik hukum pembentukan UU No. 26 tahun 2000 mengenai pengadilan HAM
merupakan upaya membangun hukum yang responsif, namun mengingat
prosesnya masih dibarengi dengan berbagai kepentingan. Maka produknya tidak
seideal yang diharapkan dalam konteks kekinian. Hal itu menjadi maklum
mengingat masih banyak tarik ulur antar kepentingan orde baru dengan orde
reformasi, sehingga karakter produk hukum cenderung dipengaruhi oleh
konfigurasi politik yang melahirkannya.
22 Philipe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition : Toward Tanggapanive
Law, (London; Harper and Row Publisher, 1974), dalam Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm 204-204
23 Suparman Marzuki, Tragedi Politik Hukum HAM, (Yogyakarta: Pusham UII-Pustaka
13 Kedua, pertimbangan pembentukan payung hukum untuk pengadilan HAM berupa UU No. 26 tahun 2000 didasarkan atas pertimbangan adanya desakan dari
masyarakat, baik nasional maupun internasional. Hal itu juga yang kemudian
berdampak pada ketidakefektifan pelaksnaan UU a quo oleh Komnas HAM maupun intitusi terkait dalam penegakan HAM. Kelemahan UU a quo tentu tidak bisa dilepaskan atas proses politik hukum yang terjadi waktu itu, mengingat
prosesnya yang cukup singkat dan atas desakan dari berbagai pihak, maka
dampaknya kurang mengakomodir aspek fundamen HAM yang harus dijamin,
dilindungi, dan dihormati. Sementara solusinya, pemerintah harus melakukan
amandemen dan harmonisasi UU maupun pembuatan hukum baru yang responsif.
Saran
1. Pemerintah harus sesegera mungkin dan menjadikan agenda khusus untuk
mengamandemen dan mengharmnisasi peraturan-peraturan yang telah ada
yang berkaitan dengan HAM, khususnya UU No. 26 Tahun 2000. Aspek
harmonisasi bisa merujuk pada UU hasil ratifikasi tentang Konvensi
Internasional Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Sementar pemerintah juga
harus segera mungkin meratifikasi Statuta Roma ke dalam saluran hukum
nasional, terlebih Indonesia juga telah menjadi salah satu bagian (state party) penting dalam PBB;
2. Pemerintah harus segera menyidangkan perkara-perkara pelanggaran HAM
berat yang terjadi, baik yang terjadi masa kini ataupun masa lalu dengan
sebagai langkah antisiaptif agar tidak terulang atau terjadinya pelanggaran
14
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Bernard L. Tanya, dkk, 2010, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Linta s Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jilid 1. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahakamah Konstitusi.
Moh. Mahfud, MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, cet. ke-1, Jakarta: LP3ES. ______________, 1999, Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media.
Philipe Nonet dan Philip Selznick, 1974, Law and Society in Transition : Toward Tanggapanive Law, London; Harper and Row Publisher.
R. Wiyono, 2006, Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Roscoe Pound, 1972, Pengantar Filsafat, Terjemahan Mohamad Radjab, Jakarta: Bharata.
Saafroedin Bahar, 2002, Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Sinar Harapan.
Satya Arinanto, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, cet. II, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara.
Satjipto Rahardjo, 1985, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Sinar Baru.
Soerjono Soekamto, 1973, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: Bharata.
Suparman Marzuki, 2011, Tragedi Politik Hukum HAM, Yogyakarta: Pusham UII-Pustaka Pelajar.
Yusril Ihza Mahendra, 2001, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia: Catatan dan Gagasan Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra, Jakarta: Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta.
Zainal Abidin, 2007, Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
Makalah, Laporan Penelitian, dan Media
Akil Mochtar, Ratifikasi Statuta Roma untuk Memperkuat Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Ceramah Kunci Hakim Konstitusi pada Seminar Nasional dalam Rangka World day of International Justice, diselenggarakan oleh ELSAM dan Komnas HAM, Jakarta 17 Juli 2012.
15 Peradilan HAM‟ yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII, Yogyakarta, pada tanggal 26 Agustus 2003.
Human Rights Watch, Indonesia: Justice For East Timor Still Elusive, New York, 21 Februari 2002.
Progress Report pemantauan pengadilan HAM ad hoc Elsam ke-10, tanggal 28 Januari 2003.
Romli Atmasasmita, Tafsir dan Penjelasan Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM, dalam
http://www.legalitas.org/?q=node/373, diakses pada tanggal 20 Mei 2013.
Indonesia Menjadi Anggota PBB ke-60, dalam
http://dunia.news.viva.co.id/news/read/1119-indonesia_menjadi_anggota_pbb_ke_60, dakses tanggal 19 Mei 2013.
PengadilanaHAMadiaIndonesiaaPerluaDibenahiadalamahttp://osdir.com/ml/cult ure.region.indonesia.ppi-india/2005-03/msg00596.html, diakses tanggal 20 Mei 2013.
Komnas HAM: Lima Pelanggaran HAM Berat di Indonesia, http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/01/23/brk,20040123-16,id.html, , diakses 20 Mei 2013.
Peraturan perundang-undangan
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Keppres No. 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia