• Tidak ada hasil yang ditemukan

Islam Negara dan Perlindungan Hak Hak Is

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Islam Negara dan Perlindungan Hak Hak Is"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Islam, Negara dan Perlindungan Hak-Hak Islam Minoritas

Ahmad Solikhin

Dosen Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Islam Darul ‘Ullum Lamongan

akhmad.sholikin@gmail.com

Abstrak: Tulisan ini mendiskusikan tentang hilangnya peran Negara dalam menegakkan kebebasan politik kelompok Islam minoritas di Indonesia. Kebebasan politik yang dijamin dalam konstitusi bagi setiap warga Negara hanya didominasi oleh kelompok Islam mayoritas.Kelompok Islam mayoritas dengan mendominasi kekuasaan cenderung menciptakan kebijakan politik yang mendeskriminasi kelompok Islam Minoritas.Akibatnya Islam minoritas tidak mendapatkan hak-hak politiknya sebagai warga Negara Indonesia yang berasaskan “Bhineka Tunggal Ika.”

Kata Kunci : Negara, Agama, Hak-Hak Islam Minoritas

Abstract: This paper discusses the loss of the State's role in upholding the freedom of minority political Islamic groups in Indonesia. Political freedom guaranteed by the Constitution to every citizen of the State is dominated by Islamist groups to dominate the majority of Islamic mayoritas.Kelompok power tends to create political policy mendeskriminasi Islamist group Islamic Minoritas.Akibatnya minorities do not get their political rights as citizens of Indonesia who berasaskan "Bhineka Tunggal Ika. "

Keywords: Country, Religion, Islam Minority Rights

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang mengklaim sebagai penyokong dan pengadopsi sistem pemerintahan demokrasi. Indonesia meskipun berpendudukuk Muslim sebagai mayoritas, tetapi Negara ini

(2)

memegang teguh prinsip ‘Bhineka

Tunggal Ika” serta mempraktekkan

keberagamaan yang toleran dalam kehidupan mereka sehari-hari.Tetapi, klaim dan pernyataan tersebut perlu dipertanyakan ketika saat ini banyak praktek diskriminasi terhadap minoritas keagamaan, etnis, budaya, dan gaya hidup lainnya selama 12 tahun terakhir ini. Praktek intoleransi dan kekerasan oleh sekelompok masyarakat tertentu terhadap beberapa kelompok minoritas juga banyak menghiasi pemberitaan di media nasional dan internasional.

Pasca reformasi tahun 1998 kondisi Indonesia semakin marak melanda tindak kekerasan diIndonesia yang notabene berbhinneka tunggal ika ini. Konflik-konflik yang disinyalir sudah lama ada yang bersifat laten, dengan munculnya reformasi menjadi konflik-konflik manifest yang dampaknya sangat luar biasa bagi kehidupan sosial. Delapan belas tahun sudah era reformasi digulirkan, serasa selama itu pula kian lama kebhinekaan negara ini semakin terancam.Dinamika konflik yang berujung pada kekerasan seakan

tidak berhenti menghiasi bumi Indonesia ini.Isu-isu konflik tersebut banyak menyangkut persoalan etnis dan agama. Sehingga banyak konflik-konflik yang muncul dengan membawa nama agama.

Agama yang ada di Indonesia senantiasa menampakkan dua sisinya yang berbeda. Pada satu sisi agama menawarkan perdamaian, ketenangan dan ketentraman, akan tetapi disisi lain menampakkan sisi kekerasan. Sisi kekerasan akan muncul ketika kebenaran satu agama tertentu berbenturan dengan kebenaran agama yang lain. Seperti yang dinyatakan oleh J. Efendi bahwa agama pada suatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan dan persaudaraan. Akan tetapi pada waktu yang lain menampakkan dirinya sebagai sesuatu yang tercatat dalam sejarah menimbulkan konflik, hingga ke kekerasan dan peperangan.1Wajah ganda agama

inilah yang menunjukkan adanya mekanisme peran agama yang rentan terhadap kekerasan.

(3)

Peran agama menjadi terkait erat dengan kekerasan ketika agama dijadikan sebagai kerangka penafsiran religius hubungan sosial (fungsi ideologis, agama sebagai faktor identitas dan agama sebagai legitimasi etis hubungan.)2

Peran-peran yang dimainkan oleh agama tersebut menunjukkan rentannya sisi agama yang dikaitkan dengan timbulnya fenomena kekerasan yang semakin sering nampak di Indonesia akhir-akhir ini. Akan tetapi sering muncul pembelaan yang menyatakan bahwa agama mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan.Ironisnya manusia menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok

sehingga menyulut

kekerasan.Adanya konflik dan tindak kekerasan tidak dapat dilepaskan dari adanya perbedaan dan faktor kepentingan.Berbicara kepentingan tidak bisa lepas dari upaya mengusai dan dikuasai oleh kaum mayoritas terhadap minoritas.Indonesia merupakan negara yang plural berasaskan Bhineka Tunggal Ika,

2Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaa, .Kompas: Jakarta, 2003, hal. 263.

tetapi terkait dengan agama; Islam merupakan agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat Indonesia.Konflik kekerasan yang mengatasnamakan agama tersebut dapat diamati dari pemberitaan di media-media terlebih pasca reformasi 1998.

(4)

rencana manusia, akhirnya hal itu mereka tuangkan menjadi kenyataan melalui aksi-aksi kekerasan.3

Pemerintah Indonesia gagal melindungi kaum minoritas dari kekerasan dan intoleransi atas nama agama. Menurut laporan Human Rights sepanjang 120 halaman, berjudul “Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia,” merekam kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengatasi gerombolan-gerombolan militan, yang melakukan intimidasi dan penyerangan rumah-rumah ibadah serta anggota-anggota minoritas agama.4Kegagalan pemerintah Indonesia dalam mengambil sikap dan melindungi kaum minoritas dari intimidasi dan kekerasan, merupakan olok-olok terhadap klaim bahwa Indonesia adalah negara demokratis yang

melindungi hak asasi

manusia.Kepemimpinan nasional sangat esensial dalam

3Mark Juergensmeyer, Terror in the Mind of

God: The Global Rise of Religious Violence (Berkeley – Los Angeles – London: University of California Press, 2000), 8.

4Laporan Kerja Human Right Watch, “Atas

Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia (The United States of America, 2013)

bertanggungjawab atas terjadinya berbagai tindak kekerasan ini.Penegakan hukum di Indonesia harus ditegaskan dan harus mampu mengadili setiap pelaku kekerasan, serta mampu menjelaskan strategi untuk memerangi kekerasan atas nama agama.

Human Rights Watch melakukan riset di 10 provinsi di Jawa, Madura, Sumatra, dan Timor, serta mewawancarai lebih dari 115 orang dari berbagai kepercayaan.Mereka termasuk 71 korban kekerasan dan pelanggaran, maupun ulama, polisi, jaksa, milisi, pengacara dan aktivis masyarakat sipil. Hasilnya pejabat daerah sering menyikapi pembakaran atau kekerasan dengan justru menyalahkan korban minoritas, para pelaku menerima hukuman ringan atau sama sekali tidak dihukum.5Dalam dua kasus, pejabat

daerah menolak menjalankan keputusan Mahkamah Agung yang memberikan hak kepada dua jemaat minoritas untuk membangun rumah ibadah mereka.Pejabat pusat sering membela kebebasan beragama namun ada jugayang justru

(5)

mengeluarkan pernyataan diskriminatif.

Diskusi mengenai persoalan minoritas di Indonesia harus dikaitkan dengan pembiacaraan tentang Islam di Indonesia.Islam merupakan agama mayoritas dari sisi penganut, aspek sosial dan juga aspek politik. Kondisi ini memainkan peran yang sangat signifikan dalam proses pembuatan kebijakan Negara mengenai hak kaum minoritas di Indonesia. Bagaimana masyarakat Indonesia memandang kelompok minoritas, siapa saja yang termasuk di dalamnya serta bagaimana negara mengatur hak dan kewajiban mereka di ruang publik, sangat ditentukan oleh aspirasi dan sudut pandang umat Islam.Sehingga pertanyaan yang layak diangkat ke permukaan ketika membicarakan nasib dan peran kaum minoritas serta peran yang harus dilakukan negara dalam kaitannya dengan konflik social, yakni;Apakah memang secara legal regulasi negara telah memberikan pengakuan dan perlindungan yang semestinya terhadap kelompok minoritas ?; Apakah yang harus dilakukan oleh negara jika sebuah konflik politik

aliran dalam bentuk penyerangan fisik atau prilaku diskriminatif terjadi?Sebab, seperti yang diketahui dari berbagai kasus, kelompok minoritas tentu menjadi korban pertama jika hal-hal tersebut terjadi dalam masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan ini tentu harus dilihat secara saksama mengingat variabel yang menjadi pemicu konflik sangat beragam seperti; disparitas ekonomi, kesenjangan sosial, perbedaan pendidikan dan kesempatan memiliki kadar dan skala intensitas yang juga berbeda.

“Defining Minority dalam

Konteks Islam Mayoritas dan Negara Bhineka Tunggal Ika

Istilah minoritas di Indonesia tidak didasarkan pada satu pemahaman yang searagam dan tidak ada satu batasan yang pasti siapa saja yang dikategorikan sebagai kelompok minoritas.Kamus Umum Bahasa Indonesia misalnya mendefinisikan minotas sebaga kelompok kecil.6 Kamus Bahasa Indonesia Online mendefinisikan

6

(6)

minoritas sebagai goloantar sesamanya dan membagi bersama keinginan untuk melestarikan ngan sosial yang jumlah warganya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan lain dl suatu masyarakat dan karena itu didiskriminasikan oleh golongan lain itu.7 Menurut

Theodorson & Theodorson (1979: 258-259), kelompok minoritas (minority groups) adalah kelompok-kelompok yang diakui berdasarkan perbedaan ras, agama, atausukubangsa, yang mengalami kerugian sebagai akibat prasangka (prejudice) ataudiskriminasi istilah ini pada umumnya dipergunakan bukanlah sebuah istilah teknis, danmalahan, ia sering dipergunakan untuk menunjukan pada kategori perorangan, dari padakelompok-kelompok. Dan seringkali juga kepada kelompak mayoritas daripada kelompokminoritas.8

Jika mengacu pada definisi minoritas menurut Pelapor Khusus

7

http://kamusbahasaindonesia.org/minoritas# ixzz1dkM3UwPd (di akses pada 27/06/2016, 14:00 WIB)

8

Theodorson, George A, and Achilles G. Theodorson, 1979,A Modern Dictionary of Sociology.(New York, Hagerstown, San Francisco, London: Barnes & Noble Books). Hal. 258-259 non dominant position,

whose members being

nationals of the state-posses ethnic, religion or linguistic characteristic differing from those of the rest of the population and show, if only implicitly a sense of solidarity, direct toward preserving their culture, traditions, religion or

language.”9

Dari definisi di atas, yang dimaksud sebagai minoritas adalah: Pertama, secara numerik jumlahnya lebih kecil dari sisa populasi lainnya dalam suatu negara. Kedua, posisinya tidak dominan dalam konteks negara.Ketiga, adanya perbedaan etnik, agama dan budaya dengan populasi lainnya.Keempat, memiliki solidaritas agama, bahasa, tradisi, budaya dan kepentingan untuk meraih persamaan dimuka hukum dengan populasi diluarnya.10

9

Muhammad Subhi, Islam dan Politik Minoritas di Indonesia (Makalah dipresentasikan pada Public Lectur ISIF Cirebon pada 7 Maret 2013)

10

(7)

Agama Islam di Indonesiasecara teoritis tidak pernah mendefinisikan siapa saja kelompok minoritas di Indonesia. Namun dalam pola hubungan dengan entitas lain seperti negara maupun agama lain, Islam kerapkali menempatkan dirinya sebagai kelompok mayoritas yang harus diperlakukan berbeda dari yang lain. Dalam perdebatan mengenai sejumlah peraturan perundang-undangan keagamaan misalnya, umat Islam kerapkali berusaha memasukkan norma dan doktrin Islam menjadi bagian dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Jimly Asshiddiqie mengakui bahwa salah satu materi penting yang menjadi muatan konstitusi adalah dasar negara. Pembahasan mengenai dasar negara dalam proses pembuatan konstitusi selalu melahirkan perdebatan yang tajam dan mendalam. Hal ini karena dasar negara menjadi pijakan utama yang menentukan arah dan cara penyelenggaraan negara. Di sisi lain, tiap-tiap faksi atau kelompok dalam masyarakat apalagi yang sangat plural seperti Indonesia, memiliki cita-cita dan ideologi tersendiri yang

dianggap paling tepat sebagai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.11

Katagori yang agak lebih tegas mengenai siapa yang dimaksud sebagai kelompok minoritas ini dijelaskan dalam Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan ini memberi contoh bahwa kelompok minoritas itu adalah kelompok etnis, agama, penyandang cacat, dan orientasi seksual.Kategori ini tidak memasukkan kategori kepercayaan lokal dan bahasa yang dalam pandangan hak asasi manusia adalah juga kategori minoritas. Perserikatan Bangsa-Bangsa misalnya membagi kelompok minoritas ke dalam 4 kategori: suku bangsa, kebudayaan, agama dan bahasa.12

11Jimly Asshiddiqie, pengantar untuk Pancasila dan Islam, oleh Erwin Kusuma dan Khairul, ed., (Jakarta: BAUR Publishing, 2008), vii.

12

(8)

Islam Mayoritas (arus Islam utama) yang ada di Indonesia mengarah kepada kelompok-kelompok Islam yang dianut oleh sebagian besar penduduk Islam yang ada di Indonesia.Selain itu Islam Mayoritas juga dijadikan sebagai refrensi dalam berbagai urusan yang berhubungan dengan hokum-hukum dalam penentuan kasus-kasus yang dialami oleh umat Islam saat ini.Islam Mainstreamatau ortodoksi (dalam bahasa Martin van Bruinessen) diwakili oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan didalam kelompok ini juga termasuk organisasi-organisasi

kemasyarakatan yang ada didalam naungan MUI. Ahlus Sunnah wal

Jama’ah merupakan ‘mainstream’ Islam yang ortodoks dan yang menyimpang dari paham tersebut adalah sempalan atau sesat.13Dalam

konteks UU No. 1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama, pengertian minoritas dapat diartikan: (1) agama-agama yang penganutnya lebih kecil dari

13Martin Van Bruinessen, Gerakan

Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia: Latar Belakang Sosial Budaya. (Ulumul Qur’an vol. III, No. 1)Hal. 17

penganut agama mayoritas dalam hal ini Islam. (2) agama-agama di luar enam agama yang disebutkan secara eksplisit dalam UU ini. (3) aliran-aliran keagamaan yang berbeda dengan pandangan utama. (4) keyakinan/kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. (5) dalam konteks indigenous people, adalah agama-agama yang dianut oleh masyarakat adat seperti Agama Adan bagi Komunitas Sedulur Sikep, Agama Salih bagi Komunitas Orang Rimba “Kubu”, Agama Kaharingan bagi Suku Dayak, Agama Patuntung bagi komunitas Orang Kajang dll.14

Hubungan Islam Mayoritas dan Inside Minority

Salah satu problem minoritas di Indonesia adalah jaminan terhadap hak-hak kelompok minoritas dalam suatu agama (inside minorities), termasuk Islam.Yang sering dikategorikan inside minority dalam Islam Indonesia adalah kelompok, aliran dan pemikiran yang dianggap

menyimpang dari

mainstream.Keberadaan mereka

14

(9)

dipermasalahkan selain karena berbeda juga karena dianggap menodai atau melecehkan Islam.Menarik untuk diperhatikan bagaimana berbagai pihak melihat permasalahan kebebasan beragama yang dihadapi dengan kacamata yang berbeda. Bahkan, sidang Dewan HAM PBB (United Nations Human Rights Council) melalui mekanisme

universal periodic review menyoroti dengan serius isu intoleransi beragama di Indonesia.15 Permasalahan kebebasan beragama di Indonesia pun tidak hanya disoroti dari beberapa kasus kekerasan yang mencuat (anecdotal) ataupun jumlah kasus intoleransi di berbagai daerah.Dinilai secara akademis dengan standar penilaian yang sistematis dan terukur, Indonesia juga diindikasikan mempunyai permasalahan dalam kebebasan beragama.

Dalam studi kebebasan beragama di seluruh negara di dunia oleh Hudson Institute, Indonesia mendapat klasifikasi 5 yang merujuk

15

http://www.thejakartapost.com/news/2012/

09/18/ri-refuses-comply-with-un-human-rights.html

pada penilaian sebagai partly free

(dengan peng-angkaan 1 (free) – 7 (unfree) seperti penilaian dalam

Freedom Index).16 Index kebebasan beragama Indonesia sebagai negara demokratis di angka 5 di peringkat yang sama dengan negara – negara otoriter seperti Mesir, Libya, dan Syria.Dalam survei yang dilakukan CSIS di delapan propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, DKI Jakarta, dan Bali) ditemukan kecenderungan pandangan toleransi beragama yang terbatas. Penelitian dilakukan dalam bentuk jajak pendapat publik masyarakat di ibu kota propinsi dan satu kabupaten dalam propinsi tersebut.17Survei ini juga dilanjutkan dengan wawancara mendalam tokoh masyarakat daerah tersebut.

Kebebasan memeluk agama dan berkeyakinan yang merupakan hak

16Paul A. Marshall, Religious Freedom in

the World, Rowman & Littlefield Publishers, 2008.

17

(10)

konstitusional warga Indonesia secara umum disetujui oleh semua. Tetapi, pengertian dan pandangan terhadap kebebasan memeluk dan berkeyakinan tersebut masih terbatas kepada apa yang dianggap “agama

resmi”. Hal ini menjadi masalah dari

dua sisi.

Pertama, secara konseptual dan filosofis menentukan agama resmi dan tidak resmi dalam dirinya sendiri bisa dianggap sebagai sebuah

intoleransi dan

diskriminasi.Pengaturan terhadap keyakinan oleh negara ataupun masyarakat merupakan invasi terhadap elemen utama dalam kebebasan beragama, yaitu kebebasan hati nurani (freedom of conscience).

Kedua, secara legal definisi agama resmi dan tidak resmipun bisa dikatakan tidak mempunyai landasan

hukum yang jelas. Penulis menemukan dasar hukum yang menetapkan bahwa keenam agama “resmi” Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dan Hindu, yang ditambah menjadi enam dengan Kong Hu Cu setelah era reformasi. Satu-satunya dasar konsep ‘agama resmi’ adalah penjelasan dalam UU No. 1 PNPS 1965 terhadap pasal 1 dalam UU tersebut yang menyatakan “... dilarang ... menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia.” Disamping permasalahan konseptual dan filosofis, landasan

hukum adanya ‘agama resmi’-pun

sangat lemah.Akan tetapi, pandangan

adanya ‘agama resmi’ yang diakui

(11)

Gambar. 1. Hak Kepercayaan Warga Indonesia

Dalam survei CSIS tersebut, ditemukan bahwa hampir semua responden (98,4 persen) mengakui hak memeluk agama. Namun pada saat bersamaan, mayoritas responden (81 persen) berpandangan bahwa hanya ada enam ‘agama resmi’ di Indonesia.Toleransi terhadap kebebasan beragama tersebut berkurang drastis ketika responden ditanya apakah kebebasan beragama tersebut termasuk memilih agama yang tidak ‘resmi’.Yang menyetujui

kebebasan tersebut turun drastis, menjadi 40.5 persen dan yang tidak setuju berjumlah 55.8 persen.

Toleransi beragama juga amat dipengaruhi oleh persepsi masyarakat agama terhadap pandangan dan interpretasi yang berbeda.Penyebab konflik (points of conflict and points of contention) yang sensitif adalah sentimen masyarakat terhadap pandangan yang berbeda.

98.40%

81.00%

40.50%

1.60% 13.80%

55.80%

Warga Indonesia bebas Memilih dan Memeluk agama masing-masing

Hanya Boleh ada 6 Agama resmi di

Indonesia

Kebebasan memilih termasuk agama yang bukan agama "resmi"

Hak Kepercayaan

(12)

Gambar. 2. Interpretasi Masyarakat tentang Pandangan yang Berbeda

Dari data diatas setidaknya, 31.5 persen responden menganggap pandangan berbeda adalah penghinaan, dengan 17.5 persen menyatakan tidak tahu.Tidak berlebihan untuk berasumsi bahwa kurang lebih separuh dari responden secara potensial dapat terprovokasi dalam kemarahan terhadap kelompok berbeda, apalagi bila berkelindan dengan kepentingan politis maupun ekonomi.

Indonesia dicita-citakan oleh para

founding father memiliki tradisi negara yang toleran, hal ini menjadikan sebagian besar komunitas agama yang beragam di Indonesia berjalan secara terbuka dan dengan beberapa pembatasan, terutama enam agama yang diakui (Islam, Buddha, Hindu, Katolik,

Protestan, dan Konghucu).Namun demikian, transisi Indonesia menuju demokrasi dan stabilitas ekonomi telah ternodai oleh kekerasan antar-kelompok, serangan teroris, pertumbuhan kelompok ekstremis, dan intoleransi yang meningkat terhadap kelompok agama minoritas

dan kelompok

“heterodoks”.Pemerintah telah

melakukan langkah dalam menangani jaringan teroris, tetapi kelompok-kelompok seperti FPI tetap memiliki pengaruh politik yang sangat besar melalui mobilisasi sejumlah besar pengikutnya.Kegiatan mereka, yang terkadang didukung oleh pejabat pemerintah dan pemimpin agama Muslim, mengirim pesan yang mengerikan ke kelompok 56.40%

37.00%

20.80%

31.50% 33.60%

52.90%

75.20%

51.30%

10.00% 10.10%

4.10%

17.20%

Ajaran Kitab Suci Semua Harus diikuti secara

Harfiah ?

Hanya Ada Satu Cara Pandang dalam Menafsirkan Kitab Suci

Ajaran Pemimpin Agama Tidak Boleh ditentang dan pasti paling benar.

Pemahaman Agama yang berbeda dari penafsiran

umum merupakan penghinaan Agama Interpretasi

(13)

agama minoritas di Indonesia, yang jumlahnya antara 38 dan 42 juta.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan representasi dari Islam Mayoritas yang mendapatkan legitimasi untuk mengeluarkan fatwa dan kebijakan terkait persoalan ummat Islam di Indonesia. Jika kita telisik lebih dalam terkaitMUI ia merupakan badan ulama tertinggi umat Islam di Indonesia yang terdiri dewan penasihat danbadan eksekutif dengan 12 komisi. MUI merupakan lembaga semi-pemerintah yangmengeluarkan fatwa dan membentuk kebijakan pemerintah seputar urusan Islam.MUIsebagian didanai lewat Kementerian Agama atau melalui anggaran pemerintah provinsi dan daerah, tapi tanpa audit badan pengawas keuangan negara. Ada ratusan kantor MUIdi Indonesia.141Manajemen MUI Pusat di Jakarta terdiri 273 individu, termasuk beberapa wakil dariorganisasi Muslim, empat anggota kabinet, beberapa politisi, pensiunan jenderal,akademisi, pengusaha, novelis, bintang film, model, dan anggota dari kelompokkelompokIslam.

Organisasi ini tersusun dari berbagai kelompok Muslim, mulai dari organisasi seperti Muhammadiyah, NU, dan Persatuan Islam, hingga yang terbaru macam Majelis MujahidinIndonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, dan Front Pembela Islam. Dalam sejarahnya, MUI menolak anggota Syiah dan Ahmadiyah, dan kemudian menganggap keduanya “sesat dan

menyesatkan.”Tiada prosedur pasti

(14)

sebagai penghubung antara kalangan ulama dan pejabat pemerintah.18

MUI mulai gencar memainkan pengaruh pada tahun-tahun terakhir rezim Suharto.Iamengeluarkan fatwa atas berbagai isu, termasuk sertifikat halal, pemantauan danpengawasan bank berbasis Syariah, memediasi keuangan Syariah, dan isu-isulingkungan. Pada Juli 2005, MUI menerbitkan sejumlah fatwa menentang pluralisme,sekularisme, liberalisme, doa lintas-iman, pernikahan beda agama, dan semua penafsiranalternatif atas ayat-ayat suci Al-Qur’an.19 Fatwa-fatwa MUI kadang dipakai sebagai dasar bagi pembuatan hukum dan kebijakan diIndonesia.Pada Juli 2005, MUI mengeluarkan fatwa dan menetapkan Ahmadiyah sebagai “aliran yang berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan. ”Fatwa Juli 2005 tersebut menetapkan pemerintah Indonesia berkewajiban melarang penyebaran paham Ahmadiyah,

18

Deliar Noer, Administration of Islam in Indonesia (Jakarta: Equinox, 2010) Hal. 81-90.

19

Jeremy Menchik, “Illiberal but not intolerant: Understanding the Indonesian Council of Ulamas,” Inside Indonesia, 26 November 2007.

membekukan organisasi, dan

menutup semua tempat

kegiatannya.20 Amidhan, wakil ketua MUI dan mantan pejabat Kementerian Agama, mengatakan

MUI “menolak kekerasan” dan

“mendukung pluralisme”:

“Kalau pluralisme dianggap seakan-akan semua agama itu sama, maka itutidak baik. MUI menghormati kebebasan beragama. Makna pluralism menurut MUI adalah tidak semua agama sebaik agama yang lain …. Kamitidak mau kompromi soal agama kami.Kalau seseorang menghina

agamakami maka

kekerasan muncul.”21

Fatwa MUI dilevel pusat diikuti oleh berbagai fatwa di daerah-daerah tingkat provinsi atau kabupaten.Misalnya, pada September 2007, MUI diSumatra Barat menerbitkan fatwa terhadap tarekat

20

Fatwa MUI No. 11/Munas VII/MUI/15/2005 ditandatangani pada 29 Juli 2005 anggota komisi fatwa MUI Ma’ruf Amin (ketua) dan Hasanudin (sekretaris) serta anggota rapat pleno Umar Shihab (ketua) dan Din Syamsuddin (sekretaris).

21

(15)

Al-Qiyadah Al-Islamiyah.Fatwalokal ini gilirannya menggamit pengaruh pada MUI pusat, yang akhirnya melarangAl-Qiyadah pada 2007.22 Pada 2 Januari 2012, MUI Sampang mengeluarkan fatwaanti-Syiah. MUI provinsi Jawa Timur mengikutinya pada 21 Januari 2012,mendesak MUI pusat mengumumkan ajaran Syiah “sesat” dan mengusulkanpemerintah Indonesia bertindak terhadap penyebaran ajaran Syiah. MUI juga mengeluarkan fatwa terhadap sebagian besar mereka yang berakhir

didakwapasal penodaan

agama.23Para ulama MUI mula-mula

mengajukan fatwa dan

kemudianbekerja dengan polisi dan jaksa, melalui sarana Bakor Pakem.Berbagai fatwamendahului penuntutan penodaan agama dan dikutip sebagai bukti persidanganpenistaan agama.

Secara khusus, MUI telah memainkan peran yang fundamental

22

Uli Parulian Sihombing, Menggugat Bakor Pakem: kajian hukum terhadap pengawasan agama dan kepercayaan di Indonesia (Jakarta: Indonesian Legal Resource Center, 2008), hal. 37-38.

23

Fatwa MUI Jawa Timur No.Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012, ditandatangani pada 21 Januari 2012 oleh ketua KH.Abdusshomad Buchori dan sekretaris Imam Tabroni.

dalam penyikapan terhadap kelompok inside minority Islam Indonesia. Melalui komisi Fatwa, MUI telah menerbitkan berbagai fatwa mengenai berbagai aliran di dalam Islam, seperti Islam Jamaah, Jamaah Inkarus Sunnah, Al Qiyadah Al Islamiyah, Millah Ibrahim, Aliran AKI hingga Ahmadiyah. Fatwa-fatwa ini disebarluaskan secara publik bahkan dijadikan sebagai bukti di pengadilan.

Mempertanyakan Peran Negara dalam Persoalan Minority

(16)

Indonesia hanya ada 6 agama yang secara resmi diakui oleh pemerintah: Islam, Protestan, Katholik, Budha, Hindu, dan Konghucu, banyak sekali agama-agama yang berada dan berkembang di luar agama resmi itu. Dan ironisnya, meskipun reformasi dan demokratisasi di Indonesia pasca 1998 membawa angin kebebasan pada masyarakat, berbagai kasus dan kejadian yang berkaitan dengan isu atau tuduhan “penodaan agama” oleh kelompok minoritas juga meningkat.24

Jika fakta yang terpapar sebagaimana diungkap di atas merupakan persoalan mendasar dalam hubungan relasional antar-warga di tanah air, lalu apakah sejatinya hal tersebut (utamanya tentang konseptualisasi minoritas) memang diatur dalam perundangan kita. Dengan bahasa lain, adakah pengakuan terhadap eksistensi minoritas dalam konstitusi kita (UUD 1945 hasil amandemen) dan apa konsekuensinya? Secara umum, amandemen UUD 1945 memang membawa banyak perubahan dalam

24

Asia Pacific Bulettin, Number 146, January 26, 2012

konstruksi dasar hukum kita dimana hak-hak individu (individual rights) utamanya secara eksplisit mendapat perlindungan. Hampir semua prinsip yang berkenaan dengan hak asasi manusia dapat ditemukan seperti hak untuk hidup (Pasal 28A), hak untuk mendapat informasi (Pasal 28F), hak untuk tidak disiksa dan mencari suaka (Pasal 28H), hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum serta untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (Pasal 28D) atau hak bebas dari diskriminasi atas dasar apapun (Pasal 28I). Karena itu secara umum dapat dikatakan bahwa komitmen konstitusional yang tersurat bagi penegakan hak-hak individu (individual rights) itu layak untuk terus didorong.

(17)

suku Dayak yang menganut agama Kaharingan, ketika membuat kartu tanda penduduk atau mengajukan surat nikah diharuskan mencantumkan dan mengisi kolom agama dengan memilih satu di antara enam agama yang diakui sah oleh pemerintah. Dengan begitu, tampak jelas bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan masyarakat yang merupakan hak asasi manusia itu harus berjalan beriringan dengan logika formal negara.Pemerintah sering kali menggunakan UU Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sebagai dalil konstitusi untuk menekan warga yang mencoba membangkang.

Konsep minority rights atau

collective rights yang dilekatkan kepada kelompok-kelompok minoritas tentu tidak secara ‘terang

-benderang’ ditemukan dalam

konstitusi kita. Contoh yang cukup jelas mengenai hal ini adalah bagaimana rumusan tentang kebudayaan nasional yang dianggap sebagai pertemuan kebudaya-an-kebudayaan daerah.Kalau kita merujuk pada konstitusi maka terlihat bahwa ungkapan seperti

‘Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia’ itu sendiri sangat kabur dan membingungkan. Apa yang kita temukan selama ini ternyata hegemoni sebuah kebudayaan daerah yang diusung oleh negara (karena rezimnya kebanyakan berasal dari kebudayaan tertentu itu) dan kemudian budaya tertentu itu “didefinisikan” sebagai ‘kebudayaan nasional’ yang logika dan sistemnya harus diikuti dan diadopsi oleh kelompok-kelompok (utamanya minoritas) lain. Inilah contoh dari apa yang oleh Acciaioli disebut sebagai model ‘an exclusionary government discourse’ dimana negara secara sadar mengukuhkan hegemoni dengan konsep kebudayaan nusantara (archipelagic culture) tersebut atas kebudayaan-kebudayaan daerah atau lokal yang ada.25

Pengakuan atas hak minoritas dalam UUD 1945 terdapat dalam beberapa pasal yang berkenaan

dengan ‘pengakuan’ atas collective

rights (seperti dalam Pasal Otonomi

25

(18)

Daerah).Tetapi bentuk dan

semangatnya harus

dimaknaisebagaicollective rights

(hak-hak yang bisa diusung oleh warganegara) ketika ia menjadi bagian dari kelompok tertentu yang

‘didefinisikan’ dalam aturan

negara.26Ini lazimnya ditujukan

kepada kelompok kecil, dimana hak-hak mereka dalam hal-hal tertentu

bersifat pengecualian

(circumstances). Hak-hak tersebut juga bersifat afirmatif yang mengatur bagaimana kelompok tersebut memproteksi atau mempertahankan eksistensi mereka di hadapan cara pandang, kebudayaan, model prilaku dari kelompok besar (majority) atau

kelompok kebanyakan

(mainstream).27

26

Gary F. Bell, “Minority Rights and Regionalism in Indonesia: Will Constitutional Recognition Lead to Disintegration and Discrimination?” Singapore Journal of International and Comparative Law 5 (2001): 793-4.

27

Sander menyatakan bahwa dalam prakteknya collective rights atau minority rights ini terdiri atas 2 (dua) macam yakni hak-hak yang diajukan secara individual (individually exercised minority rights) misalnya hak untuk mendapatkan pengajaran bahasa ibu bagi suku aborigin di Kanada dan hak-hak yang diajukan secara kolektif (collectively exercised minority rigths) seperti pemberlakuan hukum-hukum lokal sebagaimana terjadi di Australia. Lihat Douglas Sanders, “Collective Rights,”

Konstitusi Indonesia mengaturadanya desentralisasi dan otonomi yang secara teoritis menjadiangin segar bagi klaim atas hak-hak kolektif. Tetapi, ketika kebijakan ini diletakkan dalam konteks kabupaten maka terciptalah kelompok-kelompok

kepentinganyang berafiliasi dalam etnis dan kelompok agama tertentu.Hasilnya, dalam kehidupan keagamaan sebagai misal, regulasiyang dihasilkan dari kebijakan desentralisasi itu secara logis memunculkan regulasi yang pastinya memihak kelompok mayoritas dalam agama tersebut.Ini ditandai dengan munculnya peraturan-peraturan daerah tentang penegakan syariat Islam di beberapa kabupaten di tanah air. Lebih lanjut kelompok-kelompokini dengan intensitas politik Islamisme tertentu di beberapa tempat menjadi

battleground bagi penyemaian ‘campaign against the heresy’ meminjam istilah Olle, yakni ideologi anti toleran atas ajaran atau kelompok yang dianggap berbeda

(19)

dan menyimpang.28 Secara politis, agak sulit rasanya untuk memisahkan antara semangat penerapan syariah Islam di beberapa kabupaten dengan munculnya kesadaran untuk melakukan penyerangan fisik atas mereka yang dituduh sebagai ‘penoda agama’ seperti Ahmadiyah atau memobilisir penolakan atas ideologi Islam yang liberal, plural dan sekular.

Era reformasi seperti saat ini memang mampu memperbaharui kulit sistem kenegaraan bangsa Indonesia.Reformasi berhasil menciptakan sebuah pemerintahan yang demokratis, tetapi disisi laingerakan ini berhasil menghadirkan apa yang menjadi bagian terpenting dalam kuasa yakni ‘majority rules’ (kelompok mayoritas menjadi penguasa). Ketika mayoritas berkuasa ia melupakan elemen dan prasyarat penting lain yang juga melekat dalam sistem

demokrasi itu sendiri yakni ‘to

protect minority and differences’

28

John Olle, “The Campaign against ‘Heresy’: State and Society in Negotiation in Indonesia,” Paper presented to the 16th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia in Wollonggong 26 June-29 June 2006.

(memproteksi kelompok minoritas dan menghargai perbedaan).

Majority rules dan protecting minority merupakan dua sisi dari koin demokrasi yang tidak bisa dipisahkan. Jika salah satunya tidak diakui maka yang terjadi adalah praktek-praktek otoritarianisme. Harus diakui bahwa, sebagaimana diungkap oleh Beyer, eksistensi kelompok mayoritas yang dominan memberikan warna yang sangat kental dalam perumusan hukum negara.Dan pada gilirannya rumusan nilai atau hukum yang ekspresi dan bentuknya diambil dari kelompok ini merupakan fenomena umum yang ditemukan di berbagai belahan dunia. Tentu saja, kita harus cermat mendefinisikan makna mayoritas dan minoritas dalam konteks ini: apakah ia merujuk pada perbandingan numerik populasi; atau ia merujuk pada dominasi suatu kelompok atas yang lain; atau konsep ini merujuk pada perbedaan etnik, agama dan linguistik sebagai misal.29

29

(20)

Oleh karena itu penting kiranya ke depan untuk melakukan penelaahan yang lebih komprehensif atas hal-hal yang berkenaan dengan perlindungan atas minoritas ini. Dalam literatur studi tentang minoritas dan negara, Barth menyebut konsep minority regime

dimana sebagai bagian dari perlindungan terhadap kelompok-kelompok minoritas, telah terdapat instumen-instrumen hukum dasar yang menjadi rujukan bagi upaya tersebut.30

Kesimpulan

Indonesia dipuji atas keragaman dan toleransi beragamanya, semenjak era reformasi terbukalah era kebebasan yang kian luas di Indonesia. Di sisilain, militansi agama menguat. Sebagaimana tulisan ini mengulas, pemerintah tidakmenanggapi dengan tegas saat intoleransi diungkapkan melalui pelanggaran hukum,intimidasi, dan kekerasan, membentuk situasi yang melonggarkan serangan lebih

30

Lihat William Kurt Barth, On Cultural Rights: The Equality of Nations and the Minority Legal Tradition, Leiden-Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2008.

keras.Penganiayaan dan kekerasan secara langsung terhadap kelompok agama minoritasditopang infrastruktur hukum di Indonesia atas nama “kerukunan umat beragama,” yang praktiknya justru menggerogoti kebebasan beragama. UUD 1945 dengan tegas menjaminkebebasan agama, sebagaimana Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang diratifikasi Indonesia. Namun, pemerintah Indonesia juga sekian lama membuat, dandalam beberapa tahun terakhir memperkokoh, peraturan yang menjadikan agama-agamaminoritas didiskriminasi secara resmi dan menyudutkan penganutnya sehingga rentandiserang oleh komunitas mayoritas yang tak segan main hakim sendiri.

(21)

Indonesia.Ibarat rumah, Indonesia telah dikavling kelompok-kelompok dominan di wilayah tertentu. Anggota keluarga yang lain memang tidak diusir, namun mereka diletakan di pojok dan tidak berkutik dengan tingkah polah anggota keluarga (mayoritas) lainnya.31

Negara sebagai lembaga publik yang bersifat inklusif berkewajiban melindungi hak dan kepentingan segenap warganya, termasuk hak meyakini dan mengamalkan ajaran agamanya, tanpa membeda-bedakan antara penganut agama yang satu dan penganut agama lainnya atau penganut satu aliran agama dengan penganut aliran agama lainnya.Negara harus berperan preventif dalam hal menjaga agar relasi antar umat penganut agama/keyakinan yang berbeda tetap dalam harmoni, tidak terjerumus dalam konflik horizontal antar umat yang dapat meruntuhkan persatuan bangsa dan keutuhan Negara.Selain itu Negara harus berperan promotif untuk mengimplementasikan dan memajukan nilai-nilai luhur

31

Ahmad Suaedy, dkk.,Politisasi Agama dan Konflik Komunal (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), Hal. 35

universal yang diunggulkan oleh masing-masing agama.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Asshiddiqie, Jimly. 2008. Pengantar untuk Pancasila dan Islam,

Indonesia. Jakarta: Yayasan Interseksi.

Barth, William Kurt. 2008.On Cultural Rights: The Equality of Nations and the Minority Legal Tradition. Leiden-Boston: Martinus Nijhoff Publishers.

Haryatmoko.2003.Etika Politik dan Kekuasaa, .Kompas: Jakarta. Juergensmeyer, Mark.2000. Terror

in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence. Berkeley – Los Angeles – London: University of California Press Kahmad, Dadang.2006. Sosiologi

Agama. Rosda Karya:

Marshall, Paul A. 2008.Religious Freedom in the World, Rowman & Littlefield Publishers.

(22)

Poerwadarminta,W.J.S. 2006.Kamus Umum Bahas indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Sihombing, Uli Parulian. 2008.Menggugat Bakor

Pakem: kajian hukum

terhadap pengawasan agama

dan kepercayaan di

Indonesia. Jakarta:

Indonesian Legal Resource Center.

Suaedy, Ahmad, dkk. 2007.

Politisasi Agama dan Konflik Komunal.Jakarta: The Wahid Institute.

Subhi, Muhammad. 2013.Islam dan

Politik Minoritas di

Indonesia. Makalah

dipresentasikan pada Public Lectur ISIF Cirebon pada 7 Maret 2013.

Theodorson, George A, and Achilles G. Theodorson, 1979, A

Modern Dictionary

ofSociology. New York, Hagerstown, San Francisco, London: Barnes & Noble

Douglas Sanders, “Collective

Rights,” Human Rights

Quarterly 13 (1991): 368-386

Greg Acciaioli, “Archipelagic

Culture’ as an Exclusionary Government Discourse in

Indonesia,” The Asia Pacific

Journal of Anthropology 2, 1 (2001).

Gary F. Bell, “Minority Rights and Regionalism in Indonesia: Will Constitutional Recognition Lead to Disintegration and

Discrimination?” Singapore

Journal of International and Comparative Law 5 (2001): 793-4.

John Olle, “The Campaign against ‘Heresy’: State and Society in Negotiation in Indonesia,” Paper presented to the 16th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia in Wollonggong 26 June-29 June 2006.

Jeremy Menchik, “Illiberal but not

intolerant: Understanding the Indonesian Council of Ulamas,” Inside Indonesia,

26 November 2007

Martin Van Bruinessen, Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia: Latar Belakang Sosial Budaya. (Ulumul Qur’an vol. III, No. 1)

Philips J. Vermonte dan Tobias Basuki, Masalah Intoleransi, Toleransi dan Kebebasan Beragama Di Indonesia

Gambar

Gambar. 1. Hak Kepercayaan Warga Indonesia
Gambar. 2. Interpretasi Masyarakat tentang Pandangan yang Berbeda

Referensi

Dokumen terkait

Pada diagnosa deficit perawatan diri berhubungan dengan gangguan musculoskeletal, tindakan yang dilakukan adalah:membantu sepenuhnya saat mandi atau kebersihan diri

Gambaran teknologi yang akan diterapkembangkan berupa kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan melakukan pengumpulan sampah plastik di setiap rumah penduduk dan rumah

Fenomenologi memandang komunikasi sebagai pengalaman melalui diri sendiri atau diri orang lain melalui dialog. Tradisi memandang manusia secara aktif

Hasil st udi ini m enunj uk k an bahw a penggunaan inst rum en EDI , capaian pendidik an di I ndonesia m encapai 0,955, sedangk an penggu naan inst rum en MDGs m encapai 0,9

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan. © Klementina

Pengetahuan merupakan faktor yang paling dominan, yang mempengaruhi kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet besi, terutama pengetahuan yang berkaitan dengan

[r]

Berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP-11/PJ/2013, adapun alur yang harus dilakukan oleh Unit Pelaksana Penelitian Keberatan dalam penyelesaian keberatan yang