• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Bangun-Bangun (Plectranthus Amboinicus, (Lour.) Spreng) Terhadap Penghambatan Degranulasi Mastosit Yang Tersensititasi Aktif Pada Mencit Jantan Secara In Vitro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Bangun-Bangun (Plectranthus Amboinicus, (Lour.) Spreng) Terhadap Penghambatan Degranulasi Mastosit Yang Tersensititasi Aktif Pada Mencit Jantan Secara In Vitro"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan

Tumbuhan bangun-bangun (Plectranthus amboinicus,(Lour). Spreng),

sebutan yang lazim dipakai suku Batak, merupakan salah satu menu sayuran

sehari-hari yang digunakan masyarakat Sumatera Utara dan terutama disajikan

untuk ibu-ibu yang baru melahirkan. Tanaman ini diperkirakan berasal dari

India, kemudian tersebar dikawasan tropika dan pantropika (Dalimartha, 2008).

2.1.1 Sistematika tumbuhan

Menurut Pandey (2003), sistematika tanaman bangun-bangun adalah

sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Solanales

Famili : Lamiaceae

Suku : Plectranthus

Spesies : Plectranthus amboinicus Lour. Spreng.

Sinonim : Coleus amboinicus Lour

2.1.2 Nama daerah

Sumatera: bangun-bangun, daun hati-hati, sukan, tramun. Jawa: ajeran,

acerang (Sunda), daun jintan, daun kucing, daun kambing. Nusatenggara: iwak,

(2)

2.1.3 Nama asing

Inggris: Caraway seed atau cemin. Cina: Panling moung (Hariana, 2008).

2.1.4 Penggunaan tumbuhan

Daun bangun-bangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng)

digunakan sebagai obat sariawan, obat batuk, karminatif, meningkatkan

keluarnya ASI (laktagoga), analgesik, antipiretik, antiseptik (Dalimartha,

2008).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi berasal dari kata “extrahere”, “to draw out”, yaitu suatu cara

untuk menarik satu atau lebih zat dari asalnya. Umumnya zat berkhasiat

tersebut dapat ditarik, namun khasiatnya tidak berubah. Tujuan utama ekstraksi

adalah mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang

memiliki khasiat pengobatan dari zat-zat yang tidak dibutuhkan, agar lebih

mudah dipergunakan (kemudahan diabsorpsi, rasa, dan pemakaian) dan

disimpan dibandingkan simplisia asal, dan tujuan pengobatannya lebih terjamin

(Syamsuni, 2006). Hasil ekstraksi disebut dengan ekstrak, yaitu sediaan pekat

yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau

simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau

hampir semua pelarut diuapkan. Simplisia yang digunakan dalam proses

pembuatan ekstrak adalah bahan alamiah yang belum mengalami pengolahan

apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan

(3)

2.2.1 Metode Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair

(Depkes, 2000)

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa cara

yaitu :

1. Cara dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia dengan menggunakan pelarut

dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan (Depkes, 2000).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar.

Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara,

tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) (Depkes, 2000).

2. Cara panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan

dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada

residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi

(4)

b. Soxhlet

Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang umumnya

dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah

pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes, 2000).

c. Digesti

Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur

yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada

temperatur 40-50 (Depkes, 2000).

d. Infus

Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati

dengan air pada suhu 90 selama 15 menit (Depkes, 1979).

e. Dekok

Dekok adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati

dengan air pada waktu yang lebih lama ± 30 menit dangan temperatur sampai

titik didih air (Depkes, 2000).

2.3 Aminofilin

Aminofilin (suatu kompleks teofilin-etilendiamin) merupakan preparat

teofilin yang paling umum digunakan untuk penyakit asma yang diinduksi

alergi. Aminofilin memiliki kelarutan yang lebih besar daripada teofilin

sehingga senyawa ini lebih sering digunakan untuk sediaan asma. Struktur

(5)

Gambar 2.1 Aminofilin (Depkes RI, 1995)

Nama kimia : 1H-Purin-2,6-dione, 3,7-dihidro- 1,3-dimetil dengan 1,2-

etilendiamin (2:1)

Rumus molekul : C16H24N20O4.2H2O

Berat molekul : 456,46

Pemerian : Butir atau serbuk putih atau agak kekuningan, bau ammonia

lemah, rasa pahit. Jika dibiarkan di udara terbuka, perlahan-

lahan kehilangan etilena-diamina dan menyerap karbon

dioksida dengan melepaskan teofilin.

Kandungan : Tidak kurang dari 84,0% dan tidak lebih dari 87,4%

teofilin anhidrat, C7H8N4O2, dihitung terhadap zat anhidrat.

Kelarutan : 1 g aminofilin larut dalam 25 ml air (Depkes RI, 1995).

Adapun mekanisme kerja dari teofilin yaitu dengan cara menghambat

enzim fosfodiesterase sehingga mencegah pemecahan cAMP dan cGMP

masing-masing menjadi 5’-AMP dan 5’-GMP. Penghambatan fosfodiesterase

menyebabkan akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel sehingga menyebabkan

(6)

2.4 Sistem Imun

Yang dimaksudkan dengan sistem imun ialah semua mekanisme yang

digunakan badan untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan

terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan

hidup. Lingkungan hidup manusia yang tercemar berbagai bahan organik dan

anorganik, baik yang hidup seperti bakteri, virus, jamur, parasit maupun yang

mati. Debu dan polusi, yang setiap saat dapat masuk kedalam tubuh dapat

menimbulkan kerusakan jaringan atau penyakit (Baratawidjaja, 1996).

2.4.1 Imunitas

Imunitas merupakan suatu mekanisme untuk mengenal suatu zat atau

bahan yang dianggap sebagai benda asing terhadap dirinya, selanjutnya tubuh

akan mengadakan tanggapan (respon imun) dengan berbagai cara, seperti

netralisasi atau melenyapkan, dengan akibat tidak selalu menguntungkan bagi

tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009).

Respon imun adalah respon tubuh berupa satu urutan kejadian yang

kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respon

imun ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama sel

makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling berinteraksi secara

kompleks. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas mekanisme pertahanan

non spesifik dan mekanisme pertahanan spesifik (Akip, 2010).

Respon imun non spesifik (innate immunity) merupakan imunitas alamiah yang

telah ada sejak lahir. Imunitas ini tidak ditujukan hanya untuk satu jenis

antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen. Jadi bukan merupakan

(7)

mekanisme pertahanan tubuh yang ditujukan khusus terhadap satu jenis

antigen, karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain. Imun

spesifik mampu mengenali kembali antigen yang pernah dijumpainya

(memiliki memori), sehingga paparan berikutnya akan meningkatkan

efektifitas mekanisme pertahanan tubuh (Kresno, 2003).

2.5 Alergi

Prinsip alergi adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh reaksi imunologik

yang spesifik, atau suatu keadaan yang ditimbulkan oleh alergen atau antigen,

sehingga terjadi gejala-gejala patologik. Pada individu yang rentan terhadap

alergi, paparan dengan alergen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan

memproduksi antibodi IgE. Reaksi kerusakan jaringan yang disebabkan oleh

respon imun tersebut merupakan reaksi hipersensitivitas dan istilah alergi

sering disamakan oleh hipersensitivitas (Lease, 2010).

Reaksi alergi terjadi ketika antibodi IgE terikat dengan afinitas tinggi

melelui bagian Fc dengan reseptor FcεRI pada mastosit. Tubuh tidak akan

menunjukan reaksi apa-apa saat alergen masuk pertama kali, karena tubuh

masih membutuhkan waktu yang disebut masa sensitisasi. Sensitisasi

merupakan proses pelapisan mastosit oleh IgE. Pelapisan ini menyebabkan

mastosit menjadi sensitif bila terjadi paparan ulang oleh alergen yang sama.

Apabila mastosit yang telah tersensitisasi terpapar kembali oleh alergen yang

sama, sel akan teraktivasi mengeluarkan mediator. Aktivasi mastosit ini terjadi

sebagai hasil ikatan alergen dengan 2 atau lebih antibodi IgE pada mastosit

(8)

Salah satu yang paling berperan dalam reaksi patologi sistem imun adalah

imunoglobulin E (IgE), yang menstimulasi jaringan mastosit. Antibodi IgE

dihasilkan saat antigen berikatan dengan reseptor Fc pada mastosit. Ketika

mastosit berhubungan dengan antibodi yang berikatan silang dengan antigen,

mastosit diaktifkan secara cepat untuk mengeluarkan berbagai mediator seperti

histamin, prostaglandin, serotonin dan lain-lain. Mediator-mediator ini secara

bersamaan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, pelebaran pembuluh

darah bronkus, otot polos berkontraksi dan inflamasi lokal (Abbas dan

Lichtman, 2004). Mekanisme umum saat terjadi alergi dapat dilihat pada

Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Mekanisme umum saat terjadi reaksi alergi (Baratawidjaja, 2012).

2.6 Imunoglobulin

Imunoglobulin merupakan substansi utama pertama yang diidentifikasi

sebagai molekul dalam serum yang mampu menetralkan sejumlah

mikroorganisme penyebab infeksi. Molekul ini disintesis oleh sel B dalam 2

bentuk yang berbeda, yaitu sebagai reseptor permukaan (untuk mengikat

(9)

ekstraselular. Imunoglobulin merupakan molekul glikoprotein yang terdiri atas

komponen polipeptida sebanyak 82-92% dan selebihnya karbohidrat (Kresno,

2003).

2.6.1 Klasifikasi imunoglobulin

Imunoglobulin dikenal dengan 5 kelas utama.

2.6.1.1 Imunoglobulin G (IgG)

IgG mempunyai rantai beratnya adalah γ, merupakan imunoglobulin

utama yang dibentuk atas rangsangan antigen. IgG dapat menembus plasenta

dan masuk kedalam peredaran darah janin, sehingga bayi baru lahir IgG yang

berasal dari ibulah yang melindungi bayi terhadap infeksi. Dalam serum orang

dewasa normal, IgG merupakan 75% dari imunoglobulin total (Kresno, 2003).

2.6.1.2 Imunoglobulin A (IgA)

IgA mempunyai rantai beratnya adalah α. IgA ditemukan dalam jumlah

sedikit dalam serum, tetapi kadarnya dalam cairan sekresi saluran napas,

saluran cerna, saluran kemih, air mata, keringat, ludah dan air susu lebih tinggi.

IgA dalam serum dapat mengaglutinasikan dan mengganggu motilitas kuman

sehingga memudahkan fagositosis (Bratawidjaja, 1996).

2.6.1.3 Imunoglobulin M (IgM)

IgM dalam serum biasanya berbentuk pentamer, dan banyak diproduksi

pada awal respon imun primer. IgM merupakan antibodi yang paling efesien

dalam mengaktifkan komplemen. Kadar IgM yang tinggi merupakan petunjuk

(10)

2.6.1.4 Imunoglobulin D (IgD)

Imunoglobulin D merupakan monomer dan konsentrasinya dalam

serum hanya sedikit, tetapi konsentrasinya dalam darah tali pusat cukup tinggi.

Peran biologiknya sebagai antibodi humoral belum jelas, yang telah diketahui

adalah perannya sebagai antibodi dalam reaksi hipersensitifitas terhadap

penisilin.

2.6.1.5 Imunoglobulin E (IgE)

Kadar imunoglobulin E dalam serum orang dewasa normal sangat

rendah, tetap dapat meningkat pada orang yang menderita hipersensitivitas.

Selain itu imunoglobulin E dapat dijumpai dalam cairan sekresi. Salah satu

sifat penting dari IgE adalah kemampuannya melekat secara erat pada

permukaan mastosit atau basofil melalui reseptor Fc. Terikatnya bagian Fc

antibodi dengan reseptor pada mastosit, diikuti oleh ikatan silang molekul yang

berdekatan oleh antigen, memicu degranulasi oleh suatu mekanisme yang

melibatkat influks Ca2+ (Kresno, 2003). Ikatan silang atibodi-antigen yang

menyebabkan degranulasi mastosit dapat dilihat pada Gambar 2.3.

(11)

2.7 Mastosit

Mastosit merupakan sel-sel besar bulat dengan penuh butir-butir dalam

sitoplasmanya, yang dapat diperlihatkan dengan pewarnaan biru toluidin.

Efektor utama dalam reaksi hipersensititivitas tipe I adalah mastosit yang

umumnya terdapat dalam jaringan pengikat di sekitar pembuluh darah, dinding

mukosa usus, dan saluran pernapasan. Sel mastosit berisi simpanan histamin

tubuh dan terdapat pada hampir seluruh jaringan. Dalam mastosit, histamin

berikatan dengan heparin pada granula sitoplasma. Secara normal pelepasan

histamin melibatkan influks ion Ca2+, permeabilitas membran sel terhadap ion

Ca2+ berkurang ketika kadar adenosin monofosfat siklik (cAMP) intraseluler

meningkat, obat-obat yang menstimulasi sintesis cAMP (agonis adrenoseptor

β2) mengurangi pelepasan histamin (Subowo, 2009; Neal, 2006).

Identifikasi sel mastosit bisa dilakukan dengan beberapa pewarnaan,

misalnya dengan biru toluidin, alcian blue, safranin. Pewarnaan sel mast yang

sering digunakan toluidin dan alcian blue. Sel akan teramati cukup jelas pada

pewarnaan biru toluidin dibanding alcian blue. Biru toluidin akan mewarnai sel

mast dengan warna merah-ungu (pewarnaan metakromatik) (Nugroho, 2011).

Jumlah sel dihitung dengan menggunakan bilik hitung improved

Neubauer (hemositometer). Suspensi sel diambil 10 μl kemudian diletakkan ke

dalam bilik hitung (hemositometer), setelah itu ditutup dengan gelas penutup.

Pada saat menutup dengan gelas penutup gelembung udara tidak boleh

terbentuk. Hemositometer yang telah berisi suspensi sel kemudian diamati di

bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400. Sel yang dihitung adalah sel

(12)

sedangkan sel yang terletak di tepi bilik bagian kanan dan bawah tidak

dihitung.

Gambar 2.4 Bagian dari hemositometer.

1 mm

Gambar 2.5 Bentuk kamar hitung pada hemositometer. Rata-rata jumlah sel (n) diperoleh dari sel yang ada di setiap kamar dibagi

menjadi 4. Panjang setiap kamar adalah 1 mm dan tinggi 0,1 mm, sehingga

volume setiap kamar = 0,1 mm3 (1,0 mm2 x 0,1 mm).

A B

D C

(13)

Penghitungan jumlah sel per ml adalah sebagai berikut (Bijanti et al, 2002):

Volume tiap bujur sangkar =1/4 mm x 1/4 mm x 1/10 mm = 1/160 mm3

Volume tiap kamar hitung =16 x 1/160 = 0,1 mm3

= 0,1 x 10-3 cm3

= 10-4 cm3

= 10-4 ml

=

Metode pewarnaan yang tradisional digunakan untuk uji ketahanan sel

adalah dengan trypan blue. Trypan blue adalah pewarna yang tertinggal pada

sel yang mati dengan warna biru yang khas ketika dilihat di bawah mikroskop,

sedangkan sel yang sehat tidak menunjukkan warna. Sel yang sehat memiliki

membran sel yang utuh karenanya tidak menyerap medium disekitarnya. Di

sisi lain, sel yang tidak sehat tidak mempunyai membran yang utuh dan

menyerap medium disekitarnya (Louis, 2011).

Hitung jumlah sel per ml dengan rumus (Louis, 2011):

2.8 Reaksi Hipersensitivitas

Respon imun, baik non spesifik maupun spesifik pada umumnya

(14)

pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak

menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut reaksi

hipersensitivitas. Hipersensitivitas ialah peningkatan reaktivitas atau

sensitivitas terhadap antigen yang pernah dikenal sebelumnya. Reaksi

hipersensitivitas dibagi atas 4 tipe reaksi berdasarkan kecepataan terjadinya

dan mekanisme imun yang terjadi (Baratawidjaja, 2012).

a. Reaksi tipe I

Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat, terjadi hanya dalam hitungan detik,

menghilang dalam 2 jam. Alergen yang masuk kedalam tubuh akan

menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE yang kemudian diikat oleh

reseptor Fc pada permukaan sel mastosit atau basofil. Bila tubuh terpapar oleh

antigen yang sama, dan berikatan dengan molekul IgE yang sebelumnya sudah

melekat pada permukaan sel mastosit atau basofil, maka hal ini akan

menyebabkan degranulasi mastosit. Degranulasi tersebut mengeluarkan

mediator antara lain ialah histamin.

b. Reaksi tipe II

Reaksi tipe II yang disebut juga reaksi sitotoksik terjadi oleh karena dibentuk

oleh antibodi jenis IgG dan IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel

penjamu.

c. Reaksi tipe III

Reakasi ini disebut juga reaksi kompleks imun terjadi akibat penimbunan

kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah. Antigen

tersebut dapat berasal dari kuman patogen persisten (malaria), bahan yang

(15)

d. Reaksi tipe IV

Reaksi tipe IV yang juga disebut reaksi tipe lambat, timbul lebih dari 24 jam

setelah tubuh terpapar oleh antigen. Reaksi terjadi karena respon sel T yang

Gambar

Gambar  2.1  Aminofilin (Depkes RI, 1995)
Gambar 2.2.
Gambar 2.3 Ikatan silang atibodi-antigen yang menyebabkan degranulasi           mastosit
Gambar 2.4 Bagian dari hemositometer.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan dibuatnya suatu situs untuk pemesanan rumah maka semua proses jual beli didalam suatu perusahaan property menjadi lebih efisien dan mudah bila dibandingkan dengan cara

[r]

Secara umum tindakan yang dipilih oleh peneliti yakni dengan menggunakan metode demonstrasi dalam membaca puisi cukup efektif untuk meningkatkan kemampuan

Effect of roll, pitch, yaw, theta and range errors on the x, y and z accuracies relating to the incidence angle value The International Archives of the Photogrammetry, Remote

Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 orang secara

3. CityGML represents the land surface and the object area being mapped. LOD 1 illustrate the block model without the roof structure. LOD3 show with more

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar IPA materi pengelompokan mahluk hidup

Both datasets were acquired with a combination of five cameras, IGI DigiCam in a Maltese cross configuration, with a tilt angle of 45 degrees. However, for this