• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebakaran Hutan dan Lahan Di Kalimantan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kebakaran Hutan dan Lahan Di Kalimantan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebakaran hutan dan lahan awalnya terjadi pada tahun 1870 yakni hilangnya hutan – hutan primer karena cepatnya peningkatan populasi penduduk yang disertai dengan aktivitas manusia seperti api untuk berburu dan pembersihan lahan, akses jalan, serta perubahan hutan menjadi lahan peternakan (Whitmore, 1975). Berdasarkan pengalaman sejarah, tingkat kebakaran hutan di Indonesia yang cukup tinggi, terjadi di Kalimantan Timur pada tahun 1972, Kemudian tahun 1982/1983 yang menghancurkan 3,2 juta hektar, hingga puncaknya pada tahun 1997/1998 (Wijaya, 2000).

Data terbaru menunjukan bahwa dalam kurun tiga tahun terakhir tercatat sedikitnya empat kasus besar kebakaran hutan dan lahan di pulau sumatera dan Kalimantan. Berdasarkan data yang kami dapatkan pada tahun 2012 di Kab. Kayong Utara, Prov. Kalimantan Barat 50 Ha lahan terbakar. Pada tahun 2013 kebakaran terjadi di Kab. Siak dan Kota Dumai, Prov. Riau menghanguskan 2.500 s/d 3.000 ha area hutan, Kab Pekan Raya, Prov. Riau lahan seluas 800 ha lahan gambut terbakar, di Kota Banjar Baru dan Kab. Banjar Provinsi Kalimantan Selatan ± 100 ha lahan gambut dan lahan pertanian terbakar. (geospasial.bnpb.go.id)

(2)

umumnya pada waktu kegiatan berladang, khususnya pada tahap pembakaran ladang. Pada peristiwa kebakaran tahun 1997/1998 seluruh masyarakat ikut serta dalam proses pengendalian kebakaran hutan yang terjadi termasuk kaum ibu-ibu. Dengan skala yang lebih luas keadaan ini berbeda dengan saat pembukaan ladang, dalam hal mana pembakaran hanya dilakukan oleh para pemilik ladang. Kegiatan ini dikoordinir langsung oleh kepala desa dengan dibantu oleh staf desa. (Wijaya, 2002).

Melihat potensinya yang begitu besar, eksplorasi ini sengaja dilakukan untuk menambah perbendaharaan solusi tepat guna yang efekif dan efisien bagi pemangku kebijakan – kebijakan publik bahwa pelibatan penyelesaian masalah ini haruslah meliputi semua elemen baik sipil maupun pemerintahan.

1.2. Perumusan Masalah

Untuk mencapai tujuan penulisan karya ilmiah ini, maka berikut adalah rumusan masalah yang akan diuraikan antara lain:

1. Bagaimana Kondisi dan Dinamika Kearifan Lokal dalam Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan pada Masyarakat Dayak Benuaq?

2. Pendayagunaan Kearifan Tradisional Penanggulangan Kebakaran Hutan/Lahan Dayak Benuaq.

1.3. Maksud dan Tujuan Penulisan

1. Mempelajari dan mendeskripsikan elemen-elemen utama praktek pengelolaan api sebagai bagian dari kearifan lokal masyarakat Dayak Benuaq.

2. Menganalisis dan merumuskan strategi pendayagunaan (revitalisasi) kearifan lokal dimaksud, guna mendukung upaya penanggulangan dan pengelolaan kebakaran hutan dan lahan yang lebih efektif.

1.4. Manfaat

(3)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1.Sejarah Kebakaran Hutan dan Lahan

Analisis terhadap arang (karbon) dari tanah Kalimantan menunjukkan bahwa hutan telah terbakar secara berkala dimulai, setidaknya sejak 17.500 tahun yang lalu. Kebakaran besar kemungkinan terjadi secara alamiah selama periode iklim yang lebih kering dari iklim saat itu. Namun, manusia juga telah membakar hutan lebih dari 10 ribu tahun yang lalu untuk mempermudah perburuan dan membuka lahan pertanian. Catatan tertulis satu abad yang lalu dan sejarah lisan dari masyarakat yang tinggal di hutan membenarkan bahwa kebakaran hutan bukanlah hal yang baru bagi hutan Indonesia (Schweithelm dan Glover, 1999).

Sedangkan, Kejadian kebakaran hutan dan lahan yang terekam sebagai kebakaran hutan terbesar di Kalimantan Timur adalah kejadian pada tahun 1982/1983. Sejak itu, kebakaran besar yang menjadi perhatian nasional dan dunia secara periodik terulang kembali seperti tahun 1987, 1991, 1994 dan yang paling hebat adalah tahun 1997/1998 yang lalu.

(4)

hutan itulah hingga saat ini banyak dijumpai ‘arang hitam’ yang berlimpah dibawah perut bumi Kaltim.

Secara kronologis, kejadian kebakaran hutan dan lahan yang seringkali terjadi di Kalimantan Timur diawali oleh musim kemarau yang panjang. Berdasarkan catatan sejarah musim kemarau panjang selama lebih dari 6 bulan pernah terjadi pada tahun 1778. Kemarau terpanjang yang lebih dari 9 bulan pernah terjadi pada tahun 1940-an. Namun demikain hingga sebelum tahun 1970-an, meski terjadi kemarau panjang lebih dari 6 bulan tersebut belum pernah terjadi kebakaran hutan dan lahan. Oleh karenanya sewaktu peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang hebat tahun 1982/1983 dinilai sangat mengejutkan karena secara teoritis hutan hujan tropis lembab sulit terbakar secara alami.

2.2.Sebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Timur

Pada dasarnya tidak semua areal hutan dan lahan mudah terbakar. Menurut Oemijati (1986) mengutip dari Bahruni, kelas kebakaran di hutan hujan tropis sangat rendah, yaitu kelas satu. Dengan demikian tipe hutan ini pada dasarnya sulit sekali untuk terbakar.

Namun kenyataanya, Davis (1959), dalam Oemijati (1986), menyatakan bahwa 90% dari 120.000 peristiwa kebakaran penyebabnya adalah manusia. Sedangakan alam dan lain-lain (penyebab yang belum diketahui secara pasti) hanya mengambil bagian yang sangat kecil. Faktor manusia sebagai penyebab kebakaran dapat disebabkan oleh kesengajaan maupun ketidaksengajaan. Seberapa besar perbandingan antara yang disengaja dengan yang sengaja belum diketahui secara pasti diperlukan studi yang khusus dan mendalam untuk mengetahuinya.

(5)

Gambar 1. Trilogi Api

hutan, meningkatkan kualitas lahan pengembalaan, memburu satwa liar, mengusir satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan sebagainya (Soeriaatmadja, 1997).

Dalam dunia penanggulangan bencana kita semua tentu telah mengenal istilah trilogi kebakaran yang menjadi dasar timbulnya api, komponen penyusunnya adalah bahan bakar, udara, panas yang kemudian saling bereaksi membentuk api. Tiga komponen ini sangat mungkin hadir ketika musim kemarau panjang datang, dengan diperkuat fakta bahwa sebagian besar manusia menggunakan teknologi api sebagai alat

pengubah lingkungan hidup dan sumber daya alam tanpa memeperhitungkan kondisi iklim setempat karena rendahnya taraf pendidikan. Hal itu dibuktikan dengan catatan Oemijati (1986) mengutip dari Bahruni, yang menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terbesar tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998 terjadi karena dukungan musim kemarau yang sangat panjang, sehingga bahan bakar di hutan semakin banyak dan mongering.

Data menunjukan bahwa dalam kurun tiga tahun terakhir tercatat sedikitnya empat kasus besar kebakaran hutan dan lahan di pulau Sumatera dan Kalimantan. Berdasarkan data yang kami dapatkan pada tahun 2012 di Kec. Simpang Hilir, Kab. Kayong Utara, Prov. Kalimantan Barat 50 Ha lahan terbakar, pada tahun 2013 kebakaran terjadi di Kec. Mandau, Kab. Siak. Kec. Bukit Kapur, Kota Dumai, Prov. Riau menghanguskan 2.500 s/d 3.000 ha area hutan, Desa Rimba Panjang dan Desa Siabu, Kec. Kuwok, kec. Tapung Hulu, Kec. Tiga Belas, Kec. Tambang, Kota kampar, Kab Pekan Raya, Prov. Riau lahan seluas 800 ha lahan gambut terbakar, di Kota Banjar Baru Kab. Banjar Provinsi Kalimantan Selatan 2013 ± 100 ha lahan gambut dan lahan pertanian terbakar (geospasial.bnpb.go.id).

(6)
(7)

2.3.Definisi dan Ruang Lingkup Kearifan lokal

Berbicara tentang kearifan lokal maka mengajak kita kembali pada periode zaman batu (stone-age periode). Akan tetapi hal ini justru penting, karena kita dapat mengerti dan memahami bagaimana masyarakat lokal memperlakukan sumber daya alam yang berada di dalam hutan. Menurut banyak teori menyampikan bahwa hubungan antara masyarakat lokal dengan sumberdaya alam khususnya hutan di sekitarnya bahwa ‘ kearifan lokal ‘ identik dengan ‘pengetahuan tradisional’. Menurut Zakaria (1994), kearifan tradisioal yang mana termasuk di dalamnya kearifan lingkungan merupakan kebudayaan yang dimiliki pada masyarakat tertentu yang mencangkup didalamnya sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model – model pengelolaan sumberdaya alam secara lestari. Bawasannya pengetahuan yang dimaksud yakni citra lingkungan tradisional yang didasarkan pada system religi, yang bercorak kosmismagis dan mandang manusia adalah bagian dari alam lingkungan itu sendiri, dimana terhadap roh – roh yang bertugas menjaga kesimbangannya. Oleh karenanya untuk menghindarkan bencana atau malapetaka yang bisa mengancam kehidupannya, manusia wajib menjaga hubungannya dengan alam semesta, yang mana termasuk juga dalam pemanfaatannya harus bijaksana dan bertanggung jawab.

(8)

Tabel 1. Kearifan Lokal Masyarakat suku Dayak terkait dengan Pemanfaatan Sumberdaya Alam (tumbuhan, binatang, factor non-hayati lainnya) dan proses alam sehingga harus memelihara serta wajib melakukakan penanaman kembali. Mengutamaka berburu binatang – binatang yang

menjadi hama lading.

3 Teknik dan Teknologi.  Membuat berbagai perlengkapan/atat rumah tangga 4 Praktik dan Tradisi Pengelolaan

Hutan/Lahan.

Membudidayakan jenis tanaman hutann yang berharga.

Melakukan koleksi pada sebuah tanaman hutan.

2.4.Gambaran Umum Masyarakat Dayak Benuaq

Desa Sakak Lotoq termasuk dalam wilayah Kecamatan Melak, Kabupaten Kutai Barat. Desa yang terletak di pinggir Sungai Sakak dan Sungai Lotoq (disebut “Desa Sakak Lotoq” karena diapit kedua sungai tersebut). Aksesibilitas menuju

desa diperlukan waktu kurang lebih 20 jam. Luas wilayah Desa Sakak Lotoq 5100 ha, dengan etnik Benuaq Londong yang bermukim sejak tahun 1700-an (perpindahan dari Desa Tiwei Kabupaten Paser). Secara administratif Desa Sakak

Jumlah penduduk desa 425 jiwa (111 KK), sebagian besar masyarakat Sakak Lotoq beragama Kristen Protestan (suku

Dayak Benuaq Londong, Tunjung dan Bahau), dan Islam (suku Kutai, Jawa dan Banjar). Tingkat pendidikan masyarakat tergolong rendah namun untuk generasi mudanya ada beberapa yang lulusan SLTA. Mata pencaharian masyarakat sebagai petani ladang, guru,

Gambar 2. Peta Kalimantan Timur

(9)

Pegawai Negeri Sipil (PNS), karyawan perusahaan, pengumpul hasil hutan. (Sumber: Data sekunder dan Monografi Desa Sakak Lotoq Tahun 2000 (diolah)) Masyarakat Desa Sakak Lotoq didominasi oleh suku Dayak Benuaq Londong, yang berasal dari pindahan Desa Tiwei Kabupaten Paser yang pindah karena alasan ekonomi (sekitar tahun 1700-an), untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2. berikut :

Tabel 2. Kejadian/Peristiwa Penting yang Terjadi di Desa Sakak Lotoq, Kecamatan Melak, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur

Tahun Kejadian

Kejadian/ Peristiwa Penting

1700-an Masyarakat suku Dayak Benuaq pindah dari daerah Tiwey, Kabupaten Paser ke Sungai Mahakam dan menyebar di anak-anak sungainya termasuk Sungai Sakak di kanan mudik Sungai Mahakam dan di kenal sebagai suku Dayak Benuaq Londong. Saat itu pemukiman berada di Gunung Rampah (Lamin Sembuan)

1800-an Beberapa orang suku Dayak Benuaq Isuy dan suku Dayak Tunjung berpindah dan bergabung dengan suku Dayak Benuaq Londong di Sungai Sakak. Pemukiman di sebelah hilir yaitu di Sungai Lotoq (Lamin Lotoq Seberang)

1900-an Dari Gunung Rampah pindah ke daerah Jaatn (Lamin Jaatn)

1910-an Lamin Lotoq Seberang dibongkar dan pindah ke Sungai Lotoq dekat Sungai Sakak (Lamin Lotoq) yang masih ada hingga saat ini

1930-an Lamin Jaatn di bongkar dan pindah semua ke Lamin Lotoq untuk mendekati pelayanan kesehatan dan pendidikan

1942 Desa Sakak Lotoq berdiri menjadi desa definitif dengan nama “Sakak Lotoq”. Penamaan tersebut dikarenakan letak pemukiman yang bera-da diantara dua sungai yaitu Sungai Sakak dan anak sungainya yaitu Sungai Lotoq

1950-an Membuat terusan Sungai Sakak di dekat Desa Gemuruh ke Sungai Mahakam untuk mempercepat jalur transportasi air yang sebelumnya harus melalui Muara Jawaq dan memerlukan waktu yang lama. Pe-nggalian dilakukan selama 4 (empat) bulan dan saat ini dikenal sebagai sungai ‘nkali’ (galian)

1970-an Beberapa HPH beroperasi di sekitar wilayah adat desa antara lain PT. Jayanti Jaya, PT. Jatitrin, PT. RTC dan PT. Marimun Timber (eks Perusahaan Philipina)

1973 Wabah penyakit muntaber/kolera melanda Desa Sakak Lotoq yang menyebabkan banyaknya warga masyarakat yang meninggal dunia sehingga banyak masyarakat yang pindah ke daerah lain seperti Sebulu dan Sungai Payang (Jembayan)

1982-1983 Kemarau panjang menyebabkan kebakaran hutan di daerah se-belah kanan mudik Sungai Sakak, khususnya di daerah hilir dekat perbatasan dengan Desa Gemuruh.

1990 Merintis jalur jalan untuk transportasi darat sebagai alternatif jika air sungai surut dan tidak adanya sarana transportasi air. Kegiatan di-lakukan bersama mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Unmul dan warga desa sekitarnya

1994/1995 Pembangunan perumahan transmigran Gunung Rampah di Desa Sakak Lotoq

Maret 1997 Warga Transmigran Gunung Rampah dari Jawa dan trans-lokal mulai mendiami pemukiman Mei 1997 Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) Karet oleh PT. Inhutani I dengan target

4500 ha

1997/1998 Kemarau panjang dan kebakaran hutan di wilayah hulu sebelah ka-nan mudik Sungai Sakak.

Maret 2000 PT. Inhutani I yang mengelola HTI tutup karena tidak ada kese-pakatan mengenai lahan dengan masyarakat

Agustus 2000 Demontrasi warga menuntut ganti rugi dan denda adat atas pem-balakan hutan adat oleh PT. Marimun Timber

(10)

BAB III

METODE PENULISAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Secara metodologis, karya tulis ilmiah ini menggunakan pendekatan eksploratif, yaitu dari pengumpulan data/informasi dari sumber-sumber sekunder dan didukung dengan data primer dari nara sumber

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di lingkungan kampus universitas mulawarman, yayasan BIOMa, dan Kantor GIZ, Dinas Kehutanan Samarinda pada tanggal 23 Januari s.d. 28 Februari 2015.

3.3 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan berbentuk pertanyaan – pertanyaan wawancara dalam rangka penggalian informasi yang lebih dalam kepada para narasumber. Peralatan utama pembuatan karya ilmiah ini adalah alat tulis manual maupun elektronik.

3.4 Metode Pengumpulan Data dan Informasi

Penelitian ini dilakukan dengan Studi yang bersifat eksploratif, mengkombinasikan metode on desk study dengan telaah dokumentasi dari berbagai sumber data sekunder dengan teknik wawancara. Wawancara dilakukan dengan cara bertatap muka dengan narasumber baik secara formal maupun informal sesuai dengan situasi dan kondisi yang mendukung untuk menghindari adanya non respon dan respon error sehingga didapatkan hasil wawancara yang lengkap tentang objek penelitian. Wawancara ditunjukan kepada beberapa pihak yang memiliki data dan informasi yang valid dan terpercaya.

3.5 Metoda Analisis

(11)

penulisan. Data yang telah dikumpulkan kemudian diseleksi, dikelompokkan, dilakukan pengkajian dengan mengidentifikasi dan menginterpretasikan data dan informasi dari sumber informasi. Khusus untuk pengembangan strategi didukung dengan analisis SWOT (Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman) secara sederhana. Kemudian disimpulkan dan disajikan dalam bentuk naratif.

BAB IV

(12)

4.1 Kondisi dan Dinamika Kearifan Lokal Penanggulangan Kebakaran Masyarakat Dayak Benuaq.

Keberadaan pengetahuan dan kearifan tradisional yang tumbuh dan berkembang di masyarakat lokal merupakan satu aset berharga dalam pengembangan sistem pencegahan dan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan. Pengembangan program yang berbasis pada kearifan dan pengetahuan yang bersumber dari masyarakat lokal terutama menekankan pada aspek pencegahan bencana kebakaran yang ditunjang dengan aspek penanggulangan secara sederhana. Program yang dimaksudkan sebagai salah satu bentuk pendekatan pencegahan dan/atau penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dengan penekanan pada aspek kebijakan, teknologi dan mekanisme.

Dengan kearifan lokal dan teknologi tradisional yang dimiliki, mereka mampu membuktikan bahwa walaupun telah dilaksanakan dalam waktu yang lama dan turun temurun, pola perladangan yang mereka lakukan terbukti aman dan mampu memberikan hasil yang berkesinambungan Hubungan antara mereka dengan hutan terlihat sangat erat dengan pola pemanfaatan yang masih terbilang sederhana baik dalam hal pemanfaatan hasil hutan kayu maupun non kayu. Berikut adalah dokumentasi naratif tentang kearifan lokal penggunaan api oleh masyarakat Dayak Benuaq.

Teknologi Tradisional Pengendalian Api ♻ Lingkungan hutan dan penggunaan api

(13)

♻ Pengorganisasian dalam pengendalian api

Selain pada saat kegiatan berladang, alat-alat tradisional pengendalian api juga digunakan pada peristiwa kebakaran hutan, khususnya dalam membuat sekat bakar dan penjagaan di sekitar sekat bakar. Hal ini disebabkan karena alat tersebut tidak memadai untuk memadamkan kebakaran hutan sehingga penggunaan alat lebih ditekankan untuk upaya pencegahan (preventive) supaya api tidak melewati sekat bakar yang dibuat dan tidak menyebar kemana-mana. Pada peristiwa kebakaran tahun 1997/1998 seluruh masyarakat ikut serta dalam pembuatan sekat bakar dan melakukan upaya penjagaan, termasuk kaum ibu-ibu. Keadaan ini berbeda dengan saat pembukaan ladang, dalam hal mana pembakaran hanya dilakukan oleh para pemilik ladang. Kegiatan ini dikoordinir langsung oleh kepala desa dengan dibantu oleh staf desa. ♻ Aturan adat dalam kegaitan pengendalian api.

Beberapa aturan adat dalam kaitannya dengan pengendalian api, terutama aturan/tradisi sebelum melaksanakan pembakaran ladang. Saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat desa Sakak Lotoq, antara lain:

 Dilarang mandi pagi pada hari pembakaran ladang dengan maksud agar pada saat kegiatan pembakaran ladang tidak terjadi turun hujan.

 Membersihkan/menyapu halaman rumah sebelum pergi ke ladang dengan tujuan pada saat membakar ladang api tidak menyebar kemana-mana.

 Menggantung tampi dengan gambar manusia di depan rumah (gambar manusia sedang mengkipas) dimaksudkan supaya banyak angin pada proses pembakaran sehingga batang maupun ranting yang dibakar cepat terbakar.

(14)

 Untuk pembakaran pertama menggunakan daun “juang” yang diiris/dihancurkan, dimasukkan dalam bambu dan kemudian dibakar. Dimaksudkan supaya api pada saat pembakaran tidak menyebar kemana-mana. Pembakaran dilakukan setelah matahari mulai condong ke arah barat yaitu kurang lebih pukul 13.00.

 Melihat arah angin: pembakaran dilakukan searah dengan angin, dimaksudkan untuk melihat arah angin dengan melihat ujung-ujung pohon. Bila ladang berada di daerah miring, pembakaran dilakukan dari bagian yang rendah.

Aturan-aturan tersebut sudah ada sejak dahulu dan tetap ditaati oleh masyarakat sampai sekarang. Namun demikian ada beberapa aturanaturan yang menurut masyarakat sendiri sudah jarang digunakan karena dirasa bertentangan dengan agama.

♻ Sistem Peringatan Dini.

Sistem peringatan dini (early warning system) adalah tanda - tanda yang digunakan sebagai peringatan awal akan datangnya musim kemarau panjang sehingga tidak baik dalam kondisi tersebut masyarakat menyalakan api selain itu, juga sebagai tanda adanya anggota masyarakat yang sedang melakukan pembukaan lahan. Secara umum sistem peringatan dini yang digunakan oleh masyarakat benuaq dibagi mejadi tiga bagian:

1) Melihat perilaku flora dan fauna.

 Jika sejenis burung yang biasa bersarang di pohon – pohon sekitar sungai, bersarang lebih rendah dari biasanya.

 Sejenis capung atau serangga dalam jumlah banyak beterbangan di atas sungai.

 Pohon madu bebunga lebat.

 Berbagai jenis pohon meranti berbuah lebat. 2) Melihat fenomena alam.

(15)

 Pergeseran garis edar matahari agak ke selatan, dilihat dengan cara melihat bayangan pada tongkat kayu yang ditancapkan.

3) Firasat, mimpi,dan kepercayaan masyarakat.

 Para tetua adat dianggap sebagai jembatan jiwa antara manusia dengan roh, biasanya para tetua memiliki firasat akan terjadi kemarau panjang.

 Dukun atau tabib (pemeliatn) bermimpi menjemur ikan asin.

 Jika ada seseorang atau lebih melakukan penyimpangan (beehuuaq) maka, diyakini bahwa kemarau panjang akan datang.

♻ Peralatan yang digunakan.

Beberapa alat tradisional pengendalian api yang digunakan oleh masyarakat merupakan warisan dari pendahulu mereka. Alat-alat tersebut biasanya dibuat sendiri oleh masyarakat dengan bahan-bahan yang tersedia dari alam. Beberapa alat yang digunakan oleh masyarakat Desa Sakak Lotoq dalam pengendalian api disajikan pada Tabel 3. di bawah ini:

Tabel 3. Peralatan yang Dipergunakan dalam Kegiatan Marepm Api di Desa Sakak Lotoq, Kecamatan Melak, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur

No Gambar

Peralatan

Nama Peralatan Fungsi Bahan Pembuatan

1. Pocet Dipergunakan pada saat memadamkan api

Dibuat dari bambu (balo bane), kayu (bagian dalamnya) yang dibalut kain pada bagian ujungnya.

2.

Topoq

(16)

3. Gawaakng, Kiba Untuk membawa topoq Tempat membawa air yang dibuat dari rotan

4. Pemupar apuy Untuk memadamkan atau memukul api

Dari tumbuhan hidup utamanya jenis pisangpisa-ngan (jojotn, sewet) atau dari ranting jenis tumbuhan yang lain

5. Manau Untuk merintis dalam pembu-atan sekat bakar.

Dibuat dari logam dan kayu

6. Agit Alat pengait dalam menebas

Dari ranting atau akar yang berbentuk kaitan

7. Pengokot Alat untuk membersihkan /menyapu lahan dalam pembuatan sekat bakar

Terbuat dari rotan yang dibelah ujungnya dan dianyam.

8 Beliung Alat untuk menebang pohon dalam pembuatan sekat bakar.

Terbuat dari besi + kayu yang dililit dengan rotan, dan terbuat dari besi

Sumber: Bioma (2000)

4.2. Pendayagunaan Kearifan Tradisional Penanggulangan Kebakaran Hutan/Lahan Dayak Benuaq

(17)

Analisis sederhana ini melibatkan 4 (empat) faktor analisis berupa kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dari kearifan lokal masyarakat Dayak Benuaq yang menjadi objek penelitian. Berdasarkan telaah yang telah kami lakukan, maka didapatlah pengelompokan sederhana berikut.

a. Kekuatan:

 Hingga sekarang penggunaan teknologi tradisional masih ada, dan digunakan oleh masyarakat pada kelompok tertentu dan sebagian kelompok lagi telah mengkombinasikannya dengan kondisi sekarang.

 Dalam pembukaan ladang dengan cara membakar masyarakat masih mempertahankan kebiasaan dari nenek moyang mereka yang diyakini dapat mencegah terjadinya kebakaran hutan.

 Bentuk dan cara pengunaan alat–alat tersebut sangat sederhana sehingga setiap orang dapat membuat dan menggunakannya tanpa memerlukan ketrampilan khusus.

 Bahan dan peralatan yang diciptakan disesuaikan dengan kebutuhan, disamping itu mudah untuk mendapatkan bahan bakunya dan proses pembuatannya.

 Kegiatan untuk pengendalian api pada dasarnya telah terorganisir secara kekeluargaan yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat hingga sekarang. Pengorganisiran ini pertama kali dilakukan terutama pada saat kegiatan yang melibatkan orang banyak dan sifatnya kekeluargaan, salah satunya adalah saat membuka ladang.

 Aturan adat yang masih ditaati.

 Tingginya tingkat kemandirian masyarakat yang diindikasikan dengan adanya dana swadaya untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan yang terjadi.

 Pada masyarakat lokal tradisional masih banyak ditemukan dan dipraktekkan teknologi lokal dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang terbukti cukup efektif, murah dan mudah.

(18)

 Keberadaan lembaga adat untuk beberapa kelompok masyarakat sangat penting artinya dalam mengatur kehidupan masyarakat, disisi lain kelompok dengan ketentuan lain (tanpa lembaga adat) menggunakan aturan main tersendiri yang diatur oleh tokoh masyarakat sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.

 Dibeberapa kelompok masyarakat yang lain, yang telah masuk program kegiatan pengendalian api telah ada kelompok organisasi yang mengaturnya.

 Adanya lembaga-lembaga dan sumberdaya manusia yang bersedia untuk berpartisipasi.

 Tingginya keinginan masyarakat untuk mempertahankan teknologi tradisional pengendalian api.

c. Kelemahan:

 Aturan-aturan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat masih bersifat lisan dan lebih banyak mengatur tentang hubungan sosial kemasyarakatan.

 Bentuk kelembagaan khusus yang menangani kebakaran hutan dan lahan belum ada kecuali di Desa Jerang Melayu, sehingga sampai saat ini biasanya masalah ini ditangani oleh lembaga pemerintahan desa dan lembaga adat.

 Dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan yang terjadi masyarakat lebih banyak mengandalkan kemampuan sendiri dan bantuan yang ada dari pihak perusahaan yang ada di sekitar desa mereka masih sangat terbatas.

 Hambatan utama dan banyak ditemukan dalam pengembangan pengelolaan kebakaran hutan dan lahan berbasiskan masyarakat adalah masalah dana (alokasi dan sumber), peralatan (termasuk sarana dan prasarana), organisasi dan kelembagaan, sistem informasi dan koordinasi, kepedulian dan komitmen para pihak, status dan kepastian kawasan, lemahnya pengawasan, dan kondisi sosial ekonomi dan budaya lokal.

(19)

 Pola pewarisan aturan-aturan adat tersebut dilakukan melalui proses penuturan dari generasi tua kepada generasi muda dan proses mencontoh, sehingga ada kemungkinan pewarisan adat tidak berlangsung dengan baik.

4.2.2 Rumusan strategi pendayagunaan kearifan tradisional penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan Masyarakat Dayak Benuaq.

a. Strategi I (Strength – Opportunity)

 Mengutamakan tindakan pencegahan karena merupakan upaya yang paling realistis, mudah dan murah dalam pengelolaan kebakaran hutan dan lahan, mengingat penanganan kebakaran pada saat api sudah besar dan tidak terkendali tidak lagi optimal.

 Melakukan pelatihan ditingkat desa dengan memadukan pengetahuan/teknologi tradisional dengan pengetahuan/teknologi modern;

 Membuat alat-alat modifikasi yang merupakan gabungan dari teknologi tradisional dan modern dengan tetap mempertahankan prinsip mudah, murah dan efektif.

 Mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang mengakomodir kearifan masyarakat tradisional (aturan-aturan adat) dalam pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA);

 Perlunya peraturan sebagai produk kebijakan (semacam perda) khusus dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang mengakomodir aturan adat (kesepakatan lokal) serta aspek teknis tradisional lainnya

b. Strategi II (Strength – Threat):

 Melakukan pendokumentasian pengetahuan kearifan masyarakat tradisional (aturan-aturan adat) sehingga diharapkan nantinya mampu mengikat ke dalam internal masyarakat.

(20)

c. Strategi III (weakcness – opportunity):

 Pembentukan kelompok kerja untuk memfasilitasi pembentukan dan pengembangan lembaga khusus di tingkat lokal yang berfungsi sebagai ujung tombak dalam pengelolaan kebakaran hutan dan lahan.

 Melakukan penguatan lembaga-lembaga tingkat di lokal untuk memudahkan akses informasi, koordinasi dan mampu menyediakan pelayanan dan dukungan dalam menangani masalah kebakaran hutan dan lahan.

 Perlunya alokasi dana khusus dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk meningkatkan sarana/prasarana, sumberdaya manusia, serta pengembangan organisasi/kelembagaan dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.

 Pendekatan yang diperlukan dalam advokasi kebijakan PKHL adalah antar lain membina konsistensi kepedulian masyarakat, monitoring kebakaran hutan secara terpadu, pembentukan satdamkar di tingkat desa, memperkuat akuntabilitas manajemen kebakaran hutan serta penegakan hukum yang konsisten bagi pelaku kebakaran hutan dan lahan terutama pelaku pembakaran hutan dan lahan secara ilegal.

 Mendorong terciptanya law enforceman bagi penyebab timbulnya kebakaran hutan dan lahan dengan melibatkan masyarakat dalam monitoring pengeloaan sumberdaya alam.

d. Strategi IV (Weakness – Threat)

 Melakukan inventarisasi pengetahuan kearifan masyarakat tradisional (aturan-aturan adat) sebagai pengayaan pengetahuan untuk pengembangan teknologi tradisional dalam pengelolaan kebakaran hutan dan lahan.

(21)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Kearifan lokal pada masyarakat Dayak Benuaq masih digunakan meskipun sudah sangat tua dalam pemakaiannya.

2. Teknologi dan cara pencegahan dan penanggulangan yang relative sederhana mampu menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam upaya pencegahan dan penanggulangan karena sangat mudah untuk dipahami dan dilakukan bahkan untuk yang berpendidikan rendah sekalipun.

3. Sinergitas peran antara pimpinan desa dengan warganya sangat menentukan keberhasilan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.

5.2 Saran

1. Pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan berbasis kearifan lokal sangat baik untuk diterapkan pada masyarakat luas dalam hal ini membutuhkan dukungan dari berbagai elemen terutama para pemegang kebijakan.

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M.J., M.R. Ibrahim, dan A.R. Abdul Rahim. 2002. The influence of forest fire in Peninsular Malaysia: History, root causes, prevention, and control.

Anonim, 1998. Laporan Kebakaran Hutan dan Lahan Propinsi Kalimantan Timur. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kantor Wilayah Propinsi Kalimantan Timur, Samarinda

Anonim, 2005. Pengelolaan Kolaboratif. Peraturan Menteri Kehutanan No. 19/Menhut-II/2004. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Direktotar Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2003. Kebakaran Hutan Menurut Fungsi Hutan, Lima Tahun Terakhir. Direktotar Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Jakarta.

Oemiyati, R. 1986. Kebakaran Hutan Di Indonesia dan Masalahnya: Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional “Ancaman Gangguan Terhadap Hutan Tanaman Industri 20 Desember 1986” (photo copy lepas). FMIPA UI, Jakarta.

Pemda Kaltim, 2000. Kalimantan Timur dalam Angka 2000. Bappeda Kaltim dan Kantor Statistik Kaltim, Samarinda.

(23)

Sardjono, M.A. 2004. Mosaik Sosiologi Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumberdaya. Yogyakarta: Debut Press.

Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999. Penyebab dan Dampak Kebakaran. dalam Mahalnya Harga Sebuah Bencana: Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia. Editor: D. Glover & T. Jessup

Soeriaatmadja, R.E. 1997. Dampak Kebakaran Hutan Serta Daya Tanggap Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam Terhadapnya. Prosiding Simposium: “Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan”. Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta. hal: 36-39.

Sutisna, M. dkk, 1998. Rehabilitasi Kawasan Hutan Bekas Kebakaran Aspek Teknis dan Sosial, Makalah Disampaikan pada Lokakarya “Kebakaran Hutan dan Lahan Pencegahan dan Rehabilitasinya Serta Penata Ulang Hutan Wisata Bukit Soeharto tanggal 14-15 Mei 1998”. Bapedalda Kaltim, Samarinda.

Tacconi L. 2003. Kebakaran hutan di Indonesia: Penyebab, biaya dan implikasi kebijakan. Bogor: CIFOR.

Whitmore, T.C. 1975. Tropical Rain Forest Forest of The Far East. Clarendon Press. Oxford.

Wijaya, A. 2002. Kajian Aspek Sosial Ekonomi Kebakaran Hutan dan Lahan Di Kalimantan Timur. Yayasan Bioma, Samarinda.

Wijaya, A. 2014. Ensiklopedi Suku-Suku Asli Di Kalimantan Timur. Yayasan Bioma, Samarinda

Wirakusumah, S dan M.Y. Rasid, 1987. Cita dan Fenomena Hutan Tropika Humida. Pradnya Paramita, Jakarta.

http://www.wri.org

(24)

LAMPIRAN – LAMPIRAN

Lampiran 1.

(25)

Gambar 5. Sketsa Penentuan Arah Rebah Pohon dalam Sistem Pembukaan Ladang Ladang secara Tradisional oleh Masyarakat Lokal Kelompok Sasaran

Lampiran 2.

(26)

Gambar 7. Sketsa Sistem Koordinasi Kegiatan Pembakaran dalam Sistem Pembukaan Ladang secara Tradisional oleh Masyarakat Lokal Kelompok Sasaran

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap HARISH JUNDANA

Tempat, Tanggal Lahir Serang, 06 September 1995 Alamat Tempat tinggal Jl. Suwandi, Rt.22 Blok A No. 85

No Hp 081214304130

E- mail Arjunagp68@gmail.com

Riwayat Pendidikan TKIT Al Istiqomah

SDIT Al Izzah

MTs Husnul Khotimah

MA Husnul khotimah Karya Ilmiah yang Pernah di

Buat

-

(27)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap EKO AJI MUSTIKO

Tempat, Tanggal Lahir Purbalingga, 21 Oktober 1995

Alamat Tempat tinggal Jl. Sambaliung RT 01 Asrama Mahasiswa Unmul

No Hp 085643359877/082226336364

E- mail Eko.unmul@gmail.com

Riwayat Pendidikan SD N 1 Babakan

SMP N 1 Padamara

SMK N 1 Bojongsari Karya Ilmiah yang Pernah di

Buat

-

(28)

Gambar

Tabel 1.  Kearifan Lokal Masyarakat suku Dayak terkait dengan Pemanfaatan Sumberdaya Alamsecara Lestari
Tabel 2. Kejadian/Peristiwa Penting  yang Terjadi  di Desa Sakak Lotoq, Kecamatan Melak,Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur
Tabel 3. Peralatan yang Dipergunakan dalam Kegiatan Marepm Api di Desa Sakak Lotoq,
Gambar  4.  Sketsa Pembuatan Sekat Bakar dalam Sistem Pembukaan
+2

Referensi

Dokumen terkait

PKL bisa dijadikan alat pembelajaran dalam melatih, mendidik karakter yang pemberani, ulet, dan tangguh, namun di sisi lain dengan kasat mata kita melihat setiap hari para

Pada penelitian yang dilakukan oleh Johannes H Saing (2007) didapatkan bahwa tingkat kepatuhan berobat pada orang tua dari anak pasien epilepsi adalah baik, tetapi

Aktifitas gross- α cuplikan sedimen terukur berkisar antara sama dengan latar sampai dengan 0,15 Bq/L, hal ini menunjukkan bahwa partikel - α banyak terlarut dalam air dan

lapangan, perhitungan data ataupengolahan data dan diskusi tentang kendala-kendala pengukuran topografi maka dapat dicatat kebutuhan calon pengguna sebagai berikut:

Periode ini dapat juga dinamakan dengan periode tidak menampakkan diri, bagaimana sebenarnya hati mereka (orientalis) terhadap Islam. Mereka meneliti agama Islam

1) Istri nelayan tradisional yang menekuni kegiatan produktif minimal 5 tahun. Dengan asumsi bahwa istri nelayan yang telah menekuni kegiatan produktif tersebut dianggap

Pada penelitian ini, penulis menggunakan teknik klasifikasi untuk menggali pengetahuan yang dapat dihasilkan dari data sekunder HCC Survival Data Set dengan

bahwa: Total koloni yang didapatkan dari isolasi dadih Air Dingin adalah 1.46 x l0' CFU/g, setelah dilakukan isolasi didapatkan. sebelas isolat yang merupakan bakteri