i SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
NIM 090200208
MUHAMMAD AKBAR SIREGAR
DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
ii SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
NIM 090200208
MUHAMMAD AKBAR SIREGAR
DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara
NIP.196002141987032002 Surianingsih ,SH, M.Hum
Dosen Pembimbing I DosenPembimbing II
Surianingsih ,SH, M.Hum
NIP.196002141987032002 NIP.197608162002122002 Dr. Agusmidah ,SH, M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
iii
Ucapan Puji dan syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT Tuhan
Yang Maha Esa yang telah melimpahkan Iman dan ilmu pengetahuan yang luas
yang diberikan kepada manusia untuk kesejahteraan, penerang jalan hidup dan
sebagai langkah menuju peradaban yang abadi. Shalawat serta salam kemuliaan
kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi
penulis dalam penyelesaian studi di Fakultas Hukum USU Medan untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum. Skripsi ini berjudul Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Bagi Pekerja/Buruh Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Penulis dengan segala kerendahan hati menyadari bahwa skripsi ini masih
jauh dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan kemampuan, pengetahuan,
wawasan, serta bahan literatur yang penulis dapatkan. Oleh karena itu penulis
menerima segala bentuk kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
untuk semakin menambah wawasan dan ilmu penulis.
Pada dasarnya penulisan skripsi ini bukan semata-mata hasil kerja penulis
sendiri, melainkan banyak pihak yang membantu, baik dari sisi material berupa
data maupun do’a, kritik dan saran serta semangat yang begitu besar, sehingga
iv
bagian penting selama penulis menjalankan perkuliahan di Fakultas Hukum
Universitas Sumatra Utara (USU), yaitu :
Yang terhormat :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTMH., MSc (CTM)., SpA(K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara,. atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan di Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. DR.Runtung, SH, M.Hum. Selaku Dekan Fakultas Hukum USU Medan.
3. Prof. DR. Budiman Ginting, SH, M.Hum. Selaku Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum USU.
4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM. Selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum USU.
5. Bapak OK Saidin, SH, M.Hum. Selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
USU.
6. Ibu Surianingsih, SH, M.Hum. Selaku Ketua Departemen Hukum
Administrasi Negara Fakultas Hukum USU dan juga selaku Dosen
Pembimbing I dalam penulisan skripsi ini yang penuh kesabaran membimbing
penulis baik dalam studi maupun dalam penulisan skripsi ini.
7. Ibu Mariati Zendrato, SH, M.Hum. Selaku Sekretaris Departemen Hukum
v
9. Bapak Dr. Jusmadi Sikumbang, SH, MS. Selaku Dosen Penasehat Akademik
yang banyak memberikan bimbingan tentang masalah-masalah akademik bagi
penulis.
10.Para Guru Besar Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara yang telah mendidik dan memberikan dorongan kepada penulis yang
tidak bisa sebutkan satu persatu.
11.Abang-abang dan Kakak-Kakak karyawan tata usaha Fakultas Hukum USU
yang telah banyak membantu dalam proses administrasi mulai dari penulis
masuk kuliah sampai penulis menyelesaikan Skipsi ini.
Yang Tercinta :
1. Kedua Orang Tuaku Ayahanda Dame Parluhutan Siregar dan Ibunda Atikah Nasution, yang telah melahirkan, membesarkan, mendidik serta membimbing penulis dalam mengarungi bahtera kehidupan hingga mencapai
gelar akademik ini, yang tanpa bosan terus mengucurkan kasih sayangnya,
harapannya, materi dan segalanya.
2. Keluarga Besar Opung Alm. Amiraden Siregar dan Opung Almh. Hj. Farida
Nasution yang telah menjadi bagian dari hidup penulis.
3. Kepada Rekan-rekan pengurus, adinda-adinda, kakanda-kakanda teman-teman
seperjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Hukum
vi
4. Kepada Rekan-rekan pengurus Pengurus Pemerintahan Mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Sumatra Utara Periode 2013-2014 yang telah memberi
motivasi dan membantu penulis baik dengan motivasi maupun canda tawa.
5. Kepada adinda-adinda Pengurus Badan Ta’mirul Musholla Aladdinsyah, SH
Fakultas Hukum USU yang telah membantu penulis baik dengan motivasi
canda tawa maupun doa yang tak pernah putus terhadap penulis hingga
selesainya penulisan skripsi penulis.
6. Kepada teman-teman Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Angkatan
2009.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada
semua pihak, semoga Allah SWT meridhoi kita semua. Dan semoga skripsi ini
bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan hukum di negara Indonesia. Yakin
Usaha Sampai.
Alhamdulillah Hirobbil Alamin…
Medan, April 2015 Penulis
vii
DAFTAR ISI ... vii
ABSTRAK ... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penulisan ... 5
D. Manfaat Penulisan ... 5
E. Tinjauan Pustaka ... 6
F. Metode Penelitian ... 13
G. Keaslian Penulisan ... 16
H. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II PENGATURAN SISTEM JAMINAN SOSIAL BAGI PEKERJA/BURUH A. Sejarah Pengaturan Jaminan Sosial Bagi Pekerja/Buruh ... 20
1. Pasca Indonesia Merdeka ... 20
viii
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ... 40
B. Jaminan Sosial Bagi Pekerja/Buruh Menurut Undang-Undang No. 24
Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) ... 41
1. Program Jaminan Sosial Pekerja ... 42
2. Badan Penyelenggara Sistem Jaminan Sosial ... 44
BAB III SISTEM JAMINAN SOSIAL KESEHATAN SETELAH BERLAKUNYA PERATURAN TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) KESEHATAN
A. Perubahan Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan ... 50
B. Jaminan Pemeriksaan Kesehatan Pada Pekerja ... 51
C. Prosedur Dan Mekanisme Kepesertaan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan ... 55
D. Pelaksanaan Sistem Jaminan Kesehatan ... 60
BAB IV SISTEM JAMINAN SOSIAL KETENAGAKERJAAN SETELAH BERLAKUNYA PERATURAN TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) KETENAGAKERJAAN
A. Ruang Lingkup Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
ix
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Ketenagakerjaan ... 83
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 92
B. Saran ... 93
x
*Muhammad Akbar Siregar **Surianingsih ***Agusmidah
Jaminan Sosial merupakan program perlindungan yang bersifat dasar bagi tenaga kerja yang bertujuan untuk menjamin adanya keamanan dan kepastian terhadap risiko-risiko sosial ekonomi, dan merupakan sarana penjamin arus penerimaan penghasilan bagi tenaga kerja dan keluarganya akibat dari terjadinya risiko-risiko sosial dengan pembiayaan yang terjangkau oleh pengusaha dan tenaga kerja.
Metode penelitian yang dipergunakan dalam menyusun skripsi ini adalah jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu metode atau cara meneliti bahan pustaka yang ada. Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yakni suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Metode pendekatan yang digunakan penelitian normatif ini menggunakan metode pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengerti dan memahami gejala yang di teliti.
Hasil dari penulisan adalah Pengaturan sistem jaminan sosial di Indonesia termuat dalam Peraturan perundang-undangan mengenai Kecelakaan tahun 1947 dan Peraturan Kecelakaan Pelaut (Pasca Indonesia Merdeka), Peraturan Pemerintah No 33 tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja, Undang-Undang No 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Undang-Undang-Undang-Undang No 4 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Perubahan terhadap pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial setelah berlakunya peraturan terbaru terbagi atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program yang tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Kata Kunci: Jaminan Sosial, BPJS
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
x
*Muhammad Akbar Siregar **Surianingsih ***Agusmidah
Jaminan Sosial merupakan program perlindungan yang bersifat dasar bagi tenaga kerja yang bertujuan untuk menjamin adanya keamanan dan kepastian terhadap risiko-risiko sosial ekonomi, dan merupakan sarana penjamin arus penerimaan penghasilan bagi tenaga kerja dan keluarganya akibat dari terjadinya risiko-risiko sosial dengan pembiayaan yang terjangkau oleh pengusaha dan tenaga kerja.
Metode penelitian yang dipergunakan dalam menyusun skripsi ini adalah jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu metode atau cara meneliti bahan pustaka yang ada. Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yakni suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Metode pendekatan yang digunakan penelitian normatif ini menggunakan metode pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengerti dan memahami gejala yang di teliti.
Hasil dari penulisan adalah Pengaturan sistem jaminan sosial di Indonesia termuat dalam Peraturan perundang-undangan mengenai Kecelakaan tahun 1947 dan Peraturan Kecelakaan Pelaut (Pasca Indonesia Merdeka), Peraturan Pemerintah No 33 tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja, Undang-Undang No 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Undang-Undang-Undang-Undang No 4 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Perubahan terhadap pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial setelah berlakunya peraturan terbaru terbagi atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program yang tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Kata Kunci: Jaminan Sosial, BPJS
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan
dirinya dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap
bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Pengakuan itu tercantum dalam
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 25 Ayat (1) Deklarasi menyatakan, setiap orang berhak atas derajat hidup
yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya
termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta
pelayanan sosial yang diperlukan dan berhak atas jaminan pada saat menganggur,
menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan
lainnya yang mengakibatkan kekurangan nafkah, yang berada di luar
kekuasaannya.
Berdasarkan Deklarasi tersebut, pasca Perang Dunia II beberapa negara
mengambil inisiatif untuk mengembangkan jaminan sosial, antara lain jaminan
kesehatan bagi semua penduduk (Universal Health Coverage). Dalam sidang ke 58 tahun 2005 di Jenewa, World Health Assembly (selanjutnya disebut WHA) menggaris bawahi perlunya pengembangan sistem pembiayaan kesehatan yang
menjamin tersedianya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan
memberikan perlindungan kepada mereka terhadap risiko keuangan. WHA ke-58
mengeluarkan resolusi yang menyatakan, pembiayaan kesehatan yang
Heath Organization (WHO) agar mendorong negara-negara anggota untuk mengevaluasi dampak perubahan sistem pembiayaan kesehatan terhadap
pelayanan kesehatan ketika mereka bergerak menuju Universal Health Coverage.
Sebagai salah satu negara ASEAN, Indonesia didorong untuk segera
memiliki sistem jaringan pengaman sosial di Asia Tenggara yang tetap
berkelanjutan dan pada saat ini Indonesia sedang menyongsong penerapan sistem
jaminan sosial nasional universal pada tahun 2015.1
Jaminan sosial merupakan hak asasi setiap warga negara sebagaimana
tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2 yang berbunyi “Tiap-taip warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan
Pasal 28H ayat 3 yaitu “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat. Kesadaran tentang pentingnya jaminan perlindungan sosial terus
berkembang, seperti terbaca pada Perubahan UUD 1945 tahun 2002, Pasal 34 ayat
2, yaitu “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan.2
Tujuan sebuah negara adalah memberikan kesejahteraan kepada seluruh
rakyatnya. Siapapun dan apapun statusnya, berhak mendapatkan kesejahteraan
dalam hidupnya. Jadi keberadaan institusi bernama Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (selanjutnya disebut BPJS) adalah salah satu cara untuk dapat memenuhi
1
Mustakim Muhammad, “BPJS”,
Januari 2015
2
kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju
terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur. Tujuan
Sistem Jaminan Sosial Nasional memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan
dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Dalam
hal ini BPJS mendistribusikan kesejahteraan sekaligus perlindungan bagi seluruh
rakyat Indonesia.3
Risiko sosial ekonomi yang ditanggulangi oleh program jaminan sosial
terbatas saat terjadi peristiwa kecelakaan, sakit, hamil, bersalin, cacat, hari tua,
dan meninggal dunia, yang mengakibatkan berkurangnya atau terputusnya
penghasilan tenaga kerja dan atau membutuhkan perawatan medis.
Program Jaminan Sosial merupakan program perlindungan yang bersifat
dasar bagi tenaga kerja yang bertujuan untuk menjamin adanya keamanan dan
kepastian terhadap risiko-risiko sosial ekonomi, dan merupakan sarana penjamin
arus penerimaan penghasilan bagi tenaga kerja dan keluarganya akibat dari
terjadinya risiko-risiko sosial dengan pembiayaan yang terjangkau oleh pengusaha
dan tenaga kerja.
4
Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan Sosial
Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan
BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional (selanjutnya
disebut JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang implementasinya
dimulai 1 Januari 2014. Secara operasional, pelaksanaan JKN dituangkan dalam
3
Mustakim Muhammad, Op.cit.
4
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain: Peraturan Pemerintah
No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (selanjutnya disebut PBI);
Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan; dan Peta Jalan
JKN (Roadmap Jaminan Kesehatan Nasional).5
Undang-Undang BPJS memberi arti kata ‘transformasi’ sebagai perubahan
bentuk BUMN Persero yang menyelenggarakan program jaminan sosial, menjadi
BPJS. Perubahan bentuk bermakna perubahan karakteristik Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial sebagai penyesuaian atas perubahan filosofi penyelenggaraan
program jaminan sosial. Perubahan karakteristik berarti perubahan bentuk badan
hukum yang mencakup pendirian, ruang lingkup kerja dan kewenangan badan
yang selanjutnya diikuti dengan perubahan struktur organisasi, prosedur kerja dan
budaya organisasi.6
B. Perumusan Masalah
Maka penulisan skripsi ini akan membahasnya dengan judul :
“ Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Bagi Pekerja/Buruh Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)”.
Undang-undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) perlu dan menarik untuk diteliti. Oleh karena itu dapatlah
dirumuskan permasalahan dalam penulisan adalah sebagai berikut:
5
Ridwan Max Sijabat, "Askes, Jamsostek asked to prepare transformation". The Jakarta Post, diakses 5 Januari 2015
6 Bill Nadzibillah,”Jaminan Kesehatan Nasional”, 30 November 2014,
a. Bagaimana Undang-undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mengatur tentang sistem jaminan
sosial bagi pekerja/buruh?
b. Bagaimana sistem jaminan sosial bagi pekerja/buruh setelah berlakunya
Peraturan tentang BPJS Kesehatan?
c. Bagaimana sistem jaminan sosial bagi pekerja/buruh setelah berlakunya
Peraturan tentang BPJS Ketenagakerjaan?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan masalah yang dibahas, tujuan yang ingin dicapai dalam
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan sistem jaminan sosial bagi pekerja/buruh
setelah berlakunya Undang-undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
2. Untuk mengetahui sistem jaminan sosial setelah berlakunya Peraturan
tentang BPJS Kesehatan.
3. Untuk mengetahui sistem jaminan setelah berlakunya Peraturan tentang
BPJS Ketenagakerjaan.
D. Manfaat Penulisan
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
1. Secara teoritis, penulisan karya ilmiah ini dapat dijadikan bahan kajian
ataupun masukan terhadap pelaksanaan sistem jaminan sosial bagi
pekerja/buruh setelah berlakunya Undang-undang No. 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
2. Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
masukan bagi pembuat undang-undang dan pejabat yang berwenang dalam
membuat isi perjanjian ataupun sumbangan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan, memberi manfaat bagi dunia perguruan tinggi dan
masyarakat pada umumnya. Selain itu diharapkan agar tulisan ini dapat
digunakan sebagai bahan referensi bagi perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
E. Tinjauan Pustaka
1. Jaminan Sosial
Kata “Jaminan sosial” berasal dari kata social dan security.
Security diambil dari Bahasa Latin “se-curus” yang bermakna “se”
(pembebasan atau liberation) dan “curus” yang berarti (kesulitan atau
uneasiness). Sementara itu, kata “social” menunjuk pada istilah masyarakat atau orang banyak (society). Dengan demikian, jaminan sosial secara harfiah adalah “pembebasan kesulitan masyarakat” atau “suatu
upaya untuk membebaskan masyarakat dari kesulitan”.7
7
Edi Suharto, Konsepsi Dan Strategi Jaminan Sosial,
Jaminan sosial mempunyai beberapa pengertian menurut para ahli
dan ketentuan yang ada, yaitu:
a. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) menyebutkan jaminan sosial adalah salah satu
bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.8
b. Menurut Kamus Populer Pekerja Sosial, jaminan sosial adalah suatu
program perlindungan yang diberikan oleh negara, masyarakat dan
organisasi sosial kepada seseorang/individu yang menghadapi
kesukaran-kesukaran dalam kehidupan dan penghidupannya, seperti
penderita penyakit kronis, kecelakaan kerja dan sebagainya.9
c. Menurut Imam Soepomo, jaminan sosial adalah pembayaran yang
diterima oleh pihak buruh diluar kesalahanya tidak melakukan
pekerjaan, jadi menjamin kepastian pendapatan (income security) dalam hal buruh kehilangan upahnya karena alasan diluar
kehendaknya.10
d. Menurut Kenneth Thomson, seorang tenaga ahli pada Sekretariat
Jenderal International Security Association (ISSA), dalam kuliahnya pada Regional Trainning ISSA, seminar tanggal 16 dan 17 Juni 1980 di Jakarta, mengemukakan perumusan jaminan sosial sebagai berikut :
8
Undang-undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), pasal 1 ayat (2)
9
Ridwan Marpaung, Kamus Populer Pekerja Sosial, 1988, Hal. 36
“Jaminan Sosial dapat diartikan sebagai perlindungan yang diberikan
oleh masyarakat bagi anggota-anggotanya untuk risiko-risiko atau
peristiwa-peristiwa tertentu dengan tujuan, sejauh mungkin, untuk
menghindari terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut yang dapat
mengakibatkan hilangnya atau turunnya sebagian besar penghasilan,
dan untuk memberikan pelayanan medis dan atau jaminan keuangan
terhadap konsekuensi ekonomi dari terjadinya peristiwa tersebut, serta
jaminan untuk tunjangan keluarga dan anak”.11
2. Hak Asasi Manusia dan Jaminan Sosial
Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(Pasal.9) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang Undang
No. 11 Tahun 2005, menyatakan bahwa ‘Negara-negara pihak dari
Kovenan ini mengakui hak semua orang atas jaminan sosial, termasuk
asuransi sosial.’ Hak atas jaminan sosial penting untuk menjamin martabat
kemanusiaan bagi semua orang, ketika mereka dihadapkan pada
keadaan-keadaan yang melemahkan kapasitasnya untuk mewujudkan sepenuhnya
hak-hak yang dinyatakan dalam Kovenan.
Hak atas jaminan sosial melindungi hak untuk mengakses dan
memperoleh tunjangan, baik dalam bentuk uang tunai maupun bukan
tunai, tanpa diskriminasi, untuk memastikan adanya perlindungan, antara
lain, dari keadaan-keadaan:
11
a. tidak adanya pendapatan yang diperoleh dari bekerja, karena keadaan
sakit, melahirkan, kecelakaan kerja, kehilangan pekerjaan, lanjut usia,
kematian anggota keluarga;
b. akses kepada perawatan tidak terjangkau;
c. tidak cukup mampu untuk menyokong keluarga, terutama anak dan
orang dewasa yang bergantung.
Unsur yang terpenting dari hak atas memperoleh jaminan sosial
adalah:
a) Ketersediaan
Hak atas jaminan sosial mensyaratkan, agar dapat dijalankan,
tersedianya sebuah sistem, baik dengan satu skema tunggal atau paduan
dari beberapa, yang bekerja baik untuk menjamin tersedianya manfaat
perlindungan dari risiko-risiko sosial dan keadaan tak terduga yang
relevan. Sistem harus ditegakkan di bawah undang-undang, dan
kewenangan publik harus mengambil tanggungjawab agar tata kelola
atau pengawasan terhadap sistem tersebut efektif. Skema tersebut harus
dijaga keberlangsungannya, termasuk skema yang berkaitan dengan
penyediaan jaminan pensiun, untuk menjamin agar hak ini dapat
dinikmati generasi sekarang dan yang mendatang.
b)Risiko-risiko sosial dan keadaan-keadaan yang tidak terduga
Suatu sistem jaminan sosial harus menyediakan perlindungan untuk
sembilan cabang utama dari jaminan sosial : perawatan kesehatan,
keluarga dan anak, melahirkan, penyandang disabilitas, keluarga yang
ditinggalkan
c) Kecukupan
Tunjangan, baik berbentuk tunai maupun bukan, harus dalam besaran
dan jangka waktu yang cukup, agar semua orang dapat mewujudkan
hak atas perlindungan dan bantuan bagi keluarga, hak atas standar
penghidupan yang memadai dan akses kepada perawatan kesehatan
yang memadai, sebagaimana dimuat dalam pasal 10, 11 dan 12 dari
Kovenan.
d)Aksesibilitas
Semua orang harus dilindungi oleh sistem jaminan sosial, khususnya
individu dari kelompok yang paling tidak diuntungkan dan
terpinggirkan, tanpa diskriminasi. Kondisi yang dipersyaratkan untuk
mendapatkan manfaat/tunjangan harus beralasan, pada tempatnya, dan
transparan. Pembatalan, pengurangan atau penundaan pemberian
manfaat harus sesuai aturan, didasarkan alasan yang dapat diterima,
dapat diperiksa, dan tercantum dalam undang-undang. Apabila suatu
skema jaminan sosial menyaratkan adanya iuran, maka hal tersebut
tersebut harus dinyatakan di muka. Biaya langsung dan tidak langsung
dan biaya lain yang berkaitan dengan kepesertaan dalam iuran harus
terjangkau oleh semua, dan tidak mengorbankan perwujudan dari
sosial harus dapat berpartisipasi dalam penatalaksanaan sistem jaminan
sosial.
Manfaat jaminan sosial harus diberikan tepat pada waktunya dan
penerima manfaatnya harus memiliki akses fisik pada layanan jaminan
sosial untuk dapat mengakses manfaat dan informasi, dan membayarkan
iuran dimana perlu. Perhatian khususnya harus diberikan kepada
penyandang cacat, migran, dan orang-orang yang tinggal di tempat jauh
terpencil atau kawasan rawan bencana, dan daerah konflik bersenjata, agar
mereka memiliki akses terhadap layanan ini. Hak atas jaminan sosial
memainkan peranan yang penting dalam mendukung perwujudan dari
banyak hak-hak lain dalam Kovenan, namun juga perlu langkah-langkah
lain untuk melengkapi hak atas jaminan sosial. Negara-negara pihak,
misalnya, harus menyediakan layanan rehabilitasi sosial bagi korban
kecelakaan dan penyandang disabilitas.12
3. Hak Pekerja dan Jaminan Sosial
Sebelum BPJS yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2011 berdiri, telah menjalankan beberapa program jaminan
sosial, yaitu Jaminan Sosial Tenaga Kerja (selanjutnya disebut
JAMSOSTEK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992
tentang JAMSOSTEK yang mencakup program jaminan pemeliharaan
kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan
kematian bagi tenaga kerja.
12
Louvikar Alfan Cahasta, Hak Asasi Manusia dan Jaminan Sosial,
Dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut PNS)
telah dikembangkan program Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai
Negeri (selanjutnya disebut TASPEN) yang dibentuk dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981, dan program Asuransi Kesehatan
(selanjutnya disebut ASKES) yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 yang bersifat wajib bagi PNS/Penerima
Pensiun/Perintis Kemerdekaan/Veteran dan anggota keluarganya. Untuk
Prajurit Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya disebut TNI), anggota
Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan PNS Kementerian
Pertahanan/TNI/Polri beserta keluarganya telah dilaksanakan program
Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Indonesia (selanjutnya disebut
ASABRI) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1991
yang merupakan perubahan atas Peraturan pemerintah Nomor 44 Tahun
1971.
Berbagai program tersebut baru mencakup sebagian kecil
masyarakat. Sebagian besar rakyat belum memperoleh perlindungan yang
memadai. Di samping itu, pelaksanaan berbagai program jaminan sosial
tersebut mampu memberikan perlindungan yang adil dan memadai kepada
para peserta sesuai dengan manfaat program yang menjadi hak
peserta. Sehubungan dengan hal di atas, dipandang perlu menyusun Sistem
Jaminan Sosial Nasional yaitu suatu tata cara penyelenggaraan program
jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial yang
yang lebih besar bagi setiap peserta. Oleh karena itu, untuk mewujudkan
tujuan sistem jaminan sosial nasional maka dibentuklah BPJS yaitu BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Kepesertaan dalam program jaminan sosial nasional BPJS bidang
kesehatan adalah kepesertaan dari PT Askes (Persero) yang selama ini
mengelola pemeliharaan kesehatan bagi para PNS/Penerima
Pensiun/Perintis Kemerdekaan/Veteran dan anggota keluarganya. Namun
sejak 1 januari 2014 lalu, setelah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan lembaga tersebut harus mengelola sekitar 116
juta penduduk Indonesia mulai dari PNS, TNI/Polri, pekerja swasta, dan
bahkan rakyat miskin, yang sebelumnya masuk dalam sistem Jamkesmas
(jaminan kesehatan masyarakat) maupun Jamkesda (jaminan kesehatan
daerah).13
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Metode pendekatan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif
yang dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti bahan-bahan
kepustakaan atau menginventarisasi hukum positif yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti dan mengacu kepada norma-norma hukum
13
Abu S. Lubis, “Sistem Kesehatan Di Indonesia Upaya Memahami BPJS Melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BPJS”, 7
Agustus 2014,
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan atau mengkaji data
sekunder.
Menurut Ronald Dworkin, penelitian hukum normatif ini disebut
juga dengan penelitian doktirnal (Doctrinal Research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis, baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun sebagai law as it decided by judge through judicial process.14
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan bersifat Deskriptif Analitis,
dimaksudkan untuk menggambarkan dan sekaligus menganalisis mengenai
fakta-fakta dalam tujuan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan
implikasi atau penerapannya dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2011
Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
3. Tahap Pengumpulan Data
Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada penelitian
kepustakaan yang digunakan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok
meliputi :
a. Bahan Hukum Primer, yang meliputi bahan peraturan perundang
undangan terkait hukum ketenagakerjaan.
b. Bahan hukum Sekunder, yang meliputi buku-buku, dokumen hasil
penelitian bidang hukum khususnya tentang masalah jaminan sosial
bagi pekerja/buruh.
14
c. Bahan Hukum Tersier, yang meliputi bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder dalam hal ini kamus hukum dan ensiklopedia. 4. Alat Pengumpulan Data
Data dalam penelitan ini dilakukan melalui studi pustaka yang
dilakukan melalui pengumpulan data sekunder. Data tersebut buku-buku,
dokumen hasil penelitian bidang hukum khususnya tentang masalah
jaminan sosial bagi pekerja/buruh.
5. Analisis Data
Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan terhadap data yang
terkumpul melalui pengamatan. Selanjutnya dilakukan analisis kualitatif,
yaitu data yang diperoleh tersebut disusun secara sistematis untuk
selanjutnya dianalisis secara kualitatif yaitu dalam bentuk uraian. Data
yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan
diklasifikasikan guna memperoleh pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah
hukum yang mengatur masalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS).
Melakukan kegiatan penelitian dengan penelusuran teori-teori
hukum, yang berkaitan dengan hukum perburuhan, hukum jaminan sosial
serta kebijakan pemerintah.
Dalam mencermati peraturan hukum, diperlukan bantuan ajaran
interpretasi15
15
W. Poespoprodjo, Interpretasi, Bandung, Remadja Karya, 1987, Hal. 63
cara mencari kesesuaian asas hukum yang ada yang berkaitan dengan
permasalahan dalam penelitian ini.
Selanjutnya melakukan analisis secara deskriptif terhadap hukum
positif yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, terutama dalam
kaitannya dengan hukum perburuhan terkait dengan tujuan pembentukan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Melalui proses data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara
induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok
permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dijawab.16
G. Keaslian Penulisan
Penulis telah menelusuri seluruh daftar skripsi di perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum
Administrasi Negara, akan tetapi penulis tidak menemukan adanya kesamaan
judul ataupun permasalahan dengan judul dan permasalahan yang penulis angkat
yaitu tentang “PELAKSANAAN SISTEM JAMINAN SOSIAL BAGI
PEKERJA/BURUH SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO. 24
TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
(BPJS)”. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan buah karya asli penulis yang
disusun berdasarkan dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan ilmiah.
Dengan demikian, dapat penulis simpulkan bahwa skripsi yang penulis
susun ini merupakan karya asli penulis dan tidak meniru dari kepunyaan orang
16
lain. Penulis berani bertanggung jawab apabila ditemukan adanya kesamaan judul
dan permasalahan skripsi penulis dengan skripsi yang sebelumnya yang terdapat
di perpustakaan Departemen Hukum Admistrasi Negara.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka diperlukan adanya
sistematika penulisan yang teratur yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun
sistematika penulisan skripsi ini adalah :
BAB I : Pendahuluan
Pendahuluan merupakan pengantar. Didalamnya termuat
mengenai gambaran umum tentang penulisan skripsi yang terdiri
dari latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan
penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode
penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II : Pengaturan Sistem Jaminan Sosial Bagi Pekerja/Buruh
Didalam bab ini penulis mencoba menguraikan pengaturan
sistem jaminan sosial bagi pekerja/buruh secara keseluruhan.
Penulis mengawalinya dengan membahas tentang sejarah
pengaturan sistem jaminan sosial bagi pekerja/buruh meliputi
Pasca Indonesia Merdeka, Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun
1977 Tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja, Undang-Undang
No.3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja,
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan jaminan sosial bagi
pekerja/buruh menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2011
Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) meliputi
program jaminan sosial pekerja dan badan penyelenggara sistem
jaminan sosial.
BAB III : Sistem Jaminan Sosial Kesehatan Setelah Berlakunya Peraturan
Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan
Dalam bab ini penulis membahas mengenai perubahan pelayanan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, jaminan
pemeriksaan kesehatan pada pekerja, prosedur dan mekanisme
kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan, dan pelaksanaan sistem jaminan kesehatan.
BAB IV : Sistem Jaminan Sosial Kesehatan Setelah Berlakunya Peraturan
Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Ketenagakerjaan
Dalam bab ini penulis membahas mengenai ruang lingkup Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, prosedur
dan mekanisme kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, sanksi bagi pengusaha yang
tidak mendaftarkan pekerja/buruh ke Badan Penyelenggara
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini merupakan bagian terakhir dari penulisan skripsi ini. Bab
ini berisi kesimpulan dari permasalahan pokok dari keseluruhan
isi. Kesimpulan bukan merupakan rangkuman ataupun ikhtisar.
Saran merupakan upaya yang diusulkan agar hal-hal yang
dikemukakan dalam pembahasan permasalahan dapat lebih
BAB II
PENGATURAN SISTEM JAMINAN SOSIAL BAGI PEKERJA/BURUH A. Sejarah Pengaturan Sistem Jaminan Sosial Bagi Pekerja/Buruh
Sejarah pengaturan sistem jaminan sosial bagi pekerja/buruh di Indonesia
dari waktu ke waktu selalu berubah-ubah, berikut ini penulis akan menerangkan
sejarahnya dari awal pembentukan sampai dengan sekarang.
1. Pasca Indonesia Merdeka
Menurut perundang-undangan Indonesia, melahirkan anak
(maternity) bukanlah keadaan yang memerlukan jaminan sosial, karena dipandang sebagai istirahat dengan upah penuh. Peraturan yang terdahulu
di Indonesia adalah undang-undang yang berkenaan dengan pemberian
ganti-rugi kecelakaan, yaitu Undang-Undang Kecelakaan 1947 dan
Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 (Peraturan Kecelakaan Pelaut).17 Undang-Undang Kecelakaan 1947 adalah Undang-Undang
Jaminan Sosial pertama yang diundangkan pasca proklamasi
kemerdekaan, dan hebatnya lagi masih diundangkan di masa pemerintahan
darurat pasca perang agresi Belanda kedua.18 Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 (Peraturan Kecelakaan Pelaut) adalah merupakan dasar hukum perjanjian kerja laut.19
17
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1981, Hal. 191
18
Asih Eka Putri, Jaminan Sosial, “Karya Besar Abad Keduapuluh”,
19
a. Ganti-rugi menurut Undang-Undang Kecelakaan 1947
Dalam membahas Undang-Undang Kecelakaan 1947 harus ada
perhatian dari hukum perburuhan. Dalam hukum perdata biasa,
ganti-rugi hanya dimintakan dari seseorang yang telah bersalah melakukan
perbuatan yang menimbulkan kerugian itu. 20. Dalam Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan “Tiap perbuatan
melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut”.21
Demikianlah juga menurut pasal 1602w Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang berbunyi “Majikan wajib mengatur dan
memelihara ruangan-ruangan, alat-alat dan perkakas yang dipakai
untuk melakukan pekerjaan, dan pula wajib mengenal cara melakukan
pekerjaan, mengadakan aturan-aturan serta memberi petunjuk-petunjuk
sedemikian rupa sehingga buruh terlindung dari bahaya yang
mengancam badan, kehormatan dan harta bendanya sebagaimana dapat
dituntut mengenai sifat pekerjaan”.22
20
Imam Soepomo, Loc .cit.
21
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
22
Ibid.
Jika buruh hendak minta
ganti-rugi karena kecelakaan, dia harus membuktikan bahwa kecelakaan itu
terjadi karena kesalahan majikan atau kelalaian majikan tidak
dan alat kerja sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan
kecelakaan yang mengakibatkan kerugian bagi buruh.
Bahwa pembuktian ini bagi buruh adalah sulit, bahkan
kadang-kadang tidak jelas. Jika memang hendak melindungi buruh, maka
harus ditempuh jalan lain. Karena itu mula-mula dalam Ongevallen-regeling 1939 dan kemudian Undang-Undang Kecelakaan 1947 dan
Schepelingen Ongevallen-regeling 1940, dilepaskan dasar kesalahan tersebut dan ganti-rugi karena kecelakaan itu selanjutnya didasarkan
atas tanggungjawab majikan atas kerugian yang terjadi di
perusahaannya. Pemberian ganti-rugi dipandang sebagai resiko
menjalankan perusahaan (risque professionnel).
Undang-Undang Kecelakaan 1947 jika dibandingkan dengan
Ongevallen-regeling 1939 dan Schepelingen Ongevallen-regeling
1940, sudah lebih maju lagi, karena Undang-Undang itu meliputi suatu
kecelakaan yang menimpa buruh dalam hubungan kerja. Misalnya
seorang buruh yang baru saja keluar meninggalkan rumahnya menuju
ke tempat pekerjaan atau telah meninggalkan tempat pekerjaan menuju
ke rumah jadi tidak di perusahaan mendapat kecelakaan dia sudah
berhak atas ganti rugi seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1
Undang-Undang kecelakaan 1947 yaitu "Di perusahaan yang
diwajibkan memberi tunjangan, majikan berwajib membayar ganti
hubungan kerja pada perusahaan itu, menurut yang ditetapkan dalam
Undang-undang ini”.
Disamakan dengan kecelakaan adalah penyakit yang timbul
sebagai akibat menjalankan pekerjaan di perusahaan, artinya seorang
buruh yang menderita penyakit jabatan (occupational disease) berhak atas ganti-rugi seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 2
Undang-Undang Kecelakaan 1947 yaitu “Penyakit yang timbul karena
hubungan kerja dipandang sebagai kecelakaan”.23
Menurut Undang-Undang Kecelakaan 1947 itu, tidak semua
perusahaan diwajibkan memberi ganti-rugi. Pasal 2 membatasinya
pada perusahaan tertentu sebanyak 13 jenis perusahaan yaitu24
1) yang mempergunakan satu atau beberapa tenaga mesin; :
2) yang mempergunakan gas-gas yang telah dicairkan, dikompa atau yang jadi cair karena tekanan;
3) yang mempergunakan zat-zat baik padat, baik cair, maupun gas, yang amat tinggi panasnya atau mudah terbakar atau menggigit, mudah meletus, mengandung racun, menimbulkan penyakit atau dengan cara yang lain berbahaya atau dapat merusak kesehatan; 4) yang membangkitkan, mengobah, membagi-bagi, mengalirkan atau
mengumpulkan tenaga listrik;
5) yang mencari atau mengeluarkan barang galian dari tanah; 6) yang menjalankan pengangkutan orang atau barang-barang;
7) yang menjalankan pekerjaan memuat dan membongkar barang-barang;
8) yang menjalankan pekerjaan mendirikan, mengubah, membetulkan atau membongkar bangunbangunan, baik dalam atau di atas tanah, maupun dalam air, membuat saluran-saluran dalam tanah dan jalan-jalan;
9) yang mengusahakan hutan; 10)yang mengusahakan siaran radio; 11)yang mengusahakan pertanian;
23
Imam Soepomo, Op.cit., Hal. 191-192
24
12)yang mengusahakan perkebunan; 13)yang mengusahakan perikanan.
Dalam hal ini ke 13 perusahaan tersebut harus tetap
memberikan tunjangan kepada pekerja/buruh agar berlanjutnya
hubungan kerja dari majikan lama kepada majikan baru.
Penderita kecelakaan dapat menuntut pembayaran ganti-rugi
berdasarkan ketentuan pada pasal 1602w Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, bahwa seorang majikan yang tidak memenuhi
kewajibannya untuk mengatur dan memelihara ruangan, alat perkakas,
dimana atau dengan mana ia menyuruh melakukan pekerjaan
sedemikian rupa sehingga buruh terlindung dari bahaya yang
mengancam badan, kehormatan dan harta bendanya, wajib mengganti
kerugian yang karenanya menimpa buruh dalam menjalankan
pekerjaannya.25
25
Imam Soepomo, Op.cit., Hal. 193
Sehingga dapat menuntut pembayaran upah seperti
termaksud pada pasal 1602c Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang berbunyi “Akan tetapi buruh berhak untuk meminta dan
menerima upah, yang ditetapkan menurut lamanya buruh, bekerja
untuk waktu yang tidak begitu lama, bila ía berhalangan melakukan
pekerjaan karena sakit atau mengalami kecelakaan, kecuali bila
kebejatannya atau oleh cacat badan yang dengan sengaja diberi
keterangan palsu pada waktu membuat perjanjian kepada majikan”.26
Undang-Undang Kecelakaan Kerja 1947 akan tetap berlaku apabila
ada aturan yang masih diatur didalam Undang-Undang tersebut dan
belum terdapat aturan penggantinya sehingga berlaku azas
Metaprinciple yang mengatakan “Lex Posterior
Generalis, Non Derogat Legi Priori Specialis” yang berarti
Undang-Undang yang terbit kemudian bersifat
generalis tidak mengesampingkan pendahulunya yang
spesialis.27
b. Ganti-rugi karena kecelakaan pelaut
Bagi para pelaut yang mendapat kecelakaan, berlaku peraturan
tersendiri, yaitu Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 (Peraturan Kecelakaan Pelaut 1940), mulai berlaku tanggal 1 Januari 1940. .28
Menurut Prof. Iman Soepomo, S.H., Schepelingen
-Ongevallen-regeling 1940 masih berlaku secara khusus hingga saat ini, sepanjang tidak diikutsertakan dalam
program jaminan sosial (social secutiry) yang ada saat ini.29
26
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
27
P hi li p us M. H adj o n,“A r gum en ta si Huku m”, G aj a h Mad a U ni ve r si t y P r e ss , Yo gya ka rt a, H al . 54
28
Imam Soepomo, Loc.cit.
29
Majikan wajib memberi ganti-rugi kepada anak-kapal yang
mendapat kecelakaan dalam hubungannya dengan pekerjaannya di
kapal atau untuk keperluan kapal. Kehilangan perlengkapan karena
kecelakaan kapal dipandang sebagai kecelakaan yang menimpa buruh.
Prinsip yang dianut dalam Schepelingen Ongevallen-regeling
1940 ini ialah kecelakaan yang ada hubungannya dengan pekerjaannya
dan adalah tidak seluas prinsip yang dipakai sebagai dasar dalam
Undang-Undang Kecelakaan 1947.
Walaupun tanggungjawab majikan diperluas terhadap tiap
kecelakaan yang terjadi di kapal juga yang tidak ada hubungannya
dengan pekerjaan buruh, namun tetap kurang luas dibandingkan
dengan Undang-Undang Kecelakaan 1947.30
1) Kapal yang digunakan untuk mengangkut orang atau barang atau untuk usaha perikanan;
Hal ini disebabkan
sedikitnya ruang aturan yang ada dalam Schepelingen Ongevallen-regeling 1940. Seperti masalah kapal penarik serta kapal yang ditarik oleh kapal penarik pada Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 tidak diatur dalam Undang-Undang kecelakaan 1947.
Kapal yang diwajibkan memberi ganti-rugi adalah :
2) Kapal penarik serta kapal yang ditarik oleh kapal penarik; 3) Kapal pemadam kebakaran;
4) Kapal clayton dan kapal pembersih lainnya;
5) Perahu penolong dan sampan/sekoci yang merupakan alat pertolongan serta tidak digunakan untuk keperluan lainnya;
6) Kapal keruk yang ada di laut atau dalam perairan sendiri.
30
Ganti-rugi yang diberikan kepada anak-kapal yang ditimpa
kecelakaan menurut Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 adalah : 1) Pengobatan dan perawatan dengan cuma-cuma, termasuk
pemberian obat dan alat pembalut, selama paling lama 1 tahun sesudah hari kecelakaan;
2) Perumahan dan makanan cuma-cuma, bila mendapat kecelakaan dirawat di luar rumahnya sendiri;
3) Pengangkutan ke tempat perawatan; 4) Penguburan;
5) Jika perjanjian kerja telah berakhir, segera setelah sembuh buruh diberi pengangkutan ke tempat perjanjian kerja itu dibuat. Termasuk biaya makan dan penginapan selama perjalanan;
6) Uang tunjangan kepada;
a) Buruh yang tidak mampu lagi melakukan pekerjaan; b) Kepada keluarga buruh jika buruh meninggal.
Kehilangan perlengkapan karena kecelakaan kapal hanya
diganti bila kehilangan itu tidak terjadi karena kelalaian besar (grove schuld). Ganti-rugi diberikan untuk kerugian yang benar-benar diderita terhadap barang yang berhubung dengan kedudukan pangkat atau
pekerjaan buruh diperlukan di kapal.31
c. Bantuan/tunjangan sakit
Ketentuan lain yang berlaku adalah Peraturan Menteri
Perburuhan No. 15 tahun 1957 jo No. 3 tahun 1964 dan No. 3 tahun
1967 tentang pemberian bantuan/tunjangan kepada buruh dan
keluarganya dalam hal sakit, hamil, bersalin, atau meninggal dunia,
memberi kesempatan kepada majikan untuk
mempertanggungjawabkan buruhnya beserta keluarganya pada dana
jamina sosial terhadap sakit, hamil, bersalin atau meninggal dunia.32
31
Ibid., Hal. 193-195
32
Peraturan Menteri Perburuhan No. 15 tahun 1957 jo No. 3
tahun 1964 merupakan cikal bakal lahirnya asuransi sosial tenaga kerja
yang harus didirikan oleh perusahaan dan Peraturan Menteri
Perburuhan No. 3 tahun 1967 menerangkan bahwa harus ada
pemberian bantuan sosial bagi pekerja/buruh.
Mengenai pengobatan/perawatan sakit terdapat beberapa
ketentuan secara terpencar-pencar dalam berbagai peraturan yang
bukan merupakan jaminan sosial (social security), melainkan merupakan bagian dari upah, yaitu bagian upah yang berupa barang
atau jasa, tepatnya pengobatan dokter.
Misalnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata mewajibkan
majikan jika seorang buruh bertempat tinggal padanya sakit selama
berlangsungnya hubungan kerja tetapi paling lama untuk waktu 6
minggu, menguruskan perawatan dan pengobatannya sepantasnya,
sekedar hal ini tidak diberikan berdasarkan peraturan lain.
Indienstneming van Werklieden (Peraturan tentang Memperkerjakan Buruh) mewajibkan majikan memberi perawatan
yang layak termasuk obat yang diperlukan. Pelanggaran atas
kewajiban ini diancam dengan pidana denda sebanyak-banyaknya
seratus rupiah.
Aanvullende Platersregeling (Peraturan Perburuhan di Perusahaan Perkebunan) menetapkan bahwa jika buruh sakit,
untuk 3 bulan, wajib memberi perawatan dan pengobatan yang layak.
Perawatan dan pengobatan ini juga diberikan kepada keluarga buruh
(istri, anak yang sah dan disahkan di bawah umur 21 tahun).
Dalam Panglongkeur Soematra Oostkust dan Riouw Panglongregeling ditetapkan bahwa pengusaha wajib memberi pengobatan. Zee-arbeidsovereenkomst (perjanjian kerja laut) yang mengacu pada Buku II Bab 4 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
menetapkan jika seorang buruh yang telah mengadakan perjanjian
kerja untuk sedikit-dikitnya 1 tahun atau selama 1 setengah
tahundengan terus-menerus telah bekerja pada seorang pengusaha,
jatuh sakit sedang ia melakukan pekerjaan di kapal, juga bila hubungan
kerja telah putus, berhak mendapat upah penuh serta perawatan dan
pengobatan yang layak, selama ia tinggal di kapal.
Bila pengusaha mendaratkan buruh yang sakit itu pada suatu
tempat, ia wajib membiayai perawatan dan pengobatan itu sampai
sembuh, tetapi paling lama untuk 52 minggu.33
33
Ibid., Hal. 195-196
Soal persediaan untuk hari tua dan pemeliharaan janda dan
anak yatim-piatu masih sepenuhnya terserah paka kebijaksanaan
majikan atau organisasi buruh untuk memperjuangkannya terhadap
majikan. Dalam praktik sudah ada berbagai perusahaan yang
Barangkali dapat dipandang sebagai petunjuk permulaan bagi
gagasan pemeliharaan janda dan anak yatim-piatu, ketentuan dalam
Aanvullende Plantersregeling yang menetapkan bahwa jika buruh meninggal dunia, kepada keluarga yang ditinggalkan dibayarkan upah
bulan yang berjalan dan bulan berikutnya.
Demikian pula dengan pensiun yang diberikan kepada pegawai
negeri dalam Aanvullende Plantersregeling meliputi: 1) Pengobatan dan perawatan,
2) Tunjangan kepada yang bersangkutan,
3) Tunjangan kepada jandanya, bila pegawai negeri itu meninggal
dunia.
Menurut Prof. Imam Soepomo ,S.H. jaminan sosial (social security) ini mengingat pembiayaannya dibagi dalam:
1) Bantuan sosial (social assistance) dan 2) Pertanggungan sosial (social assurance).
Pada bantuan sosial semua biaya dipikul oleh majikan, seperti
pada ganti-rugi karena kecelakaan. Jika disini diadakan
pertanggungan, maka pertanggungan itu diselenggarakan antara para
majikan bersama, seperti misalnya dimaksud pada pasal 36 ayat (1)
Undang-Undang Kecelakaan 1947.
Pada pertanggungan sosial, baik majikan maupun buruh
misalnya jaminan sosial sakit, jaminan sosial hari tua, janda dan anak
yatim piatu serta pengangguran.34
2. Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1977 Tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK)
Dalam Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1977
tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja (selanjutnya disebut Astek) adalah
sistem perlindungan yang dimaksudkan untuk menanggulangi resiko sosial
secara langsung mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya penghasilan
tenaga kerja.
Berdasarkan peraturan ini maka perusahaan diwajibkan untuk
menyelenggarakan program Astek, yaitu dengan cara mempertanggungkan
buruhnya dalam asuransi kecelakaan kerja dan asuransi kematian,
demikian pula dalam program tabungan hari tua pada badan
penyelenggaraaan yaitu Perusahaan umum Asuransi Sosial Tenaga Kerja
(Perum Astek) yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun
1977.
Perusahaan dalam Peraturan Pemerintah No.33 tahun 1977 adalah
semua perusahaan baik milik swasta, termasuk perusahaan yang didirikan
menurut Peraturan Penanaman Modal Asing (PMA) serta Perusahaan
Umum (PERUM), Perusahaan Perseroan (PERSERO) dan Perusahaan
34
Milik Negara yang didirikan dengan atau berdasarkan undang-undang
tersendiri.
Namun demikian perusahaan yang wajib menyelenggarakan Astek
masih dibatasi pada jumlah buruh yang dipekerjakan atau jumlah upah
yang dibayarkan kepada buruhnya setiap bulannya. Menurut Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi No. 116-MEN/1977
tentang peraturan tata cara persyaratan pendaftaran pembayaran iuran dan
pembayaran jaminan asuransi sosial tenaga kerja, ditetapkan bahwa
perusahaan yang memperkerjakan sebanyak 100 orang atau lebih atau
membayar upah paling sedikit lima juta rupiah sebulan adalah perusahaan
yang diwajibkan ikut serta dalam program Astek. Dengan demikian semua
perusahaan yang terletak diluar ketentuan tersebut, untuk sementara belum
terkena wajib asuransi, sehingga jaminan-jaminan itu dapat dilaksanakan
menurut kebijaksanaan perusahaan.
Perkembangan lebih lanjut mengenai penentuan perusahaan yang
wajib menyelenggarakan program Astek dapat dilihat dalam Keputusan
Menteri Tenaga Kerja No. KEP-278/MEN/83 adalah peraturan itu
mengatur perusahaan yang memperkerjakan tenaga kerja sebanyak 25
orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp.1.000.000,- (satu
juta rupiah) sebulan. Hal ini terlihat bahwa pemerintah secara bertahap
sudah mulai mengembagkan program jaminan sosial pada pekerja/buruh.
Prinsip ini juga sama dengan kecelakaan kerja yang dianut
Pemerintah No. 33 tahun 1977 sebagai peraturan pelaksanaan
undang-undang tersebut dengan menetapkan bahwa kecelakaan kerja adalah
kecelakaan yang menimpa tenaga kerja berhubungan dengan hubungan
kerja dan penyakit yang timbul karena hubungan kerja.35
3. Undang-Undang No.3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Pada tahun 1992, pemerintah dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat menerbitkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (selanjutnya disebut JAMSOSTEK),
program jaminan sosial tenaga kerja meliputi empat program, yaitu
jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, dan
jaminan pemeliharaan kesehatan. Selanjutnya sebagai peraturan pelaksana
undang-undang ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP)
No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek yang
mewajibkan setiap pengusaha atau perusahaan yang memiliki karyawan
minimal 10 orang atau mengeluarkan biaya untuk gaji buruh/pekerjanya
minimal 1 juta/bulan untuk mengikut sertakan pekerjanya dalam program
jamsostek (pasal 2 ayat 3).
Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 menugaskan PT Jamsostek
sebagai pelaksana program Jamsostek dan hal ini dipertegas melalui
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1995 yang mengatur ditetapkannya
35
PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara Jamsostek. Program
Jamsostek memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan
minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan kepastian
berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti
sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang akibat resiko sosial.36
a. Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
Jamsostek sebagai implementasi dari perlindungan hak buruh dan
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan merupakan suatu
rangkaian yang bertujuan untuk menciptakan hubungan perburuhan yang
berlandaskan pancasila demi kelangsungan usaha dan demi kesejahteraan
buruh/pekerja.
Bentuk perlindungan hak buruh tersebut dapat kita lihat dari
program-program jamsostek yang harus dilaksanakan, yaitu:
Kecelakaan kerja temasuk penyakit akibat kerja yang
merupakan resiko yang harus dihadapi oleh tenaga kerja dalam
melakukan pekerjaanya. Kecelakaan kerja menurut M. Sulaksono
adalah suatu kejadian yang tak terduga dan yang tidak dikehendaki
yang mengacaukan suatu aktivitas yang telah diatur, kecelakaan ini
terjadi tanpa disangka-sangka dalam sekejap mata dan setiap kejadian
tersebut terdapat empat faktor bergerak dalam satu kesatuan berantai,
yakni lingkungan, bahaya, peralatan dan manusia.37
36
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Hal.178-179
37
Buchari, Penanggulangan kecelakaan, Medan: Universitas Sumatera Utara (USU) Repository, 2007. Hal. 1
sebagai penyakit yang timbul karena hubungan kerja sebagaimana
diatur dalam Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 tentang Penyakit
yang timbul akibat hubungan kerja yaitu :
1) Pnemokoniosis yang disebabkan debu mineral pembentuk jaringan parut (silicosis, antrakosilikosis, asbestosis) dan silikotuberkolosis
yang silikosis-nya merupakan faktor utama penyebab cacat atau kematian.
2) Penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh debu logam keras.
3) Penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh debu kapas, vlas, henep dan sisal (bissisnosis) 4) Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi dan
zat perangsang yang dikenal yang berada dalam proses pekerjaan. 5) Alveolitis allergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai
akibat penghirupan debu organik.
6) Penyakit yang disebabkan oleh berilium atau persenyawaannya yang beracun.
7) Penyakit yang disebabkan oleh kadmium atau persenyawaannya yang beracun.
8) Penyakit yang disebabkan oleh fosfor atau persenyawaannya yang beracun
9) Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya yang beracun
10)Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaannya yang beracun.
11)Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaannya yang beracun.
12)Penyakit yang disebabkan oleh raksa atau persenyawaannya yang beracun
13)Penyakit yang disebabkan oleh timbal atau persenyawaannya yang beracun
14)Penyakit yang disebabkan oleh fluor atau persenyawaannya yang beracun
15)Penyakit yang disebabkan oleh carbon disulfida atau persenyawaannya yang beracun
16)Penyakit yang disebabkan oleh derivate halogen dari persenyawaan hidrokarbon alifatik atau aroma yang beracun. 17)Penyakit yang disebabkan oleh benzena atau homolognya yang
beracun.
18)Penyakit yang disebabkan oleh derivate nitro dan amina dari
benzene atau homolognya yang beracun.
20)Penyakit yang disebabkan oleh alkohol, glikol atau keton.
21)Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia atau keracunan seperti carbon monoksida, hydrogensianida, hydrogen sulfide, atau derivatnya yang beracun, amoniak seng, braso dan nikel.
22)Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan.
23)Penyakit yang disebabkan oleh getaran mekanik (kelainan-kelainan otot, urat, tulang persendian, pembuluh darah tepi atau syaraf tepi). 24)Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang
bertekanan lebih.
25)Penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektro magnetik dan radiasi yang mengion.
26)Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab fisik, kimiawi atau biologic.
27)Kanker kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, pic, bitumen, minyak mineral, antrasena atau persenyawaan, produk atau residu dari zat tersebut.
28)Kanker paru atau mesotelioma yang disebabkan oleh asbes.
29)Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit yang didapat dalam suatu pekerjaan yang memiliki risiko kontaminasi khusus.
30)Penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah atau radiasi atau kelembaban udara tinggi.
31)Penyakit yang disebabkan bahan kimia lainnya termasuk bahan obat.38
b. Program Jaminan Kematian
Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan
kerja akan mengakibatkan terputusnya penghasilan yang akan sangat
berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi bagi keluarga yang
ditinggalkan, oleh karena itu diperlukan jaminan kematian dalam
upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya
pemakaman maupun santunan berupa uang. Ketentuan pasal 12 ayat
(1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja member pengertian bahwa dalam program jaminan kematian
38
yang dimaksud dengan keluarga yang ditinggalkan adalah istri atau
suami pekerja, keturunan sedarah dari pekerja menurut garis lurus
kebawah, dan garis lurus keatas, dihitung sampai derajat
keduatermasuk anak yang disahkan. Apabila garis lurus keatas dan
kebawah tidak ada maka diambil kesamping dan mertua. Bagi pekerja
yang tidak memiliki keluarga maka hak atas jaminan kematian
diberikan kepada pihak yang mendapat surat wasiat dari pekerja yang
bersangkutan atau perusahaan untuk pengurusan pemakaman. Urutan
keluarga yang diprioritaskan dalam pembayaran santunan kematian
menurut pasal 13 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja adalah :
1) janda atau duda; 2) anak;
3) orang tua; 4) cucu;
5) kakek atau nenek; 6) saudara kandung; 7) mertua.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja member batasan dan pengecualian bagi pekerja/buruh
yang berhak menerima manfaat program ini. Pengecualian tersebut
disebutkan dalam pasal 12 ayat (2) undang-undang ini, bidang-bidang
pekerjaan yang tidak berhak menerima manfaat jaminan kematian
manurut pasal ini antara lain :
1) murid atau pekerja yang sedang melakukan magang.
3) narapidana yang melakukan pekerjaan.
c. Program Jaminan Hari Tua
Hari tua adalah umur pada saat dimana produktivitas buruh
atau pekerja telah dianggap menurun, sehingga perlu diganti dengan
buruh/pekerja yang lebih muda termasuk cacat tetap dan total (total and permanent disability) yang dapat dianggap sebagai hari tua dini.39
1) Mencapai usia 55 tahun atau meninggal dunia, atau cacat total
tetap.
Hari tua dapat mengakibatkan terputusnya upah karena buruh/pekerja
tidak mampu lagi bekerja. Akibat terputusnya upah tersebut dapat
menimbulkan kesusahan bagi pekerja dan mempengaruhi ketenangan
bekerja sewaktu masih bekerja, terutama bagi buruh yang memiliki
penghasilan rendah. Jaminan hari tua merupakan program
perlindungan bagi buruh/pekerja dan keluarganya yang
manfaatnyaakan dibayarkan kepada peserta berdasarkan akumulasi
dengan memenuhi salah satu persyaratan sebagai berikut :
2) Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) setelah menjadi
peserta sekurang-kurangnya 5 tahun dengan masa tunggu 6 bulan.
2) Pergi keluar negeri dan tidak kembali, atau menjadi pegawai
negeri.40
d. Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
39
Adrian Sutedi, op.cit., Hal. 190
40
Kesehatan kerja pertama kali tertuang dalam Undang-Undang
No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai
Ketenagakerjaan serta Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja yang menyatakan bahwa kesehatan kerja
merupakan bagian dari keselamatan kerja. Selanjutnya
Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan mengatur pula
mengenai kesehatan kerja pada pasal 108 ayat (2) yang secara jelas
menyebutkan bahwa untuk melindungi kesehatan pekerja/buruh guna
mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya
kesehatan kerja. Kesehatan kerja atau disebut juga Hyperkes (Hygiene
Perusahaan dan Kesehatan) berkaitan dengan upaya-upaya :
1) Pemeriksaan tenaga kerja, baik pada awal bekerja maupun periodik
selama bekerja;
2) Tambahan gizi bagi tenaga kerja diberikan makan siang atau dalam
bentuk lainnya;
3) Kebersihan lingkungan kerja, termasuk pencegahan dan
pengelolahan limbah;
4) Pencegahan dan penaggulangan sumber-sumber yang
membahayakan kesehatan.41
4. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
41
Pada akhir tahun 2004, Pemerintah juga menerbitkan UU Nomor
40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Undang-undang
itu berhubungan dengan Amandemen UUD 1945 tentang perubahan pasal
34 ayat 2, yang kini berbunyi: "Negara mengembangkan sistem jaminan
sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah
dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan". Manfaat
perlindungan tersebut dapat memberikan rasa aman kepada pekerja
sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatkan motivasi
maupun produktivitas kerja.
Kiprah Perusahaan PT Jamsostek (Persero) yang mengedepankan
kepentingan dan hak normatif Tenaga Kerja di Indonesia dengan
memberikan perlindungan 4 (empat) program, yang mencakup Program
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan
Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh
tenaga kerja dan keluarganya terus berlanjutnya hingga berlakunya UU No
24 Tahun 2011.
Tahun 2011, ditetapkanlah UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Sesuai dengan amanat undang-undang,
tanggal 1 Januri 2014 PT Jamsostek akan berubah menjadi Badan Hukum
Publik. PT Jamsostek (Persero) yang bertransformsi menjadi BPJS (Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan tetap dipercaya untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja, yang meliputi
Menyadari besar dan mulianya tanggung jawab tersebut, BPJS
Ketenagakerjaan pun terus meningkatkan kompetensi di seluruh lini
pelayanan sambil mengembangkan berbagai program dan manfaat yang
langsung dapat dinikmati oleh pekerja dan keluarganya.42
B. Jaminan Sosial Bagi Pekerja/Buruh Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal
99 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa :
1. Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan
sosial tenaga kerja.
2. Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 10,
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jaminan sosial merupakan hak setiap pekerja/buruh yang sekaligus
merupakan kewajiban dari pegusaha. Pada hakikatnya program jaminan sosial
dimaksudkan untuk memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan
penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang
hilang.
1. Program Jaminan Sosial Pekerja
Dalam merumuskan konsep jaminan sosial, tim Sistem Jaminan
Sosial Nasional yang dibentuk dengan Kepres No. 20 tahun 2002
menyepakati suatu sistem jaminan sosial harus dibangun dengan tiga
42
pilar.43
a. Pilar Bantuan Sosial
Pilar jaminan sosial menjelaskan sumber dana dan mekanisme
yang harus dijalankan dalam sebuah sistem jaminan sosial. Pilar jaminan
sosial digunakan di berbagai negara karena sifatnya yang universal.
Prinsip yang digunakan sama di seluruh dunia. Tetapi, rincian mekanisme
proses dan besaran manfaat untuk memenuhi kebutuhan dasar yang
berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain. Pilar jaminan sosial
yang universal adalah :
Bagi mereka yang miskin dan tidak mampu atau tidak memiliki
penghasilan tetap yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar
hidup yang layak. Dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya disebut SJSN), bantuan
sosial diwujudkan dengan bantuan iuran oleh pemerintah (Pusat) agar
mereka yang miskin dan tidak mampu dapat tetap menjadi peserta
JKN.
b. Pilar Asuransi Sosial
Merupakan suatu sistem pengumpulan dana (risk polling) dengan mekanisme transfer resiko yang wajib diikuti oleh semua penduduk.
Penduduk berpenghasilan (di atas garis kemiskinan) wajib membayar
iuran yang proporsio