• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN SISTEM JAMINAN SOSIAL BAGI

1. Pasca Indonesia Merdeka

Menurut perundang-undangan Indonesia, melahirkan anak

(maternity) bukanlah keadaan yang memerlukan jaminan sosial, karena dipandang sebagai istirahat dengan upah penuh. Peraturan yang terdahulu di Indonesia adalah undang-undang yang berkenaan dengan pemberian ganti-rugi kecelakaan, yaitu Undang-Undang Kecelakaan 1947 dan

Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 (Peraturan Kecelakaan Pelaut).17 Undang-Undang Kecelakaan 1947 adalah Undang-Undang Jaminan Sosial pertama yang diundangkan pasca proklamasi kemerdekaan, dan hebatnya lagi masih diundangkan di masa pemerintahan darurat pasca perang agresi Belanda kedua.18 Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 (Peraturan Kecelakaan Pelaut) adalah merupakan dasar hukum perjanjian kerja laut.19

17

Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1981, Hal. 191

18

Asih Eka Putri, Jaminan Sosial, “Karya Besar Abad Keduapuluh”,

19

a. Ganti-rugi menurut Undang-Undang Kecelakaan 1947

Dalam membahas Undang-Undang Kecelakaan 1947 harus ada perhatian dari hukum perburuhan. Dalam hukum perdata biasa, ganti-rugi hanya dimintakan dari seseorang yang telah bersalah melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian itu. 20. Dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.21

Demikianlah juga menurut pasal 1602w Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Majikan wajib mengatur dan memelihara ruangan-ruangan, alat-alat dan perkakas yang dipakai untuk melakukan pekerjaan, dan pula wajib mengenal cara melakukan pekerjaan, mengadakan aturan-aturan serta memberi petunjuk-petunjuk sedemikian rupa sehingga buruh terlindung dari bahaya yang mengancam badan, kehormatan dan harta bendanya sebagaimana dapat dituntut mengenai sifat pekerjaan”.22

20

Imam Soepomo, Loc .cit.

21

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

22

Ibid.

Jika buruh hendak minta ganti-rugi karena kecelakaan, dia harus membuktikan bahwa kecelakaan itu terjadi karena kesalahan majikan atau kelalaian majikan tidak memenuhi kewajibannya untuk mengatur dan memelihara tempat kerja

dan alat kerja sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kecelakaan yang mengakibatkan kerugian bagi buruh.

Bahwa pembuktian ini bagi buruh adalah sulit, bahkan kadang-kadang tidak jelas. Jika memang hendak melindungi buruh, maka harus ditempuh jalan lain. Karena itu mula-mula dalam Ongevallen-regeling 1939 dan kemudian Undang-Undang Kecelakaan 1947 dan

Schepelingen Ongevallen-regeling 1940, dilepaskan dasar kesalahan tersebut dan ganti-rugi karena kecelakaan itu selanjutnya didasarkan atas tanggungjawab majikan atas kerugian yang terjadi di perusahaannya. Pemberian ganti-rugi dipandang sebagai resiko menjalankan perusahaan (risque professionnel).

Undang-Undang Kecelakaan 1947 jika dibandingkan dengan

Ongevallen-regeling 1939 dan Schepelingen Ongevallen-regeling

1940, sudah lebih maju lagi, karena Undang-Undang itu meliputi suatu kecelakaan yang menimpa buruh dalam hubungan kerja. Misalnya seorang buruh yang baru saja keluar meninggalkan rumahnya menuju ke tempat pekerjaan atau telah meninggalkan tempat pekerjaan menuju ke rumah jadi tidak di perusahaan mendapat kecelakaan dia sudah berhak atas ganti rugi seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang kecelakaan 1947 yaitu "Di perusahaan yang diwajibkan memberi tunjangan, majikan berwajib membayar ganti kerugian kepada buruh yang mendapat kecelakaan berhubung dengan

hubungan kerja pada perusahaan itu, menurut yang ditetapkan dalam Undang-undang ini”.

Disamakan dengan kecelakaan adalah penyakit yang timbul sebagai akibat menjalankan pekerjaan di perusahaan, artinya seorang buruh yang menderita penyakit jabatan (occupational disease) berhak atas ganti-rugi seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Kecelakaan 1947 yaitu “Penyakit yang timbul karena hubungan kerja dipandang sebagai kecelakaan”.23

Menurut Undang-Undang Kecelakaan 1947 itu, tidak semua perusahaan diwajibkan memberi ganti-rugi. Pasal 2 membatasinya pada perusahaan tertentu sebanyak 13 jenis perusahaan yaitu24

1) yang mempergunakan satu atau beberapa tenaga mesin; :

2) yang mempergunakan gas-gas yang telah dicairkan, dikompa atau yang jadi cair karena tekanan;

3) yang mempergunakan zat-zat baik padat, baik cair, maupun gas, yang amat tinggi panasnya atau mudah terbakar atau menggigit, mudah meletus, mengandung racun, menimbulkan penyakit atau dengan cara yang lain berbahaya atau dapat merusak kesehatan; 4) yang membangkitkan, mengobah, membagi-bagi, mengalirkan atau

mengumpulkan tenaga listrik;

5) yang mencari atau mengeluarkan barang galian dari tanah; 6) yang menjalankan pengangkutan orang atau barang-barang;

7) yang menjalankan pekerjaan memuat dan membongkar barang-barang;

8) yang menjalankan pekerjaan mendirikan, mengubah, membetulkan atau membongkar bangunbangunan, baik dalam atau di atas tanah, maupun dalam air, membuat saluran-saluran dalam tanah dan jalan-jalan;

9) yang mengusahakan hutan; 10)yang mengusahakan siaran radio; 11)yang mengusahakan pertanian;

23

Imam Soepomo, Op.cit., Hal. 191-192

24

12)yang mengusahakan perkebunan; 13)yang mengusahakan perikanan.

Dalam hal ini ke 13 perusahaan tersebut harus tetap memberikan tunjangan kepada pekerja/buruh agar berlanjutnya hubungan kerja dari majikan lama kepada majikan baru.

Penderita kecelakaan dapat menuntut pembayaran ganti-rugi berdasarkan ketentuan pada pasal 1602w Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa seorang majikan yang tidak memenuhi kewajibannya untuk mengatur dan memelihara ruangan, alat perkakas, dimana atau dengan mana ia menyuruh melakukan pekerjaan sedemikian rupa sehingga buruh terlindung dari bahaya yang mengancam badan, kehormatan dan harta bendanya, wajib mengganti kerugian yang karenanya menimpa buruh dalam menjalankan pekerjaannya.25

25

Imam Soepomo, Op.cit., Hal. 193

Sehingga dapat menuntut pembayaran upah seperti termaksud pada pasal 1602c Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Akan tetapi buruh berhak untuk meminta dan menerima upah, yang ditetapkan menurut lamanya buruh, bekerja untuk waktu yang tidak begitu lama, bila ía berhalangan melakukan pekerjaan karena sakit atau mengalami kecelakaan, kecuali bila sakitnya atau kecelakaan itu disebabkan oleh kesengajaan atau

kebejatannya atau oleh cacat badan yang dengan sengaja diberi keterangan palsu pada waktu membuat perjanjian kepada majikan”.26 Undang-Undang Kecelakaan Kerja 1947 akan tetap berlaku apabila ada aturan yang masih diatur didalam Undang-Undang tersebut dan belum terdapat aturan penggantinya sehingga berlaku azas

Metaprinciple yang mengatakan “Lex Posterior

Generalis, Non Derogat Legi Priori Specialis” yang berarti

Undang-Undang yang terbit kemudian bersifat

generalis tidak mengesampingkan pendahulunya yang

spesialis.27

b. Ganti-rugi karena kecelakaan pelaut

Bagi para pelaut yang mendapat kecelakaan, berlaku peraturan tersendiri, yaitu Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 (Peraturan Kecelakaan Pelaut 1940), mulai berlaku tanggal 1 Januari 1940. .28

Menurut Prof. Iman Soepomo, S.H., Schepelingen

-Ongevallen-regeling 1940 masih berlaku secara khusus hingga saat ini, sepanjang tidak diikutsertakan dalam program jaminan sosial (social secutiry) yang ada saat ini.29

26

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

27

P hi li p us M. H adj o n,A r gum en ta si Huku m”, G aj a h Mad a U ni ve r si t y P r e ss , Yo gya ka rt a, H al . 54

28

Imam Soepomo, Loc.cit.

29

Majikan wajib memberi ganti-rugi kepada anak-kapal yang mendapat kecelakaan dalam hubungannya dengan pekerjaannya di kapal atau untuk keperluan kapal. Kehilangan perlengkapan karena kecelakaan kapal dipandang sebagai kecelakaan yang menimpa buruh.

Prinsip yang dianut dalam Schepelingen Ongevallen-regeling

1940 ini ialah kecelakaan yang ada hubungannya dengan pekerjaannya dan adalah tidak seluas prinsip yang dipakai sebagai dasar dalam Undang-Undang Kecelakaan 1947.

Walaupun tanggungjawab majikan diperluas terhadap tiap kecelakaan yang terjadi di kapal juga yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan buruh, namun tetap kurang luas dibandingkan dengan Undang-Undang Kecelakaan 1947.30

1) Kapal yang digunakan untuk mengangkut orang atau barang atau untuk usaha perikanan;

Hal ini disebabkan sedikitnya ruang aturan yang ada dalam Schepelingen Ongevallen-regeling 1940. Seperti masalah kapal penarik serta kapal yang ditarik oleh kapal penarik pada Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 tidak diatur dalam Undang-Undang kecelakaan 1947.

Kapal yang diwajibkan memberi ganti-rugi adalah :

2) Kapal penarik serta kapal yang ditarik oleh kapal penarik; 3) Kapal pemadam kebakaran;

4) Kapal clayton dan kapal pembersih lainnya;

5) Perahu penolong dan sampan/sekoci yang merupakan alat pertolongan serta tidak digunakan untuk keperluan lainnya;

6) Kapal keruk yang ada di laut atau dalam perairan sendiri.

30

Ganti-rugi yang diberikan kepada anak-kapal yang ditimpa kecelakaan menurut Schepelingen Ongevallen-regeling 1940 adalah : 1) Pengobatan dan perawatan dengan cuma-cuma, termasuk

pemberian obat dan alat pembalut, selama paling lama 1 tahun sesudah hari kecelakaan;

2) Perumahan dan makanan cuma-cuma, bila mendapat kecelakaan dirawat di luar rumahnya sendiri;

3) Pengangkutan ke tempat perawatan; 4) Penguburan;

5) Jika perjanjian kerja telah berakhir, segera setelah sembuh buruh diberi pengangkutan ke tempat perjanjian kerja itu dibuat. Termasuk biaya makan dan penginapan selama perjalanan;

6) Uang tunjangan kepada;

a) Buruh yang tidak mampu lagi melakukan pekerjaan; b) Kepada keluarga buruh jika buruh meninggal.

Kehilangan perlengkapan karena kecelakaan kapal hanya diganti bila kehilangan itu tidak terjadi karena kelalaian besar (grove schuld). Ganti-rugi diberikan untuk kerugian yang benar-benar diderita terhadap barang yang berhubung dengan kedudukan pangkat atau pekerjaan buruh diperlukan di kapal.31

c. Bantuan/tunjangan sakit

Ketentuan lain yang berlaku adalah Peraturan Menteri Perburuhan No. 15 tahun 1957 jo No. 3 tahun 1964 dan No. 3 tahun 1967 tentang pemberian bantuan/tunjangan kepada buruh dan keluarganya dalam hal sakit, hamil, bersalin, atau meninggal dunia, memberi kesempatan kepada majikan untuk mempertanggungjawabkan buruhnya beserta keluarganya pada dana jamina sosial terhadap sakit, hamil, bersalin atau meninggal dunia.32

31

Ibid., Hal. 193-195

32

Peraturan Menteri Perburuhan No. 15 tahun 1957 jo No. 3 tahun 1964 merupakan cikal bakal lahirnya asuransi sosial tenaga kerja yang harus didirikan oleh perusahaan dan Peraturan Menteri Perburuhan No. 3 tahun 1967 menerangkan bahwa harus ada pemberian bantuan sosial bagi pekerja/buruh.

Mengenai pengobatan/perawatan sakit terdapat beberapa ketentuan secara terpencar-pencar dalam berbagai peraturan yang bukan merupakan jaminan sosial (social security), melainkan merupakan bagian dari upah, yaitu bagian upah yang berupa barang atau jasa, tepatnya pengobatan dokter.

Misalnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata mewajibkan majikan jika seorang buruh bertempat tinggal padanya sakit selama berlangsungnya hubungan kerja tetapi paling lama untuk waktu 6 minggu, menguruskan perawatan dan pengobatannya sepantasnya, sekedar hal ini tidak diberikan berdasarkan peraturan lain.

Indienstneming van Werklieden (Peraturan tentang Memperkerjakan Buruh) mewajibkan majikan memberi perawatan yang layak termasuk obat yang diperlukan. Pelanggaran atas kewajiban ini diancam dengan pidana denda sebanyak-banyaknya seratus rupiah.

Aanvullende Platersregeling (Peraturan Perburuhan di Perusahaan Perkebunan) menetapkan bahwa jika buruh sakit, pengusaha selama hubungan kerja berlangsung tetapi selama-lamanya

untuk 3 bulan, wajib memberi perawatan dan pengobatan yang layak. Perawatan dan pengobatan ini juga diberikan kepada keluarga buruh (istri, anak yang sah dan disahkan di bawah umur 21 tahun).

Dalam Panglongkeur Soematra Oostkust dan Riouw Panglongregeling ditetapkan bahwa pengusaha wajib memberi pengobatan. Zee-arbeidsovereenkomst (perjanjian kerja laut) yang mengacu pada Buku II Bab 4 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menetapkan jika seorang buruh yang telah mengadakan perjanjian kerja untuk sedikit-dikitnya 1 tahun atau selama 1 setengah tahundengan terus-menerus telah bekerja pada seorang pengusaha, jatuh sakit sedang ia melakukan pekerjaan di kapal, juga bila hubungan kerja telah putus, berhak mendapat upah penuh serta perawatan dan pengobatan yang layak, selama ia tinggal di kapal.

Bila pengusaha mendaratkan buruh yang sakit itu pada suatu tempat, ia wajib membiayai perawatan dan pengobatan itu sampai sembuh, tetapi paling lama untuk 52 minggu.33

33

Ibid., Hal. 195-196

Soal persediaan untuk hari tua dan pemeliharaan janda dan anak yatim-piatu masih sepenuhnya terserah paka kebijaksanaan majikan atau organisasi buruh untuk memperjuangkannya terhadap majikan. Dalam praktik sudah ada berbagai perusahaan yang mempunyai peraturan pensiun.

Barangkali dapat dipandang sebagai petunjuk permulaan bagi gagasan pemeliharaan janda dan anak yatim-piatu, ketentuan dalam

Aanvullende Plantersregeling yang menetapkan bahwa jika buruh meninggal dunia, kepada keluarga yang ditinggalkan dibayarkan upah bulan yang berjalan dan bulan berikutnya.

Demikian pula dengan pensiun yang diberikan kepada pegawai negeri dalam Aanvullende Plantersregeling meliputi:

1) Pengobatan dan perawatan,

2) Tunjangan kepada yang bersangkutan,

3) Tunjangan kepada jandanya, bila pegawai negeri itu meninggal dunia.

Menurut Prof. Imam Soepomo ,S.H. jaminan sosial (social security) ini mengingat pembiayaannya dibagi dalam:

1) Bantuan sosial (social assistance) dan 2) Pertanggungan sosial (social assurance).

Pada bantuan sosial semua biaya dipikul oleh majikan, seperti pada ganti-rugi karena kecelakaan. Jika disini diadakan pertanggungan, maka pertanggungan itu diselenggarakan antara para majikan bersama, seperti misalnya dimaksud pada pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Kecelakaan 1947.

Pada pertanggungan sosial, baik majikan maupun buruh membayar iuran untuk memperoleh bantuan yang dimaksudkan,

misalnya jaminan sosial sakit, jaminan sosial hari tua, janda dan anak yatim piatu serta pengangguran.34

2. Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1977 Tentang Asuransi Sosial

Dokumen terkait