• Tidak ada hasil yang ditemukan

Constructivism in International Relation Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Constructivism in International Relation Indonesia"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Constructivism in IR

Kompleksitas pembahasan dalam hubungan internasional kian kompleks selain memang telah dipenuhi oleh perspektif utama seperti perspektif utama seperti realisme dan liberalism, disiplin ilmu hubungan internasional juga memiliki pelbagai perspektif alternatif salah satunya ialah konstruktivisme. Beberapa perspektif klasik seperti realisme yang memandang bahwa hal-hal material seperti power capablities yang memang menurut perspektif ini dapat menjelaskan states behavior. Namun hal ini berbanding terbalik dengan para penteori konstruktivist yang menolak bahwa hal-hal material adalah hal utama dan yang paling diprioritaskan namun berpendapat bahwa hal yang paling memegang peran penting dan yang harus di prioritaskan ialah social not material.1

Lalu para penteori konstruktivisme juga berpendapat bahwa sistem internasional tidak berdiri dengan sendirinya, dan berpendapat bahwa sistem internasional terdiri dari intersubjektivitas yang berasal dari tatanan ide yang telah lama terkonstruk dalam pikiran dan tidak mungkin berasal hal-hal yang bersifat material. Setahu kelompok kami bahwa konstruktivisme dipengaruhi oleh para penteori yang berasal dari jerman atau dengan istilah (frankfurt school) dan pada tahun 1980 konstruktivisme menjadi sebuah approch yang dominan di Amerika Utara.

Social constructivism attempts to find a practical answer to the postmodern challenge to scientificknowledge in order to be able to conduct empirical research. It focuses in particular on the interplayof structure and agency, and of ideas, norms and interests.”2

Dari kutipan diatas dan juga hasil diskusi kelompok kami dapat kami katakan bahwa konstruktivisme lebih menitik beratkan pada sesuatu yang telah tertanam sejak lama atau dengan kata lain terstruktur. Hal yang harus diketahui lagi tentang konstruktivisme ialah bahwa dalam pendekatan konstruktivisme ini tidak mengenal sesuatu yang ada di hidup ini sebagai sesuatu anugrah. Dan hasil dari kontruksi itu merupakan buah dari aktivitas sehari-sehari hingga seiring berjalannya waktu, hal-hal tersebut telah terbenam dalam benak mereka bahwa seperti itulah namun pada dasarnya konstruktivisme yang telah tertanam sejak lama dalam kehidupan manusia selamanya tidak benar, hal inilah yang menurut kami bahwa pembahasan konstruktivisme menjadi kian menarik untuk dibahas.

“As you will see in more detail in this chapter, social constructivists:analyse the interplay between structure and agency in

international politics;

are interested in the role of ideas, norms and institutions in foreign policy making;

argue for the importance of identity and culture in international politics;

do not deny the role of interests in policy making, but try to understand how these interests are constructed;accept that social science cannot operate like the

natural sciences, but nonetheless insist on the possibility to theorise and empirically analyse international politics

1

Dikutip dari Jackson, Robert & Sorensen Georg., (2013)

Introducti on to The International

Relations Theories and Approaches.

(Oxford Univeristy Press) p.209

(2)

as a reality.”3

Dari kutipan diatas maka kami akan menjelaskannya satu persatu, yakni yang petama bahwa konstruktivisme menawarkan sebuah analisa yang mengkaji seorang aktor dan juga implikasinya terhadap struktur internasional dalam ranah internasional politik. Secara sederhana hal ini dapat diartikan bahwa apakah hubungan antar keduanya, sebuah interplay yang dapat dipahami sebagai salah satu timbal balik (bersifat resiplokal) yang terjadi diantara keduanya, dengan kata lain apakah ada hubugnan yang terjadi antar pelaku dan strukturnya hingga dapat ditarik sebuah kesimpulan yang nyata. Dan kedua ialah konstruktivisme lebih

mengkaji bagaimana atau apa yang mengelilingi sebuah aktor dalam pengambilan keputusan (policy decision making), kelompok kami berpendapat bahwa apa yang termaktub dalam buku karya Jill Steans halaman 183 yang kami kutip ini. Bermaksud menjelaskan bagaimana sebuah aktor dikelilingi kepentingan ketika aktor tersebut mengambil sebuah keputusan, berdasar pada diskusi kelompok kami hal ini sejalan dengan sebuah teori yang terdapat dalam foreign policy decision making yakni leaders personality yang dikatakan pada teori itu bahwa setiap aktor yang hendak mengambil sebuah keputusan terlebih keputusan luar negeri, maka aktor tersebut sedang dikelilingi sebuah kepentingan-kepentingan yang meliputi dirinya. Hal inilah yang menurut kelompok kami coba sampaikan apa yang termaktub dalam buku tersebut, hingga ia dapat ditarik suatu benang merah bahwa sebuah pengambilan keputusan ternyata dikelilingi oleh kepentingan dari aktor tersebut.4

Lalu yang ketiga ialah konstruktivisme lebih mengenai tentnag indentitas dan budaya dari para amsing-masing pelaku, hal ini menurut kelompok kami wajar karena memang bahwa konstruktivisme lebih menitikberatkan kepada sebuah anggapan yang memang telah terkonstruk dalam pikiran manusia. Yang keempat menurut kelompok kami lagi masih memiliki kaitan dengan yang kedua diatas, karena dua konteks yang dibahas sama yakni pengambilan keputusan kami mencoba memahami semampu kami bahwa apa yang coba disampiakan dalam nomor empat yakni bahwa konstruktivisme masih memiliki sebuah ketertarikkan kepada proses decision making. Karena konstruktivisme mencoba memahami bagaimana cara bekerjanya sebuah aktor dalam pengambilan keputusan yang tentunya dikelilingi oleh kepentingan dibelakangnya,

Kemudian yang dan menurut kami memiliki sebuah ketertarikan sendiri yakni bahwa sebuah social sciences tidak bisa diaplikasikkan layaknya natural sciences. Sejujurnya kelompok kami memiliki pendapat berbeda sendiri tidak lantas tidak setuju ataupun setuju terhadap yang tersurat dalam buku Jill Steans. Menurut pendangan kelompok kami bahwa sebuah ilmu sosial (social sciences) tidak lantas dijustifikasi bahwa tidak dapat diterapkan seperti layaknya ilmu alam. Walau memang kami mengetahui bahwa ilmu alam memiliki manfaat tersendiri yang terkandung di dalamnya, namun tak lantas membuat bahwa ilmu sosial tidak berguna justru menurut kelompok kami bahwa ilmu sosial dapat menjelaskan apa yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu alam. Dan jika ilmu alam hanya dapat menjelaskan semua hal-hal yang bisa dihitung serta empiris namun ilmu sosial dapat dapat menjelaskan sebuah fenomena yang justru membuatnya menarik, karena fenomena yang dikaji bahkan bisa saja tidak pernah tersentuh ranah ilmu alam. Berdasar pada masing-masing kelompok kami dengan berdiskusi kepada dosen kami bahwa memang harus diakui bahwa ilmu sosial dapat menjadikkan pembelajarnya tidak dapat dibohongi, sebab hal ini dapat dijelaskan dalam ilmu sosial.

Bukan maksud kami lebih menitik-beratkan pada suatu pihak namun menurut pandangan kelompok kami bahwa setiap ilmu maupun itu ilmu sosial dan ilmu alam memiliki sebuah kekhasnnya tersendiri yang tidak dimiliki oleh disiplin ilmu lainnya, dan hal inilah yang membuatnnya semakin menarik untuk dipelajari bagi para peminatnya. Anggapan bahwa ilmu sosial tidak dapat diaplikasikkan seperti ilmu alam juga tampaknya terkonstruk lama dalam pikiran manusia dewasa ini, namun bukannkah hal ini yang menjadikkanya

3

Dikutip dari Steans, Jill. (2010).

An Introduction to International Relations Theory :

Perspectives and Themes.

(Pearson Longman) p.184

4

Perkuliahan Teori Politik Luar Negeri tertanggal 2 Oktober 2015 Dosen Pengajar : Hasbi

(3)

semakin menarik, dan tentu saja dapat dibahas dengan begitu menarik. Hingga pada akhirnya tak masalah apakah ilmu sosial tidak dapat diaplikasikan seperti ilmu alam atau ilmu alam yang tidak dapat menjelaskan apa yang tidak bisa dijelaskan oleh ilmu sosial, hal ini hanya menyeret kelompok kami pada suatu pertanyaan kesimpulan bukankah setiap orang memiliki ketertarikan yang berbeda antar satu dengan yang lainnya? Pun tak masalah jika ia lebih memilih ilmu sosial atau ilmu alam.

Beberapa tokoh yang ada dalam konstruktvism ini adalah 1. Alexender Wendt

Dia terkenal dengan artikel artikel yang dibuatnya pada akhir 1980-an dan awal 1990an. Salah satu yang terkenal adalah jurnal Internasional Organization pada tahun 1992.

2. John Ruggie

Yang mengatakan bahwa konstruktivism menekankan peran kesadaran dalam kehidupan sosial. 3. Immanuel Kant5

Konstruktivism ini bukan lah suatu pandangan yang tidak dikritik, ada beberapa pandangan yang mengkritik dari keberadaannya konstruktivism ini beberapa kritik terhadap konstruktivism yaitu,

a. Dari pandangan rasionalis mereka megkritik konstruktivism karena gagal menjelaskan apa dan bagaimana pola tindakan dan sistem kepercayaan yang ada saling memperkuat. Rasionalis juga mengatakan bahwa konstruktivism tidak konsisten dan tidak cukup radikal. Kaum rasionalis juga menemukan gagasan tentang identitas atau norma-norma yang menjadi faktor penjelas banyak yang bermasalah.

b. Dari pandangan posmdernisme mereka mengkritik bahwa konstruktivis sosial tidak mengambil bahasa yang cukup serius sedangkan mereka mengakui pentingnya suatu wacana salah paham yang umum dalam konstruktivis.6

Banyaknya kesalah pahaman dengan konstruktivis yang terdiri dari berikut ini.

a. Banyaknya orang yang menganggap bahwa konstruktivisme ini adalah sebuah teori, tetapi pada yang sebenarnya konstruktivis ini adalah suatu pandangan atau paradigma

b. Banyak anggapan bahwa konstruktivisme hanya dapat membuat dunianya sendiri. Tetapi sebenarnya konstruktuvisme sosial menekankan bahwa apapun yang kita lakukan sudah tertanam dan dipengaruhi oleh struktur contohnya lembaga dan budaya.

c. Banyak yang menganggap bahwa konstruktivism ini adalah sebuah teori abstrak yang tidak membahas tentang dunia nyata namun sebenarnya konstruktivism ini sangat lah empiris dikarenakan konstruktivsm ini adalah sebuah pendekatan.

d. Konstruktivism sosial adalah idealis yang tidak mempunyai rasa keras dari politik internasional,selalu menempatkan diri di jalan tengah dan banyak mempertimbangkan strategi.pada sesungguhnya konstruktivism ini bukan bberarti mereka tidak menyangkal pentingnya suatu kepentingan namun mencoba menjelaskan bagaimana kepentingan itu bisa muncul dan mengapa kepentingan itu dipilih.7

5

Handbook of international relation, Walter Carlnaes, Thomas Risse, Beth A Simmons

6

Scott burhill, Matthew Paterson, Christian reus-smit, Andrew linklater, Richard devetak,

jacque true, Jack donnely, Theories of International Relation – Palgrave macmilan(2005)

(4)

Critical Theory in IR

Sekilas kelompok kami berpedoman pada literatur utama kelompok kami yang kami baca berjudul An Introduction to International Relations Theory : Perspectives and Themes hasil buah karya Jill Steans, setelah membaca sekilas kepada buku Jill Steans tersebut, kami dapati bahwa Critical Theory memiliki sebuah hal yang terkait dengan paham Marxisme. Dan jika kita cermati bahwa dapat ditemukan persamaan antar strukturalisme dengan marxisme karena memang benar keduanya telah dipengaruhi oleh paham Marixism, mari berpikir secara logic and rational bahwa jika kita membicarakan tentang Marxism maka hal bahasan kelompok kami kedepannya khususnya untuk bagian Critical Theory tidak akan jauh-jauh bersinggungan dengan Ekonomi.

Dan kelompok kami akan menjabarkan perbedaan-perbedaan yang terdapat antar strukturalisme dengan Critical Theory. Dimulai dari yang pertama yakni jika para strukturalisme berfokus pada struktur yang sebenarnya dan juga mekanisme dari sistem kapitalisme serta perbedaan yang jelas terasa antar pihak yang dminan dan juga pihak yang minoritasserta hubungan yang terkoneksi diantar keduanya. Maka hal ini berbanding terbalik dengan para penteori dari Critical Theory yang lebih menitikberatkan pada culture dan juga ideology. Yang tentu saja masih dalam hubungannya dengan sistem kelas-kelas sosial, seperti yang kelompok kami beritahu bahwa bahasan khususnya untuk Critical Theory lebih cenderung menyentuh ekonomi. Dan yang membuat perhatian kami tertarik dari bahasan ini ialah bahwa Critical Theory, khususnya penteori Critical Theory kagum serta hal inilah yang menurut kelompok kami cukup berpengaruh yakni seorang Antonio Gramsci, yang cukup banyak disebutkan namanya berdasar sumber literatur yang kami baca.

Lalu perbedaan yang kedua ialah bahwa orthodoks marxist berpendapat bahwa society dapat dipahami secara sains dan empirik namun hal ini justru berbanding terbalik dengan para pentori Critical Theory yang mengatakan bahwa society hanya dapat dipahami melalui lini-lini ilmu sosial dan erat sekali kaitannya dengan kumpulan ide-ide (ideologi). Dan juga selain para pentori Critical Theory lebih melihat dari sisi ideologinya dan juga ilmu sosialnya hal ini juga berlajut selain lebih menghubungakan dengan ideologi, juga dapat dipahami dan bersinggungan langsung dengan praktek-praktek sosial yang ada.

“Critical Theorists still cling to the idea of emancipation, as we will further elaborate below, and that some ways of organising economic, social and political life will be better than others. There is therefore still a belief in Critical Theory that theory is supposed to provide alternatives, rather than merely problematising the present.”8

Berdasar kutipan yang telah kami kutip dari literatur yang kami baca terungkap bahwa para pentoeri dari Critical Theory ternyata tetap berpikiran terbuka dengan ditandainya tentang emansipasi yang dapat dikolaborasikan dengan yanga lainnya.

(5)

Lalu yang selain memandang serta bersikap terbuka dengan ditandai dengan adanya emassipasi, lalu dengan begitu dapat ditampailkan bahwa para penteori Critical Theory juga memandang pentingya organisasi yang bergerak disegala bidang misalhnya saja masih memandang tentang organisasi atau institusi yang bergerak di bidang ekonomi, sosial serta politik. Hal yang terjadi diantar keduanya ialah, menurut pandangan kelompok kami bahwa para pentoeri dari Critical Theory berusaha untuk mencari kedua korelasi diantara kedua variabel ini.

Berikut kelompok kami jabarkan beberapa kesimpulan dari Critical Theory Yang pertama ialah bahwa Critical Theory mempengaruhi dunia keilmuan hubungan internasional pada tahun 1980, lalu konstruktivisme dan juga Critical Theory sama-sama dipengaruhi oleh paham Marxism yang tentunya lebih condong kepada ekonomi dan juga lebih scientific. dan juga Critical Theory lebih memandang bahwa antar teori dan prakteknya lebih memiliki keterkaitan yang erat bahkan dalma buku yang kami baca Jill Steans menggambarkan dengna kata intimate. Yang menurut pandangan kami sendiri bahwa benar saja memang diantar keduanya memiliki sebuah keterikatan satu sama lain. Lebih lanjut Critical Theory juga memandang bahwa sebuah pengetahuan adalah buah hasil atau sama dengan ideolog dan menlak mengatakan bahwa pengetahuan ialah sebuah kebenaran, terlepas dari perdebatan ini ada yang mengataka bahwa Critical Theory demikian karena hal ini dilakukan dalam upaya untuk memudahkan para penteori Critical Theory untuk bernegosiasi dan juga mengatur preposisi. Lalu seperti kelompok kami yang telah kami jabarkan diatas bahwa Critical Theory dipengaruhi oleh para penteori yang berasal dari Frankfrut, Jerman lantas hal ini menjadikkan Critical Theory adalah hasil dari pola pikir para penteori jerman atau lebih dikenal dengan instilah, Frankfurt Schools.

Lalu kelompok kami sama-sama memiliki kesamaan pemikiran bahwa tidak mungkin suatu hal yang sagat berpengaruh tidak memiliki kritiknya, berdasar buku Jill Steans yang kami baca kami mendapati satu kritikkan yang ditunjukkan untuk para pentoeri Critical Theory.

“One criticism of Gramscian Critical Theory is that it concentrates too much on the significance of

social class and class relationships and, in consequence, is blind to other forms of inequality and exclusion.”9

Menurut penafsiran kelompok kami dapat kami dapati bahwa Critical Theory dikritik karena Critical Theory terlalu fokus pada signifikansi kelas-kelas sosial dan juga hubungannya antar kelas-kelas tersebut. Hingga Critical Theory ini dikritik karena terlalu fokus pada hal tersebut hingga mengesampingkan hal-hal yang sebenarnya juga tidak kalah penting seperti ketidaksetaraan yang terjadi di antar kelas-kelas sosial tersebut. Lalu ada kesalahpamahaman ketika orang-orang awam mencoba memahami Critical Theory untuk yang pertama kalinya seperti, Critical Theory disebut begitu karena Critical Theory mengkritik pendekatan-pendekatan yang telah lama ada khususnya Liberalisme dan juga Realisme. Lalu Critical Theory adalah sama terhadap post-modernisme padahal keduanya berbeda. Kemudian yang terakhir ialah ada yang mengatakan bahwa sebenarnya Critical Theory tidak memiliki sebuah real world, padahal pada prakteknya hal ini berbanding terbalik justru hal Critical Theory melihat pada hal-hal struktur dan juga memandang penting pada power relations.

(6)

Post-Modernism in IR

Menariknya belajar dalam keilmuan HI ialah ia bisa menawarkan berbagai pendekatan yang dapat menjelaskan semua fenomena yang ada, terlepas dari pendekatan klasik yang terjadi seperti Realisme dan juga Liberalisme, ada juga dalam pendekatan di HI yang menitikberatkan pada suatu hal. Pendekatan yang diluar pendekatan utama yang tergabung dalam berbagai great debate yanng biasa disebut sebagai pendekatan alternatif, dan pendekatan alternatif dalam keilmuan hubungan internasional tak hanya satu ataupun dua, namun banyak dan beragam, serta fokus yang berbeda-beda dalam menjelaskan fenomena yang ada dalam dinamika hubungan internasional kontemporer. Salah satu altternatif itu ialah post-modernisme setelah kami bersikusi dan merujuk pada sumber yang ada maka kami dapat mengatakan bahwa post-modernisme lebih berfokus pada masa lingkungan dan efeknya dari pembangunan berkelanjutan yang basisnya adalah efek dari modernisme. 10

Postmodernisme tidak hanya menjelaskan tentang suatu periode sejarah mengenai modernitas, melainkan juga menyajikan cara-cara dalam berpikir tentang konsekuensi pemikiran dan praktek modernisasi. Berbeda dengan realisme dan liberalisme, postmodernisme tidak merancang sketsa perspektif di dalam hubungan internasional melainkan mengkritik dan menjadi suatu pencerahan dari pemikiran-pemikiran yang sudah ada sebelumnya. Pemikiran dari postmodernisme ini sangatlah etis, meski dalam arti yang berbeda dari teori kritis dan normatif. Pencerahan postmodernisme ini merupakan suatu konsekuensi dari fasisme yang ada pada tahun 1930-an yang memasukkan Eropa ke zaman kegelapan dimana dapat dilihat dari adanya perang, pengerusakan, aksi kekerasan dan sikap barbar (Steans, :135).

Postmodernisme sangatlah skeptis pada tiap-tiap upaya untuk membangun kategori yang universal maupun untuk penjelasan-penjelasan. Kaum postmodernis tidaklah percaya pada kebenaran, menurut mereka kebenaran adalah suatu hal yang mutlak. Hal ini bukan berarti bahwa seseorang tidak dapat memiliki nilai-nilai ataupun tidak boleh percaya pada apapun, melainkan Postmodernisme berpandangan bahwa seseorang haruslah berpikir secara tentatif mengenai alasan atas dasar dalam pembuatan suatu klaim. Para pemikir postmodernisme ini berpendapat bahwa seluruh upaya untuk membangun suatu kondisi yang universal untuk kebebasan manusia dan emansipasi pasti akan digunakan dalam praktek untuk subordinat dan menyingkirkan mereka yang dianggap berbeda.

Postmodernis menunjukkan bahwa pemikiran-pemikiran liberal mengenai rasionalitas, peradaban dan kemajuan telah digunakan secara historis untuk membuat suatu bagian-bangain yang mengkategorikan penduduk dunia sebagai orang-orang ‘canggih’, ‘terbelakang’, ‘beradab’ atau ‘barbar’ yang benar-benar terjadi di nilai-nilai sosial, politik dan budaya di Eropa. Postmodernis menunjukkan bahwa periode pencerahan ini didampingi oleh penindasan kepada masyarakat luas dalam penyebaran manfaat dari peradaban.

Asumsi-asumsi Postmodernisme:

1. Sifat alamiah manusia itu tidak kekal. Manusia yang merupakan subjek adalah terbuka dan lunak, produk dari praktek subordinasi dan resistensi.

2. Nilai-nilai kemanusiaan, keyakinan dan tindakan bervariasi sesuai dengan konteks sosial dan budaya yang lebih luas. Terdapat karakteristik atau nilai-nilai dengan penerapan universal. Perilaku atau tindakan orang-orang dan nilai-nilai tertentu hanya dapat dipahami dan dinilai dari segi makna budaya dan konteks tertentu.

3. Pengertian selalu merupakan produk dari wacana dan kekuasaan yang bertumpu dalam wacana yang membuat kita mendefinisikan masalah dan solusi dalam cara-cara tertentu. Oleh karena itu, makna tersebut perlu dipermasalahkan agar dapat mempertimbangkan alternatif yang ada sebelumnya.

(7)

4. Tidak ada fakta mengenai dunia. Semua yang dimiliki adalah bentuk dari interpretasi dan interpretasi dari interpretasi yang lain dari realitas.11

Dari asumsi-asumsi pemikiran postmodernisme, kami dapat menyimpulkan bahwa kaum postmodernis tidaklah berpikir seperti halnya kaum realis maupun liberalis yang terus berdebat mengenai sifat alamiah manusia, entah mereka berpikiran bahwa sifat alami manusia adalah baik ataupun buruk. Kaum postmodernis berasumsi bahwa sifat alami manusia itu tidaklah kekal, yang dapat kami artikan sebagai sifat yang berubah-ubah. Sifat yang berubah-ubah ini dimaksudkan sebagai sifat yang didasarkan pada situasi tertentu. Maka dari itu, sifat manusia yang didasarkan pada suatu kondisi tentu tidak akan kekal, entah itu selalu baik ataupun selalu buruk. Jika dihadapkan pada kondisi yang mendesak, bisa saja manusia akan memiliki sifat yang buruk. Tetapi, jika dihadapkan pada suatu kondisi yang aman dan damai mungkin saja manusia akan menunjukkan sifat baiknya.

Menurut Postmodernis juga tindakan orang-orang terhadap suatu hal hanya dapat dipahami dan dinilai dari segi budaya dan konteks tertentu. Nilai-nilai kemanusiaan, kepercayaan yang dimiliki, dan perilaku sangatlah dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya yang diterapkan. Jadi, jika perilaku masyarakat dinilai dari konteks budaya, akan berbeda-beda penilaian dan pemahaman terhadap perilaku tersebut tergantung pada budaya dan nilai-nilai sosial yang diberlakukan di tempat tersebut.

Disamping asumsi-asumsi yang terdapat pada Postmodernisme, terdapat kritik bahwa Postmodernisme tidaklah memiliki hubungan yang sebenarnya dengan Hubungan Internasional. Dalam hal ini, Postmodernisme tidaklah memiliki suatu kebijakan yang berorientasi pada Hubungan Internasional sehingga tidak dapat digunakan untuk menginformasikan tingkah laku dari Hubungan Internasional. Selain itu, terdapat pula kritik yang mengatakan bahwa Postmodernisme tidak memberikan kita cara untuk membedakan ‘baik’ atau ‘buruk’ suatu bentuk pengetahuan. Hal ini dapat kita lihat dari asumsi Postmodernisme yang mengatakan bahwa sifat alamiah manusia tidaklah kekal yang dapat kita artikan bahwa sifat manusia dapat berubah-ubah. Tentu saja hal ini sangatlah membingungkan. Lalu, Postmodernisme juga tidak dapat menilai kebenaran dari bahaya etika dari sebuah teks seperti Mein Kampf dari Adolf Hitler.

Tentunya, kritik dan dekonstruksi dapat menjadi alat politik yang penting dalam diri mereka, mengungkapkan keberpihakan dan bias dari posisi tertentu atau doktrin dan merusak klaim haruslah didasari pada kebenaran. Kritik terhadap postmodernisme ini mungkin saja didasarkan pada kesalahpahaman dari ‘tanggung jawab’. Tidak adanya ‘kebenaran yang universal’ atau ‘agen universal’ tidaklah berarti bahwa postmodernis tidak harus mengemban tanggung jawab atas perilaku mereka. Memang, postmodernisme menolak akan adanya kebenaran totaliter dan merayakan keberagaman. Pada taraf ini, penindasan terhadap keberagaman seperti halnya fasisme, menandakan batas toleransi perbedaan dalam postmodernisme.

Postmodernisme juga dikritik karena penyerangannya terhadap Marxisme. Marxis dan beberapa feminis berpendapat bahwa postmodernisme menggunakan kata ketidakpuasan, pengasingan, dan marginalisasi, namun tidak mengatakan tentang tindakan politik apa yang dapat digunakan untuk membuat dunia menjadi tempat tinggal yang lebih baik.12

(8)

Berikut kami paparkan beberapa hal yang terjadi kesalahpahaman bagi orang yang awam dalam meahami pendekatan modernisme, yang pertama ialah bahwa modernisme adalah sama dengan post-strukturalisme padahal keduanya berbeda. Lebih lanjut

1. “Postmodernism is the same as poststructuralism. No, but as we demonstrate above, there are similarities and we have tended to emphasise these in this chapter. 2. Postmodernists think that there is no ‘real’ world.

It would be plainly absurd to deny that there

are, for example, real wars and that real people get killed. 3. Postmodernists are all relativists. Not necessarily.

Certainly, postmodernists concede that there is no ultimate foundation for knowledge. 4. Postmodernists are nihilists who have no values.

5. Postmodern thinkers deny the possibility of human emancipation, therefore, they are unlikely to oppose oppressive practices or systems of rule.”13

Yang menurut kami bahwa sebuah kesalahpahaman tentu saja menjadi sebuah kebiasaan lumrah dan benar saja post-modernismepun tak luput dari sebuah kritikkan. Dan dari sekian banyak kutipan diatas yang termaktub dalam buku Jill kami akan membahas menurut kami yang menurut kami paling menarik ialah ada yang beranggapan bahwa para penteori post-modernisme dinilai tidak adanya real world namun tentu saja hal ini berbanding terbalik, menurut penafsiran kelompok kami bahwa post-modernisme menyediakan sebuah pendekatan yang cenderung daripada yang lainnya hnigga menimbulkan sebuah kekhasan tersendiri bagi post-modernisme yakni ia menafsirka dunia melalui fenomena yang ada dan tak lantas menerima raelita bahwa begitulah. Analoginya ialah kenapa kerusakan lingkungan akibat karena efeknya pembangunan bukan hanya karena kondisi alam yang ada.

(9)

Post-Structuralism in IR

Dan yang terakhir yang kami jelaskan ialah pendekatan post-strukturalisme, sebuah pendekatan yang amat panjang karena ia berkaitan dengan strukturalisme yang telah kelompok kami paparkan diatas namun tentu saja hal ini tak terlepas dari pendekatan diatas karena sejatinya post-strukturalisme merupakan bentuk baru dari pendekatan strukturalisme. Sekilas setelah kami membaca tentang post-strukturalisme dalam buku Tim Dunne berjudul International Relations Theories kami mendapati bahwa

“IR as a discipline ‘maps’ the world. However, it is only the critical perspectives—and poststructuralism in particular—which make the issues of interpretation and representation,

power and knowledge, and the politics of identity central. Because of this poststructuralism is not a model or theory of international relations.”14

Kami dapati bahwa sejatinya post-struktural bukannlah salah satu model atau teori yang dapat menjelaskan dinamika keilmuan hubungan internasional, tetapi hanya salah satu yang menawarkan sudut pandang yang berbeda saja, yang membuatnya berbeda ialah mentafsirkannya kembali (intepretasi) yang dilakukan para penteori post-struturalist tentang power, knowledge and politics. Menurut kami pribadi hal ini tidak salah bahkan akan semakin menambah kekayaan pandangan yang ada di dunia hubungan internasional.

“Rather than setting out a paradigm through which everything is understood, poststructuralism is a critical attitude, approach, or ethos that calls attention to the importance of representation, the relationship of power and knowledge, and the politics of identity in an understanding of global affairs. This means poststructuralism”15

Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwa post-strukturalisme tidak menghasilkan sebuah teori turunan ataupun konsep tapi post-strukturalisme lebih menawarkan pada sebuah penjelasan yang masuk akal dan mengapa itu bisa terjadi hingga menurut kami sendiri setelah melalui diskusi yang panjang. Post structuralisme adalah kritik ilmu social pertama dan utama, termasuk juga disiplin ilmu hubungan internasional yang menerapkan atau didasarkan pada metodologi positivist. Positivist mengatakan, mereka percaya bahwa kesatuan ilmu yaitu ilmu social tidak begitu berbeda atau tidak terlalu tampak berbeda dengan ilmu alam yang mengambil atau menggunakan metodologi analisis yang sama, termasuk metode kuantitatif yang dapat digunakan aplikasinya diantara keduanya.

Tujuannya yaitu untuk mengumpulkan data yang bisa membawa kepada penjelasan secara ilmiah. HI sebagai sebuah disiplin ilmu telah memetakan dunia. Namun artinya bukan hanya dianggap sebagai perspektif yang kritis, post-structuralism juga membuat masalah penafsiran dan representasi kekuasaan dan pengetahuan, serta politik identitas pusat. Dan karena hal tersebut, post-structuralism dianggap bukanlah 14

Dikutip dari Dunne, Tim.,

et al.

(2013)

International Relations Theories.

(Oxford

University Press) p.226

(10)

sebuah model ataupun teori yang dapat dijadikan sebagai rujukan atau dijadikan sebagai tinjauan terhadap permasalahan yang akan dihadapi dalam hubungan internasional. Post-structuralism mengacu pada sebuah kritik dari sikap, pendekatan atau etos yang menarik perhatian untuk pentingnya representasi, hubungan kekuasaan dan pengetahuan, dan politik identitas dalam pemahaman tentang urusan global. Dengan begitu, Post-structuralism tidaklah cocok dengan anggapan atau pandangan konvensional bahwa HI adalah sebuah disiplin ilmu yang di dalamnya terdapat perbedaan paradigm-paradigm dalam perdebatan besar.

‘Thesefocused mostly on articulating the meta-theoretical critique of realist and neorealist theories to demonstrate how the theoretical assumptions of the traditional perspectives

shaped what could be said about international politics.’16

Post-structuralism merupakan pendekatan yang berasal dari perdebatan sebelumnya dan luas dalam humaniora dan tatanan ilmu sosial, dalam cara yang dikatakan mirip dengan teorikritis, dan post-colonialism. Dalam kaitannya dengan HI, post-structualism lebih memfokuskan dirinya pada pengartikulasian kritik meta-teori dari teori realis dan neorealist guna mendemonstrasikan bagaimana teori asumsi yang berasal dari perspektif tradisional yang bias dikatakan dalam suatu politik internasional.

Kesimpulannya ialah post-strukturalisme lebih menyediakan sebuah alternatif cara pandang dan mencoba menyederhanakan hal-hal yang sebelumnya ditafsirkan berbeda pada pendekatan-pendekatan lainnya, hal inilah yang menurut kelompok kami menjadi salah satu keunikkan yang dimiliki tiap-tiap pendekatan, bukankah sebuah objek dipandang berbeda karena bergantung pada keilmuan dan kepemahaman seorang aktor dalam memandangnya hingga hal ini tentusaja menambah berwarnanya bidang kajian hubungan internasional.

(11)

1416071031 Eris Ardeanto

1516071015 Purwa Hananta Kesuma Widiatrah Ratri

1516071023 Anissa Fernanda S N

1516071055 Ridho Rakhman

(12)

Contoh-contoh konstruktivism:

1. Setiap air mineral kemasan selalu disebut sebagai Aqua. 2. Yang berhidung mancung dianggap tampan

3. Yang berkulit putih dianggap cantik 4. Yang berkulit gelap dianggap buruk 5. Warna rambut blonde dianggap modern 6. Memakai jeans agar terlihat good loooking

7. Memakai barang-barang bermerk agar menaikkan status sosial 8. Selalu update sosial media agar dianggap gaul

9. Orang bule dianggap baik dan menjadi panutan

10. Bermata biru agar kebarat-baratan, contoh nyatanya ialah pemakaian softlens Refrensi

Jackson, Robert & Sorensen Georg., (2013)

Introducti on to The International Relations

Theories and Approaches.

(Oxford Univeristy Press)

Steans, Jill. (2010).

An Introduction to International Relations Theory : Perspectives and

Themes.

(Pearson Longman)

Perkuliahan Teori Politik Luar Negeri tertanggal 2 Oktober 2015 Dosen Pengajar : Hasbi

Sidik S.IP., MA

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan bahwa Struktur Organisasi Penguatan kelembagaan Pemerintah Kampung Tualang Baro telah terbentuk dan berjalan sesuai dengan Qanun Kabupaten Aceh

[r]

adalah metode eksperimen. 107) menyatakan bahwa “metode penelitian eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh

Oleh karena itu UMY melalui Lembaga Penelitian, Publikasi, dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) menindaklanjuti fakta di atas dengan Program Peningkatan Tri Dharma

Artinya, ada kendala dan hambatan yang dialami oleh Pemerintah Provinsi Riau dalam hal mewujudkan implementasi e-government yang ideal Rancangan model penelitian yang digunakan

Sehingga sebenarnya dalam setiap kegiatan komunikasi kita dengan orang lain selalu mengandung potensi Komunikasi Lintas Budaya atau antar budaya, karena kita akan selalu berada

with adequate number and high quality of larvae; 3) the large number of biomass production, characterized by high survival rate and rapid growth rate; and 4)

Namun ternyata kebijakan tersebut menjadi alat bagi penguasa untuk meningkatkan nasionalisme Malaysia tetapi dengan cara yang tidak terpuji, yakni memberikan