DANAU LIMBOTO DALAM PERDEBATAN EKOLOGI POLITIK
Oleh: Hasim
(Pengajar di Universitas Negeri Gorontalo)
Gambaran
Danau Limboto, tidak seperti danau pada umumnya yang berada pada topograf dataran tinggi. Sebaliknya Danau Limboto berada di dataran rendah dan menjadi muara bagi ± 23 sungai-anak sungai serta hanya memiliki 1 out let. Dikelilingi oleh aktivitas pertanian yang relative intensif, mulai dari kawasan up land yang berbukit/bergunung hingga kawasan sabuknya. Aktivitas pertanian identik dengan mendorong terjadinya erosi di on site dan sedimentasi di off site. Beberapa permukiman berkembang massif di pinggiran danau yang tentunya membawa implikasi ekologis secara langsung ataupun tidak langsung terhadap danau.
Letak Danau Limboto beserta aktivitas kompleksitasnya yang tergambarkan seperti tersebut di atas memberikan tafsiran bahwa danau sengaja difungsikan sebagai “keranjang” sampah kawasan daratannya. Walaupun ada fakta lainnya yaitu lebih dari 50 persen penduduk pesisir Danau Limboto memiliki ketergantungan sosial-ekonomi terhadap danau. Dan penyalamatan Danau Limboto tidak semata berakhir pada terjaganya ekosistem danau. Bahkan lebih dari itu ialah keamanan bagi komunitas masyarakat yang jeluk ekonominya berada di danau yaitu nelayan. Komunitas tersebut memiliki rentanitas tinggi akibat kerusakan Danau Limboto. Sisi lain, aktivitas ekonomi perikanan budidaya salah satu mata pencaharian masyarakat yang kian massif di perairan Danau Limboto. Terakhir, aktivitas tersebut “dituduh” sebagai salah satu sumber signifkan pemicu eutrofkasi berlangsung di danau. Walaupun tracking penelitian yang pernah dilakukan menginformasikan kandungan fospat dan nitrogen dibagian in let danau, lebih tinggi dibandingkan di spot-spot perikanan budidaya. Dua fakta yang terkesan paradok, tidak lahir begitu saja, tetapi sebaliknya “terkondisikan” oleh pilihan kebijakan ekologi politik pemerintah. Dengan demikian harusnya restorasi Danau Limboto merupakan sikap dan komitmen politik pembangunan berkelanjutan, bukan semata reaksi sektoral.
Kebijakan Ekologi Politik Danau
“mengizinkan” pesta kayu di up land danau, regulasi tata ruang yang mendorong alih fungsi lahan yang memicu tekanan ekologis pada kawasan di bawahnya. Kondisi lingkungan yang rusak sekarang ini merupakan “limbah” dari kebijakan pembangunan ekstraktif yang telah berjalan dalam rentang waktu lama. Artinya kerusakan Danau Limboto bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan ekologi politik yang dijalani pemerintah.
Pergeseran sistem politik dari sentralistik menuju disentralistik memberi harapan baru. Karena, ruang kebijakan di era disentraslisasi terbuka lebar untuk mengkonstruksi sintesa strategis antara ABCG (Academic, Business, Community, Government) terkait pembangunan termasuk pengelolaan danau (SDA). Sintesa strategis tersebut diharapkan mampu mengkonversi “saham” OTDA menjadi keserasian pertumbuhan ekonomi, sosial dan ekologis. Karena pengalaman mengedukasi bahwa simplifkasi “aktor” pembangunan dalam ruang kebijakan di era sentralistik telah menghasilkan kebijakan yang terbatas (sektoral), sehingga mewariskan lingkungan yang degradatif. Seharusnya wajah lingkungan di era OTDA lebih “ekologis” jika dikaitkan dengan ruang partisipasi yang tersedia bagi masyarakat sangat lebar. Namun faktanya, membangun di era disentralistik memberikan pembelajaran penting tentang “bagaimana belajar berkoordinasi”, sehingga “saham” disentralisasi tidak digunakan secara arogan dalam perburuan rente ekonomi semata. Pembangunan tidak semata difahami dalam batas administrasi, sebaliknya dipandang dalam perspektif sistemik. Pada ruang gersang akan ketulusan berkoordinasi maka, Perda Pengelolaan Danau Limboto hanya menambah etalase dokumen kebijakan. Contoh lain ialah perda tentang larangan bibilo dan penggunaan alat tangkap listrik. Sepintas kebijakan tersebut bertujuan menyelesaikan masalah. Pertanyaannya adalah apakah kebijakan melarang bibilo menyelesaikan masalah ekologis, sosial dan ekonomi. Integrasi antara up stream policy dengan down stream policy yang tidak terbangun, maka kebijkan tersebut hanya “menangkap” symptom bukan menyelesaikan masalah. Perlu semangant “radikalisme” untuk mereview kebijakan yang ada dalam ruang OTDA yang kolaboratif.
Pendekatan Sistem