• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemerataan Kualitas Pengajaran berbasis kerakyatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pemerataan Kualitas Pengajaran berbasis kerakyatan "

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

Pemerataan Kualitas Pengajaran berbasis Komunitas Profesional Guru Sekolah Dasar

Oleh :

Mousafi Juliasandi Magistar 16712251049

Program Studi Pendidikan Dasar Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

(2)

2 Pendahuluan

Tingkat partisipasi pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun terus

meningkat terutama pada jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah.

Hal ini memang menjadi konsentrasi pemerintah Indonesia selama beberapa

dekade setelah kemerdekaan diraih oleh negara Indonesia. Tingginya buta huruf

karena sangat rendahnya tingkat pasrtisipasi pendidikan di Indonesia menjadi

sasaran utama program-program pemerintah pada masa itu. Beberapa upaya

pemerintah dalam meningkatkan angka melek huruf di Indonesia antara lain

dengan dibangunnya Sekolah Dasar Instruksi Presiden (Inpres) di berbagai daerah

yang belum memiliki lembaga pendidikan untuk mengakomodasi para anak

dengan umur sekolah yang ada di daerah tersebut. Upaya lain dalam

menyelesaikan masalah partisipasi pendidikan di Indonesia adalah kebijakan

Wajib Belajar 6 tahun (Wajar) yang saat ini telah ditingkatkan menjadi Wajib

belajar 12 tahun. Kebijakan ini juga didukung dengan dana bantuan pendidikan

dari pemerintah yang berupa BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk setiap

siswa di Indonesia yang disalurkan melalui sekolah mereka.

Keberhasilan peningkatan partisipasi pendidikan di Indonesia dapat kita

lihat dengan tingginya angka pastisipasi pendidikan di beberapa jenjang

pendidikan khususnya pendidikan dasar. Namun tingginya angka partisipasi

pendidikan ini masih belum diimbangi dengan peningkatan kualitas pendidikan

yang ada di Indonesia. Peningkatan partisipasi pendidikan ini tidak diimbangi

dengan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Berbagai survei yang

dilakukan OECD (2016, p. 469–475) pada negara OECD dan

negara-negara mitra termasuk didalamnya Indonesia, dengan berbagai indikator

menempatkan Indonesia selalu pada posisi dibawah rata, bahkan terdapat

beberapa indikator yang menempatkan indonesia pada posisi terakhir dari 65

negara.

Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah

ketidakmerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Indonesia merupakan negara

kepulauan dengan ribuan pulau yang masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan

(3)

3

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam berbagai data nasional kita

dapat meilhat bagaimana jauhnya kesenjangan antara daerah-daerah yang termauk

dalam perkotaan dan daerah-daerah terpencil di Indonesia dalam hal pencapaian

pembelajaran dan juga prestasi akademik para siswanya. UNESCO pada

peluncuran Global Education Moniitoring (GEM) Report 2016, menyoroti

kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia. Kualitas pendidikan yang

didapatkan oleh anak-anak di pedalaman Kalimantan dan Papua sangat berbeda

dengan yang didapatkan oleh anak-anak di perkotaan seperti Jakarta dan

Yogyakarta. UUD 1945 yang mengatur tentang hak setiap warga negara untuk

memperoleh pendidikan seakan tidak berlaku pada daerah-daerah terpencil

tersebut.

Ketidakmerataan kualitas pendidikan di Indonesia disebabkan oleh berbagai

faktor. Geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan, dan juga akses

terbatas untuk mencapai daerah-daerah merupakan salah satu faktor. Berbagai

dana bantuan dari dana pendidikan sebesar 20% dari APBN seakan tidak

menyentuh daerah-daerah dengan predikat 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal)

(Al-Samarrai & Cerdan-Infantes, 2013, p. 115). Proses penyaluran dana yang

tidak sesuai dan tidak relevan dengan kebutuhan pendidikan Indonesia juga

menjadi salah satu faktor penyebab hal tersebut. Selain itu, masih terdapat

daerah-daerah dengan aspirasi pendidikan yang sangat rendah seperti di daerah-daerah

pedalaman sulawesi, kalimantan, Irian, dan Papua. Hal ini disebabkan budaya dan

pola pikir para masyarakat yang menganggap bahwa pendidikan bukanlah hal

yang penting untuk diperjuangkan, tentu saja hal ini juga merupakan bagi kualitas

pendidikan Indonesia untuk menyadarkan para warga negaranya bahwa

pendidikan merupakan investasi jangka panjang dalam kehidupan dan

berkepribadian.

Salah satu faktor kunci dari kesenjangan ini adalah perbedaan kompetensi

guru di setiap daerah Indonesia. Kualitas pendidikan suatu negara sangat

tergantung pada bagaimana kualitas para pendidiknya. Berbagai kesenjangan yang

ada antara daerah perkotaan dan daerah-daerah terpencil di Indonesia, mencetak

(4)

4

pedalaman sangat berbeda dengan kualitas guru yang ada di perkotaan, mulai dari

latar belakang pendidikan, pengalaman, sampai pada motivasi mengajar mereka.

Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai usaha guna menyelesaikan

masalah ketidakmerataan pengajaran ini dengan program SM3T yang

menempatkan guru-guru yang dianggap kompeten di bidangnya untuk mengajar

di daerah-daerah 3T. Namun esensi program ini menjadi berubah ketika kita

melihat hal tersebut hanya sebagai syarat formalitas dalam mencapai tingkat

kemapanan karir. Banyak guru-guru setelah mereka ditempatkan di daerah

terpencil dan kembali ke daerah mereka di perkotaan dengan tingkat

profesionalisme yang dianggap mumpuni berdasar pada pengalaman yang telah

mereka lalui, tidak mau lagi untuk mengajar di daerah terpencil dan memilih

untuk mengajar di daerah perkotaan. Akibatnya, tetap saja kesenjangan kualitas

pengajaran yang terbentang antara daerah terpencil dan perkotaan tidak

menemukan solusinya.

Komunitas profesional merupakan salah satu strategi efektif dalam

pengembangan kompetensi guru. Komunitas profesional merupakan sebuah

perkumpulan para pendidik yang melakukan berbagai kegiatan bersama-sama

guna mengembangkan kualitas pengajaran mereka. Selain berposisi sebagai

pribadi individu, guru juga berposisi sebagai anggota dari sebuah sistem sekolah,

seperti juga siswa atau peserta didik mereka. Guru bervariasi dalam usia, latar

belakangnya, pengalamannya, dan juga bagaimana mereka merespon hal-hal yang

mereka hadapi baik dalam kehidupan maupun dalam pengajaran. Sehingga,

kompetensi setiap guru tentu berbeda melihat dari pengalaman-pengalaman yang

mereka lalui dalam menyelesaikan masalah dalam kelas mereka. Komunitas guru

dapat menjadi wadah bagi mereka untuk berbagi pengalaman, inovasi, konten,

menyelesaikan masalah dan menjalin keterikatan antar guru sebagai sarana

pengembangan kompetensi dan profesionalisme mereka. Pengoptimalan

komunitas profesional guru sekolah dasar merupakan solusi ketidakmerataan

(5)

5

A. Komunitas Profesional Guru Sekolah Dasar

Guru memiliki beberapa kompetensi yang harus dimiliki dalam aspek

keprofesionalitasannya (Farisi, 2011, p. 23). Kompetensi yang pertama adalah

kompetensi pedagogis dimana seorang guru dituntut untuk memiliki kemampuan

dalam kemampuan mengelola pembelajaran dan pengajaran mereka. Kompetensi

yang kedua adalah kompetensi kepribadian dimana seorang guru adalah seseorang

dengan pribadi yang baik, berwibawa, bijaksana, dan mampu menjadi teladan

bagi para peserta didik mereka. Kompetensi profesional merupakan kompetensi

selanjutnya, dimana seorang guru dituntut untuk menguasai kedalaman materi dari

apa yang disampaikan. Kompetensi selanjutnya adalah kompetensi sosial dimana

seorang guru juga merupakan seorang anggota di dalam sistem masyarakat, guru

harus mampu memiliki kemampuan berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya,

baik dengan masyarakat, sesama guru, siswa, maupun para orangtua dan wali dari

siswa. Berbagai kompetensi inilah yang harus dimiliki dan dikembangkan oleh

para pendidik untuk dapat menjadi guru yang efektif dan berkualitas guna

meningkatkan kualitas pengajaran dan akhirnya meningkatkan kualitas

pendididikan.

Selain berposisi sebagai pribadi individu, guru juga berposisi sebagai

anggota dari sebuah sistem sekolah, seperti juga siswa atau peserta didik mereka.

Guru bervariasi dalam usia, latar belakangnya, pengalamannya, dan juga

bagaimana mereka merespon hal-hal yang mereka hadapi baik dalam kehidupan

maupun dalam pengajaran (Lieberman & Miller, 2008, p. 97). Sehingga,

kompetensi setiap guru tentu berbeda melihat dari pengalaman-pengalaman yang

mereka lalui dalam menyelesaikan masalah dalam kelas mereka. Dalam berbagai

perbedaan inilah peran sebuah komunitas profesional sangat penting.

Komunitas profesional merupakan sebuah komunitas dimana pendidik atau

guru berkumpul untuk bertukar pengalaman mengajar (Day, Sammons, Stobart,

Kington, & Gu, 2007, p. 137). Komunitas yang kita kenal ada di Indonesia dan

diatur dalam undang-undang adalah Kelompok Kerja Guru (KKG). KKG

(6)

6

McLaughlin & Talbert (2006, p. 75), membedakan antara dua jenis

komunitas guru. Dua jenis itu adalah “komunitas tradisional” dan selanjutnya

dengan apa yang mereka sebut dengan “komunitas belajar guru”. Guru di

komunitas tradisional berbagi pandangan yang terdefinisi dengan baik mengenai

konten yang mereka ajarkan dan apa yang harus dipelajari siswa, tetapi mereka

menunjukkan sedikit kecenderungan untuk mempertanyakan pandangan

tersebut bahkan dalam menghadapi kesulitan atau kegagalan siswa. Sebaliknya,

komunitas belajar guru dipersatukan oleh komitmen mereka terhadap

pembelajaran siswa dan kecenderungan untuk menanyakan secara mendalam

masalah-masalah belajar mengajar. Seperti yang digunakan oleh McLaughlin dan Talbert, istilah “komunitas belajar guru” mengacu pada upaya bersama guru untuk menghasilkan pengetahuan baru dari praktek dan saling mendukung

pertumbuhan professional masing-masing. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

sebuah komunitas guru akan kuat apabila mereka memiliki satu misi dalam

komunitasnya ditengah berbagai perbedaan kompetensi yang mereka miliki.

Persamaan tujuan atau misi ini tentu saja adalah untuk meningkatkan kualitas

pembelajaran dan pengajaran mereka guna meningkatkan kualitas pendidikan.

B. Komunitas Profesional Guru Sebagai Wadah Peningkatan Kompetensi

Seorang guru harus memiliki pengetahuan dalam konteks yang senantiasa

berubah mengikuti berkembangnya kebutuhan dan masalah yang ada saat ini

(Stoll, Bolam, McMahon, Wallace, & Thomas, 2006, p. 224). Sehingga dalam hal

ini pengembangan kompetensi seorang guru yang berkelanjutan merupakan

sebuah bagian yang tidak terpisahkan dari status mereka sebagai seorang

pendidik. Wood, (2007, p. 282) mengemukakan bahwa seorang guru seharusnya

bukanlah hanya seseorang yang memiliki kemampuan dan pengetahuan

pedagogis, namun juga sebagai pencipta, penyebar, dan juga sebagai pelopor.

Komunitas guru memberikan kesempatan bagi guru untuk dapat mengembangkan

kompetensinya bukan hanya sebagai penerima pengetahuan yang pasif namun

(7)

7

Didalam sebuah komunitas guru, guru dapat mengungkapkan masalah

pembelajaran yang belum memiliki pemecahannya (Warren Little, 2003, p. 915).

Dengan berbagai pengalaman dan kekayaan pengetahuan para guru secara

bersama-sama, mendiskusikan solusi yang efektif guna menyelesaikan

permasalahan tersebut. Kegiatan ini tentu saja akan memperbaiki kualitas

pengajaran baik secara individu maupun secara keseluruhan karena guru-guru lain

juga mendapatkan pengalaman tersebut. Indonesia dengan kompleksitas siswa

yang sangat tinggi tentu memiliki berbagai masalah yang bervariasi di dalam

berbagai kondisi lingkungan pembelajaran. Tidak setiap guru dapat mendapatkan

pengalaman dengan masalah yang dimiliki guru lain, sehingga dalam komunitas

guru dapat memberikan antispasi ketika nantinya guru mendapatkan masalah yang

sama dengan masalah yang telah didiskusikan.

Komunitas profesional guru juga menjadi media bagi guru untuk dapat

mengembangkan metode pembelajaran bagi para siswanya (Cheng & Tsui, 1999,

p. 147). Setiap guru tentu memiliki kecenderungan dalam menggunakan

menggunakan suatu metode dalam pembelajaran di kelasnya. Kecenderungan ini

tentu saja menjadikan seorang guru memiliki pengetahuan dan pengalaman yang

lebih pada metode pembelajaran tersebut. Kecenderungan yang berbeda-beda

pada setiap guru dapat menjadi modal bagi guru untuk mengkombinasikan,

mengkolaborasikan, dan mengembangkan metode pembelajaran dalam kelas

mereka.

Komunitas profesional guru menimbulkan adanya keterikatan antar guru

sebagai kolega. Keterikatan ini tentu saja akan berpengaruh terhadap

pengembangan kompetensi. Dengan keterikatan para guru akan saling mendorong

satu sama lain untuk dapat terus mengembangkan kemampuan dan terus

berinovasi. Keterikatan ini juga menjadikan terhapuskannya jarak antara guru

junior dan senior, atau guru tetap dan guru honorer yang sering menimbulkan

kesenjangan antar guru dan menjadi salah satu faktor ketidakefektifan peforma

guru dalam pembelajaran (Andrews & Lewis, 2002, p. 250). Levine (2011, p. 39)

juga mengungkapkan bahwa sekolah yang memelihara kolaboratif 'komunitas

(8)

8

membantu guru untuk mengubah aspek pekerjaan mereka. Sumber daya tersebut

meliputi: keinginan guru untuk berinovasi; tujuan bersama secara luas;

kepercayaan; kontinuitas dengan masa lalu; dan juga apresiasi yang tinggi bagi

guru.

Komunitas profesional yang efektif akan menunjukkan intensitas

komunikasi yang tinggi antar guru, dimana tentu saja komunikasi tersebut

difokuskan secara khusus pada pengajaran dan pembelajaran. Para guru dalam

komunitas profesional akan lebih sering berkomunikasi tentang kemajuan para

siswanya, mengembangkan kurikulum dan juga instrumen penilaian

bersama-sama dan juga membantu guru lain untuk mengobservasi pembelajaran mereka

guna mendapatkan refleksi yang representatif dari pembelajaran mereka (Talbert

& Mclaughlin, 2002, p. 329). Guru dengan banyak pengalaman dapat

membimbing guru-guru baru dalam pembelajaran mereka (Scott, 2005, p. 52).

Guru dapat membandingkan hasil-hasil karya atau tulisan siswa. Guru dengan

ilmu disiplin yang berbeda dapat saling menentukan hubungan otentik antar

subjek guna mengembangkan pembelajaran tematik di kelas mereka.

C. Pemerataan Kualitas Pengajaran berbasis Komunitas Profesional

Berdasarkan kajian literatur mengenai komunitas profesional guru, jelas

bahwa komunitas guru merupakan salah satu strategi yang efektif untuk

mengembangkan dan meningkatkan kompetensi guru. Namun, bagaimana sebuah

komunitas profesional guru dapat menyelesaikan masalah ketidakmerataan

pengajaran di Indonesia? Pengoptimalan kegiatan komunitas profesional yang

didukung oleh sekolah dan juga pemerintah, merupakan jawaban dari pertanyaan

tersebut.

Tahap pertama pengoptimalan ini harus dilakukan pada komunitas guru di

kawasan perkotaan dengan sumber daya dan dukungan kompetensi yang

memadai. Kurang efektifnya kegiatan komunitas guru disebabkan sulitnya guru

untuk menyisihkan waktunya guna bertemu satu sama lain, hal ini disebabkan

berbagai faktor seperti ruang, tuntutan jam mengajar, dan sekolah yang tidak

(9)

9

mengoptimalkan kegiatan ini di perkotaan adalah melalui komunitas profesional

guru secara online menggunakan jaringan internet (Duncan-Howell, 2010, p.

101).

Internet saat ini memberikan keleluasaan yang hampir tidak terbatas bagi

penggunanya, menghapuskan jarak, waktu dan berbagai keterbatasan. Hal ini

dapat dimanfaatkan untuk menciptakan kegiatan komunitas profesional guru

secara online sehingga guru lebih leluasa dalam komunikasi kapanpun dan

dimanapun. Di berbagai negara di dunia, hal ini telah terimplementasi dengan

baik dan berdampak sangat positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan (UE,

Outlook, & UE, 2014, p. 148). Contohnya di negara perancis yang memiliki

platform komunitas online yang dikelola oleh Kementrian Pendidikan Perancis

yang didalamnya terdapat 2500 inovasi karya dari guru-guru yang ikut

berpartisipasi dalam platform tersebut. Selain itu juga di negara Swedia yang

memiliki situs web pendidikan dengan tiga tujuan umum yaitu informasi, sumber

online dan juga ruang komunikasi bagi lebih dari 100 guru yang ikut

berpartisipasi didalamnya.

Salah satu media yang paling mudah digunakan dan representatif untuk

kondisi para guru di Indonesia yang notabene masih kurang pengalaman dalam

hal pengoperasian teknologi adalah media Blog. Blog yang merupakan singkatan

dari Web Log adalah sebuah situs web yang mudah digunakan yang berisi teks

gambar, video atau tautan ke situs Web lainnya (Byrd, 2011, p. 2). Blogger yang

memposting dan memperbaharui informasi di Blog, tidak perlu terbiasa dengan

HTML (hypertext markup languange), dan Blog mudah digunakan semudah

menggunakan program pengolah kata. Informasi mudah diupload dengan dikirim

dari komputer ke Internet dan memungkinkan informasi tersebut untuk dibagi

dengan khalayak yang lebih luas (guru-guru dalam komunitas) (Yang, 2009, p.

19). Blog tidak memerlukan biaya apapun selain sedikit waktu, kemauan, dan juga

koneksi internet. Penulis percaya bahwa blog adalah media yang sempurna bagi

pendidik untuk berkomunikasi, berbagi, mempublikasikan, dan mengelola

(10)

10

berkomunikasi dan berpartisipasi dalam komunitas yang dibangun secara sosial

melalui wacana elektronik kolaboratif.

Secara teknis, blog dapat diatur sesuai dengan kebutuhan guru, guru dapat

menetapkan blog dapat diakses menggunakan password atau dapat diakses secara

bebas oleh khalayak luas. Blog dapat digunakan untuk mempublikasi sesuatu

seperti inovasi metode pembelajaran, hasil belajar siswa, atau karya-karya siswa

mereka (Tang & Lam, 2014; Wang, 2011). Para guru dapat berinteraksi melalui

kolom comment dan juga post. Beberapa penelitian telah membuktikan

keefektifan Blog dalam membangun komunitas guru alternatif yang juga efektif

sebagai pengembangan kompetensi penggunanya (Hou, Chang, & Sung, 2009;

Tang & Lam, 2014; Wang, 2011; Yang, 2009).

Setelah pengoptimalan komunitas profesional guru dioptimalkan,

selanjutnya adalah mengoptimalkan komunitas guru di daerah-daerah terpencil.

Minimnya akses untuk dapat menjangkau daerah terpencil menjadikan komunitas

guru di daerah tersebut menjadi tidak optimal, dan tidak memungkinkan bagi para

guru dengan kompetensi yang mumpuni yang sebagian besar tinggal di perkotaan

untuk datang ke daerah terpencil. Salah satu upaya untuk mengoptimalkan

komunitas profesional guru yang berada di daerah terpencil adalah dengan

menggunakan media, seperti video atau buku.

Dengan dukungan pemerintah, hal ini memiliki kemungkinan besar untuk

dapat dilaksanakan di Indonesia. Komunitas guru yang didalamnya terdapat

kegaiatan berbagai pengalaman, mengkritisi konsep dan juga berinovasi, dapat

diabadikan dalam sebuah media video atau buku. Setelah hasil dari kegiatan

komunitas ini diabadikan dalam dalam media video atau buku, selanjutnya buku

dan video tersebut diperbanyak dan kirimkan kepada guru-guru yang berada di

daerah terpencil. melalui media video atau buku yang merupakan hasil dari

kegiatan komunitas guru di perkotaan, guru-guru yang berada di daerah terpencil

juga akan mendapatkan pengalaman dan ilmu yang juga dapatkan oleh para guru

dalam komunitas profesional guru di perkotaan. Guru-guru di pedesaan juga dapat

mengemukakan masalah-masalah mereka dalam bentuk rekaman yang nantinya

(11)

11

Peran pemerintah dalam mendukung terlaksananya kegiatan ini sangat

berpengaruh. Seperti dalam hal memperbanyak video atau buku sebagai medaia

dalam komunitas profesional, menyalurkan video atau buku tersebut kepada

guru-guru di berbagai daerah terpencil melalui pemerintah daerah masing-masing,

hingga menyediakan alat perekam dan pemutar video bagi guru-guru di daerah

terpencil. Berbagi dan menerima pengalaman melalui media video atau buku

dapat menambah pengalaman dan pengetahuan guru guna memperbaiki dan

mengambangakan kualitas pengajaran mereka (Van Es, 2012, p. 182). Hal ini

seharusnya dapat dilakukan secara berkelanjutan, sehingga kesenjangan yang ada

dalam kompetensi pengajaran guru di daerah-daerah terpencil dan perkotaan dapat

terselesaikan.

Kesimpulan

Salah satu faktor kunci dari ketidakmerataan kualitas pengajaran di

Indonesia adalah perbedaan kompetensi guru di setiap daerah Indonesia.

Pengoptimalan komunitas profesional guru sekolah dasar merupakan solusi

ketidakmerataan kualitas pengajaran di Indonesia.

Komunitas profesional merupakan perkumpulan para guru untuk saling

berinteraksi dan berkomunikasi yang berfokus pada perbaikan pembelajaran dan

pengajaran. Komunitas profesional yang efektif akan menunjukkan intensitas

komunikasi yang tinggi antar guru, dimana tentu saja komunikasi tersebut

difokuskan secara khusus pada pengajaran dan pembelajaran. Para guru dalam

komunitas profesional akan lebih sering berkomunikasi tentang kemajuan para

siswanya, mengembangkan kurikulum dan juga instrumen penilaian

bersama-sama dan juga membantu guru lain untuk mengobservasi pembelajaran mereka

guna mendapatkan refleksi yang representatif dari pembelajaran mereka.

Pemerataan kompetensi pengajaran dapat dilakukan dengan pengoptimalan

kegiatan komunitas profesional guru. Pengoptimalan komunitas profesional guru

di perkotaan dapat dilakukan dengan menciptakan komunitas profesional online

melalui jaringan Internet. Salah satu aplikasi situs Web yang mudah digunakan

dan relevan dengan kemampuan digital guru-guru di Indonesia adalah Blog.

(12)

12

menggunakan media bantu seperti video atau buku yang berisi hasil dari kegiatan

komunitas profesional di perkotaan. Peran pemerintah sangat penting dalam

mendukung kegiatan ini. Hal ini seharusnya dapat dilakukan secara berkelanjutan,

sehingga kesenjangan yang ada dalam kompetensi pengajaran guru di

daerah-daerah terpencil dan perkotaan dapat terselesaikan.

REFERENSI

Al-Samarrai, S., & Cerdan-Infantes, P. (2013). Where did all the Money Go? Financing Basic Education in Indonesia. In Education in Indonesia (pp. 109– 138). Retrieved from http://muse.jhu.edu/books/9789814459877

Andrews, D., & Lewis, M. (2002). The experience of a professional community: teachers developing a new image of themselves and their workplace. Implications for Research. The Journal of Educational Research, 92(3), 141– 150. https://doi.org/10.1080/00220679909597589

Day, C., Sammons, P., Stobart, G., Kington, A., & Gu, Q. (2007). Teachers matter :connecting work, lives and effectiveness. Professional learning. https://doi.org/10.1787/9789264022157-ja

Duncan-Howell, J. (2010). Teachers making connections: Online communities as a source of professional learning. British Journal of Educational Technology, 41(2), 324–340. https://doi.org/10.1111/j.1467-8535.2009.00953.x

Farisi, M. I. (2011). Kompetensi Guru dalam Mewujudkan Pendidikan Berkarakter dan berbasis Budaya. Jurnal Teknologi Pendidikan, 11(1)(ISSN

0854-7149), 23–33. Retrieved from

http://jm.tp.ac.id/view/1331224689/mohammad-imam-farisi/kompetensi-guru-dalam-mewujudkan-pendidikan-berkarakter-dan-berbudaya

Hou, H.-T., Chang, K.-E., & Sung, Y.-T. (2009). Using blogs as a professional development tool for teachers: analysis of interaction behavioral patterns.

Interactive Learning Environments, 17(4), 325–340.

https://doi.org/10.1080/10494820903195215

(13)

13

of K-12 Teachers? Journal of Research on Technology in Educati, 41(3), 279–303. https://doi.org/10.1080/15391523.2009.10782532

Levine, T. H. (2011). Experienced teachers and school reform: Exploring how two different professional communities facilitated and complicated change.

Improving Schools, 14(1), 30–47.

https://doi.org/10.1177/1365480211398233

Lieberman, A., & Miller, L. (2008). Teachers in professional communities. The Series on School Reform.

McLaughlin, M. W., & Talbert, J. E. (2006). Building school-based teacher learning communities. professional strategies to improve student achievement.

OECD. (2016). Education at a Glance 2016: OECD Indicators. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/eag-2016-en

Scott, E. S. (2005). Peer-to-peer mentoring: teaching collegiality. Nurse Educator, 30(2), 52–6. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15785339

Stoll, L., Bolam, R., McMahon, A., Wallace, M., & Thomas, S. (2006). Professional Learning Communities: A Review of the Literature. Journal of Educational Change, 7(4), 221–258. https://doi.org/10.1007/s10833-006-0001-8

Talbert, J. E., & Mclaughlin, M. W. (2002). Professional Communities and the Artisan Model of Teaching. Teachers and Teaching, 8(3), 325–343. https://doi.org/10.1080/135406002100000477

Tang, E., & Lam, C. (2014). Building an effective online learning community (OLC) in blog-based teaching portfolios. Internet and Higher Education, 20, 79–85. https://doi.org/10.1016/j.iheduc.2012.12.002 construction. In Proceedings - 2011 International Conference of Information Technology, Computer Engineering and Management Sciences, ICM 2011 (Vol. 3, pp. 363–367). https://doi.org/10.1109/ICM.2011.246

(14)

14

Wood, D. R. (2007). Professional Learning Communities: Teachers, Knowledge, and Knowing. Theory Into Practice, 46(4), 281–290. https://doi.org/10.1080/00405840701593865

Referensi

Dokumen terkait

Banyaknya beban kerja yang diterima seorang karyawan didalam perusahaan membuat seorang karyawan tersebut mempunyai banyak tanggung jawab dan peran yang harus

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa rata-rata tingkat motivasi belajar siswa untuk mata pelajaran Fisika berada dalam kategori sedang dan rendah. Jika

Start Data Pegawai 1 Tanda Tangan Slip Gaji Slip Uang Makan Slip Uang Lembur Slip Remunerasi Laporan Gaji Tertandatangani Laporan Uang Makan Tertandatangani Laporan Uang

Analisis Faktor – faktor yang Mempengaruhi Permintaan Jus Buah diKota Mataram Untuk mengetahui pengaruh dari tiap-tiap variabel X (harga jus buah itu sendiri, pendapatan

Berdasarkan pengembangan dan analisis data yang dilakukan maka dapat diperoleh kesimpulan yaitu dihasilkan produk berupa CD interaktif untuk materi sistem ekskresi pada

[r]

Dari sumber literatur Cina, Cheng Ho mencatat terdapat kerajaan yang bercorak Islam atau kesultanan, antara lain, Samudra Pasai dan Malaka yang tumbuh dan berkembang sejak abad ke-13

Besarnya peningkatan nilai MOR papan komposit pada suhu 130 0 C ini karena nilai kerapatan papan komposit yang dihasilkan juga semakin besar, disamping itu dalam