BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Peneliti Terdahulu
Sebagai bahan acuan hasil penelitian terdahulu dapat digunakan untuk
melakukan penelitian selanjutnya, walaupun terdapat perbedaan objek atau
variabel-variabel yang diteliti dan tempat penelitian tersebut dipakai sebagai
gambaran dan perbandingan bagi peneliti berikutnya untuk melakukan penelitian.
1. Harahap (2007), melakukan penelitian dengan Judul Peningkatan Kualitas
Pelayanan Penyaluran Tenaga Kerja Indonesia (Analisis Pengaruh antara
Kepemimpinan, Pendidikan Latihan Pegawai dan Komitmen Kerja terhadap
Kualitas Pelayanan TKI (Kinerja pegawai di BNP2TKI). Penelitian dilakukan
melalui penyebaran daftar pertanyaan kepada 50 orang responden, berjenis
kelamin laki-laki sebanyak 68% dan berjenis kelamin perempuan sebanyak
32%. Hasil penelitian dinyatakan bahwa variabel Kepemimpinan, Pendidikan
Latihan dan Komitmen Kerja memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
mutu pelayanan kepada TKI, menggunakan metode analisis regresi linier
berganda , melalui uji f (pengujian secara simultan/serentak) memperoleh F
hitung sebesar 16,616 dengan peluang kesalahan 0,000 dan uji t (pengujian
secara individu) yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan menggunakan
derajat keyakinan sebesar 95 %, variabel Kepemimpinan memiliki nilai t
hitung sebesar 2,340 > t tabel sebesar 1,96 dengan probabilitasnya dibawah
0,05 yaitu p = 0,000. Pendidikan Latihan memiliki nilai t hitung sebesar 2,770
dan Komitmen Kerja juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
mutu pelayanan yaitu t hitung sebesar 3,394 > t tabel sebesar 1,99 dengan
probabilitasnya dibawah 0,05 yaitu p = 0,000. Dari hasil nilai R2
2. Lestari (2007) penelitian dengan judul Analisis Faktor – Faktor yang
berpengaruh Terhadap Pelayanan Pengurusan dokumen TKI pada Penyaluran
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Timur Tengah (Studi Kasus Pada PT. Satria
Muda Utama Jakarta) , Responden penelitian berjumlah 121 karyawan,
pengambilan sampel dengan random sampling yaitu secara acak tanpa tanpa
memperhatikan strata yang ada pada populasi . Structural Equation Modeling
(SEM) yang dijalankan dengan perangkat lunak AMOS, digunakan untuk
menganalisis data bahwa variabel Kepemimpinan dan variabel Motivasi Kerja
berpengaruh signifikan terhadap Kualitas Pelayanan Pengurusan paspor TKI.
Kepemimpinan memiliki pengaruh yang paling dominan terhadap kualitas
pelayanan kepada TKI.
dijelaskan
oleh variabel bebas (X1,X2,dan X3) secara simultan sebesar 59,8% sedangkan
sisanya sebesar 40,2% dijelaskan oleh variabel lain diluar penelitian ini.
Adapun pada tabel 2.1 menunjukkan perbedaan penelitian terdahulu
dengan penelitian sekarang yang digunakan sebagai gambaran dan
Tabel 2.1
Perbedaan Penelitan Terdahulu dengan Penelitian Sekarang
No .
Peneliti Terdahulu Peneliti Sekarang
1. Nama dan Tahun : :
Harahap (2007) Lestari (2007) Nainggolan (2013)
2. Judul Penelitian
• Analisis Faktor Faktor yang berpengaruh Pada PT. Satria Muda Utama Jakarta)
•Analisa pengaruh kepemimpinan, sampling yaitu secara acak
• 35 orang dari seluruh pegawai yang dijadikan sampel (sensus) dan 35 orang TKI
4. Metode Penelitian :
• Analisa data dengan regresi linear berganda
• Structural Equation Modeling (SEM) yang dijalankan dengan perangkat lunak AMOS
• Analisa data dengan regresi linear berganda simultan) dan uji t
Sumber: Hasil Penelitian, 2012 (Data Diolah)
2.2.Teori Kepemimpinan
2.2.1. Pengertian dan Defenisi Kepemimpinan
Pada suatu organisasi pimpinan merupakan unsur terpenting, karena
memiliki daya kemampuan mempengaruhi dan menggerakkan manusia lainnya
bekerja untuk mencapai tujuan. Kepemimpinan merupakan proses dimana
pimpinan mempengaruhi sikap dan perilaku pengikut untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Kepemimpinan merupakan faktor yang paling penting
dalam kegiatannya menggerakkan orang lain untuk bekerja sama dalam
pencapaian tujuan.
Banyak definisi kepemimpinan yang menggambarkan asumsi bahwa
kepemimpinan dihubungkan dengan proses mempengaruhi orang baik individu
maupun masyarakat. Robbins dan Judge (2008:49) mendefenisikan
kepemimpinan (leadership) sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu
kelompok guna mencapai suatu visi atau serangkaian tujuan yabng ditetapkan.
“Leadership is the process of influencing theactivities of an individual
or a group in efforts toward goal achievement in a givensituation “
(Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan – kegiatan
seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan dalam suatu situasi
tertentu).
Cleary (2009) membagi defenisi kepemimpinan dilihat dari aneka
sudut pandang antara lain :
1) Dari segi organisasi
Kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi,
mendorong sejumlah orang (dua orang atau lebih) agar bekerja sama
dalam menentukan tujuan melaksanakan kegiatan -kegiatan yang
terarahpada tujuan bersama.
2) Dalam konteks Struktural
Kepemimpinan diartikan sebagai proses pemberian motivasi agar
orang-orang yang dipimpin melakukan kegiatan atau pekerjaan sesuai
dengan program yang telah ditetapkan. Kepemimpinan juga berarti
usaha mengarahkan, membimbing, dan mempengaruhi orang lain, agar
pikiran dan kegiatannya tidak menyimpang dari tugas pokok unit /
bidangnya masing-masing. Kepemimpinan merupakan inti dari
manajemen yang berarti bahwa menajemen akan mencapai sasarannya
3) Dalam konteks nonstruktural
Kepemimpinan diartikan sebagai proses mempengaruhi pikiran,
perasaan, tingkah laku dan mengarahkan semua fasilitas untuk
mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan secara bersama pula.
Hersey dan Blanchard (dalam Cleary, 2009) dalam konteks
Kepemimpinan situasional adalah merupakan kepemimpinan yang didasarkan
atas hubungan saling mempengaruhi antara (1).Tingkat bimbingan dan arahan
yang diberikan pemimpin (perilaku tugas), (2). Tingkat dukungan sosioemosional
yang disajikan pemimpin (perilaku hubungan) dan (3).Tingkat kesiapan yang
diperlihatkan bawahan dalam melaksanakan tugas, fungsi atau tujuan tertentu
(kematangan bawahan). Berdasarkan teori kepemimpinan situasional, tidak ada
satu gaya kepemimpinan yang paling efektif untuk semua organisasi.
Kepemimpinan yang efektif adalah perilaku kepemimpinan yang sesuai dengan
karakteristik organisasi, terutama kondisi kematangan bawahan.
2.2.2. Peran Pemimpin
Peran kepemimpinan meliputi memotivasi bawahan dan menciptakan
kondisi yang menyenangkan dalam melaksanakan pekerjaan kepemimpinan
berusaha untuk membuat perubahan dalam organisasi dengan (1) menyusun visi
masa depan dan strategi untuk membuat perubahan yang dibutuhkan (2)
mengkomunikasikan dan memperjelas visi, dan (3) memotivasi dan memberi
inspirasi kepada orang lain untuk mencapai visi itu, dan kepemimpinan sebagai
hubungan pengaruh ke berbagai arah antara pemimpin dan bawahannya yang
penelitian definisi operasional dari kepemimpinan akan tergantung pada seberapa
luas tujuan para peneliti (Allen , Meyer dan Smith, 1997).
Dalam perspektif pelayanan publik, peran pemimpin harus mampu
membawa organisasi publik memberikan pelayanan prima. Karena pada
hakekatnya dibentuknya organisasi publik adalah untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat. bahwa organisasi publik dikatakan efektif apabila dalam
realita pelaksanaannya birokrasi dapat berfungsi melayani sesuai dengan
kebutuhan masyarakat (client), artinya tidak ada hambatan (sekat) yang terjadi
dalam pelayanan tersebut, cepat dan tepat dalam memerikan pelayanan, serta
mampu memecahkan fenomena yang menonjol.
2.2.3. Model dnn Gaya Kepemimpinan
Robbins dan Judge (2008) mengemukakan ada empat macam model
kepemimpinan bila dikaitkan dengan ciri kepribadian seorang pemimpin. Yaitu :
1. Model kepemimpinan kontigency (Model Fiedler.l974),
2. Model jalur-tujuan (Model Houss Path Goal, l974);
3. Model Partisipasi (Model Vroom-Yetton,l973) dan
4. Model situasi (l977).
Dari keempat model tersebut model situasi merupakan penyempurnaan
dari kelemahan-kelemahan teori yang ada sebelumnya. Efektivitas kepemimpinan
seseorang pada tingkat yang sangat dominan ditentukan oleh kemampuannya
untuk membaca situasi yang dihadapi dan menyesuaikan dengan gaya
kepemimpinannya sedemikian rupa agar cocok dan mampu memenuhi tuntutan
kepemimpinan yang sama seperti dikenali oleh Fiedler : perilaku tugas dan
hubungan. Tetapi Hersey dan Blanchard (2007) melangkah lebih jauh dengan
menganggap masing masing dimensi sebagai tinggi atau rendah dan kemudian
menggabung semuanya menjadi empat perilaku pemimpin yang spesifik pada
gaya kepemimpinan situasional yaitu :
1. Telling/ konsultatif (orientasi tugas tinggi-hubungan rendah); pemimpin
mendefinisikan peranan-peranan yang dibutuhkan untuk melakukan
tugas dan mengatakan pada pengikutnya apa, dimana, bagaimana dan
kapan untuk melakukan tugas-tugasnya.
2. Selling/instruktif (orientasi tugas tinggi hubungan tinggi) : pemimpin
menyedikan instruksi-lntruksi terstruktur bagi pengikutnya tetapi juga
sportif. Melalui komunikasi dua arah dan penjelasan-penjelasan terarah
tentang hal-hal yang perlu dilakukan, pemimpin juga harus
mengusahakan dukungan secara psikologis agar para pegawai secara
sukarela melaksanakan tugas sesuai harapan pemimpin.
3. Participating/peran serta (orientasi tugas rendah-hubungan tinggi) :
pemimpin dan pengikut saling berbagi dalam keputusan - keputusan
menegenai bagaimana yang paling baik untuk menyelesaikan suatu tugas
dengan kualitas tinggi.
4. Pendelegasian (orientasi tugas rendah- hubungan rendah ) : pemimpin
menyediakan sedikit pengarahan secara seksama, spesifik, atau
Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan
seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi orang lain seperti
yang ia lihat (Robbins dan Judge, 2008). Kebanyakan orang menganggap gaya
kepemimpinan merupakan tipe kepemimpinan. H a l i n i b a h w a g a y a
k e p e m i m p i n a n
Ada beberapa ciri perilaku yang menunjukkan gaya kepemimpinan yang
berorientasi pada tugas dan hubungan manusia. Goleman dan Boyatzis (2003)
mengemukakan empat ciri, yaitu memberikan dukungan, menjalin interaksi,
merancang tugas-tugas dan menetapkan tujuan. Dua komponen menunjukkan
perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas, yaitu merancang tugas-tugas
dan menetapkan tujuan. Dua komponen menunjukkan perilaku kepemimpinan
yang berorientasi pada hubungan manusia, yaitu memberikan dukungan dan
menjalin interaksi. Berdasarkan dua orientasi kepemimpinan tersebut, selanjutnya
gaya kepemimpinan bisa diklasifikasi menjadi empat, yaitu: (1) task oriented
leadership, yakni gaya kepemimpinan yang berorientasi tinggi pada tugas, dan
rendah pada hubungan manusia, (2) relationship oriented leadership, yakni gaya
kepemimpinan yang berorientasi tinggi pada hubungan manusia, tetapi rendah
pada tugas, (3) integrated leadership, yakni gaya kepemimpinan yang
beroirientasi tinggi pada tugas dan hubungan manusia, dan (4) impoverished
leadership, yakni gaya kepemimpinan yang berorientasi rendah pada tugas dan
hubungan manusia (Goleman dan Boyatzis, 2003) Pendekatan gaya seseorang adalah identik dengan tipe kepemimpinan orang
kepemimpinan menjelaskan perilaku kepemimpinan yang membuat seseorang
menjadi pemimpin yang efektif.
Dari uraian diatas maka defenisi kepemimpinan adalah kemampuan
mempengaruhi kegiatan – kegiatan atau pekerjaan para bawahannya dimana
pemimpin memberikan dukungan, komunikasi, kesempatan berinnovasi,
berinpirasi dan mengupayakan partisipasi sukarela para bawahannya dalam usaha
mencapai tujuan dan sasaran organisasi/instansi. Selanjutnya gaya atau model
kepemimpinan pada instansi BP3TKI Medan diidentifikasi berupa pendekatan
model Kepemimpinan yang Situasional. Pendekatan ini, menggambarkan bahwa gaya yang digunakan tergantung pada pemimpinnya sendiri, dukungan,
pengikutnya, dan situasi yang kondusif. Untuk menganalisis motivasi pokok
bawahannya, pemimpin dapat menempatkan pada situasi yang sesuai. Kualitas
hubungan pemimpin dengan anggota kelompok adalah yang paling berpengaruh
pada efektivitas kepemimpinannya sehingga kepemimpinannya tidak begitu perlu
mendasarkan pada kekuasaan formalnya. Sebaliknya, jika ia tidak disegani atau
tidak dipercaya maka ia harus didukung oleh peraturan yang memberi ketenangan
untuk menyelesaikan tugasnya.
2.3. Motivasi Kerja
2.3.1. Pengertian Motivasi Kerja
Motivasi adalah dorongan yang dilimiliki seseorang untuk bertindak dan
berperilaku secara tertentu sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginan yang diharapkan. Mondy (2010) memberikan defenisi motivasi kerja
tujuan-tujuan organisasi, yang di kondisikan oleh kemampuan upaya demikian, untuk
memenuhi kebutuhan individual tertentu. Motivasi dapat pula dipandang sebagai
bagian integral dari administrasi kepegawaian dalam rangka proses pembinaan,
pengembangan dan pengarahan tenaga kerja dalam suatu organisasi.
Motivasi menurut Siagian (2008) adalah dimensi atau energi yang
menggerakkan diri karyawan yang terarah atau tertuju untuk mencapai tujuan
organisasi. Sedangkan Menurut Vroom yang dikutip penulis yang sama
(2005,70) motivasi sebagai suatu proses yang menentukan pilihan antara beberapa
alternatif dan kegiatan sukarela. Sebagian besar perilaku dipandang sebagai
kegiatan yang dapat dikendalikan orang secara sukarela.
Menurut Luthans (2006) Proses timbulnya motivasi umumnya diawali
dengan munculnya suatu kebutuhan (needs) yang belum terpenuhi sehingga
menyebabkan adanya ketidakseimbangan antara fisik dan psikologis dalam diri
seseorang. Kemudian ketidakseimbangan tersebut menyebabkan orang berusaha
untuk menguranginya dalam berprilaku tertentu. Usaha inilah yang disebut
dorongan (drives), misalnya kebutuhan makan diwujudkan dalam bentuk
dorongan rasa lapar dan kebutuhan untuk berteman menjadi dorongan untuk
bersosialisasi. Selanjutnya orang tersebut akan menerima insentif (incentive)
sebagai akibat dari usaha yang ia lakukan.
2.3.2. Teori Motivasi Kerja
Pada bagian ini Siagian (2007) menyampaikan dua teori tentang
motivasi kerja yaitu teori isi (content theory) dan teori proses (process
a. Teori Isi (content theory)
Teori isi dari motivasi kerja mencoba menentukan apakah hal itu yang
memotivasi orang dalam bekerja. Teori ini menekankan arti pentingnya
pemahaman faktor-faktor yang ada dalam diri individu yang menyebabkan
mereka bertingkah laku.
Teori isi kadang-kadang juga disebut teori kebutuhan, teori-teori
tersebut diantaranya adalah :
1. Teori Hirarki Kebutuhan dari Maslow
Jika suatu kebutuhan telah terpenuhi maka kebutuhan berikutnya
menjadi dominan. Untuk memotivasi seseorang, perlu diketahui tingkat
hirarki kebutuhannya saat ini, dan memusatkan perhatian pada pemenuhan
kebutuhan tersebut dan di atas tingkat tersebut.
2. Teori ERG dari Alderfer
Teori ini berusaha meninjau kembali teori hirarki kebutuhan agar lebih
sesuai dengan hasil riset empiris. Revisi terhadap hirarki kebutuhan berupa
penggolongannya menjadi tiga kelompok kebutuhan inti, yang disingkat ERG,
yaitu : Eksistensi (existence), Keterikatan (relatedness), Pertumbuhan
(growth).
3. Teori Herzberg (Teori Dua Faktor)
Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional
antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan
bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan
dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan
seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan
oleh para penyelia, kebijakan organisasi, sistem administrasi dalam organisasi,
kondisi kerja dan sistem imbalan yang berlaku.
b. Teori Proses (process theory)
Pendekatan teori ini menentukan pada bagaimana dan dengan tujuan
apa setiap individu dapat dimotivasi. Dasar teori ini adalah adanya expextancy
(harapan) yaitu apa saja yang dipercayai oleh para individu akan mereka
peroleh dari tingkahlaku mereka. Faktor tambahan dari teori ini adalah valency
atau kekuatan dari preferency individu terhadap hasil yang diharapkan.
1. Teori Harapan dari Vroom
Teori harapan menyatakan bahwa kecenderungan berperilaku dengan
cara tertentu tergantung pada kekuatan harapannya bahwa perilaku tersebut
akan memberikan hasil yang menarik bagi individu tersebut. Teori ini
menunjukka hubungan antara : upaya dengan prestasi, prestasi dengan imbalan,
dan imbalan dengan kepuasan tercapainya tujuan.
2.Teori Lawler
Teori motivasi dari Lawler menyatakan bahwa teori harapan dari
motivasi dengan versi orientasi masa yang akan datang juga menentukan
3. Teori Keadilan dari Adams
Teori keadilan (equty theory) menyatakan bahwa individu
membandingkan masukan pekerjaannya (upaya yang disumbangkan) dengan
keluaran (imbalan yang diterima) antara diri dan pembandingannya, kemudian
melakukan reaksi terhadap ketidakadilan yang dialaminya.
4. Teori Penguatan dari Skiner
Teori penguatan (reinforcement theory) menyatakan bahwa perilaku
ditentukan oleh (atau merupakan fungsi dari) konsekuensinya. Teori penguatan
menganggap perilaku disebabkan oleh lingkungan, yaitu apa yang diterima dari
luar sebagai konsekuensi dari perilakunya. Teori ini mengabaikan keadaan
internal individu berupa faktor-faktor kognitif seperti perasaan, sikap, harapan
yang mempengaruhi perilaku.
2.3.3. Faktor Penggerak Motivasi A. Faktor Internal
Tentu banyak faktor yang menyebabkan karyawan mempunyai
motivasi kerja yang tinggi atau rendah, namun secara garis besar motivasi
dapat bersumber dari faktor internal dan faktor eksternal tergantung dari mana
suatu kegiatan dimulai. Siagian (2008) menyatakan faktor yang cenderung ke
arah faktor internal yang mempengaruhi motivasi adalah faktor yang
didasarkan pada Teori Dua Faktor dari Herzberg (Herzberg Two Factor
Theory), didasarkan pada pembagian Hierarki Maslow menjadi kebutuhan atas
kebutuhan tingkat atas disebut sebagai faktor motivator yang diklasifikasikan
kedalam faktor internal, antara lain :
(1) Tanggung Jawab (Responsibiliy), merupakan besar kecilnya tanggung
jawab yang dirasakan diberikan pada seorang individu.
(2) Kemajuan (Advancement), merupakan besar kecilnya kemungkinan
individu dapat maju dalam pekerjaannya.
(3) Pekerjaan itu sendiri, merupakan besar kecilnya tantangan yang dirasakan
individu dari pekerjaannya.
(4) Pencapaian (Achievement), besar kecilnya kemungkinan individu
mencapai prestasi kerja yang tinggi.
(5) Pengakuan (Recognition), besar kecilnya pengakuan yang diberikan
individu atas unjuk kerjanya.
Robbins dan Judge (2008), menjelaskan pula bahwa Teori Kebutuhan
McClelland (McClelland’s Theory of Needs) juga dapat mendukung faktor
internal yang dapat mempengaruhi motivasi individu dalam bekerja. Teori
tersebut berfokus pada tiga kebutuhan, kekuatan dan hubungan :
(1) Kebutuhan Pencapaian (Need for Achievement), merupakan dorongan
untuk melebihi, mencapai standar-standar, berusaha keras untuk berhasil.
(2) Kebutuhan Kekuatan (Need for Power), merupakan kebutuhan untuk
membuat individu lain berperilaku sedemikian rupa sehingga akan
berperilaku sebaliknya.
(3) Kebutuhan Hubungan (Need for Affiliation), keiginan untuk menjalin
B. Faktior Eksternal
Teori motivasi eksternal menjelaskan kekuatan-kekeuatan yang ada di
dalam individu yang di pengaruhi faktor-faktor intern.untuk itu : gaji, kondisi
kerja, penghargaan, hub. Kerja, tanggung jawab ,teori motivasi eksternal
tidak mengabaikan teori motivasi internal, tetapi justru mengembangkan nya.
Pimpinan dan manajer dapat menggunakan motivasi eksternal yang positif
maupun negatif. Motivasi positif merupakan penghargaan atas prestasi yang
sesuai, sedangkan motivasi negatif mengenakan sanksi jika prestasi tidak
dapat dicapai. Siagian (2008) menyatakan bahwa faktor eksternal yang dapat
mempengaruhi motivasi individu dalam bekerja dijelaskan pula oleh Teori
Dua Faktor dari Herzberg (Herzberg Two Factor Theory). Teori Dua Faktor
Herzberg didasarkan pada pembagian Hierarki Maslow menjadi kebutuhan
atas dan kebutuhan bawah. Faktor yang dapat memenuhi kebutuhan tingkat
bawah dinamakan faktor higyene yang merupakan faktor eksternal yang dapat
mempengaruhi motivasi individu dalam bekerja, yaitu:
(1) Administrasi dan Kebijakan Perusahaan, merupakan derajat kesesuain
yang dirasakan individu dari semua kebijakan dan peraturan yang berlaku
dalam perusahaan.
(2) Penyeliaan, merupakan derajat kewajaran penyeliaan yang dirasakan
diterima individu.
(3) Gaji, merupakan derajat kewajaran dari gaji yang diterima sebagai
(4) Hubungan antar Pribadi, merupakan derajat kesesuaian yang dirasakan
dalam berinteraksi dengan individu lain.
(5) Kondisi Kerja, merupakan derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses
pelaksanaan tugas pekerjaannya.
Pendapat ini didukung oleh Teori Keseimbangan (Equity Theory)
yang menyatakan bahwa setiap orang yang memasuki dunia kerja
mengharapkan hasil (outcome) yang diterima sesuai dengan yang telah
diberikannya untuk organisasi (input) dan dengan yang diterima orang lain di
lingkungan pekerjaannya atau organisasi lain (dalam Mondy, 2010).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi motivasi kerja adalah faktor internal dan faktor eksternal.
2.4. Komitmen 2.4.1. Pengertian
Komitmen organisasi secara umum dapat diartikan sebagai keterikatan
pegawai pada organiasasi dimana pegawai tersebut bekerja. Komitmen
dibutuhkan oleh organisasi agar sumber daya manusia yang kompeten dalam
organisasi dapat terjaga dan terpelihara dengan baik. Komitmen organisasi
didefinisikan sebagai pengukur kekuatan pegawai yang berkaitan dengan
tujuan dan nilai organisasi (Steers, dalam Robbins dan Judge, 2008).
Komitmen dalam berorganisasi dapat terbentuk karena adanya
beberapa faktor, baik dari organisasi, maupun dari individu sendiri. pendapat
Allen dan Meyer (1997) yang mengklasifikasikan komitmen organisasional
komitment continuance (continuance commitment), dan komitmen normatif
(normiative commitment). Dalam perkembangannya affective commitment,
continuance commitment, dan normative commitment, masing-masing memiliki
pola perkembangan tersendiri.
Luthans (2006) mendefenisikan Komitmen dipandang sebagai suatu
orientasi nilai terhadap organisasai yang menunjukan individu sangat
memikirkan dan mengutamakan pekerjaan dan organisasinya. Individu akan
berusaha memberikan segala usaha yang dimilikinya dalam rangka membantu
organisasi mencapai tujuannya. Robbins (2003) membagi variabel komitmen
organisasi dalam tiga katagori yaitu: (1) karakteristik personel dari setiap
anggota organisasi yang meliputi umur, pendidikan, jenis kelamin, dan
kebutuhan akan pencapaian; (2) karakteristik yang berhubungan dengan
pekerjaan yang terdiri dari beberapa variable seperti penekanan peran (konflik
dan ketidakjelasan peran) serta (karakteristik tugas dan pengalaman kerja yang
meliputi variabel seperti sikap kepemimpinan (inisiatif dari organisasi dan
pertimbangan dari pimpinan) serta struktur organisasi (formalisasi dan
pertisipasi dalam pengambilan keputusan). Mengingat fokus penelitian ini
adalah pada faktor-faktor organisasi maka penelitian ini hanya dibatasi kepada
karakteristik-karakteristik yang berhubungan dengan pekerjaan.
2.4.2 Dimensi Komitmen
Allen dan Mayer (1997) megemukakan 3 (tiga) dimensi dari komitmen
organisasional, yaitu :
anggota organisasi akan mengalami kerugian berhubungan dengan
pemberhentian pekerjaan dengan organisasi. Karyawan memiliki penilaian
pragmatis atas biaya dan manfaat dari yang tertinggal dengan organisasi.
Terdapat kecenderungan karyawan untuk tinggal di organisasi karena
karyawan tidak mampu untuk meninggalkan organisasi.
Individu dengan continuance commitment yang tinggi akan bertahan dalam
organisasi, bukan karena alasan emosional, tapi karena adanya kesadaran
dalam individu tersebut akan kerugian besar yang dialami jika meninggalkan
organisasi. Berkaitan dengan hal ini, maka individu tersebut tidak dapat
diharapkan untuk memiliki keinginan yang kuat untuk berkontribusi pada
organisasi. Jika individu tersebut tetap bertahan dalam organisasi, maka pada
tahap selanjutnya individu tersebut dapat merasakan putus asa dan frustasi
yang dapat menyebabkan kinerja yang buruk. Continuance commitment tidak
berhubungan atau memiliki hubungan yang negatif pada kehadiran anggota
organisasi atau indikator hasil pekerjaan selanjutnya, kecuali dalam
kasus-kasus di mana job retention jelas sekali mempengaruhi hasil pekerjaan.
Individu dengan continuance commitment yang tinggi akan lebih bertahan
dalam organisasi dibandingkan yang rendah. Hal menarik lainnya, semakin
besar continuance commitment seseorang, maka ia akan semakin bersikap
pasif atau membiarkan saja keadaan yang tidak berjalan dengan baik.
2. Affective commitment, merefleksikan penyertaan emosional pada organisasi,
identifikasi dengan organisasi dan keterlibatan dalam organisasi. Terdapat
melakukan. Komitmen ini meliputi loyalitas, tetapi juga merupakan perhatian
yang dalam terhadap kesejahteraan organisasi.
Affective commitment ditemukan memiliki hubungan yang positif dengan
keinginan untuk menyarankan suatu hal demi kemajuan (voice) dan
menerima sesuatu hal sebagaimana adanya mereka (loyalty) dan berhubungan
negatif dengan tendency untuk bertingkah laku pasif ataupun mengabaikan
situasi yang tidak memuaskan (neglect). Individu dengan affective
commitment yang tinggi cenderung untuk melakukan internal
whistle-blowing (yaitu melaporkan kecurangan kepada bagian yang berwenang
dalam perusahaan) dibandingkan external whistle-blowing (yaitu melaporkan
kecurangan atau kesalahan perusahaan pada pihak yang berwenang).
3. Normative commitmen, berhubungan dengan perasaan karyawan atas
kewajiban atau tanggung jawab untuk tinggal bersama organisasi. Karyawan
memelihara keanggotaan di dalam organisasi.
Individu dengan normative commitment yang tinggi akan tetap bertahan
dalam organisasi karena merasa adanya suatu kewajiban atau tugas. Meyer &
Allen (dalam Cleary,2009) menyatakan bahwa perasaan semacam itu akan
memotivasi individu untuk bertingkahlaku secara baik dan melakukan
tindakan yang tepat bagi organisasi. Namun adanya normative commitment
diharapkan memiliki hubungan yang positif dengan tingkah laku dalam
pekerjaan, seperti job performance, work attendance, dan organizational
citizenship. Normative commitment akan berdampak kuat pada suasana
2.4.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Komitmen
Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen dalam berorganisasi adalah
karakteristik pribadi individu, karakteristik organisasi, dan pengalaman selama
berorganisasi (Allen dan Meyer, 1997). Yang termasuk ke dalam karakteristik
organisasi adalah struktur organisasi, desain kebijaksanaan dalam organisasi,
dan bagaimana kebijaksanaan organisasi tersebut disosialisasikan. Karakteristik
pribadi terbagi ke dalam dua variabel, yaitu variabel demografis; dan variabel
disposisional.
Mowdays, Porter dan Steers (dalam Sopiah,2009) juga mengemukakan 3
tahap dalam komitmen yaitu komitmen selama periode awal, permulaan
pekerjaan dan karir kemudian. Masing-masing tahap tersebut dipengaruhi oleh
faktor yang berbeda. Proses tersebut dapat membuktikan proses komitmen
sangat cepat. Komitmen organisasi didasarkan pada perilaku yang terutama
berasal dari ketidakleluasaan menggunakan ketrampilan pekerja sehingga
meninggalkan organisasi yang mengikatnya. Saat komitmen dicontohkan
sebagai fungsi kepercayaan terhadap organisasi dan pengalaman kerja,
karakteristrik organisasi harusnya menjadi faktor yang mempengaruhi
kepercayaan pegawai terhadap organisasi dan oleh karena itu pada level
komitmen pegawai; karakteristik kerja harusnya menjadi faktor utama yang
mempengaruhi Kualitas pelayanan dari pegawai.
Anggota organisasi yang loyalitas dan kesetiaannya tinggi terhadap
membuat organisasi menjadi sukses. Makin kuat pengenalan dan keterlibatan
individu dengan organisasi akan mempunyai komitmen yang tinggi.
2.5. Kualitas Pelayanan 2.5.1. Pengertian
Kata kualitas mengandung banyak definisi dan makna, orang yang
berbeda akan mengartikannya secara berlainan tetapi dari beberapa definisi yang
dapat kita jumpai memiliki beberapa kesamaan walaupun hanya cara
penyampaiannya saja biasanya terdapat pada elemen sebagai berikut:
1. Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihkan harapan pelanggan.
2. Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan
3. Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah. Pelayanan merupakan
perilaku produsen dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen
demi tercapainya kepuasan pada konsumen itu sendiri. Kotler (dalam Tjiptono,
2007) juga mengatakan bahwa perilaku tersebut dapat terjadi pada saat, sebelum
dan sesudah terjadinya transaksi. Pada umumnya pelayanan yang bertaraf tinggi
akan menghasilkan kepuasan yang tinggi serta pembelian ulang yang lebih
sering
Pengertian pelayanan umum menurut Keputusan Menpan nomor 81
tahun 1993 tentang Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum, adalah segala
bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi
pemerintahan pusat, di daerah, dan dilingkungan badan usaha milik negara/
kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan
perundangan-undangan.
Dari defenisi tentang kualitas dan pelayanan diatas kualitas
pelayanan dapat diartikan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan
konsumen serta ketepatan penyampaiannya dalam mengimbangi harapan
konsumen (Tjiptono, 2007).
2.5.2. Kriteria Pelayanan TKI
Kotler (dalam Kaspinor, 2004) menyatakan
kualitas pelayanan (Service quality) pada umumnya dipandang sebagai hasil
keseluruhan sistem pelayanan yang diterima konsumen, dan pada prinsipnya,
bahwa kualitas pelayanan berfokus pada upaya pemenuhan kebutuhan dan
keinginan pelanggan, serta adanya tekad untuk memberikan pelayanan sesuai
dengan harapan pelanggan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kualitas
pelayanan merupakan penilaian pelanggan terhadap kesempurnaan
performansi atas produk atau jasa yang dikonsumsi (Sinambela ,2004).
Kualitas Pelayanan TKI merupakan kegiatan pelayanan penempatan
dan perlindungan TKI yang memiliki dimensi kemudahan, keterjangkauan,
kecepatan, dan keamanan. Sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 39
tahun 2004, tentang tugas Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan Balai Pelayanan Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) untuk dapat memberikan
pelayanan penempatan dan perlindungan TKI antara lain : Rekrutmen,
Pelatihan, Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP), Pembuatan Kartu
konsultasi, Pemulangan, Pemberdayaan, dan Penempatan kembali (reentry)
dengan dimensi cepat, murah, dan aman
Sinambela (2006:194) mengutarakan tentang sejumlah kriteria yang
menjadi ciri pelayanan atau jasa sekaligus membedakannya dari barang dan
jasa yaitu:
1) Pelayanan merupakan output tak terbentuk.
2) Pelayanan merupakan output variabel, tidak standar.
3) Pelayanan tidak dapat disimpan dalam inventori, tetapi dapat
diasumsikan dalam produksi.
4) Terdapat hubungan langsung yang erat dengan pelanggan melalui
proses pelayanan.
5) Pelanggan berpartisipasi dalam proses memberikan pelayanan.
6) Keterampilan personel diserahkan atau diberikan secara langsung
kepada pelanggan.
7) Pelayanan tidak dapat diproduksi secara massal.
8) Membutuhkan pertimbangan pribadi yang tinggi dari individu yang
memberikan pelayanan.
9) Perusahaan jasa pada umumnya bersifat padat karya.
10) Fasilitas pelayanan berada dekat lokasi pelanggan.
11) Pengukuran efektifitas pelayanan bersifat subjektif.
12) Pengendalian kualitas terutama dibatasai pada penegndalian proses.
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) dalam
keputusannya Nomor : 81/1993 menegaskan bahwa pelayanan yang
berkualitas hendaknya sesuai dengan sendi-sendi sebagai berikut :
(1) Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur/tata cara pelayanan
diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat dan tidak berbelit-belit serta
mudah difahami dan dilaksdanakan.
(2) Kejelasan dan kepastian, menyangkut Prosedur/tata cara pelayanan
umum, Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administratif,
Unit kerja atau pejabat yang bertanggung jawab dalam memberikan
pelayanan umum, Rincian biaya/tarif pelayanan umum dan tata cara
pembayaranya, jadwal waktu penyelesaian, hak dan kewajiban dari
pemberi dan penerima layanan.
(3) Keamanan, dalam arti bahwa proses serta hasil pelayanan umum dapat
memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan
kepastian hukum.
(4) Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur/tata cara, persyaratan, satuan
kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu
penyelesaian dan rincian biaya/tarif dan hal-hal lain yang yang berkaitan
dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar
mudah diketahui dan difahami oleh masyarakat, baik diminta maupun
tidak diminta.
(5) Efisien, meliputi Persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada
dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan
produk pelayanan umum yang diberikan.
(6) Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan
secara wajar.
(7) Keadilan yang merata dalam arti cakupan atau jangkauan pelayanan
umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata
dan diperlakukan secara adil.
(8) Ketepatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat
diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
Menurut FitzSimmons yang dikutip oleh Riduwan (2005, 249)
mangatakan bahwa kualitas pelayanan merupakan suatu yang kompleks,
sehingga untuk menentukan sejauh mana kualitas pelayanan tersebut harus
dibuat tolak ukurnya, dapat dilihat dari lima dimensi yaitu :
1) Reliability, kemauan untuk memberikan secara tepat dan benar, jenis
pelayanan yang telah dijanjikan kepada konsumen atau pelanggan.
2) Responsiveness, kesadaran atau keinginan untuk membantu
konsumen dan memberikan pelayanan yang cepat.
3) Assurance, pengetahuan atau wawasan, kesopansantunan,
kepercayaan diri dari pemberi layanan, serta respek terhadap
konsumen.
4) Empathy, kemauan pemberi layanan untuk melakukan
pendekatan, memberikan perlindungan, serta berusaha untuk
5) Tangibles. Penampilan para pegawai dan fasilitas fisik lainnya,
seperti peralatan atau perlengkapan yang menunjang pelayanan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Kualitas
Pelayanan TKI adalah kegiatan penempatan dan perlindungan TKI
antara lain : Rekrutmen, Pelatihan, Pembekalan Akhir Pemberangkatan
(PAP), Pembuatan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN),
Pemberangkatan, Perlindungan, Bantuan konsultasi, Pemulangan,
Pemberdayaan, dan Penempatan kembali (reentry) menggunakan tolok ukur
reliability, responsiveness, assurance, empathy dan tangibles.
2.6. Kerangka Konseptual
Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan
tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan,
mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Kepemimpinan
mempunyai kaitan erat dengan motivasi. Hal ini dapat dilihat dari keberhasilan
seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain dalam mencapai tuiuan yang
telah ditetapkan sangat tergantung kepada kewibawaan kemampuan, dalam
menciptakan motivasi dalam diri setiap orang bawahan, kolega, maupun atasan
sendiri dan pada gilirannya akan meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan.
Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa kepemimpinan memiliki
pengaruh signifikan terhadap kualitas kinerja seseorang dalam memberikan
pelayanan, sebagaimana penelitian yang dilakukan Howell dan Hall (2005:42).
Ini memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan kualitas pelayanan yang
diberikan.
Jadi Kepemimpinan yang baik atau ideal yaitu kepemimpinan yang
mampu menciptakan budaya organisasi yang kondusif, saling mendukung satu
sama lain, saling menguatkan yang akan membangkitkan energi organisasi
dalam menghadapi tantangan dan tugas organisasi di era globalisasi yang
semakin menuntut adanya kepemimpinan yang mampu menciptakan dan
nembawa para bawahannya / pegawai untuk bertindak strategis yang pada
akhirnya akan mampu meningkatkan kualitas pelayanan TKI.
Manusia sebagai unsur terpenting , paling utama dan menentukan bagi
kelancaran jalannya kegiatan organisasi dan manajemen, maka masalah yang
berhubungan dengan motivasi patut mendapat perhatian yang sungguh -
sungguh dari setiap orang yang berkepentingan dengan keberhasilan organisasi,
terutama yang berkaitan dengan pegawai uhtuk bisa menghasilkan kinerja yang
optimal sehingga tujuan organisasi dapat dicapai. Pegawai yang memiliki
motivasi tinggi untuk mencapai tujuannya dan memenuhi keinginan ian
kebutuhannya. Adanya pengaruh signifikan motivasi terhadap kualitas
pelayanan pegawai dapat dipahami dan relevan dengan teori – teori yang
digunakan sebagai acuan teoritis serta relevan dengan hasil penelitian
sebelumnya (Sopiah, 2008) mengungkapkan bahwa motivasi memiliki tiga
fungsi utama, yaitu mendorong timbulnya tingkah laku atau perbuatan,
Menurut Siagian (2008, 286) motivasi dan kepuasan kerja merupakan
bagian dari berbagai faktor yang mempengaruhi produktifitas seperti
kesempatan memperoleh pendidikan dan pelatihan tambahan, penilaian kerja
yang adil, rasional dan objektif, sistem imbalan dan faktor lainnya. Dengan
Motivasi yang tepat para pegawai akan terdorong untuk berbuat semaksimal
mungkfn dalam melaksanakan tugasnya, termasuk meningkatkan kualitas
pelayanan penempatan TKI, karena meyakini bahwa dengan keberhasilan
organisasi mencapai tujuan dan berbagai sasarannya, kepentingan pribadi para
anggota organisasi tersebut akan terpelihara pula. Dengan demikian sangatlah
jelas bahwa motivasi itu adalah modal utama bagi seseorang untuk bekerja.
Tanpa adanya motivasi untuk bekerja , maka tidak ada seseorang mau untuk
bekerja, sehingga sangatlah mustahil untuk mendapatkan hasil kerja yang
maksimal.
Seseorang yang memiliki komitmen yang tinggi akan memiliki
identifikasi terhadap organisasi, terlibat sunguh-sunguh dalam kepegawaian dan
ada loyalitas serta afektif positif terhadap organisasi, selain itu tingkah laku
berusaha ke arah tujuan organisasi dan keinginan untuk tetap bergabung dengan
organisasi dalam jangka waktu lama. Hal ini telah dibuktikan oleh potter et al
(dalam Zainudin, 2006) mendefinisikan Komitmen Organisasional sebagai
kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan
keterlibatan dirinya ke dalam bagian organisasi, dalam penelitiannya yang
menemukan hubungan yang kuat antara Kepuasan Kerja dengan Komitmen
Kaitan antara kualitas layanan dan komitmen dikemukakan oleh Crosby,
et al (2001) yang menyatakan bahwa relationship marketing akan menjadi suatu
hal yang penting apabila mandapatkan dukungan dari kualitas layanan yang
baik. Rendahnya komitmen mencerminkan kurangnya tanggung jawab
seseorang dalam menjalankan tugasnya. Mempersoalkan komitmen sama
dengan mempersoalkan tanggung jawab, dengan demikian ukuran seorang
pimpinan dihadapkan pada komitmen untuk mempercayakan tugas dan
tanggung jawab ke bawahan. Sebaliknya bawahan perlu memiliki komitmen
untuk meningkatkan kompetensi diri.
Pemerintah sebagai service provider (Penyedia Jasa) bagi masyarakat
dituntut untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Kualitas pelayanan
penempatan TKI dikatakan baik apabila yang dilayani memperoleh pelayanan
yang baik dan merasakan kepuasan atas pelayanan tersebut. Hal ini tergantung
bagaimanan pelayanan itu diberikan. Bila pelayanan ini diberikan oleh pegawai
/ personel yang bertugas di pelayanan dan didasarkan pada adanya pola
kepemimpinan yang kondusif, dan didukung oleh motivasi kerja yang tinggi
oleh setiap pegawai serta ditunjang dengan adanya komitmen mencakup
adanya unsur loyalitas terhadap organisasi, keterlibatan dalam pekerjaan
tentunya akan sangat berpengaruh sekali terhadap kulaitas pelayanan yang
diberikan.
Dari uraian diatas terlihat pengaruh Kepemimpinan, Motivasi kerja, dan
Pelayanan TKI. Uraian tersebut diatas dapat digambarkan secara skematis
sebagai berikut :
Gambar 2.1Kerangka Konseptual
2.7. Hipotesis Penelitian
Berdasrkan kerangka konseptual yang telah diuraikan sebelumnya,
maka hipotesis penelitian ini adalah :
1. Kepemimpinan, motivasi kerja dan komitmen pegawai berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kualitas Pelayanan Tenaga kerja
Indonesia (TKI) di BP3TKI Medan.
2. Kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas
Pelayanan Tenaga kerja Indonesia (TKI) di BP3TKI Medan.
3. Motivasi kerja pegawai berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kualitas Pelayanan Tenaga kerja Indonesia (TKI) di BP3TKI Medan.
4. Komitmen pegawai berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas
Pelayanan Tenaga kerja Indonesia (TKI) di BP3TKI Medan.
Motivasi Kerja (X2)
Komitmen (X3)
Kualitas Pelayanan TKI (Y)