• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH PERBANDINGAN PENDIDIKAN ISLAM St

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH PERBANDINGAN PENDIDIKAN ISLAM St"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH PERBANDINGAN PENDIDIKAN ISLAM

(Studi Perbandingan Konsep Pendidikan Islam Menurut Mohammad Natsir dan

Ikhwan Al-Shafa)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Pendidikan Islam Dosen Pengampu : Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf

Disusun Oleh:

ROHMADI (15913218)

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER STUDY ISLAM

FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat allah swt, yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya serta memberikan kekuatan, kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Perbandingan Pendidikan Islam yang berjudul “Studi Perbandingan Konsep Pendidikan Islam Menurut Mohammad Natsir dan Ikhwan Al-Shafa”.

Dalam hal ini besar kemungkinan makalah yang penulis susun ini masih kurang dari kesempurnaan yang diharapkan, itu semua karena terbatasnya kemampuan yang ada pada penulis. Dalam rangka pengumpulan data yang diperlukan dalam penyusunan makalah ini, penulis telah menerima bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis hanturkan terimakasih. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih juga kepada dosen pembimbing mata kuliah Perbandingan Pendidikan Islam, yang telah memberikan amanat dan mempercayakan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini.

Demi penyempurnaan dari isi makalah ini, maka kritik dan saran dari semua pihak, akan penulis terima dengan senang hati. Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada penulis khususnya, serta kepada semua pihak pembaca makalah ini demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya dibidang pendidikan. Amiin Ya Rabbal ‘Alamiin.

Yogyakarta, Oktober 2016

(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN MUKA ... 1

KATA PENGANTAR ... 2

DAFTAR ISI ... 3

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 4

B. Rumusan Masalah ... 4

BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Mohammad Natsir... 5

B. Konsep Pendidikan Islam Menurut Mohammad Natsir... 5

C. Biografi Ikhwan al-Shafa ... 9

D. Konsep Pendidikan Islam Menurut Ikhwan Al-Shafa ... 10

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN ... 14

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ... 16

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap lembaga pendidikan khususnya lembaga pendidikan Islam berperan sebagai wahana yang strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas bagi pembangunan suatu bangsa.

Manusia yang berkualitas sebagai produk pendidikan Islam ditandai dengan kemampuan dia dalam mengabdikan dirinya hanya kepada Allah Swt. juga memiliki kemampuan untuk menjalankan peranan hidupnya sebagai Khalifah fi al-Ardhi, yaitu mampu memakmurkan bumi dan melestarikannya, mewujudkan rahmat bagi alam sekitarnya, sesuai dengan tujuan penciptaannya, dan sebagai konsekuensi setelah menerima Islam sebagai pedoman hidupnya (Ramayulis, 2004: 67).

Untuk mewujudkan harapan tersebut, lembaga pendidikan Islam harus dikelola dengan baik, benar, teratur dan terencana. Karena, sesuatu yang dilakukan dengan cara yang baik, teratur dan terencana dapat memberikan peluang yang besar dalam pencapaian tujuan yang dikehendaki, termasuk pencapaian tujuan pendidikan Islam. Di samping itu, dalam pandangan Islam hal yang demikian merupakan sesuatu yang disyariatkan bahkan akan mengundang kecintaan Allah Swt. Hal ini digambarkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani:

Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melakukan sesuatu pekerjaan, dilakukan secara itqan (tepat, terarah, jelas dan tuntas).” (HR Thabrani)

Di samping perencanaan yang matang, para pendidik atau praktisi pendidikan pun mesti memperhatikan teori-teori pendidikan yang telah diungkapkan oleh para pakar pendidikan muslim, hal ini sangat penting karena dapat membantu dalam mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Teori-teori tersebut dapat dijadikan pijakan dan arahan bagi para pendidik dalam proses belajar mengajar. Diantara konsep pendidikan ilmuwan muslim yang masih relevan yang dapat dijadikan rujukan oleh para pendidik dalam penyelenggaraan pendidikan saat ini adalah Mohammad Natsir dan Ikhwan al- Shafa. Untuk itu penulis mencoba mengkomparasikan pemikiran ke dua tokoh tersebut mengenai konsep Pendidikan Islam.

B. Rumusan Masalah

(5)

BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Mohammad Natsir

Muhammad Natsir lahir di Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat, pada hari Jumat’ 17 Jumadil Akhir 1326 Hijriah, bertepatan dengan 17 Juli 1908 Masehi. Ibunya bernama Khadijah, sedang ayahnya bernama Mohammad Idris Sutan Saripado, seorang pegawai rendah yang pernah menjadi juru tlis pada kantor kontroler di Maninjau dan sipir penjara di Sulawesi selatan (Ajib Rosyidi, 1990: 150.

Mohammad Natsir dilahirkan di Kampung Jembatan, Baukia, Alahan, Alahan Panjang. Minangkabau, pada tanggal 17 Juli 1908. Kampung Jembatan terletak di balik Gunung Talang olok Profinsi Sumatra Barat. Mohammad Natsir adalah putra ketiga Idris Sutan Sari Pado dan Khadijah. Ayahnya adalah seorang pegawai bawahan, yakni sebagai juru tulis kontrolir di masa pemerintahan Hindia Belanda. ( Badiatul Roziqin (dkk), 2009: 221).

Ketika pindah ke Bekeru, dia diajak oleh mamaknya Ibrahim pindah kepadang. Mamaknya yang biasa dikenal dengan makcik Ibrahim adalah bekerja sebagai buruh harian disebuah pabrik kopi yang hanya memperoleh upah beberapa puluh sen sehari. Sehari-hari mereka hidup sangat sederhana, bahkan dalam urusan makanan hanya ketika hari raya saja atau peristiwa- peristiwa penting saja. Sehingga dapat dikatakan bila sejak kecil Natsir sudah belajar hidup sederhana.

Pada tanggal 20 Oktober 1934, M. Natsir melangsungkan pernikahannya dengan Putri Nur Nahar, guru Taman Kanak-kanak Pendidikan Islam. Pernikahan dilaksanakan dengan sederhana saja. Tamu-tamu makan di langgar yang terletak di depan rumah tempat pernikahan dilangsungkan. Pergaulan selama dua tahun sesama pengasuh Pendidikan Islam, menambah perkenalan sebelumnya tatkala keduanya sama-sama aktif di JIB, telah mengeratkan kedua insan yang sama-sama tulus mengabdikan hidupnya bagi kemajuan umat Islam(Ajib Rosyidi, 1990: 177)

Natsir wafat pada tanggal 6 Februari 1993, bertepatan dengan tanggal 14 Sya’ban 1413 H, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 85 tahun. Berita wafatnya menjadi berita utama diberbagai media cetak dan elektronik. Berbagai komentar muncul, baik dari kalangan kawan seperjuangan maupun lawan politiknya. Ada yang bersifat pro terhadap kepemimpinannya dan ada pula yang bersifat kontra. Mantan Perdana Menteri Jepang yang diwakili oleh Nakadjima, menyampaikan bela sungkawa atas kepergian M. Natsir dengan ungkapan, “Berita wafatnya M. Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hirosima”(Thohir Luth, 1999: 28).

B. Konsep Pendidikan Islam Menurut Mohammad Natsir 1. Peran dan Fungsi Pendidikan Islam

Dalam hubungan ini paling kurang terdapat enam rumusan yang dimajukan Natsir.

(6)

b. Pendidikan harus diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki sifat-sifat kemanusiaan dan mencapai akhlaq al- Karimah yang sempurna.

c. Pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk menghasilkan manusia yang jujur dan benar (bukan pribadi yang hipokrit).

d. Pendidikan agar berperan membawa manusia agar dapat mencapai tujuan hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah SWT.

e. Pendidikan harus dapat menjadikan manusiayang dalam segala perilaku atau interaksi vertikal maupun horisontal selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam.

f. Pendidikan harus benar-benar mendorong sifat-sifat kesempurnaan dan bukan sebaliknya, yaitu menghilangkan dan menyesatkan sifat-sifat kemanusiaan (Abudin Nata, 2005:81).

2. Tujuan Pendidikan Islam

Kaitannya dalam menjelaskan tujuan pendidikan Islam, Natsir terlebih dahulu menyarankan agar terlebih dahulu mengetahuai apakah kiranya yang menjadi tujuan hidup kita di dunia?. Natsir mengutip dalamn al-Qur’an bahwa manusia diciptakan oleh Allah tidak lain adalah untuk menyembah Allah.

Menurut M Natsir, tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah merealisasikan idealitas Islam yang pada intinya adalah menghasilkan manusia yang berperilaku islami, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Ketaatan kepada Allah yang mutlak itu mangandung makna menyerahkan diri secara total kepada Allah, menjadikan manusia menghambakan diri hanya kepada Allah.

Akan menjadi orang yang memperhambakan segenap ruhani dan jasmaninya kepada Allah SWT untuk kemenangan dirinya dengan arti yang seluas-luasnya yang dapat dicapai oleh manusia, itulah tujuan hidup manusia diatas dunia. Dan itulah tujuan didikan yang harus kita berikan kepada anak- anak kita kaum Muslimin.

Inilah “Islamietisch Paedagogische Ideaal” yang gemerlapan yang harus member suar kepada tiap-tiap pendidik Muslimin dalam mengemudikan perahu pendidikannya(Ajib Rosyidi, 1990: 175-176).

Selanjutnya Natsir mengatakan bahwa apabila manusia telah menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah, berarti ia telah berada dalam dimensi kehidupan yang menyejahterakan di dunia dan membahagiakan di akhirat. Menurut Natsir, dalam menetapkan tujuan pendidikan Islam, hendaknya mempertimbangkan posisi manusia sebagai ciptaan Allah yang terbaik dan sebagai kholifah di muka bumi (Abudin Nata, 2005: 82-83).

3. Landasan Pendidikan Islam

a. Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan Islam

Pidato beliau pada rapat Persatuan Islam di Bogor, 17 juni 1934, dengan judul

(7)

kepada kata Tauhid, yang bersimpul dalam dua kalimah syahadah itu (Abibullah Djaini, 1996: 100).

Pentingnya tauhid sebagai dasar pendidikan ini menurut Natsir barhubungan erat dengan akhlak yang mulia. Tauhid dapat terlihat manifestasinya pada kepribadian yang mulia seperti yang dirumuskan dalam tujuan pendidikan. Yaitu pribadi yang memiliki keikhlasan, kejujuran, keberanian, dan tanggung jawab untuk melaksanakan tugas atau kewajiban yang diyakini kebenarannya (Abudin Nata, 2005:86).

Pak Natsir menyarankan kepada kita bahwa landasan pendidikan bagi umat Islam sebagai butir dari berbagai butir dalam sistem pendidikan, adalah Tauhid. Keyakinan akan keesaan Allahakan menempa ketangguhan pribadi seseorang dalam melaksanakan tugas kemanusiaannya sebagai hamba Allah. Maupun yang beribadah kepada-Nya sebagai makhluk sosial, yang mampu melaksanakan kewajiban dengan penuh tanggung jawab demi kepentingan masyarakat. Tauhid pada hakikatnya adalah landasan seluruh aspek kehidupan manusia dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT (Abibullah Djaini, 1996: 89).

b. Pendidikan Akhlak

Akhlak adalah sikap yang terpuji yang harus dimiliki oleh seorang guru. Kemudian ia memerintahkan kepada murid-muridnya untuk berakhlak baik. Ucapan yang baik, senyuman, dan raut muka yang berseri dapat menghilangkan jarak yang membatasi antara seorang guru dengan muridnya. Sikap kasih dan saying, serta kelapangan hati seorang pendidik akan dapat menangani kebodohan seorang murid(Muhammad Syafii Antoni, 2009: 201).

Dalam agama islam pendidikan akhlak mengajarkan tentang bekerja dengan giat, rajin, optimis, toleransi, tidak boleh curang dan sebagainya. Jadi bias disimpilkan jika seseorang memiliki akhlak yang baik maka anak juga memiliki kecerdasan yang baik pula.

4. Pengembangan Pendidikan Islam

a. Adanya koordinasi perguruan-perguruan Islam

Akibat tidak adanya koordinasi antara perguruan-perguruan Islam, mengakibtakan banyak sekali murid-murid sekolah kita yang terlantar pelajarannya, bilaman mereka terpaksa pindah dari satu tempat ketempat yang lainnya.

Natsir juga menghimbau akan pentingnya koordinasi antara sekolahan rendah, menengah dan universitas, agar peserta didik yang ketika menamatkan sekolah mereka di pendidikan dasar dan akan melanjutkan ke sekolah menengah akan terjadi kesinambungan. Begitu pula mereka yang dari sekolah menengah yang akan melanjutkan ke universitas Islam. Sehingga pendidikan yang didapat sejak sekolah dasar samapi perguruan tinggi tidak akan terjadi adanya pengulangan dalam pelajaran dan juga kurang bisa mengikutinya siswa ketika berada di suatu perguruan tinggi, dikarenakan di sekolahnya dahulu belum diajarkan.

(8)

kepada tawaran itu, Perguruan Menengah mengatur rencana pelajarannya yang sepadan dengan itu. Sesudah itu terus pula menawarkan kepada Perguruan Rendah, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kandidat-kandidat murid Sekolah Menengah nantinya. Dengan begitu rencana pelajaran segenap lapisan dapat tersusun

Sehingga Natsir bercita-cita untuk membentuk semacam wadah bersama bagi perguruan-perguruan Islam itu, yang mnamanya pun sudah dia temukan, yaitu “Perikatan Perguruan-perguruan Muslim Indonesia” disingkat menjadi “Permusi”. Dia menganggap karangannya yang dimuat dalam majalah Panji Islam itu sebagai seruan kepada perguruan-perguruan Islam yang ada, yang diminta agar dikirimi majalah tersebut supaya mereka dapat menyatakan persetujuaanya melaluai redaksi. Tetapi harapan itu sia-sia. Tak ada sambutan yang antusias terhadap gagasan tersebut, sehinnga ia terbengkalai begitu saja. Dan perguruan-perguruan Islam tetap saja berjalan menurut garisnya masing-masing tanpa memperdulikan kesulitan yang dihadapi murid-muridnya yang misalnya karena orang tuanya pindah kerja dia pun harus pindah sekolah pula (Ajib Rosyidi, 1990: 204-205).

b. Fungsi Bahasa Asing

Menurut natsir, dengan berbahasa Indonesia berarti telah mempertahankan sifat-sifat dan kebudayaan sendiri. dikarenakan bahasa bagi seluruh bangsa adalah sebuah tulang punggung dari sebuah kebudayaan suatu bangsa.

Ini semua tidak berarti bahwa untuk kemajuan dan kecerdasan bangsa kita, yakni kecerdasan yang lebih luas, kita sudah memadakan saja dengan bahasa kita itu sendiri. Kemajuan berfikir, bergantung sangat kepada keluasan medan yang mungkin dikuasai oleh bahasa yang dipakai. Dan apabila suatu bahasa seperti bahasa Indonesia, masih berada pada tingkat seperti sekarang, dan belum pula cukup kekayaannya untuk mengutarakan bermacam-macam pengertian yang ma’nawi, maka bahasa itu sendiri akan menjadi kurungan yang membatasi ruang-gerak kita dalam menuju kecerdasan umum yang lebih luas. Yaitu sekiranya kita puaskan diri dengan sekedar mengetahui bahasa kita sendiri itu saja. Bentuk dan bangunan fikiran suatu bangsa berjalin rapat dan boleh dikatakan terpaksa menurut bentuk dan bangun yang diizinkan oleh kekayaan bahasa bangsa itu. Daerah kita untuk berfikir dibatasi oleh luas atau sempitnya daerah bahasa itu pula (Ajib Rosyidi, 1990: 208-209).

Meskipun mempertahankan bahasa sendiri sangtlah penting, Natsir juga mengatakan kalau bahasa asing juga sangat penting dipelajari untuk menjerdaskan suatu bangsa dalam mengetahui istilah-istilah dan ilmu pengetahuan yang masih belum diketahui oleh ilmuan-ilmuan dari lokal.

(9)

Natsir pernah berujar bahwa tidaklah realistis cita-cita hendak mendirikan Sekolah Tinggi Muballighin yang muridnya akan diambil dari lulusan H.B.S. atau A.M.S. Menurut pendapatnya, untuk menjadi muballig tidaklah cukup dasar ilmu pengetahuan saja, melainkan harus memenuhi syarat yang lain seperti tabi’at, syifat, akhlak dan tujuan hidupnya

yang sesuai dengan pekerjaannya. Misalnya ketabahan hati, keimanan dan kesediaan berkurban. Kalau memerhatikan latar belakang mubaligin yang bertebaran dalam masyarakat, maka akan Nampak bahwa mereka bukan berasal dari keluarga yang cukup mampu untuk menyekolahkan anak-anaknya ke A.M.S. atau H.B.S. Keluarga seperti itu bahkan memandang pekerjaan mubalig itu sebagai “kiai kampong” yang disertai dengan ejekan.

Guru adalah sosok teladan bagi anak-anak sehingga tidak hanya peeandai dalam pengajaran saja tapi juga sebagai contoh bagi anak-anak dalam tingkah laku dan tutur katanya. Pendidikan Islam tidak sesempit yang difikirkan oleh kebanyakan orang, yang hanya mempelajari ilmu-ilmu tentang peribadatan.

Natsir juga terkenal sebagai seorang yang selain taat beragama juga sangat mengecam kepada seseorang yang dalam mengerjakan ibadah hanya mengikuti gurunya saja alias taqlid, sehingga untuk menjadi guru juga harus seorang yang memang memiliki ilmu yang benar-benar tau dari mana sumbernya bukan hanya tau dari gurunya yang telah mengajarinya dahulu.

Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan kurang lebihnya konsep guru menurut Natsir haruslah memiliki sifat sabar, tekun, ramah, menghargai setiap murid, selalu melayani murisd-murid dengan penuh perhatian, dan selalu member kesempatan kepada murid untuk menanyakan hal-hal yang belum diketahui.

C. Biografi Ikhwan al-Shafa

Ikhwan al-Shafa adalah perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang lebih banyak memperhatikan bidang pendidikan. Perkumpulan ini berkembang pada akhir abad kedua Hijriyah di kota Bashrah, Iraq. Organisasi ini antara lain mengajarkan tentang dasar-dasar agama Islam yang memperkokoh ukhuwah Islamiyah, dengan sikap pandangan bahwa “Iman seorang muslim tidak sempurna sampai ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.” Sebagai sebuah organisasi mereka memilki semangat dakwah dan tabligh yang militan terhadap orang lain. Semua anggota perkumpulan ini wajib menjadi pengajar atau muballigh terhadap orang lain dalam masyarakat (Arifin, 1996: 92-93).

(10)

Dari dua informasi di atas menunjukan bahwa istilah Ikhwan al-Shafa bukanlah nama seseorang melainkan istilah yang digunakan untuk menyebut sebuah kelompok gerakan dalam pendidikan Islam, kelompok tersebut terdiri dari para filosof yang memiliki perhatian terhadap pengembangan pendidikan Islam.

Selanjutnya, secara umum kemunculan Ikhwan al-Shafa dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap pelaksanan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran dari luar Islam dan untuk membangkitkan kembali rasa cinta pada ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam. Kelompok ini sangat merahasiakan nama- nama anggotanya. Mereka bekerja dan bergerak secara rahasia disebabkan kekhawatiran akan ditindak penguasa pada waktu itu yang cenderung menindas gerakan-gerakan pemikiran yang timbul. Kondisi ini antara lain yang menyebabkan Ikhwan al-Shafa memiliki anggota yang terbatas. Mereka sangat selektif dalam menerima anggota baru dengan melihat berbagai aspek. Di antara syarat yang mereka tetapkan dalam merekrut anggota adalah : memiliki ilmu pengetahuan yang luas, loyalitas yang tinggi, memiliki kesungguhan, dan berakhlak mulia (Ramayulis, 2005:101-102).

Selanjutnya, anggota kelompok Ikhwan al-Shafa yang dapat diketahui nama-namanya adalah sebanyak lima orang, yaitu : (1) Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Masyar al-Basti dikenal dengan nama al-Maqdisy; (2) Abu al-Hasan Ali Ibnu Harun ad-Zanzany; (3) Abu Ahmad al-Mahrajani; (4) Al-Qufy; dan (5) Zaid Ibnu Rifa’ah (Madjidji, 1997: 66). Nama-nama tersebut hanya sebagian kecil dalam daftar kelompok gerakan pendidikan Ikhwan al-Shafa

D. Konsep Pendidikan Islam Menurut Ikhwan Al-Shafa 1. Tujuan Pendidikan Islam

Dari hasil studi terhadap pemikiran Ikhwan al Shafa, diketahui dengan jelas bahwa tujuan pendidikan yang ingin dicapai melalui pendidikan adalah mendapatkan ridha Allah Swt. Keridhaan Allah itu terjabar dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 201, yaitu Pertama, mendapatkan kebaikan di dunia seperti memiliki ilmu yang bermanpaat, rizki yang halal dan pasangan yang saleh/shalehah. Kedua, kebaikan di akhirat seperti mendapatkan surga. Ketiga, selamat dari api neraka. Ketiga hal ini merupakan harapan kita semua.

Kalaulah tujuan tersebut sudah tertanam dalam hati setiap pecinta ilmu, maka bukan suatu hal yang mustahil mereka akan menjadi hati-hati dalam belajarnya, hati-hati dalam mengamalkannya, dan akibat kehati-hatiannya itu mereka akan berusaha untuk menjauhi dari hal-hal yang tidak baik.

Dengan demikian seorang pendidik punya kewajiban untuk meluruskan motivasi peserta didiknya dalam menentukan tujuan menuntut ilmu, jangan sampai tujuan belajar mereka hanya terpokus pada hal-hal yang bersifat duniawi seperti agar mudah mencari lapangan kerja, ingin dipuji orang, untuk mendapatkan pangkat, dan sebagainya. Pendidik harus terus memotivasi sekaligus meyakinkan kepada peserta didiknya bahwa menuntut ilmu disamping kewajiban, juga harus diposisikan sebagai sarana untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah Swt. dengan ilmu yang diimilikinya.

(11)

Untuk mencapai tujuan pendidikan sesuai dengan harapan, maka seorang pecinta ilmu perlu memperhatikan hal-hal yang membuat dia berhasil dalam belajarnya. Dalam hal ini, Ikhwan al- Shafa menetapkan sifat-sifat dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pecinta ilmu, di antaranya: seorang pecinta ilmu harus tawadhu, banyak berdzikir, banyak bertanya, senantiasa mendengarkan ketika guru sedang menyampaikan materi, mangamalkan ilmunya, tidak merasa kagum atas prestasi, dan senantiasa banyak berdzikir.

Dengan demikian, apabila sifat-sifat dan syarat-syarat yang ditawarkan oleh Ikhwan al-Shafa tersebut diindahkan oleh para peserta didik, maka insya Allah mereka akan berhasil dalam menggapai tujuan yang diharapkannya.

3. Pendidik dan Peserta Didik

Dalam dunia pendidikan, komponen pendidik ternyata dapat mempengaruhi keberhasilan tujuan pendidikan yang diharapkan, oleh karena itu Ikhwan al-Shafa mencoba menawarkan konsep pendidik yang baik, yang akan mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Diantaranya adalah seorang pendidik harus memiliki kasih saying terhadap peserta didiknya, sabar dalam menghadapi peserta didik yang lambat untuk memahami materi yang disampaikannya, pendidik tidak boleh rakus dan minta imbalan. Rupanya karakteristik pendidik yang ditawarkan oleh Ikhwan al-Shafa ini perlu untuk dimiliki oleh setiap pendidik, agar dapat membantu dalam pencapaian tujuan pendidikan yang diharapkan.

Ikhwan al-Shafa menempatkan pendidik (guru) pada posisi strategis dan inti pada kegiatan pendidikan. Mereka mempersyaratkan kecerdasan, kedewasaan, kelurusan moral, ketulusan hati, kejernihan pikir, etos keilmuan dan tidak fanatik buta pada diri si pendidik. Ikhwan al-Shafa menganggap bahwa mendidik sama dengan menjadikan “orang tua” kedua, karena pendidik atau guru merupakan bapak pemelihara (spiritual father) pertumbuhan dan perkembangan jiwamu; sebagaimana halnya kedua orang tua adalah pembentuk rupa fisik-biologis, maka guru adalah pembentuk rupa mental dan rohani. Sebab guru telah menyuapi jiwa dengan ragam pengetahuan dan membimbing pada jalan keselamatan dan keabadian, serta apa yang telah dilakukan orang tua yang menyebabkan tubuh seseorang lahir ke dunia, mengasuh dan mengajari mencari nafkah hidup di dunia ini.

Senada dengan pendapat Ikhwan al-Shafa, pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), psikomotorik (karsa). Pendidik juga berarti orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai khalifah Allah, dan mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan makhluk individu yang mandiri.

(12)

aspek kehidupan sehari-hari sampai pada menjaga tawhid dalam dirinya. Hasilnya akan lahir manusia yang cenderung optimis dan tidak mudah putus asa dalam menghadapi tantangan. Dengan demikian akan tercipta manusia yang berkecenderungan belajar seumur hidup (long life education).

Oleh karena itu, guru atau pendidik memiliki fungsi membantu si terdidik mengembangkan potensinya secara optimal, baik melalui metodologi yang digunakan maupun melalui ilmu yang sedang dipelajari. Pendidik tidak harus mengisi otak si terdidik dengan ide-idenya, akan tetapi share dengan si terdidik untuk menemukan kebutuhan dan potensinya yang harus dikembangkan.

Antara konsep pendidik perspektif Ikhwan al-Shafa maupun konsep pendidik dalam pendidikan Islam secara umum sama-sama menghendaki agar seorang pendidik mampu memberikan contoh yang baik (uswatun hasanah) bagi peserta didik.Menurut an-Nahlawi manusia telah di beri fitrah untuk mencari suri tauladan agar menjadi pedoman hidup bagi mereka.

4. Kurikulum Pendidikan

Dilihat dari segi kurikulum, Ikhwan al-Shafa memberikan porsi yang seimbang antara materi-materi yang harus diberikan kepada peserta didik, mereka tidak hanya mempokuskan pada ilmu-ilmu yang dikaji dari ayat-ayat kauniyah seperti ilmu jiwa, akan tetapi ditekankan pula pengkajian terhadap ayat-ayat

tanziliyah.

Sebagaimana kita maklumi bahwa hakikat ilmu kauniyah dan ilmu tanziliyah dilihat dari sumbernya adalah sama yaitu bersumber dari Allah Swt. Namun saja perbedaannya terletak pada fungsinya; ilmu kauniyah berfungsi sebagai wasilah al-hayah, sedangkan ilmu tanziliyah berfungsi sebagai

minhaj al-hayah. Dari uraian ini nampaknya pandangan Ikhwan al-Shafa cukup baik untuk diterapkan di lembaga pendidikan kita, karena Ikhwan al-Shafa mengangap penting terhadap kedua disiplin ilmu tersebut. Dengan dua disiplin ilmu itu insya Allah kebahagiaan di dunia dan akhirat dapat tercapai.

5. Metode Pengajaran

Dalam pandangan Ikhwan al-Shafa menganggap metode bagian dari komponen yang dapat menunjang untuk pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu menurut mereka seorang pendidik harus memilih metode yang dianggap cocok untuk menyampaikan materi dan sesuai dengan kemampuan peserta didik. Dalam hal ini Ikhwan al-shafa menekankan salah satu metode pembelajaran adalah metode contoh dan tamsil (perumpamaan), sebab dengan metode ini peserta didik lebih cepat untuk memahaminya. Sehingga peluang besar peserta didik itu dengan mudah untuk mengamalkannya.

(13)

BAB III

ANALISIS PERBANDINGAN

Dari uraian banyak tentang “Konsep Pendidikan Islam Menurut Mohammad Natsir dan Ikhwan al-Shafa”, maka dapat diambil point-point mendasar mengenai perbedaan atau persamaan dari ke dua tokoh tersebut;

Pemikiran pendidikan Moh. Natsir ber- sifat akomodatif dan dapat berlaku di segala waktu dan tempat. Idenya ini “ndak lapuak dek hujan jo ndak lakang dek paneh”. Konsep pendidikannya mengakomodasi ke- pentingan manusia di dunia dan akhirat. Walaupun ide-idenya ini belum dapat di-terapkannya pada saat beliau menekuni langsung dunia pendidikan karena situasi dan kondisi yang belum kondusif, namun beliau telah mewariskan satu alternatif sistem pendidikan yang tidak ternilai harganya bagi pendidikan Islam di Indonesia.

Hasil pemikiran M. Natsir ini sangat penting dipertimbangkan oleh pemerintah dan pengelola lembaga pendidikan swasta untuk diterapkan dengan alasan: 1) Masyarakat muslim telah mengalami keru-gian besar selama ini akibat pengotak- otakan ilmu. 2) Dengan mewujudkan sistem pendidikan ini, insyaallah akan dapat melahirkan cen- dikiawan yang ulama, ulama yang cedi- kiawan, serta umara yang cendikiawan lagi ulama. 3) Untuk mengatasi dekadensi moral dan penguatan karakter peserta didik dengan penggabungan materi ajar agama dengan umum secara seimbang dan proporsional.

Menurut M. Natsir Pendidikan harus dapat membawa manusia mencapai tujuan hidupnya, yaitu menghambakan diri kepada Allah, berakhlakul karimah dan mendapat kehidupan yang layak di dunia. Landasan pendidikan Islam adalah mengenal Tuhan, mentauhidkan Tuhan dan tidak menyekutukan sedikitpun Allah kepada siapapun. Selain itu akhlakul karimah juga dijadikan sebagai landasan pendidikan Islam. Relevansi Pemikiran Mohammad Natsir terhadap pendidikan di Indonesia sekarang ini, dengan bukti adalah telah adanya sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Islam yang telah mengintegrasikan antara pendidikan agama dan pendidikan umum, juga telah adanya koordinasi dari sekolah-sekolah dengan adanya ujian secara bersam, baik itu Ujian Nasional maupun Ujian Sekolah.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Ikhwan al-Shafa merupakan persaudaraan suci yang terdiri dari para ilmuwan dan filsuf muslim. Mereka bergerak secara rahasia dan memiliki tujuan politis melakukan transformasi sosial, namun tidak melalui cararadikal-revolusioner, tetapi melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas. Mereka sangat peduli dengan nasib Islam di zamannya.Kepedulian tersebut terutama dalam pemikiran pendidikan, yang selanjutnya terefleksi dalam karya spektakulernya, Rasa’il Ikhwan al-Shafa, sebuah karya dalam bentuk ensiklopedi yang di dalamnya terdapat beberapa disiplin ilmu pengetahuan sekaligus kurikulum pendidikan.

(14)

keterampilan sesungguhnya tidak lebih kecil dibanding perhatian mereka terhadap pendidikan intelektual, bahkan dapat dikatakan bahwa sasaran utama pendidikan Ikhwan al-Shafa adalah pendidikan moral.Dilihat dari segi moral dan keterampilan, isi pendidikan yang diinginkan Ikhwan al-Shafa adalah moral dan keterampilan yang sesuai dengan fungsi manusia sebagai Khalifah Allah di muka bumi.

Ikhwan al-Shafa adalah suatu perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang lebih banyak memperhatikan pendidikan. Di antara kosep pendidikan yang ditawarkan oleh Ikhwan al-Shafa adalah: (a) mencari dan menyampaikan ilmu kepada orang lain adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim; (b) setiap pencinta ilmu harus memiliki beberapa sifat dan memenuhi beberapa syarat diantaranya, tawadhu, al-amalu fil ‘Ilmi, dan katsrudz-dzikri annahu min ni’aamillah; (c) setiap pendidik harus memiliki beberapa sifat diantaranya, kasih sayang terhadap peserta didik dan memiliki sifat sabar; (d) kurikulum pendidikan harus memuat ilmu-ilmu yang bersifat tanziliyah dan ilmu-ilmu yang bersifat kauniyah; dan (e) dalam proses pendidik, seorang pendidik perlu memilih metode pendidikan yang relevan dengan bahan ajar dan kemampuan peserta didik. Salah satu metode pembelajaran yang ditawarkannya adalah metode keteladanan dan perumpaman.

(15)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai penutup tulisan ini, dari uraian di atas dapat ditarik simpulan bahwa Ikhwan al-Shafa adalah suatu perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang lebih banyak memperhatikan pendidikan. Di antara kosep pendidikan yang ditawarkan oleh Ikhwan al-Shafa adalah: (a) mencari dan menyampaikan ilmu kepada orang lain adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim; (b) setiap pencinta ilmu harus memiliki beberapa sifat dan memenuhi beberapa syarat diantaranya, tawadhu, al-amalu fil ‘Ilmi, dan katsrudz-dzikri annahu min ni’aamillah; (c) setiap pendidik harus memiliki beberapa sifat diantaranya, kasih sayang terhadap peserta didik dan memiliki sifat sabar; (d) kurikulum pendidikan harus memuat ilmu-ilmu yang bersifat tanziliyah dan ilmu-ilmu yang bersifat kauniyah; dan (e) dalam proses pendidik, seorang pendidik perlu memilih metode pendidikan yang relevan dengan bahan ajar dan kemampuan peserta didik. Salah satu metode pembelajaran yang ditawarkannya adalah metode keteladanan dan perumpaman.

Konsep pendidikan yang ditawarkan Ikhwan al-Shafa tersebut rupanya masih relevan untuk di terapkan dalam dunia pendidikan saat ini, karena konsep-konsep yang ditawarkannya dipandang dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan atau masukan-masukan yang positif khususnya bagi para pendidik dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik.

Sedangkan Konsep Pendidikan Islam Menurut Mohammad Natsir”, maka dapat disimpulkan bahwa :

a. Pendidikan harus dapat membawa manusia mencapai tujuan hidupnya, yaitu menghambakan diri kepada Allah, berakhlakul karimah dan mendapat kehidupan yang layak di dunia.

b. Landasan pendidikan Islam adalah mengenal Tuhan, mentauhidkan Tuhan dan tidak menyekutukan sedikitpun Allah kepada siapapun. Selain itu akhlakul karimah juga dijadikan sebagai landasan pendidikan Islam.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi,Abu dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, Jakarta PT Rieneka Cipta, 1997

Alavi, Zianuddin, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan, Bandung: Penerbit Angkasa, 2003

al-Nimr, Abdul Mun’iem, Sejarah dan Dokumen-Dokumen Syi’ah, Terj. Yayasan Alumni Timur Tengah, Tanpa Penerbit, 1988

al-Shafa, Ikhwan, Risalat al-Jami’ah, (Damascus: Al-Tarqqi Press, 1994

Bakri, Sama’un, Menggagas Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005

Badiatul Roziqin, Badiatul Mukhlisin Junaidi dan Abdul Munif, 101 Jejak Tokoh Islam, e-Nusantara, Yogyakarta, 2009, Hlm.221

Darajat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2006

Nata, Abudin. 2005, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Natsir, M. 1954, Capita Selekta, Jakarta: Bulan Bintang.

Referensi

Dokumen terkait

thariqah atau thariq , yang dalam bahasa Indonesia diserap menjadi tarekat, sudah familiar semenjak zaman Nabi. Hal ini dapat menjadi argumen bahwa tidak logis kalau ada yang

 Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok

Data-data yang diperoleh peneliti antara lain partitur yang ditranskrip melalui proses hearing, audio Blue Rondo Ala Turc aransemen Al-Jarreau berupa file.. format ‘mp3’,

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh masing-masing variabel Ekuitas Merek (X 1 ), Kualitas Produk (X 2 ) dan Kualitas Pelayanan (X 3 ) terhadap Kepuasan Konsumen (Y)

Faktor risiko asma pada murid sekolah dasar usia 6-7 tahun di kota padang berdasarkan kuisioner International Study Of Asthma And Allergies In Childhood yang dimodifikasi;

Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu berkonsultasi terkait dengan RPP dan melakukan konfirmasi dengan guru mata pelajaran ekonomi tentang proses dan

Dengan mengembangkan bahan ajar yang berbasis penemuan terbimbing, diharapkan mahasiswa dapat memahami konsep dan prinsip dari geometri ruang.. Salah satu bahan ajar yang

Menurut Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Pedoman persetujuan tindakan medic merupakan penerapan prosedur pengambilan tindakan yang tepat juga tidak bertentangan dengan