OPTIMALISASI TUGAS DAN WEWENANG ANTARA KEPOLISIAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PENYELIDIKAN
DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
ARTIKEL
Oleh :
Eddi Dalimunthe NPM.1410018412048
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS BUNG HATTA
OPTIMIZATION ASSIGNMENT AND AUTHORITY BETWEEN POLICE AND CORRUPTION ERADICATION COMMISSION IN INQUIRIES AND
INVESTIGATIONS CORRUPTION
Eddi Dalimunthe1, Dr Fitriati, SH, M.H.2, Syafridatati, SH, M.H. 1 1. Legal Studies Program Post graduate Bung Hatta University
2. Legal Studies Program University Taman Siswa eddidaimunthe@yahoo.com
ABSTRACT
Coordination of investigations and investigations conducted by the Commission and the Police have in common in performing these tasks. Coordination is regulated in Law Number 30 of 2002, Article 8 paragraph (2) of the Corruption Eradication Commission. The fact that both the law enforcement and the Police Commission is still visible lack of coordination in the examination and investigation of corruption. The problem is: 1. How duties and authority of the Police and the Commission in the investigation and investigation of corruption ?, 2. How Optimizing the duties and authority of the Police and the Commission in the investigation and investigation of corruption? This study using sociological juridical approach, the data used are primary data and secondary data. Data was obtained through interviews, document studies and analyzed qualitatively. The authority supervising the research results owned by the Commission of its existence has the duty and function as a means of power relations between the KPK and the police. Where one part of the supervision that is taking over the handling of the case made by the Commission to investigators previously considered no progress or development. Optimization of tasks and responsibilities between the police and prosecutors in investigations and inquiries carried out by the MoU on coordination of the task. As well as the cooperation undertaken in the case of criminal investigations of corruption.
OPTIMALISASI TUGAS DAN WEWENANG ANTARA KEPOLISIAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PENYELIDIKAN
DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Eddi Dalimunthe1, Dr Fitriati, S.H., M.H.2, Syafridatati, S.H., M.H. 1 1. Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Bung Hatta
2. Program studi Ilmu Hukum Universitas Taman Siswa eddidalimunthe@yahoo.com
ABSTRAK
Koordinasi penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh KPK dan Kepolisian mempunyai kesamaan dalam melakukan tugas tersebut. Koordinasi ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 Pasal 8 ayat (2) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kenyataannya kedua penegak hukum tersebut yaitu KPK dan Kepolisian masih terlihat kurang koordinasi dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Permasalahannya adalah : 1. Bagaimanakah tugas dan wewenang Kepolisian dan KPK dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi?, 2. Bagaimanakah Optimalisasi tugas dan wewenang Kepolisian dan KPK dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis, data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Data diperoleh melalui wawancara, studi dokumen dan dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian Kewenangan supervisi yang dimiliki oleh KPK keberadaannya mempunyai tugas dan fungsi sebagai sarana hubungan kewenangan antara KPK dengan Kepolisian. Dimana salah satu bagian dari supervisi yaitu mengambil alih penanganan kasus yang dilakukan oleh KPK terhadap penyidik sebelumnya yang dianggap tidak mengalami kemajuan atau perkembangan. Optimalisasi tugas dan wewenang antara kepolisian dan kejaksaan dalam hal penyelidikan dan penyidikan dilakukan dengan adanya Mou tentang koordinasi tugas tersebut. Serta adanya kerjasama yang dilakukan dalam hal penyidikan tindak pidana korupsi.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang
undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa yang dapat menjadi penyidik adalah pejabat polisi
negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang undang. Pada Undang–undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terdapat dalam Pasal 11
menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum,
penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara, mendapat
perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau menyangkut
kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Sesuai dengan pasal yang dimaksud
jelas menyatakan bahwa instansi terkait harus melakukan koordinasi
dan kerjasama dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana korupsi.
Pada kenyataannya kedua penegak hukum tersebut yaitu
Kepolisian dan KPK masih terlihat kurang berkoordinasi maupun bekerjasama antar kedua lembaga ini,
seperti yang pernah terjadi perseteruan antara lembaga Kepolisian dan KPK
yang dikenal dengan istilah“Cicak dan Buaya”, ini menandakan bahwa
kurangnya koordinasi dan kerjasama
Pidana Korupsi sehingganya
menimbulkan suatu kontroversi dan bahkan membuat penilaian yang
negatif oleh masyarakat Indonesia terhadap penegakan hukum. Padahal kedua lembaga ini adalah sama-sama
penegak hukum yang berwenang untuk mencegah dan memberantas tindak
pidana korupsi.
Aparat Negara yang berwenang
dalam pemeriksaan perkara Tindak Pidana Korupsi adalah : Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan Hakim merupakan empat unsur yang masing-masing mempunyai tugas, wewenang dan
kewajiban yang sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam menjalankan tugasnya, unsur aparat penegak hukum tersebut merupakan penegak hukum yang
mempunyai peranan berbeda-beda sesuai dengan bidangnya serta sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku, akan tetapi secara bersama-sama mempunyai kesamaan
dalam tujuan pokoknya yaitu pemasyarakatan kembali para narapidana.
Tindak pidana korupsi yang merupakan tindak pidana khusus
dalam penanganannya diperlukan suatu kerjasama dengan pihak lain,
untuk dapat diselesaikan perkaranya oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), ketiga lembaga tersebut merupakan penegak hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi dan
kejaksaan memiliki tugas rangkap selain penyidik juga sebagi penuntut
umum. Maka dalam menyelesaikan kewajibannya masing-masing harus bekerjasama dengan pihak lain yang
karena dalam melakukan kerjasama
dalam suatu aturan atau hukum yang sifatnya pasti. Hubungan hukum
dengan pihak lain itu dapat berupa perseorangan, badan hukum dan Instansi pemerintahan. Hubungan
hukum dengan perseorangan misalnya dengan seorang saksi, seorang
tersangka, seorang penasehat Hukum. Hubungan hukum dengan badan
hukum misalnya perusahaan Terorganisasi dimana tersangka melakukan tindakan korupsi. Untuk
melaksanakan tugas pemberantasan Korupsi menurut peraturan yang berlaku, penyidik Tindak Pidana
Korupsi adalah Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Seluruh penegak hukum dan badan-badan yang terkait ini yang harus saling mendukung dan saling
membantu untuk berhasilnya penyidikan Tindak Pidana Korupsi.
B. RUMUSAN PERMASALAHAN Bedasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan
yang diteliti dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut yaitu : 1. Bagaimanakah tugas dan
wewenang Kepolisian dan KPK dalam penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana korupsi ?
2. Bagaimanakah optimalisasi tugas dan wewenang Kepolisian dan KPK ?
C. Metode Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
Yuridis Sosiologis. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis yaitu
memaparkan segala data yang dip roses sebagai hasil penelitian secara analitis. Jenis data adalah :
Data primer adalah data yang
diperoleh dari sumber pertama atau diperoleh dari lapangan. Pada
penelitian ini sumber data primer adalah Kepolisian dan KPK.
b. Data Sekunder antara lain : terdiri
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier.
Tehnik atau metode pengumpulan data
yang dipakai dalam penelitian adalah wawancara (Interview) secara langsung kepada informan untuk
menggali informasi sebanyak-banyaknya dengan menggunakan instrumen berupa pedoman wawancara
(Interview guide) terstruktur yang telah
disusun sebelumnnya. Wawancara
dilakukan dengan 2 orang penyidik Polri yang pernah melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yaitu
AKBP SRI SUHARTINI / Kasubag Ops Bareskrim polri dan AKP ALEX
ADRIAN/ Panit V Tipikor Bareskrim
Polri.
Data-data yang diperoleh berupa
data primer dan sekunder, analisa dilakukan secara kualitatif atas dasar disiplin ilmu hukum. Analisis data
dilakukan secara bersamaan dengan prose pengambilan data akan dapat
menentukan seberapa jauh informasi perlu ditambah dan beberapa serta
siapa lagi informan yang akan diwawancarai serta untuk menentukan data apa yang selanjutnya perlu lebih
diperdalam lagi.
II.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHSAN
A. Tugas dan wewenang Kepolisian dan KPK dalam Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
Selaras dengan semangat reformasi Polri yang membuat grand
Bahwa pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi adalah merupakan prioritas bagi Polri. Peran Polri disini menjadi
sangat penting, karena Polri menjadi ujung tombak dalam penegakan
hukum, meskipun dalam
perkembangannya selain Polri dan Jaksa, Negara membentuk lembaga
lain yang khusus menangani tindak pidana Korupsi yaitu KPK, hal ini
disebabkan karena tindak pidana korupsi adalah Kejahatan yang merupakan ekstra ordinary crime dan
mempunyai implikasi sangat besar bagi terhambatnya kemajuan Negara, juga sebagian besar pelaku korupsi
berada pada jalur birokrasi yang memegang kekuasaan sehingga di
butuhkan lembaga superbodi agar bisa melewati regulasi yang ada.
Sebagai contoh kasus BNI yang
awalnya terbongkar kasus menghebohkan ini tatkala BNI
melakukan audit internal pada bulan
agustus 2003. Dari audit tersebut diketahui bahwa pada posisi euro
dalam jumlah besar mencurigakan karena peredaran euro di Indonesia terbesar dan kinerja euro yang sedang
baik pada saat itu. Dari audit akhirnya diketahui ada pembukaan L/C yang
amat besar dan Negara bakal rugi lebih dari satu triliun rupiah. peran Polri
terhadap kasus BNI, dalam melakukan penyidikan. Pada kasus korupsi yang dilakukan oleh Gubernur ataupun
Bupati, dalam prosesnya Polri menghadapi banyak kendala, untuk melakukan pemblokiran terhadap suatu
rekening Bank yang diduga sebagai hasil pidana korupsi, Polri harus
memiliki bukti awal yang cukup dan didasari dengan Laporan Polisi yang resmi, dikirimkan melalui Bank
Indonesia, yang tentu saja prosesnya
memakan waktu yang cukup lama. Demikian halnya dalam melakukan
pemeriksaan baik sebagai saksi maupun Tersangka terhadap para Kepala Daerah seperti Gubernur
maupun Bupati, Polri harus mendapatkan persetujuan oleh
Presiden melalui Kementerian Dalam Negeri yang sudah barang tentu juga
memerlukan waktu yang tidak sedikit. Dengan segala keterbatasannya itu Polri selalu berusaha ekstra keras
untuk bersama-sama lembaga terkait dalam memberantas Korupsi. Karena korupsi adalah musuh bersama yang
harus diperangi tidak hanya dari luar akan tetapi juga dari dalam lembaga
Kepolisian itu sendiri, ada anekdot yang mengatakan bahwa mustahil membersihkan lantai yang kotor
dengan sapu yang kotor, artinya mustahil Polri mampu memberantas
Korupsi bila dari dalam internal
kepolisian sendiri masih melakukan perbuatan-perbuatan yang koruptif;
seperti pungutan liar, makelar kasus, jual beli jabatan.
Dalam tindak pidana korupsi
yang mana terdapat beberapa lembaga yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan mempunyai tugas dan wewenang dalam penyidikan
yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan berdasarkan
ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 Tentang Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan ketentuan Pasal 6 huruf c
Dalam hal KPK berpendapat
bahwa suatu perkara korupsi yang ditangani terdapat cukup bukti maka
KPK dapat melakukan sendiri proses penyidikan atau KPK dapat melimpahkan perkara korupsi tersebut
kepada pihak POLRI atau Kejaksaan, barulah setelah pelimpahan perkara
dari KPK kepada penyidik POLRI telah dilakukan, maka berdasarkan
pelimpahan tersebut POLRI memiliki wewenang penyidikan, tetapi dalam proses penyidikan yang dilakukan,
POLRI harus melakukan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan yang dilakukannya kepada
KPK (pasal 44 ayat (4) dan (5)). Selain itu, dalam melaksanakan
pemberantasan korupsi KPK senantiasa melakukan koordinasi dengan Kepolisian, bentuk koordinasi
antara Kepolisian dengan KPK di tuangkan dalam bentuk Keputusan
Bersama Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia No. Pol: KEP/16/VII/2005 dan KPK Nomor:
07/POLRI-KPK/VII/2005 tentang Kerjasama POLRI Dengan KPK Dalam Rangka Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Keputusan bersama tersebut memiliki tujuan untuk saling
membantu dalam melakukan pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, diantaranya dalam penguatan kelembagaan dimana saling memberikan bantuan personil dan
fasilitas yang menunjang pelaksanaan penanganan perkara korupsi dan juga diadakannya kerjasama dalam bidang
oprasional seperti: perlindungan saksi dan/atau pelapor sebagaimana yang
diatur dalam pasal 15 huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Setelah terbentuknya KPK,
Mengingat KPK khusus dibentuk untuk memberantas Tindak Pidana
Korupsi, kewenangan yang dimiliki oleh POLRI dalam penyidikan Tindak Pidana Korupsi dibatasi pada
kewenangan yang dimiliki oleh KPK, sehingga POLRI Berwenang
Melakukan penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang tidak
melibatkan aparat penegak hukum penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak
Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara, wewenang
penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang tidak mendapat
perhatian masyarakat; dan/atau wewenang penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang menyangkut
kerugian negara kurang dari Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Bahwa, dalam hal Tindak Pidana
Korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara
negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum atau penyelenggara Negara, mendapat perhatian
masyarakat, dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), POLRI juga berwenang melakukan penyidikan jika KPK melimpahkan
perkara korupsi tersebut kepada penyidik POLRI.
B. Optimalisasi Penyelidikan dan Penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian dan KPK dalam Tindak Pidana Korupsi
Kewenangan KPK mengambil alih kewenangan penyidikan dan
kekuasaan yang dimiliki oleh aparat
penegak hukum dalam hal korupsi dilakukan oleh anggota dari lembaga
yang menangani perkara korupsi tersebut, wewenang pengambil alihan penyidikan dan penuntutan ini hanya
dapat dilakukan oleh KPK dalam hal sebagaimana aturan dalam pasal 9
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya.
Hubungan kewenangan antar penyidik Polisi dan KPK tidak ada
pembagian khusus. Akan tetapi kedua institusi tersebut dapat melakukan tindakan hukum terhadap pelaku
tindak pidana korupsi, berdasarkan laporan yang masuk terkait dugaan
korupsi. Hingga saat ini, tidak ada ketentuan hukum yang tidak memberikan kewenangan terhadap
penyidik kepolisian untuk menangani tindak pidana korupsi. Besar atau kecil
mengenai dugaan tindak pidana
korupsi, penyidik kepolisian wajib untuk melakukan tindakan hukum.
Dengan demikian, keberadaan KPK bukan sebagai penghambat kerja polisi. Namun demikian berdasarkan
ketentuan undang-undang secara subtansial, KPK dapat melakukan
hubungan fungsional atas kewenangannya, seperti tindakan
hukum kordinasi, supervisi, bersama penyidik Kepolisian dan Kejaksaan atau bahkan pengambil alihan terkait
kasus tindak pidana korupsi sesuai persyaratan yang ditentukan undang-undang.
Dalam hal melakukan penyidikan tipikor Polri dan KPK tdk
pernah melakukan penyidikan secara bersama-sama karena kedua belah pihak merupakan insitusi yang
jawab secara langsung kepada
Presiden dan sebaliknya Ketua KPK juga bertanggung jawab secara
langsung kepada Presiden, juga mempunyai Filosofi yang berbeda dimana KPK adalah sifatnya bersifat
ethok/sementara dan filosofinya mencegah sementara Polri mempunyai
filosofi penegakan hukum serta sistem maupun Undang-undang yang
memisahkan kedua Insitusi tersebut.1 Sesuai dengan hasil penelitian penulis dengan cara wawancara
kepada AKBP SRI SUHARTINI yang menjabat KBO Tipikor Mabes Polri dan AKP Alex Adrian yang menjabat
sebagai Perwira Unit V Tipikor Mabes Polri di gedung Bareskrim Polri
Bidang Tipikor, dalam wawancara tersebut terlihat jelas beberapa
1 Wawancara dengan penyidik KPK tanggal 21 Agustus 2015
upaya kerjasama antara Kepolisian dan
KPK antara lain :
a.Upaya-upaya yang dilakukan kerjasama antara Polri Dan KPK
1). Membuat MOU antara Polri dan KPK
2). Apabila dilaksanakan penyuluhan
maupun penyajian pemahaman tentang tindak Pidana Korupsi kepada
masyarakat umum dengan permintaan dari pihak Polri maka salah satu dari pihak KPK akan berdsedia menjadi
narasumber dan bahkan menawarkan anggaran dari KPK dalam pelaksanaan
kegiatan tersebut dan sebaliknya Polri juga bersedia menjadi narasumber apabila di undang oleh pihak KPK.
3). Seandainya Pihak Polri menemukan terlebih dahulu perkara
Korupsi maka Polri memberitahukan kepada Pihak KPK/berbentuk surat pemberitahuan maupun surat tembusan
tersebut sudah ditangani oleh pihak
Polri begitu juga sebaliknya KPK juga akan memberitahukan kepada pihak
Polri.
4). Apabila kasus-kasus perkara korupsi P19 baik yang di pegang oleh
Polri maupun KPK maka kedua belah pihak melaksanakan gelar
perkara/Supervisi sebelum dilanjutkan ke bagian penuntut umum.
5). Apabila dalam hal menangani kasus korupsi yang secara kebetulan tertuju pada satu kasus korupsi
,Insitusi yang lebih banyak mendapatkan barang bukti dengan sendirinya insitusi tersebut yang akan
memegang kasus tersebut, bagi yang mendapatkan sedikit barang bukti
dengan sendirinya mengalah dan memberikan bukti-bukti kepada pihak yang lebih banyak barang buktinya.2
2
Wawancara dengan AKBP SRI SUHARTINI yang menjabat KBO Tipikor Mabes Polri dan
Adapun perbedaan antara KPK
dan kepolisian dalam mengusut tindak pidana korupsi adalah alur kerjanya.
KPK dapat bertindak sebagi penyelidik, penyidik, dan penuntut serta mengadili koruptor melalui
pengadilan tipikor. Sedangkan kepolisian hanya dapat melakukan
tindakan hukum yang kewenangannya melakukan penyelidikan dan
penyidikan yang nantinya jalur koordinasi menuju proses pengadilan umum pada pengadilan negeri.
Contoh adalah penyidikan kasus simulator SIM tersebut, kepolisian berpedoman pada MoU yang telah
disepakati bersama oleh POLRI, KPK dan Kejaksaan pada tanggal 29 Maret
2012. Bahwa pada pasal 8 poin 1 menyebutkan, “jika para pihak
melakukan penyelidikan pada sasaran
yang sama, untuk menghindari duplikasi penyelidikan maka
penentuan instansi yang wajib menindaklanjuti penyelidikan adalah instansi yang lebih dahulu
mengeluarkan surat perintah penyelidikan atau atas kesepakatan
para pihak”. Pihak kepolisian
mengatakan telah melakukan
penyelidikan sejak tanggal 21 Mei 2012, dan KPK mengklaim telah melakukan penyelidikan sejak tanggal
20 Januari 2012 dan meningkatkan ke tahap penyidikan pada tanggal 27 Juli 2012.
III. PENUTUP
1. Proses penyelidikan dan penyidikan
yang dilakukan oleh POLRI, Kejaksaan dan KPK terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi Masing-masing
memiliki kewenangannya masing-masing di dalam melakukan proses
penyelidikan dan penyidikan terhadap
tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia. Kompetensi kewenangan
dan fungsi KPK, yang memiliki landasan dasar hukum Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang secara subtantif
memiliki kesamaan tanggung jawab operasional dalam hal melakukan
tindakan hukum penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan penyidik
kepolisian.
2. Optimalisasi koordinasi penyidikan antara kepolisian dan KPK dilakukan
dengan pembuatan MOU kerjasama tentang penyidikan berupa koordinasi.
Kerjasama lain adalah Kewenangan supervisi yang dimiliki oleh KPK keberadaannya mempunyai tugas dan
Kepolisian, maupun kejaksaan sebagai
institusi yang mempunyai lah kewenangan menangani kasus korupsi.
Dimana salah-satu bagian dari supervisi yaitu pengambil alihan penanganan kasus yang dilakukan oleh
KPK tarhadap penyidik sebelumnya yang dianggap tidak mengalami
kemajuan atau perkembangan baik Kepolisian maupun Kejaksaan sesuai
dengan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 pasal 8 ayat (2) Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Adapun mekanisme supervisi yang dilakukan oleh KPK terhadap instansi yang bersangkutan sebenarnya tidak
diatur secara jelas dalam Undang-undang, namun kewenangan supervisi
yang dimiliki oleh KPK keberadaannya dimaksudkan untuk mengawasi lembaga penyidik agar
tidak terjadi penyalahgunaan tugas dan
kewenangan lembaga penyidik yang
lain.
Daftar Pustaka
Buku-buku
Abbas Said, Tolak Ukur Penilaian Penggunaan Diskresi oleh Polisi Dalam Penegakan Hukum Pidana, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 1, Nomor 1 Maret 2012.
Abdul Rahman Saleh, 2005, Penegakan Hukum Sebagai Komponen Integral Pembangunan Nasional, Wacana Hukum. Dan Kejaksaan Dalam Menangani Tipikor”. Jurnal Lex Crimen Vol. I No. 4 Oktober-Desember 2012.
Andi Hamzah, 1995, Delik-delik Tersebar Di Luar KUHP dengan Komentar, Pradnya Paramita, Jakarta.
Andi Hamzah, 2007, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Radja Grafindo Persada, Jakarta.
Baharuddin Lopa, 2003, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Elwi Danil, Supra, 2000,
Fungsionalisasi Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Tindak Pidana
Korupsi (studi tentang Urgensi
Pembaharuan Hukum Pidana,
Terhadap tindak Pidana Korupsi di Indonesia), Naskah Disertasi, Program Pascasarjana (S3), Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Fitria, “Eksistensi KPK Sebagai Lembaga Penunjang dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal NESTOR. Vol. 2 No. 2 Tahun 2012. Pontianak: Magister Hukum UNTAN.
Fockema Andrea, 1983, Kamus Hukum terjemahan Bina cipta, Bina Cipta, Bandung.
Harkristuti Harkrisnowo, 2002,
Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia, Jurnal DictumLeIP, Edisi I, Lentera Hati, Jakarta.
Hermien Hadiati Koeswadji, 1994, Korupsi di Indonesia dari Delik Jabatan ke Tindakan Pidana Korupsi,
Bandung, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hibnu Nugroho, “Rekonstruksi Wewenang Penyidik Dalam Perkara
Tipikor (Kajian Wewenang Polisi
DalamPenyidikan Tipikor)”, Jurnal
Media Hukum, Vol. 16 No.3 Desember
2009, Yogyakarta: FH UMY.
Ian Mc. Walters, 2006, Memerangi Korupsi, Sebuah Peta Jalan Untuk Indonesia, Temprina Media Grafika, Surabaya.
IGM Nurdjana, 2010, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi, Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Indriyanto Seno Adji, 2001, Korupsi dan Hukuim Pidana, Kantor Pengacara dan Konsultan
Hukum”Prof. Oemar Seni Adji, SH dan Rekan” Edisi Pertama.
Indryanto Seno Adji, 2006,
Korupsi Kebijakan Aparatur Negara
dan Hukum Pidana, Diadit Media,
“Harmonisasi Kelembagaan Dalam Penegakan Hukum Tipikor” Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 No.1 Maret 2007.
Jeremy Pope, 2003, Strategi Memberantas Korupsi (Edisi Ringkas), Transparency International Indonesia, Jakarta.