• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI DAMPAK KEBAKARAN HUTAN & LAHAN DI LANSKAP KATINGAN-KAHAYAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "STUDI DAMPAK KEBAKARAN HUTAN & LAHAN DI LANSKAP KATINGAN-KAHAYAN"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI DAMPAK

KEBAKARAN HUTAN &

LAHAN DI LANSKAP

KATINGAN-KAHAYAN

15 JANUARI 2016

Laporan ini disusun oleh Tetra Tech ARD untuk dikaji oleh United States Agency for International Development

(2)

Laporan ini disusun oleh Tetra Tech ARD untuk dikaji oleh United States Agency for International Development berdasarkan Kontak No. AID-497-TO-15-00005.

Periode kontrak berlangsung sejak Juli 2015 sampai Juli 2020.

Dilaksanakan oleh:

Tetra Tech P.O. Box 1397 Burlington, VT 05402

(3)

Studi Dampak Kebakaran Hutan & Lahan di Lanskap

Katingan-Kahayan

15 JANUARI 2016

PERNYATAAN PENYANGKALAN

Dokumen ini dibuat dengan dukungan dari Rakyat Amerika Serikat melalui United States Agency for International Development (USAID). Isi dari laporan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Tetra Tech dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.

(4)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL & GAMBAR ... 3

AKRONIM ... 4

RINGKASAN EKSEKUTIF ... 5

1. PENGANTAR ... 6

1.1. Latar Belakang Proyek ... 6

1.2. Kebakaran Hutan dan Lahan di Lanskap Katingan-Kahayan ... 7

1.3. Tujuan dan Latar Belakang Studi ... 9

2. METODOLOGI ... 10

3. HASIL ... 17

3.1. Dampak Ekonomi ... 17

3.2. Dampak Kesehatan... 25

3.3. Dampak Lain ... 29

3.4. Penyebab dan Penanggulangan Kebakaran ... 30

4. KESIMPULAN ... 33

(5)

DAFTAR TABEL &

GAMBAR

TABEL 1: KERANGKA SAMPEL ... 12

TABEL 2: RINGKASAN DISKUSI KELOMPOK ... 15

TABEL 3: TOTAL LAHAN TERBAKAR DI KABUPATEN PULANG PISAU ... 18

TABEL 4: KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA DI LOKASI PENELITIAN ... 19

TABEL 5: RASIO KETERGANTUNGAN DI TIAP CLUSTER ... 20

TABEL 6: PERSENTASE MURID VS PENDUDUK BEKERJA ... 20

TABEL 7: PENURUNAN PENDAPATAN VS GARIS KEMISKINAN ... 23

GAMBAR 1: CLUSTERING BERDASARKAN JUMLAH TITIK PANAS ... 11

GAMBAR 2: DISTRIBUSI TITIK PANAS DI DESA-DESA TARGET ... 13

GAMBAR 3: JUMLAH TITIK PANAS PADA TAHUN 2012 - 2015 ... 17

GAMBAR 4: TOTAL LAHAN TERBAKAR DI 3 KABUPATEN/KOTA ... 19

GAMBAR 5: ESTIMASI KERUGIAN KEBUN KARET DI TIAP WILAYAH ... 21

GAMBAR 6: PENURUNAN PRODUKSI DI LAHAN YANG TIDAK TERBAKAR ... 22

GAMBAR 7: PERSENTASE RUMAH TANGGA YANG MELAPORKAN PENURUNAN PENDAPATAN ... 22

GAMBAR 8: KENAIKAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA UNTUK KESEHATAN ... 25

GAMBAR 9: INDEKS PENCEMARAN UDARA ... 26

GAMBAR 10: JUMLAH KASUS INFEKSI SALURAN PERNAFASAN ... 27

GAMBAR 11: JUMLAH KASUS DIARE... 28

GAMBAR 12: JUMLAH KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS ... 28

GAMBAR 13: STATUS PENERBANGAN ... 29

GAMBAR 14: PENYEBAB KEBAKARAN ... 30

GAMBAR 15: PIHAK-PIHAK YANG BERTANGGUNG JAWAB ... 31

GAMBAR 16: UPAYA PENANGGULANGAN YANG DIUSULKAN OLEH MASYARAKAT .. 31

(6)

AKRONIM

BI Bank Indonesia

BMKG Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPS Badan Pusat Statistik

GRK Gas Rumah Kaca

IFACS Indonesia Forest and Climate Support

IFM Integrated Fire Management (Manajemen Kebakaran Terpadu) IR Intermediate Results (Hasil Antara)

KPS Kemitraan Publik Swasta KR Key Results (Hasil Akhir)

LBA Landscape Baseline Analysis (Analisis Data Dasar Lanskap) LPHD Lembaga Pengelola Hutan Desa

M&E Monitoring & Evaluasi

ME&L Monitoring, Evaluation & Learning (Monitoring, Evaluasi, dan Pembelajaran)

RAN/D-GRK Rencana Aksi Nasional/Daerah-Gas Rumah Kaca SIG Sistem Informasi Geografis

SPRE Strategi Pembangunan Rendah Emisi

(7)

RINGKASAN EKSEKUTIF

Studi tentang Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan ini dilakukan untuk memperkirakan besarnya dampak dari krisis kebakaran dan kabut asap di Indonesia pada tahun 2015 khususnya di lokasi Proyek LESTARI yaitu Lanskap Katingan-Kahayan di Kalimantan Tengah, yang merupakan salah satu daerah yang mengalami dampak paling parah di Indonesia. Menurut data Bank Dunia, krisis kebakaran dan kabut asap ini menimbulkan kerugian bagi perekonomian Indonesia sekitar 16 milyar dollar AS (221 trilyun rupiah), lebih dari dua kali jumlah yang dikeluarkan untuk upaya rekonstruksi pasca bencana tsunami tahun 2004.1Karena sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui dampak di tingkat makro, maka studi ini difokuskan pada dampak terhadap penghidupan (livelihood) di tingkat rumah tangga.

Pendekatan kuantitatif dan kualitatif digunakan dalam studi ini, yang terdiri dari: (1) Survei Rumah Tangga dan 2) Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion). Untuk Survei Rumah Tangga, dipilih 30 desa yang tersebar merata di 3 kabupaten/kota: Pulang Pisau, Katingan, dan Palangka Raya. Di setiap desa dipilih 13 rumah tangga, sehingga diperoleh total 390 responden rumah tangga. Data kualitatif diperoleh dari 6 kelompok diskusi yang diselenggarakan di 6 desa di seluruh lanskap. Dua desa dari masing-masing kabupaten/kota dipilih sebagai lokasi diskusi kelompok.

Berdasarkan hasil studi, diperoleh temuan sebagai berikut:

 Total wilayah yang mengalami kebakaran di Lanskap Katingan-Kahayan seluas 304.113 ha

 Kerugian ekonomi yang dialami kebun karet yang terbakar diperkirakan sebesar 60.243 dollar AS (821,65 juta rupiah).

 40% penurunan produksi terjadi di lahan pertanian/perkebunan yang tidak terbakar.

 75% penurunan pendapatan rumah tangga.

 207% kenaikan pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan.

 Aktivitas pendidikan terdampak signifikan akibat pengurangan jam belajar.

Berbagai temuan diatas menggambarkan dampak negatif yang dialami oleh rumah tangga di Lanskap Katingan-Kahayan, baik dampak terhadap perekonomian, kesehatan, maupun pendidikan. Untuk itu, pendekatan Integrated Fire Management (IFM) atau Manajemen Kebakaran Terpadu yang diusung oleh LESTARI menjadi penting untuk diterapkan. Bekerja sama dengan masyarakat, pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman akan pentingnya pencegahan dan manajemen kebakaran. Dengan

menciptakan konstituen yang berpengetahuan, diharapkan masyarakat akan mampu mengatasi masalah kebakaran dengan lebih efektif melalui platform tata kelola seperti Forum Multi-Pihak. Forum ini akan mendorong terciptanya dialog yang transparan antar seluruh pemangku kepentingan –sebagai landasan bagi pendekatan IFM LESTARI- untuk bersama-sama berkomitmen dan “berbagi beban” dalam penanggulangan kebakaran.

1Indonesia Economic Quarterly – Desember 2015, Bank Dunia.

(8)

1. PENGANTAR

Studi ini dilakukan untuk memperkirakan besarnya dampak dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 2015 di Lanskap Katingan-Kahayan (lokasi proyek LESTARI), baik di tingkat lanskap maupun rumah tangga. Studi ini dilakukan oleh Tim Monitoring dan Evaluasi (M&E) LESTARI pada bulan November sampai Desember 2015. Laporan ini merangkum temuan-temuan utama dan disajikan dalam empat bagian: pengantar, metodologi, hasil dan analisis, serta kesimpulan.

1.1.Latar Belakang Proyek

Proyek USAID LESTARI mendukung upaya Pemerintah Republik Indonesia (RI) menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), melestarikan keanekaragaman hayati di ekosistem hutan dan mangrove yang bernilai secara biologis serta kaya akan simpanan karbon. Dibangun di atas fondasi proyek USAID IFACS, LESTARI menerapkan pendekatan lanskap untuk menurunkan emisi GRK, dengan mengintegrasikan aksi konservasi hutan dan lahan gambut dan strategi pembangunan rendah emisi (LEDS) di lahan lain yang sudah terdegradasi. Upaya ini bisa dicapai melalui perbaikan tata guna lahan, tata kelola hutan lindung, perlindungan spesies kunci, praktik sektor swasta dan industri yang berkelanjutan, serta peningkatan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dalam kegiatan konservasi.

Proyek LESTARI diimplementasikan oleh Tetra Tech bersama mitra konsorsium yang terdiri dari WWF-Indonesia, Winrock International, Wildlife Conservation Society (WCS), Blue Forests, Yayasan Sahabat Cipta, PT Hydro South Pole Carbon, Sustainable Travel International (STI), Michigan State University, dan FIELD Foundation. Proyek LESTARI berlangsung dari Agustus 2015 hingga Juli 2020.

Kegiatan LESTARI dilaksanakan di enam lanskap strategis di tiga pulau terbesar Indonesia, yang memiliki sebagian tutupan hutan primer yang masih utuh dan memiliki simpanan karbon terbesar. Di Sumatra bagian utara, Lanskap Leuser mencakup Kabupaten Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Barat Daya, termasuk Taman Nasional Leuser dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Di Kalimantan Tengah, LESTARI bekerja di Lanskap Katingan-Kahayan, yang mencakup Kabupaten Pulang Pisau, Katingan dan Gunung Mas, Kotamadya Palangkaraya, dan Taman Nasional Sebangau dan Taman

Nasional Bukit Baka Bukit Raya. LESTARI juga bekerja di empat lanskap di Papua. Lanskap Sarmi dan Cyclops terletak sepanjang pesisir utara. Lanskap Lorentz Lowlands, mencakup Kabupaten Mimika dan Asmat ditambah sebagian dari Taman Nasional Lorentz, dan Lanskap Mappi-Bouven Digoel yang terletak di pesisir selatan Papua. LESTARI memiliki kantor pusat di Jakarta, dengan kantor cabang di setiap lanskap dan di ibukota provinsi Aceh, Kalimantan Tengah dan Papua.

Hasil yang ingin dicapai Proyek LESTARI adalah:

 KR1: Penurunan total emisi CO2 ekuivalen sebesar 41 % dari kegiatan pemanfaatan lahan, perubahan pemanfaatan lahan dan deforestasi di seluruh wilayah lanskap proyek;

 KR2: Perbaikan pengelolaan setidaknya 8,42 juta hektar hutan primer dan sekunder (serta lahan gambut), termasuk wilayah yang menjadi habitat orangutan;

(9)

IR 1: Perbaikan Pengelolaan Hutan:

 KR3: Perbaikan manajemen paling tidak, di enam wilayah konservasi, sehingga mampu melestarikan habitat orangutan dan spesies kunci lainnya, dan mengurangi perburuan spesies hewan endemik;

 KR4: Paling tidak terwujud sepuluh Kemitraan Publik dan Swasta (KPS) yang

memromosikan pembangunan rendah emisi dan pembangunan berbasis konservasi;

 KR5: Penggalangan dana dari sumber pemerintah dan swasta, dalam bentuk investasi bersama guna menunjang keberhasilan proyek;

IR 2: Perbaikan Tata Kelola Pemanfaatan Lahan:

 KR6: Meningkatnya komitmen para pemangku kepentingan dari sektor swasta, pemerintah dan masyarakat dalam mendukung upaya konservasi dan pemanfaatan hutan secara berkelanjutan berikut perlindungan spesies yang hidup di dalamnya;

 KR7: Terciptanya kebijakan, undang-undang, peraturan, dan prosedur yang mendukung pembangunan rendah emisi, perbaikan pengelolaan dan konservasi hutan – yang disahkan dan diterapkan di semua jenjang; dan

 KR8: Tedapat model untuk integrasi strategi pembangunan rendah emisi dan konservasi hutan di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional yang didistribusikan ke semua level pemerintahan dan pemangku kepentingan kunci lainnya.

1.2. Kebakaran Hutan dan Lahan di Lanskap Katingan- Kahayan

Lanskap Katingan-Kahayan bertempat di Kalimantan Tengah, propinsi terluas ketiga di Indonesia. Propinsi ini dibagi menjadi tiga kawasan biofisika: hutan mangrove pantai dan lahan gambut yang didominasi oleh rawa-rawa di bagian selatan; dataran dan perbukitan rendah yang sebelumnya tertutup hutan hujan tropis namun sudah diubah menjadi lahan pertanian; serta kawasan bukit dan pegunungan tinggi yang secara umum masih tertutup hutan dan sulit dilalui. Untuk tujuan proyek LESTARI, lanskap operasional dibagi menjadi Kabupaten Katingan, Pulang Pisau, dan Gunung Mas serta Kota Palangka Raya.

Seluas 31% dari lanskap ini tertutup oleh lahan gambut yang kaya akan kandungan karbon.

Meskipun tanpa perubahan penutupan lahan, emisi dari lahan gambut yang dihitung dengan metodologi RAN/D-GRK mencakup 62% (24,5 Juta t.CO2-eq) dari seluruh emisi berbasis lahan.2 Lahan gambut di Kalimantan Tengah telah mengalami perubahan ekologis dan sosial yang dramatis selama beberapa dasawarsa terakhir. Jutaan hektar kawasan telah dikeringkan dan diubah dari hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan kelapa sawit.

Kawasan semacam ini memiliki risiko lebih besar untuk mengalami kebakaran tak terkendali, terutama jika curah hujan berada dibawah normal.

Di Lanskap Katingan-Kahayan dan wilayah lain di Indonesia, penggunaan api telah lama menjadi bagian terpadu dari praktik-praktik pertanian dan produksi pangan, yang

memberikan kesuburan tanah sekaligus membantu pembukaan lahan untuk ditanami.

Pembukaan lahan dengan cara membakar juga dilakukan untuk perkebunan kelapa sawit dan industri kayu. Meskipun demikian, kebakaran yang meluas tanpa terkendali merupakan

2LESTARI Landscape Baseline Analysis (LBA), September 2015.

(10)

ancaman serius bagi kesehatan dan penghidupan masyarakat serta bagi upaya-upaya konservasi di Indonesia. Selama berlangsungnya El Niño di Indonesia pada tahun 1997- 1998, kebakaran hutan dan lahan gambut berskala besar menyebabkan kabut asap di berbagai wilayah, ribuan orang harus menjalani perawatan, dan kerugian ekonomi di tingkat nasional sebesar 5 sampai 10 milyar dollar AS.3

Pada bulan Juni sampai Oktober tahun 2015, yang juga tercatat sebagai tahun El Niño, lanskap ini kembali mengalami kebakaran hutan dan lahan yang menghasilkan masalah kabut asap. Tacconi4 mencatat bahwa, dalam tahun-tahun El Niño, lahan gambut yang terdegradasi bisa jadi merupakan faktor risiko paling signifikan sebagai penghasil kabut asap. Hal ini kemudian berdampak merugikan terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, melumpuhkan perekonomian daerah, serta menghancurkan kawasan hutan serta keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya, sekaligus memperparah perubahan iklim dalam skala global.

Pada bulan Oktober 2015, Bank Indonesia di Kalimantan Tengah menerbitkan laporan penilaiannya5 mengenai dampak perekonomian dari peristiwa kabut asap di Kalimantan Tengah. Studi ini memberikan penilaian atas dampak kabut asap terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi, serta indikator-indikator lain termasuk kesehatan, pendidikan, dan reputasi pemerintah. Meskipun studi ini menggunakan data dan informasi pada bulan September 2015 (kejadian kabut asap memburuk pada bulan Oktober 2015), dampak yang terungkap di tingkat propinsi ternyata signifikan. Ini mencakup:

 Dari total kawasan yang mengalami kebakaran seluas 10.015 hektar, 3,21% atau 321,55 hektar diperkirakan merupakan perkebunan karet dan 2,23% atau 223,52 hektar diperkirakan merupakan perkebunan kelapa sawit. Kerugian ekonomi yang diderita oleh petani kecil dan perusahaan perkebunan mencapai 680.000 dollar AS (9,3 milyar rupiah).

 Tingkat hunian hotel turun sebesar 10-15%, menyebabkan hilangnya pendapatan hingga 152.000 dollar AS (2,07 milyar rupiah).

 Pada bulan September 2015, jumlah penerbangan dari dan ke Kalimantan Tengah menurun hingga 43,68% atau 358 penerbangan. Kerugian total bagi industri ini mencapai 50%.

 BI memperkirakan bahwa polusi kabut asap selama bulan September 2015

menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi tahunan bagi Propinsi Kalimantan Tengah sampai sebesar 0,04 – 0,10%.

 Dampak lain mencakup 21.905 orang menderita infeksi saluran pernafasan,

8.165 orang menderita diare, dan ditutupnya sekolah-sekolah selama satu setengah bulan.

 Kejadian kebakaran hutan dan lahan serta polusi kabut asap di Kalimantan Tengah yang terus berulang mengakibatkan penurunan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.

3Early Warning and Response to Peatland Fires in Central Kalimantan, Erica Allis, International Research Institute for Climate and Society, Columbia University, USA.

4Fires in Indonesia: Causes, Costs and Policy Implications, Luca Tacconi, Occasional Paper No. 38, CIFOR, 2003.

5Dampak Kabut Asap terhadap Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah, Ekspedisi Indonesia Biru, Bank Indonesia, Oktober 2015.

(11)

1.3. Tujuan dan Latar Belakang

Meskipun telah ada beberapa publikasi mengenai kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sepanjang tahun 2015, termasuk laporan yang baru-baru ini diterbitkan oleh BI untuk

Propinsi Kalimantan Tengah, proyek LESTARI masih menganggap penting untuk melakukan studi tambahan karena beberapa alasan berikut:

 Laporan BI mengenai dampak kebakaran dan kabut asap terbatas pada data dan informasi yang dikumpulkan selama bulan September 2015. Sementara itu, kejadian kebakaran dan kabut asap memburuk selama bulan Oktober 2015. Informasi umum yang dikumpulkan sebelum pelaksanaan studi lapangan mengindikasikan dampak yang lebih besar dari apa yang sebelumnya dilaporkan.

 Meskipun banyak penelitian yang dipublikasikan mengungkapkan dampak di level makro (nasional, propinsi), belum ada penelitian yang dilakukan untuk memahami dampak negatif di level mikro (pedesaan, rumah tangga).

 Analisis Data Dasar Lanskap (Landscape Baseline Analysis atau LBA) mendapati bahwa emisi yang diproyeksikan untuk Lanskap Katingan-Kahayan mencapai 58%

dari semua nilai baseline emisi di seluruh lanskap LESTARI. Hal ini berdampak signifikan bagi desain LESTARI di lanskap Katingan-Kahayan, karena upaya maksimal harus ditempatkan di wilayah dengan proyeksi emisi tertinggi. Dengan demikian, pengelolaan lahan gambut menjadi kunci dan harus mencakup seluruh aspek. Perbaikan pengelolaan lahan gambut melibatkan advokasi kebijakan sebagai sarana untuk mewujudkan perubahan transformatif yang berkelanjutan. Oleh karena itu, mengumpulkan berbagai bukti tentang dampak kebakaran hutan dan lahan di lanskap ini menjadi sangat penting agar proyek mampu berkomunikasi dengan para pembuat kebijakan dengan cara yang konstruktif dan meyakinkan.

Tujuan utama studi ini adalah memperkirakan besaran dampak kebakaran hutan dan lahan di Lanskap Katingan-Kahayan, baik di tingkat lanskap maupun desa/rumah tangga.

Meskipun telah dipahami bahwa kebakaran hutan dan lahan memiliki dampak luas terhadap emisi GRK, keanekaragaman hayati, kesehatan, dan perekonomian, studi ini berfokus pada dampak terhadap penghidupan dari perspektif rumah tangga. Namun demikian, laporan ini juga menyajikan data dan informasi yang terkait dengan dampak kesehatan dan dampak- dampak lain (misalnya, pendidikan, kecelakaan lalu-lintas, pembatalan penerbangan, dan lain sebagainya) yang diperoleh dari pengumpulan data primer dan sekunder.

(12)

2. METODOLOGI

Bab ini menjabarkan metodologi penelitian yang digunakan dalam studi ini. Pemaparan diawali dengan desain penelitian, yang mencakup komponen kuantitatif dari studi ini dengan rincian desain sampel. Kemudian pemaparan tentang komponen kualitatif dan penjelasan bagaimana dimensi kualitatif survei ini dirancang dan dilaksanakan. Terakhir, dijelaskan mengenai hambatan dan keterbatasan dalam pelaksanaan studi.

Metodologi yang digunakan dalam studi ini melibatkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.

Kombinasi pendekatan seperti ini biasanya lebih disukai daripada metode tunggal

mengingat kekayaan analisis yang dapat dihasilkan atas suatu fenomena yang diteliti. Untuk itu, studi ini didekati dengan: 1) Survei Kuantitatif dan 2) Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion). Masing-masing pendekatan dijelaskan dibawah ini.

Glover dan Jessup6mengklasifikasikan dampak kebakaran hutan dan lahan menjadi dua kategori: 1) Kerusakan yang terkait langsung dengan kebakaran (misalnya kehilangan kayu, kerusakan produk pertanian, biaya pemadaman, emisi karbon, kehilangan keanekaragaman hayati, kehilangan manfaat langsung dari hutan, kehilangan berbagai manfaat tidak

langsung dari hutan) dan 2) Kerusakan yang terkait dengan kabut asap (misalnya kesehatan, pariwisata, transportasi, kerugian industri, penurunan hasil perikanan).

Mengingat beberapa keterbatasan seperti waktu, sumber daya, dan keahlian, maka studi ini membatasi ruang lingkupnya pada dampak terhadap penghidupan yang dilihat dari sudut pandang rumah tangga (level mikro). Tim peneliti mengembangkan hipotesis bahwa rumah tangga menderita kerugian jauh lebih besar akibat kejadian kebakaran hutan dan lahan jika dibandingkan dengan informasi yang telah dipublikasikan. Asumsi ini didasarkan pada informasi yang didapatkan oleh staf lapangan LESTARI di Kalimantan Tengah dari para petani karet di Desa Buntoi (Kabupaten Pulang Pisau), yang melaporkan bahwa 90%

perkebunan karet mereka telah terbakar pada saat kejadian kebakaran baru-baru ini.

Meskipun berfokus pada dampak kebakaran hutan dan lahan di tingkat rumah tangga atau desa, studi ini juga mengumpulkan informasi dan data sekunder dari kabupaten dan propinsi untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas mengenai dampak yang terjadi. Berbagai lembaga yang relevan telah dikunjungi. Data yang dikumpulkan diantaranya mencakup informasi tentang kesehatan, pembatalan penerbangan, total lahan terbakar, kecelakaan lalu-lintas, harga pasar untuk kebutuhan pangan, dan produksi karet.

Survei Rumah Tangga

Studi dampak kebakaran hutan dan lahan ini dilakukan di dua kabupaten dan satu kota di Lanskap Katingan-Kahayan, terdiri dari Kabupaten Pulang Pisau, Katingan, dan Kota Palangka Raya. Perlu dicatat bahwa unit analisis yang digunakan untuk studi ini adalah lanskap. Dengan demikian interpretasi dampak di tingkat propinsi harus dilakukan dengan

6Indonesia’s Fires and Haze: The Cost of Catastrophe, D Glover and T Jessup, Institute of Southeast Asian Studies, International Development Research Centre, Singapore.

(13)

hati-hati mengingat sampel kabupaten/kota tidak dipilih untuk mewakili (secara statistik) Propinsi Kalimantan Tengah.

Beberapa langkah diambil untuk mendapatkan sampel rumah tangga bagi keperluan studi.

Pertama, ukuran sampel ditentukan menggunakan data kependudukan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2013, total populasi di kabupaten/kota sasaran adalah 522.900 orang. Besarnya sampel kemudian dihitung dengan mengacu pada tingkat kepercayaan 95% dan tingkat kesalahan (margin of error) 5%. Kalkulasi ini menghasilkan jumlah sampel sebanyak 390 responden.

Pemilihan Desa:

Langkah kedua adalah memilih desa sasaran.

Mengingat perbedaaan tingkat kejadian

kebakaran di tiga kabupaten/kota, tim peneliti memutuskan untuk membentuk cluster yang didasarkan pada peta titik panas7 yang disediakan oleh unit SIG LESTARI. Diidentifikasi terdapat 157 desa dengan titik panas di tiga kabupaten/kota, atau lebih dari 50% dari total 290 desa yang terdapat di ketiga wilayah tersebut.

GAMBAR 1: CLUSTERING BERDASARKAN JUMLAH TITIK PANAS

Analisis K-Means Cluster8 kemudian digunakan untuk membagi semua desa kedalam tiga cluster: 1) Merah – desa dengan jumlah titik panas tinggi; 2) Kuning – desa dengan jumlah titik panas sedang; dan 3) Hijau – desa yang tidak memiliki titik panas, namun wilayahnya terdampak oleh kebakaran hutan dan lahan. Gambar 1 menunjukkan pembagian wilayah tersebut.

Langkah selanjutnya adalah menentukan jumlah sampel desa yang diperlukan.

Pertimbangan utama dalam menetapkan jumlah sampel desa adalah efektivitas dan efisiensi. Tim menetapkan total 30 desa menjadi lokasi survei yang didistribusikan secara merata di 3 kabupaten/kota. Dengan kata lain, diperlukan 10 desa sampel per

kabupaten/kota. Ini artinya 13 rumah tangga perlu dipilih di tiap desa untuk mendapatkan total 390 responden. Ke-10 desa di masing-masing kabupaten/kota ini kemudian

didistribusikan secara proporsional (proportionate to size sampling) kedalam cluster merah,

7 Data titik panas diperoleh dari MODIS dan menunjukkan jumlah titik panas sampai bulan Oktober 2015

8 Analisis cluster atau clustering adalah pengelompokkan sekumpulan obyek sehingga obyek-obyek yang berada dalam kelompok yang sama (disebut cluster) memiliki banyak kemiripan (dalam satu atau lain hal) dibandingkan dengan obyek- obyek dalam kelompok (cluster) lain.

Tidak ada titik panas yang teridentifikasi di wilayah hijau, namun wilayah ini terdampak kebakaran hutan dan lahan

Wilayah Kabupaten/Kota

Wilayah dengan jumlah titik panas

tinggi/pusat kebakaran Wilayah dengan jumlah

titik panas sedang

(14)

kuning dan hijau untuk mendapatkan jumlah sampel desa di masing-masing cluster.

Terakhir, desa target yang harus dikunjungi ditetapkan secara acak (random sampling).

Pemilihan Rumah Tangga: Responden rumah tangga dalam suatu desa dipilih

menggunakan systematic interval sampling dimana lokasi titik awal ditentukan oleh masing- masing supervisor lapangan. Selang interval yang digunakan dua rumah. Interval yang pendek ini digunakan mengingat kemungkinan ditemukan desa-desa dengan kepadatan penduduk yang rendah. Meskipun demikian, apabila tim survei menemukan desa padat penduduk, maka selang interval dapat ditingkatkan menjadi lima rumah. Tabel 1

menunjukkan kerangka sampel yang digunakan dalam studi ini, diikuti oleh peta indikatif wilayah studi pada Gambar 2.

TABEL 1: KERANGKA SAMPEL Kabupaten/

Kota Cluster Desa Target Jumlah Titik Panas

Jumlah Sampel Rumah Tangga

per Desa

Palangka Raya

Merah

Kalampangan 7 13

Habaring Hurung 17 13

Tangkiling 19 13

Bukit Tunggal 68 13

Kuning

Bereng Bengkel 1 13

Petuk Katimpun 2 13

Pager 3 13

Hijau

Langkai 0 13

Tanjung Pinang 0 13

Banturung 0 13

Katingan

Merah

Tewang Tampang 5 13

Kampung Melayu 8 13

Baon Bango 34 13

Kuning

Telok 1 13

Tewang Karangan 2 13

UPT Hiang Bana 3 13

Dahian Tunggal 1 13

Hijau

Kampung Baru 0 13

Tewang Kadamba 0 13

Petak Bahandang 0 13

Pulang Pisau

Merah

Gohong 155 13

Buntoi 108 13

Jabiren 26 13

Kanamit 73 13

Paduran Sabangau 761 13

Kuning Anjir Pulangpisau 3 13

Purwodadi 1 13

Hijau

Talio Muara 0 13

Badirih 0 13

Pangkuh Sari 0 13

TOTAL 1.298 390

(15)

GAMBAR 2: DISTRIBUSI TITIK PANAS DI DESA-DESA TARGET

(16)

Pemilihan Responden Individu: Responden individu dipilih dari rumah tangga yang

disurvei di tiap desa. Kriteria yang digunakan untuk memilih responden ini adalah: 1) individu termasuk dalam kategori “dewasa” berdasarkan kriteria BPS; dan 2) individu tersebut adalah pembuat keputusan dalam rumah tangga atau memiliki pengetahuan/tanggung jawab untuk mengelola anggaran rumah tangga. Pengetahuan ini diperlukan jika responden harus menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan mata pencaharian dan pendapatan.

Kuesioner: Kuesioner survei dibagi kedalam 5 kelompok pertanyaan yang mencakup informasi umum mengenai responden dan rumah tangganya; kondisi ekonomi rumah tangga sebelum dan sesudah kejadian kebakaran dan kabut asap; dampak terhadap pertanian;

dampak terhadap kesehatan anggota rumah tangga; bantuan yang diterima oleh rumah tangga selama kejadian; serta penyebab dan penanggulangan kebakaran.

Anonimitas: Anonimitas responden dijamin dalam seluruh analisis data dan pelaporan.

Para responden diyakinkan bahwa, untuk melindungi kerahasiaan, hanya data agregat yang anonim saja yang akan dirilis. Para pewawancara dengan jelas menyatakan bahwa

keikutsertaan responden dalam survei ini bersifat sukarela, dan responden ditanya kesediaan mereka untuk berpartisipasi. Responden yang tidak merasa nyaman dengan kerahasiaan studi ini, atau tidak bersedia berpartisipasi dengan alasan apapun, tidak

diwajibkan mengikuti survei ini. Dalam kasus-kasus demikian, pewawancara menyampaikan rasa terima kasihnya kepada individu yang bersangkutan, mengakhiri wawancara, dan segera beralih ke rumah tangga selanjutnya yang telah dipilih berdasarkan pedoman pemilihan rumah tangga.

Kontrol atas Kualitas: Untuk tujuan mengontrol kualitas, ditugaskan seorang supervisor untuk masing-masing tim pewawancara. Para supervisor ini melakukan pengamatan langsung dan merapikan data (data cleaning). Proses merapikan data ini termasuk

mengecek data yang kosong atau missing, memverifikasi bahwa skip dalam kuesioner telah diikuti dengan benar, dan memverifikasi bahwa kode jawaban yang tepat telah digunakan.

Uji lapangan akhir dilakukan oleh Landscape M&E Specialist di Kalimantan Tengah.

Kuesioner yang sudah terisi lengkap kemudian dikirimkan ke kantor Jakarta untuk menjalani proses verifikasi berikutnya oleh M&E Specialist dan staf entri data di Jakarta.

Analisis data: Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS oleh seorang ahli statistik di bawah bimbingan teknis Monitoring, Evaluation and Learning (ME&L) Coordinator LESTARI. Data sekunder digunakan untuk memperkaya analisis survei rumah tangga.

Survei ini dilakukan oleh sekumpulan pewawancara. Para supervisor survei

dan pekerja lapangan direkrut secara lokal, kebanyakan dari jaringan BPS kabupaten/kota, yang dikenal sebagai Mitra BPS, yang berpengalaman melakukan survei rumah tangga serta mengenal bahasa dan budaya setempat. Sesi pelatihan dilakukan di Kota Palangka Raya pada tanggal 11 November 2015. Studi ini berlangsung selama dua minggu, sejak tanggal 13 sampai 27 November 2015. Input dan analisis data dilakukan di kantor Jakarta.

Total 21 orang menjadi bagian dari tim survei dibawah supervisi langsung ME&L Coordinator LESTARI.

(17)

Secara rata-rata, setiap wawancara membutuhkan waktu satu jam 13 menit. Tim survei berhasil mewawancarai 390 responden—45%

perempuan dan 55% laki-laki. Untuk pengumpulan data sekunder, tim survei mengunjungi lebih dari 15 institusi di kabupaten/kota sasaran, termasuk kantor/dinas pemerintah, rumah

sakit/puskesmas, bandara, pasar, kantor polisi, dan asosiasi bisnis.

Diskusi Kelompok Terfokus

Diskusi kelompok terfokus dilakukan untuk mendapatkan lebih banyak

informasi mengenai dampak, penyebab, dan penanggulangan kebakaran di tingkat masyarakat. Komponen kualitatif ini dilaksanakan melalui total enam diskusi kelompok di 6 desa di seluruh wilayah lanskap. Dua desa per kabupaten/kota dipilih sebagai lokasi diskusi. Satu desa mewakili cluster merah, dan lainnya mewakili cluster hijau. Total 99 anggota masyarakat turut serta dalam sesi-sesi diskusi ini. Tabel 2 meringkas informasi diskusi kelompok.

TABEL 2: RINGKASAN DISKUSI KELOMPOK

Kabupaten/Kota Desa Tanggal Jumlah Partisipan

Palangka Raya

Habaring Hurung 14 November 2015 16 (9 perempuan, 7 laki- laki)

Tanjung Pinang 18 November 2015 15 (6 perempuan, 9 laki- laki)

Katingan

Kampung Melayu 21 November 2015 17 (1 perempuan, 16 laki- laki)

Petak Bahandang 25 November 2015 17 (6 perempuan, 11 laki- laki)

Pulang Pisau

Talio Muara 24 November 2015 15 (7 perempuan, 8 laki- laki)

Gohong 27 November 2015 19 (3 perempuan, 16 laki- laki)

Diskusi kelompok difasilitasi oleh para supervisor lapangan dan dihadiri oleh Landscape M&E Specialist. Untuk mendapatkan masukan dari para peserta, digunakan pertanyaan- pertanyaan yang bersifat penggalian dan berbagi pengalaman dalam kelompok. Pedoman fasilitasi diskusi disediakan bagi para fasilitator.

(18)

Hambatan dan Keterbatasan

Karena alasan aksesibilitas, beberapa desa digantikan dengan desa lainnya, namun tanpa mengabaikan keterwakilan cluster. Keterbatasan lain adalah cakupan studi ini sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Tim peneliti tidak melakukan upaya-upaya untuk menilai kerusakan yang berkaitan langsung dengan kebakaran, seperti dampak terhadap produksi kayu, biaya pemadaman, emisi karbon, kerusakan keanekaragaman hayati, serta

kehilangan manfaat langsung dan tidak langsung dari hutan.

(19)

3. HASIL

Bab ini menyajikan hasil survei kuantitatif dan diskusi kelompok kualitatif. Pertama-tama, dibahas berbagai temuan mengenai dampak ekonomi. Hal ini kemudian diikuti dengan analisis mengenai dampak terhadap kesehatan dan indikator-indikator lain. Terakhir, disajikan satu bagian mengenai penyebab kebakaran dan upaya-upaya

penanggulangannya. Bagian akhir ini menekankan pentingnya intervensi LESTARI dalam memfasilitasi upaya-upaya penanggulangan kebakaran bersama dengan para pemangku kepentingan di daerah melalui suatu pendekatan Manajemen Kebakaran Terpadu

(Integrated Fire Management).

3.1. Dampak Ekonomi

Total Lahan Yang Terbakar

Masyarakat setempat melaporkan bahwa kejadian kebakaran dan kabut asap pada tahun 2015 adalah yang terburuk

dibandingkan dengan kejadian serupa pada tahun-tahun sebelumnya. Laporan

masyarakat ini sesuai dengan hasil analisis terhadap data titik panas yang dilakukan oleh unit SIG LESTARI. Temuan-temuan tersebut menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah titik panas pada tahun 2015 dibandingkan dengan data yang berhasil diidentifikasi pada tahun 2012 – 2014. Gambar 3 menunjukkan situasi tersebut.

Meskipun kejadian kebakaran tersebut dapat dikatakan luar biasa, tidak mudah untuk mengetahui angka pasti dari total luas wilayah yang mengalami kebakaran di lokasi survei.

Berbagai kantor pemerintah

melaporkan angka yang berbeda-beda.

Sebagai contoh, pemerintah propinsi melaporkan bahwa total luas kawasan perkebunan karet yang

GAMBAR 3: JUMLAH TITIK PANAS PADA TAHUN 2012 - 2015

Source : MODIS Terra Aqua - FIRMS – NASA, data processed

mengalami kebakaran di Kabupaten Pulang Pisau selama kejadian kebakaran baru-baru ini adalah seluas 428,40 hektar. Namun dinas pertanian di Pulang Pisau melaporkan bahwa

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500

2012 2013 2014 2015

94 90

614

1026 574

124

585

3077

42 43 208 305

Jumlah distribusi titik panas di Katingan, Pulang Pisau & Palangka Raya selama bulan Jan-Okt

2012-2015

Katingan Pulang Pisau Palangkaraya

(20)

luas perkebunan karet rakyat yang mengalami kebakaran pada tahun 2015 adalah 4.364 hektar.

Menggunakan data yang disajikan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), BI melaporkan bahwa total luas wilayah yang mengalami kebakaran di Propinsi Kalimantan Tengah adalah 10.015 hektar, dengan 3,21% merupakan areal perkebunan karet dan 2,23%

areal perkebunan kelapa sawit. Meskipun demikian, informasi yang dirilis oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pulang Pisau menunjukkan bahwa luas wilayah yang mengalami kebakaran di kabupaten ini adalah 15.326 hektar (Tabel 3).

TABEL 3: TOTAL LAHAN TERBAKAR DI KABUPATEN PULANG PISAU

Kecamatan

Total Lahan Terbakar (Ha)

Padi Sawah Lahan Pertanian

Perkebunan Rakyat

Karet Kelapa Sawit

Semak

Kahayan Kuala - - - - 50

Pandih Batu - 5 50 10 -

Maliku 6 - 501 700 1.787

Kahayan Hilir 240 100 325 40 1.800

Sebangau Kuala - - 377 163 265

Jebiren Raya - 49 3.000 500 5.000

Kahayan Tengah - 16 106 22 208

BanamaTingang - 1 5 - -

TOTAL 246 171 4.364 1.435 9.110

Sumber: Kantor Dinas Pertanian Pulang Pisau, 30 Oktober 2015

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, studi ini tidak ditujukan untuk mengkalkulasi berapa angka pasti total lahan terbakar di kabupaten/kota yang menjadi target studi. Namun studi ini bermaksud menunjukkan sejauh mana kejadian kebakaran hutan dan lahan

berdampak terhadap penghidupan di tingkat rumah tangga. Meskipun demikian, kurangnya data spasial yang berkualitas dapat membatasi efektivitas dari suatu intervensi kebijakan dan program-program penanggulangan kebakaran. Ada suatu kebutuhan yang jelas yaitu diperlukan adanya koordinasi yang lebih baik antar instansi pemerintah guna memastikan agar metode pengumpulan data yang digunakan terstandarisasi dan berkualitas tinggi, serta hanya data konsisten yang digunakan dan disebarluaskan.

Selain informasi yang diperoleh dari kantor pemerintah daerah, tim peneliti berusaha mengumpulkan data di sebuah desa di Kabupaten Pulang Pisau untuk keperluan studi kasus. Data yang berhasil dikumpulkan dari 126 penduduk di Desa Gohong menunjukkan bahwa perkebunan karet rakyat seluas 243 hektar terbakar selama kejadian kebakaran baru-baru ini. Kerugian ekonomi diperkirakan sebesar 250.000 dollar AS (3,4 milyar rupiah).

Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) di Gohong juga melaporkan bahwa 30% dari 3.155 hektar Hutan Desa di daerah mereka terbakar.

Selanjutnya, unit SIG LESTARI berusaha melakukan analisis lebih lanjut untuk

memperkirakan luas wilayah yang mengalami kebakaran. Dengan menggunakan data burn scar yang disediakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ditemukan bahwa total luas kawasan terbakar di Lanskap Katingan-Kahayan adalah 304.113 hektar - angka tersebut jauh lebih luas dibandingkan dengan berbagai informasi yang dipublikasikan.

Dari angka tersebut, seluas 290.666 hektar terbagi di 3 kabupaten/kota wilayah studi.

Kondisi ini ditunjukkan dalam Gambar 4. Lebih lanjut, data menunjukkan bahwa total luas

(21)

lahan terbakar di Blok C (bekas Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar) mencapai 157.311 hektar.

GAMBAR 4: TOTAL LAHAN TERBAKAR DI 3 KABUPATEN/KOTA

Sumber: Analisis SIG menggunakan peta burn scar, dipublikasikan oleh KLHK, 2015.

Dalam diskusi kelompok, masyarakat yang tinggal di desa-desa berkategori merah juga melaporkan bahwa sekitar 80 sampai 95% lahan mereka terbakar. Terlepas dari perbedaan perkiraan luas lahan yang mengalami kebakaran, data tersebut menunjukkan bahwa

kebakaran hutan dan lahan di Lanskap Katingan-Kahayan memang menimbulkan kerusakan parah.

Lalu bagaimana situasi ini memengaruhi rumah tangga di lokasi penelitian? Bagian selanjutnya akan membahas situasi rumah tangga sebelum dan sesudah kejadian kebakaran dan kabut asap.

Situasi Rumah Tangga

Tim peneliti berhasil mewawacarai 390 rumah tangga, yang mencakup 40% rumah tangga di wilayah berkategori merah, 30%

di wilayah berkategori kuning, dan 30% di wilayah berkategori hijau. Sebelum menyajikan dampak kebakaran dan kabut asap terhadap rumah tangga, akan dibahas kondisi kesejahteraan rumah tangga sebelum kejadian kebakaran.

Kesejahteraan Rumah Tangga:

Analisis kesejahteraan rumah tangga dilakukan dengan

pendekatan garis kemiskinan. Ini mencakup penghitungan

pengeluaran bulanan rata-rata per kapita. Hasilnya kemudian

dibandingkan dengan garis kemiskinan resmi yang dirilis oleh BPS Kalimantan Tengah.

TABEL 4: KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA DI LOKASI PENELITIAN

Cluster

% Rumah Tangga dibawah

Garis Kemiskinan

% Rumah Tangga diatas

Garis Kemiskinan

Merah 21% 79%

Kuning 27% 73%

Hijau 16% 84%

217.398 59.861

13.407

Total Lahan Terbakar di 3 Kab/Kota Tahun 2015

Pulang Pisau Katingan Palangkaraya

(22)

Pada bulan September 2015, garis kemiskinan untuk propinsi ini ditetapkan sebesar 26,59 dollar AS (362.729 rupiah) per kapita per bulan (http://kalteng.bps.go.id/Brs/view/id/529).

Studi ini mendapati bahwa dalam situasi normal (tanpa insiden kebakaran), mereka yang tinggal di wilayah berkategori hijau memiliki kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan mereka yang tinggal di wilayah berkategori merah dan kuning. Hal ini ditunjukkan dalam Tabel 4.

Rasio Ketergantungan: Rasio ketergantungan adalah suatu angka yang menunjukkan besar beban tanggungan kelompok usia produktif atas penduduk usia non produktif. Dalam studi ini, analisis dilakukan untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah yang memiliki rasio ketergantungan tinggi, dan karenanya diasumsikan lebih rentan terhadap bencana. Dalam berbagai publikasi internasional, penduduk usia non produktif

biasanya mencakup mereka yang berusia dibawah 15 tahun dan diatas 64 tahun. Sementara usia produktif mencakup penduduk berusia 15 sampai 64 tahun. Tabel 5 menunjukkan rasio

ketergantungan untuk masing-masing cluster.

TABEL 5: RASIO KETERGANTUNGAN DI TIAP CLUSTER Cluster

Jumlah Populasi Non

Produktif

Jumlah Populasi Produktif

Rasio Ketergantungan

Merah 135 514 26,26%

Kuning 101 401 25,19%

Hijau 80 357 24,64%

Total 316 1.272 24,84%

Secara rata-rata, satu rumah tangga di lokasi penelitian memiliki empat anggota rumah tangga. Seiring dengan kenaikan rasio ketergantungan, beban ekonomi yang harus ditanggung oleh populasi usia produktif juga meningkat. Data diatas menunjukkan bahwa wilayah berkategori merah memiliki rasio ketergantungan paling tinggi. Analisis lebih lanjut juga menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan cluster lainnya, wilayah berkategori merah memiliki persentase siswa tertinggi dan persentase angkatan kerja terendah (Tabel 6).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penduduk yang tinggal di wilayah berkategori merah lebih rentan daripada mereka yang tinggal di wilayah lainnya. Kerentanan ini meningkat seiring dengan dampak kebakaran hutan dan lahan yang semakin parah, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut.

TABEL 6: PERSENTASE MURID VS PENDUDUK BEKERJA Cluster Persentase Siswa Persentase

Penduduk Bekerja

Merah 30,23% 36,95%

Kuning 24,60% 40,48%

Hijau 23,80% 39,59%

Total 26,69% 38,78%

(23)

Dampak Terhadap Penghidupan Lebih dari dua pertiga responden yang diwawancarai memiliki lahan pertanian atau perkebunan. Luas kepemilikan lahan

beragam, namun sebagian besar rumah tangga di wilayah berkategori merah dan kuning memiliki lebih dari lima hektar lahan pertanian atau perkebunan. Komoditas utama yang ditanam oleh para petani ini adalah karet (51%), padi (29%), dan kelapa sawit (13%). Perkebunan karet didapati dominan di wilayah berkategori merah dan kuning.

Meskipun padi adalah komoditas utama bagi rumah tangga di wilayah berkategori hijau, beberapa diantara mereka juga menanam karet untuk sumber penghidupan.

GAMBAR 5: ESTIMASI KERUGIAN KEBUN KARET DI TIAP WILAYAH

Dari total 303 hektar perkebunan karet rakyat yang dimiliki oleh rumah tangga sampel, dilaporkan bahwa 77% atau 143 hek- tar diantaranya mengalami kebakaran - 75 hektar di wilayah berkategori merah, 42 hektar di wilayah berka- tegori kuning, dan 27 hektar di wilayah berka- tegori hijau. Seluruh area yang terbakar dilaporkan memiliki pohon karet produktif.

Dengan menggunakan data nilai usaha tani, biaya produksi, dan pendapatan bersih, maka potensi kerugian diperkirakan sebesar 60.243 dollar AS (821,65 juta rupiah) atau 220 sampai 550 dollar AS (3 sampai 7,5 juta rupiah) per hektar. Gambar 5 menunjukkan estimasi kerugian kebun karet di masing-masing wilayah. Selain kerugian yang diderita petani kecil, GAPKINDO (Gabungan Perusahaan Karet Indonesia) juga melaporkan penurunan produktivitas sampai 30%.

Selama diskusi kelompok, masyarakat di wilayah berkategori merah di Katingan melaporkan bahwa 75% kebun rotan juga terbakar. Komoditas lain yang terbakar mencakup sengon (Albaziafalcataria), petai (Parkiaspeciosa), rambutan (Nepheliumlappaceum), dan kelapa sawit.

418.478.269

178.737.522 231.535.469

Estimasi Kerugian Kebun Karet di Tiap Wilayah (Rupiah)

Merah Kuning Hijau

77%

Perkebunan Karet Rakyat

Terbakar

(24)

GAMBAR 6: PENURUNAN PRODUKSI DI LAHAN YANG TIDAK TERBAKAR

Studi ini juga menemukan bahwa dampak kebakaran tidak hanya diderita oleh mereka yang perkebunan karet ataupun lahan pertaniannya mengalami

kebakaran. Para petani kecil yang lahannya tidak terbakar turut melaporkan adanya penurunan produktivitas yang signifikan.

Secara rata-rata, penurunan produksi di lahan yang tidak terbakar mencapai 40%.

Meskipun demikian, kebakaran bukanlah satu-satunya penyebab situasi ini. Musim kemarau yang berkepanjangan dianggap sebagai penyebab utama

rendahnya produktivitas tersebut.

Hal ini diperburuk oleh

terganggunya proses fotosintesis tumbuhan yang disebabkan oleh kabut asap dan

berkurangnya jam kerja karena jarak pandang yang rendah. Gambar 6 menunjukkan persentase penurunan produksi di masing-masing wilayah.

Diskusi kelompok yang dilakukan di sejumlah desa juga mengungkapkan dampak-dampak kebakaran lain terhadap penghidupan, seperti penurunan hasil tangkapan ikan, penurunan produksi sarang burung walet sebesar 25%, serta tingginya tingkat kematian unggas.

Pendapatan Menurun, Pengeluaran Meningkat:

Tidak ada wilayah yang bebas dari dampak, baik akibat terbakar secara langsung, kabut asap, maupun akibat masalah-masalah lain yang ditimbulkan oleh

kebakaran.

Meskipun titik panas diidentifikasi di wilayah berkategori merah dan kuning dimana lahan pertanian dan perkebunan mendominasi, dampak kebakaran dan kabut asap terhadap pendapatan rumah tangga tersebar hampir merata di seluruh wilayah.

GAMBAR 7: PERSENTASE RUMAH TANGGA YANG MELAPORKAN PENURUNAN PENDAPATAN 50%

47%

20%

Penurunan Produksi di Lahan yang Tidak Terbakar

Merah Kuning Hijau

72,44%

83,76%

73,50%

Penurunan Pendapatan - Persen Jawaban Ya

Merah Kuning Hijau

(25)

Sebagai contoh, 73,5% rumah tangga di wilayah berkategori hijau—dimana titik panas tidak teridentifikasi—melaporkan bahwa pendapatan mereka mengalami penurunan. Secara rata- rata, lebih dari 75% responden yang diwawancarai sepakat bahwa kejadian kebakaran dan kabut asap memengaruhi pendapatan rumah tangga mereka. Gambar 7 menunjukkan bahwa ada lebih banyak rumah tangga di wilayah berkategori kuning yang melaporkan penurunan pendapatan dibandingkan dengan mereka yang tinggal di wilayah lain. Situasi ini diperburuk oleh kenyataan bahwa 100% dari mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan di wilayah berkategori kuning mengalami penurunan pendapatan, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 7.

TABEL 7: PENURUNAN PENDAPATAN VS GARIS KEMISKINAN

Temuan awal ini tidak berarti bahwa rumah tangga yang hidup diatas garis kemiskinan memiliki situasi yang lebih baik. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa rumah tangga dengan pendapatan bulanan rata-rata mulai dari 73 sampai 147 dollar AS (1 sampai 2 juta rupiah), baik di wilayah berkategori merah maupun kuning, mengalami penurunan

pendapatan lebih dari 75%. Dengan kata lain, rumah tangga tersebut berpotensi jatuh dibawah garis kemiskinan. Dengan rasio ketergantungan yang tinggi di kedua wilayah, penurunan pendapatan ini sangat mengkhawatirkan. Melalui diskusi kelompok, tim peneliti

Cluster Pendapatan Menurun?

Kesejahteraan Rumah Tangga

Dibawah Garis Kemiskinan

Diatas Garis Kemiskinan

Merah Ya 67% 76%

Tidak 33% 24%

Kuning Ya 100% 79%

Tidak 0% 21%

Hijau Ya 74% 75%

Tidak 26% 25%

RUMAH TANGGA DENGAN

PENDAPATAN RATA-RATA 1-2 JUTA RUPIAH MENGALAMI PENURUNAN PENDAPATAN LEBIH DARI 75%

(26)

mempelajari bahwa orang akan melakukan apapun agar dapat bertahan hidup, termasuk menjual perabotan rumah tangga mereka.

Meskipun rata-rata penurunan pendapatan di seluruh wilayah mencapai kurang dari 50%, situasi ini tidak boleh diabaikan karena mungkin butuh berbulan-bulan sampai bertahun- tahun agar rumah tangga kembali berada dalam kondisi stabil. Lebih lanjut, studi ini mendapati bahwa persentase penurunan pendapatan yang lebih tinggi dialami oleh rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian/perkebunan.

(27)

GAMBAR 8: KENAIKAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA UNTUK KESEHATAN

Seiring dengan penurunan

pendapatan, rumah tangga dibebani pula dengan kenaikan pengeluaran. Hal ini terjadi tidak hanya karena kenaikan harga-harga barang di pasar yang

disebabkan oleh terganggunya

distribusi barang dan jasa, namun juga karena rumah tangga harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk kesehatan.

Menurut data survei, rumah tangga mencatat pengeluaran lebih tinggi untuk keperluan kesehatan, makanan, dan air selama kejadian kebakaran dan kabut asap. Pengeluaran yang berkaitan dengan kesehatan rata-rata mengalami peningkatan sebesar 206,59% di seluruh wilayah, atau tiga kali lebih besar dibandingkan pengeluaran dalam situasi normal.

Kenaikan pengeluaran untuk kesehatan hingga lebih dari 300% dialami oleh rumah tangga yang berada di wilayah berkategori kuning, yakni mereka yang mengalami penurunan pendapatan paling besar.

3.2.Dampak Kesehatan

Dampak kesehatan dari polusi udara yang disebabkan oleh kebakaran hutan telah ditelaah melalui sejumlah penelitian di seluruh dunia, baik secara langsung saat kejadian maupun dengan jeda waktu untuk menilai dimensi waktunya. Kabut asap terdiri dari zat partikulat yang dapat dilihat, baik yang padat (PM10) maupun yang halus (PM2.5), jenis partikulat

terakhir ini dapat diserap dengan mudah oleh tubuh manusia, masuk kedalam paru-paru dan sistem pernafasan. Gas-gas utama yang dihasilkan selama proses terbakarnya biomassa meliputi karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), metana (CH4), nitrogen oksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), dan amoniak (NH3). Dampak langsung bagi kesehatan dari gas-gas beracun ini kemungkinan rendah karena konsentrasinya tersebar di udara terbuka.

Meskipun demikian, dampak bagi kesehatan dalam jangka panjang karena terpapar karsinogen dari asap yang disebabkan karena kebakaran dapat sangat mengkhawatirkan.

WHO memperkirakan bahwa 3,1 juta kematian di luar ruangan terkait polusi udara di seluruh dunia setiap tahunnya disebabkan karena penyakit jantung iskemik dan stroke (80), penyakit paru obstruktif kronik dan infeksi saluran pernafasan akut (14%), serta kanker paru (6%).

Dari jumlah ini, 340.000 di antaranya disebabkan oleh asap kebakaran hutan dan lahan.

Lebih lanjut, PM10 dari kebakaran hutan tampaknya memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap kesehatan dibandingkan dengan PM10 di perkotaan. Sebuah penelitian selama 8 tahun yang menelaah tingkat polusi udara, termasuk dari kebakaran semak, dan tingkat

177%

323%

167%

0% 50% 100% 150% 200% 250% 300% 350%

Merah Kuning Hijau

Kenaikan Pengeluaran untuk Kesehatan

(28)

hunian rumah sakit menunjukkan bahwa kenaikan PM10 sebesar 10 µg/m3 karena

kebakaran di hutan (bukan di kawasan perkotaan) berhubungan erat dengan peningkatan signifikan jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit karena penyakit yang berkaitan dengan pernafasan.9

GAMBAR 9: INDEKS PENCEMARAN UDARA

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Indonesia telah menyatakan nilai di atas 350 PM berbahaya. Pada tanggal 16 Oktober 2015, nilai PM10 di Kota Palangka Raya tercatat sebesar 1,759 µg/m3. Nilai ini meningkat signifikan hingga 3,700 µg/m3 pada akhir bulan Oktober 2015. Kabut asap begitu tebalnya hingga udara berubah menguning, dan tingkat polusi mencapai 10 kali batas minimal yang dianggap “berbahaya.”

Statistik resmi menunjukkan bahwa sejak bulan Juli sampai November 2015, ditemukan 67.582 kasus infeksi pernafasan akut yang tercatat di Kalimantan Tengah. Dari jumlah ini 21.296 kasus tercatat di Lanskap Katingan-Kahayan (Katingan, Pulang Pisau dan Palangka Raya). Gambar 10 menunjukkan bahwa jumlah kasus mengalami peningkatan signifikan pada minggu ke-42 bulan Oktober 2015, terutama di Palangka Raya. Selama diskusi kelompok, masyarakat melaporkan bahwa kaum lanjut usia dan anak-anak lebih rentan terhadap paparan kabut asap. Satu kasus kematian karena infeksi saluran pernafasan juga dilaporkan dalam salah satu diskusi. Kebanyakan orang menyatakan bahwa mereka tidak suka menggunakan masker karena merasa tidak nyaman atau iritasi. Lebih lanjut, data survei rumah tangga menunjukkan bahwa kasus infeksi saluran pernafasan tertinggi didapati di wilayah berkategori hijau, dimana rata-rata orang mengalami hari sakit selama 117 hari.

9Disusun dari banyak sumber.

(29)

GAMBAR 10: JUMLAH KASUS INFEKSI SALURAN PERNAFASAN

Sumber: Dinas Kesehatan Propinsi, data diolah

Selain infeksi saluran pernafasan, studi ini juga mendapati peningkatan dalam jumlah kasus diare dalam periode yang sama dari bulan Juli sampai November 2015. Statistik resmi mencatat ada 22.206 kasus diare di Propinsi Kalimantan Tengah. Dari jumlah tersebut, 4.377 kasus ditemukan terutama di Lanskap Katingan-Kahayan, terdiri dari 1.843 kasus di Katingan, 1.287 kasus di Pulang Pisau, dan 1.247 kasus di Palangka Raya. Diasumsikan bahwa kabut asap menyebabkan penurunan kualitas air. Sebagaimana halnya dengan infeksi saluran pernafasan, data survei juga mengungkapkan bahwa kasus diare didapati lebih tinggi di wilayah berkategori hijau. Rata-rata orang mengalami hari sakit karena diare selama 6 hari. Gambar 11 menunjukkan data kasus diare di lokasi studi per kabupaten/kota.

206 197 189 160 53

200 215 193 288

212 251 326

238 257 354

288

432 380 375 521

584

363 559

502

593 556 578

687 682

947 957

759 962

825 771 1226

882

407

37 46 55 64 62 87 75 95 147 196 221 258 234 251

126 185 310

451

221

0 200 400 600 800 1000 1200 1400

Mg 26

Mg 27

Mg 28

Mg 29

Mg 30

Mg 31

Mg 32

Mg 33

Mg 34

Mg 35

Mg 36

Mg 37

Mg 38

Mg 39

Mg 40

Mg 41

Mg 42

Mg 43

Mg 44

Juli 2015 Agust 2015 Sep-15 Okt 2015 Nov-

15 Jumlah Kasus Infeksi Saluran Pernafasan

di Katingan, Palangka Raya & Pulang Pisau Juli - 7 November 2015

Katingan Palangka Raya Pulang Pisau

(30)

GAMBAR 11: JUMLAH KASUS DIARE

Sumber: Dinas Kesehatan Propinsi, data diolah

Secara khusus, keterpaparan terhadap kebakaran hutan memiliki implikasi lebih serius terhadap kesehatan bayi dan anak-anak karena secara fisiologis mereka masih

berkembang. Implikasi ini berpotensi memengaruhi masa dewasa mereka.

Lebih lanjut, banyak orang juga melaporkan kasus iritasi mata, tenggorokan, dan kulit. Data survei menunjukkan bahwa jumlah kasus tertinggi untuk gangguan kesehatan ini didapati di wilayah berkategori merah.

Peningkatan kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh penurunan jarak pandang juga dicatat. Sayangnya, tim peneliti hanya dapat mengumpulkan data dari kantor kepolisian daerah di Palangka Raya. Dari bulan Agustus sampai Oktober 2015, kecelakaan lalu lintas menimbulkan 59 korban luka-luka dan 8 kematian. Kantor kepolisian di Palangka Raya memperkirakan potensi kerugian sebesar 7.504,20 dollar AS (102,35 juta rupiah).

GAMBAR 12: JUMLAH KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS 27 32 36 50

28

60 60 77

104 95 109 155

111 100 169

150 141

167172

51 47 29

78 92 95 74

42

65 77

67 80 87 95 76

53 47 45 47 17 18

147

31 38 39 44

66 75

93 94 109 110 112

61 54 80

60 39

Mg 26

Mg 27

Mg 28

Mg 29

Mg 30

Mg 31

Mg 32

Mg 33

Mg 34

Mg 35

Mg 36

Mg 37

Mg 38

Mg 39

Mg 40

Mg 41

Mg 42

Mg 43

Mg 44

Juli 2015 Agust 2015 Sep-15 Okt 2015 Nov-

15 Jumlah Kasus Diare

di Katingan, Palangka Raya & Pulang Pisau Juli - 7 November 2015

Katingan Palangka Raya Pulang Pisau

10

12

19

0 5 10 15 20

Agu-15 Sep-15 Okt-15

Jumlah Kecelakaan Lalu Lintas di Palangka Raya

(31)

3.3. Dampak Lain

Aktivitas Belajar Mengajar

Aktivitas sekolah di seluruh wilayah survei sangat terpengaruh oleh kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan. Sekolah-sekolah ditutup sampai hampir dua bulan. Saat dibuka kembali, jam belajar

diperpanjang untuk mengganti waktu yang hilang. Situasi ini sangat

mengganggu siswa, bukan hanya karena terpapar polusi tetapi juga karena kelelahan fisik akibat jam belajar yang lebih lama.

Dampak terhadap Industri Penerbangan

Industri penerbangan diketahui sangat terpengaruh dengan rendahnya jarak pandang yang disebabkan oleh kabut asap di Kalimantan Tengah. Tim peneliti mengumpulkan data dari otoritas Bandar Udara Tjilik Riwut di Palangka Raya. Data tersebut menunjukkan bahwa dari bulan Agustus sampai Oktober 2015, hanya 279 dari 1.698 penerbangan yang beroperasi tepat waktu. Situasi ini menyebabkan hilangnya pemasukan sebesar 42% bagi otoritas bandara. Gambar 13 menunjukkan status penerbangan yang dioperasikan oleh Bandara Tjilik Riwut dari bulan Agustus sampai Oktober 2015.

GAMBAR 13: STATUS PENERBANGAN

295

463

664

279

0 100 200 300 400 500 600 700

Delay Cancel No Operation On-time

Status Penerbangan

(32)

3.4.Penyebab dan Penanggulangan Kebakaran

Memahami sikap dan perspektif masyarakat terhadap kebakaran hutan dan lahan di lanskap mereka merupakan hal penting untuk merancang dan melaksanakan suatu strategi

penanggulangan kebakaran yang efektif dan berkelanjutan. Pemahaman ini adalah prasyarat untuk mengembangkan strategi kampanye guna memobilisasi masyarakat dan memastikan keterlibatan mereka.

Maka dari itu tim peneliti memasukkan tiga pertanyaan kunci mengenai penyebab

kebakaran dan upaya-upaya penanggulangannya dalam survei kuantitatif. Pertama, para responden diminta memilih semua faktor yang berperan terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan. 70% dari responden survei dengan tepat menyatakan kondisi kekeringan, yang disebabkan oleh fenomena cuaca El Niño. Perlu dicatat bahwa hanya 35% responden yang memilih pembukaan lahan yang dilakukan oleh perusahaan sebagai penyebab utama kebakaran. Ini ditunjukkan pada Gambar 14 di bawah ini.

GAMBAR 14: PENYEBAB KEBAKARAN

Kedua, responden survei diminta untuk menyusun daftar semua pihak yang dianggap paling bertanggung jawab atas kejadian kebakaran lahan dan hutan. Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 15. Sebagian besar responden menuding masyarakat (88%) dan pemerintah daerah (74%) sebagai pihak paling bertanggung jawab. Kurang dari setengah responden yang disurvei (48%) menganggap perusahaan swasta sebagai pihak yang bertanggung jawab.

51%

5%

70%

59%

35%

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80%

Rokok Konflik lahan Kekeringan Pembersihan lahan oleh masyarakat Pembersihan lahan oleh perusahaan

(33)

GAMBAR 15: PIHAK-PIHAK YANG BERTANGGUNG JAWAB

Terakhir, responden survei diminta mengusulkan teknik penanggulangan kebakaran yang paling efektif. Jawaban paling umum adalah melalui kegiatan sosialisasi yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran diantara para pemangku kepentingan utama.

GAMBAR 16: UPAYA PENANGGULANGAN YANG DIUSULKAN OLEH MASYARAKAT

Hasil-hasil survei ini memiliki implikasi penting bagi pendekatan IFM LESTARI di Lanskap Katingan-Kahayan. Masyarakat pada umumnya sadar bahwa kondisi kekeringan

memperburuk kebakaran, dan bahwa institusi pemerintah gagal mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang efektif. Meskipun demikian, masyarakat juga harus menyadari bahwa perusahaan-perusahaan swasta telah melakukan praktek-praktek konversi lahan

45%

5%

23%

11%

14%

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

40%

45%

50%

Sosialisasi Penyediaan alat pemadaman

Monitoring &

penegakan hukum

Pemeliharaan lahan Pembangunan saluran air 53%

74%

88%

48%

26%

Pihak-Pihak yang Bertanggung Jawab

Pemerintah pusat Pemerintah daerah Masyarakat Perusahaan LSM

Gambar

GAMBAR 1: CLUSTERING BERDASARKAN JUMLAH TITIK  PANAS
TABEL 1: KERANGKA SAMPEL  Kabupaten/
GAMBAR 2: DISTRIBUSI TITIK PANAS DI DESA-DESA TARGET
TABEL 2: RINGKASAN DISKUSI KELOMPOK
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menunjang keberhasilan dalam Implementasi Peraturan Daerah Propinsi Kalimantan Tengah Nomor 5 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Dinas Kehutanan Propinsi

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Pulang Pisau (Gambar 2), umumnya penyakit yang disebabkan oleh kejadian kebakaran hutan dan lahan yang diderita

Untuk mengetahui Strategi Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) Dalam Menanggulangi Bencana Kebakaran Hutan Lahan (Studi kasus: UPT Pemadam Kebakaran Duri Kecamatan

- Tim patroli terpadu melakukan sosialisasi tentang pencegahan kebakaran hutan dan lahan serta sangsi hukum bagi pelaku pembakaran di desa lomu Rt 5 pada masyarakat

Bersama ini dengan hormat kami sampaikan laporan kegiatan pengendalian kebakaran hutan lahan tanggal 26 Oktober 2016.. Laporan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Tanggal

Tim Patroli Posko Sebokor menuju ke SMU Puspita untuk mengadakan sosialisasi tentang Karhutla dan dampak akibat kebakaran hutan & lahan, mengajak guru guru &

LAPORAN PELAKSANAAN PATROLI TERPADU PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN Tanggal 13 Juli 2016 LOKASI SASARAN NO PROVINSI DAOPS/ KABUPATEN/ KOTA KECAMATAN DESA/

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pedoman Teknis Penanggulangan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan disebutkan bahwa: “Penanganan pasca kebakaran hutan