BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi
2.1.1. Pengertian Komunikasi
Komunikasi adalah proses pengoperasian rangsangan (stimulus) dalam bentuk
lambang atau simbol bahasa atau gerak (non-verbal), untuk memengaruhi perilaku orang lain. Stimulus atau rangsangan dapat berupa suara/bunyi atau bahasa lisan
berupa gerakan , tindakan atau simbol-simbol yang dapat dimengerti oleh pihak lain.
Oleh sebab itu reaksi atau respon dalam bentuk simbol merupakan pengaruh atau
hasil proses komunikasi (Notoatmojo, 2007). Proses komunikasi yang menggunakan
stimulus atau respon dalam bentuk bahasa baik lisan maupun tulisan selanjutnya
disebut komunikasi verbal. Sedangkan apabila proses komunikasi tersebut
menggunakan simbol-simbol disebut komunikasi non-verbal (Setiawati,2008).
Komunikasi merupakan proses dimana seorang individu berusaha untuk
memperoleh pengertian yang sama melalui pengiriman pesan simbolik. Komunikasi
menekankan pada tiga hal penting yaitu pertama, komunikasi melibatkan individu
dan oleh karenanya pemahaman komunikasi mencakup upaya memahami bagaimana
individu berhubungan dengan individu lain. Kedua, komunikasi melibatkan
pengertian yang sama, artinya agar dua individu atau lebih dapat berkomunikasi,
mereka harus sepakat mengenai definisi dari istilah yang digunakan sebagai alat
angka dan kata-kata hanya dapat mewakili atau mengira-ngirakan gagasan yang
hendak dikomunikasikan.
2.1.2. Unsur-unsur Komunikasi
Komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang
diterima oleh komunikan. Dengan kata lain, komunikasi adalah proses membuat
sebuah pesan setala (tuned) bagi komunikator dan komunikan.Komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka
asuan (frame of reference), yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of experiences and meanings) yang pernah diperoleh komunikan.
Menurut Wilbur Schramm untuk dapat berkomunikasi diperlukan paling
sedikit tiga unsur yaitu the source, the message dan the destination, yang diperinci menjadi lima unsur komunikasi yaitu :
1. Sumber (Source)
Adalah pihak yang mensponsori atau ide yang melandasi kegiatan-kegiatan
komunikasi. Sumber dapat merupakan sebuah lembaga, atau sebuah kejadian atau
sipenyampai pesan itu sendiri.
2. Komunikator (Encoder)
Komunikator adalah pihak yang menjalankan atau yang menyampaikan pesan
dalam suatu proses komunikasi. Seorang komunikator dalam suatu proses
komunikasi terkadang dapat berubah menjadi komunikan dan sebaliknya
melancarkan kegiatan komunikasi dapat melakukannya dalam situasi antar
personal, komunikasi kelompok dan komunikasi massa.
3. Pesan (Message)
Pesan yaitu materi pernyataan yang disampaikan oleh komunikator kepada
komunikan. Materi pernyataan ini dapat diwujudkan secara lisan dan tulisan, juga
dalam bentuk gambar, warna, isyarat dan segala lambang yang ada di alam
pikiran manusia, asal saja lambang-lambang ini sama-sama dapat dipahami oleh
komunikator maupun komunikan.
Wilbur Schramm menampilkan apa yang ia sebut “The condition of success in communication” yakni kondisi yang harus dipatuhi jika kita menginginkan agar suatu pesan membangkitkan tanggapan yang kita kehendaki:
1. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa sehingga dapat
menarik perhatian komunikan.
2. Pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada pengalaman yang
sama antara komunikator dan komunikan sehingga sama-sama dimengerti.
3. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikator dan
menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut.
4. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi yang
layak bagi situasi kelompok dimana komunikan berada pada ia digerakkan
4. Komunikan / Sasaran (Decoder)
Komunikan atau sasaran adalah orang atau pihak yang menerima pesan dalam
suatu kegiatan komunikasi. Komunikan dalam suatu kegiatan komunikasi dapat
berbentuk :
- Masyarakat umum (general public) - Masyarakat khusus (special public)
- Individu-individu yang berasal dari suatu particular group atau massa seperti pendengar radio, pemirsa televisi, pembaca surat kabar dan lain-lain.
5. Tujuan (Destination)
Setiap komunikasi yang dilancarkan pasti mempunyai tujuan, yakni bagaimana
hasil dari komunikasi yang dijalankan mendapat umpan balik positif. Atau dengan
kata lain komunikan dapat memberikan respon/ tanggapan yang merupakan
umpan balik (feed back) yang positif. (Meinanda, 1981)
Model komunikasi David K.Berlo dalam Cangara (2006) melibatkan empat
komponen komunikasi meliputi : komunikator, pesan, media, komunikan dan
umpan balik.
David K. Berlo menjelaskan bahwa proses komunikasi bersifat timbal balik,
berawal dari seorang sumber informasi (komunikator) yang menciptakan dan Penerima
Pesan Media
Sumber Efek
mengirimkan pesan kepada penerima atau komunikan. Selanjutnya komunikan
memberi tanggapan, respon, umpan balik atau feedback kepada komunikator.
2.1.3. Bentuk-bentuk Komunikasi
Secara garis besar komunikasi dibagi menjadi empat bentuk, yaitu komunikasi
personal (komunikasi intrapersonal dan komunikasi interpersonal), komunikasi
kelompok, komunikasi massa, dan komunikasi medio (Effendy, 2002). Komunikasi
intrapersonal adalah komunikasi yang dilakukan pada diri sendiri, yang terdiri dari
sensasi, persepsi, memori dan berpikir. Komunikasi ini biasanya dilakukan oleh
seseorang ketika merenung tentang dirinya atau pada saat melakukan evaluasi diri.
Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang dilakukan kepada orang lain atau
komunikasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. Komunikasi kelompok terdiri
dari dua bentuk yaitu komunikasi kelompok kecil dan komunikasi kelompok besar.
Komunikasi massa adalah komunikasi yang dilakukan dengan perantara atau media
komunikasi yang ada dimasyarakat seperti radio, televise, film, pers, dan lain-lain.
Komunikasi medio adalah bentuk komunikasi yang menggunakan media atau alat
peraga tertentu seperti surat, telepon, e-mail, pamphlet, poster, spanduk dan
sebagainya (Effendy, 2002).
Agar proses komunikasi tentang kesehatan efektif dan terarah dapat dilakukan
melalui bentuk komunikasi interpersonal yang merupakan salah satu bentuk
komunikasi yang paling efektif, karena antara komunikan dan komunikator dapat
disampaikan oleh komunikan, langsung dapat direspon atau ditanggapi pada saat itu
juga (Notoatmodjo, 2003).
Pada pembahasan berikutnya akan dijelaskan lebih lanjut mengenai
komunikasi interpersonal.
2.1.3.1. Komunikasi Interpersonal a. Pengertian Komunikasi Interpersonal
Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya
menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal atau nonverbal.
Bentuk khusus daridyadic
communication) melibatkan hanya dua orang, seperti suami istri, dua sejawat, dua sahabat dekat, guru-murid dan sebagainya (Mulyana, 2011).
Menurut Effendi dalam Sunarto (2003), pada hakekatnya komunikasi
interpersonal adalah komunikasi antar komunikator dengan komunika
seseorang, karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan. Arus balik bersifat
langsung, komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga. Pada saat
komunikasi dilancarkan, komunikator mengetahui secara pasti apakah komunikasinya
positif atau negatif, berhasil atau tidaknya. Jika ia dapat memberikan kesempatan
pada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya.
Menurut Devito, komunikasi interpersonal adalah pengiriman pesan dari
umpan balik yang langsung. Dalam menerangkan komunikasi interpersonal, maka
perlu dijelaskan pengertian komunikasi diadik serta komunikasi interpersonal. Karena
dalam proses komunikasi interpersonal secara universal adalah karakteristik atau
konsep-konsep yang relevan dengan semua bentuk komunikasi interpersonal.
Konsep-konsep ini adalah konsep komunikasi kelompok, oleh karenanya, sebagai
konsekuensinya ialah bahwa dalam komunikasi interpersonal tidak ada pemecahan
unit dari komunikasi diadik maupun komunikasi kelompok. Komunikasi diadik
adalah komunikasi antara dua orang individu, sedangkan komunikasi interpersonal
ialah komunikasi dengan pribadi sendiri.
Komunikasi interpersonal adalah interaksi tatap muka antar dua atau beberapa
orang dimana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung dan penerima
pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung pula (Hardjana, 2003).
Sehingga komunikasi interpersonal atau komunikasi antar pribadi dapat
meningkatkan hubungan insani (humans relations), menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagi
pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain (Cangara, 1998).
Proses komunikasi interpersonal adalah suatu proses dua arah, lingkaran
interaktif dimana pihak-pihak yang berkomunikasi saling bertukar pesan. Kedua
pihak menjadi pengirim maupun penerima pesan. Dalam proses ini si penerima
menafsirkan pesan pengirim sebelumnya dan memberi tanggapan dengan pesan yang
baru. Dengan kata lain komunikasi interpersonal adalah tatap muka penyampaian
b. Bentuk Komunikasi Interpersonal
Bentuk komunikasi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu :
1. Komunikasi verbal (verbal communication)
Komunikasi verbal menggunakan kat-kata, mencakup komunikasi bahasa
lisan. Bahasa terbanyak dan terpenting digunakan dalam berkomunikasi. Hal
ini disebabkan karena “bahasa” selain dapat mewakili kenyataan konkrit
dalam dunia sekeliling, juga dapat mewakili hal-hal yang abstrak. Sebagai
contoh pengertian seseorang tentang :kursi” disatu pihak akan mengatakan
sebagai tempat duduk. Mungkin di pihak lain akan mengatakan sebagai
:kedudukan” atau “jabatan”.
2. Komunikasi nonverbal (nonverbal communication)
Yakni yang menyangkut gerak-gerik, sikap, ekspresi wajah, penampilan, dan
lain sebagainya. Misalnya seorang siswa sekolah perawat kesehatan maju ke
depan kelas untuk menyajikan hasil diskusinya. Namun kelihatan yang
bersangkutan gemetar (Kariyoso,1994).
c. Faktor-faktor Efektivitas Komunikasi Interpersonal
1.
Menurut teori Devito (1997), faktor-faktor efektifitas komunikasi
interpersonal dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu :
Keterbukaan (Openness)
Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi
interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka
dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya, memang ini mungkin
menarik, tapi biasanya tidak membantu komunikasi. Sebaliknya, harus ada
kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya
disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut.
Aspek keterbukaan yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator
untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam,
tidak kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan peserta percakapan
yang menjemukan. Kita ingin orang bereaksi secara terbuka terhadap apa yang
kita ucapkan. Dan kita berhak mengharapkan hal ini. Tidak ada yang lebih buruk
daripada ketidak acuhan, bahkan ketidaksependapatan jauh lebih menyenangkan.
Kita memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap
orang lain.
2.
Aspek ketiga menyangkut “kepemilikan” perasaan dan pikiran. Terbuka
dalam pengertian ini adalah mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang anda
lontarkan adalah memang milik anda dan anda bertanggungjawab atasnya. Cara
terbaik untuk menyatakan tanggung jawab ini adalah dengan pesan yang
menggunakan kata Saya (kata ganti orang pertama tunggal).
Empati (Empathy)
Empati adalah sebagai ”kemampuan seseorang untuk ‘mengetahui’ apa yang
sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain
itu, melalui kacamata orang lain itu.” Bersimpati, di pihak lain adalah merasakan
Sedangkan berempati adalah merasakan sesuatu seperti orang yang
mengalaminya, berada di kapal yang sama dan merasakan perasaan yang sama
dengan cara yang sama. Orang yang empati mampu memahami motivasi dan
pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan
mereka untuk masa mendatang.
3.
Kita dapat mengkomunikasikan empati baik secara verbal maupun non verbal.
Secara nonverbal, kita dapat mengkomunikasikan empati dengan memperlihatkan
(1) keterlibatan aktif dengan orang itu melalui ekspresi wajah dan gerak-gerik
yang sesuai; (2) konsentrasi terpusat meliputi kontak mata, postur tubuh yang
penuh perhatian, dan kedekatan fisik; serta (3) sentuhan atau belaian yang
sepantasnya.
Sikap Mendukung (Supportiveness)
4.
Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap
mendukung (supportiveness). Suatu konsep yang perumusannya dilakukan berdasarkan karya Jack Gibb. Komunikasi yang terbuka dan empati tidak dapat
berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Kita memperlihatkan sikap
mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan
strategik, dan (3) provisional, bukan sangat yakin.
Sikap Positif (Positiveness)
Kita mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi interpersonal dengan
sedikitnya dua cara: (1) menyatakan sikap positif dan (2) secara positif
pada sedikitnya dua aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi
interpersonal terbina jika seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka
sendiri.
5.
Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat
penting untuk interaksi yang efektif. Tidak ada yang lebih menyenangkan
daripada berkomunikasi dengan orang yang tidak menikmati interaksi atau tidak
bereaksi secara menyenangkan terhadap situasi atau suasana interaksi.
Kesetaraan (Equality)
Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Salah seorang mungkin
lebih pandai. Lebih kaya, lebih tampan atau cantik, atau lebih atletis daripada
yang lain. Tidak pernah ada dua orang yang benar-benar setara dalam segala hal.
Terlepas dari ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila
suasananya setara. Artinya, harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua
pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak
mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Dalam suatu hubungan
interpersonal yang ditandai oleh kesetaraan, ketidak-sependapatan dan konflik
lebih dillihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada
sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain. Kesetaraan tidak
mengharuskan kita menerima dan menyetujui begitu saja semua perilaku verbal
dan nonverbal pihak lain. Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain, atau
menurut istilah Carl rogers, kesetaraan meminta kita untuk memberikan
2.1.3.2. Komunikasi Kelompok (Forum) a. Pengertian Komunikasi Kelompok
Komunikasi kelompok ialah komunikasi antara seseorang dengan sekelompok
orang dalam situasi tatap muka. Kelompok ini bisa kecil dapat juga besar, tetapi
berapa jumlah orang yang termasuk kelompok kecil dan berapa jumlahnya yang
termasuk kelompok besar tidak ditentukan perhitungan secara eksak, dengan
ditentukan berdasarkan ciri dan sifat komunikan dalam hubungannya dengan proses
komunikasi. Oleh karena itu, dalam komunikasi kelompok dibedakan antara
kelompok kecil dan kelompok besar.
Komunikasi kelompok kecil ialah komunikasi antara seorang manajer atau
administrator dengan sekelompok karyawan yang memungkinkan terdapatnya
kesempatan bagi salah seorang untuk memberikan tanggapan secara verbal. Dengan
lain perkataan, dalam komunikasi kelompok kecil si pemimpin dapat melakukan
komunikasi antarpersonal dengan salah seorang peserta kelompok. Komunikasi
kelompok besar adalah kelompok komunikan yang karena jumlahnya yang banyak,
dalam suatu situasi komunikasi hampir tidak terdapat kesempatan untuk memberikan
tanggapan secara verbal. Dengan lain perkataan, dalam komunikasi kelompok besar,
kecil sekali kemungkinannya bagi komunikator untuk berdialog dengan komunikan.
Dalam hal-hal tertentu seorang kepala jawatan atau pemimpin perusahaan
berkesempatan tampil dalam forum menghadapi kelompok besar seperti konferensi
Sehubungan dengan itu, berikut ini disarankan untuk memperhatikan hal-hal
seperti berikut :
1. Adakanlah persiapan yang saksama sebelum berkomunikasi
2. Bangkitkanlah perhatian sebelum komunikasi dimulai
3. Peliharalah kontak pribadi selama berkomunikasi
4. Tunjukkan diri sebagai komunikator terpercaya
5. Bicaralah secara menyakinkan
6. Aturlah intonasi sehingga menimbulkan gairah
7. Kemukakanlah pesan komunikasi yang menyangkut kepentingan komunikasi,
bukan kepentingan komunikator semata-mata (Effendy, 1990).
Dalam komunikasi kelompok (forum), juga melibatkan komunikasi interpersonal.
Karena itu kebanyakan teori komunikasi interpersonal berlaku juga bagi komunikasi
kelompok.
b. Faktor-faktor Efektivitas Komunikasi Kelompok (Forum)
Anggota-anggota kelompok bekerja sama dalam mencapai dua tujuan yaitu
melaksanakan tugas kelompok dan memelihara moral anggota-anggotanya. Tujuan
pertama diukur dari hasil kerja kelompok disebut prestasi (performance), tujuan kedua diketahui dari tingkat kepuasan (satisfacation). Jika kelompok dimaksudkan untuk saling berbagi informasi (misalnya kelompok belajar), maka keefektifannya
dapat dilihat dari beberapa banyak informasi yang diperoleh anggota kelompok dan
Faktor-faktor keefektifan komunikasi kelompok dapat dilihat dari karakteristik
kelompok, yaitu :
1. Ukuran kelompok
Hubungan antara ukuran kelompok dengan prestasi kerja kelompok bergantung
pada jenis tugas yang harus diselesaikan kelompok. Tugas kelompok dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu tugas koaktif dan interaktif. Pada tugas
koaktif, masing-masing anggota bekerja sejajar dengan yang lain, tetapi tidak
berinteraksi. Pada tugas interaktif, anggota-anggota kelompok berinteraksi secara
terorganisasi untuk menghasilkan suatu produk, keputusan, atau penilaian tunggal.
Pada kelompok tugas koaktif, jumlah anggota berkorelasi positif dengan
pelaksanaan tugas. Yakni semakin banyak anggota makin besar jumlah pekerjaan
yang diselesaikan. Misalnya, satu orang dapat memindahkan tong minyak ke satu
bak truk dalam 10 jam, maka sepuluh orang dapat memindahkan pekerjaan
tersebut dalam satu jam. Tetapi bila mereka sudah mulai berinteraksi, keluaran
secara keseluruhan akan berkurang.
Faktor lain yang memengaruhi hubungan antara prestasi dengan ukuran
kelompok adalah tujuan kelompok.Bila tujuan kelompok memerlukan kegiatan
konvergen (mencapai satu pemecahan yang benar), hanya diperlukan kelompok kecil supaya produktif, terutama bila tugas yang dilakukan hanya membutuhkan
sumber, ketrampilan dan kemampuan yang terbatas. Bila tugas memerlukan
2. Jaringan Komunikasi
Terdapat berbagai tipe jaringan komunikasi, diantaranya adalah sebagai berikut :
roda, rantai, Y, lingkaran dan bintang. Dalam hubungan dengan prestasi
kelompok, tipe roda menghasilkan produk kelompok tercepat dan terorganisir.
3. Kohesi kelompok
Kohesi kelompok didefinisikan sebagai kekuatan yang mendorong anggota
kelompok untuk tetap tinggal dalam kelompok, dan mencegahnya meninggalkan
kelompok. Mc David dan Harari dalam Jalaluddin (2004) menyarankan bahwa
kohesi diukur dari beberapa faktor sebagai berikut : ketertarikan anggota secara
interpersonal pada satu sama lain; ketertarikan anggota pada kegiatan dan fungsi
kelompok; sejauh mana anggota tertarik pada kelompok sebagai alat untuk
memuaskan kebutuhan personal. Kohesi kelompok erat hubungannya dengan
kepuasan anggota, kelompok, makin kohesif kelompok makin besar tingkat
kepuasan anggota, kelompok. Dalam kelompok yang kohesif, anggota merasa
aman dan terlindungi, sehingga komunikasi menjadi bebas, lebih terbuka dan lebih
sering. Pada kelompok yang kohesifitasnya tinggi, para anggota terikat kuat
dengan kelompoknya, maka mereka makin mudah melakukan konformitas.
2.2. Kinerja
2.2.1. Pengertian Kinerja
maupun kelompok kerja personal. Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada
personal yang memangku jabatan fungsional maupun struktural, tetapi juga kepada
keseluruhan jajaran personal di dalam organisasi (Illyas, 2001).
Menurut Mangkunegara (2002), kinerja adalah hasil kerja secara kuantitas dan
kualitas yang dicapai oleh pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Baik tidaknya karyawan dalam
menjalankan tugas yang diberikan perusahaan dapat diketahui dengan melakukan
penilaian terhadap kinerja karyawannya.
Menurut Robbins,
(2006) Kinerja merupakan ukuran hasil kerja yang mana hal ini menggunakan
sejauhmana aktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas dalam mencapai tujuan
yang ditetapkan.
2.2.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja
Mangkunegara, (2002), mengemukakan bahwa faktor yang memengaruhi
kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). a. Faktor kemampuan (ability)
Karyawan yang memiliki pengetahuan yang memadai untuk jabatannya dan
ketrampilan dalam mengerjakan pekerjaannya sehari-hari, maka ia lebih mudah
untuk mencapai kinerja yang diharapkan.
b. Faktor motivasi (motivation)
Motivasi merupakan interaksi antara perilaku dan lingkungan sehingga dapat
kondisi yang terarah untuk mencapai tujuan kerja. Motivasi terbentuk dari sikap
karyawan dalam menghadapi situasi kerja.
Davis (2004) menyatakan bahwa faktor-faktor memengaruhi kinerja adalah
faktor kemampuan (Ability) dan faktor motivasi (Motivation). Secara psikologis kemampuan karyawan terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan
reality (Knowledge+Skill). Artinya karyawan yang memiliki IQ diatas rata-rata dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan ketrampilan dalam
mengerjakan pekerjaan, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang
diharapkan. Sedangkan Robbin (2006), menambahkan dimensi baru yang
menentukan kinerja seseorang yaitu kesempatan. Menurutnya, meskipun
seseorang bersedia (motivasi) dan mampu (kemampuan). Mungkin ada rintangan
yang menjadi kendala kinerja seseorang, yaitu kesempatan yang ada, mungkin
berupa lingkungan kerja yang tidak mendukung, peralatan, pasokan bahan, rekan
kerja yang tidak mendukung, prosedur kerja yang tidak jelas dan sebagainya.
2.2.3. Kinerja Perawat Pelaksana Rawat Inap
Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat profesional melalui
kerjasama berbentuk kolaborasi dengan klien Dalam melaksanakan peran dan fungsi
seorang perawat memiliki kemampuan dan motivasi yang berpengaruh terhadap
kinerjanya. Pimpinan perawat harus memiliki ketrampilan dalam memengaruhi
perawat lain dibawah pengawasannya untuk melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya dalam memberikan pelayanan keperawatan melalui proses
keperawatan merupakan suatu kegiatan yang komplek dan melibatkan berbagai
individu.
Proses keperawatan adalah serangkaian tindakan sistematis
berkesinambungan, yang meliputi tindakan untuk mengidentifikasi masalah
kesehatan individu atau kelompok, baik yang aktual maupun potensial kemudian
merencanakan tindakan untuk menyelesaikan, mengurangi, atau mencegah terjadinya
masalah baru dan melaksanakan tindakan atau menugaskan orang lain untuk
melaksanakan tindakan keperawatan serta mengevaluasi keberhasilan dari tindakan
yang dikerjakan.
Menurut Rohmah dan Walid (2012), pendekatan proses keperawatan
membantu perawat secara lebih teliti melaksanakan tugas identifikasi masalah dan
penetapan desain perencanaan yang ilmiah sehingga hasil asuhan yang dilaksanakan
dapat berkualitas. Tahap-tahap proses keperawatan merupakan suatu tahapan yang
saling bergantungan, yang meliputi (1) Pengkajian,(2) Diagnosa keperawatan,(3)
Perencanaan,(4) Pelaksanaan dan (5) Evaluasi.
(1) Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan.
Pengkajian merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya.
Kemampuan mengidentifikasi masalah keperawatan yang terjadi pada tahap ini akan
menentukan diagnosa keperawatan. Kegiatan dalam pengkajian adalah pengumpulan
kesehatan klien. Data yang didapat dari beberapa sumber dan merupakan dasar
pengambilan keputusan untuk tahapan selanjutnya.
Sehubungan dengan sistem kerja pada asuhan keperawatan di rumah sakit
sebagai kerja tim, maka data pasien pada tahap pengkajian yang dibuat oleh perawat
pelaksana pada saat pasien masuk ke rumah sakit menjadi acuan bagi perawat yang
menangani pasien tersebut pada shift berikutnya.
Berdasarkan pada kelompok filosofi keperawatan sekitar 6 atau 7 orang
perawat profesional dan perawat bekerja sebagai suatu tim, disupervisi oleh ketua
tim. Metode ini menggunakan tim yang terdiri atas anggota yang berbeda-beda dalam
memberikan asuhan keperawatan terhadap sekelompok pasien. Perawat ruangan
dibagi menjadi 2-3 tim/grup yang terdiri atas tenaga profesional, teknikal, dan
pembantu dalam satu grup kecil yang saling membantu (Yulia, 2006).
Kriteria pengkajian keperawatan, meliputi (Nursalam, 2007):
a. Pengumpulan data dilakukan dengan cara anamnesis, observasi, pemeriksaan
fisik, serta dari pemeriksaan penunjang.
b. Sumber data adalah klien, keluarga, atau orang yang terkait, tim kesehatan,
rekam medis, dan catatan lain.
c. Data yang dikumpulkan, difokuskan untuk mengidentifikasi : status kesehatan
klien masa lalu, status kesehatan klien saat ini, status
biologis-psikologis-sosial-spiritual, respon terhadap terapi, harapan terhadap tingkat kesehatan dan
d. Kelengkapan data dasar mengandung unsur LARB (lengkap, akurat, relevan, dan
baru).
(2) Diagnosa keperawatan
Pernyataan yang menggambarkan respon manusia (keadaan sehat atau
perubahan pola interaksi aktual/potensial) dari individu atau kelompok tempat
perawat secara legal mengidentifikasi dan perawat dapat memberikan intervensi
secara pasti untuk menjaga status kesehatan atau untuk mengurangi, menyingkirkan,
atau mencegah perubahan.
Keberhasilan suatu asuhan keperawatan kepada pasien sangat ditentukan oleh
pemilihan metode pemberian asuhan keperawatan profesional. Dengan semakin
meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan keperawatan dan tuntutan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang keperawatan, maka metode
sistem pemberian asuhan keperawatan harus efektif dan efisien (Nurachmad, 2001).
Berdasarkan orientasi tugas dari filosofi keperawatan perawat melaksanakan
tugas (tindakan) tertentu berdasarkan jadwal kegiatan yang ada, salah satunya adalah
metode fungsional dilaksanakan oleh perawat dalam pengelolaan asuhan keperawatan
sebagai pilihan utama pada saat perang dunia kedua. Pada saat itu, karena masih
terbatasnya jumlah dan kemampuan perawat maka setiap perawat hanya melakukan
1-2 jenis intervensi keperawatan kepada semua pasien di ruang perawatan
(Yulia,2006).
Metode fungsional ini efisien, akan tetapi penugasan seperti ini tidak dapat
keperawatan secara menyeluruh tidak bisa dicapai dengan metode ini karena asuhan
keperawatan yang diberikan kepada pasien terpisah-pisah sesuai dengan tugas yang
dibebankan kepada perawat. Di samping itu, asuhan keperawatan yang diberikan
tidak profesional yang berdasarkan pada masalah pasien. Perawat senior cenderung
sibuk dengan tugas administrasi dan manajerial, sementara asuhan keperawatan
kepada pasien dipercayakan kepada perawat junior (Yulia, 2006).
Untuk mengantisipasi kondisi tersebut maka peran perawat kepala ruang
(nurse unit manager) harus lebih peka terhadap anggaran rumah sakit dan kualitas
pelayanan keperawatan, bertanggung jawab terhadap hasil dari pelayanan
keperawatan yang berkualitas, dan menghindari terjadinya kebosanan perawat serta
menghindari kemungkinan terjadinya saling melempar kesalahan. Sekalipun diakui
bahwa metode fungsional ini cocok untuk jangka waktu pendek dalam kondisi gawat
atau terjadi suatu bencana, tetapi metode ini kurang disukai untuk pelayanan biasa
dan jangka panjang karena asuhan keperawatan yang diberikan tidak komprehensif
dan memperlakukan pasien kurang manusiawi (Yulia, 2006).
Perawat menganalisis data pengkajian untuk merumuskan diagnosis
keperawatan (Nursalam, 2007), kriteria proses meliputi :
a. Proses diagnosis terdiri atas analisis, interpretasi data, identifikasi masalah klien,
dan perumusan diagnosis keperawatan.
b. Diagnosis keperawatan terdiri atas masalah, penyebab, dan tanda atau gejala, atau
c. Bekerjasama dengan klien, dan petugas kesehatan lain untuk memvalidasi
diagnosis keperawatan.
d. Melakukan pengkajian ulang, dan merevisi diagnosis berdasarkan data terbaru.
(3) Perencanaan
Perencanaan adalah pengembangan strategi desain untuk mencegah,
mengurangi, dan mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasi dalam
diagnosa keperawatan. Desain perencanaan menggambarkan sejauh mana perawat
mampu menetapkan cara menyelesaikan masalah dengan efektif dan efisien.
Konsep perencanaan tindakan keperawatan yang dilakukan kepada pasien
mencakup kebutuhan pasien secara menyeluruh, dan dasar menyusun rencana
tindakan keperawatan tersebut adalah data yang telah dikumpulkan pada tahap asuhan
keperawatan sebelumnya yaitu pengkajian dan diagnosa keperawatan. Oleh karena itu
kesesuaian data pasien antar shift kerja perawat perlu dikomunikasikan sehingga
dapat dirumuskan suatu rencana tindakan keperawatan yang sesuai dengan kebutuhan
pasien serta menghindari terjadinya kesalahan menetapkan tindakan keperawatan
(Yulia, 2006).
Komunikasi secara profesional sesuai dengan lingkup tanggung jawab
merupakan dasar pertimbangan penentuan model. Model asuhan keperawatan
diharapkan akan dapat meningkatkan hubungan interpersonal yang baik antara
Perawat membuat rencana tindakan asuhan keperawatan untuk mengatasi
masalah dan meningkatkan kesehatan klien (Nursalam, 2007), kriteria proses
meliputi:
a. Perencanaan terdiri atas penerapan prioritas masalah, tujuan, dan rencana tindakan
keperawatan.
b. Bekerjasama dengan klien dalam menyusun rencana tindakan keperawatan
c. Perencanaan bersifat individual sesuai dengan kondisi atau kebutuhan klien.
d. Mendokumentasikan rencana keperawatan.
(4) Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data
berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan,
serta menilai data yang baru.
Perawat terkadang tidak mempunyai waktu untuk berdiskusi dengan pasien
atau mengobservasi reaksi obat yang diberikan maupun mengevaluasi hasil tindakan
keperawatan yang diberikan. Pada model ini kepala ruangan menentukan apa yang
menjadi tugas setiap perawat dalam suatu ruangan dan perawat akan melaporkan
tugas-tugas yang dikerjakan kepada kepala ruangan dan kepala ruanganlah yang
bertanggung jawab dalam membuat laporan pasien (Nurachmad, 2001).
Dalam model fungsional ini koordinasi antar perawat sangat kurang sehingga
seringkali pasien harus mengulang berbagai pertanyaan atau permintaan kepada
setiap kebutuhan pasien secara komprehensif. Informasi yang disampaikan bersifat
verbal, yang seringkali terlupakan karena tidak didokumentasikan dan tidak diketahui
oleh staf lain yang memberikan asuhan keperawatan (Nurachmad, 2001).
Dengan menggunakan model ini, kepala ruangan kurang mempunyai waktu
untuk membantu stafnya untuk mempelajari cara yang terbaik dalam memenuhi
kebutuhan pasien atau dalam mengevaluasi kondisi pasien dan hasil asuhan
keperawatan, kecuali terjadi perubahan yang sangat mencolok. Dan orientasi model
ini hanya pada penyelesaian tugas, bukan kualitas, sehingga pendekatan secara
holistik sukar dicapai. Model fungsional mungkin efisien dalam menyelesaikan
tugas-tugas bila jumlah staf sedikit, namun pasien selalu tidak mendapat kepuasan dari
asuhan keperawatan yang diberikan (Nurachmad, 2001).
Perawat mengimplementasikan tindakan yang telah diidentifikasi dalam
rencana asuhan keperawatan (Nursalam, 2007), kriteria proses meliputi :
a. Bekerjasama dengan klien dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.
b. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain.
c. Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi kesehatan klien.
d. Memberikan pendidikan pada klien dan keluarga mengenai konsep, keterampilan
asuhan diri serta membantu klien memodifikasi lingkungan yang digunakan.
e. Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan
(5) Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan
pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan. Perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan keperawatan
dalam pencapaian tujuan, dan merevisi data dasar dan perencanaan (Nursalam, 2007).
Konsep dan fungsi evaluasi dalam teori manajemen adalah untuk mengukur
kesesuaian pelaksanaan kegiatan keperawatan dengan pedoman asuhan keperawatan
yang berlaku di rumah sakit serta untuk mengetahui kendala atau hambatan yang
dihadapi perawat pelaksana dalam melaksanakan asuhan keperawatan.
Kriteria evaluasi pada proses keperawatan, meliputi :
a. Menyusun perencanaan evaluasi hasil dari intervensi secara komprehensif, tepat
waktu dan terus-menerus.
b. Menggunakan data dasar dan respon klien dalam mengukur perkembangan kearah
pencapaian tujuan.
c. Memvalidasi dan menganalisis data baru dengan teman sejawat.
d. Bekerjasama dengan klien, keluarga untuk memodifikasi rencana asuhan
keperawatan.
e. Mendokumentasikan hasil evaluasi dan memodifikasi perencanaan.
Adapun macam-macam evaluasi diantaranya :
a. Evaluasi formatif, yaitu evaluasi yang merupakan hasil observasi dan analisa
perawat terhadap respon klien segera pada saat dan setelah intervensi
memberi kesan apa yang terjadi saat itu.
b. Evaluasi somatif, yaitu evaluasi yang merupakan rekapitulasi dan kesimpulan dari
observasi dan analisa status kesehatan klien sesuai dengan kerangka waktu yang
telah ditetapkan pada tujuan keperawatan.
2.3 Landasan Teori
Menurut teori komunikasi Devito (1989) bahwa faktor yang berpengaruh
terhadap kinerja perawat pelaksana rawat inap adalah efektivitas komunikasi
interpersonal yang dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu
keterbukaan (openness), empati (empathy), sikap mendukung (supportiveness), sikap positif (positiveness), dan kesetaraan (equality). Berdasarkan faktor-faktor yang memengaruhinya, kinerja perawat pelaksana ruang rawat inap meliputi pengkajian,
diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan/ implementasi dan evaluasi.
2.4. Kerangka Konsep
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Komunikasi Interpersonal : - Keterbukaan
- Empati
- Sikap Mendukung - Sikap Positif - Kesetaraan