• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIOAEROSOL INSIDEN DAN TREN TEKNOLOGI PE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BIOAEROSOL INSIDEN DAN TREN TEKNOLOGI PE"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BIOAEROSOL: INSIDEN DAN TREN TEKNOLOGI PENCEGAHANNYA Hafez Habiburrohman (11214009)

Program Studi Rekayasa Hayati Institut Teknologi Bandung

ABSTRAK

Bioaerosol merupakan salah satu bentuk penyebaran agen biologis atau derivatnya yang tersebar melalui medium udara bebas. Sejak bertahun-tahun yang lalu, bioaerosol menjadi masalah yang cukup besar bagi masyarakat dunia. Berbagai insiden yang disebabkan oleh

bioaerosol menjadi peristiwa kesehatan yang cukup mengguncang dunia, seperti insiden antraks sverdlovsk (Sverdlovsk Anthrax Outbreak) dan penyebaran penyakit Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Insiden-insiden tersebut ada yang terjadi akibat kelalaian manusia, dan ada juga yang terjadi akibat transmisi dari seorang penderita ke orang lain. Hingga kini, teknologi pencegahan dan pengontrolan bioaerosol terus dikembangkan untuk mencegah terjadinya insiden-insiden lain. Berbagai teknologi untuk mendeteksi dan mengurangi dampak dari bioaerosol pun telah diterapkan di berbagai belahan dunia, dengan melibatkan kerjasama dari berbagai pihak dan disiplin ilmu.

Kata kunci: Bioaerosol, Insiden Anthrax Sverdlovsk, SARS, biofiltrasi, paparan.

PENDAHULUAN

Bioaerosol merupakan partikel yang terlarut di udara yang berasal dari makhluk hidup atau bergantung pada makhluk hidup, seperti virus. Bioaerosol dapat terdiri dari berbagai struktur mikroskopis, seperti virus, sel dan spora bakteri, sel dan spora jamur,

protozoa, serta serta serbuk sari dan spora tumbuhan (Macher et al. 2013). Bioaerosol

juga dapat terdiri atas derivat makhluk hidup seperti endotoksin, glukan, alergen, dan mikotoksin (Cox dan Wathes, 1995 dalam Xu et al., 2011). Bioaerosol dapat terbentuk sebagai partikel airborne dengan diameter ~0,02-100 μm, dan dapat menyebabkan

gangguan pernapasan, infeksi mikroba, reaksi alergenik, reaksi toksikologis, hipersensitivitas, iritansi, dan peradangan (Macher et al. 2013; Xu et al., 2011). Bioaerosol dengan diameter di bawah 10 μm sendiri perlu mendapat perhatian khusus dalam hal kesehatan pernapasan karena dapat

terhirup, dan beberapa cukup kecil untuk melakukan penetrasi hingga ke dalam

paru-paru dan alveolus, memicu berbagai efek negatif (Douglas et al., 2016).

(2)

dari dinding sel bakteri Gram-negatif dan dapat menyebabkan efek positif mapun negatif bagi kesehatan (Punsmann et al., 2013). Pemaparan terhadap bioaerosol di lingkungan kerja dianggap sangat berbahaya. Berbagai gangguan kesehatan dan penyakit para pekerja seperti peradangan dan alergi disebabkan oleh terhirupnya bioaerosol.

Risiko paparan bioaerosol dapat dengan mudah diawasi dan dikontrol pada lingkungan kerja yang dengan sengaja menggunakan agen biologis, seperti laboratorium mikrobiologi. Sementara pada lingkungan kerja yang tidak secara langsung menggunakan agen biologis, pengawasan dan pengontrolan paparan bioaerosol cukup sulit untuk dilakukan, seperti pada sektor pertanian (Corrao et al., 2012). Timpangnya penanganan terhadap sektor-sektor yang berbeda menyebabkan masih rentannya infeksi lewat bioaerosol. Apabila kecelakaan terjadi pada sektor dengan sistem pengawasan dan penanganan rendah, dapat terjadi epidemi yang disebabkan oleh bioaerosol tersebut.

KASUS-KASUS TERDAHULU

Kecelakaan yang melibatkan bioaerosol merupakan kasus yang telah terjadi sejak

bertahun-tahun yang lalu. Beberapa kasus bahkan menyebabkan korban jiwa dengan jumlah yang banyak, sementara penyelidikan yang dilakukan lambat. Kasus-kasus tersebut tidak hanya diakibatkan oleh agen biologis alami, namun ada juga agen biologis yang

dikembangkan oleh pihak militer sebagai senjata biologis.

Salah satu kasus yang cukup terkenal adalah insiden antraks Sverdlovsk (Sverdlovsk Anthrax Leak). Pada tanggal 2 April 1979 di Sverdlovsk (sekarang Yekaterinburg), Uni Soviet (sekarang wilayah Rusia), spora bakteri Bacillus

anthracis secara tidak sengaja terlepas dalam bentuk aerosol dari salah satu fasilitas produksi dari Institute of Microbiological of the Ministry of Defense (Leitenberg & Zilinskas, 2012), yang dicurigai oleh intelijen Barat sebagai fasilitas penelitian senjata biologis, menginfeksi 94 orang dan menyebabkan kematian 64 jiwa. Korban pertama meninggal 4 hari setelah insiden, dan korban terakhir meninggal 6 pekan kemudian. Diketahui waktu onset spora B. anthracis pada kasus ini terjadi mulai dari 2 hari hingga 6 minggu setelah insiden pelepasan spora, mulai 4 April hingga 15 Mei, dengan rata-rata antara waktu onset dan kematian selama 3 hari. Pada saat itu, Pemerintah Uni Soviet melaporkan bahwa kematian-kematian tersebut diakibatkan daging yang

terkontaminasi anthrax, sedangkan Pemerintah Barat meyakini kejadian tersebut

(3)

sistem pembuangan fasilitas tersebut menuju atomsfer. (Phillips, 2011).

Hasil investigasi terhadap sampel jaringan tubuh dari 11 orang korban membuktikan bahwa pada sampel terdapat toksin B. Anthracis dan gen antigen kapsular yang dibutuhkan untuk patogenisitas. Analisis DNA membuktikan setidakknya

terdapat 4 strain B. Anthracis berbeda terdapat di sampel tersebut (Fasanella et al., 2010).

Kasus lain yang cukup terkenal adalah mewabahnya penyakit Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada tahun 2003. Penyakit ini menyebar antarmanusia melalui udara dalam bentuk bioaerosol berupa SARS coronavirus dengan sangat cepat, hingga dalam beberapa bulan saja sudah menginfeksi 8000 jiwa, dengan setidaknya 900 kematian, di 29 negara di dunia. Pada 12 Maret 2003, World Health Oranization (WHO) mengumumkan peringatan global mengenai SARS. Lebih dari seperlima penderita merupakan pekerja kesehatan. Hal ini disebabkan pekerja kesehatan memiliki peluang lebih tinggi untuk mengalami kontak

dengan penderita SARS. SARS dapat dipandang sebagai penyakit terkait pekerjaan

(occupational disease), dengan kelompok pekerjaan yang riskan adalah pekerja kesehatan, pekerja transportasi, pekerjaan yang berhubungan dengan hewan dan preparasi makanan, dan peneliti yang bekerja dengan SARS coronavirus. Faktanya, lebih

dari sepertiga penderita pada kasus-kasus awal (sebelum Februari 2003) merupakan orang-orang yang menangani, menyembelih, atau menjual makanan yang berasal dari hewan, atau orang-orang yang mempersiapkan atau menyajikan makanan yang berasal dari hewan (Koh & Sng, 2010). Setelah 8 bulan transmisi antarmanusia dan

berbagai kerjasama internasional, SARS mulai menghilang. Pada 5 Juli 2003, WHO mendeklarasikan seluruh rantai transmisi SARS coronavirus antarmanusia telah berhasil diputus (Heymann et al., 2013).

KONDISI SAAT INI

Saat ini, belum terdapat laporan yang merujuk pada insiden bioaerosol yang menyebabkan kecelakaan massal. Dengan berbagai kasus penyebaran penyakit dalam bentuk aerosol seperti SARS, flu burung, dan flu babi, memicu perkembangan teknologi untuk mencegah dan menangani penyebaran penyakit melalui udara.

Selama bertahun-tahun, berbagai jenis teknologi, termasuk penanganan termal, filtrasi nanomaterial, dan iradiasi gelombang

mikro, telah dikembangkan dalam rangka mengontrol airborne agen biologis.

(4)

pengomposan, sehingga dapat dilakukan pengontrolan yang lebih efektif terhadap spesies jamur dibanding spesies bakteri sebagai akibat dari perbedaan uuran aerodinamis (Sanchez-Monedero et al., 2003 dalam Xu et al., 2011).

Saat ini, salah satu hal yang menjadi tantangan yang cukup besar dalam

penanganan bioaerosol adalah deteksi bioaerosol secara real-time. Berbagai teknologi telah diteliti untuk memungkinkan deteksi secara real-time terhadap agen biologis di udara, di antaranya bioaerosol mass spectrometry (BMS), surface-enhanced Raman spectroscopy (SERS), dan flow cytometry (FCM) dengan fluorochrome. Selain teknologi tersebut, teknologi berdasarkan DNA, listrik, dan nanosensor pun ikut berkembang sebagai platform yang menjanjikan untuk deteksi bioaerosol secara

real-time (Xu et al., 2011).

Selain pencegahan penyakit yang terbentuk secara alami, dunia juga fokus terhadap pencegahan pembentukan senjata biologis oleh berbagai pihak, yang umumnya berbentuk bioaerosol. Pasca runtuhnya Uni

Soviet, Amerika Serikat dan beberapa negara lain mengambil langkah pencegahan

pengembangan senjata biologis oleh negara-negara pecahan Uni Soviet, terutama Rusia. Pencegahan ini memiliki tiga tujuan dasar, yaitu mengakhiri penelitian yang secara langsung melayani program senjata biologis, peningkatan transparansi, dan dukungan

kader peneliti senjata biologis Rusia sehingga mereka dapat meneruskan bekerja di Rusia dan tidak beremigrasi ke negara yang mengembangkan senjata biologis. Upaya lain dalam pencegahan pengembangan senjata biologis juga dipelopori oleh Konvensi Senjata Biologis dan Beracun (Biological and

Toxin Weapons Convention), yang diratifikasi oleh 85 negara, termasuk Amerika Serikat dan Uni Soviet, pada 26 Maret 1975. Amerika Serikat sendiri menghentikan program senjata biologisnya setelah Presiden Richard Nixon menandatangani perintah eksekutif mengenai hal tersebut pada 25 November 1969, sehingga seluruh stok agen biologis yang dipersenjatai dimusnahkan antara tahun 1969 hingga 1971 (Leitenberg & Zilinskas, 2012).

TREN DI MASA DEPAN

Seiring berjalannya waktu, sebagai makhluk hidup, agen biologis seperti virus dan bakteri akan terus berevolusi, dan menghasilkan strain baru dari virus atau bakteri tersebut. Seperti disampaikan oleh Direktur Jenderal WHO, Dr. Lee Jong Wook pada November 2005, “Hanya masalah waktu sebelum virus flu burung memiliki kemampuan untuk tertransmisi dari manusia

(5)

lebih berbahaya daripada sebelumnya, dan berpotensi menyebabkan musibah yang lebih besar bagi umat manusia.

Namun, berbagai perkembangan teknologi terkait pencegahan dan penanganan penyebaran aerosol memberikan harapan untuk kesehatan dunia yang lebih baik. Walaupun kemajuan signifikan di bidang

bioaerosol telah dilakukan sejak akhir 1800-an, dibandingkan dengan bidang lain—seperti kimia atmosfer—masih perlu dipelajari lebih lanjut. Dengan peningkatan tantangan lingkungan, ilmuwan bioaerosol perlu berkolaborasi dengan bidang lain untuk memecahkan permasalahan bioaerosol di dunia nyata (Koh & Sng, 2010).

KESIMPULAN

Paparan bioaerosol merupakan hal yang berbahaya bagi manusia, dan seringkali menyebabkan kematian dalam skala besar. Paparan yang diakibatkan oleh berbagai insiden terkait bioaerosol yang terjadi dalam sejarah manusia banyak yang disebabkan oleh

kelalaian manusia, terutama dalam pekerjaan yang terkait dengan penggunaan bioaerosol seperti pekerjaan di bidang kesehatan, bioindustri, dan laboratorium. Dalam hal ini, selain pengembangan teknologi pencegahan dan penanganan terhadap bioaerosol, peningkatan kewaspadaan pekerja juga diperlukan melalui pelatihan-pelatihan terkait

keselamatan kerja untuk mengurangi risiko terjadinya insiden yang menyebabkan penyebaran bioaerosol ke udara terbuka. Di samping itu, pencegahan dan penanganan terhadap penyebaran bioaerosol memerlukan kerjasama dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, bidang kesehatan, pelaku industri, hingga masyarakat umum. Berbagai perkembangan teknologi di bidang kesehatan dapat membantu dalam deteksi dini dan pencegahan insiden yang disebabkan oleh bioaerosol, dengan melalui kolaborasi dari berbagai bidang seperti sains dan teknik, sehingga umat manusia dapat tercegah dari musibah besar yang terkait dengan bioaerosol.

REFERENSI

Corrao, C. R. N., Mazzotta, A., La Torre, G., & De Giusti, M. (2012). Biological Risk and

Occupational Health. Industrial Health, 50(4), 326-337.

Douglas, P., Bakolis, I., Fecht, D., Pearson, C., Sanchez, M. L., Kinnersley, R., de Hoogh, K., & Hansell, A. L. (2016). Respiratory hospital admission risk near large composting facilities. International Journal of Hygiene and Environmental Health, 219(4), 372-379. Fasanella, A., Galante, D., Garofolo, G., & Jones, M. H. (2010). Anthrax undervalued

(6)

Heymann, D. L., Mackenzie, J. S., & Peiris, M. (2013). SARS legacy: outbreak reporting is

expected and respected. The Lancet, 381(9869), 779-781.

Koh, D., & Sng, J. (2010). Lessons from the past: perspectives on severe acute respiratory

syndrome. Asia Pacific Journal of Public Health, 22(3_suppl), 132S-136S.

Leitenberg, M., & Zilinskas, R. A. (2012). The Soviet Biological Weapons Program: A History. London: Harvard University Press.

Macher, J. M., Douwes, J., Prezant, B., & Reponen, T. (2013). Bioaerosol. Dalam L. S. Ruzer, & N. N. Harley (Ed), Aerosol Handbook: Measurement, Dosimetry, and Health Effects,

edisi kedua (hal. 285-343). New York: CRC Press.

Phillips, B. (2011). Atmospheric Conditions Surrounding the Anthrax Outbreak of Sverdlovsk, Russia, 1979.

Punsmann, S., Liebers, V., Stubel, H., Brüning, T., & Raulf-Heimsoth, M. (2013). Determination of inflammatory responses to Aspergillus versicolor and endotoxin with human cryo-preserved blood as suitable tool. International Journal of Hygiene and Environmental Health, 216(4), 402-407.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai acuan perencanaan sumur resapan pada wilayah studi digunakan debit rencana kala ulang 10 tahun dengan menggunakan tiga tipe sumur resapan.. Kata Kunci :

Mochammad Firdaus terjadinya follow trend ketika MA 18,28 TF kecil mengejar ke TF yg lebih besar,dan disitu kita ambil target sesuai MA masing2 TF jaraknya,,,basanya untuk m1

Fatmayati (2011) juga melaporkan penggunaan tanah pemucat bekas yang direaktivasi ulang dengan asam kuat dan pemanasan dapat digunakan kembali sebagai agen pemucat

pembahasan dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar PAI siswa kelas VB SD Negeri 37 Pekanbaru Tahun 2018

Skripsi yang berjudul “Penerapan Metode Kooperatif Tipe Jigsaw untuk Meningkatkan Prestasi Belajar pada Pokok Bahasan Jenis Karangan Siswa Kelas XI SMK YP Colomadu

PERATURAN BUPATI TENTANG PENETAPAN, PENEGASAN DAN PENGESAHAN BATAS D E S A SUKA MAJU KECAMATAN PUTUSSIBAU SELATAN.. Daerah adalah Kabupaten Kapuas Hulu. Pemerintahan Daerah

Berdasarkan pada hasil pengembangan dan uji coba maka, diperoleh simpulan bahwa media ajar berbasis multimedia audio visual pada pokok bahasan tekanan di SMP

beda durasi antara kelompok yang diberi bu- buk cangkang telur ayam kampung dengan durasi perdarahan pada kelompok tana perla- kuan diperoleh p-value sebesar 0,000 <