Strategi Pengembangan Perkotaan di Wilayah
Gerbangkertosusila Berdasarkan Pendekatan Daya Saing Wilayah
Eko Budi Santoso 1*
Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota – FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya*
Email : eko_budi@urplan.its.ac.id
Abstrak
Wilayah Gerbangkertosusila merupakan kawasan andalan di Propinsi Jawa Timur yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat, dan menjadi kawasan strategis nasional. Tingginya pertumbuhan ekonomi di wilayah ini sejalan dengan fungsi dan peranannya sebagai pusat pertumbuhan wilayah di Jawa Timur, bahkan pengaruhnya hingga wilayah Indonesia Timur. Dinamika pertumbuhan ekonomi wilayah memberikan pengaruh terhadap perkembangan kawasan perkotaan di wilayah Gerbangkertosusila, khususnya pada kawasan perkotaan metropolitan. Perbedaan dalam tingkat pertumbuhan ekonomi antar wilayah sebagai akibat kemampuan daya saing wilayah yang berbeda, baik dalam keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Agar pengembangan kawasan perkotaan dapat dilakukan secara optimal, maka diperlukan adanya strategi pembangunan perkotaan yang berbasis pada penguatan daya saing wilayah.
Kata kunci: pengembangan perkotaan, daya saing wilayah
1. Pendahuluan
Dinamika pertumbuhan kawasan perkotaan merupakan akibat dari pengaruh perkembangan faktor-faktor internal maupun eksternal, yang masing-masing akan saling terkait. Kota sebagai pusat pertumbuhan mempunyai peran dalam mendorong pertumbuhan kawasan yang ada di sekitarnya. Menurut Yunus (2006), kota-kota besar mempunyai pengaruh kekuatan ekonomi yang berbeda-beda dalam tatanan ekonomi regional maupun nasional, sehingga rentang pengaruhnya ke daerah pinggiran juga berbeda-beda. Dalam beberapa kasus perkembangan perkotaan yang ada, bahkan menunjukkan adanya perkembangan fisik kota yang melebihi atau keluar dari batas wilayah administrasi kota. Proses transformasi fisik-spasial ini lebih lanjut mendorong terjadinya perubahan bentuk kawasan perdesaan menjadi kawasan perkotaan (Yunus, 2006).
Selama ini seringkali terjadi dikotomi antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Ada anggapan bahwa kawasan perkotaan tingkat produktivitas ekonominya lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan perdesaan. Ini akibat akumulasi investasi pembangunan lebih pada mengutamakan
kawasan perkotaan dibandingkan kawasan perdesaan, atau sering diistilahkan dengan
urban bias. Perdesaan secara politis, sosial dan
ekonomi cenderung memiliki posisi melayani atau membantu perkotaan (Rustiadi, et al, 2009).
Menurut Porter (2000), pada hakekatnya kemampuan daya saing suatu negara/wilayah adalah produktivitas, dimana produktivitas menjadi penentu utama standar hidup suatu negara/wilayah dalam jangka panjang. Salah satu unsur penting yang mendukung produktivitas perusahaan menurut Porter adalah lokasi geografis, dimana terdapat konsentrasi geografis yang memberikan akses terhadap input faktor-faktor yang dianggap khusus sehingga mampu memberikan kinerja tinggi. Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah atau daerah sangat tergantung dari keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayahnya (Rustiadi, et al, 2009). Daya saing wilayah bersifat dinamis, artinya dapat mengalami peningkatan atau penurunan tergantung pada kemampuan pemerintah daerah mengembangkan produktivitas ekonomi daerahnya.
maupun keunggulan kompetitif. Peningkatan daya saing wilayah terutama difokuskan pada sektor-sektor ekonomi yang dapat berperan sebagai penggerak ekonomi
wilayah (regional economic prime mover),
yang diharapkan memberikan efek
pengganda (multiplier effect) terhadap
perekonomian daerah dan khususnya pada sektor basis (Rustiadi, et al, 2009).
Wilayah-wilayah yang mempunyai
resources endowment yang berlimpah,
mempunyai kecenderungan menggunakan pendekatan teori keunggulan komparatif mengikuti pendekatan Ricardian (1817), yang mendorong terjadinya spesialisasi wilayah dalam memproduksi barang dan jasa yang memiliki produktivitas dan
efisiensi tinggi. Sementara daerah-daerah
yang mempunyai sumberdaya alam terbatas cenderung menggunakan pendekatan keunggulan kompetitif mengikuti model yang dikembangkan oleh Porter (1996).
Menurut Webster dan Muller (2000), dalam mengkaji daya saing kota sudah seharusnya mempertimbangkan struktur
ekonomi, territorial endowments, sumber
daya manusia, dan lingkungan
kelembagaan (institutional milieu). Bahkan
pengembangan sumber daya manusia harus sesuai dengan perekonomian yang berkembang di kota-kota jika sumber daya manusia untuk menjadi aset yang kompetitif.
2. Peranan Ekonomi dan Daya Saing
Wilayah di Gerbangkertosusila
Sebagaimana diketahui wilayah Gerbangkertosusila merupakan kawasan andalan di Propinsi Jawa Timur yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat, dan menjadi kawasan strategis nasional. Tingginya pertumbuhan ekonomi di wilayah ini sejalan dengan fungsi dan perannya sebagai pusat pertumbuhan wilayah di Jawa Timur, bahkan pengaruhnya hingga wilayah Indonesia Timur.
2.1 Perekonomian Wilayah
Peran wilayah Gerbangkertosusila yang semakin meningkat sebagai penggerak dan sekaligus kontributor pembangunan ekonomi di Jawa Timur, tidak dapat dilepaskan dari kinerja pembangunan ekonomi masing-masing kabupaten/kota. Wilayah ini terdiri dari 7 kabupaten/kota (Kota Surabaya, Kota Mojokerto, Kab. Sidoarjo, Kab. Gresik, Kab. Lamongan, Kab. Mojokerto dan Kab. Bangkalan) memberikan
sumbangan PDRB terhadap Propinsi Jawa Timur pada tahun 2000 sebesar 43,67 %, meningkat pada tahun 2005 menjadi 45,25 %, dan tahun 2007 sebesar 44,57%. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa wilayah ini berkembang semakin produktif dan sangat kompetitif dibandingkan wilayah lainnya di Propinsi Jawa Timur.
Gambar 1: PDRB Kabupaten/Kota di Wilayah Gerbangkertosusila Tahun 2007
Sumber: JICA GKS-ISP Study, 2009
2.2 Pendapatan Per Kapita
Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat diukur dengan besarnya pendapatan per kapita. Kondisi pendapatan per kapita di wilayah Gerbangkertosusila menempatkan Kota Surabaya pada posisi unggul, dan diikuti oleh Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik. Sedangkan Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Lamongan berada pada tingkatan bawah dalam pendapatan per kapita. Kondisi yang sangat menyolok dimana Kota Surabaya mampu menghasilkan pendapatan per kapita lima kali lebih tinggi dibandingkan Kabupaten Bangkalan atau Kabupaten Lamongan.
Gambar 2: PDRB per Kapita di Wilayah Gerbangkertosusila Tahun 2006 dan 2007
Sumber: JICA GKS-ISP Study, 2009
pendapatan tinggi. Tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi/baik menjadi salah satu faktor yang mendorong peningkatan arus urbanisasi, khususnya ke Kota Surabaya.
2.3 Daya Saing Wilayah
Semakin kuatnya daya saing wilayah Gerbangkertosusila tidak dapat dipisahkan dari peningkatan produktivitas ekonomi yang terjadi di wilayah ini. Meskipun pada kenyataannya tingkat daya saing daerah pada masing-masing kabupaten/kota tersebut berbeda-beda. Penentuan peringkat daya saing daerah yang dilakukan PPSK BI dan LP3E FE Unpad (2008) dikaji berdasarkan faktor input, yang meliputi perekonomian daerah, sumber daya manusia dan ketenagakerjaan, lingkungan usaha produktif, infrastruktur, sumber daya alam dan lingkungan, serta perbankan dan lembaga keuangan. Sedangkan faktor output meliputi produktivitas tenaga kerja, PDRB per kapita, dan tingkat kesempatan kerja.
Berdasarkan hasil pemetaan daya saing Kabupaten/Kota di Indonesia pada tahun 2007 menunjukkan tiga daerah di wilayah Gerbangkertosusila yang masuk dalam kelompok peringkat teratas, yaitu Kota Surabaya (peringkat 13), Kabupaten Sidoarjo (peringkat 29), dan Kabupaten Gresik (peringkat 44). Sementara Kabupaten Bangkalan hanya menempati peringkat 331 dari 434 Kabupaten/ Kota di Indonesia.
13
Daya Saing Daerah Daya Saing Indikator Input Daya Saing Indikator Output Gambar 3: Daya Saing Daerah di Wilayah
Gerbangkertosusila Tahun 2007
Sumber: Diolah dari Data PPSK Bank Indonesia – LP3E FE UNPAD (2008)
Hal ini juga menunjukkan bahwa kemampuan daya saing antar daerah di wilayah Gerbangkertosusila sangat berbeda bahkan ada semacam disparitas antardaerah. Dari sisi keruangan (spasial) antara Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik dan Kabupaten Sidoarjo ada kedekatan keruangan, yang secara
langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap daya saing kedua daerah tersebut.
3. Metodologi
Daya saing perkotaan menurut Webster dan Muller (2000) mengacu pada kemampuan suatu wilayah perkotaan untuk memproduksi dan memasarkan serangkaian produk (barang dan jasa) yang merupakan nilai yang baik (tidak harus harga terendah) sehubungan dengan produk yang sebanding pada daerah perkotaan lainnya. Menurut Turok (2004), terdapat tiga komponen penting sebagai penentu pembangunan ekonomi, yaitu: (1) kemampuan perusahaan lokal untuk mengekspor produknya ke pasar luar, (2) nilai produk dan efisiensi dalam produksi (produktivitas), dan (3) penggunaan sumber daya manusia lokal, modal dan sumber daya alam. Sedangkan daya saing adalah suatu fungsi saling keterhubungan yang kompleks antar komponen-komponen tersebut.
Adanya spesialisasi / konsentrasi sektor ekonomi di suatu wilayah masih menjadi salah satu pendekatan dalam mengukur daya saing wilayah. Kemampuan mengekspor produk (barang dan jasa) banyak dipengaruhi oleh kekuatan sektor basis, yang dapat dianalisis menggunakan perhitungan LQ (Location Quotient). Hasil analisa LQ dipetakan dalam bentuk diagram sarang laba-laba untuk melihat kinerja seluruh sektor, baik sektor basis maupun non basis.
Menurut Webster dan Muller (2000), dalam mengkaji daya saing, maka perlu fokus pada kegiatan ekonomi dan tempat/lokasi. Kegiatan ekonomi berkaitan dengan bagaimana kota bersaing di dunia nyata, sedangkan tempat/lokasi sangat penting dalam menentukan dimana kegiatan akan berlokasi, dikembangkan, atau berlangsung dalam waktu tertentu. Untuk itu, dalam merumuskan strategi daya saing kota dapat dilakukan dengan analisa SWOT atau kajian keunggulan dan kelemahan daya saing daerah. Pembandingan
(banchmarking) daya saing daerah dilakukan
terhadap faktor-faktor input, yang meliputi perekonomian daerah, sumber daya manusia dan ketenagakerjaan, lingkungan usaha produktif, infrastruktur, sumber daya alam dan lingkungan, serta perbankan dan lembaga keuangan (PPSK BI dan LP3E FE Unpad, 2008) .
dan pemetaan daya saing ekonomi daerah PPSK BI – LP3E FE Unpad, serta dokumen perencanaan yang relevan.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Kemampuan Ekonomi Wilayah
Kemampuan ekonomi wilayah diidentifikasi melalui analisa LQ untuk memetakan spesialisasi wilayah berdasarkan sektor basisnya. Untuk memberikan gambaran posisi masing-masing sektor ekonomi disajikan dalam bentuk diagram sarang laba-laba.
Kota Surabaya
Kota Surabaya mempunyai kemampuan perekonomian daerah yang tinggi dilihat dari sumbangan PDRB, pendapatan per kapita, dan daya saing
daerah. Pembandingan (benchmark)
terhadap daerah kabupaten/kota lainnya di GKS, Kota Surabaya berada pada posisi teratas. Sektor basis yang mendukung perekonomian daerah adalah industri pengolahan, infrastruktur, perdagangan, keuangan dan jasa perusahaan. Sektor sekunder dan tersier menjadi penting peranannya dalam perekonomian Kota Surabaya yang mencakup 6 kegiatan sektor ekonomi. Pada diagram sarang laba-laba, bentuk diagram mengarah ke bawah.
0.010.01 1.11
Pertambangan & Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik & Air Bersih
Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran
Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa
Perusahaan Jasa-Jasa
Gambar 4: Hasil Analisa LQ Kota Surabaya
Kabupaten Sidoarjo
Kemampuan perekonomian daerah Kabupaten Sidoarjo masih tergolong cukup baik dari sisi sumbangan PDRB, pendapatan per kapita, dan daya saing
daerah. Pembandingan (benchmark)
terhadap daerah kabupaten/kota lainnya di GKS, Kabupaten Sidoarjo menempati posisi kedua setelah Kota Surabaya. Sektor basis yang mendukung perekonomian daerah adalah industri pengolahan dan infrastruktur. Kabupaten Sidoarjo hanya mempunyai 3 kegiatan sektor ekonomi yang menjadi
sektor basis. Sementara itu, bentuk diagram sarang laba-laba mengarah ke kiri dan kanan, sedangkan selebihnya mengelompok dan mendekati titik tengah.
0.22 0.28
Pertambangan & Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik & Air Bersih
Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran
Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa
Perusahaan Jasa-Jasa
Gambar 5: Hasil Analisa LQ Kabupaten Sidoarjo
Kabupaten Gresik
Kemampuan perekonomian daerah Kabupaten Gresik masih tergolong cukup baik dari sisi sumbangan PDRB, pendapatan per kapita, dan daya saing daerah. Pembandingan
(benchmark) terhadap daerah kabupaten/kota
lainnya di GKS, Kabupaten Gresik menempati posisi ketiga setelah Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo, meskipun demikian tidak berbeda jauh dengan Kabupaten Sidoarjo. Sektor basis yang mendukung perekonomian daerah adalah pertambangan, industri pengolahan, dan infrastruktur. Kabupaten Gresik mempunyai 6 kegiatan sektor ekonomi yang berperan sebagai sektor basis. Diagram sarang laba-laba hanya membentuk satu sudut yang mengarah ke sudut kanan bawah.
1.16
Pertambangan & Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik & Air Bersih
Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran
Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa
Perusahaan Jasa-Jasa
Gambar 6: Hasil Analisa LQ Kabupaten Gresik
Kota Mojokerto
ekonomi yang berperan sebagai sektor basis. Diagram sarang laba-laba mempunyai bentuk yang mengarah ke bawah.
0.050 0.54
Pertam bangan & Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik & Air Bersih
Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran
Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa
Perusahaan Jasa-Jasa
Gambar 7: Hasil Analisa LQ Kota Mojokerto
Kabupaten Mojokerto
Kemampuan perekonomian daerah Kabupaten Mojokerto masih tergolong cukup baik dari sisi sumbangan PDRB, pendapatan per kapita, dan daya saing daerah. Pembandingan (benchmark) terhadap daerah kabupaten/kota lainnya di GKS, Kabupaten Mojokerto masih berada pada peringkat kelima. Sektor basis yang mendukung perekonomian daerah adalah pertanian dan industri pengolahan. Kabupaten Mojokerto hanya mempunyai 2 kegiatan sektor ekonomi yang menjadi sektor basis. Diagram sarang laba-laba mempunyai bentuk sudut yang mengarah ke atas dan samping kanan.
0.76
Pertambangan & Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik & Air Bersih
Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran
Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa
Perusahaan Jasa-Jasa
Gambar 8: Hasil Analisa LQ Kab. Mojokerto
Kabupaten Lamongan
Kemampuan perekonomian daerah Kabupaten Lamongan masih tergolong rendah dari sisi sumbangan PDRB, pendapatan per kapita, dan daya saing
daerah. Pembandingan (benchmark)
terhadap daerah kabupaten/kota lainnya di GKS, Kabupaten Lamongan menempati posisi kedua terendah setelah Kabupaten Bangkalan. Sektor basis yang mendukung perekonomian daerah adalah pertanian, perdagangan, dan jasa. Kabupaten
Lamongan mempunyai 3 kegiatan sektor ekonomi yang berperan sebagai sektor basis. Sementara itu, diagram sarang laba-laba mempunyai bentuk sudut yang dominan mengarah ke atas.
0.13
Pertambangan & Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik & Air Bersih
Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran
Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa
Perusahaan Jasa-Jasa
Gambar 9: Hasil Analisa LQ Kabupaten Lamongan
Kabupaten Bangkalan
Kemampuan perekonomian daerah Kabupaten Bangkalan masih tergolong rendah baik dari sisi sumbangan PDRB, pendapatan per kapita, dan daya saing daerah.
Pembandingan (benchmark) terhadap daerah
kabupaten/kota lainnya di GKS, Kabupaten Bangkalan menempati posisi terbawah. Sektor basis yang mendukung perekonomian daerah adalah pertanian, infrastruktur dan jasa-jasa. Kabupaten Bangkalan mempunyai 4 kegiatan sektor ekonomi yang berperan sebagai sektor basis. Adapun bentuk diagram sarang laba-laba membentuk bidang yang mengarah ke atas.
0.89
Pertambangan & Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik & Air Bersih
Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran
Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa
Perusahaan Jasa-Jasa
Gambar 10: Hasil Analisa LQ Kabupaten Bangkalan
mengembangkan daya saing daerah maka setiap daerah harus fokus pada sektor-sektor tertentu yang menjadi andalan daerahnya. Beberapa daerah yang mengandalkan kekuatan sektor pertanian dan sektor pertambangan, serta sektor industri berbasis sumber daya alam memberikan gambaran adanya kekuatan
resources endowment yang dapat menjadi
keunggulan komparatif daerah itu.
4.2 Keunggulan dan Kelemahan Daya Saing Daerah
Faktor-faktor input yang terdiri dari perekonomian daerah, sumber daya manusia dan ketenagakerjaan, lingkungan usaha produktif, infrastruktur, sumber daya alam dan lingkungan, serta perbankan dan lembaga keuangan dinilai berdasarkan keunggulan dan kelemahan daya saing daerah yang dimiliki pada masing-masing daerah. Secara umum Kota Surabaya lebih unggul dibandingkan kota/kabupaten lainnya di wilayah Gerbangkertosusila untuk semua faktor-faktor input, selanjutnya diikuti oleh Kabupaten Sidoarjo. Kabupaten Gresik masih mempunyai keunggulan faktor-faktor input, kecuali dalam indikator lingkungan usaha produktif masih belum kompetitif.
Sementara itu, Kabupaten Bangkalan masih jauh tertinggal dibandingkan daerah lainnya dalam daya saing faktor inputnya. Kabupaten Mojokerto, dan Kabupaten Lamongan meskipun masih belum kompetitif dalam faktor input, namun masih mempunyai keunggulan dalam sumber daya manusia dan ketenagakerjaan, serta perbankan dan lembaga keuangan. Demikian pula Kota Mojokerto masih ada kelemahan dalam sumber daya manusia, infrastruktur, dan perbankan dan lembaga keuangan.
Perekonomian daerah
Kota Surabaya masih mempunyai keunggulan dalam hal produktivitas sektor tersier, dan besarnya investasi per kapita, yang tidak terdapat di daerah yang lain. Keunggulan dalam potensi ekspor daerah, kemahalan daerah, dan kepadatan industri selain Kota Surabaya, juga terdapat pada daerah-daerah lainnya kecuali Kabupaten Bangkalan.
Kelemahan perekonomi daerah pada umumnya berkaitan dengan masih rendahnya total pengeluaran pemerintah dibandingkan dengan PDRB kecuali Kota Mojokerto. Selain itu, Kabupaten Lamongan
dan Kabupaten Bangkalan menghadapi keterbatasan kapasitas fiskal daerah.
Sumber daya manusia dan ketenagakerjaan Jumlah penduduk dan angkatan kerja, rasio ketergantungan, angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah penduduk dan tenaga kerja menjadi keunggulan bagi Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, sedangkan Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Bangkalan hanya unggul dalam jumlah penduduk dan angkatan kerja.
Kota Mojokerto mempunyai masalah keterbatasan jumlah penduduk dan angkatan kerja, sedangkan Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Bangkalan pada rata-rata lama sekolah penduduk dan tenaga kerja. Kabupaten Bangkalan juga menghadapi usia harapan hidup yang rendah.
Lingkungan usaha produktif
Sedikitnya jumlah Perda yang bermasalah menjadi keuunggulan , jumlah sektor basis, penduduk dengan pendidikan perguruan tinggi lebih banyak menjadi keunggulan Kabupaten Sidoarjo, Kota Mojokerto, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Bangkalan. Sementara itu, jumlah penduduk yang berpendidikan tinggi menjadi unggulan Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kota Mojokerto. Jumlah sektor basis menjadi unggulan Kota Surabaya, dan Kota Mojokerto.
Banyaknya Perda bermasalah menjadi hambatan bagi Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik. Daerah yang mempunyai sektor basis sedikit adalah Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Lamongan, dan Kabupaten Mojokerto. Sedangkan Kabupaten Bangkalan menghadapi minimumnya belanja pelayanan publik per kapita, minimnya penduduk dengan pendidikan perguruan tinggi, dan tingginya tingkat kemiskinan.
Infrastruktur, SDA dan lingkungan
Kabupaten Lamongan mempunyai kelemahan dalam produktivitas sektor pengangkutan, rasio luas lahan produktif. Kelemahan Kota Mojokerto dalam kondisi jalan, Kabupaten Mojokerto dalam produktivitas sektor pengangkutan, dan Kabupaten Gresik dalam rasio luas lahan produktif. Sedangkan Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Bangkalan mempunyai mempunyai posisi netral untuk indikator lainnya.
Perbankan dan lembaga keuangan
Keunggulan faktor perbankan dan lembaga keuangan berkaitan dengan kemampuan memfasilitasi kegiatan perekonomian . Sebaran jumlah kantor bank menjadi unggulan di Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, dan Kabupaten Lamongan. Total kredit yang disalurkan perbankan unggul di Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik. Kota Mojokerto unggul dalam produktivitas sektor keuangan dan Kabupaten Gresik dalam produktivitas koperasi.
Secara umum tidak ada kelemahan yang cukup menonjol dalam faktor input ini. Namun kelemahan dalam produktivitas sektor keuangan masih perlu diperhatikan oleh Kabupaten Sidoarjo.
4.3 Konsep Pengembangan Perkotaan Gerbangkertosusila
Wilayah Gerbangkertosusila sebagai satu entitas wilayah yang mencakup sistem perkotaan dan sistem perdesaan yang saling berinteraksi. Dalam konteks sistem perkotaan telah terbentuk hubungan antara kota metropolitan, kota besar/sedang dan kota kecil, sesuai dengan perannya masing-masing (PKN, PKW, dan PKL). Faktor jarak antara kota yang berdekatan, pertumbuhan penduduk dan ekonomi, perluasan permukiman dan area terbangun kota menimbulkan aglomerasi perkotaan di wilayah ini. Oleh karena peranan aglomerasi perkotaan sedemikian besar dalam sistem perekonomian, kependudukan, sosial dan budaya nasional yang tercipta melalui proses panjang, maka wilayah ini menunjukkan peranan dominasi dalam konstelasi nasional (Yunus, 2006).
Konfigurasi sistem perkotaan di wilayah Gerbangkertosusila akan selalu tumbuh dan berkembang dengan arah dan besaran yang berbeda-beda. Perbedaan fungsi dan peran masing-masing kota seharusnya bukan menjadi kompetitor
terhadap kota lainnya, melainkan dapat saling mendukung dan melengkapi satu kota terhadap kota lainnya. Menurut Yunus (2006), apabila kota-kota yang bergabung mempunyai kedudukan yang sejajar baik dari segi peranannya dalam konstelasi perekonomian maupun jumlah penduduk maka dominasi pusat-pusat kegiatan tidak akan tampak, namun apabila koalisi perkotaan tercipta dari gabungan kota besar utama dengan kota-kota yang lebih kecil di sekitarnya, maka konstelasi perekonomian akan terlihat adanya dominasi peran dari pusat kegiatan utama.
Berdasarkan konsepsi konfigurasi sistem perkotaan menurut McGee (dalam Yunus, 2006), ada beberapa tipologi perkotaan yang bisa diidentifikasi dari sistem perkotaan di wilayah Gerbangkertosusila, yaitu eksistensi kota-kota besar, daerah peri-urban, daerah desa-kota, dan kota-kota kecil. Menurut Yunus (2006), intensitas transformasi keruangan (spasial) sangat bervariasi, dimana makin dekat ke kota dan/atau jalur jalan/transportasi utama maka proses transformasi akan berlangsung makin intens. Fakta-fakta empirik yang ada menunjukkan bahwa berkembangnya Kota Surabaya sebagai kota utama di wilayah Gerbangkertosusila, juga diikuti dengan berkembangnya daerah peri-urban akibat pengembangan permukiman baru, dan berkembangnya desa-kota pada koridor pergerakan antar kota. Perkembangan tersebut tidak lepas dari adanya pertumbuhan
perkotaan yang tidak terkontrol (urban
sprawling), perpindahan penduduk ke kawasan
perumahan baru di daerah peri-urban dan konversi penggunaan lahan yang tidak sesuai (JICA ISP, 2009).
Konsep pengembangan perkotaan pada wilayah Gerbangkertosusila diarahkan dengan
pendekatan Polycentric Urban Region untuk
mengurangi dominasi Kota Surabaya. Dalam pendekatan ini, dipilih beberapa kawasan perkotaan yang akan dikembangkan sebagai pusat pelayanan perkotaan berdasarkan peranan dan fungsi tertentu. Pendekatan
polycentric ini diharapkan dapat berperan
mengurangi perkembangan perkotaan yang
tidak terkendali (urban sprawl). Beberapa
dalam pemanfaatan potensi wilayah, tidak hanya terbatas pada barang dan jasa yang mempunyai keunggulan komparatif, melainkan juga mendorong terjadinya keunggulan kompetitif.
Gambar 9: Struktur Perkotaan di Wilayah GKS
Sumber: JICA GKS-ISP Study, 2009
Pusat-pusat perkotaan utama di wilayah Gerbangkertosusila ditetapkan mempunyai peran dan fungsi yang
berbeda-beda. Menurut Porter (2000), lokasi
mempengaruhi keunggulan kompetitif melalui pengaruhnya terhadap produktivitas dan terutama pada pertumbuhan produktivitas, diantaranya melalui pembentukan klaster-klaster ekonomi pada lokasi tertentu. Adanya kawasan ekonomi khusus yang diintegrasikan dalam pengembangan perkotaan dapat mendorong keunggulan kompetitif jika didukung dengan konsentrasi keterampilan dan pengetahuan yang sangat khusus sebagai faktor inputnya.
Gambar 10: Konsep Struktur Wilayah GKS
Sumber: JICA GKS-ISP Study, 2009
4.4 Strategi Pengembangan Daya Saing Perkotaan
Strategi pengembangan daya saing perkotaan dilakukan dengan tujuan meningkatkan produktivitas dan efisiensi faktor-faktor input dalam rangka
mewujudkan polycentric urban region di
wilayah Gerbangkertosusila. Adanya
perbedaan peran dan fungsi perkotaan dapat menimbulkan kompetisi ataupun kolaborasi antar kawasan perkotaan. Namun kompetisi yang sebenarnya jauh berbeda. Kompetisi adalah bersifat dinamis dan bertumpu pada inovasi dan mencari perbedaan strategis (Porter, 2000).
Strategi pengembangan perkotaan yang berdaya saing di wilayah Gerbangkertosusila perlu mempertimbangkan spesialisasi daerah
yang dibentuk adanya resources endowment,
keunggulan dan kelemahan daya saing daerah, serta konsep perkotaan yang dikembangkan
melalui pendekatan polycentric urban region.
Beberapa strategi pengembangan perkotaan yang dapat diterapkan pada wilayah Gerbangkertosusila adalah:
Strategi berbasis pada inovasi perkotaan
yang didukung peningkatan kualitas pelayanan perkotaan, ekonomi berbasis
pengetahuan (knowledge based economy),
dan pemanfaatan ICT. Dalam hal ini Kota Surabaya seharusnya tidak lagi bersaing dengan kota-kota sekunder di sekitarnya, melainkan harus mampu bersaing dalam tataran global. Oleh sebab itu, keunggulan kompetitif harus menjadi pendorong utama pertumbuhan kota.
Strategi berbasis pada upaya peningkatan
produktivitas daerah melalui diversifikasi dan pengembangan sektor basis, peningkatan lingkungan usaha, serta pengembangan infrastruktur dan sumber daya manusia. Strategi ini diarahkan pada perkotaan Sidoarjo dan Gresik dengan meningkatan produktivitas lahan sesuai dengan rencana tata ruang, mengoptimalkan aglomerasi ekonomi, dan mendorong regulasi yang lebih ramah investasi.
Strategi berbasis pada optimalisasi peran
dan fungsi perkotaan yang didukung pengembangan sumber daya manusia, peningkalan kualitas pelayanan perkotaan, dan pengembangan ekonomi kreatif. Strategi ini diarahkan pada Kota Mojokerto yang mempunyai keterbatasan lahan untuk pengembangan kota. Keterbatasan
resources endowment mengharuskan Kota
Mojokerto memanfaatkan pendekatan keunggulan kompetitif sebagai pilihan untuk meningkatkan daya saing kotanya, salah satunya dengan memanfaatkan posisi strategisnya sebagai outlet pemasaran bagi wilayah sekitarnya.
Strategi berbasis pada pengelolaan sumber
Kabupaten Mojokerto yang memiliki
keunggulan dalam resources
endowment. Kawasan perkotaan
Mojokerto seharus mampu memanfaatkan potensi ini sebagai keunggulan komparatif dengan mengintegrasikan sektor pertanian dengan kegiatan agroindustri, kegiatan agrobisnis, serta kegiatan pemanfaatan jasa-jasa lingkungan.
Strategi berbasis pada penguatan
potensi ekonomi lokal melalui pengembangan lingkungan usaha produktif. Strategi ini diarahkan pada Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Bangkalan yang mempunyai daya saing daerah yang rendah. Pembangunan infrastruktur fisik, pengembangan sumber daya manusia, lingkungan usaha produktif untuk mengatasi ketertinggalan daya saing daerah. Tidak cukup mengejar ketertinggalan hanya melalui keunggulan komparatif, namun diperlukan pula menciptakan keunggulan kompetitif di wilayahnya. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan
leap frog development strategy untuk
mencapai keunggulan yang lebih tinggi. Adanya strategi pengembangan perkotaan yang berbeda ini diharapkan dapat mendorong terjadinya kolaborasi dan sinergi antar kawasan perkotaan, dan pada akhirnya mampu meningkatkan daya saing wilayah secara berkelanjutan.
5. Kesimpulan
Kajian strategi pengembangan perkotaan berdasarkan daya saing wilayah melihat dari sisi kemampuan keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif. Sumber daya manusia di perkotaan menjadi bagian dari keunggulan komparatif jika ditinjau dari sisi jumlah penduduk dan tenaga kerja, dan dapat menjadi bagian dari keunggulan kompetitif jika ditinjau dari sisi kualitas sumber daya manusia, seperti penduduk yang menamatkan pendidikan pada perguruan tinggi.
Pengembangan perkotaan tidak hanya mengandalkan pada kelimpahan
resources endowment, namun agar
kawasan perkotaan mampu bersaing dengan kawasan perkotaan lainnya diperlukan adanya keunggulan kompetitif. Untuk mengembangkan daya saing wilayah, diawali dengan penentuan spesialisasi wilayah yang didasarkan keunggulan
komparatif. Selanjutnya dilakukan pemetaan daya saing wilayah sebagai masukan dalam menentukan keunggulan kompetitif.
Produktivitas merupakan sumber daya saing perkotaan, sehingga kota yang berdaya saing adalah kota yang produktif. Strategi yang diterapkan bagi pengembangan perkotaan adalah meningkatkan produktivitas faktor-faktor input yang menjadi dasar pengembangan perkotaan.
6. Pustaka
Faludi, A. (2005). Polycentric territorial
cohesion policy. Town Planning Review.
Vol. 76 (1): hal. 107 – 118.
JICA GKS-ISP Team (2009). JICA Study on
Formulation of Spatial Planning for
Gerbangkertosusila Zone. Surabaya: JICA
Porter, M.E. (1996). Competitive Advantage, Agglomeration Economies, and Regional
Policy. International Regional Science
Review. Vol. 19 (1 & 2): hal.85 – 94.
Porter, M.E. (2000). Location, Competition, and Economic Development: Local Clusters in a
Global Economy, Economic Development
Quarterly. Vol. 14, No. 1, February 2000:
hal. 15 – 34.
Porter, M.E. (2003). The Economic
Performance of Regions. Urban Studies.
Vol. 37, No. 6 & 7: hal. 549 – 578.
PPSK Bank Indonesia dan LP3E FE Unpad
(2008). Profil dan Pemetaan Daya Saing
Ekonomi Daerah Kabupaten/Kota di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Rustiadi, E., S. Saefulhakim, dan D.R. Panuju
(2009). Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan
Yayasan Obor Indonesia.
Turok, Ivan (2004). Cities, Regions and
Competitiveness. Regional Studies, 38 (9):
hal. 1069 – 1083.
Webster, D. dan L. Muller (2000). Urban
Competitiveness Assessment in Developing Country Urban Regions: The
Road Forward. Paper prepared for Urban
Group, INFUD. Washington, D.C.: The World Bank.
Yunus, H.S. (2006). Megapolitan: Konsep,
Problematika dan Prospek. Yogyakarta:
Tabel 1: Peringkat Daya Saing Daerah dalam Indikator Input
Peringkat Nasional Dalam Indikator Input
No. Wilayah
Kabupaten/Kota Ekonomi SDM Lingk Usaha Infrastrukt. Keuangan Total
1 Kota Surabaya 12 4 72 6 3 6
2 Kab. Sidoarjo 36 11 134 13 13 25
3 Kab. Gresik 62 69 358 10 31 40
4 Kota Mojokerto 69 201 49 114 182 83
5 Kab. Mojokerto 171 78 273 82 66 141
6 Kab. Lamongan 344 59 329 83 85 189
7 Kab. Bangkalan 346 141 303 135 244 293
Rata2 Wil. GKS 149 80 217 63 89 111
Sumber: PPSK Bank Indonesia dan LP3E FE Unpad (2008).
Tabel 2: Kajian Keunggulan dan Kelemahan Daya Saing Daerah di Wilayah Gerbangkertosusila
No. Keunggulan Kelemahan
1. Kota Surabaya
Perekonomian daerah: produktivitas sektor tersier, potensi ekspor daerah, investasi per kapita, kemahalan daerah, kepadatan industri pengolahan
Perekonomian daerah: total pengeluaran pemerintah daerah terhadap PDRB
SDM dan ketenagakerjaan: jumlah penduduk dan angkatan kerja, rasio ketergantungan, angka harapan hidup, rata2 lama sekolah penduduk dan tenaga kerja
Lingkungan usaha produktif: jumlah sektor basis, penduduk dengan pendidikan perguruan tinggi
Lingkungan usaha produktif: Perda yang bermasalah
2. Kabupaten Sidoarjo
Perekonomian daerah: potensi ekspor daerah, kemahalan daerah, kepadatan industri pengolahan
Perekonomian daerah: total pengeluaran pemerintah daerah terhadap PDRB
SDM dan ketenagakerjaan: jumlah penduduk dan angkatan kerja, rata2 lama sekolah penduduk dan tenaga kerja, rasio ketergantungan
Lingkungan usaha produktif: Perda yang bermasalah, penduduk dengan pendidikan perguruan tinggi
Lingkungan usaha produktif: jumlah sektor basis
Infrastruktur, SDA dan lingkungan: produktivitas sektor pengangkutan, kondisi jalan, sambungan telepon, konsumsi dan produksi listrik, konsumsi BBM, rasio luas lahan produktif, sumber daya air
Perbankan dan lembaga keuangan: jumlah kantor bank, total kredit perbankan
Perbankan dan lembaga keuangan: produktivitas sektor keuangan
3. Kabupaten Gresik
Perekonomian daerah: potensi ekspor daerah, kemahalan daerah
Perekonomian daerah: total pengeluaran pemerintah daerah terhadap PDRB
SDM dan ketenagakerjaan: jumlah penduduk dan angkatan kerja, rasio ketergantungan, angka harapan hidup, rata2 lama sekolah penduduk dan tenaga kerja
Infrastruktur, SDA dan lingkungan: kondisi jalan, konsumsi dan produksi listrik, konsumsi BBM, sumber daya air
Infrastruktur, SDA dan lingkungan: rasio luas lahan produktif
Perbankan dan lembaga keuangan: produktivitas koperasi, total kredit perbankan
Lingkungan usaha produktif: belanja pelayanan publik per kapita, jumlah Perda bermasalah
4. Kota Mojokerto
Perekonomian daerah: kemahalan daerah, kepadatan industri pengolahan
SDM dan ketenagakerjaan: rasio ketergantungan, rata2 lama sekolah penduduk dan tenaga kerja, angka harapan hidup
SDM dan ketenagakerjaan: jumlah penduduk dan angkatan kerja
Lingkungan usaha produktif: jumlah Perda yang bermasalah, jumlah sektor basis, penduduk dengan pendidikan perguruan tinggi
Infrastruktur, SDA dan lingkungan: produktivitas sektor pengangkutan, rasio luas lahan produktif, sumber daya air
Infrastruktur, SDA dan lingkungan: kondisi jalan
5. Kabupaten Mojokerto
Perekonomian daerah: kemahalan daerah, kepadatan industri pengolahan
Perekonomian daerah: total pengeluaran pemerintah daerah terhadap PDRB
SDM dan ketenagakerjaan: jumlah penduduk dan angkatan kerja, rasio ketergantungan
Lingkungan usaha produktif: jumlah Perda yang bermasalah Lingkungan usaha produktif: belanja pelayanan publik per kapita, jumlah sektor basis daerah
Infrastruktur, SDA dan lingkungan: kondisi jalan, sumber daya air
Infarstruktur, SDA dan lingkungan: produktivitas sektor pengangkutan
Perbankan dan lembaga keuangan: jumlah kantor bank
6. Kabupaten Lamongan
Perekonomian daerah: kemahalan daerah Perekonomian daerah: kapasitas fiskal daerah, total pengeluaran pemerintah daerah terhadap PDRB SDM dan ketenagakerjaan: jumlah penduduk dan angkatan
kerja, rasio ketergantungan
SDM dan ketenagakerjaan: rata2 lama sekolah tenaga kerja
Infrastruktur, SDA dan lingkungan: kondisi jalan Infarstruktur, SDA dan lingkungan: produktivitas sektor pengangkutan, rasio luas lahan produktif
Perbankan dan lembaga keuangan: jumlah kantor bank Lingkungan usaha produktif: belanja pelayanan publik per kapita, jumlah sektor basis daerah
7. Kabupaten Bangkalan
Infrastruktur, SDA dan lingkungan: kondisi jalan Perekonomian daerah: kapasitas fiskal daerah, total pengeluaran pemerintah daerah terhadap PDRB SDM dan ketenagakerjaan: jumlah penduduk dan angkatan
kerja
SDM dan ketenagakerjaan: rata2 lama sekolah penduduk dan tenaga kerja, angka harapan hidup Lingkungan usaha produktif: jumlah Perda yang bermasalah Lingkungan usaha produktif: belanja pelayanan publik
per kapita, penduduk dengan pendidikan perguruan tinggi, poverty gap index
Tabel 3: Roles and Functions of Major Urban Centers of GKS
Center Roles and Functions
Regional Center Surabaya Primate Urban Center, Gateway and image city of the region to the outside GKS, especially foreign countries
Regional Center of political, administrative, economic and social activities, with higher functions of business, service and commercial, administrative, and cultural aspects
Sidoarjo Sub-regional center of industrial and commercial services Sub-center of Southern GKS
Strong linkage with Surabaya and Pasuruan to enhance the economy
Gresik Sub-regional center of northern SMA and industrial and commercial activities
Strong linkage with Surabaya, Lamongan and Paciran/ Brondong economic zone
SMA sub-centers (20 km from Surabaya)
Bangkalan SMA sub-center of Madura Island
Core urban center of Madura Island to accommodate the Island economy
Kota Mojokerto Sub-center of GKS to accommodate Mojokerto and Jombang Zone
Strong linkage with Jombang, and Surabaya with highway Center of district industrial and commercial activities
Lamongan Sub-center of GKS to accommodate agricultural-based district economy
Strong linkage with Surabaya, Paciran/Brondong, Babat, Bojonegoro
GKS sub-centers (40 km from Surabaya)
Paciran dan Brondong
Sub-center as special economic zone composed of industrial, port, and logistics development with environment