• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi ini dilakukan untuk memperkirakan besarnya dampak dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 2015 di Lanskap Katingan-Kahayan (lokasi proyek LESTARI), baik di tingkat lanskap maupun rumah tangga. Studi ini dilakukan oleh Tim Monitoring dan Evaluasi (M&E) LESTARI pada bulan November sampai Desember 2015. Laporan ini merangkum temuan-temuan utama dan disajikan dalam empat bagian: pengantar, metodologi, hasil dan analisis, serta kesimpulan.

1.1.Latar Belakang Proyek

Proyek USAID LESTARI mendukung upaya Pemerintah Republik Indonesia (RI) menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), melestarikan keanekaragaman hayati di ekosistem hutan dan mangrove yang bernilai secara biologis serta kaya akan simpanan karbon. Dibangun di atas fondasi proyek USAID IFACS, LESTARI menerapkan pendekatan lanskap untuk menurunkan emisi GRK, dengan mengintegrasikan aksi konservasi hutan dan lahan gambut dan strategi pembangunan rendah emisi (LEDS) di lahan lain yang sudah terdegradasi. Upaya ini bisa dicapai melalui perbaikan tata guna lahan, tata kelola hutan lindung, perlindungan spesies kunci, praktik sektor swasta dan industri yang berkelanjutan, serta peningkatan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dalam kegiatan konservasi.

Proyek LESTARI diimplementasikan oleh Tetra Tech bersama mitra konsorsium yang terdiri dari WWF-Indonesia, Winrock International, Wildlife Conservation Society (WCS), Blue Forests, Yayasan Sahabat Cipta, PT Hydro South Pole Carbon, Sustainable Travel International (STI), Michigan State University, dan FIELD Foundation. Proyek LESTARI berlangsung dari Agustus 2015 hingga Juli 2020.

Kegiatan LESTARI dilaksanakan di enam lanskap strategis di tiga pulau terbesar Indonesia, yang memiliki sebagian tutupan hutan primer yang masih utuh dan memiliki simpanan karbon terbesar. Di Sumatra bagian utara, Lanskap Leuser mencakup Kabupaten Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Barat Daya, termasuk Taman Nasional Leuser dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Di Kalimantan Tengah, LESTARI bekerja di Lanskap Katingan-Kahayan, yang mencakup Kabupaten Pulang Pisau, Katingan dan Gunung Mas, Kotamadya Palangkaraya, dan Taman Nasional Sebangau dan Taman

Nasional Bukit Baka Bukit Raya. LESTARI juga bekerja di empat lanskap di Papua. Lanskap Sarmi dan Cyclops terletak sepanjang pesisir utara. Lanskap Lorentz Lowlands, mencakup Kabupaten Mimika dan Asmat ditambah sebagian dari Taman Nasional Lorentz, dan Lanskap Mappi-Bouven Digoel yang terletak di pesisir selatan Papua. LESTARI memiliki kantor pusat di Jakarta, dengan kantor cabang di setiap lanskap dan di ibukota provinsi Aceh, Kalimantan Tengah dan Papua.

Hasil yang ingin dicapai Proyek LESTARI adalah:

 KR1: Penurunan total emisi CO2 ekuivalen sebesar 41 % dari kegiatan pemanfaatan lahan, perubahan pemanfaatan lahan dan deforestasi di seluruh wilayah lanskap proyek;

 KR2: Perbaikan pengelolaan setidaknya 8,42 juta hektar hutan primer dan sekunder (serta lahan gambut), termasuk wilayah yang menjadi habitat orangutan;

IR 1: Perbaikan Pengelolaan Hutan:

 KR3: Perbaikan manajemen paling tidak, di enam wilayah konservasi, sehingga mampu melestarikan habitat orangutan dan spesies kunci lainnya, dan mengurangi perburuan spesies hewan endemik;

 KR4: Paling tidak terwujud sepuluh Kemitraan Publik dan Swasta (KPS) yang

memromosikan pembangunan rendah emisi dan pembangunan berbasis konservasi;

 KR5: Penggalangan dana dari sumber pemerintah dan swasta, dalam bentuk investasi bersama guna menunjang keberhasilan proyek;

IR 2: Perbaikan Tata Kelola Pemanfaatan Lahan:

 KR6: Meningkatnya komitmen para pemangku kepentingan dari sektor swasta, pemerintah dan masyarakat dalam mendukung upaya konservasi dan pemanfaatan hutan secara berkelanjutan berikut perlindungan spesies yang hidup di dalamnya;

 KR7: Terciptanya kebijakan, undang-undang, peraturan, dan prosedur yang mendukung pembangunan rendah emisi, perbaikan pengelolaan dan konservasi hutan – yang disahkan dan diterapkan di semua jenjang; dan

 KR8: Tedapat model untuk integrasi strategi pembangunan rendah emisi dan konservasi hutan di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional yang didistribusikan ke semua level pemerintahan dan pemangku kepentingan kunci lainnya.

1.2. Kebakaran Hutan dan Lahan di Lanskap Katingan-Kahayan

Lanskap Katingan-Kahayan bertempat di Kalimantan Tengah, propinsi terluas ketiga di Indonesia. Propinsi ini dibagi menjadi tiga kawasan biofisika: hutan mangrove pantai dan lahan gambut yang didominasi oleh rawa-rawa di bagian selatan; dataran dan perbukitan rendah yang sebelumnya tertutup hutan hujan tropis namun sudah diubah menjadi lahan pertanian; serta kawasan bukit dan pegunungan tinggi yang secara umum masih tertutup hutan dan sulit dilalui. Untuk tujuan proyek LESTARI, lanskap operasional dibagi menjadi Kabupaten Katingan, Pulang Pisau, dan Gunung Mas serta Kota Palangka Raya.

Seluas 31% dari lanskap ini tertutup oleh lahan gambut yang kaya akan kandungan karbon.

Meskipun tanpa perubahan penutupan lahan, emisi dari lahan gambut yang dihitung dengan metodologi RAN/D-GRK mencakup 62% (24,5 Juta t.CO2-eq) dari seluruh emisi berbasis lahan.2 Lahan gambut di Kalimantan Tengah telah mengalami perubahan ekologis dan sosial yang dramatis selama beberapa dasawarsa terakhir. Jutaan hektar kawasan telah dikeringkan dan diubah dari hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan kelapa sawit.

Kawasan semacam ini memiliki risiko lebih besar untuk mengalami kebakaran tak terkendali, terutama jika curah hujan berada dibawah normal.

Di Lanskap Katingan-Kahayan dan wilayah lain di Indonesia, penggunaan api telah lama menjadi bagian terpadu dari praktik-praktik pertanian dan produksi pangan, yang

memberikan kesuburan tanah sekaligus membantu pembukaan lahan untuk ditanami.

Pembukaan lahan dengan cara membakar juga dilakukan untuk perkebunan kelapa sawit dan industri kayu. Meskipun demikian, kebakaran yang meluas tanpa terkendali merupakan

2LESTARI Landscape Baseline Analysis (LBA), September 2015.

ancaman serius bagi kesehatan dan penghidupan masyarakat serta bagi upaya-upaya konservasi di Indonesia. Selama berlangsungnya El Niño di Indonesia pada tahun 1997-1998, kebakaran hutan dan lahan gambut berskala besar menyebabkan kabut asap di berbagai wilayah, ribuan orang harus menjalani perawatan, dan kerugian ekonomi di tingkat nasional sebesar 5 sampai 10 milyar dollar AS.3

Pada bulan Juni sampai Oktober tahun 2015, yang juga tercatat sebagai tahun El Niño, lanskap ini kembali mengalami kebakaran hutan dan lahan yang menghasilkan masalah kabut asap. Tacconi4 mencatat bahwa, dalam tahun-tahun El Niño, lahan gambut yang terdegradasi bisa jadi merupakan faktor risiko paling signifikan sebagai penghasil kabut asap. Hal ini kemudian berdampak merugikan terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, melumpuhkan perekonomian daerah, serta menghancurkan kawasan hutan serta keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya, sekaligus memperparah perubahan iklim dalam skala global.

Pada bulan Oktober 2015, Bank Indonesia di Kalimantan Tengah menerbitkan laporan penilaiannya5 mengenai dampak perekonomian dari peristiwa kabut asap di Kalimantan Tengah. Studi ini memberikan penilaian atas dampak kabut asap terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi, serta indikator-indikator lain termasuk kesehatan, pendidikan, dan reputasi pemerintah. Meskipun studi ini menggunakan data dan informasi pada bulan September 2015 (kejadian kabut asap memburuk pada bulan Oktober 2015), dampak yang terungkap di tingkat propinsi ternyata signifikan. Ini mencakup:

 Dari total kawasan yang mengalami kebakaran seluas 10.015 hektar, 3,21% atau 321,55 hektar diperkirakan merupakan perkebunan karet dan 2,23% atau 223,52 hektar diperkirakan merupakan perkebunan kelapa sawit. Kerugian ekonomi yang diderita oleh petani kecil dan perusahaan perkebunan mencapai 680.000 dollar AS (9,3 milyar rupiah).

 Tingkat hunian hotel turun sebesar 10-15%, menyebabkan hilangnya pendapatan hingga 152.000 dollar AS (2,07 milyar rupiah).

 Pada bulan September 2015, jumlah penerbangan dari dan ke Kalimantan Tengah menurun hingga 43,68% atau 358 penerbangan. Kerugian total bagi industri ini mencapai 50%.

 BI memperkirakan bahwa polusi kabut asap selama bulan September 2015

menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi tahunan bagi Propinsi Kalimantan Tengah sampai sebesar 0,04 – 0,10%.

 Dampak lain mencakup 21.905 orang menderita infeksi saluran pernafasan,

8.165 orang menderita diare, dan ditutupnya sekolah-sekolah selama satu setengah bulan.

 Kejadian kebakaran hutan dan lahan serta polusi kabut asap di Kalimantan Tengah yang terus berulang mengakibatkan penurunan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.

3Early Warning and Response to Peatland Fires in Central Kalimantan, Erica Allis, International Research Institute for Climate and Society, Columbia University, USA.

4Fires in Indonesia: Causes, Costs and Policy Implications, Luca Tacconi, Occasional Paper No. 38, CIFOR, 2003.

5Dampak Kabut Asap terhadap Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah, Ekspedisi Indonesia Biru, Bank Indonesia, Oktober 2015.

1.3. Tujuan dan Latar Belakang

Meskipun telah ada beberapa publikasi mengenai kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sepanjang tahun 2015, termasuk laporan yang baru-baru ini diterbitkan oleh BI untuk

Propinsi Kalimantan Tengah, proyek LESTARI masih menganggap penting untuk melakukan studi tambahan karena beberapa alasan berikut:

 Laporan BI mengenai dampak kebakaran dan kabut asap terbatas pada data dan informasi yang dikumpulkan selama bulan September 2015. Sementara itu, kejadian kebakaran dan kabut asap memburuk selama bulan Oktober 2015. Informasi umum yang dikumpulkan sebelum pelaksanaan studi lapangan mengindikasikan dampak yang lebih besar dari apa yang sebelumnya dilaporkan.

 Meskipun banyak penelitian yang dipublikasikan mengungkapkan dampak di level makro (nasional, propinsi), belum ada penelitian yang dilakukan untuk memahami dampak negatif di level mikro (pedesaan, rumah tangga).

 Analisis Data Dasar Lanskap (Landscape Baseline Analysis atau LBA) mendapati bahwa emisi yang diproyeksikan untuk Lanskap Katingan-Kahayan mencapai 58%

dari semua nilai baseline emisi di seluruh lanskap LESTARI. Hal ini berdampak signifikan bagi desain LESTARI di lanskap Katingan-Kahayan, karena upaya maksimal harus ditempatkan di wilayah dengan proyeksi emisi tertinggi. Dengan demikian, pengelolaan lahan gambut menjadi kunci dan harus mencakup seluruh aspek. Perbaikan pengelolaan lahan gambut melibatkan advokasi kebijakan sebagai sarana untuk mewujudkan perubahan transformatif yang berkelanjutan. Oleh karena itu, mengumpulkan berbagai bukti tentang dampak kebakaran hutan dan lahan di lanskap ini menjadi sangat penting agar proyek mampu berkomunikasi dengan para pembuat kebijakan dengan cara yang konstruktif dan meyakinkan.

Tujuan utama studi ini adalah memperkirakan besaran dampak kebakaran hutan dan lahan di Lanskap Katingan-Kahayan, baik di tingkat lanskap maupun desa/rumah tangga.

Meskipun telah dipahami bahwa kebakaran hutan dan lahan memiliki dampak luas terhadap emisi GRK, keanekaragaman hayati, kesehatan, dan perekonomian, studi ini berfokus pada dampak terhadap penghidupan dari perspektif rumah tangga. Namun demikian, laporan ini juga menyajikan data dan informasi yang terkait dengan dampak kesehatan dan dampak-dampak lain (misalnya, pendidikan, kecelakaan lalu-lintas, pembatalan penerbangan, dan lain sebagainya) yang diperoleh dari pengumpulan data primer dan sekunder.

Dokumen terkait