• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Studi Pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Studi Pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai)"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelaksanaan pembangunan nasional bertujuan untuk menciptakan pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya serta mewujudkan suatu masyarakat yang adil, makmur, dan merata baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia khususnya masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan berlandaskan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan perkembangan global.

(2)

Kegiatan pembangunan ketenagakerjaan melibatkan berbagai faktor, seperti pekerja dan pengusaha yang dalamnya terdapat hubungan kerja. Dalam hubungan kerja tersebut, seringkali diperoleh kenyataan bahwa pekerja berada pada posisi yang penuh dengan risiko. Risiko sosial yang sering dialami tenaga kerja adalah : kecelakaan kerja, sakit akibat kerja, kematian, dan datangnya hari tua. Hal tersebut dapat mempengaruhi kehidupan tenaga kerja dan keluarganya sehingga pekerja terpaksa tidak dapat bekerja untuk sementara waktu, bahkan untuk selamanya, dan penghasilannya akan berkurang atau mungkin juga terhenti. Untuk menanggulangi masalah tersebut pemerintah telah mengambil kebijaksanaan dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, setiap pekerja/buruh mempunyai hak memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

(3)

asuransi kematian dan tunjangan hari tua sedangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 memiliki program jaminan sosial yang lebih memadai dan sesuai dengan perkembangan teknologi yang meliputi: jaminan kecelakan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 dinyatakan bahwa jaminan sosial tenaga kerja tidak hanya memberikan santunan atau pelayanan setelah risiko-risiko itu terjadi, melainkan juga ikut membantu secara efektif dalam usaha-usaha pencegahan dan rehabilitasi akibat risiko tersebut.

Jaminan sosial ketenagakerjaan mempunyai tujuan ganda yaitu, tujuan sosial dan tujuan ekonomi. Tujuan sosial untuk menanggulangi berbagai peristiwa yang merugikan tenaga kerja baik berupa pencegahan maupun penyantunan. Sedangkan tujuan ekonomi dimaksudkan untuk menanggulangi ketidakpastian masa depan karyawan sehingga dapat menciptakan ketenangan kerja yang diperlukan untuk menumbuhkan semangat bekerja dan produktivitas tenaga kerja. Program jaminan sosial tenaga kerja yang diatur Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 adalah :

a. Jaminan Kecelakaan Kerja

(4)

penggunaan teknologi dan kondisi lingkungan. Oleh karena itu, setiap pekerja perlu dipertanggungkan terhadap timbulnya bahaya atau kecelakaan kerja yang mungkin terjadi.

b. Jaminan Kematian

Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja akan mengakibatkan terputusnya penghasillan, dan sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi keluarga yang ditinggalkan. Oleh karena itu, diperlukan jaminan kematian dalam upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya pemakaman maupun santunan berupa uang.

c. Jaminan Hari Tua

Hari tua dapat mengakibatkan terputusnya upah karena tidak mampu bekerja. Oleh karena itu, diperlukan jaminan hari tua yang memberikan kepastian penerimaan penghasilan yang dibayarkan secara sekaligus atau berkala kepada tenaga kerja yang telah mencapai umur 55 tahun atau memenuhi persyaratan tertentu.

Pada hakekatnya program jaminan sosial tenaga kerja dimaksudkan untuk memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang. Disamping itu, program jaminan sosial tenaga kerja mempunyai beberapa aspek, yaitu :

1) Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya.

(5)

Meningkatnya peranan tenaga kerja dalam perkembangan pembangunan nasional di tanah air dan semakin meningkatnya penggunaan teknologi di berbagai sektor kegiatan usaha dapat pula mengakibatkan semakin tinggi risiko yang mengancam keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan tenaga kerja sehingga perlu upaya peningkatan perlindungan tenaga kerja. Sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam rangka memberikan jaminan sosial kepada rakyat, pemerintah perlu mengambil kebijakan berupa memobilisasi dana jangka panjang dalam jumlah yang cukup besar secara bertahap kepada Badan Penyelenggara Jaminan Nasional yang dalam hal ini diambil alih oleh BPJS Ketenagakerjaan.

BPJS Ketenagakerjaan adalah badan yang ditunjuk sebagai penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 dari Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. BPJS Kantor Cabang Binjai Jl. Soekarno Hatta No. 469, Km 18 Binjai Timur merupakan badan yang mengurus dan menjamin hak-hak tenaga kerja khususnya di kota Binjai.

(6)

menghadapi badai krisis ekonomi keuangan global.

Dalam menjalankan pekerjaan, ada banyak risiko yang mengancam keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan para pekerja tersebut. Oleh karena itu untuk menciptakan ketenangan kerja dan meningkatkan produktivitas kerja para pekerja, maka BPJS Ketenagakerjaan melakukan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan pemerintah maupun swasta untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan para pekerja dengan program-program jaminan sosial ketenagakerjaan. Sesuai dengan kebijakan pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 dijelaskan bahwa semua tenaga kerja harus diikutsertakan dalam program jaminan sosial tenaga kerja maka setiap badan usaha yang mempekerjakan 10 (sepuluh) orang atau lebih atau membayar total upah Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per bulan, wajib mengikutsertakan pekerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja karena program jaminan sosial tenaga kerja adalah perlindungan dasar bagi pekerja yang sifatnya saling membantu.

(7)

Perihal kewajiban untuk mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan sebenarnya sudah disosialisasikan oleh pemerintah karena dalam paradigma bisnis modern, jaminan sosial bagi pekerja adalah bentuk hak asasi manusia. Dengan demikian, perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/karyawannya dalam program BPJS Ketenagakerjaan sama artinya mengabaikan aturan hukum sekaligus melanggar hak asasi manusia. Maka perusahaan seperti itu harus ditindak tegas dan disinilah tugas BPJS Ketenagakerjaan untuk meningkatkan kinerjanya dengan menyadarkan perusahaan-perusahaan akan pentingnya jaminan sosial bagi tenaga kerjanya sehingga jumlah peserta penerima program jaminan dapat terus bertambah.

Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, maka hal yang selanjutnya harus diperhatikan ialah implementasi/pelaksanaan kebijakan dari undang-undang tersebut. Menurut George C Edward III:1980 keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor yaitu komunikasi (communication), sumber daya (resources), disposisi (disposition), dan struktur birokrasi (bureucratic structure).

(8)

”IMPLEMENTASI KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 (STUDI PADA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KETENAGAKERJAAN KANTOR CABANG BINJAI)”.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengemukakan permasalahan yaitu

a. Apakah kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 dapat diimplementasikan dengan baik oleh implementor (BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai) ?

b. Apakah ada kendala dalam implementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 ?

c. Apa yang dilakukan implementor (BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai) untuk menyelesaikan kendala tersebut ?

1.3 Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui apakah kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 dapat diimplementasikan dengan baik oleh implementor (BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai.

b. Untuk mengetahui kendala dalam implementasian kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011.

(9)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Praktis

Dengan diadakannya penelitian ini, maka diharapkan dapat menjadi suatu alat penilaian kinerja BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai dalam rangka pelaksanaan kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

1.4.2 Teoritis

a. Diharapkan dapat mengerti dan memahami pelaksanaan program jaminan sosial ketenagakerjaan berdasarkan kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

b. Diharapkan dapat menambah wawasan dan dapat memperkaya bahan pustaka yang berkaitan dengan Ilmu Administrasi Negara khususnya tentang penyelenggaraan kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

1.4.3 Akademis A. Bagi Mahasiswa

1. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki.

2. Untuk memperdalam dan memperluas wawasan penelitian dalam teori dan praktek dilapangan tentang implementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011.

(10)

4. Untuk meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan kemampuan berfikir dalam membuat karya ilmiah.

B. Bagi Jurusan Administrasi Negara FISIP USU

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan atau referensi maupun perbandingan untuk digunakan dalam penelitian selanjutnya yang sejenis.

1.5 Kerangka Teori

Singarimbun, 2008:37 menyebutkan teori adalah serangkaian asumsi, konsep, dan konstruksi, definisi dan proporsi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Teori adalah konsep-konsep dan generalisasi hasil penelitian yang dapat dijadikan sebagai landasan teoritis untuk pelaksanaan peneitian (Sugiyono:2008).

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kerangka teori adalah suatu model yang menerangkan bagaimana hubungan suatu teori yang merupakan kesimpulan dari tinjauan puskata yang berisi tentang konsep-konsep teori yang dipergunakan/berhubungan dengan penelitian yang akan dilaksanakan dengan berbagai faktorfaktor yang didefinisikan sebagai masalah yang penting.

(11)

kerangka teori sebagai landasan berfikir yang menggambarkan dari sudut mana penulis menyoroti masalah yang ditelitinya. Kerangka teori adalah bagian dari penelitian tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok, sub variabel, atau masalah yang ada dalam penelitian (Arikunto, 2002:92).

Dalam penelitian ini diperlukan adanya kumpulan teori-teori yang memberikan pemahaman yang jelas bagi peneliti dalam memahami permasalahan yang diteliti. Berbagai teori yang dikemukakan dalam kerangka teori merupakan sarana untuk menjawab rumusan masalah dan sebagai landasan teoritis dan menjadi pedoman untuk melakukan analisis dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi kerangka teori pada penelitian ini adalah sebagi berikut:

1.5.1 Implementasi Kebijakan

(12)

to give proctical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu (Webster dalam Wahab (2006:64)).

Pengertian implementasi dijelaskan juga menurut Van Meter dan Van Horn bahwa Implementasi adalah “tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan” (Van Meter dan Van Horn dalam Wahab, 2006:65).

Definisi lain juga diutarakan oleh Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) menjelaskan makna implementasi dengan mengatakan bahwa “Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat-akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian kejadian”. Mazmanian dan Sabatier juga memberikan gambaran bagaimana melakukan implementasi kebijakan dengan langkah sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi masalah yang harus diintervensi, 2) Menegaskan tujuan yang hendak dicapai, dan

(13)

Berdasarkan beberapa definisi yang disampaikan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan dengan harapan akan memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran dari suatu kebijakan itu sendiri. Implementasi melibatkan usaha dari policy makers (pembuat kebijakan) untuk mempengaruhi street level bureaucracy (pelaksana kebijakan) untuk memberikan pelayanan atau mengatur perilaku target group (sasaran kebijakan). Tanpa suatu kegiatan implementasi, maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan menjadi sia-sia. Dengan demikian implementasi kebijakan merupakan rantai tindakan/kegiatan yang menghubungkan formulasi kebijakan dengan hasil (outcome) kebijakan yang diharapkan dan didalamnya aktor/pelaksana, organisasi, prosedur, dan teknik dipakai secara bersamaan dan simultan.

1.5.2 Model Implementasi Kebijakan (George Edward III)

Untuk mengkaji lebih baik suatu implementasi kebijakan publik maka perlu diketahui variabel dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk itu, diperlukan suatu model kebijakan guna menyederhanakan pemahaman konsep suatu implementasi kebijakan. Terdapat banyak model yang dapat dipakai untuk menganalisis sebuah implementasi kebijakan, namun kali ini yang penulis gunakan adalah model implementasi yang dikemukakan oleh George Edward III.

(14)

implementasi kebijakan sebagai suatu proses yang dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut perlu ditampilkan guna mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap implementasi. Oleh karena itu, Edward menegaskan bahwa dalam studi implementasi terlebih dahulu harus diajukan dua pertanyaan pokok yaitu:

1) Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan?

2) Apakah yang menjadi faktor utama dalam keberhasilan implementasi kebijakan?

Guna menjawab pertanyaan tersebut, Edward mengajukan empat faktor yang berperan penting dalam implementasi suatu kebijakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan yaitu faktor communication, resources, disposition, dan bureucratic structure (Edward dalam

Widodo, 2011:96-110).

Gambar 1.5.2

(15)

a) Komunikasi (Communication)

Menurut Harorl D. Lasswell 1960, komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa, mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa? Dengan akibat apa atau hasil apa? (Mulyana, 2005:69). Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy makers) kepada pelaksana kebijakan (policy implementors) (Widodo, 2011:97).

Widodo kemudian menambahkan bahwa suatu keberhasilan dari implementasi kebijakan mensyaratkan agar pelaku kebijakan/implementator dapat memahami apa yang menjadi isi, tujuan/arah, kelompok sasaran (target group) kebijakan, sehingga pelaku kebijakan mengetahui apa yang harus dilakukan dan dikomunikasikan kepada kelompok sasaran serta dapat mempersiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan, dengan demikian proses implementasi kebijakan bisa berjalan efektif serta sesuai dengan tujuan kebijakan itu sendiri.

(16)

kelompok sasaran dan pihak yang terkait. Tujuan dan sasaran kebijakan juga harus diinformasikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila penyampaian tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas, tidak memberikan pemahaman atau bahkan tujuan dan sasaran kebijakan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi suatu penolakan atau resistensi dari kelompok sasaran yang bersangkutan. Dimensi kejelasan menghendaki agar informasi yang disampaikan jelas dan mudah dipahami sehingga tidak terjadi kesalahan interpretasi dari pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak yang terkait dalam implementasi kebijakan. Sedangkan dimensi konsistensi menghendaki agar informasi yang disampaikan harus konsisten/tidak berubah-ubah sehingga tidak menimbulkan kebingungan pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak terkait.

1. Komponen Komunikasi

Komponen komunikasi adalah hal-hal yang harus ada agar komunikasi bisa berlangsung dengan baik. Menurut komponen komunikasi adalah:

1.1 Pengirim atau komunikator (sender) adalah pihak yang mengirimkan pesan kepada pihak lain.

(17)

1.3 Saluran (channel) adalah media dimana pesan disampaikan kepada komunikan. dalam komunikasi antar-pribadi (tatap muka) saluran dapat berupa udara yang mengalirkan getaran nada/suara.

1.4 Penerima atau komunikate (receiver) adalah pihak yang menerima pesan dari pihak lain

1.5 Umpan balik (feedback) adalah tanggapan dari penerimaan pesan atas isi pesan yang disampaikannya.

1.6 Aturan yang disepakati para pelaku komunikasi tentang bagaimana komunikasi itu akan dijalankan ("Protokol")

2. Proses Komunikasi

Secara ringkas, proses berlangsungnya komunikasi bisa digambarkan seperti berikut (Mulyana:2007).

2.1Komunikator (sender) yang mempunyai maksud berkomunikasi dengan orang lain mengirimkan suatu pesan kepada orang yang dimaksud. Pesan yang disampaikan itu bisa berupa informasi dalam bentuk simbol-simbol yang bisa dimengerti kedua pihak.

(18)

Media (channel) alat yang menjadi penyampai pesan dari komunikator ke komunikan. Komunikan (receiver) menerima pesan yang disampaikan dan menerjemahkan isi pesan yang diterimanya ke dalam bahasa yang dimengerti oleh komunikan itu sendiri lalu memberikan umpan balik (feedback) atau tanggapan atas pesan yang dikirimkan kepadanya, apakah dia mengerti atau memahami pesan yang dimaksud oleh si pengirim.

3. Model-Model Komunikasi

Dari berbagai model komunikasi yang sudah ada, di sini akan dibahas tiga model paling utama, yaitu: (Wiryanto:2004)

3.1 Model Komunikasi Linear

(19)

3.1Model Komunikasi Interaksional

Model interaksional dikembangkan oleh Wilbur Schramm pada tahun 1954 yang menekankan pada proses komunikasi dua arah di antara para komunikator. Dengan kata lain, komunikasi berlangsung dua arah: dari pengirim dan kepada penerima dan dari penerima kepada pengirim. Proses melingkar ini menunjukkan bahwa komunikasi selalu berlangsung. Para peserta komunikasi menurut model interaksional adalah orang-orang yang mengembangkan potensi manusiawinya melalui interaksi sosial, tepatnya melalui pengambilan peran orang lain. Model ini menempatkan sumber dan penerima mempunyai kedudukan yang sederajat. Satu elemen yang penting bagi model interkasional adalah umpan balik (feedback), atau tanggapan terhadap suatu pesan.

3.2Model Komunikasi Transaksional

(20)

b) Sumber Daya (Resources)

Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi kebijakan. Edward III dalam Widodo (2011:98) mengemukakan “Bagaimanapun jelas dan konsistensinya ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk melaksanakan kebijakan secara efektif maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif.” Sumber daya di sini berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan seperti sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi, dan kewenangan.

1) Sumber Daya Manusia (Staff)

(21)

2) Anggaran (Budgetary)

Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan modal atau investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menjamin terlaksananya kebijakan, sebab tanpa dukungan anggaran yang memadai, kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran. 3) Fasilitas (facility)

Fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak, seperti gedung, tanah, peralatan perkantoran serta fasilitas pendukung lainnya yang tersedia untuk oprasionalisasi pelaksanaan suatu kegiatan/program dan dipergunakan untuk mendukung secara langsung dan terkait dengan tugas-tugas yang ditetapkan sehingga dapat menunjang keberhasilan implementasi suatu program atau kebijakan.

4) Informasi dan Kewenangan (Information and Authority)

(22)

bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab sehingga menimbulkan inefisien. Dalam implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi serta individu terhadap peraturan pemerintah yang ada.

Sementara kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan yang diamanatkan dalam suatu kebijakan yang telah ditetapkan. Wewenang berperan penting untuk meyakinkan dan menjamin bahwa program yang dilaksanakan dapat diarahkan kepada sebagaimana yang diharapkan. Ketika wewenang tidak ada, maka kekuatan para implementor di mata publik tidak dilegitimasi, sehingga dapat menggagalkan implementasi kebijakan publik. kewenangan berguna untuk menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/ mengatur keuangan, pengadaan staf, maupun pengadaan sunber daya lainnya. Dengan kewenangan yang cukup untuk membuat keputusan sendiri yang dimiliki oleh suatu lembaga akan mempengaruhi lembaga itu dalam melaksanakan suatu kebijakan.

(23)

c) Disposisi (Disposition)

Menurut Edward III dalam Wianarno (2005:142-143) Disposisi adalah kecenderungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana kebijakan dalam mendukung suatu implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan atau sasaran. Karakter penting yang harus dimiliki oleh pelaksana kebijakan misalnya komunikatif, cerdik, inisiatif, sifat demokratis, kejujuran, dan komitmen yang tinggi. Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam asa program yang telah digariskan, sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana kebijakan akan membuat mereka selalu antusias dalam melaksanakan tugas, wewenang, fungsi, dan tanggung jawab sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.

(24)

mempunyai kemampuan untuk melakukan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kamauan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.”

Disposisi implementor mencakup tiga hal penting, yaitu: (Edwards III:1980) 1) Respons implementor terhadap kebijakan, kesadaran pelaksana,

petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan;

2) Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan;

3) Intensitas disposisi implementor yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat.

Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III dalam Agustino (2006:159-160) mengenai disposisi dalam implementasi kebijakan terdiri dari:

1. Pengangkatan birokrasi, pengangkatan dan pemilihan personel pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat. Penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi yang lain.

(25)

biaya tertentu akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi.

Berdasarkan penjelasan diatas bahwa dalam mendukung dispositions untuk kesuksesan implementasi kebijakan harus adanya kesepakatan antara pembuat kebijakan dengan pelaku yang akan menjalankan kebijakan itu sendiri dan bagaimana mempengaruhi pelaku kebijakan agar menjalakan sebuah kebijakan tanpa keluar dari tujuan yang telah ditetapkan demi terciptanya pelayanan publik yang baik.

d) Struktur Birokrasi (Bureucratic Structure)

(26)

waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas. Ukuran dasar SOP atau prosedur kerja ini menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak agar dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan dan juga digunakan untuk menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor publik dan swasta (Winarno, 2005:150). Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan.

(27)

komunikasi horizontal maupun vertikal secara bebas yang terdapat dalam organisasi sebagai jawaban terhadap pertanyaan “Siapa yang berhubungan dengan siapa dan untuk kepentingan apa?”; (4) jaringan informasi yang dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, baik yang sifatnya institusional maupun individual; (5) koordinasi, hubungan antara satuan organisasi dengan organisasi lainnya.

Struktur organisasi yang terlalu panjang dan hierarki birokrasi yang berlapis-lapis akan cenderung melemahkan pengawasan dan menyebabkan prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel oleh karena itu diperlukan mekanisme dan fragmentasi yang jelas dalam pelaksanaan suatu kebijakan agar berjalan dengan baik.

1.5.3 Kebijakan Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Menimbang bahwa bahwa sistem jaminan sosial nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Maka untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial nasional perlu dibentuk badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

(28)

Penyelenggara Jaminan Sosial dengan Undang-Undang yang merupakan transformasi keempat Badan Usaha Milik Negara untuk mempercepat terselenggaranya sistem jaminan sosial nasional bagi seluruh rakyat Indonesia. Atas persetujuan bersama Dewan Perwalilan Rakyat (DPR) dan Presiden menetapkan Undang-Undang nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial yang merupakan bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.

BPJS terdiri dari dua bentuk yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, BPJS akan menggantikan sejumlah lembaga jaminan sosial yang ada di Indonesia yaitu lembaga asuransi jaminan kesehatan PT ASKES, dana tabungan dan asuransi pegawai negeri PT TASPEN, Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia PT ASABRI dan lembaga jaminan sosial ketenagakerjaan PT JAMSOSTEK. Transformasi PT Askes serta PT JAMSOSTEK menjadi BPJS yang akan dilakukan pada tanggal 1 Januari 2014, PT Askes akan menjadi BPJS Kesehatan, dan PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan.

(29)

penyelenggaraannya menggunakan mekanisme Negara yang bergerak dalam bidang asuransi sosial BPJS Ketenagakerjaan merupakan pelaksana sistem jaminan sosial nasional dibidang ketenagakerjaan.

A. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

Sistem Jaminan Sosial Nasional (National Social Security System) adalah salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh negara Republik Indonesia guna menjamin warga negaranya dalam memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak, menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut Guy Standing (2000) Jaminan sosial adalah suatu sistem untuk memberikan jaminan pendapatan untuk menghadapi risiko kontingensi kehidupan seperti sakit, bersalin, kecelakaan kerja, pengangguran, cacat, hari tua dan kematian; penyediaan perawatan medis, dan pemberian subsidi untuk keluarga dengan anak-anak. Jaminan sosial diperlukan apabila terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan seseorang, baik karena memasuki usia lanjut atau pensiun, maupun karena gangguan kesehatan, cacat, kehilangan pekerjaan dan lain sebagainya. Sistem Jaminan Sosial Nasional disusun dengan mengacu pada penyelenggaraan jaminan sosial yang berlaku universal dan telah diselenggarakan oleh negara-negara maju dan berkembang sejak lama (Arifianto:2004).

Landasan Yuridis SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) adalah (Putri:2014):

(30)

2. Deklarasi HAM PBB ata dan konvensi

3. TAP MPR RI no X/MPR/2001 yang menugaskan kepada presiden RI untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional.

4. UU No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Keterangan:

UU No.40 tahun 2004 tentang SJSN menggantikan program-program jaminan sosial yang ada sebelumnya (Askes, Jamsostek, Taspen, dan Asabri) yang dinilai kurang berhasil memberikan manfaat yang berarti kepada penggunanya, karena jumlah pesertanya kurang, jumlah nilai manfaat program kurang memadai, dan kurang baiknya tata kelola manajemen program tersebut. Manfaat program Jamsosnas tersebut cukup komprehensif, yaitu meliputi jaminan hari tua, asuransi kesehatan nasional, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian. Program ini akan mencakup seluruh warga negara Indonesia, tidak peduli apakah mereka termasuk pekerja sektor formal, sektor informal, atau wiraswastawan.

B. Program Jaminan Sosial Nasional (Jamsosnas)

Sesuai dengan pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, program jamsosnas dibidang ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:

1) Jaminan Kecelakaan Kerja

(31)

perkerjannya dan berbagai penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut (Naskah akademik SJSN (Putri:2014))

2) Jaminan Hari Tua

Program jaminan hari tua (JHT) adalah sebuah program manfaat pasti (defined benefit) yang beroperasi berdasarkan asas “membayar sambil jalan” (pay-as-you-go). Manfaat pasti program ini adalah suatu persentasi rata-rata pendapatan tahun sebelumnya, yaitu antara 60% hingga 80% dari Upah Minimum Regional (UMR) daerah di mana penduduk tersebut bekerja. Setiap pekerja akan memperoleh pensiun minimum pasti sejumlah 70% dari UMR setempat (Naskah Akademik UU N0 40 tahun 2004 (Putri:2014)).

3) Jaminan Kematian

Santunan kematian adalah program jangka pendek sebagai pelengkap program jaminan hari tua yang dibiayai dari iuran dan hasil pengelolaan dana santunan kematian dan manfaatnya diberikan kepada keluarga atau ahli waris yang sah pada saat peserta meninggal dunia (Naskah Akademik UU N0 40 tahun 2004 (Putri:2014)).

4) Jaminan Pensiun

(32)

C. Tenaga Kerja (Pekerja)

Tenaga kerja secara umum dapat diartikan sebagai bagian dari penduduk suatu negara yang sanggup menghasilkan pekerjaan yang mempunyai nilai ekonomis, baik pekerjaan itu berupa mengerjakan tanah, tambang, dalam pabrik, dalam pengangkutan atau perdagangan maupun pekerjaan administrasi atau kegiatan ilmiah. Dr Edgar C. McVoy mengatakan bahwa: “angkatan kerja adalah bagian dari populasi negara yang terlibat dalam aktivitas nilai ekonomi. Tenaga kerja potensial terdiri dari orang-orang dalam populasi yang saat ini tidak terlibat dalam aktivitas nilai ekonomi, tetapi yang mungkin ditarik ke dalam kegiatan tersebut melalui bujukan motivasi, program pelatihan, dan lainnya. Tenaga kerja itu, termasuk kedua kelompok ini, tenaga kerja dan angkatan kerja potensial.” (Benggolo:1981).

(33)

Menurut MT Rionga dan Yoga Firdaus, 2007:2 tenaga kerja (man power) adalah penduduk dalam usia kerja yang siap melakukan pekerjaan antara lain mereka yang sudah atau sedang bekerja, mereka yang sedang mencari pekerjaan, serta yang sedang melaksanakan pekerjaan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga.

1.6 Definisi Konsep

Pada tingkat kongkrit, konsep merupakan suatu gambaran mental dari beberapa objek atau kejadian yang sesungguhnya dan pada tingkat abstak, konsep merupakan sintetis sejumlah kesimpulan yang telah ditarik dari pengalaman dengan objek atau kejadian tertentu (Suyanto:2005).

Konsep merupakan istilah atau definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Masri Singarimbun, 2008:33). Definisi konsep bertujuan untuk memudahkan pemahaman unsur-unsur yang ada dalam penelitian dan menghindarkan interpretasi ganda atas variabel-variabel yang diteliti.

(34)

1. Implementasi Kebijakan

Implementasi adalah suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan dengan harapan akan memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran dari suatu kebijakan itu sendiri. Implementasi kebijakan merupakan rantai tindakan/kegiatan yang menghubungkan formulasi kebijakan dengan hasil (outcome) kebijakan yang diharapkan yang didalamnya aktor/pelaksana, organisasi, prosedur, dan teknik dipakai secara bersamaan dan simultan.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan model implementasi kebijakan George Edward III dengan indikator yang digunakan untuk menganalisis implementasi kebijakan sebagai berikut:

a. Komunikasi adalah proses penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy makers) kepada pelaksana kebijakan (policy

implementers) yang kemudian diteruskan kepada sasaran kebijakan

(target group).

b. Sumber Daya adalah suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu materi atau unsur tertentu dalam kehidupan. Sumber daya diposisikan sebagai input dalam organisasi sebagai suatu sistem yang mempunyai implikasi

(35)

organisasi yang merefleksikan nilai atau kegunaan potensial dalam transformasinya ke dalam output. Sedang secara teknologis, sumber daya bertalian dengan kemampuan transformasi dari organisasi. Sumber daya di sini berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan seperti sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi, dan kewenangan.

c. Disposisi adalah kecenderungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana kebijakan dalam mendukung suatu implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan atau sasaran. Jika implementasi kebijakan ingin berhasil secara efektif dan efisien, para pelaksana (implementors) tidak hanya mengetahui apa yang harus dilakukan dan mempunyai kemampuan untuk

melakukan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kamauan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

d. Struktur Birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan. Aspek struktur birokrasi ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan fragmentasi.

2. Kebijakan Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

(36)

a. Sistem Jaminan Sosial Nasional

Sistem jaminan sosial nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial yang pada dasarnya merupakan program negara yang bertujuan memberi kepastian dan perlindungan untuk menjamin kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya dengan layak.

b. Tenaga kerja (Pekerja)

Tenaga kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang siap melakukan pekerjaan antara lain mereka yang sudah bekerja dan mempunyai nilai ekomis.

1.7 Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini disusun secara sistematis yang terdiri dari 6 (enam) bab yang dilengkapi dengan sub-sub bab yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN

(37)

BAB II : METODE PENELITIAN

Pada bab ini berisi metode penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini yang terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

BAB III : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Dalam bab ini penulis memuat gambaran umum lokasi penelitian, sejarah umum lokasi penelitian, filosofi, visi&misi, struktur organisasi, dan fungsi, tugas, serta wewenang.

BAB IV : PENYAJIAN DATA

Pada bab ini disajikan data dan informasi yang diperoleh selama penelitian di lapangan berupa dokumen-dokumen yang akan dianalisis dan hasil wawancara dari informan yang dianggap kredibel.

BAB V : ANALISIS DATA

(38)

BAB VI : PENUTUP

Gambar

Gambar 1.5.2

Referensi

Dokumen terkait

(1) how lexical density progresses among and within the selected English textbooks, (2) how lexical variation progresses among and within the selected English

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) hubungan prestasi praktik kerja industri dengan minat berwirausaha; (2) hubungan hasil belajar praktik kelistrikan otomotif

Peluang emprik merupakan rasio dari hasil yang dimaksud dengan semua hasil yang mungkin pada suatu eksprimen lebih dari satu.Dalam suatu percobaan dimana setiap hasil memunyai

Sehubungan dengan Persetujuan Hasil Evaluasi Kualifikasi dari General Manager Nomor : CL.PM.06.191 tanggal 27 April 2016, dengan ini kami sampaikan PENGUMUMAN

Of the major insect pests of common bean in eastern and southern Africa, bean fly (also known as bean stem maggot) ( Oph- iomyia spp.) is by far the most important pest of

Efek berkelanjutan (multilier effect) dari pembentukan karakter positif anak akan dapat terlihat, seperti yang digambarkan oleh Jan Wallander, “Kemampuan sosial dan emosi pada

Dari sisi lingkungan, penemuan ini merupakan terobosan besar dalam teknologi pulping dan bleaching dan diharapkan mampu menjawab permasalahan lingkungan yang ditimbulkan oleh

Dari hasil penelitian aktivitas belajar dapat disimpulkan bahwa dari 95 responden aktivitas belajar paling banyak adalah aktivitas belajar sedang yaitu sebanyak 85 responden