• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. HASIL

3.1. Dampak Ekonomi

Total Lahan Yang Terbakar

Masyarakat setempat melaporkan bahwa kejadian kebakaran dan kabut asap pada tahun 2015 adalah yang terburuk

dibandingkan dengan kejadian serupa pada tahun-tahun sebelumnya. Laporan

masyarakat ini sesuai dengan hasil analisis terhadap data titik panas yang dilakukan oleh unit SIG LESTARI. Temuan-temuan tersebut menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah titik panas pada tahun 2015 dibandingkan dengan data yang berhasil diidentifikasi pada tahun 2012 – 2014. Gambar 3 menunjukkan situasi tersebut.

Meskipun kejadian kebakaran tersebut dapat dikatakan luar biasa, tidak mudah untuk mengetahui angka pasti dari total luas wilayah yang mengalami kebakaran di lokasi survei.

Berbagai kantor total luas kawasan perkebunan karet yang

GAMBAR 3: JUMLAH TITIK PANAS PADA TAHUN 2012 - 2015

Source : MODIS Terra Aqua - FIRMS – NASA, data processed

mengalami kebakaran di Kabupaten Pulang Pisau selama kejadian kebakaran baru-baru ini adalah seluas 428,40 hektar. Namun dinas pertanian di Pulang Pisau melaporkan bahwa

0

2012 2013 2014 2015

94 90

Jumlah distribusi titik panas di Katingan, Pulang Pisau & Palangka Raya selama bulan Jan-Okt

2012-2015

Katingan Pulang Pisau Palangkaraya

luas perkebunan karet rakyat yang mengalami kebakaran pada tahun 2015 adalah 4.364 hektar.

Menggunakan data yang disajikan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), BI melaporkan bahwa total luas wilayah yang mengalami kebakaran di Propinsi Kalimantan Tengah adalah 10.015 hektar, dengan 3,21% merupakan areal perkebunan karet dan 2,23%

areal perkebunan kelapa sawit. Meskipun demikian, informasi yang dirilis oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pulang Pisau menunjukkan bahwa luas wilayah yang mengalami kebakaran di kabupaten ini adalah 15.326 hektar (Tabel 3).

TABEL 3: TOTAL LAHAN TERBAKAR DI KABUPATEN PULANG PISAU

Kecamatan

Total Lahan Terbakar (Ha)

Padi Sawah Lahan

Sumber: Kantor Dinas Pertanian Pulang Pisau, 30 Oktober 2015

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, studi ini tidak ditujukan untuk mengkalkulasi berapa angka pasti total lahan terbakar di kabupaten/kota yang menjadi target studi. Namun studi ini bermaksud menunjukkan sejauh mana kejadian kebakaran hutan dan lahan

berdampak terhadap penghidupan di tingkat rumah tangga. Meskipun demikian, kurangnya data spasial yang berkualitas dapat membatasi efektivitas dari suatu intervensi kebijakan dan program-program penanggulangan kebakaran. Ada suatu kebutuhan yang jelas yaitu diperlukan adanya koordinasi yang lebih baik antar instansi pemerintah guna memastikan agar metode pengumpulan data yang digunakan terstandarisasi dan berkualitas tinggi, serta hanya data konsisten yang digunakan dan disebarluaskan.

Selain informasi yang diperoleh dari kantor pemerintah daerah, tim peneliti berusaha mengumpulkan data di sebuah desa di Kabupaten Pulang Pisau untuk keperluan studi kasus. Data yang berhasil dikumpulkan dari 126 penduduk di Desa Gohong menunjukkan bahwa perkebunan karet rakyat seluas 243 hektar terbakar selama kejadian kebakaran baru-baru ini. Kerugian ekonomi diperkirakan sebesar 250.000 dollar AS (3,4 milyar rupiah).

Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) di Gohong juga melaporkan bahwa 30% dari 3.155 hektar Hutan Desa di daerah mereka terbakar.

Selanjutnya, unit SIG LESTARI berusaha melakukan analisis lebih lanjut untuk

memperkirakan luas wilayah yang mengalami kebakaran. Dengan menggunakan data burn scar yang disediakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ditemukan bahwa total luas kawasan terbakar di Lanskap Katingan-Kahayan adalah 304.113 hektar - angka tersebut jauh lebih luas dibandingkan dengan berbagai informasi yang dipublikasikan.

Dari angka tersebut, seluas 290.666 hektar terbagi di 3 kabupaten/kota wilayah studi.

Kondisi ini ditunjukkan dalam Gambar 4. Lebih lanjut, data menunjukkan bahwa total luas

lahan terbakar di Blok C (bekas Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar) mencapai 157.311 hektar.

GAMBAR 4: TOTAL LAHAN TERBAKAR DI 3 KABUPATEN/KOTA

Sumber: Analisis SIG menggunakan peta burn scar, dipublikasikan oleh KLHK, 2015.

Dalam diskusi kelompok, masyarakat yang tinggal di desa-desa berkategori merah juga melaporkan bahwa sekitar 80 sampai 95% lahan mereka terbakar. Terlepas dari perbedaan perkiraan luas lahan yang mengalami kebakaran, data tersebut menunjukkan bahwa

kebakaran hutan dan lahan di Lanskap Katingan-Kahayan memang menimbulkan kerusakan parah.

Lalu bagaimana situasi ini memengaruhi rumah tangga di lokasi penelitian? Bagian selanjutnya akan membahas situasi rumah tangga sebelum dan sesudah kejadian kebakaran dan kabut asap.

Situasi Rumah Tangga

Tim peneliti berhasil mewawacarai 390 rumah tangga, yang mencakup 40% rumah tangga di wilayah berkategori merah, 30%

di wilayah berkategori kuning, dan 30% di wilayah berkategori hijau. Sebelum menyajikan dampak kebakaran dan kabut asap terhadap rumah tangga, akan dibahas kondisi kesejahteraan rumah tangga sebelum kejadian kebakaran.

Kesejahteraan Rumah Tangga:

Analisis kesejahteraan rumah tangga dilakukan dengan

pendekatan garis kemiskinan. Ini mencakup penghitungan

pengeluaran bulanan rata-rata per kapita. Hasilnya kemudian

dibandingkan dengan garis kemiskinan resmi yang dirilis oleh BPS Kalimantan Tengah.

TABEL 4: KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA DI LOKASI PENELITIAN

Total Lahan Terbakar di 3 Kab/Kota Tahun 2015

Pulang Pisau Katingan Palangkaraya

Pada bulan September 2015, garis kemiskinan untuk propinsi ini ditetapkan sebesar 26,59 dollar AS (362.729 rupiah) per kapita per bulan (http://kalteng.bps.go.id/Brs/view/id/529).

Studi ini mendapati bahwa dalam situasi normal (tanpa insiden kebakaran), mereka yang tinggal di wilayah berkategori hijau memiliki kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan mereka yang tinggal di wilayah berkategori merah dan kuning. Hal ini ditunjukkan dalam Tabel 4.

Rasio Ketergantungan: Rasio ketergantungan adalah suatu angka yang menunjukkan besar beban tanggungan kelompok usia produktif atas penduduk usia non produktif. Dalam studi ini, analisis dilakukan untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah yang memiliki rasio ketergantungan tinggi, dan karenanya diasumsikan lebih rentan terhadap bencana. Dalam berbagai publikasi internasional, penduduk usia non produktif

biasanya mencakup mereka yang berusia dibawah 15 tahun dan diatas 64 tahun. Sementara usia produktif mencakup penduduk berusia 15 sampai 64 tahun. Tabel 5 menunjukkan rasio

ketergantungan untuk masing-masing cluster.

TABEL 5: RASIO KETERGANTUNGAN DI TIAP CLUSTER Cluster

Secara rata-rata, satu rumah tangga di lokasi penelitian memiliki empat anggota rumah tangga. Seiring dengan kenaikan rasio ketergantungan, beban ekonomi yang harus ditanggung oleh populasi usia produktif juga meningkat. Data diatas menunjukkan bahwa wilayah berkategori merah memiliki rasio ketergantungan paling tinggi. Analisis lebih lanjut juga menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan cluster lainnya, wilayah berkategori merah memiliki persentase siswa tertinggi dan persentase angkatan kerja terendah (Tabel 6).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penduduk yang tinggal di wilayah berkategori merah lebih rentan daripada mereka yang tinggal di wilayah lainnya. Kerentanan ini meningkat seiring dengan dampak kebakaran hutan dan lahan yang semakin parah, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut.

TABEL 6: PERSENTASE MURID VS PENDUDUK BEKERJA Cluster Persentase Siswa Persentase

Penduduk Bekerja

Merah 30,23% 36,95%

Kuning 24,60% 40,48%

Hijau 23,80% 39,59%

Total 26,69% 38,78%

Dampak Terhadap Penghidupan Lebih dari dua pertiga responden yang diwawancarai memiliki lahan pertanian atau perkebunan. Luas kepemilikan lahan

beragam, namun sebagian besar rumah tangga di wilayah berkategori merah dan kuning memiliki lebih dari lima hektar lahan pertanian atau perkebunan. Komoditas utama yang ditanam oleh para petani ini adalah karet (51%), padi (29%), dan kelapa sawit (13%). Perkebunan karet didapati dominan di wilayah berkategori merah dan kuning.

Meskipun padi adalah komoditas utama bagi rumah tangga di wilayah berkategori hijau, beberapa diantara mereka juga menanam karet untuk sumber penghidupan.

GAMBAR 5: ESTIMASI KERUGIAN KEBUN KARET DI TIAP WILAYAH

Dari total 303 hektar perkebunan karet rakyat yang dimiliki oleh rumah tangga sampel, dilaporkan bahwa 77% atau 143 hek- tar diantaranya mengalami kebakaran - 75 hektar di wilayah berkategori merah, 42 hektar di wilayah berka- tegori kuning, dan 27 hektar di wilayah berka- tegori hijau. Seluruh area yang terbakar dilaporkan memiliki pohon karet produktif.

Dengan menggunakan data nilai usaha tani, biaya produksi, dan pendapatan bersih, maka potensi kerugian diperkirakan sebesar 60.243 dollar AS (821,65 juta rupiah) atau 220 sampai 550 dollar AS (3 sampai 7,5 juta rupiah) per hektar. Gambar 5 menunjukkan estimasi kerugian kebun karet di masing-masing wilayah. Selain kerugian yang diderita petani kecil, GAPKINDO (Gabungan Perusahaan Karet Indonesia) juga melaporkan penurunan produktivitas sampai 30%.

Selama diskusi kelompok, masyarakat di wilayah berkategori merah di Katingan melaporkan bahwa 75% kebun rotan juga terbakar. Komoditas lain yang terbakar mencakup sengon (Albaziafalcataria), petai (Parkiaspeciosa), rambutan (Nepheliumlappaceum), dan kelapa sawit.

418.478.269

178.737.522 231.535.469

Estimasi Kerugian Kebun Karet di Tiap Wilayah (Rupiah)

GAMBAR 6: PENURUNAN PRODUKSI DI LAHAN YANG TIDAK TERBAKAR

Studi ini juga menemukan bahwa dampak kebakaran tidak hanya diderita oleh mereka yang perkebunan karet ataupun lahan pertaniannya mengalami

kebakaran. Para petani kecil yang lahannya tidak terbakar turut melaporkan adanya penurunan produktivitas yang signifikan.

Secara rata-rata, penurunan produksi di lahan yang tidak terbakar mencapai 40%.

Meskipun demikian, kebakaran bukanlah satu-satunya penyebab situasi ini. Musim kemarau yang berkepanjangan dianggap sebagai penyebab utama

rendahnya produktivitas tersebut.

Hal ini diperburuk oleh

terganggunya proses fotosintesis tumbuhan yang disebabkan oleh kabut asap dan

berkurangnya jam kerja karena jarak pandang yang rendah. Gambar 6 menunjukkan persentase penurunan produksi di masing-masing wilayah.

Diskusi kelompok yang dilakukan di sejumlah desa juga mengungkapkan dampak-dampak kebakaran lain terhadap penghidupan, seperti penurunan hasil tangkapan ikan, penurunan produksi sarang burung walet sebesar 25%, serta tingginya tingkat kematian unggas.

Pendapatan dampak, baik akibat terbakar secara langsung, kabut asap, maupun akibat masalah-masalah lain yang ditimbulkan oleh

kebakaran.

Meskipun titik panas diidentifikasi di wilayah berkategori merah dan kuning dimana lahan pertanian dan perkebunan mendominasi, dampak kebakaran dan kabut asap terhadap pendapatan rumah tangga tersebar hampir merata di seluruh wilayah.

GAMBAR 7: PERSENTASE RUMAH TANGGA YANG MELAPORKAN PENURUNAN PENDAPATAN 50%

47%

20%

Penurunan Produksi di Lahan yang Tidak Terbakar

Merah Kuning Hijau

72,44%

83,76%

73,50%

Penurunan Pendapatan - Persen Jawaban Ya

Merah Kuning Hijau

Sebagai contoh, 73,5% rumah tangga di wilayah berkategori hijau—dimana titik panas tidak teridentifikasi—melaporkan bahwa pendapatan mereka mengalami penurunan. Secara rata-rata, lebih dari 75% responden yang diwawancarai sepakat bahwa kejadian kebakaran dan kabut asap memengaruhi pendapatan rumah tangga mereka. Gambar 7 menunjukkan bahwa ada lebih banyak rumah tangga di wilayah berkategori kuning yang melaporkan penurunan pendapatan dibandingkan dengan mereka yang tinggal di wilayah lain. Situasi ini diperburuk oleh kenyataan bahwa 100% dari mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan di wilayah berkategori kuning mengalami penurunan pendapatan, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 7.

TABEL 7: PENURUNAN PENDAPATAN VS GARIS KEMISKINAN

Temuan awal ini tidak berarti bahwa rumah tangga yang hidup diatas garis kemiskinan memiliki situasi yang lebih baik. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa rumah tangga dengan pendapatan bulanan rata-rata mulai dari 73 sampai 147 dollar AS (1 sampai 2 juta rupiah), baik di wilayah berkategori merah maupun kuning, mengalami penurunan

pendapatan lebih dari 75%. Dengan kata lain, rumah tangga tersebut berpotensi jatuh dibawah garis kemiskinan. Dengan rasio ketergantungan yang tinggi di kedua wilayah, penurunan pendapatan ini sangat mengkhawatirkan. Melalui diskusi kelompok, tim peneliti

Cluster Pendapatan Menurun?

Kesejahteraan Rumah Tangga

Dibawah Garis Kemiskinan

Diatas Garis Kemiskinan

Merah Ya 67% 76%

Tidak 33% 24%

Kuning Ya 100% 79%

Tidak 0% 21%

Hijau Ya 74% 75%

Tidak 26% 25%

RUMAH TANGGA DENGAN

PENDAPATAN RATA-RATA 1-2 JUTA RUPIAH MENGALAMI PENURUNAN PENDAPATAN LEBIH DARI 75%

mempelajari bahwa orang akan melakukan apapun agar dapat bertahan hidup, termasuk menjual perabotan rumah tangga mereka.

Meskipun rata-rata penurunan pendapatan di seluruh wilayah mencapai kurang dari 50%, situasi ini tidak boleh diabaikan karena mungkin butuh berbulan-bulan sampai bertahun-tahun agar rumah tangga kembali berada dalam kondisi stabil. Lebih lanjut, studi ini mendapati bahwa persentase penurunan pendapatan yang lebih tinggi dialami oleh rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian/perkebunan.

GAMBAR 8: KENAIKAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA UNTUK KESEHATAN

Seiring dengan penurunan

pendapatan, rumah tangga dibebani pula dengan kenaikan pengeluaran. Hal ini terjadi tidak hanya karena kenaikan harga-harga barang di pasar yang

disebabkan oleh terganggunya

distribusi barang dan jasa, namun juga karena rumah tangga harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk kesehatan.

Menurut data survei, rumah tangga mencatat pengeluaran lebih tinggi untuk keperluan kesehatan, makanan, dan air selama kejadian kebakaran dan kabut asap. Pengeluaran yang berkaitan dengan kesehatan rata-rata mengalami peningkatan sebesar 206,59% di seluruh wilayah, atau tiga kali lebih besar dibandingkan pengeluaran dalam situasi normal.

Kenaikan pengeluaran untuk kesehatan hingga lebih dari 300% dialami oleh rumah tangga yang berada di wilayah berkategori kuning, yakni mereka yang mengalami penurunan pendapatan paling besar.

Dokumen terkait