• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etika Lembaga Negara Studi Kasus Polemik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Etika Lembaga Negara Studi Kasus Polemik"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN

KPK dan Polri: Sebuah

Pelajaran Tentang

Etika Bernegara

Departemen Kajian dan Aksi Strategis

BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA

(2)

KPK dan Polri: Sebuah Pelajaran Tentang Etika Bernegara

Konsekuensi logis dari konsepsi negara hukum sebagaimana yang tercantum di dalam pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 adalah bahwasanya pemerintahan dijalankan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan Julius Stahl terkait 4 unsur dari negara hukum (rechtstaat), yakni perlindungan hak-hak asasi manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-negara Eropa Kontinental biasanya disebut trias politica), pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur), dan peradilan administrasi dalam perselisihan1.

Prof. Jimly Ashiddiqie pun menegaskan 12 pilar utama negara hukum, dimana 4 (empat) diantaranya ialah:2

a. Supremasi hukum (supermacy of law), yakni adanya pengakuan normatif dan empiris akan prinsip supremasi hukum dimana semua permasalahan diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.

b. Asas legalitas (due process of law). Dalam setiap negara hukum dipersyaratkan berlakunya asas legalitas, yakni segala tindakan pemerintahan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.

c. Organ-organ eksekutif independen. Dalam rangka membatasi kekuasaan, harus adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan

1 Budiardjo, Miriam, 1998, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

2 Asshiddiqie, Jimly, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan

(3)

yang bersifat independen, seperti : bank sentral, organisasi tentara, organisasi Komnas HAM, KPU, dan KPK.

d. Transparasi dan Kontrol Sosial, adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum sehingga kelemahan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan dapat dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung). Sistem perwakilan di parlemen tidak dapat diandalkan sebagai saluran aspirasi rakyat, karena perwakilan fisik belum tentu mencerminkan perwakilan gagasan (aspirasi).

Konstruksi ini tentu idealnya dapat terejawantahkan dengan baik oleh pemerintahan yang menjalankan negara dengan kinerja demokrasi yang masih berkategori sedang (medium performing democracy) berdasarkan skala yang dibuat IDI (Indeks Demokrasi Indonesia) ini.3 Namun sayangnya, beberapa

waktu belakangan, polemik yang terjadi di dua institusi penegak hukum menimbulkan banyak permasalahan di bidang ketatanegaraan. Untuk itu, kajian ini akan berfokus pada polemik antara dua institusi tersebut (KPK dan Kepolisian NRI) dari perspektif ketatanegaraan.

1. Pemberhentian Jenderal Sutarman sebagai Kapolri

Presiden Joko Widodo mengumumkan pemberhentian Jend. Sutarman dalam konferensi pers yang digelar pada tanggal 16 Januari 2015 di Istana Negara.4 Untuk payung hukumnya sendiri telah ditandatangani keputusan

presiden sesuai dengan pasal 11 UU Kepolisan.5 Pemberhentian Jendral

3 Rencana Kerja Pemerintah tahun 2015.

4http://nasional.kompas.com/read/2015/01/16/20223531/Presiden.Joko

Widodo.Berhentikan.Kapolri.Jenderal.Polisi.Sutarman diakses pada 29 Januari 2015 pukul 19.30 WIB

(4)

Sutarman yang merupakan Kapolri ke-21 ini sontak mengejutkan banyak pihak. Selain masa jabatannya yang sebenarnya masih hingga bulan Oktober 2015, juga terdapat pelanggaran prosedural lain yang terjadi, yakni terhadap pasal 11 ayat 1 dan 2 undang-undang yang sama.

Di dalam pasal 11 ayat 1 UU Kepolisian tersebut dinyatakan bahwa,

Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Sementara ayat 2 berbunyi,

Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya”.

Di samping itu, Kompolnas, sebagai lembaga non-struktural yang kedudukannya berada dan bertanggung jawab kepada Presiden,6 dapat

memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.7 Pertimbangan tersebut dilakukan dengan memberikan

pertimbangan atas hasil pemantauan dan evaluasi kinerja terhadap Kapolri (untuk pemberhentian Kapolri lama) dan perwira tinggi Polri (untuk pengangkatan Kapolri baru).8

Dari rumusan pasal-pasal di atas terdapat suatu keterangan bahwasanya untuk dapat memberhentikan seorang Kapolri, Presiden tidaklah dapat bertindak secara sepihak. Presiden harus mengusulkan pemberhentian Kapolri bersangkutan beserta alasannya kepada DPR terlebih dahulu. Kemudian jika DPR menyetujui, barulah Presiden dapat mengeluarkan Keputusan Presiden sebagai payung hukum untuk pemberhentian Kapolri. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menolak usul pemberhentian Kapolri, maka Presiden

(5)

menarik kembali usulannya, dan dapat mengajukan kembali permintaan persetujuan pemberhentian Kapolri pada masa persidangan berikutnya.9 Pun

Presiden hendaknya dapat mempertimbangkan pertimbangan yang telah diberikan oleh Kompolnas.

Namun sayangnya hal tersebut hanya menjadi suatu tataran ideal yang tidak dilaksanakan oleh Presiden Joko Widodo. Hingga keluarnya Keputusan Presiden tentang pemberhentian Jend. Sutarman, tidak ada persetujuan yang diberikan oleh DPR. Hal ini semata-mata karena Presiden Joko Widodo bahkan tidak mengajukan usulan pemberhentian kepada DPR, meskipun pemberhentian Jend. Sutarman sendiri diusulkan oleh Kompolnas.10 Pun dalam hal ini, Prof.

Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum tata negara, menyatakan bahwa dalam keadaan normal, Presiden tidak dapat memberhentikan Kapolri tanpa persetujuan DPR. Jika dikaitkan kembali dengan ketentuan pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Kepolisian di atas, pemberhentian Jendral Sutarman jelas cacat hukum.

2. Pencalonan Budi Gunawan Sebagai Kapolri Berstatus Tersangka

Proses suksesi yang berlangsung di tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia mengalami hambatan ketika KPK menetapkan Budi Gunawan yang merupakan calon tunggal Kapolri yang diajukan oleh Presiden Joko Widodo sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi ketika masih menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia di Mabes Polri pada tahun 2003-2006.11 Tertanggal 12 Januari 2015, KPK mengeluarkan Surat

Perintah Penyidikan (Sprindik) terhadap Komjen Polisi Budi Gunawan yang berarti statusnya menjadi tersangka. Lebih lanjut, Budi Gunawan dijerat pasal

9 Penjelasan pasal 11 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara.

10

http://nasional.sindonews.com/read/952027/14/pemberhentian-sutarman-atas-usulan-kompolnas-1421486676 diakses pada 31 Januari 2015 pukul 01.21 WIB.

11http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/01/150113_tersangka_korupsi

(6)

12A atau B, pasal 5 ayat (2), pasal 11, atau pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini jelas menimbulkan perdebatan politik dan hukum, mengingat pengajuan Komjen Budi Gunawan merupakan hak prerogatif Presiden yang sangat kental dengan tarik-ulur politik. Namun berdasarkan pasal 46 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK mempunyai wewenang menetapkan seseorang sebagai tersangka.12 Dan tersangka berhak

mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya diajukan ke Penuntut Umum.13 Jika di kemudian hari Komjen Budi Gunawan dilantik dan

menjalankan tugasnya sebagai Kapolri, maka jelas proses yang dijalani oleh Komjen Budi Gunawan tersebut bukan hanya menjalankan kewajbannya sebagai Kapolri, akan tetapi juga proses hukum yang sedang membelit dirinya.

Berdasarkan pasal 11 ayat (6) UU Kepolisian, calon Kapolri merupakan perwira tinggi Polri aktif dengan memerhatikan jenjang pangkat dan karir.14

Konsekuensinya adalah calon Kapolri tidak dapat berasal dari eksternal Polri itu sendiri ataupun dari kader partai politik tertentu. Dalam tataran yang lebih luas, selain merupakan wewenang dari Kompolnas untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri, ada baiknya juga jika melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Meskipun tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan secara tegas, namun dengan melibatkan kedua lembaga ini diharapkan agar sang perwira tinggi Polri yang akan menjadi calon Kapolri benar-benar terbukti bersih, berintegritas, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela. Untuk memilih menteri-menteri di Kabinet

12 Pasal 46 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

13 Pasal 50 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP)

14 Pasal 11 ayat (6) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

(7)

Kerja 2014-2019 misalnya, Presiden Joko Widodo telah melaksanakan mekanisme ini.

Pada 9 Januari 2015, Presiden Joko Widodo mengirimkan surat bernomor R-01/Pres/01/2015 kepada Ketua DPR RI perihal pemberhentian dan pengangkatan Kapolri. Berdasarkan surat tersebut, Komisi III dan DPR melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test). Keterangan yang diberikan oleh Komjen Budi Gunawan pada saat itu ialah bahwa

berdasarkan surat Bareskrim bernomor

R/1016/DitTipideksus/X/2010/Bareskrim, beliau tidak terbukti memiliki transaksi keuangan tidak wajar setelah dilakukan penyelidikan oleh Polri terkait dengan Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK yang diberikan kepada Polri pada bulan Maret 2010. Akan tetapi, pada bulan Juli 2014, KPK mengirimkan surat kepada PPATK untuk menelusuri kembali rekening Komjen Budi Gunawan yang kemudian dibalas oleh PPATK pada 11 Agustus 2014. Kendati demikian, DPR menyatakan bahwa Budi Gunawan lolos uji kepatutan dan kelayakan calon Kapolri, meskipun sebelumnya KPK telah menetapkan beliau sebagai tersangka. Berkeberatan atas penetapan tersangka terhadap dirinya, Komjen Budi Gunawan menggunakan haknya untuk menempuh jalur Praperadilan.15 Akan tetapi, gugatan yang diajukan olehnya tidak lah tepat

karena penetapan tersangka tidak termasuk objek gugatan praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP. Sesuai dengan tujuan dan lingkup kewenangan dari praperadilan yaittu untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 10 KUHAP, yang termasuk ke dalam lingkup kewenangan praperadilan yaitu untuk memeriksa dan memutus: 1) sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, 2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, dan 3) permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau

15

(8)

pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Setelah gugatan diproses dan disidangkan, berdasarkan Pasal 82 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP, isi putusan praperadilan selain memuat alasan dasar pertimbangan hukum juga memuat amar (disesuaikan dengan alasan permintaan pemeriksaan) yang bisa berupa pertanyaan yang berisi: 1) sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, 2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, 3) diterima atau ditolaknya permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi, 4) perintah pembebasan dari tahanan, 5) perintah melanjutkan penyidikan atau penuntutan, 6) besarnya ganti kerugian, 7) pernyataan pemulihan nama baik tersangka, dan 8) memerintahkan segera mengembalikan sitaan.16 Oleh karena permohonan

pemeriksaan yang diajukan Komjen Pol Budi Gunawan diluar kewenangan praperadilan, penetapan dirinya sebagai tersangka akan terus berlanjut dan keputusan praperadilan tidak diperlukan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Presiden untuk menentukan langkah selanjutnya oleh karena putusan praperadilan pun tidak dapat mengubah status Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka.

Sesuai dengan UU Kepolisian, jika DPR telah menyetujui pengangkatan Kapolri, maka Presiden mengangkat calon Kapolri menjadi Kapolri. Di sinilah dilema muncul. Jika Budi Gunawan dilantik, maka akan menimbulkan rasa ketidakadilan di tengah masyarakat mengingat status tersangka yang saat ini disandangnya. Sementara jika tidak dilantik, Presiden akan kembali tidak mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwasanya jika telah disetujui DPR, maka Presiden melantik calon Kapolri bersangkutan menjadi Kapolri. Belum lagi desakan untuk mengangkat Kapolri baru ketika Kapolri yang lama telah diberhentikan (satu paket), seperti pendapat Prof. Yusril Ihza Mahendra selaku salah satu perumus UU Kepolisian. Kondisi

16 M. Yahya Harahap, S.H., M.H., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

(9)

ini tak ubahnya makan buah simalakama; jika dilantik menimbulkan masalah, tidak dilantik juga menimbulkan masalah.

3. Penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto Oleh Bareskrim Mabes Polri

Di tengah-tengah goncangan di tubuh Kepolisian NRI dan Presiden ini, muncul lagi kasus baru; penangkapan Bambang Widjojanto yang merupakan wakil ketua KPK atas kasus dugaan pemberian keterangan palsu pada persidangan PHPUD Kota Waringin Kalimantan Barat di MK pada tahun 2010 oleh Bareskrim Polri. Kasus ini sendiri telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 7 Juli 2010.17 Bambang dikenakan pasal 242 jo. 55 KUHP terkait

dengan dugaan suruhan untuk memberikan keterangan palsu. Menanggapi proses hukum yang berlangsung pada dirinya, Bambang mengambil sikap yaitu mengundurkan diri sementara dari jabatannya selaku Wakil Ketua KPK.18 Sikap

yang diambil Bambang merupakan moral hukum karena UU No. 30 Tahun 2002 mengatur, dalam hal Pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, maka yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya.19

Pasal 32 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2002 mengatur bahwa pemberhentian tersebut ditetapkan oleh Presiden RI. Dalil inilah yang kemudian digunakan oleh Pimpinan KPK atas penolakannya terhadap permohonan pengunduran diri sementara yang diajukan oleh Bambang. Pimpinan KPK mengatakan bahwa penetapan tersangka Bambang tersebut merupakan rekayasa namun begitu keputusan permberhentian sementara Bambang Widjojanto tetap berada di tangan Presiden.20 Kasus penangkapan Bambang yang tidak sesuai dengan

KUHAP pun kembali menyedot perhatian masyarakat. Perhatian tersebut bukan

17 Putusan Nomor 45/PHPU.D-VIII/2010

18http://nasional.kompas.com/read/2015/01/26/14294941/

Jadi.Tersangka.Bambang.Widjojanto.Ajukan.Pengunduran.Diri.Sementara.da ri.KPK., diakses 1 Februari 2015.

19 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga

(10)

hanya dikarenakan prosedur upaya paksa yang tidak sesuai dengan KUHAP, namun juga karena di mata masyarakat terdapat sebuah permainan bola panas yang terjadi di antara dua institusi penegakan hukum di negeri ini. Hal ini jelas membawa pertanyaan besar dalam benak kita semua; apa yang akan terjadi jika kedua lembaga ini terus berseteru mengingat posisi dan peran yang dimiliki oleh keduanya. Lembaga penegak hukum yang seharusnya independen dan terbebas dari lingkaran politis, sekarang justru terjebak di dalam semrawutnya arus kepentingan yang melanda (Kajian terkait dengan prosedur penangkapan Bambang Widjojanto ini sebelumnya telah dibuat dan dirilis oleh BEM FHUI 2015).21

3. Pengangkatan Komjen Pol Badrodin Haiti Sebagai PLT Kapolri

Dilema mengenai pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri berujung dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden yang menunda pelantikan Budi Gunawan serta Keputusan Presiden yang mengangkat Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai PLT Kapolri. Hal ini justru memperkeruh suasana pemerintahan yang saat ini tidak stabil. Berdasarkan pasal 11 ayat (5) UU Kepolisian dinyatakan PLT Kapolri hanya dapat ditunjuk ketika keadaan mendesak, yang kemudian diperjelas dalam penjelasan pasal tersebut bahwasanya yang dimaksud dengan keadaan mendesak ialah jika Kapolri yang sedang menjabat melanggar sumpah jabatan atau membahayakan keamanan negara.22 Padahal

saat ini, dua variabel tersebut diatas sama sekali tidak terpenuhi. Oleh karena itu, pengangkatan PLT Kapolri adalah bisa dibilang cacat hukum.

20

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54c66143936f3/pimpinan-kpk-tolak-pengunduran-diri-bambang-widjojanto, diakses 2 Februari 2015.

21 Lihat: http://issuu.com/bemfhui2015/docs/bw_arrestment.docx 22 Penjelasan pasal 11 ayat (5) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

(11)

Padahal, terdapat cara yang dapat dilakukan oleh Presiden Joko Widodo tanpa harus melanggar ketentuan perundang-undangan. Cara tersebut adalah dengan melantik Budi Gunawan terlebih dahulu menjadi Kapolri, namun kemudian segera dinonaktifkan. Ketika Budi Gunawan dinonaktifkan, maka Presiden baru dapat mengangkat PLT Kapolri untuk menjalankan tugas dan peran dari Kapolri. Langkah seperti ini diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan di dalam proses pergantian tampuk kepemimpinan di Kepolisian NRI tanpa harus melangkahi peraturan perundang-undangan di dalam hukum ketatanegaraan.

4. Dilaporkannya Beberapa Orang Komisioner KPK ke Kepolisian

(12)

Jika kemudian ke-3 pimpinan KPK di atas (Abraham Samad, Zulkarnain, dan Adnan Pandu Praja) juga ditetapkan sebagati tersangka oleh KPK (seperti halnya Bambang Widjojanto), maka mereka diberhentikan sementara23 dengan penetapan oleh Presiden.24 Tidak bisa serta merta berhenti

tanpa adanya penetapan Presiden terlebih dahulu.

Analogi bahwasanya hukum dan politik ibarat tulang dan daging adalah analogi yang tepat untuk menggambarkan bagaimana kedua hal ini saling terkait. Curzon (1979:44) menyatakan bahwa hukum dan politik mempunyai keterikatan erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Akan tetapi, apa yang kita dapat pelajari dari kasus ini adalah jangan sampai memanfaatkan hukum sebagai alat transaksi politik.

Kesimpulan

Negara ini telah berusaha menjadikan asas-asas sebagai hukum tertulis. Di dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme disebutkan penyelenggaraan negara harus mengacu pada asas umum penyelenggaraan negara, yaitu asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas. Hendaknya asas-asas umum pemerintahan yang baik ini tidak hanya mengendap dalam tataran utopis belaka, namun dapat dikonkretisasi melalui berbagai macam bentuk kebijakan dan sikap yang akan diambil oleh pemerintah, khususnya Presiden Indonesia ke depannya. Sebagai negara hukum, baik KPK maupun Polri memiliki perannya masing-masing sebagai institusi penegak hukum. Polri, dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, dijelaskan sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Kemudian,

23 Pasal 32 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

24 Pasal 32 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

(13)

dalam Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 dijelaskan bahwa Polri merupakan salah satu dari fungsi-fungsi pemerintahan negara dalam bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum (law enforcement), perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.25 Pasal 1 butir 3

UU No. 30 Tahun 2002 menjelaskan bahwa Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk melakukan serangkaian upaya yang demikian komprehensifnya, dibentuklah KPK yang secara tegas dinyatakan status hukum komisi ini, menurut Pasal 3 UU No. 30 Tahun 2002, sebagai lembaga negara yang melaksanakan tugas dan wewenangnya yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.26 Mengingat vitalnya kedua institusi ini sebagai

penegak hukum di Indonesia, tidaklah arif memihak kepada salah satu diantara keduanya secara institusional. Polri dalam menjalankan tugasnya harus sedia menjaga wibawa dan kepercayaan masyarakat sebagaimana yang telah dimaktubkan dalam Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002. Pun begitu dengan KPK yang harus menjaga independensi dan integritasnya sebagai institusi penegak hukum, khususnya di bidang pemberantasan korupsi. Karena dengan sokongan kedua institusi yang saling suportif inilah penegakan hukum di negeri ini mampu tegak dengan kokoh.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan pada 6 Oktober hingga 12 Desember 2014 dengan tujuan mengetahui pengaruh faktor kualitas air terhadap tingkat infeksi WSSV pada udang vannamei

kepada yang bersangkutan didasarkan perolehan karyawan sebagaiaana ditetapkan dalaa aa«r Keenpat Surat Keputusan Menteri Teftaga Kerja No. Apabila karyawan sakit dilokasi

Sebuah terobosan baru dilakukan dengan jagung sebagai bahan dasar pembuatan susu jagung dan nugget jagung untuk cemilan anak usia dini yang bebas bahan pengawet, yang

“Dalam perjalanan selama ini memang TMII belum ada suatu SOP yang mengatur tentang kerjasama dengan media massa tapi dalam pelaksanaannya kami focus untuk melakukan

Penyelenggaraan SRG yang dilakukan oleh pengelola KSU Annisa telah berkembang menjadi satu unit usaha produktif, mendukung usaha kelompok dalam pemasaran hasil produksi

4 Memastikan semua data Pendidikan Islam di sekolah diterima daripada semua sekolah yang diselia 3 hari sebelum tarikh akhir penyerahan. 5 Memastikan Laporan Impak Pembangunan

Berdasarkan hasil penelitian tentang Uji Resistensi Bakteri Escherichia coli yang diisolasi dari plak gigi terhadap merkuri dan antibiotik Kloramfenikol dapat diketahui

Qur’an ditujukan kepada orang Arab yang tidak mungkin memuat sesuatu yang tidak dipahami atau belum dikenal pada masanya, (3) kelemahan teologis, bahwa al-Qur’an