• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERCIK. Media Informasi Air Mnum dan Pen (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERCIK. Media Informasi Air Mnum dan Pen (1)"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

adalah cara super murah dan efektif untuk

mengurangi risiko penularan berbagai

penyakit, termasuk diare, fl u burung, ISPA,

Hepatitis A dan cacingan

Foto: dok. Forkami

(3)

DARI REDAKSI

Untuk kesekian kalinya PERCIK diterbitkan dalam edisi khusus. Kali ini, kami mencoba mengupas tuntas tentang program pembangunan sanitasi yang tengah dilaksanakan Pemerintah di sejumlah daerah di Indonesia. Program tersebut adalan Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman atau lebih sering disingkat sebagai PPSP.

Seperti halnya edisi khusus lainnya, PERCIK menampilkan berbagai sisi dari topik utamanya. Baik dari sisi perencanaan, latar belakang, target, sasaran, cerita lapangan, hingga pendapat para pemangku kepentingan. Penerbitan edisi khusus ini dibantu oleh DHV B.V, MLD dan Haskoning.

Wacana tentang percepatan pembangunan sanitasi pertama kali bergulir secara resmi saat pembukaan Konferensi Sanitasi Nasional oleh Wakil Presiden Republik Indonesia pada tanggal 8 Desember 2009. Kemudian, wacana ini diterjemahkan dan disepakati sebagai program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) oleh Tim Pengarah Pembangunan Air Minum dan Sanitasi. Rancangan PPSP sendiri dirumuskan oleh Tim Teknis Pembangunan Sanitasi dan selanjutnya disepakati untuk dilaksanakan oleh 4 Kementerian: Bappenas, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Dalam Negeri.

Satu hal yang membedakan PPSP dari program sanitasi sebelumnya adalah menjadikan perencanaan pembangunan yang lebih mendalam sebagai pilar yang amat penting. Sejumlah 330 Pemerintah Kabupaten dan Kota didorong untuk menyusun suatu perencanaan strategis dalam pembangunan sanitasinya. Perencanaan strategis yang dikenal sebagai Strategi Sanitasi Kabupaten/Kota (SSK) ini harus disusun sendiri oleh pemerintahnya dengan prinsip-prinsip:bersifat multisektor; komprehensif dan mencakup seluruh kota; berdasarkan data yang valid melalui pemetaan kondisi sanitasi; serta merupakan penggabungan antara pendekatan top-down dan bottom-up.

Namun demikian, PPSP bukan hanya tentang perencanaan yang strategis dalam pembangunan sanitasi. Setelah pemerintah daerah memiliki rencana strategis, Pemerintah pusat akan memfasilitasi penterjemahan dari rencana strategis menjadi berupa Memorandum Program agar dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan prioritas yang disepakati oleh pemerintah setempat.

Mendorong sejumlah ratusan kabupaten/kota untuk menyusun SSK tentulah bukan pekerjaan mudah. Salah satu strategi yang digunakan adalah dengan mengadopsi pembelajaran di masa lalu yang mendorong pemerintah daerah untuk membentuk forum koordinasi yang terdiri dari seluruh pemangku kepentingan terkait. Forum koordinasi ini lebih dikenal sebagai Kelompok Kerja (Pokja) AMPL dan di sebagian daerah dikenal pula sebagai Pokja Sanitasi.

Berbagai fakta, wawancara, dan pembelajaran yang kami coba tampilkan dalam PERCIK edisi khusus ini diharapkan dapat melengkapi informasi PPSP di atas. Bagaimana kebijakan yang disepakati di tingkat pusat, bagaimana pemerintah daerah dan provinsi menyikapi pengarus utamaan pembangunan sanitasi, serta tak ketinggalan seluk beluk peran para fasilitator yang bertugas mengawal pelaksanaan PPSP di lapangan.

Akhir kata, semoga pembaca memperoleh informasi yang lengkap dan lugas tentang PPSP melalui PERCIK edisi kali ini. Lebih dari itu, kami berharap agar berbagai informasi yang kami tampilkan dapat memperkuat komitmen kita bersama untuk membangun sanitasi yang lebih baik bagi masyarakat. (redaksi/Oswar Mungkasa)

D

ARI RED

(4)

Pembangunan sanitasi dengan paradigma baru diharapkan mampu mengejar ketertinggalan sektor ini dibanding sektor lainnya.

04

Terobosan Pembangunan

Sanitasi Indonesia

Diterbitkan oleh Kelompok

Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) bekerja sama dengan TTPS, DHV B.V, MLD,

Haskoning

Penanggung Jawab

Nugroho Tri Utomo

Pemimpin Redaksi

Oswar Mungkasa

Tim Penyusun Edisi khusus kali ini

Andre Kuncoroyekti Alwis Rustam Bachtaruddin Gunawan

Dhanang Tri W. Eko Budi H. Fanny Putri Hony Irawan Iman Utomo Mujiyanto,

Nissa Cita Nur Aisyah Yudi Wahyudi

Design/ilustrator:

PT Qipra Galang Kualita

Alamat Redaksi:

Jl RP Soeroso No.50 Menteng, Jakarta Pusat 10350 Telp./Fax 021-3190 4113

Sumber foto

(5)

14

40

42

46

48

17

20

Sanitasi Baik, Anggaran Kesehatan Turun

Pembangunan Sanitasi

Harus Komprehensif

Mereka Bicara

Sanitasi

Usaha Daerah

Mengangkat Isu

Sanitasi

Ketika Angka

Berbicara Banyak

Penguatan Kelembagaan Sanitasi

Mengintegrasikan Sanitasi ke Program Eksekutif

Payakumbuh adalah satu dari sedikit kota di Indonesia yang serius menangani isu-isu sanitasi. Belum genap tiga tahun, Pemkot Payakumbuh berhasil melaksanakan sejumlah program sanitasi dan memberi dampak positif pada masyarakat.

Cerita sukses dari Blitar dimana Pemkot tidak menemui kesulitan ketika memfasilitasi dan mereplikasi terbentuknya Pokja hingga ke tingkat kecamatan dan kelurahan.

‘Kepiawaian’ Kelompok Kerja (Pokja) Sanitasi Kota Tegal, Jawa Tengah, bisa menjadi contoh betapa sanitasi bisa menembus eksekutif dan legislatif.

30

28

32

Tantangan Kita, Menjaga Komitmen Bersama

Sanitasi Harus Terus Dibicarakan dan Konkret

Pembangunan Sanitasi Harus Dipercepat Kementerian Kesehatan

merupakan salah satu institusi yang memiliki peranan penting dalam hal upaya advokasi, edukasi dan pemberdayaan bagi aspek komunikasi kebijakan penyehatan lingkungan, termasuk sektor sanitasi.

Kementerian Pekerjaan Umum sebagai salah satu instansi yang berperan dalam menyediakan infrastruktur bagi masyarakat tak ingin mengulang kesalahan masa lalu yang hanya memikirkan target fisiknya saja tanpa memperhitungkan faktor lainnya.

Setiap hari diperkirakan sebanyak 14.000 ton tinja dan 176.000m3 urine terbuang ke badan air, tanah, danau dan pantai yang menyebabkan 75 persen sungai tercemar berat dan 70 persen air tanah di perkotaan tercemar bakteri tinja.

(6)
(7)

Buruknya kondisi sanitasi (baca Ketika Angka Bicara Banyak) bukan saja disebabkan terbatasnya akses penduduk dan kualitas fasilitas sanitasi, tetapi juga masih rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang isu-isu sanitasi dan kesehatan.

Tentu kondisi tersebut tak bisa dibiarkan. Perlu ada lompatan pembangunan sanitasi. Caranya, sanitasi harus menjadi salah satu prioritas pembangunan. Hal itu membutuhkan komitmen dan dukungan semua pihak di semua level terutama para penentu kebijakan. Nah, Program Nasional Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) menjadi jembatan untuk mewujudkan impian pembangunan sanitasi yang lebih baik ke depan.

Pem ban gun an san itasi den gan paradigm a baru

diharapkan m am pu m en gejar ketertin ggalan sektor in i

diban din g sektor lain n ya.

TEROBOSAN PEMBANGUNAN

SANITASI NASIONAL

Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP)

ok

. T

TPS

(8)

6

majalah percik november 2010

K

ebijakan pembangunan sanitasi era sebelumnya tak layak lagi dipertahankan. Potret buram harus segera dihilangkan. Kegagalan demi kegagalan menjadi bahan pembelajaran. Pembangunan sanitasi butuh terobosan dan lompatan. Semua itu hanya bisa terwujud bila sanitasi telah menjadi prioritas pembangunan dan urusan bersama: pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, negara donor, dan masyarakat.

Berdasarkan pembelajaran sebelumnya, pembangunan sanitasi sukses bila ada perencanaan dan strategi yang tepat. Bukan sekadar persoalan anggaran. Perencanaan dan strategi tersebut mencakup seluruh aspek sanitasi ditambah koordinasi dan sinergi antarpihak-pihak yang berkepentingan. Komitmen, strategi, koordinasi, dan sinergi menjadi penggerak lahirnya lompatan pembangunan sanitasi. Inilah paradigma baru pembangunan sanitasi. TERUJI

Paradigma baru pembangunan sanitasi ini telah teruji. Ini dibuktikan dengan keberhasilan enam kota percontohan yang mengikuti program pembangunan sanitasi melalui Indonesia Sanitation Sector Development Program (ISSDP) pada tahun 2006 hingga 2008. Denpasar, Blitar, Surakarta, Banjarmasin, Payakumbuh, dan Jambi menjadi laboratorium pertama penyusunan strategi sanitasi kota. Perencanaan pembangunan sanitasi kota jangka menengah ini kemudian disebut sebagai Strategi Sanitasi Kota (SSK). SSK menjadi acuan pembangunan sanitasi kabupaten/kota selama lima

Pembangunan Tangki Septik Komunal

Foto: D

ok

. T

(9)

tahun ke depan bagi pemerintah kabupaten/kota. SSK mengikat para pemangku kepentingan untuk melaksanakannya.

Dalam paradigma baru ini posisi pemerintah pusat tidak lagi berada di depan. Pemerintah pusat hanya berfungsi memfasilitasi. Seluruh perencanaan sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.

Sukses dengan laboratorium pertama, model pembangunan sanitasi dilanjutkan dengan ISSDP tahap II 2007-2009. Enam kota baru menjadi peserta yakni Tegal, Pekalongan, Batu, Malang, Bukittinggi, dan Kediri. Berbagai kekurangan sebelumnya dievaluasi dan dimatangkan pada tahap ini. Pemerintah provinsi dilibatkan lebih aktif. Dokumen SSK disusun

lebih sederhana dan mudah dipahami.

Banyak pihak mulai melihat keberhasilan terobosan ini. Sejumlah kota mereplikasikan pendekatan baru tersebut. Kota-kota itu difasilitasi oleh mitra pemerintah di antaranya Enviromental Service Program (ESP). PPSP

Keberhasilan kota-kota ISSDP menyusun SSK menjadi landasan bagi pengembangan sanitasi di seluruh Indonesia. Tim Teknis Pembangunan Sanitasi (TTPS) kemudian mempromosikan SSK ini sebagai cetak biru pembangunan sanitasi komprehensif di kawasan perkotaan.

Sebagai implementasinya, pemerintah kemudian meluncurkan Program Nasional Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) pada saat Konferensi Sanitasi Nasional ke-2 di Jakarta awal Desember 2009.

PPSP pada dasarnya adalah sebuah roadmap pembangunan sanitasi di Indonesia. Roadmap ini akan diterapkan secara bertahap di 330 kabupaten/kota di seluruh Indonesia mulai 2010 hingga 2014. Daerah tersebut dinilai rawan masalah sanitasi.

Di samping untuk mengejar ketertinggalan dari sektor-sektor lain, roadmap sanitasi juga dimaksudkan untuk mendukung upaya Pemerintah Indonesia memenuhi tujuan-tujuan Millennium Development Goals (MDGs). Khususnya yang terkait dengan Butir 7 Target ke-10 MDG, yakni “mengurangi hingga setengahnya jumlah penduduk yang tidak punya akses berkelanjutan pada air yang aman diminum dan sanitasi yang layak pada tahun 2015.” Target ini bisa dipenuhi secara kuantitif, tetapi secara kualitatif layanan yang tersedia masih belum memadai.

PPSP atau roadmap sanitasi

(10)

8

majalah percik november 2010 EHRA adalah sebuah survei partisipatif di tingkat kota yang bertujuan untuk mengetahui kondisi sarana dan prasarana sanitasi, kesehatan/higienitas, serta perilaku masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan program sanitasi dan advokasi di tingkat kota hingga kelurahan.

Studi EHRA di antaranya untuk mengetahui: 1. Sumber air (minum, cuci, mandi,

kelangkaan air)

2. Perilaku cuci tangan pakai sabun 3. Pembuangan sampah (cara utama,

frekuensi pengangkutan, pemilahan)

4. Jamban dan perilaku buang air besar (BAB); Pembuangan kotoran anak 5. Kondisi jalan dan drainase serta

pengalaman banjir

Metode EHRA mencakup kegiatan seperti: pengumpulan data, sampling, dan analisis. Data dikumpulkan dengan wawancara dan pengamatan/observasi. Sedangkan respondennya adalah ibu (perempuan menikah atau janda) berusia antara 18 – 60 tahun. Pemilihan ibu berdasarkan urutan/ tabel prioritas sebagai berikut: (1) kepala rumah tangga (orang tua tunggal/janda);

(2) istri kepala rumah tangga, (3) anak rumah tangga, dan (4) adik/kakak kepala rumah tangga.

Di tingkat kabupaten/kota, data primer yang dikumpulkan riset EHRA dimanfaatkan sebagai salah satu bahan penyusunan Buku Putih Sanitasi Kota. Selain untuk merencanakan program pengembangan sanitasi di kota, data EHRA pun dimanfaatkan sebagai tolak ukur keberhasilan program sanitasi di tingkat kota.

EHRA

STRATEGI SANITASI KOTA SSK

Strategi Sanitasi Kota (SSK) merupakan rencana pembangunan sanitasi jangka menengah kabupaten/kota yang bersifat komprehensif dan terintegrasi. Di dalamnya terkandung visi, misi, tujuan, dan sasaran pembangunan sanitasi, zona dan sistem layanan sanitasi, isu-isu strategis dalam pengelolaan sanitasi, strategi pembangunan sanitasi, serta program dan kegiatan jangka menengah dan tahunan.

SSK berguna sebagai acuan pembagian peran antarpelaku pembangunan sanitasi sekaligus sebagai kendali bagi realisasi pembangunan sanitasi yang berbasis kinerja. Keberadaan SSK menjadi gambaran kebutuhan pendanaan sanitasi tahunan

dan jangka menengah.

Penyusunan SSK menggunakan prinsip kerja skala kota dan multisektor; dari, oleh dan untuk Pokja; sinkronisasi perencanaan

top-down dan bottom-up; dan berdasarkan data empiris.

Sebelum SSK tersusun, kabupaten/kota harus terlebih dahulu memiliki gambaran karakteristik dan kondisi sanitasi, serta prioritas/arah pengembangan kabupaten/ kota dan masyarakat. Gambaran nyata kondisi sanitasi ini dituangkan dalam Buku Putih Sanitasi.

merupakan muara berbagai aktivitas terkait pembangunan sektor sanitasi yang berlangsung beberapa tahun terakhir. Dimulai dengan Konferensi Sanitasi Nasional, November 2007, yang merintis kesepakatan langkah-langkah penting pembangunan sanitasi seiring pencapaian MDGs, penyelenggaraan International Year of Sanitation, 2008, yang mampu meningkatkan kesadaran dan komitmen pemerintah pusat dan daerah, dan Konvensi Strategi Sanitasi Perkotaan, April 2009, yang berhasil mengidentifi kasi isu-isu terkait sektor sanitasi dan memperkenalkan pendekatan strategi sanitasi kota yang lebih praktis.

PPSP diarahkan pada upaya memenuhi tiga sasaran, yakni:  Menghentikan perilaku buang air

besar sembarangan (BABS) pada tahun 2014 di perkotaan dan perdesaan.

 Pengurangan timbunan sampah dari sumbernya dan penanganan sampah yang ramah lingkungan  Pengurangan genangan di 100

kabupaten/kota seluas 22.500 hektar.

(11)

PROGRAM KERJA PPSP diiplementasikan dengan mendorong pemerintah daerah menyusun SSK kabupaten/kota mereka masing-masing. Hanya dengan SSK yang komprehensif, berskala kota, menggabungkan pendekatan top-down dan bottom-up, berdasarkan data aktual, pembangunan sektor sanitasi yang berkelanjutan bisa dijamin. SSK diharapkan menjadi cetak biru perencanaan pembangunan sektor sanitasi di kabupaten/kota.

Perencanaan program PPSP berlangsung sejak September 2009. Ini diawali dengan membangun aspek

PPSP merupakan program yang melibatkan semua jenjang pemerintahan. Jalinan kerja sama antarjenjang pemerintah menjadi kunci keberhasilan program ini. Secara implementasi, program ini berlangsung di tingkat kabupaten/kota. Namun pemerintah provinsi pun memiliki peran yang tak kalah penting.

Pemerintah provinsi mengemban tanggung jawab sebagai berikut: 1. Mengawal pelaksanaan PPSP di

kota-kota pada tahun 2010 dalam: - Memastikan tersusunnya SSK secara

tepat waktu dan sesuai standar; memastikan prosesnya berjalan lancar; dan mengevaluasi prosesnya.

- Mengemban tanggung jawab menyelesaikan kelengkapan pokja (di provinsi dan kabupaten/kota); dan mengadvokasi kabupaten/ kota untuk segera melengkapi/ menyiapkan kelengkapan pokja jika masih ada yang belum lengkap.

- Mengawal penyelesaian Draft Buku Putih hingga waktu yang disepakati.

- Mengawal penyusunan Draft SSK yang harus diselesaikan pada waktu yang ditentukan.

2. Menyiapkan kabupaten/kota yang akan diikutsertakan dalam program PPSP tahun berikutnya.

- Provinsi memastikan kabupaten/ kota yang akan bergabung dalam PPSP yakni kabupaten/kota yang menunjukkan komitmennya dengan jelas melalui diterbitkannya SK Walikota, terbentuknya kelembagaan Pokja, tersedianya rencana kerja, dan anggaran.

3. Khusus bagi provinsi yang sebelumnya sudah terlibat dalam mendampingi kabupaten/kota dalam menyusun SSK, provinsi bertanggung jawab memberikan bimbingan pada kabupaten/kota dalam penyusunan Memorandum Program.

Selain tanggung jawab di atas, sebagaimana pemerintah pusat, pemerintah provinsi memiliki tanggung jawab menyusun roadmap PPSP di tingkat provinsi. Roadmap ini menjadi acuan bagi pembangunan sanitasi di tingkat provinsi.

PERAN PROVINSI

Tabel 1: Tahapan PPSP 2010 - 2014

Tahapan Jumlah Kabupaten/Kota Sasaran Peran dan

Tanggungjawab

2009 2010 2011 2012 2013 2014

Kampanye, Edukasi, Advokasi dan

Pendampingan 41 49 62 72 82 (100)

Pusat, Provonsi dan Donor

Pengembangan Kelembagaan dan

Peraturan 41 49 62 72 82 (100) Pusat, Provinsi

Penyusunan Rencana Strategis

(SSK) 24 41 49 62 72 82 Kabupaten/Kota

Penyusunan Memorandum

Program 3 21 35 45 56 65 Pusat

Implementasi (akumulasi dan

dalam proses) - 3 24 59 104 160

Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota

Pemantauan, Pembimbingan,

Evaluasi dan Pembinaan 24 41 49 62 72 82 Pusat, Provinsi

(100) dalam tanda kurung menunjukan 100 kota sasaran berikutnya diluar 330 kota target PPSP.

Hanya dengan SSK

yang komprehensif,

berskala kota,

menggabungkan

pendekatan

top-down

dan

bottom-up

, berdasarkan data

aktual, pembangunan

sektor sanitasi yang

berkelanjutan bisa

(12)

10

majalah percik november 2010 politis, karena program ini merupakan satu kesatuan dalam rumusan kebijakan dan strategi pembangunan sanitasi sebagaimana tercantum dalam RPJMN; aspek administratif yakni bagaimana PPSP menjadi prioritas daerah; dan aspek pendanaan yaitu bagaimana PPSP mendapatkan dukungan dana pemerintah pusat, daerah, dan sumber-sumber lain.

Tahap berikutnya, 2010 – 2014, berupa pelaksanaan program PPSP seperti penyusunan SSK, pemantauan, bimbingan, dan evaluasi, penyusunan memorandum program, dan implementasi. Sebelum itu TTPS menjaring kabupaten/kota yang memenuhi persyaratan dan menunjukkan komitmennya untuk membangun sanitasinya.

Hingga 2014, sasaran PPSP adalah 330 kota/perkotaan rawan kondisi sanitasi. Sebanyak 24 kota di antaranya sudah memiliki SSK. Berikut adalah komposisi kota dengan kondisi rawan sanitasi:

Tahun 2010 41 kabupaten/kota yang

menyusun SSK. Bersamaan dengan itu pemerintah menyiapkan 49 kabupaten/kota lainnya yang akan mengikuti program ini pada 2011. Tahun berikutnya, pemerintah menyiapkan kota lainnya. Demikian seterusnya. Pada 2014 nanti diharapkan ada 330 kabupaten/kota yang melaksanakan program ini. IMPLEMENTASI

Implementasi PPSP berlangsung dalam satu siklus penuh yang terbagi dalam enam tahap, yakni:

 Kampanye, Edukasi, Advokasi dan Pendampingan;

 Pengembangan Kelembagaan dan Peraturan;

 Penyusunan Rencana Strategis (SSK);

 Penyiapan Memorandum Program;

MEMORANDUM PROGRAM

Memorandum Program merupakan sebuah dokumen pemrograman dan perencanaan berkala dan bisa diterima secara hukum. Memorandum Program ini penting guna mempertajam Rencana Program dan Investsi Jangka Menengah (RPIJM) khususnya sektor sanitasi.

Di dalamnya tertuang berbagai informasi antara lain desain dan spesifi kasi infrastruktur, manajemen dan operasi fasilitas, isu terkait masyarakat, pembiayaan dan komitmen pendanaan. Memorandum Program ini menjadi dasar alokasi dana dan patokan untuk memulai konstruksi dan tindakan non teknis terkait.

Prioritas investasi dalam Memorandum Program didasarkan pada Strategi Sanitasi Kota (SSK) dengan tetap mengacu pada RPIJM yang sudah ada. Memorandum

Program akan menjadi landasan kuat untuk mengajukan anggaran kepada DPR, DPRD Provinsi dan kabupaten/kota.

Sebelum ada Memorandum Program harus ada komitmen pendanaan yang kuat untuk pelaksanaan studi dan/atau desain teknis rinci tambahan yang diperlukan; serta komitmen pendanaan yang kuat dan persetujuan resmi untuk pelaksanaan intervensi struktural dan non struktural.

Saat ini pemerintah pusat sedang menyusun apa saja yang harus dicantumkan dalam Memorandum program, bagaimana cara penyusunannya, status hukum dan operasionalnya serta beberapa hal yang perlu mendapat kesepakatan.

(13)

 Pelaksanaan/implementasi;  Pemantauan, Pembimbingan,

Evaluasi, dan Pembinaan. Pada tahap pertama, pemerintah pusat dan provinsi menggelar kampanye, edukasi, dan advokasi kepada pemerintah kabupaten/ kota. Tahap selanjutnya, pemerintah pusat dan provinsi menyiapkan pengembangan kelembagaan dan peraturan. Ini penting, tanpa payung hukum dan kelembagaan yang tepat, program ini akan gagal.

Di tahap ketiga, kelompok kerja sanitasi yang dibentuk di kabupaten/kota menyusun rencana Strategi Sanitasi Kota (SSK). Proses penyusunan SSK ini sepenuhnya ada di tangan Pokja dan tidak boleh dialihkan ke pihak ketiga. Untuk proses ini, pemerintah pusat menyediakan fasilitator yang senantiasa berada di daerah. Pada tahap keempat, pemerintah kabupaten/kota melalui pokja sanitasi menyusun Memorandum Program. Pemerintah pusat memfasilitasi proses ini sekaligus memberikan bantuan teknis menyangkut kegiatan pembangunan yang memerlukan dokumen pelengkap.

Pada tahap kelima, semua pemangku kepentingan di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota serta donor secara bersama-sama melaksanakan rencana yang tertuang dalam Memorandum Program. Dan pada tahap terakhir, pemerintah pusat dan provinsi melaksanakan pemantauan, pembimbingan, evaluasi, dan pembinaan secara terus menerus. ORGANISASI

Program yang besar dan berkesinambungan itu butuh pengorganisasian yang mantap. Di bawah supervisi Tim Pengarah, TTPS membentuk Project Management Unit/PMU dan tiga Project

Tim Teknis Pembangunan Sanitasi (TTPS) adalah wadah adhoc inter-Kementerian yang bertugas mengoordinasikan kegiatan-kegiatan pembangunan sanitasi serta merumuskan arah kebijakan strategi pembangunan sanitasi nasional .

TTPS beranggotakan perwakilan dari Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Negara Perumahan Rakyat, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementrian Lingkungan Hidup.

Dalam Program PPSP, TTPS bertugas mengoordinasikan Program Management Unit (PMU) PPSP. PMU itu sendiri merupakan unit pengelola program yang terdiri dari beberapa sektor dan instansi.

PMU bertugas melakukan sinkronisasi dan koordinasi pembangunan sanitasi, baik dalam perencanaan, pemrograman maupun koordinasi. Rincian tugas PMU PPSP yakni:

a. merencanakan, mengendalikan dan mengoordinasikan pelaksanaan program;

b. mengupayakan solusi dari isu strategis/ permasalahan yang dihadapi; c. mengelola data dan informasi terkait

dengan PPSP;

d. mengembangkan sistem informasi PPSP;

e. berkoordinasi dengan donor pada tingkat implementasi pelaksanaan program PPSP;

f. berkomunikasi lintas departemen; g. memfasilitasi pengembangan Aliansi

Kabupaten Kota Peduli Sanitasi (AKKOPSI);

h. melaporkan secara berkala perkembangan hasil pelaksanaan tugas dan pencapaian hasil kepada Tim Pengarah;

i. melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Tim Pengarah;

Guna mendukung pelaksanaan PPSP baik di pusat maupun di daerah, Urban Sanitation Development Program

(USDP)/Program Pembangunan Sanitasi Perkotaan memberikan bantuan teknis. Program ini dibentuk atas kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda.

USDP melakukan dua pendekatan yakni: 1) panduan umum dan dukungan untuk PMU, PIU dan para konsultan, dengan fokus pada pembangunan kapasitas dan pelatihan serta alih pengetahuan, keterampilan, keahlian, dan pengalaman dari program ISSDP sebelumnya; 2) panduan khusus dan dukungan bagi pemerintah daerah serta para konsultan mereka terhadap enam tahapan PPSP.

Para konsultan USDP memfokuskan tugasnya pada pemberian panduan dan dukungan, pembangunan kapasitas dan pelatihan, serta penyusunan dan pendokumentasian metodologi, sistem dan prosedur baru, sebagai pendukung implementasi PPSP.

TTPS, PMU, DAN USDP

(14)

12

majalah percik november 2010 Implementation Unit/PIU. Sebagai PMU, TTPS bertanggung jawab mengoordinasikan pengelolaan, perencanaan, dan pemrograman PPSP.

PIU Advokasi—berkedudukan di Kementerian Kesehatan— bertanggung jawab mengoordinasikan kegiatan peningkatan kepedulian, kesadaran, dan penyiapan masyarakat. PIU Teknis—berkedudukan di Kementerian Pekerjaan Umum—bertanggung jawab untuk pelaksanaan kegiatan teknis dalam penyiapan rencana strategis, penyiapan memorandum proyek, dan pelaksanaan pembangunan. Sedangkan PIU Kelembagaan— berkedudukan di Kementerian Dalam Negeri—bertanggung jawab menangani kegiatan pemberdayaan pemerintah daerah dan kesiapan fasilitasi.

Struktur organisasi program PPSP tertera dalam bagan berikut:

MAU GABUNG PPSP?

Tidak sulit bergabung dengan Program PPSP. Asalkan kabupaten/kota memenuhi lima kriteria berikut.

1. Adanya komitmen kuat dari eksekutif, yaitu pimpinan daerah untuk menyusun SSK, membentuk dan mendukung pendanaan Pokja. 2. Cakupan sanitasi yang masih rendah

(% jumlah penduduk) 3. Angka kesakitan akibat sanitasi

buruk (kasus/10.000 penduduk) 4. Kepadatan penduduk (penduduk/

km2)

5. Persentasi penduduk miskin (terhadap penduduk perkotaan yang diusulkan)

Selain itu kabupaten/kota harus memenuhi empat kriteria tambahan yakni:

1. Kesiapan kabupaten/kota untuk membentuk Pokja

2. Kemampuan keuangan daerah yang rendah (% PAD terhadap APBD) 3. Fungsi strategis perkotaan yang

diusulkan (PKN, PKW)

4. Diutamakan kabupaten/kota yang menghadiri lokakarya penjaringan minat pada 1-3 September 2009.

Bila kabupaten/kota memenuhi persyaratan tersebut, pemerintah kabupaten/kota bisa mengikuti proses penjaringan di pusat. Namun sebelumnya provinsilah yang menyeleksi kabupaten/ kota mana yang berpeluang mengikuti penjaringan itu.

฀TTPS Pokja Bidang Advokasi & Kesehatan

฀TTPS Pokja Bidang Pemberdayaan dan Kerjasama Masyarakat

฀TTPS Pokja Bidang Teknis

฀TTPS Pokja Bidang Monitoring dan evaluasi Monev

฀TTPS Pokja Bidang Kelembagaan

฀TTPS Pokja Bidang Pendanaan

฀Perencanaan

฀Pemograman

฀Koordinasi

฀ Peningkatan kesadaran

฀ Keterlibatan masyarakat

฀Peyusunan SSK

฀Penyusunan Rencana Investasi

฀Pelaksanaan dan monev

฀Pembentukan Pokja

฀Peningkatan kapasitas

฀Pelatihan

฀Pengkaderan fasilitator t 1FOZJBQBOproject

(15)
(16)

14

majalah percik november 2010

S

anitasi adalah kebutuhan dasar masyarakat. Kondisi sanitasi yang buruk berdampak pada rendahnya derajat kesehatan masyarakat sehingga muncul berbagai penyakit yang berbasis sanitasi.

Sebaliknya sanitasi yang baik akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Lebih jauh lagi, kesejahteraan masyarakat akan ikut meningkat. Jumlah penderita penyakit akan turun. Pemerintah kabupaten/kota bisa menghemat anggaran di bidang kesehatan.

Kota Payakumbuh, Sumatera Barat membuktikan hal itu. Kota Payakumbuh termasuk sedikit kota di Indonesia yang serius menangani sanitasi perkotaan. Sanitasi telah menjadi landasan pembangunan kota. Tak sampai tiga tahun, sejumlah program sanitasi menunjukkan keberhasilan dan berdampak langsung kepada masyarakat.

Peningkatan investasi di sektor sanitasi berkorelasi positif dengan penghematan anggaran kesehatan.

KOTA PAYAKUMBUH

Ban y ak para pen gam bil kebijakan di

daerah m en gan ggap san itasi sebagai

isu tidak pen tin g. In i dibuktikan den gan

alokasi an ggaran y an g jum lahn y a

m in im . Sebagai dam pakn y a, san itasi

tertin ggal diban din gkan den gan sektor

lain n y a

.

g ya a sis

ng

n. .

ng

Sanitasi Baik,

Anggaran

Kesehatan

Turun

dera mun sani

Sebaliknya sanita

01

(17)

Tabel 2. Dukungan Dana Sanitasi (Rupiah)

TAHUN APBD SANITASI

2006 179.815.993.000 3.414.000.000

2007 266.368.938.398 7.893.000.000

2008 311.883.378.842 11.881.572.900

2009 350.956.000.000 18.659.000.000

Data anggaran Kota Payakumbuh menunjukkan, ada peningkatan penghematan anggaran kesehatan dari tahun ke tahun setelah program sanitasi berjalan (Tabel 1). “Dengan investasi sanitasi, masyarakat jadi lebih sehat. Anggaran bisa digunakan untuk kegiatan yang lain,” kata Kepala Dinas Kesehatan Payakumbuh dr Merry Yuliesday MARS.

Mulai 2006, perhatian Pemkot Payakumbuh terhadap sanitasi tergolong cukup besar. Alokasi anggaran sanitasi meningkat setiap tahunnya (Tabel 2). Kenaikan anggaran itu secara signifi kan menurunkan jumlah penyakit yang berbasis sanitasi. (Tabel 3)

Pemerintah Kota Payakumbuh secara serius membenahi WC/jamban, air bersih, dan sampah. Tak

tanggung-tanggung investasi sanitasi mencapai Rp 274 ribu per jiwa per tahun. Ini jauh dibandingkan dengan anggaran rata-rata secara nasional yang masih Rp 400 per jiwa per tahun.

BERAWAL DARI KOMITMEN Keberhasilan Kota Payakumbuh tidak datang begitu saja. Semua bermula dari kesadaran pimpinan kota yang didukung penuh para pejabat, legislatif, dan masyarakat. Walikota Payakumbuh Capt Josrizal Zain menyebutkan, sanitasi merupakan kebutuhan pokok dan pelayanan dasar pemerintah kepada masyarakat. “Mestinya ini diutamakan, bukan diabaikan seperti selama ini,” katanya. Fakta di lapangan menunjukkan, kebutuhan masyarakat berkisar mengenai air bersih, penanganan jamban, drainase, dan sampah.

Sebagai kota yang tergabung dalam program ISSP tahap I, kata Jos, Payakumbuh sangat terbantu dengan program tersebut. Pembangunan sanitasi menjadi lebih terarah dan terukur penanganannya. Kota Payakumbuh berhasil menyusun SSK (Strategi Sanitasi Kota). Menurutnya, SSK sangat komprehensif, terpadu, memiliki indikator yang jelas, dan

pemetaannya jelas untuk menangani masalah sanitasi. “SSK jauh ke depan, sudah bisa memotret Payakumbuh ini, inilah apa adanya, tidak ditutup-tutupi. Mungkin daerah-daerah lain ada yang malu menyampaikan kondisinya, tapi kita sampaikan apa adanya,” katanya.

Berdasarkan SSK itu, program sanitasi dimulai dari enam kelurahan. Tiga kelurahan di pusat kota dan tiga kelurahan di pinggir kota. Masyarakat

Tabel 3.Penyakit Berbasis Sanitasi

JENIS PENYAKIT 2004 (%) 2005 (%) 2006 (%) 2007 (%)

ISPA 36,8 39,5 30,8 30,2

Inf. Peny. Cerna 8,3 7,3 8,2 1,8

Infeksi Kulit 9,5 8,1 7,2 8,2

Diare 4,8 3,4 3,2 3,1

Total 59,4 58,3 49,4 43,3

Ta

bersih, dan sampah. Tak tanggung W J

TABEL 1. ANGGARAN JAMINAN KESEHATAN KOTA (JAMKESKO)

TAHUN PESERTA

2006 67.434 49.340 3.500.000.000 622.773.121 2007 67.434 57.667 1.368.400.000 810.634.476 2008 66.681 63.670 1.511.768.000 1.492.497.650 2009 67.381 36.148 1.761.038.404 1.162.804.050

(18)

16

majalah percik november 2010 difasilitasi untuk pembuatan WC secara komunal, penanganan sampah, dan penyediaan air bersih. Sementara itu, pemkot mendorong masyarakat yang biasa menggunakan ‘tabek’ atau kolam ikan, sungai dan parak (ladang) sebagai tempat buang air besar agar membuat WC sendiri. Bermodal cetakan yang dipinjamkan Dinas Kesehatan, warga bergotong-royong mencetak kloset

leher angsa. Program jambanisasi ini menjadikan tiga kelurahan di kecamatan Payakumbuh Selatan sudah dicanangkan bebas buang air sembarangan. Jumlah kelurahan ini terus bertambah tahun ini. Selain itu, pemkot mengeluarkan kebijakan untuk menambah jumlah WC di sekolah. Rasio WC sekolah dan murid yang biasanya 1: 500, kini di SD sudah 1: 30. Sedangkan di SLTP 1:

40-50 dan SLTA 1: 50. Payakumbuh bertekad akan terus meningkatkan jumlah WC sekolah hingga semuanya 1: 30.

Memang belum semua masalah sanitasi tertangani. Pemkot Payakumbuh masih harus berjuang keras membangun Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Tahun ini TPA yang dikelola secara bersama dengan beberapa pemerintah daerah di sekitarnya akan segera beroperasi. Di atas tanah seluas 17,5 hektar itu, TPA ini akan memproses sampah dengan sistem yang benar.

Namun bukan berarti masalah sampah dibiarkan sebelum TPA beroperasi. Sejak tiga tahun yang lalu pengolahan sampah organik berjalan. Sampah-sampah organik dari pasar diolah menjadi pupuk organik. Hasilnya digunakan sebagai pupuk taman kota. Sampah per kelurahan juga diolah di masing-masing kelurahan.

“Sekarang Payakumbuh bahkan kekurangan sampah untuk diolah. Ke depan, kami berencana akan menjadikan sampah sebagai pendapatan asli daerah (PAD) kota dengan mengolahnya menjadi pupuk, jadi kami menciptakan ancaman menjadi peluang (oppurtunity),” ujar Josrizal. Yang pasti, program sanitasi sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat dan pemerintah daerah. “Sanitasi bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat,” katanya.

majalah percik november 2010

aka

(19)

02

Partisipasi masyarakat Kota Blitar dalam pembangunan sektor sanitasi cukup tinggi. Terbukti, Kota Blitar mampu menjadi salah satu daerah yang terdepan dalam menghasilkan kebijakan sanitasi berbasis partisipasi masyarakat. Kini telah muncul kesadaran pola hidup bersih dan sehat (PHBS). Kota ini menjadi sasaran studi banding pemerintah kabupaten/kota lain dalam penguatan kelembagaan.

Masuknya Kota Blitar dalam Program Pengembangan Sektor Sanitasi Indonesia (ISSDP) tahap I menjadikan kapasitas kelembagaan sanitasi kian kuat. Pokja sanitasi kota berhasil meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat miskin melalui pembangunan sanitasi perkotaan.

Dalam rangka itu pokja kota membuat kebijakan dasar yakni:  Mengarusutamakan pembangunan sanitasi dalam pelaksanaan

pembangunan daerah.

 Melembagakan pembangunan sanitasi dalam manajemen pembangunan daerah.

 Menyinergikan pelaksanaannya dengan penerapan Gerakan Perang Melawan Kemiskinan (GPMK) Kota Blitar.

 Memperluas cakupan program, pelaku, sasaran dan wilayah pembangunan sanitasi

KOTA BLITAR

Penguatan

Kelembagaan

Sanitasi

di Kecamatan

dan Kelurahan

(20)

18

majalah percik november 2010 Tahun 2008, pokja telah

melaksanakan implementasi Renstra Sanitasi pada keluarga miskin di sembilan kelurahan terutama dua kelurahan yang merupakan daerah merah (risiko tinggi) dengan melibatkan 20 KSM. Wujudnya pembangunan jamban keluarga dengan pola individual 178 unit, dengan pola komunal atau Sanimas 1 unit ; pengadaan air minum melalui pembangunan sumur pompa/gali 71 unit; pembangunan drainase lingkungan 5 unit dengan panjang keseluruhan mencapai 947 meter; dan pengelolaan sampah dengan pola komposter 112 unit. Pada tahun berikutnya, implementasinya berupa pembangunan jamban keluarga 90 unit, IPAL komunal 1 unit dan drainase lingkungan empat unit, serta kegiatan Pemetaan Sanitasi di tingkat kelurahan.

Keberadaan pokja sanitasi kota dinilai mampu mendorong keberpihakan pemerintah kota terhadap

penanganan program sanitasi, tidak saja sebatas penambahan alokasi anggaran tetapi juga telah melembaga dalam bentuk sistem pengelolaan sanitasi kota. Ada peningkatan kesadaran bahwa sanitasi menjadi tanggung jawab bersama sehingga masyarakat aktif melibatkan diri dalam penanganan program sejak dari tahap

perencanaan hingga monitoring dan evaluasi.

Selain itu, peran dan wewenang pokja sanitasi dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi program sanitasi kota terus menguat sehingga memungkinkan terjadinya integrasi dan koordinasi program sanitasi di tingkat kota, kecamatan dan kelurahan sesuai dengan arahan Renstra Sanitasi.

REPLIKASI

Melihat keberhasilan pokja dan partisipasi masyarakat, kelembagaan sanitasi ini pun direplikasi. Pemkot Blitar memfasilitasi terbentuknya kelompok kerja sanitasi yang

terstruktur dari tingkat daerah hingga kelurahan. Hal ini dimaksudkan untuk melembagakan partisipasi masyarakat melalui komunitas-komunitas masyarakat, serta membuat pembangunan sektor sanitasi menjadi sistematis, terencana, terpadu, terintegrasi, dan berkelanjutan.

Dibentuklah pokja sanitasi kecamatan dan kelurahan. Pada 3 November 2009 lalu, Walikota Blitar Djarot Saiful Hidayat melantik pokja-pokja tersebut.

Pokja sanitasi kecamatan merupakan wadah koordinasi yang bersifat non struktural bagi pembangunan dan pengelolaan sanitasi di wilayah kecamatan. Pokja bertanggung jawab kepada Ketua Pokjasan Kota. Pokjasan kecamatan diketuai oleh camat. Dalam melaksanakan tugasnya ia dibantu Seksi Pembangunan (Sekretaris Pokjasan Kecamatan), Bidang Perencanaan, Bidang Sosialisasi dan Advokasi, dan Bidang Monitoring dan Evaluasi dengan komposisi masing-masing bidang satu orang koordinator dan satu orang anggota yang diambil dari masyarakat.

Pokjasan kecamatan berfungsi antara lain:

(1). Mengoordinasikan perencanaan pembangunan sanitasi di wilayah kecamatan;

(2). Mengoordinasikan proses penumbuhkembangan kesadaran dan kemampuan masyarakat, organisasi masyarakat di tingkat kecamatan, dan

(21)

aparat pemerintah di wilayah kecamatan untuk terlibat dan mengarustamakan pembangunan sanitasi;

(3). Mengoordinasikan kegiatan penyiapan dan pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi sanitasi di wilayah kecamatan; (4). Mengoordinasikan, membina

dan memfasilitasi pokja sanitasi kelurahan se-kecamatan untuk menjalankan tugas pengkoordinasian sanitasi. Tugas pokok pokjasan kecamatan adalah mengoordinasikan, dan memfasilitasi pelaksanaan kegiatan dalam perwujudan pengelolaan sanitasi di tingkat kecamatan. Di bawah pokjasan kecamatan ada pokjasan kelurahan. Pokja ini merupakan wadah koordinasi yang bersifat non struktural bagi pembangunan dan pengelolaan sanitasi di wilayah kelurahan. Pokjasan kelurahan bertanggung jawab kepada Ketua Pokjasan Kecamatan.

Pokjasan kelurahan diketuai oleh Lurah. Ia dibantu Seksi Pembangunan (Sekretaris Pokjasan Kelurahan), Bidang Perencanaan, Bidang Sosialisasi dan Advokasi, dan Bidang Monitoring dan Evaluasi dengan komposisi masing-masing bidang satu orang koordinator dan satu orang anggota yang diambil dari

masyarakat.

Fungsi pokjasan kelurahan adalah: (1). Merencanakan dan melaksanakan

kegiatan pembangunan sanitasi di tingkat kelurahan;

(2). Menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan sanitasi; (3). Melakukan kegiatan monitoring

dan evaluasi sanitasi di wilayah kelurahan;

(4). Melaporkan hasilnya kepada pokja sanitasi kecamatan dengan tembusan Pokja Sanitasi Kota Blitar

Tugas pokok pokjasan kelurahan adalah mengoordinasikan, dan

memfasilitasi pelaksanaan kegiatan dalam perwujudan pengelolaan sanitasi di tingkat kelurahan. Pembentukan kelembagaan ini diserahkan sepenuhnya ke tingkat kecamatan dan kelurahan. Pokja kota hanya memberikan batasan-batasan. Anggota pokjasan yang mewakili

unsur masyarakat dipilih sendiri. Penetapan keanggotaan pokjasan kecamatan dilakukan oleh pokja kota dengan surat keputusan. Demikian pula halnya di tingkat kelurahan, penetapannya dilakukan oleh pokja di atasnya.

Pokjasan kecamatan dan kelurahan tersebut bekerja berdasarkan acuan SSK. Namun mereka dapat mengusulkan program baru dalam Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang). Dengan model pokja berjenjang ini perencanaan, monitoring dan evaluasi menjadi lebih baik.

(22)

20

majalah percik november 2010

Sanitasi belum menjadi prioritas pembangunan di daerah. Banyak faktor yang mempengaruhinya. Di antaranya komitmen para pengambil kebijakan dan kalangan legislatif. Bisa jadi hal itu muncul karena ketidakpahaman mereka terhadap masalah ini. Namun kondisi seperti itu semestinya tidak

menghalangi para stakeholder sanitasi untuk membuat terobosan agar sanitasi memperoleh perhatian yang lebih. ‘Kepiawaian’ Kelompok Kerja (Pokja) Sanitasi Kota Tegal, Jawa Tengah, bisa menjadi contoh betapa sanitasi bisa menembus eksekutif dan legislatif.

Kebetulan waktu itu Kota Tegal mengikuti Indonesia Sanitation Sector Development Program (ISSDP). Terbentuknya Pokja menjadi sarana menyinergikan seluruh kegiatan sanitasi di kota tersebut. Keterpaduan antar SKPD dan dinas dalam membangun sanitasi ini menjadi amunisi pembangunan sanitasi.

03

KOTA TEGAL

(23)

Nah, begitu ada pergantian walikota, pokja tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Menurut Ketua Pokja Sanitasi Tegal Eko Setiawan, pokja memasukkan program sanitasi ini ke dalam program walikota Tegal yang baru.

Saat itu walikota mencanangkan program Tegal Sehat 2010. Prioritas pembangunan bidang

kesehatan ini diwujudkan dalam misi kedua Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2009 - 2014. Program ini menekankan pada perubahan pola pikir masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), hidup dalam lingkungan bersih dan sehat, mandiri dalam memecahkan masalah kesehatan di lingkungannya dan mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu secara adil dan merata.

Program ini seiring dengan tujuan pembangunan sanitasi yang telah tertuang dalam Strategi Sanitasi Kota (SSK) Kota Tegal yang telah disusun sebelumnya. “Memang tidak secara spesifi k menyebut program sanitasi, tapi kami masuk program kesehatan,”

kata Eko Setiawan menjelaskan.

Dari empat aspek program tersebut, dua di antaranya—yakni PHBS dan lingkungan hidup—adalah masalah sanitasi. Pokja tidak hanya memasukkannya dalam program besar, tapi terus mengawal program ini hingga terimplementasi.

Dalam prosesnya, para anggota Pokja

yang tak lain adalah para stakeholder sanitasi ini ikut menyosialisasikan program sanitasi dalam Musrenbang, rapat tata ruang, dan lainnya. “Kita pesan kepada teman-teman pokja yang ikut dalam tim sosialiasi program walikota ke masyarakat,” jelasnya.

Proses ini menimbulkan sinergitas antara program walikota dan program yang telah ada sebelumnya dalam SSK. Di satu sisi, walikota mempunyai kebijakan, sementara di sisi lain para stakeholder sanitasi bekerja bersama masyarakat. “Jadi semuanya nyambung,” kata Eko.

Ia menjelaskan, program sanitasi sebenarnya sudah ada dalam pembangunan di daerah. Hanya saja, keberadaannya tersebar di berbagai instansi. Kadang-kadang, program yang sama berada di banyak SKPD/ dinas. Karena itu, menurutnya, yang diperlukan adalah bagaimana menyinergikan program sanitasi ini. Sinergitas yang baik dan disertai implementasi yang tepat ternyata membawa dampak yang baik. Kalangan legislatif di Tegal begitu melihat banyak sarana dan

prasarana yang dibangun secara terencana dan tepat, mereka sangat mendukungnya. Bahkan banyak di antara mereka meminta program sejenis diimplementasikan di wilayah pemilihan mereka. Mereka berani mengusulkan anggaran sanitasi bagi konstituen mereka.

Malah ada di satu daerah di Tegal, justru anggota Dewan

Saat itu walikota mencanangkan program Tegal Sehat 2010.

Prioritas pembangunan bidang kesehatan ini diwujudkan

dalam misi kedua Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2009 - 2014

(24)

22

majalah percik november 2010 yang menggerakkan masyarakat untuk mengumpulkan dana guna membebaskan lahan bagi pembangunan sarana sanitasi. “Justru masyarakat yang memberi, bukan hanya meminta,” tandas Eko. Pola pendekatan tidak langsung ini pun menjadikan program sanitasi mulai dilirik oleh kalangan dewan. Mereka tak lagi ‘alergi’ dengan sanitasi karena telah melihat hasilnya di lapangan. Program sanitasi dinilai menyentuh kehidupan rakyat secara langsung. Bersamaan dengan itu

pokja terus memberikan advokasi kepada mereka tentang sanitasi. Kepahaman dan komitmen pengambil kebijakan dan kalangan legislatif, dibarengi dengan kerja keras pokja sanitasi akan meningkatkan kepedulian daerah terhadap pembangunan sanitasi. Bila ini telah muncul, pembangunan sanitasi akan berlangsung lebih cepat.

an advokasi

Pilah-pilih Sampah

(25)

Dibanding desa lainnya di kota Denpasar, Bali, desa Pemecutan Kaja tergolong tertinggal. Di tengah kemajuan kota, desa ini masih harus berurusan dengan masalah sanitasi.

Ketika warga desa lainnya sudah tersambung dengan DSDP (Denpasar Sewerage Development Project), warga Pemecutan Kaja harus rela menjadi penonton. Topografi desa tak memungkinkan warganya tersambung dengan proyek pembuangan air limbah terpusat tersebut. Lokasinya lebih tinggi. Sedangkan DSDP menggunakan sistem gravitasi untuk mengalirkan limbah dari masyarakat ke sewerage.

Padahal dari sisi prioritas, seharusnya desa yang berada di

kecamatan Denpasar Utara ini mendapat prioritas utama. Betapa tidak, sebanyak 62 persen limbah domestik dari desa ini masih dibuang ke saluran drainase dan sungai. Limbah padatnya, berupa tinja, dibuang secara setempat dengan tangki septik. Namun sebagian besar tangki septik tersebut tidak memenuhi standar. Ada juga warga yang masih buang air besar di sungai. Di sisi lain, warga justru banyak menggunakan sumur dangkal untuk mencukupi kebutuhan air minumnya.

Tak heran bila kemudian desa ini dipilih sebagai desa percontohan pengembangan sanitasi masyarakat terpadu (Santimadu). Melalui program ini masyarakat didorong untuk bisa membuang air besar/air limbah dengan sistem off site.

DESA PEMECUTAN KAJA,

KOTA DENPASAR

Harapan

Baru

Berkat

Santimadu

(26)

24

majalah percik november 2010 Tidak itu saja, program ini meliputi sampah, drainase, air minum, perilaku hidup bersih (PHBS), dan bisnis sanitasi. Semua dilaksanakan secara terpadu dan melibatkan seluruh pihak-pihak terkait. Santimadu difokuskan kepada banjar-banjar yang paling kumuh dan paling siap masyarakatnya.

Desa ini memiliki 13 banjar/dusun. Penduduknya tahun 2008 berjumlah

32.000 jiwa, dengan pertumbuhan penduduk desa sebesar 3,3 persen per tahun. Berdasarkan catatan kelompok kerja (Pokja) Sanitasi Desa Pemecutan Kaja, ada empat banjar yang kondisinya terburuk yakni Banjar Semilajati, Mekar Manis, Tulang Ampiang, dan Merthayasa.

Bagaimana tidak buruk, setiap tahun banjar ini mengalami banjir. Genangan air meliputi wilayah seluas

2-5 hektar dengan ketinggian air 10 cm hingga 100 cm. Rukun tetangga di banjar ini juga tidak memiliki sampah sendiri. Warga di banjar ini hampir semuanya memiliki tangki septik untuk buang air besar. Namun tidak semuanya memenuhi syarat kesehatan. Sebagian kecil, sekitar lima persen BAB-nya di sungai.

Dengan Santimadu, kondisi itu ingin diubah. Fasilitasi Pokja Kota Denpasar kepada masyarakat setempat yang dikenal cukup erat dalam membina kerja sama dalam banjar, lahirlah Pokja Sanitasi Desa Pemecutan Kaja. Mereka pun menyusun visi dan misi. Visinya yakni ”Mewujudkan desa Pemecutan Kaja sebagai desa berwawasan budaya yang bersih, sehat, nyaman, harmonis dalam keseimbangan secara berkelanjutan”. Misinya yakni 1) mewujudkan

penyediaan air minum yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara kualitas, secara kuantitas dan kontinyuitas sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 dan target MDGs; 2) Mewujudkan pengelolaan air limbah secara berkelanjutan dan terjangkau; 3) Mewujudkan pengelolaan persampahan yang mandiri dan berkelanjutan; 4) Mewujudkan pengelolaan drainase secara

Dengan santimadu, kondisi itu ingin diubah. Fasilitasi Pokja

Kota Denpasar kepada masyarakat setempat yang dikenal cukup erat

dalam membina kerja sama dalam banjar, lahirlah Pokja Sanitasi Desa

Pemecutan Kaja.

(27)

terintegrasi dan berkelanjutan. Pokja yang terdiri atas warga masyarakat ini menyusun porgram kerja seperti terlihat di tabel 1.

Program itu kemudian dijabarkan lebih rinci termasuk jumlah investasinya serta darimana investasi itu berasal. Pokja Santimadu berhasil ’membagi’ beban investasi ini mulai dari pemerintah pusat, provinsi, kota, swasta, hingga warga.

Mulai 2009, Santimadu ini berjalan. Memang dana menjadi kendala.

Namun berkat kesungguhan semua pihak mulai dari Pokja Sanitasi desa, kota, hingga ke provinsi, hambatan ini bisa diatasi. Program itu pun dikaitkan dengan proyek-proyek

yang ada seperti P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan). Sinergi ini membuat beban yang sebelumnya terasa berat menjadi lebih ringan.

Awalnya memang tidak mudah menggerakkan seluruh masyarakat. Masih ada pola pikir yang belum sama dengan program Santimadu.

Berkat sosialisasi yang terus menerus, akhirnya masyarakat bisa menerima dan mau berpartisipasi di dalamnya. Warga di Banjar Mekar Manis misalnya, mereka sangat senang dengan adanya Santimadu ini. Mengapa? Karena di banjar yang padat penduduk ini tidak mungkin lagi membangun tangki septik di rumah. Permukimannya sangat padat.

Kini saranatangki septikkomunal di Mekar Manis sudah mencapai 100 persen. Di Banjar Merthayasa, sistem komunal malah telah beroperasi. Sayangnya belum bisa beroperasi secara penuh karena terkendala listrik.

Sedikit demi sedikit kesadaran warga Desa Pemecutan Kaja untuk hidup bersih dan sehat mulai tumbuh. Tingkat kesehatan masyarakat mulai membaik. Mereka tak perlu lagi tertinggal dari kawasan lainnya hanya karena masalah sanitasi. Persoalan sanitasi bisa diatasi bila semua ikut berpartisipasi. Santimadu bisa jadi bukti.

Tabel 1. Program Kerja POKJA

No TARGET Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010

1.

.2

3.

4.

Air Buangan

Pembuatan IPAL sistem setempat 

Pembuatan Sistem setempat Individu. 

Persampahan

Menyediakan pelayanan prasarana dan sarana 

persampahan dilakukan melalui proses pewadahan, pengumpulan, pemindahan, dan pengangkutan.

Membuat sistem TPST 

Air bersih

Pembuatan sumur air tanah dangkal 

Optimalisasi kapasitas produksi 

Distribusi: 

Peningkatan dan perbaikan jaringan distribusi 

dan peningkatan kualitas dan kuantitas dan cakupan pelayanan dan adanya kerja sama dengan daerah lain (PDAM)

Drainase

Pengerukan, Normalisasi, perbaikan saluran 

demensi dari hulu hingga ke hilir saluran

√ √ ESTIMASI KEBUTUHAN SANITASI (2009- 2010)

NO PROGRAM UNIT Vol BIAYA (Rp jt)

Sumber Dana (Rp Juta)

Kota Prov Pusat Swasta Masy

1 Sub Total Drainase 1,276 644 348 0 145 139

2 Sub Total Persampahan 898 389 146 43 160 160

3 Sub Total Air Limbah 4,571 2,020 250 500 1,500 301

4 Sub Total Air Bersih 216 100 60 40 0 16

(28)

26

majalah percik november 2010

Kota Batu, Jawa Timur, tak lagi sejuk. Kualitas lingkungan kota menurun sedikit demi sedikit. Kabut yang biasa menyelimuti kota ini di pagi hari sangat jauh berkurang. Hutan lindung rusak, mata air pun banyak yang mati. Lahan-lahan basah berubah menjadi lahan kering.

Sebagai kota wisata, kenyataan itu memprihatinkan banyak pihak. Dunia pendidikan di kota itu juga ikut berperan mencegah kerusakan lingkungan lebih parah, yakni dengan mendidik anak-anak sekolah untuk lebih peduli lingkungan.

Muncullah kesepakatan di kalangan para pendidik setempat untuk menyusun kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH). Awalnya kurikulum ini dicantolkan ke mata pelajaran. Setelah 2006 turun Permendiknas No.22 tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mewajibkan ada kurikulum monolitik di daerah, PLH digarap serius sebagai kurikulum yang berdiri sendiri. Modulnya disesuaikan dengan potensi kekayaan alam dan budaya Kota Batu, dengan prinsip pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan.

PLH diajarkan mulai jenjang SD sampai SMA. Kurikulum PLH di SD bersifat basic. Isinya lebih banyak ditekankan pada penanaman

05

KOTA BATU

Merintis

Pendidikan

Lingkungan

Hidup

di Sekolah

Muncullah kesepakatan di kalangan

para pendidik setempat untuk menyusun

kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup

(PLH)

(29)

pemahaman (mental building), sedangkan di SMP lebih bersifat analitis lingkungan hidup. Pada SMA, selain analisis, juga diajarkan tindakan jika ada perusakan lingkungan hidup. Kurikulum ini menempatkan siswa sebagai agen pengubah masyarakat di sekitarnya.

Kini, sudah 85 SD, 27 SMP, 11 SMA, dan 10 SMK yang menerapkannya. “Di TK dan SLB (sekolah luar biasa) pun diberikan materi PLH,” jelas Kepala Dinas Pendidikan Kota Batu, Mistin. Ditambahkan Mistin, kurikulum yang tergolong unik ini mampu menjawab kekinian, membumi, mudah dicerna, dan tidak terlalu ilmiah. Metode penyampaiannya dibuat mudah dan menarik, antara lain dengan mengajak siswa kunjungan lapangan, bermain, dan simulasi.

PENINGKATAN KAPASITAS GURU Keberadaan kurikulum PLH ini belum didukung sumber daya guru yang memadai. Karenanya, diadakan workshop bagi para guru dari berbagai latar belakang. Mereka memperoleh pembekalan tentang kurikulum muatan lokal pendidikan lingkungan hidup Kota Batu, greenning school, sekolah adiwiyata, sekolah sebagai agen pembaharuan

dalam kelestarian lingkungan, serta pengembangan keprofesionalan guru PLH melalui Lesson Studydi gugus Kelompok Kerja Guru (KKG).

Sejauh ini, sekolah-sekolah sudah mulai merasakan keberadaan dan manfaat kurikulum PLH ini. SMP PGRI 2 Batu misalnya. Siswa berbagi tugas membersihkan sekolahnya. Ada yang menyapu lantai, menyiram tanaman, dan menyapu halaman.

Sampah-sampah yang terkumpul mereka pilah antara yang basah dan kering, lalu dibuang ke bak sampah yang berbeda pula.

Untuk mengenal dampak negatif pembuangan air limbah ke sungai misalnya, siswa diajak ke sungai dan memperhatikan akibat limbah tersebut pada biota sungai dan pertanian/perkebunan.

Membiasakan Cuci Tangan Pakai Sabun Sejak Dini

JUDUL MODUL LINGKUNGAN HIDUP BAGI SD/MI

1. Pelahap Karbondioksida 2. Air

3. Merawat Diri

4. Cuci Tangan Pakai Sabun 5. Sampah Jadi Berkah 6. Anggrek Pesona Kota Batu 7. Toga di Sekitar Kita 8. Penyebaran Kuman 9. Diare

10. Zat Aditif

11. Reuse, Reduce, Recycle 12. Kembali ke Alam 13. Hemat Energi

(30)

28

majalah percik november 2010

Mengapa kita perlu melakukan percepatan pembangunan sanitasi?

Pertama, kesehatan masyarakat sudah sangat terganggu. Setiap hari diperkirakan sebanyak 14.000 ton tinja dan 176.000 m3 urine terbuang ke badan air, tanah, danau dan pantai yang menyebabkan 75 persen sungai tercemar berat dan 70 persen air tanah di perkotaan tercemar bakteri tinja. Akibatnya insiden diare tinggi, yaitu mencapai 411 per 1.000 penduduk (Survei Morbiditas Diare Kemkes, 2010) dan juga meningkatnya biaya pengolahan air sehingga masyarakat harus membayar rata-rata 25% lebih mahal untuk mendapatkan air minum perpipaan. Buruknya kondisi sanitasi turut berkontribusi pada rendahnya kualitas hidup yang ditunjukkan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia, yaitu

hanya menempati urutan 111 dari 182 negara berkembang (Human Development Report, UNDP, 2009). Kedua, akses sanitasi penduduk Indonesia masih sangat rendah. Hingga tahun 2009, baru 51,2 persen penduduk Indonesia yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak. Sementara itu, 70 juta penduduk masih melakukan praktik Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Saat ini 98% Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) juga masih dioperasikan secara open dumping. Selain itu, terdapat 174 kab/kota (38%) yang memiliki risiko sangat tinggi terhadap banjir (Rencana Aksi Nasional,Pengurangan Risiko Bencana 2010-2012).

Dampaknya adalah potensi kerugian ekonomi sebesar 58 triliun rupiah per tahun (Hasil Studi Bank Dunia,

2007). Dampak lainnya tentu saja kejadian luar biasa berbagai penyakit dan kematian balita yang tinggi. Dua penyebab utama kematian anak balita adalah penyakit yang menyebar melalui kotoran dan lewat perantaraan air seperti kolera, tifus, diare. Ini terkait penggunaan sumber air minum yang tidak layak, sanitasi yang buruk, dan rendahnya kesadaran masyarakat tentang PHBS. Ketiga, belum komprehensifnya program pembangunan sanitasi yang ada. Pembangunan sanitasi belum terintegrasi, masih berjalan sendiri-sendiri. Peningkatan anggaran pun tidak menjamin berhasilnya pembangunan yang berkelanjutan jika tidak ada koordinasi dan sinergi antar pelaku pembangunan. Inilah alasan kita untuk melakukan percepatan pembangunan sanitasi.

DR. IR. DEDY S. PRIATNA, MSC.

DEPUTI BIDANG SARANA DAN PRASARANA, BAPPENAS

Harus

Dipercepat

Pembangunan Sanitasi

(31)

Di manakah posisi Program PPSP dalam konteks kebijakan pembangunan sanitasi nasional?

RPJMN 2010-2014 secara eksplisit telah mencantumkan target pencapaian pembangunan sanitasi secara terukur yang merupakan penuangan dari target PPSP. Kita berharap pada tahun 2014 nanti sudah tidak ada lagi yang buang air besar sembarangan (BABS), pengelolaan persampahan perkotaan meningkat, dan luas genangan drainase di kawasan strategis perkotaan menurun.

Target-target tersebut berat diwujudkan jika tidak ada upaya yang sinergi dan komprehensif serta mengikat seluruh pemangku kepentingan, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Untuk itu diperlukan program yang melibatkan para pemangku kepentingan dengan pandangan dan pemahaman yang sama serta langkah yang disepakati untuk dilaksanakan bersama. Nah untuk mencapai itu, semua pihak harus bersinergi. PPSP diharapkan menjadi payung besar untuk seluruh kegiatan pembangunan sanitasi di Indonesia sehingga kegiatan-kegiatan yang ada saling melengkapi dan tidak tumpang tindih.

Apa yang menjadi kekhasan dalam Program PPSP ini dan bagaimana koordinasi dilakukan?

Ada dua hal. Pertama, program PPSP memberikan dukungan kepada daerah (kabupaten/kota) untuk mempercepat peningkatan kualitas sanitasi yang dimulai dari upaya perbaikan kualitas perencanaan sanitasi. Oleh karena itu, PPSP mendorong pemerintah kabupaten/ kota untuk menyusun strategi pembangunan sektor sanitasi skala

kabupaten/kota yang komprehensif dan koordinatif yang disebut sebagai Strategi Santasi Kabupaten/kota (SSK).

Lebih jauh, SSK merupakan portofolio pendanaan bagi pemerintah kabupaten/kota untuk melakukan optimalisasi pendanaan dari APBD (tingkat I dan tingkat II) dan APBN serta akses terhadap

sumber-sumber pendanaan non-pemerintah (donor, swasta, dan masyarakat).

Kedua, PPSP merupakan program kolaboratif antara pemerintah daerah bersama dengan pemerintah pusat. Keseluruhan proses dan tahapan dalam PPSP bermuara pada peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam pembangunan sanitasi.

Dalam pelaksanaannya, pengelolaan PPSP di tingkat pusat dilakukan oleh Program Management Unit (PMU) yang berada dibawah koordinasi Bappenas dan 3 Program Implementation Unit (PIU), yaitu: Bidang Teknis di Kementerian Pekerjaan Umum, Bidang Advokasi di Kementerian Kesehatan, dan Bidang Kelembagaan di Kementerian Dalam Negeri. PMU dan PIU tersebutlah yang melakukan fungsi koordinasi

baik itu koordinasi antar lintas kementerian yang terlibat, maupun koordinasi antar pusat dengan daerah.

Sebagai program yang dilakukan secara lintas sektoral dan terintegrasi, bagaimana kontribusi sumber daya dan pembiayaan setiap instansi?

Masing-masing kementerian penanggung jawab PMU dan PIU bertanggung jawab untuk menyediakan sumber daya baik berupa dukungan dana maupun personel yang dialokasikan melalui anggaran masing-masing kementerian.

Bagaimana rencana Program PPSP ke depan dalam mengejar target-target yang telah ditetapkan?

Secara umum, target-target PPSP dicapai sesuai dengan peta jalan (roadmap) yang sudah ditetapkan. Ada enam tahapan yakni, pertama, Tahapan Kampanye, Edukasi, Advokasi dan Pendampingan; kedua, Tahapan Pengembangan Kelembagaan dan Peraturan; ketiga, Tahapan Penyusunan Rencana Strategis; keempat, Tahapan Penyusunan Memorandum program; kelima, Tahapan Implementasi; dan keenam, Tahapan Pemantauan, Pembimbingan, Evaluasi dan Pembinaan.

Ke depan, untuk lebih memastikan pencapaian target PPSP dan perluasan daerah dampingan, saat ini sedang diupayakan peningkatan dukungan dari lembaga-lembaga donor, kalangan swasta, dan masyarakat. Hal ini terutama diarahkan untuk mendukung implementasi dari SSK yang telah disusun oleh pemerintah daerah.

“ KITA BERHARAP PADA

TAHUN 2014 NANTI

SUDAH TIDAK ADA

LAGI YANG BUANG AIR

BESAR SEMBARANGAN

(BABS), PENGELOLAAN

PERSAMPAHAN PERKOTAAN

(32)

30

majalah percik november 2010

Ir. BUDI YUWONO, Dipl. SE

DIRJEN CIPTA KARYA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

Sebenarnya bagaimana Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) 2010-2014?

Sanitasi itu kan ketinggalan. Bukan sarana fi siknya semata tapi persepsi pemda, persepsi masyarakat. Kehadiran PPSP ini untuk mengajak mereka menyusun SSK. Dengan begitu mereka diajak berpikir mengenai bagaimana grand design sanitasi kota ke depan. Karena sanitasi itu beragam, ada yang sangat sederhana, menengah dan sangat complicated sesuai dengan besaran kota. Dengan variasi itu, SSK membuat pemda

beserta masyarakatnya terlibat langsung sejak awal. Ini yang dulu tidak dilakukan. Mereka langsung disuruh bikin IPLT misalnya. Ternyata kebutuhan, transportasi, mungkin WC-nya malah belum ada. Jadi sekarang dengan SSK mereka bisa berpikir, apa yang mau saya bangun? Apa cubluk, apa septic tank. Kontrolnya melalui apa? Perlu komunal atau menghidupkan IPLT kembali. Makanya saya senang dengan PPSP, pendekatannya memang mengubah, mendorong mindset mengenai bagaimana suatu kota menjalankan sanitasi. Ini memang harus telaten. Pertemuan

dari forum ke forum, terus ada komunikasi. Itu semua supaya orang bicara tentang sanitasi. Dari di pinggir jadi ke tengah.

Dalam CSS (City Sanitation Summit) Bukittinggi, sinergi lintas sektor sangat ditekankan. Pandangan Anda?

Saya sangat setuju. Lintas sektor itu sangat bagus. Karena kita membangun fi sik tanpa ukuran-ukurannya itu akan menjadi tidak jelas. PU membangun fi sik, Kemkes nanti mengajari mengunakan, menyosialisasikannya bahkan mengukur tingkat pemanfaatannya

Pem ban gun an san itasi tidak bisa han y a m en gan dalkan in stan si tekn is. Butuh sin ergi

den gan in stan si lain n y a. Sin ergi y an g baik akan m en ghasilkan output pem ban gun an

y an g baik.

Kem en terian Pekerjaan Um um sebagai salah satu in stan si y an g berperan dalam

m en y ediakan in frastruktur bagi m asy arakat tak in gin m en gulan g kesalahan m asa lalu

y an g han y a m em ikirkan target fi sikn y a saja tan pa m em perhitun gkan faktor lain n y a.

Bagaim an a peran Kem en terian in i dalam program PPSP, berikut w aw an cara kam i

den gan Budi Yuw on o, Dirjen Cipta Kary a, y an g m em fasilitasi Un it Pelaksan a Program

(atau serin g juga disebut PIU –

Program Im plem en tation Un it

) Tekn is program PPSP.

Dibicarakan

dan Konkret

Sanitasi Harus Terus

Ir

D

(33)

atau outcome-nya. Itulah tugas bersama kita. Ini gunanya

pertemuan-pertemuan lintas sektor, kita bisa saling belajar.

Tapi khusus yang masalah lintas sektor tadi, itu bukan hanya problemnya daerah. Di pusat juga harus menyadari bahwa kita perlu ada sinergi arah kerja sama lintas sektor ini. Saya rasa PPSP menyatukan langkah kita bergerak bersama. Mudah-mudahan kalau pusat bergerak bersama begini terus, daerah juga bisa melihat itu. Kita punya pengalaman, ini juga menyangkut sanitasi yakni Pamsimas. Idenya sama, lintas sektor. Sebelum diadakan pemilihan lokasi sebelum dibangun, harus dilakukan penyuluhan tentang pentingnya kesehatan. Yang dibangun di desa A, yang disuluh kesehatan desa B. Padahal tujuannya penyuluhan untuk mengerti, bagaimana pentingnya hidup sehat, baru dibangun. Itu pun juga nggak (jalan-red). Itu sampai World Bank pernah marah.

Apa yang mesti dibenahi agar PPSP berhasil?

PU biasanya ingin cepat, target oriented. Kami menyadari bahwa PPSP dengan berbagai pendekatan sangat bottom-up. Itu penting tapi harus ingat target kita. Kita harus ngomong banyak tapi cepat dan cepat bergeraknya. SSK jangan melangit. Strategi-strategi itu kalau tidak membumi, akhirnya nanti mengawang-awang. Kita harapkan teman-teman PU itu nantinya bisa mengisi warna ini. Harus ada program yang konkret.

Saya ambil contoh Payakumbuh ya. Di sana saya lihat sendiri di desa-desa dibagi toilet-toilet. Konkret itu. Terus, Solo itu kita membantu sistem terpusat, mestinya yang komunal juga jalan. Istilahnya serengan. Yang

seperti itu juga dikembangkan terus. Itu kan sudah bukan urusan kita lagi. Harusnya serengan-serengan itu dibentuk oleh walikota. Bagaimana PU mendorong itu jadi konkret.

Tantangan ke depan PPSP menurut Anda apa?

Sebetulnya namanya sudah pas ya, strategi - sanitasi - kota. Strategi itu pasti ada langkah, angka, dan biaya. Kita ngomong yang terstruktur dan rasional. Jangan di tingkat bupati aja. Strategi itu harus disetujui oleh DPR hingga DPRD. Dan rapatkanlah dengan mereka itu. Makanya kita selalu ngajak ketua DPRD ngomong dulu kan. Kita berharap ada perubahan mindset DPRD tentang sanitasi. Tadinya prioritasnya di bawah supaya dinaikkan.

Bagaimana peran PU dalam hal mendorong komitmen pendanaan?

PU telah mengusulkan peningkatan budget dan didukung Bappenas dan DPR pusat. Dengan itu peran kita menjadi lebih konkret. Kita mulai mendorong, ngomong, tapi juga punya peluru. Anggaran Rp 14 triliun selama 5 tahun untuk sanitasi, air limbah, sampah dan drainase adalah salah satu wujud komitmen pusat di bidang ini. Belum ditambah DAK. Itu semua APBN yang harus ditaruh di daerah.

Sebagai PIU Teknis, apa harapan Anda supaya sinergi ini berhasil?

Harapan saya sebetulnya kita juga dibantu. Misalnya oleh dinas kesehatan. Bagaimana mengukur indeks kesehatan. Ada nggak korelasi positif yang bisa diwujudkan. Biar kita ngomong bareng. Misalnya Payakumbuh, dengan mengeluarkan duit sekian, indeks kesehatan naik. Itu sangat mudah dipahami oleh DPRD. Kalau bisa disusun oleh Bappeda. DPRD kalau memberikan biaya (pembangunan) jalan, terasa mulus tapi kalau memberikan kepada (pembangunan) sanitasi, apa yang bisa dirasakan? Itu lebih susah diukur. Nah, ini yang kelihatannya kurang. Harapan saya, dinas-dinas kesehatan bisa memberikan kontribusi. Air bagus, sanitasi bagus, itu mestinya angka kematian bayi turun, angka kematian ibu melahirkan turun.

Jadi sudah harus melihat dampaknya secara kualitas?

Saya rasa sudah harus dimulai. Kita nggak bisa terus menghitung persentase pelayanan. Tapi kalau jalan, dengan dibangunnya jalan Padaleunyi, akhirnya tercover sekian ribu orang. Sekian ribu orang terangkut setiap hari. Surabaya dengan dibangunnya airport baru, estimasinya dari 6 juta penumpang, naik jadi 15 juta. Fakta kan seperti itu. Dengan dibangunnya sanitasi, angka kematian bayi turun, ini turun. Kita menjadi lebih sehat.

Tersedia dana Rp 14 Triliun untuk 2010- 2014, tantangannya apa?

Tantangannya adalah penyusunan program yang baik. Saya minta teman-teman PU menyusun program yang baik. Karena mulainya bagaimana menyadarkan orang tentang perlunya sanitasi. Dana yang ada kita manfaatkan secara benar dan tepat.

“ SANITASI ITU KAN

KETINGGALAN. BUKAN

SARANA FISIKNYA SEMATA

TAPI PERSEPSI PEMDA,

PERSEPSI MASYARAKAT.

KEHADIRAN PPSP INI

UNTUK MENGAJAK MEREKA

(34)

32

majalah percik november 2010

Pemerintah tengah melakukan terobosan dalam percepatan pembangunan sanitasi melalui Program PPSP, sejauh mana program ini mampu mengatasi persoalan kesehatan atau angka kesakitan yang terkait dengan rendahnya akses sanitasi?

Pada Kabinet Indonesia Bersatu II, sesuai arahan Presiden, kini pemerintah diharapkan untuk concerndengan upaya promotif dan preventif demi optimalisasi pembangunan berkesinambungan. Terkait sanitasi, bukan hanya persoalan air limbah domestik (waste water), persampahan (solid

waste) dan drainase lingkungan (drainage system) saja. Persoalan ini berkaitan dengan upaya pembangunan manusia. Karena itu sangat berkontribusi pada pencapaian MDGs (Millennium Development Goals) dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Dengan kata lain, bila kita mampu mangatasi persoalan ini secara baik maka ini akan berdampak luas dan akan berdampak pada perbaikan kesehatan, produktivitas dan kesejahteraan masyarakat.

Bagaimana sebetulnya posisi Indonesia saat ini?

Kita sudah melakukan banyak hal, namun kita masih perlu percepatan pembangunan sanitasi yang terintegrasi. Contohnya persoalan limbah domestik (tinja), laporan Pembangunan Manusia 2006 terbitan Program Pembangunan PBB (UNDP) menyatakan hampir separuh penduduk di negara-negara berkembang termasuk Indonesia belum memiliki akses terhadap sanitasi yang layak. Laporan Asian Development Bank menyebutkan pencemaran air di Indonesia berpotensi menimbulkan kerugian 45 triliun rupiah lebih per tahun atau 2,2 persen GDP negara. Sementara

Upay a pem ban gun an dan pen y ediaan lay an an san itasi m em butuhkan aspek adv okasi

dan upay a kom un ikasi. Pen y adaran publik, m isaln y a, un tuk perubahan perilaku hidup

bersih dan sehat m em butuhkan kam pan y e dan m obilisasi sosial y an g strategis dan

teren can a.

Kem en terian Kesehatan m erupakan salah satu in stitusi y an g m em iliki peran an

pen tin g dalam hal upay a adv okasi, edukasi dan pem berday aan bagi aspek kom un ikasi

kebijakan pen y ehatan lin gkun gan , term asuk sektor san itasi. Berikut in i w aw an cara kam i

den gan Prof. dr. Tjan dra Yoga Aditam a, Dirjen Pen gen dalian Pen y akit dan Pen y ehatan

Lin gkun gan , y an g m em fasilitasi Un it Pelaksan a Program (atau serin g juga disebut PIU –

Program Im plem en tation Un it) Adv okasi dan Pem berday aan program PPSP.

Menjaga

Komitmen Bersama

Tantangan Kita,

Gambar

tabel prioritas sebagai berikut: (1) kepala
Tabel 1: Tahapan PPSP 2010 - 2014
TABEL 1. ANGGARAN JAMINAN KESEHATAN KOTA (JAMKESKO)
Tabel 1. Program Kerja POKJA
+2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan hasil penelitian pada peserta didik kelas IIIA Sekolah Dasar Negeri 29 Pontianak Kota dengan materi menulis karangan yang diajarkan dengan dengan

students of SMPN 3 Sungai Raya, Action Research was an appropriate design to help the teacher found the right technique for teaching English, especially to improve

Merujuk pada rumusan masalah, tujuan penelitian, hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Kondisi aktual kepemimpinan pembelajaraan kepala

Dalam Al-Qur’an surah al alaq ayat 16 Allah SWT menyebutkan bahwa gambaran otak manusia adalah “naqshiyah” atau yang disebut dengan ubun-ubun, didalam ayat tersebut (Al Alaq 16)

P.. 5 secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Sikap disiplin pada peserta didik dapat meningkat apabila

Penyebab disleksia perkembangan masih belum ditentukan, namun ada yang menyebutkan bahwa disleksia perkembangan di akibatkan faktor genetic.mengidentifikasikan

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) merupakan salah satu kegiatan pendidikan yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa perguruan tinggi IKIP Negeri Semarang walaupun