• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMILIHAN PAKAN DAN AKTIVITAS MAKAN OWA JAWA (Hylobates moloch) PADA SIANG HARI DI PENANGKARAN PUSAT PENYELAMATAN SATWA, GADOG - CIAWI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMILIHAN PAKAN DAN AKTIVITAS MAKAN OWA JAWA (Hylobates moloch) PADA SIANG HARI DI PENANGKARAN PUSAT PENYELAMATAN SATWA, GADOG - CIAWI"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

PEMILIHAN PAKAN DAN AKTIVITAS MAKAN OWA JAWA

(Hylobates moloch) PADA SIANG HARI DI PENANGKARAN

PUSAT PENYELAMATAN SATWA, GADOG - CIAWI

SKRIPSI YESI MAHARDIKA

PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

RINGKASAN

YESI MAHARDIKA. D24104036. 2008. Pemilihan Pakan dan Aktivitas Makan Owa Jawa (Hylobates moloch) Pada Siang Hari di Penangkaran Pusat Penyelamatan Satwa Gadog, Ciawi. Skripsi. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Anita Sardiana Tjakradidjaja, M.Rur.Sc. Pembimbing Anggota I : Ir. Wirdateti, MSi.

Pembimbing Anggota II : Ir. Didid Diapari, MS.

Owa Jawa (Hylobates moloch) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi. Pertumbuhan penduduk, berkurangnya habitat dan tekanan perburuan serta perdagangan bebas mengakibatkan penurunan populasi owa Jawa. Untuk mencegah penurunan populasi dan kepunahan owa Jawa perlu adanya usaha penangkaran. Selain upaya penangkaran di luar habitatnya (ex situ), perlindungan habitat dan penegakan hukum sangat diperlukan untuk menyelamatkan satwa langka ini. Oleh karena itu, untuk keberhasilan pemeliharan owa Jawa di pusat penangkaran perlu dipelajari tentang beberapa aspek biologi diantaranya aktivitas makan dan pemilihan pakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran deskriptif mengenai perilaku makan dan pemilihan pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) pada siang hari di Pusat Penyelamatan Satwa Gadog.

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua ekor owa Jawa, satu ekor jantan dan satu ekor betina. Jenis pakan yang diberikan yaitu semangka (Citrullus vulgaris), apel (Malus sylvestris Mill), pisang (Musa paradisiaca) markisa (Passiflor edulis f. flavicarpa), jambu biji (Psidium guajava L.), kangkung (Ipomoea aquatica) dan ubi jalar merah (Ipomoea batatas). Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah pemilihan jenis pakan dan aktivitas owa Jawa (makan, minum, urinasi, defekasi, lokomosi, bermain, grooming dan istirahat). Data dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode one zero sampling, yaitu memberikan nilai satu bila ada aktivitas dan nol bila tidak ada aktivitas. Waktu pengamatan dimulai dari pukul 06.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB dengan interval waktu pengamatan selama 15 menit.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rangking urutan pemilihan pakan, pada pagi hari : pisang, semangka, ubi jalar, kangkung, jambu biji, apel dan markisa, sedangkan urutan pemilihan pakan pada siang hari : pisang, semangka, kangkung, ubi jalar, jambu biji, apel dan markisa. Secara umum, pakan buah-buahan (pisang, semangka, jambu biji, apel dan markisa) lebih disukai owa Jawa daripada pakan sumber energi dan serat (ubi jalar dan kangkung). Pakan yang paling disukai adalah pisang. Persentase aktivitas makan sebesar 12,77% dari total aktivitasnya. Aktivitas makan tertinggi terjadi pada pukul 08.00 WIB dan 14.00 WIB. Tingginya aktivitas makan sangat berhubungan dengan waktu pemberian pakan. Aktivitas makan owa Jawa diawali dengan mengamati pakan, mengambil pakan, memeriksa pakan, mengolah pakan, menggigit pakan, mengunyah pakan, menelan pakan, mengeluarkan kembali pakan yang sudah dimasukkan ke dalam mulut jika owa Jawa hanya mengambil sari dari pakan, membuang pakan jika owa Jawa tidak menyukai pakan. Persentase aktivitas harian owa Jawa selama di penangkaran berturut-turut adalah sebagai berikut makan (12,77%), minum (0,96%), defekasi (1,97%), urinasi

(3)

(2,43%), lokomosi (22,74%), grooming (21,40%), istirahat (23,79%) dan bermain (13,95%). Jenis makanan yang paling disukai dari beberapa jenis makanan yang disajikan adalah pisang dengan struktur lunak, memiliki rasa manis dan energi tinggi. Kata-kata Kunci: aktivitas makan, Owa Jawa, pemilihan pakan, Pusat Penyelamatan

(4)

ABSTRACT

Feed Preference and Feeding Activity of Javan Gibbon (Hylobates moloch) during Daylight in Gadog Wildlife Rescue Center, Ciawi Bogor

Y. Mahardika, A. S. Tjakradidjaja, Wirdateti and D. Diapari

The aim of the observation is to descriptively pictured the activity which connected with feed preference and feeding activity of Javan Gibbon (Hylobates moloch) during daylight in Gadog Wildlife Rescue Center, Ciawi, Bogor. The observation materials were two Javan gibbon, i.e male and female gibbon. Diets which were fed to Javan gibbon, were watermelon (Citrullus vulgaris), apple (Malus sylvestris Mill), banana (Musa paradisiaca), markisa (Passiflor edulis f. flavicarpa), guava (Psidium guajava L.), water Spinach (Ipomoea aquatica) and sweet poteto (Ipomoea batatas). Variables observed were feeding activity, drinking activity, urinating activity, defecating activity, resting activity, grooming activity, locomotion activity, and playing activity. The observation was divided into three periods, i.e morning period, afternoon period, and evening period. Each period consisted of 15 minutes observation. Data were analyzed by descriptive analysis method on the basis of one zero sampling calculation. The results of the observation showed that the Javan gibbon preferred to eat the following feeds from the first until the last feeds : in the morning were banana, watermelon, sweet poteto, water spinach, guava, apple and markisa, but in the afternoon were banana, watermelon, water spinach, sweet poteto, guava, apple and markisa. The percentage of feeding activity 12.77%, drinking activity 0.96%, urination activity 2.43%, defecation activity 1.97%, resting activity 23.79%, grooming activity 21.40%, locomotion activity 22.74%, and playing activity 13.95%. The highest feeding activity accurred at 08.00 a.m. and 02.00 p.m. Feeding activity was affected by feeding time. Among prefereable feed, banana was the most preferred feed.

Keywords : feeding activity, feed preference, Gadog Wildlife Rescue Center, Java gibbon (Hylobates moloch).

(5)

PEMILIHAN PAKAN DAN AKTIVITAS MAKAN OWA JAWA

(Hylobates moloch) PADA SIANG HARI DI PENANGKARAN

PUSAT PENYELAMATAN SATWA, GADOG - CIAWI

YESI MAHARDIKA D24104036

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(6)

PEMILIHAN PAKAN DAN AKTIVITAS MAKAN OWA JAWA

(Hylobates moloch) PADA SIANG HARI DI PENANGKARAN

PUSAT PENYELAMATAN SATWA, GADOG - CIAWI

Oleh :

YESI MAHARDIKA D24104036

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 31 Juli 2008

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota I Pembimbing Anggota II

Ir. Anita S. T, M. Rur. Sc. Ir. Wirdateti, M. Si Ir. Didid Diapari, M. S NIP. 131 624 189 NIP. 320 005 299 NIP. 131 878 940

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc. Agr. NIP. 131 955 531

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rajabasa, Bandar Lampung pada tanggal 2 Oktober 1985 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dalam keluarga Bapak Warsono Pahrudin, SP. dan Ibu Tuti Sukawati. Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-kanak Aisiyah pada tahun 1991. Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh di SDN Sebarus hingga lulus pada tahun 1998. Penulis lulus dari SLTP Negeri 1 Liwa pada tahun 2001, kemudian menempuh pendidikan SMU Negeri 1 Liwa dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama, Penulis terdaftar sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama mengikuti perkuliahan, Penulis tergabung dalam Kegiatan Mahasiswa AGRIASWARA periode 2004-2005 sebagai anggota, Lingkung Seni Sunda GENTRA KAHEMAN periode 2004-2005 sebagai anggota, Organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak (Himasiter) periode 2005-2006 sebagai Staf Divisi Biro Khusus Magang (BKM), Organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB (BEM KM IPB) periode 2006-2007 sebagai Staf Divisi Sosial Lingkungan (Sosling) dan Organisasi Forum Mahasiswa Indonesia Tanggap Flu Burung (FMITFB) periode 2006-2007 sebagai anggota.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul ”Aktivitas Makan dan Pemilihan Pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) pada Siang Hari di Penangkaran Pusat Penyelamatan Satwa Gadog, Ciawi, Bogor” dapat diselesaikan. Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian dari bulan Agustus sampai September 2007 di Pusat Penyelamatan Satwa Gadog, Ciawi, Bogor.

Owa Jawa merupakan satwa yang telah dilindungi sejak tahun 1931 melalui Peraturan Perlindungan Binatang Liar No. 266, yang kemudian diperkuat dengan Undang-undang No. 5 tahun 1990, dan SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts-II/1991. Perburuan liar dan perdagangan bebas serta menyempitnya habitat Owa Jawa di sepanjang hutan pulau Jawa menyebabkan populasinya di alam terus menyusut. Selain upaya penangkaran di luar habitatnya (ex situ), perlindungan habitat dan penegakan hukum juga sangat diperlukan untuk menyelamatkan satwa langka ini. Beberapa aspek biologi seperti aktivitas makan dan pemilihan pakan diharapkan dapat membantu keberhasilan dan pemeliharan satwa langka di penangkaran. Bila keberhasilan tersebut dapat tercapai maka secara tidak langsung dapat membantu kelestarian dari ekosistem satwa langka yang ada di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran deskriptif mengenai aktivitas yang berhubungan dengan perilaku makan dan pemilihan pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) setiap harinya pada siang hari yang dilakukan di Pusat Penyelamatan Satwa Gadog, Ciawi, Bogor. Penulis berharap semoga informasi yang disampaikan dalam skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan panduan dalam pemeliharaan satwa liar di penangkaran. Amin.

Bogor, Juli 2008

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN... ii

ABSTRACT... iv

RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang... 1

Perumusan Masalah ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Owa Jawa (Hylobates moloch) ... 3

Morfologi ... 3

Habitat dan Penyebaran ... 5

Aktivitas Harian... 7

Perilaku ... 8

Aktivitas Bersuara... 10

Aktivitas Makan... 11

Aktivitas Istirahat... 12

Aktivitas Lokomosi (Bergerak) ... 13

Pakan Owa Jawa ... 14

Pisang (Musa paradisiaca) ... 16

Semangka (Citrullus vulgaris)... 17

Markisa (Passiflor edulis f. flavicarpa) ... 18

Jambu Biji (Psidium guajava L.)... 18

Apel (Malus sylvestaris Mill) ... 19

Kangkung (Ipomoea aquatica) ... 20

Ubi Jalar (Ipomoea batatas) ... 21

Pemilihan Pakan ... 22

Pusat Penyelamatan Satwa Gadog... 22

Penangkaran... 23

METODE ... 26

Waktu dan Lokasi ... 26

Materi... 26

Hewan Penelitian ... 26

(10)

Peralatan... 27

Bahan Pakan ... 27

Prosedur ... 28

Peubah... 29

Analisis Data... 30

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

Kondisi Penangkaran ... 32

Kondisi Hewan ... 33

Pemilihan Pakan ... 33

Aktivitas di Penangkaran ... 36

Aktivitas yang Berhubungan Langsung dengan Pola Makan ... 39

Aktivitas Makan... 40

Aktivitas Minum ... 43

Aktivitas Defekasi... 45

Aktivitas Urinasi ... 46

Aktivitas yang Tidak Berhubungan Langsung dengan Pola Makan ... 48

Aktivitas Grooming (Membersihkan Diri) ... 48

Aktivitas Lokomosi (Bergerak) ... 50

Aktivitas Istirahat... 53

Aktivitas Bermain ... 56

KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

Kesimpulan ... 58 Saran ... 58 UCAPAN TERIMAKASIH ... 59 DAFTAR PUSTAKA ... 60 LAMPIRAN... 65

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Rekomendasi Ukuran Kandang Satwa Primata Berdasarkan

Bobot Badan ... 25 2. Ranking Urutan Pakan dari Pakan yang Pertama Kali Dipilih

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Owa Jawa... 3

2. Kandang Individu Owa Jawa... 27

3. Persentase Aktivitas Owa Jawa pada Siang Hari dari Pukul 06.00 WIB sampai Pukul 18.00 WIB ... 37

4. Presentase Aktivitas Owa Jawa Jantan dan Betina dari Pukul 06.00 WIB sampai Pukul 18.00 WIB ... 39

5. Aktivitas yang Berhubungan Langsung dengan Pola Makan... 40

6. Aktivitas Makan Owa Jawa ... 41

7. Aktivitas Makan Owa Jawa Betina... 42

8. Aktivitas Makan Owa Jawa Jantan... 42

9. Aktivitas Minum Owa Jawa ... 44

10. Aktivitas Defekasi Owa Jawa ... 46

11. Aktivitas Urinasi Owa Jawa ... 47

12. Aktivitas yang Tidak Berhubungan Langsung dengan Pola Makan ... 48

13. Aktivitas Grooming Owa Jawa... 49

14. Aktivitas Lokomosi Owa Jawa ... 52

15. Aktivitas Istirahat Owa Jawa ... 54

16. Posisi Tidur Owa Jawa Jantan ... 55

17. Posisi Tidur Owa Jawa Betina ... 55

18. Aktivitas Bermain Owa Jawa ... 56

19. Aktivitas Bermain Owa Jawa ... 57

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Rataan Suhu (oC) dan Kelembaban (%) di Penangkaran... 66 2. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Jantan di Penangkaran pada

Pukul 06.00 – 07.00 WIB ... 67 3. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Jantan di Penangkaran pada

Pukul 07.00 – 08.00 WIB ... 67 4. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Jantan di Penangkaran pada

Pukul 08.00 – 09.00 WIB ... 68 5. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Jantan di Penangkaran pada

Pukul 09.00 – 10.00 WIB ... 68 6. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Jantan di Penangkaran pada

Pukul 10.00 – 11.00 WIB ... 69 7. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Jantan di Penangkaran pada

Pukul 11.00 – 12.00 WIB ... 69 8. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Jantan di Penangkaran pada

Pukul 12.00 – 13.00 WIB ... 70 9. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Jantan di Penangkaran pada

Pukul 13.00 – 14.00 WIB ... 70 10. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Jantan di Penangkaran pada

Pukul 14.00 – 15.00 WIB ... 71 11. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Jantan di Penangkaran pada

Pukul 15.00 – 16.00 WIB ... 71 12. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Jantan di Penangkaran pada

Pukul 16.00 – 17.00 WIB ... 72 13. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Jantan di Penangkaran pada

Pukul 17.00 – 18.00 WIB ... 72 14. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Betina di Penangkaran pada

Pukul 06.00 – 07.00 WIB ... 73 15. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Betina di Penangkaran pada

Pukul 07.00 – 08.00 WIB ... 73 16. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Betina di Penangkaran pada

Pukul 08.00 – 09.00 WIB... 74 17. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Betina di Penangkaran pada

Pukul 09.00 – 10.00 WIB... 74 18. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Betina di Penangkaran pada

(14)

19. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Betina di Penangkaran pada

Pukul 11.00 – 12.00 WIB... 75 20. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Betina di Penangkaran pada

Pukul 12.00 – 13.00 WIB... 76 21. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Betina di Penangkaran pada

Pukul 13.00 – 14.00 WIB... 76 22. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Betina di Penangkaran pada

Pukul 14.00 – 15.00 WIB... 77 23. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Betina di Penangkaran pada

Pukul 15.00 – 16.00 WIB... 77 24. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Betina di Penangkaran pada

Pukul 16.00 – 17.00 WIB... 78 25. Data Berbagai Aktivitas Owa Jawa Betina di Penangkaran pada

Pukul 17.00 – 18.00 WIB... 78 26. Rataan Aktivitas Owa Jawa Jantan Selama Penangkaran... 79 27. Rataan Aktivitas Owa Jawa Jantan di Penangkaran pada Siang

Hari (%)... 79 28. Rataan Aktivitas Owa Jawa Betina Selama Penangkaran……… 80 29. Rataan Aktivitas Owa Jawa Betina di Penangkaran pada Siang

Hari (%)... 80 30. Rataan Aktivitas Owa Jawa Jantan dan Betina Selama

Penangkaran... 81 31. Rataan Aktivitas Owa Jawa Jantan dan Betina di Penangkaran

(15)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa yang sangat pesat yang diiringi dengan tingginya laju pembangunan, menyebabkan hutan menyusut drastis. Salah satu dampaknya adalah berkurangnya habitat bagi satwa liar di alam khususnya owa Jawa. Hal ini mengakibatkan penurunan populasi owa Jawa. Penurunan populasi tersebut juga diperparah oleh tekanan perburuan dan perdagangan bebas untuk menjadikan owa Jawa sebagai hewan peliharaan. Keadaan tersebut merupakan ancaman serius bagi keberadaan owa Jawa di alam. Akibatnya, primata endemik ini terus terdesak ke daerah-daerah yang dilindungi yang hanya seluas 600 km2 (Conservation International Indonesia, 2000).

Menurut Conservation International Indonesia (2000), walaupun owa Jawa telah dilindungi sejak tahun 1931 melalui Peraturan Perlindungan Binatang Liar No. 266, yang kemudian diperkuat dengan Undang-undang No. 5 tahun 1990, dan SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts-II/1991, populasinya di alam terus menyusut.

Kappler (1981) memperkirakan populasi owa Jawa antara 2.400-7.900 individu. Empat belas tahun kemudian populasi owa Jawa menyusut tajam menjadi 2.700 individu (Asquith et al., 1995), sedangkan Nijman (2004) melaporkan peningkatan estimasi populasi owa Jawa berkisar antara 4.000-4.500 individu.

Untuk mencegah penurunan populasi dan kepunahan owa Jawa perlu campur tangan dari manusia. Salah satu usaha tersebut adalah dengan melakukan usaha penangkaran. Selain upaya penangkaran di luar habitatnya (ex situ), perlindungan habitat dan penegakan hukum juga sangat diperlukan untuk menyelamatkan satwa langka ini (Conservation International Indonesia, 2000). Oleh karena itu untuk membantu keberhasilan dan pemeliharan owa Jawa di pusat penangkaran, perlu dipelajari tentang beberapa aspek biologi diantaranya aktivitas makan dan pemilihan pakan.

Perumusan Masalah

Populasi hewan yang mirip manusia itu terus menyusut akibat perburuan liar dan perdagangan bebas. Jika persoalan perburuan liar dan perdagangan bebas satwa

(16)

jenis primata ini tidak segera dihentikan, dikhawatirkan populasinya akan semakin berkurang bahkan punah. Untuk itu, perlu campur tangan dari manusia dalam usaha mencegah kepunahan owa Jawa. Salah satu usaha tersebut adalah dengan melakukan usaha penangkaran. Penelitian mengenai owa Jawa saat ini masih sangat terbatas dikarenakan kurangnya informasi mengenai aktivitas makan dalam manajemen pemeliharaan belum begitu diperhatikan. Padahal dalam pemenuhan hidup pokok, kesehatan dan kesejahteraan, aktivitas pakan sangat mempengaruhi pakan yang dikonsumsi. Bila kesejahteraannya tercapai owa Jawa dapat berkembang biak dan kelestariannya terjaga.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran deskriptif mengenai aktivitas yang berhubungan dengan perilaku makan dan pemilihan pakan owa Jawa (Hylobates moloch) setiap harinya pada siang hari yang dilakukan di Pusat Penyelamatan Satwa Gadog, Ciawi, Bogor.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA Owa Jawa (Hylobates moloch)

Klasifikasi owa Jawa (Hylobates molochI) menurut Napier dan Napier (1967) sebagai berikut :

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata

Klas : Mammalia

Bangsa : Primata Anak Bangsa : Anthropoidea Subfamili : Hominoidea

Famili : Hylobatidae

Genus : Hylobates

Spesies : Hylobates moloch Audebert, 1798

Nama lain : Owa Abu-abu, Ungko Jawa, Silvery Gibbon, atau Javan Gibbon.

Foto : Kueter (2000) Gambar 1. Owa Jawa

Morfologi

Morfologi owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) termasuk jenis primata dari suku Hylobatidae yang merupakan kera dengan ukuran tubuh yang kecil. Tungkai tangan lebih panjang dibandingkan dengan tungkai kaki, tidak berekor

(18)

dan pada bagian pantat terdapat kulit tebal (ischial callosities) yang terpisah. Seluruh tubuh ditutupi oleh rambut dengan warna bervarisi dari warna hitam, abu–abu keperakan, coklat kemerahan dan coklat kekuningan. Bagian wajah, telapak tangan dan telapak kaki tidak berambut dan berwarna hitam. Warna rambut owa Jawa bersifat monokromatik artinya warna rambut dari bayi sampai dewasa tidak mengalami perubahan (Napier dan Napier, 1967).

Seperti suku Hylobatidae lainnya, owa juga tidak mempunyai ekor. Postur tubuhnya tegak dan mempunyai tangan yang panjang yang berguna untuk menunjang pergerakannya di pohon. Muka berwarna hitam, dengan alis berwarna abu-abu yang menyerupai warna keseluruhan tubuh. Panjang tubuh individu jantan dan betina hampir sama yaitu berkisar antara 570-800 mm. Berat tubuh jantan berkisar antara 4-8 kg, sedangkan betina antara 4-7 kg (Conservation International Indonesia, 2000). Menurut Supriyatna dan Wahono (2000) Hylobates moloch dibedakan menjadi 2 anak jenis, yaitu Hylobates moloch moloch yang berwarna lebih gelap, dan Hylobates moloch pangoalsoni yang warna rambutnya lebih terang

Owa Jawa (Hylobates moloch moloch) dalam seluruh tahap usia, baik jantan maupun betina mempunyai warna rambut abu-abu keperakan, walaupun demikian pada owa yang masih muda rambut penutup tubuhnya sering terlihat berwarna lebih pucat. Rambut tubuh di bagian dada dan perut umumnya berwarna lebih gelap dan pada bagian tersebut terdapat bercak berwarna hitam, dengan batas bercak berwarna pucat. Pada bagian wajahnya dikelilingi oleh lingkaran putih. Tubuh owa Jawa ditutupi rambut yang berwarna kecoklatan sampai keperakan atau kelabu. Bagian atas kepalanya berwarna hitam. Muka seluruhnya juga berwarna hitam, dengan alis berwarna abu-abu yang menyerupai warna keseluruhan tubuh (Conservation International Indonesia, 2000). Supriyatna dan Wahyono (2000) menyatakan bahwa dagu pada beberapa individu berwarna gelap dan terdapat sedikit perbedaan warna rambut antara jantan dan betina terutama dalam tingkatan umur. Rowe (1996) menambahkan, warna rambut pada bayi berwarna lebih terang dibandingkan dengan owa Jawa dewasa.

Owa Jawa memiliki jumlah gigi seluruhnya 32 buah (Napier dan Napier, 1967), dengan susunan gigi sebagai berikut :

(19)

2123

I C M P = 32

2123 Keterangan :

I (Incisor) : gigi seri C (Canine) : gigi taring

P (Premolar) : gigi geraham depan M (Molar) : gigi geraham belakang

Owa Jawa memiliki gigi seri yang kecil dan sedikit ke depan, sehingga memudahkan untuk menggigit dan memotong makanan. Gigi taring panjang dan membentuk seperti pedang yang berfungsi untuk menggigit dan mengupas makanan. Gigi geraham atas dan bawah untuk mengunyah makanan. Diastema terdapat di rahang atas untuk gigi taring bawah. Premolar bawah pertama berbentuk sektorial. Molar atas berbentuk kuadrikuspid menunjukkan tipe hominoidea. Molar bawah berbentuk kuinkuekuspid. Hylobates memiliki moncong yang pendek, dengan mandibula tidak dalam. Genus ini juga mempunyai ramus atas yang lebar (Napier & Napier, 1967).

Habitat dan Penyebaran

Menurut Alikodra (1990), habitat adalah suatu kawasan yang dapat memenuhi semua kebutuhan dasar populasi, berupa kebutuhan terhadap sumber pakan, air dan tempat berlindung. Habitat adalah suatu keadaan lingkungan tempat tinggal yang khas dan dihuni oleh populasi mahluk hidup tertentu. Hewan-hewan yang tinggal didalamnya baik yang menyendiri maupun secara berkelompok cenderung untuk mempunyai daerah jelajah (home range). Di tempat tersebut hewan-hewan dapat mencari makan, berkembang biak dan melakukan kegiatan lainnya.

Menurut Alikodra (1988), penyebaran dan kepadatan populasi satwa liar di suatu kawasan sangat di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah kondisi habitat baik fisik maupun biotik yang mendukung kehidupannya, kondisi fisik dari spesies satwa yang bersangkutan dan peranan manusia di lingkungannya.

Owa Jawa hidup di hutan yang jauh dari gangguan manusia dan di hutan pegunungan sampai pada ketinggian 1500 m dpl (Kappeler, 1981). Kappeler (1984)

(20)

membagi habitat owa Jawa ke dalam zona vegetasi sebagai berikut : hutan dataran rendah (0-500 m dpl), hutan dataran tinggi (500-1000 m dpl), dan hutan pegunungan bawah (1000-1500 m dpl).

Satwa ini merupakan satwa aboreal dan jarang turun ke tanah, dimana kelangsungan hidupnya tergantung pada pohon sebagai pelindung dan sebagai sumber pakan sehingga faktor utama yang membatasi penyebaran owa Jawa adalah struktur ketinggian pohon untuk aktivitas bergelayutan (brachiation) dan keragaman floristik yang berkaitan dengan variasi persediaan pakan owa Jawa (Kappeler, 1984).

Owa Jawa hidup di hutan tropik, mulai dari dataran rendah, pesisir, hingga pegunungan pada ketinggian 1.400-1.600 m dpl. Namun, satwa ini jarang ditemukan di dalam hutan pada ketinggian lebih dari 1.500 m dpl. Vegetasi dan jenis tumbuhan yang berada pada daerah setinggi itu bukan merupakan sumber pakan owa Jawa. Tambahan pula, banyaknya lumut yang menutupi pohon-pohon di pegunungan menyulitkan pergerakan brakiasi owa Jawa (Conservation International Indonesia, 2000). Rowe (1996) menyatakan bahwa pada wilayah diatas ketinggian 1.500 m dpl, hanya terdapat sedikit spesies tumbuhan, dan jenis tumbuhan tersebut tidak sesuai untuk dimanfaatkan dalam melakukan pergerakan dari satu pohon ke pohon lain. Selain itu, suhu di atas 1.500 m dpl lebih rendah dibandingkan suhu di bawah ketinggian tersebut.

Habitat yang sesuai bagi owa Jawa adalah 1) hutan dengan tajuk yang relatif tertutup, 2) tajuk pohon tersebut memiliki cabang horizontal, dan 3) habitat yang memiliki sumber pakan yang tersedia sepanjang tahun (Kappeler 1984). Owa Jawa merupakan primata endemik yang hanya ditemukan di Pulau Jawa. Sebaran Hylobates moloch moloch terbatas pada hutan-hutan di Jawa Barat, terutama pada daerah yang dilindungi, seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Gunung Halimun, Gunung Gede-Pangrango, dan Cagar Alam Gunung Simpang, serta Leuweung Sancang. Hylobates moloch pangoalsoni hanya ditemukan di sekitar Gunung Slamet sampai ke sekitar Pegunungan Dieng di Jawa Tengah (Conservation International Indonesia, 2000).

Sebagaimana jenis owa lainnya, owa Jawa hidup berpasangan dalam sistem keluarga monogami. Selain kedua induk, di dalam keluarga juga terdapat 1–2 anak yang belum mandiri. Masa hamil primata ini antara 197–210 hari, jarak kelahiran

(21)

anak yang satu dengan yang lain berkisar antara 3–4 tahun. Umumnya Owa Jawa dapat hidup hingga 35 tahun (Conservation International Indonesia, 2000).

Aktivitas Harian

Daerah jelajah berkisar antara 16–17 ha, dan jelajah hariannya dapat mencapai 1500 m. Owa Jawa aktif dari pagi hingga sore hari (diurnal), siang harinya digunakan untuk beristirahat dengan saling mencari kutu antara jantan dan betina pasangannya, atau antara ibu dan anaknya. Malam harinya owa Jawa tidur pada percabangan pohon (Conservation International Indonesia, 2000).

Pola aktivitas harian diawali dengan mengeluarkan suara disertai dengan pergerakan akrobatik sebelum mencari makan (Rinaldi, 2003). Kegiatan dilanjutkan dengan mencari makan, yang dipimpin oleh jantan dewasa, diikuti oleh betina dewasa yang menggendong bayi dan diikuti oleh anak-anaknya yang lain (Priyanto, 1987 dalam Pasang, 1989).

Pohon yang tinggi dapat digunakan untuk bergelayutan, berpindah tempat, tidur, menelisik (grooming) antara jantan dan betina atau antara induk betina dan anaknya serta mencari makan (Conservation International Indonesia, 2000). Menurut Rinaldi (1999), aktivitas owa Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon dimulai antara pukul 06.00 dan 07.15 pagi tergantung kepada kondisi cuaca. Pada saat musim kemarau, aktivitas harian owa Jawa dimulai pukul 06:00 pagi, sedangkan pada musim hujan, aktivitas harian dimulai pada pukul 07:15 pagi dan beristirahat pada siang hari. Aktivitas makan dimulai setelah matahari terbit dan aktivitas bersuara. Nijman (2006), respon gibbon pada saat ada manusia yang mendekat adalah segera menghindar. Respon seperti ini dapat disertai oleh menggoyangkan cabang pohon dan bersuara. Respon lain yang mengkin muncul adalah berdiam diri dan bersembunyi. Respon bersuara biasanya terjadi apabila satwa mendeteksi kehadiran manusia pada jarak yang sangat dekat.

Penggunaan habitat Hylobates moloch menurut beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui owa Jawa memanfaatkan 38,85% dari total waktu beraktivitas untuk aktivitas makan, 31,91% untuk bergerak, 28,43% untuk istirahat dan hanya sekitar 0,8% untuk aktivitas sosial. Aktivitas harian yang dilakukan sepenuhnya mengandalkan kanopi dan struktur tegakan vegetasi hutan. Owa Jawa

(22)

memanfaatkan lebih dari 35 spesies tumbuhan sebagai sumber makanan dan menempati pohon tidur dengan ketinggian sekitar 47,35 m dengan lebar kanopi 21,53 m dengan tinggi percabangan pertama 23,59 m. Karakter pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon tempat tidur salah satunya adalah emergen dengan kanopi yang lebar dan jarang untuk memudahkan memantau predator atau spesies anggota kelompok lain yang berbeda di sekitar kelompoknya. Pohon yang serupa juga sering digunakan untuk melakukan vokalisasi, yaitu media komunikasi antar individu dalam spesies atau dengan spesies tetangga yang diserukan untuk penandaan daerah teritorial dan tanda bila ada bahaya (Ladjar, 1996 dalam Ladjar, 2002).

Perilaku

Tingkah laku didefinisikan sebagai segala tindak tanduk hewan yang terlihat akibat interaksi dengan lingkungan, baik lingkungan luar maupun lingkungan dalam tubuh hewan itu sendiri. Tingkah laku bersifat genetis, tetapi dapat berubah oleh lingkungan dan proses belajar hewan (Hafez, 1969).

Perilaku satwa adalah respon atau ekspresi satwa oleh adanya rangsangan atau stimulus atau agent yang mempengaruhinya. Ada dua macam rangsangan yaitu rangsangan dalam dan rangsangan luar. Rangsangan dalam antara lain adalah faktor fisiologis seperti sekresi hormon dan faktor motivasi, dorongan alat insentif sebagai akibat aktivitas. Rangsangan luar dapat berbentuk suara, pandangan, tenaga mekanis dan rangsangan kimia (Mukhtar, 1986). Perilaku hewan adalah tindak tanduk hewan yang terlihat dan saling berkaitan baik secara individual maupun bersama-sama atau kolektif (Tanudimadja dan Kusumamihardja, 1985). Perilaku merupakan cara hewan itu berinteraksi secara dinamik dengan lingkungannya, baik dengan mahluk lain maupun dengan benda-benda.

Perilaku merupakan suatu aktivitas yang perlu melibatkan fungsi fisiologis. Setiap macam perilaku melibatkan penerimaan rangsangan melalui panca indera, perubahan rangsangan-rangsangan ini menjadi aktivitas neural, aksi integrasi susunan syaraf, dan akhirnya aktivitas berbagai organ motorik, baik internal maupun eksternal (Tanudimadja dan Kusumamihardja, 1985).

Setiap tingkah yang diperlihatkan seekor hewan mempunyai 3 tahapan, yaitu tahapan apetitif, konsumatoris dan refraktoris. Tahap apetitif merupakan tahap awal

(23)

dimulainya suatu tingkah laku, dimana hewan bersiap-siap melakukan tahap utama dari tingkah laku tersebut atau yang dinamakan tahap konsumatoris. Tingkah laku gerak yang ditunjukkan pada tahap konsumatoris bersifat konstan atau stereotip yang menunjukkan kekhasan masing-masing hewan. Gerakan yang ditunjukkan setelah tahap konsumatoris berakhir, termasuk dalam tahap refraktoris (Hafez, 1969).

Perilaku hewan adalah gerak gerik hewan, dan cenderung dianggap sebagai gerak atau perubahan gerak, termasuk dari bergerak ke tidak bergerak (Tinbergen, 1969). Tingkah laku ini meliputi gerak pada waktu makan, kawin, berbunyi atau mengeluarkan bunyi, bahkan perilaku ini juga dapat berupa sikap diam. Menurut Craig (1981), tingkah laku dipengaruhi oleh status hewan, fisiologis hewan, lingkungan dan kejadian setempat. Aktivitas kesehariannya dipengaruhi oleh tingkat nutrisi, efek musim, kesehatan, pengalaman baru dan belajar.

Setiap hewan mempunyai banyak sekali macam atau pola tingkah laku yang memungkinkan hewan berespon terhadap segala rangsangan yang datang dari sekitarnya. Ada beberapa pola tingkah laku utama, yang merupakan tingkah laku yang paling penting dalam kehidupan seekor hewan. Tingkah laku makan atau ingestive behavior merupakan salah satu pola tingkah laku yang utama (Hafez, 1969).

Menurut Alikodra (1990), fungsi utama tingkah laku adalah untuk memungkinkan seekor hewan menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun dari dalam. Tingkah laku ini berkembang sesuai dengan perkembangan dari proses belajar. Satwa liar mempunyai tingkah laku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk mempertahankan hidupnya, satwa liar melakukan kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerja sama untuk mendapatkan makanan, perlindungan, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya.

Cekaman fisiologis merupakan salah satu bentuk fisiologi perilaku, faktor-faktor yang dapat menimbulkan cekaman antara lain perubahan temperatur, hilangnya makanan, jenis yang menimbulkan persaingan atau pemangsaan, bahan beracun, suara yang menggangu dan keperluan fisiologis reproduksi. Pengalaman setiap individu satwa walaupun berlainan dalam menanggulangi adanya cekaman, tergantung pada kemampuan proses belajar dan keadaan lingkungan. Oleh karenanya

(24)

pada setiap individu dalam menghadapi cekaman umumnya berbeda-beda (Alikodra, 1990).

Mukhtar (1986) menyatakan bahwa pola perilaku dapat dikelompokkan ke dalam 9 sistem perilaku yaitu sebagai berikut :

1. Perlaku ingestif , yaitu perilaku makan dan minum

2. Shelter seeking (mencari perlindungan), yaitu kecenderungan mencari kondisi lingkungan yang optimum dan menghindari bahaya.

3. Perilaku agonistik, yaitu perilaku persaingan atau persaingan antara dua satwa sejenis, umunya terjadi selama musim kawin.

4. Perilaku seksual, yaitu perilaku peminangan (courtship), kopulasi dan hal-hal lain yang berkaitan dengan hubungan antara satwa jantan dan betina satu jenis.

5. Care giving atau epimelitik atau perilaku pemeliharaan, yaitu pemeliharaan terhadap anak (maternal behaviour) dan memberi bantuan kepada individu lain yang menderita tekanan (succorant behaviour).

6. Care soliciting atau et-epimelitik atau perilaku meminta dipelihara, yaitu perilaku individu muda untuk dipelihara dan diperhatikan oleh yang dewasa.

7. Perilaku eliminatif, yaitu perilaku membuang kotoran.

8. Perilaku allelometik, yaitu perilaku meniru salah satu anggota kelompok untuk melakukan pekerjaan yang sama dengan beberapa tahap rangsangan dan koordinasi yang berbalas-balasan.

9. Perilaku investigatif, yaitu perilaku memeriksa lingkungan

Aktivitas Bersuara

Sebagai primata aboreal, owa Jawa menggunakan cara bersuara untuk mempertahankan teritori dan sebagai tanda untuk menunjukkan teritorinya kepada kelompok lain (Bismark, 1984). Kegiatan bersuara ini dilakukan pada pagi hari, sebagai awal dari kegiatan hari itu. Sering pula dilakukan siang hari, saat berjumpa dengan kelompok lain dan biasanya diakhiri kegiatan yaitu sore hari menjelang tidur.

Menurut Conservation International Indonesia (2000), pasangan jantan dan betina owa Jawa jarang melakukan duet. Ada 4 jenis suara yang dikeluarkan primata ini, yaitu suara betina sendiri untuk menandakan daerah teritorialnya, suara jantan yang dikeluarkan saat berjumpa dengan kelompok tetangganya, suara yang

(25)

dikeluarkan bersama antar keluarga saat terjadi konflik, dan suara dari anggota keluarga sebagai tanda bahaya. Suara tanda bahaya dikeluarkan bila ada satwa pemangsa di sekitarnya, seperti macan tutul atau macan kumbang (Panthera pardus).

Bersuara merupakan salah satu pola interaksi owa Jawa (Dallman dan Geismann, 2001). Terdapat dua jenis suara owa Jawa, yaitu usual dan unusual call. Usual call biasanya dikeluarkan owa betina dewasa baik secara solo maupun duet dengan jantan dewasa atau remaja. Aktivitas ini dilakukan sebelum mengeksplorasi daerah jelajah dan teritori. Unusual call dilakukan oleh owa betina dewasa, jantan dan anggota kelompok ketika bertemu dengan kelompok lainnya di perbatasan teritori dan merespon adanya gangguan (Rinaldi, 1999). Pada pagi hari, owa akan bersuara berupa lengkingan nyaring yang disebut morning call dengan durasi antara 10-30 menit. Pada saat bersuara owa Jawa betina akan lebih mendominasi (Dallman dan Geismann, 2001). Suara owa Jawa dapat diidentifikasi hingga jarak 500-1500 m (Kappeler, 1981).

Menurut Pasang (1989), aktivitas bersuara secara umum dilakukan dalam tiga periode. Periode pertama dilakukan saat bangun pagi sampai semua anggota kelompok menempati posisinya untuk makan, sekitar pukul 05.00-08.00. Suara owa Jawa pada periode ini disamping sebagai tanda dimulainya aktivitas, juga merupakan tanda bagi kelompok lain akan keberadaan kelompok tersebut. Periode kedua berlangsung sekitar pukul 10.30-12.00, di sela-sela aktivitas mencari makan dan istirahat. Periode terakhir dilakukan menjelang malam hari, sekitar pukul 16.00-18.30. Dalam keadaan tertentu, bila ada predator atau gangguan dari kelompok lain, owa Jawa akan bersuara. Bila hujan turun atau langit mendung dan matahari tidak menyinari tajuk-tajuk vegetasi, biasanya owa Jawa tidak bersuara, baik pagi, siang maupun sore hari.

Aktivitas Makan

Menurut Tanudimadja dan Kusumamihardja (1985), perilaku makan mencakup konsumsi makan atau bahan-bahan bermanfaat baik yang padat maupun cair. Setiap spesies mempunyai cara yang khas. Pola perilaku makan berhubungan dengan anatomi dan fisiologis setiap spesies dan sifat makanan yang khas. Perilaku makan banyak dipelajari karena penting secara ekonomis.

(26)

Secara umum hewan memiliki tiga cara dalam memperoleh makanan, yaitu (1) tetap berada di tempat dan makanan datang sendiri, (2) berjalan untuk mencari makanan, dan (3) menjadi parasit bagi organisme lain. Tingkah laku makan dipengaruhi oleh faktor genetik, suhu lingkungan, jenis makanan yang tersedia dan habitat (Warsono, 2002).

Tingkah laku mencari makan yang lebih bervariasi dan harus melalui proses belajar serta adaptasi terhadap lingkungan baru. Frazer (1974) menerangkan bahwa tingkah laku makan meliputi semua aktivitas makan dan minum. Tingkah laku makan secara umum meliputi menangkap, makan, mengunyah dan menelan.

Tingkah laku makan owa Jawa (Hylobates moloch) dilakukan dengan cara menggunakan tangan, kaki, bibir yang sangat lentur dan sensitif serta gigi depan yang membantu dalam proses makan. Tingkah laku makan sering merupakan selingan dari tingkah laku bermain/bergerak (Fleagle, 1988).

Kappeler (1984) menggambarkan dengan jelas perilaku owa Jawa selama menangani pakan. Ketika makan, owa Jawa tinggal di satu tempat dengan berbagai postur, duduk, berdiri, menggantung dan biasanya satu atau dua tungkai bebas meraih pakan. Tingkah laku makan adalah waktu yang digunakan oleh owa Jawa untuk menggapai atau mengambil, mengolah, menggigit, mengeluarkan kembali, mengunyah dan menelan makanan. Aktivitas mencari pakan dan makan sekitar 7,4 jam (70%) dari kegiatan harian.

Aktivitas Istirahat

Setelah aktivitas makan selesai, owa Jawa akan beristirahat. Menurut Priyanto (1987) dalam Pasang (1989), aktivitas istirahat dibedakan menjadi dua, yaitu istirahat panjang dan istirahat pendek. Istirahat pendek dapat terjadi setiap saat diantara kegiatan makan dan kegiatan lainnya, sedangkan istirahat panjang merupakan saat tidur pada malam hari di pohon tempat tidur.

Menurut Cowlishaw (1996) siang hari digunakan untuk beristirahat dengan saling menelisik antara jantan dan betina pasangannya, atau antara induk dengan anaknya, sedangkan pada malam hari, tidur pada percabangan pohon.

Menurut Pasang (1989), terdapat perbedaan kuantitas antara istirahat dalam periode tidak aktif (malam hari) dan istirahat pada periode aktif (siang hari).

(27)

Aktivitas istirahat malam hari dikatakan istirahat panjang, karena hanya aktivitas tidur yang dilakukan. Sedangkan siang hari, yang diamati mulai pukul 05.00 hingga pukul 18.00, aktivitas istirahat terjadi di sela aktivitas bersuara, makan dan bergerak (lokomosi). Istirahat demikian disebut istirahat pendek.

Menurut pengamatan Pasang (1989), terdapat aktivitas istirahat panjang pada siang hari, yaitu antara pukul 09.00-12.00 dan antara pukul 13.00-15.00. Dikatakan istirahat panjang, karena posisinya adalah posisi tidur dan terjadi selama beberapa waktu (lebih dari 30 menit).

Aktivitas istirahat merupakan salah satu tingkah laku pada owa Jawa yang dilakukan dalam posisi duduk, berbaring dan tiduran, baik pada cabang maupun didalam sarang dan pada permukaan tanah. Hal ini menunjukkan tidak adanya kegiatan atau aktivitas. Tingkah laku istirahat terkadang diselingi dengan merawat diri (grooming), bermain dengan benda dan menggaruk-garuk badan (Fleagle, 1988).

Aktivitas Lokomosi (Bergerak)

Aktivitas lokomosi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk berpindah dari pohon tempat tidur menuju pohon sumber makanan, dari pohon sumber makanan ke pohon tempat beristirahat, mengontrol wilayah dan melarikan diri dari ancaman predator (Priyanto, 1987 dalam Pasang, 1989). Aktivitas owa Jawa yang termasuk ke dalam aktivitas lokomosi adalah tinkah laku bergantung, memanjat, berayun dan berjalan (Fleagle, 1988).

Pergerakan dari satu cabang ke cabang lain atau dari pohon satu ke pohon lain dibagi kedalam dua kecepatan, yaitu lokomosi cepat terjadi ketika menghindari predator, terdengar suara peringatan dari betina dan ketika terjadi perebutan tritori. Lokomosi lambat dilakukan pada saat menempuh jarak pendek (50-100 m) dan terdiri atas bergelayutan tanpa fase melayang, berjalan dengan dua kaki (bipedal), berjalan dengan empat kaki (quadrupedal), fase melayang untuk menjangkau cabang atau pucuk pohon (Kappeler, 1981). Menurut Nijman (2006), cara pergerakan owa Jawa dibedakan ke dalam empat jenis, yaitu : 1) brankiasi (bergelayutan); 2) berjalan dengan dua kaki (bipedal); 3) memanjat; 4) melompat (leaping).

MacKinnon dan MacKinnon (1980) menyatakan bahwa dalam berpindah tempat, setiap spesies menggunakan tajuk dengan ketinggian yang berbeda, yang

(28)

menunjukkan kekhasan relung-nya. Secara umum perbedaan tersebut ditunjukkan oleh perbedaan ketinggian dari permukaan tanah, yaitu : a). tingkat Atas, yaitu untuk primata yang menggunakan tajuk setinggi 25 m atau lebih; b). tingkat Tengah yaitu untuk ketinggian antara 8-25 m; c). Tingkat Bawah yaitu untuk ketinggian 8 m dan d). Permukaan Tanah yaitu untuk primata yang menggunakan permukaan tanah untuk berpindah. Menurut Pasang (1989), saat melakukan aktivitas lokomosi, owa Jawa hampir selalu menggunakan tajuk tingkat atas, yaitu ketinggian diatas 25 m. Jarang sekali turun pada ketinggian yang lebih rendah.

Pakan Owa Jawa

Kategori sumber pakan menurut Flaegle (1988) ada tiga yaitu :

1. struktural, yaitu bagian tumbuhan yang meliputi daun, batang, cabang dan materi tumbuhan lainnya yang mengandung struktur karbohidrat (selulosa);

2. bagain reproduktif, yaitu organ tumbuhan seperti tunas bunga, bunga dan buah (matang atau mentah);

3. materi dari hewan, yaitu makanan yang berasal dari hewan baik vertebrata maupun invertebrata.

Bagian tumbuhan yang sering dimakan adalah buah, biji, bunga dan daun muda. Selain itu, diketahui owa Jawa juga memakan ulat pohon, rayap, madu dan beberapa jenis serangga lainnya. Hasil analisis proporsi makanan berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa owa Jawa mengkonsumsi kurang lebih 61 % buah, 31 % daun dan sisanya berbagai jenis makanan seperti bunga dan berbagai jenis serangga (Conservation International Indonesia, 2000). Kelompok gibbon pada umumnya mengkonsumsi buah matang dalam proporsi yang tinggi (Geissmann, 2004).

Buah-buahan merupakan sumber pakan utama gibbon dibandingkan bagian lain pada pohon pakan (Whitten, 1982). Menurut Kuester (1999), owa Jawa merupakan hewan frugivorous, memakan buah yang matang di atas pohon di hutan hujan tropis. Pakan utamanya adalah buah-buahan dan dedaunan (Massicot, 2001). Dijelaskan pula oleh Kappeler (1981), pakan owa Jawa terdiri atas buah masak (2/3 dari jumlah pakan), daun muda (1/3 dari jumlah pakan), serta bunga dan materi lain dalam jumlah kecil.

(29)

Owa Jawa memanfaatkan lebih dari 35 spesies tumbuhan sebagai sumber makanan dan menempati pohon tidur dengan ketinggian sekitar 47,35 m dengan lebar kanopi 21,53 m dengan tinggi percabangan pertama 23,59 m (Ladjar, 1996 dalam Ladjar, 2002).

Jenis pohon dari famili Moraceae dan Euphorbiaceae merupakan pohon yang paling umum digunakan sebagai sumber pakan bagi gibbon. Jenis pohon lain yang sering digunakan sebagai sumber pakan berasal dari famili Leguminoseae, Myrtaceae, Annonaceae, Rubiaceae, Guttiferaceae dan Anacardiaceae (Chivers 2000).

Penelitian lain menunjukkan bahwa, owa Jawa mengkonsumsi sekitar 125 jenis tumbuhan yang berbeda, terdiri dari 108 jenis pohon, 14 jenis tumbuhan liana, 2 jenis tumbuhan palma dan satu jenis epifit. Jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan adalah Dillenia excelsa (Jack) Gilg, Dracontomelon mangiferum Blume, Garcinia dioica Blume, Ficus callosa Willd, Saccopetalum horsfieldii (Benn) Baillon ex. Pierre, Ficus variegata Blume, Eugenia polyanta Wright, Flacourtia rukam Zoll & Moritzi, Bridelia minutiflora Hook.f. dan Antidesma bunius Sprengel (Kappeler, 1984), sedangkan menurut Rinaldi (1999) terdapat 27 jenis tumbuhan yang merupakan sumber pakan owa Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, diantaranya adalah purut (Parartocarpus veneroso), kiara koang (Schefflera macrostachya Jacq), kiara beunyeur (Ficus callopylla Blume), dahu (Dracontomelon puberulum Miq.) dan kicalung (Diospyros hermaphrodhitica Bakh.).

Menurut Tilman et al. (1991), nutrisi yang terkandung dalam pakan yang dikonsumsi akan sangat penting bagi setiap bentuk kehidupan, karena dapat digunakan untuk bertahan hidup, pertumbuhan, produksi dan reproduksi. Dari segi nutrisi perlu diperhatikan bahan kering, protein, energi dan mineral. Semua primata mempunyai kebutuhan nutrisi yang umumnya sama yaitu untuk menggunakan energi, asam amino, mineral, vitamin dan air, tetapi kebutuhan spesifik setiap individu sangat beragam. Kebutuhan hewan untuk tumbuh normal, tergantung pada banyak hal seperti spesies, umur, jenis kelamin, fase pertumbuhan dan fase reproduksi.

(30)

Pisang (Musa paradisiaca)

Menurut Prihatman (2000), klasifikasi botani tanaman pisang adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Keluarga : Musaceae

Genus : Musa

Spesies : Musa paradisiaca.

Famili Musaceae dari ordo Scitaminae dan terdiri dari dua genus, yaitu genus Musa dan Ensete. Genus Musa terbagi dalam empat golongan, yaitu Rhodochlamys, Callimusa, Australimusa dan Eumusa. Golongan Australimusa dan Eumusa merupakan jenis pisang yang dapat dikonsumsi, baik segar maupun olahan. Buah pisang yang dimakan segar sebagian besar berasal dari golongan Emusa, yaitu Musa acuminata dan Musa balbisiana. Tanaman pisang merupakan tanaman asli daerah Asia Tenggara dengan pusat keanekaragaman utama wilayah Indo-Malaya (Situshijau, 2006).

Tanaman pisang termasuk dalam golongan terna monokotil tahunan berbentuk pohon yang tersusun atas batang semu. Batang semu ini merupakan tumpukan pelepah daun yang tersusun secara rapat teratur. Percabangan tanaman bertipe simpodial dengan meristem ujung memanjang dan membentuk bunga lalu buah. Bagian bawah batang pisang menggembung berupa umbi yang disebut bonggol. Pucuk lateral (sucker) muncul dari kuncup pada bonggol yang selanjutnya tumbuh menjadi tanaman pisang. Buah pisang umumnya tidak berbiji/bersifat partenokarpi (Situshijau, 2006).

Tanaman pisang dapat ditanam dan tumbuh dengan baik pada berbagai macam topografi tanah, baik tanah datar ataupun tanah miring. Produktivitas pisang yang optimum akan dihasilkan oleh pisang yang ditanam pada tanah datar pada ketinggian di bawah 500 m dpl dan keasaman tanah pada pH 4,5-7,5. Suhu harian berkisar antara 25o-27o C dengan curah hujan 2000-3000 mm/tahun (Situshijau, 2006).

(31)

Berbagai kultivar pisang berlainan dalam komposisi kandungan haranya. Dalam buah yang matang, untuk 100 g bagian yang dapat dimakan kira-kira terkandung: 70 g air; 1,2 g protein; 0,3 g lemak; 27 g karbohidrat dan 0,5 g serat. Buah pisang kaya akan kalium (400 mg/100 g) dan menduduki tempat khusus dalam diet yang rendah lemak, kolesterol dan garam. Pisang juga merupakan sumber yang baik untuk vitamin C dan vitamin B6, dengan sedikit sekali vitamin A, tiamin, riboflavin dan niasin. Nilai energi pisang matang berkisar antara 275 kJ dan 465 kJ/100 g (Verheij dan Coronel, 1997).

Semangka (Citrullus vulgaris)

Semangka (Citrullus vulgaris) adalah tanaman yang berasal dari Afrika, mirip dengan melon (Cucumis melo L.) keduanya termasuk famili Curcubitaceae. Famili ini memiliki sekitar 750 jenis yang tumbuh tersebar di daerah tropika. Batang semangka berbentuk bulat dan lunak, berambut dan sedikit berkayu. Batang ini merambat, panjangnya sampai 3,5 – 5,6 meter. Cabang-cabang lateral mirip dengan cabang utama. Daunnya berbentuk caping, bertangkai panjang dan letaknya berseberangan. Bunga semangka berjenis kalemin satu, tunggal, berwarna kuning, diameternya sekitar 2 cm (Kalie, 1998).

Buah semangka memiliki daya tarik khusus. Buahnya tergolong mengandung banyak air (sekitar 92%). Nilai gizi buahnya termasuk rendah, hanya mengandung 7% karbohidrat dalam bentuk gula. Kandungan vitamin dan mineralnya pun tergolong rendah. Rasa buah yang manis serta mengandung banyak air sangat melegakan bila dimakan saat haus (Kalie, 1998).

Komposisi buah semangka per 100 g : Energi 28 kal, Air 92,1%, Protein 0,5 g, Lemak 0,2 g, Karbohidrat 6,9 g, Vitamin A 590 SI, Vitamin C 6 mg, Niasin 0,2 mg, Riboflavin 0,05 mg, Thiamin 0,05 mg, Abu 0,3 mg, Kalsium (Ca) 7 mg, Besi (Fe) 0,2 mg, Fosfor (P) 12 mg (Kalie, 1998).

Satu potong semangka sama fungsinya dengan segelas air. Buah ini bebas lemak dan memiliki kombinasi kadar gula terbatas dan kadar air berlimpah, bersifat cepat mengenyangkan di dalam lambung. Kandungan air dan kaliumnya yang tinggi bisa menetralisasi tekanan darah. Semangka juga berfungsi untuk merangsang

(32)

keluarnya air seni lebih deras. Semangka juga mengandung likopen yaitu komponen karotenoid seperti halnya betakaroten (Jawaban, 2008).

Markisa (Passiflor edulis f. flavicarpa)

Menurut Nakasone dan Paull (1999) klasifikasi tanaman markisa adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledone Keluarga : Passifloraceace Genus : Passiflor

Spesies : Passiflor edulis f. flavicarpa

Menurut Snapdrive (2001), tanaman markisa berasal dari Brazil. Tanaman ini disebarkan pertama kali ke seluruh dunia oleh bangsa Spanyol. Saat ini, terdapat 2 (dua) jenis markisa, yaitu markisa ungu (Passiflora edulis Sims) yang tumbuh di daratan tinggi (1200 m dpl) dan markisa kuning (Passiflora edulis f. flavicarpa) yang tumbuh di daratan rendah (0-800 m dpl).

Markisa adalah tanaman yang menjalar. Buah markisa mengeluarkan sulur paut dari pangkal daun. Bentuk daunnya bulat membujur dan rata di tepi, berukuran kira-kira 6-7 cm dan mempunyai berat sebesar 8 g. Markisa mempunyai rasa dan bau yang sedap apabila matang (Ahmad, 1999).

Setiap 100 g markisa mengandungi : Air 75 g, Protein 2,2-2,5 g, Karbohidrat 15-20 g, Kanji 2,5-3,5 g, Lemak 0,75-1,5 g, Abu 0,6-0,8 g, Unsur surih 1,5-2,5 g, Vitamin A 500 i.u, Vitamin B1,8 mg, Vitamin C20-30 mg, Gula penurun 6,5-8,0 g, Gula bukan penurun 1,5-3,0 g (Ahmad, 1999). Selain mempunyai citarasa dan aroma yang unik, markisa merupakan sumber pro-vitamin A, vitamin C, niacin, dan riboflavin. Kulit buah markisa bisa dijadikan makanan ternak (Ahmad, 1999).

Jambu Biji (Psidium guajava L)

Klasifikasi botani tanaman jambu biji (Tjitrosoepomo, 1991) adalah sebagai berikut :

(33)

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledone Ordo : Myrtales Keluarga : Myrtaceaee Genus : Psidium

Spesies : Psidium guajava L

Jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan semak besar atau pohom pendek yang tingginya mencapai 10 m. Kulit pohon jambu biji licin, mudah terkelupas dan berwarna coklat kehijauan hingga coklat kemerahan. Daun jambu biji berseling berhadapan. Bunga berwarna putih, berdiameter ± 2.5 cm, berekelompok dalam dua atau tiga kuntum bunga (Bourke, 1976). Bunga jambu biji memiliki benang sari yang banyak dengan panjang 1-2 cm. Kepala putik berbentuk bongkol dan panjang tangkai putik 1.5-2 cm (Soetopo, 1997).

Buah jambu biji bulat menyerupai bentuk pir atau berry, berdiameter 5 cm. Kulit buah jambu biji tipis, berwarna kuning kehijauan. Daging buah dapat berwarna putih, kuning, merah muda atau dapat pula berwarna merah. Buah bervariasi dalam ukuran, intensitas aroma dan rasa (Bourke, 1979).

Jambu biji mengandung berbagai zat gizi yang dapat digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan beberapa penyakit. Kandungan kadar gizi yang terdapat dalam 100 g buah jambu biji masak segar adalah kalori 49 kal, vitamin A 25 SI, vitamin B1 0,05 mg, vitamin C 87 mg, kalsium 14 mg, hidrat arang 12,2 g, fosfor 28 mg, besi 1,1 mg, protein 0,9 mg, lemak 0,3 g, dan air 86 g (Departemen Pertanian, 2002).

Apel (Malus sylvestaris Mill)

Menururt Sistematika (Nugroho 2001) klasifikasi tanaman apel adalah sebagai berikut :

Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae

(34)

Klas : Dicotyledonae Ordo : Rosales

Famili : Rosaceae Genus : Malus

Spesies : Malus sylvestris Mill

Tanaman apel (Malus sylvestaris Mill) berasal dari Asia Barat Daya. Tinggi pohon apel dapat mencapai 2-5 m dan cabangnya panjang. Pada cabang tersebut muncul tunastunas produktif. Pada daerah subtropis di tempat yang berdataran tinggi biasanya pohon apel berbunga pada musim semi. Munculnya bunga didahului oleh munculnya tunas produktif (spurs) dan pertunasan berhenti setelah pertumbuhan buah. Pada musim panas bunganya berkembang dan berdiferensiasi. Sebagian tunas-tunas yang tidak berbunga akan tinggal dirman dan biasanya akan berbunga pada musim berikutnya. Biasanya buah apel akan masak pada musim rontok (gugur).

Buah apel memiliki tekstur yang renyah, dengan rasa manis dan manis agak asam. Rasa tersebut mempunyai komposisi imbangan antara asam malt dengan gula. Dalam setiaP 100 g buah apel mengandung 85 g air, 10-13-5 karbohidrat, 10 mg Kalsium, 1,2 mg Besi, 150 mg Kalium, Vitamin A, B1, B2, B6 dan Vitamin C sebanyak 10 mg. Protein dan Lemak ssangat rendah, sedangkan kalorinya sebanyak 165-235 KJ/100 g (Nugroho, 2001).

Kangkung (Ipomoea aquatica)

Sistematika tanaman kangkung dapat diklasifikasikan (Rukmana, 1994) sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Keluarga : Convolvulaceae Genus : Ipomoea

(35)

Kangkung (Ipomoea aquatica), merupakan tanaman menjalar dengan batang bulat, beruas-ruas, dan berlubang di tengahnya ini mempunyai sifat khas mendinginkan. Ia memiliki kandungan kimia antara lain karotena, hentriakontan dan sitosterol. Zat-zat tersebut berfungsi sebagai antiinflamasi, diuretik dan hemostatik (Sinar Harapan, 2002).

Berdasarkan penelitian, nilai nutrisi 100 g kangkung yang direbus tanpa garam adalah air 91,2 g, energi 28 kcal, protein 1,9 g, lemak 0,4 g, karbohidrat 5,63 g, serat 2 g, dan ampas 0,87 g. Kangkung juga memiliki kandungan mineral, sejumlah vitamin termasuk vitamin C dan asam amino (Sinar Harapan, 2002).

Kangkung merupakan tanaman dari India yang menyebar ke Malaysia, Burma, Indonesia, Cina Selatan, Australia, dan bagian negara Afrika ini disebut juga Swamp Cabbage, Water Convovulus, dan Water Spinach. Kangkung juga memiliki kandungan mineral, vitamin A, B,C, asam amino, kalsium, fosfor, karoten, dan zat besi (Gklinis, 2003).

Ubi Jalar (Ipomoea batatas)

Menurut Nonnecke (1989), klasifikasi ilmiah dari ubi jalar adalah sebagai berikut : Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Klas : Dycotiledone Ordo : Solanaceae Famili : Convolvulaceae Genus : Ipomoeae Spesies : Ipomoea batatas

Ubi jalar merupakan bahan pangan dengan gizi yang cukup tinggi karena merupakan sumber energi dalam bentuk gula dan karbohidrat. Selain itu ubi jalar juga mengandung berbagai vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh, seperti kalsium dan zat besi serta vitamin A dan C (Steinbauer dan Kushman, 1971)

Menurut Bradbury dan Halloway (1988), ditinjau dari komposisi kimia ubi jalar potensi sebagai sumber karbohidrat, mineral dan vitamin. Selain umbinya yang

(36)

memiliki gizi cukup tinggi, daun umbi jalar muda dapat dijadikan sayur yang juga mengandung gizi cukup tinggi. Umbi komoditas ini kaya akan energi tetapi miskin akan protein, sedangkan daunnya kaya akan mineral dan vitamin A.

Ubi jalar segar mentah memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi yaitu 562 g kalium, 107 mg kalsium, 2,8 protein, kalori 53,00 kal, 5,565 SI vitamin A dan 32 mg vitamin C dalam tiap 100 gram. Seusai dimasak kandungan gizi berkurang yaitu menjadi 2,6 mg kalsium, 94 mg kalium, 3.345 SI vitamin A dan 5 mg vitamin C dalam tiap 100 gram (Budidaya Furniture, 2007).

Pemilihan Pakan

Makanan memegang peranan penting dalam usaha meningkatkan mutu hewan, karena melalui makanan yang bernilai gizi baik akan menunjang kesehatan hewan (Nurmasito, 2003). Hewan umumnya mempunyai sifat seleksi terhadap pakan yang tersedia. Ada pakan tertentu yang lebih disukai dibandingkan pakan yang lain, karena hewan mempunyai sifat daya seleksi yang cukup tinggi (Church, 1976).

Owa Jawa merupakan hewan pemilih dalam hal makanan. Makanan jenis baru akan diambil atau dimakan apabila makanan tersebut sesuai dengan selera baik dalam hal rasa (taste), seandainya tidak sesuai dengan selera, maka makanan itu akan dicampakkan. Owa Jawa mengenali suatu makanan dengan cara menciumnya pada semua sisi dan memajukan bibirnya dengan posisi mencium atau memakannya dengan hati-hati (Fleagle, 1988). Sebelum mengkonsumsi makanan yang berkulit dan berbiji owa Jawa terlebih dahulu mengupas dan membuanggnya dengan menggunakan tangan dan gigi (Fleagle, 1988).

Menurut Sutardi (1980), selera makan hewan mempengaruhi konsumsi, dimana selera makan merupakan faktor internal yang merangsang rasa lapar pada hewan, faktor lain yang mempengaruhi konsumsi adalah kesehatan hewan. Ditambahkan pula oleh Parakkasi (1986) bahwa faktor makanan yang meliputi sifat fisik dan komposisi kimia akan mempengaruhi tingkat konsumsi.

Pusat Penyelamatan Satwa Gadog

Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Gadog terletak kurang lebih 10 km dari arah kota Bogor pada ketinggian 650 meter dpl dengan temperatur rata-rata 22,89 0C

(37)

dan kelembaban udara rata-rata 59,7 %. PPS Gadog beralamat di Jalan Raya Gadog RT 01/ RW 01, Desa Sukakarya, Kecamatan Megamendung, Ciawi, Bogor. Secara administratif, PPS Gadog berada di perbatasan antara dua desa yaitu desa Sukakarya dan desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung, Ciawi, Bogor. Berdiri sejak tanggal 25 september 2003 sebagai organisasi non-pemerintah dan bersifat nirlaba. Bergerak dalam bidang pelestarian satwa liar di Indonesia dengan tujuan membantu pemerintah dalam penanganan masalah satwa liar dan habitatnya. PPS Gadog dijadikan sebagai tempat transit satwa sebelum dilepaskan ke habitat aslinya atau ditranslokasikan ke pusat rehabilitasi maupun tempat konservasi. Kegiatan di PPS Gadog meliputi penyediaan fasilitas (sarana dan prasarana) tempat transit satwa liar, pengelolaan, penanganan satwa dan sosialisasi program.

Penangkaran

Penangkaran merupakan suatu upaya mengembangbiakkan satwa liar yang dilakukan secara intensif di dalam kandang. Pengembangbiakkan satwa primata di dalam penangkaran mempunyai dua tujuan utama, yaitu menghasilkan satwa untuk kepentingan penelitian biomedis, dan melindungi spesies satwa yang terancam punah (De Mello, 1991).

Pada dasarnya sistem pengandangan satwa primata dibagi atas dua bagian (Sajuthi, 1984) yaitu : 1) Sistem pengandangan dalam bangunan yang tertutup (indoor enclosures), dan 2) Sistem pengandangan dalam alam terbuka (outdoor enclosures). Sistem pengandangan tertutup biasanya digunakan untuk mengkarantinakan satwa primata dan juga dalam berbagai macam riset yang mensyaratkan satwa tersebut dikandangkan secara individual atau berkelompok, dimana tidak terdapat kemungkinan kontaminasi dari luar atau sebaliknya satwa menularkan penyakit keluar. Sistem tertutup ini dibagi atas dua bagian pula yaitu : 1) Sistem kandang satu persatu (individual cage), yaitu satwa dikandangkan satu persatu, dan 2) Sistem kelompok, yaitu satwa ditempatkan dalam satu kandang yang cukup besar dan dapat menampung cukup banyak satwa.

Untuk sistem pengandangan terbuka biasanya digunakan untuk menternakkan atau mengembangbiakkan satwa tersebut. Secara terperinci sistem ini dibagi atas lima bagian (Sajuthi, 1984) yaitu : 1) Sistem setengah tertutup (semi closed), yaitu

(38)

satwa ditempatkan dalam suatu kandang yang setengah tertutup. Dimanan udara dapat keluar masuk dengan bebas. Sinar mataharipun dapat masuk ke dalam ruangan ini. Apabila cuaca buruk (hujan, dingin atau panas) maka satwa dapat berlindung pada bagian yang tertutup; 2) Sistem terbuka dengan disediakan tempat berteduh (open corral with rainshed), yaitu satwa ditempatkan dalam suatu daerah yang luas (minimum 2,5 acre) tanpa adanya penghalang yang permanent; 3) Sistem terbuka setengah bebas (semi free ranging), yaitu prinsipnya sama dengan sistem ke dua, tetapi arealnya lebih luas; 4) Sistem terbuka setengah alam (semi natural free ranging), yaitu satwa ditempatkan pada daerah yang luas dimana makanan dari satwa sebagian didapat dari alam dan sebagian dari manusia; dan 5) Sistem pemeliharaan di alam bebas (natural free ranging), yaitu satwa dilepaskan di alam bebas dimana ketergantungan satwa pada manusia sama sekali tidak ada.

Menurut Bennet (1995), berdasarkan tipenya, kandang dibedakan menjadi tiga jenis yaitu : 1) kandang individual (jantan/betina) dan sering disebut kandang individual atau berpasangan; 2) individual jantan/banyak betina, biasa disebut kandang harem; dan 3) banyak jantan dan banyak betina, disebut juga kandang kelompok (troop). Berdasarkan lokasinya, kandang dibagi ke dalam tiga lokasi : 1) dalam ruangan, biasanya diperuntukkan bagi kandang individual atau berpasangan; 2) kandang di luar ruangan, biasanya disebut kandang koral atau kandang lapang; 3) kandang dalam/luar, disebut runs, biasanya merupakan gabungan konsep kedua jenis kandang tersebut.

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan pada saat mendisain suatu kandang Bennet (1995), antara lain adalah : 1) memberikan kenyamanan fisik pada satwa yang sedang dikandangkan; 2) sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan normal satwa; 3) pemeliharaan yang sesuai dan mampu menjaga kesehatan satwa; 4) kandang harus memenuhi syarat penelitian dan perawatan satwa. Pertimbangan tersebut salah satunya bertujuan mengurangi tingkat stress yang biasa terjadi pada satwa di dalam penangkaran. Ukuran kandang satwa primata berdasarkan bobot badan dapat dilihat pada Tabel 1.

(39)

Tabel 1. Rekomendasi Ukuran Kandang Satwa Primata Berdasarkan Bobot Badan

Satwa Primata Berat (kg) Luas/Individu Tinggi ft2 m2 in cm Monyet Kelompok 1 ≤ 1 1,6 0,14 20 50,80 Kelompok 2 ≤ 3 3,0 0,27 30 76,20 Kelompok 3 ≤ 10 4,3 0,39 30 76,20 Kelompok 4 ≤ 15 6,0 0,54 32 81,28 Kelompok 5 ≤ 25 8,0 0,72 36 91,44 Kelompok 6 ≤ 30 10,0 0,90 46 116,84 Kelompok 7 > 30 15,0 1,35 46 116,84 Kera Kelompok 1 ≤ 20 10,0 0,90 55 139,70 Kelompok 2 ≤ 35 15,0 1,35 60 152,40 Kelompok 3 > 35 25,0 2,25 84 213,36

Sumber : Institute of Laboratory Animal Resources, Commission on Life Sciences, National Reseacrh Council (1996) dalam Iskandar (2007)

(40)

METODE Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilakukan selama satu bulan yaitu dari bulan Agustus hingga September 2007 di Pusat Penyelamatan Satwa Gadog (PPSG), Ciawi, Bogor, dengan ketinggian 650 m dpl. PPSG berada di daerah perbatasan antara dua desa yaitu Desa Sukakarya dan Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor.

Materi Hewan Penelitian

Hewan penelitian yang digunakan yaitu dua ekor (sepasang) owa Jawa (Hylobates moloch) yang terdiri dari satu ekor jantan (Simon) yang telah ditangkarkan selama 4-5 tahun dan satu betina (Ny Simon) yang telah ditangkarkan selama 3-4 tahun. Penggunaan hewan owa Jawa hanya dua ekor (sepasang) dikarenakan hewan tersebut tergolong satwa langka. Antara owa jantan dan betina diletakkan secara terpisah pada kandang individu yang berbeda.

Kandang

Kandang yang digunakan sebanyak dua kandang. Kandang berbentuk kandang individu yang digunakan untuk tidur dan untuk makan. Sistem perkandangan yang digunakan adalah sistem kandang setengah tertutup (semi closed). Udara dapat keluar masuk dengan bebas. Sinar matahari pun dapat masuk kandang. Apabila cuaca buruk (hujan, dingin atau panas) maka satwa dapat berlindung pada bagian yang tertutup (Sajuthi, 1984). Setiap kandang dilengkapi dengan kotak pakan, tempat air minum, tempat istirahat, dan peralatan bermain. Masing-masing kandang mempunyai ukuran panjang x lebar x tinggi yang sama yaitu 4,60 m x 1,20 m x 3 m. Dinding kandang sebelah kanan dan kiri terbuat dari semen yang dilapisi oleh ubin berbahan marmer, sedangkan bagian depan, belakang atap dan alas kandang berupa jeruji yang dibuat dari bahan kawat loket dengan diameter 10 mm. Kotak pakan pada masing-masing kandang memiliki ukuran yang sama pula yaitu masing-masing berukuran 30 cm2 yang dibuat dari bahan besi baja. Tempat air minum terbuat dari bahan alumunium berbentuk bulat atau silinder yang

(41)

masing-masing ukurannya sama yaitu berdiameter 15 cm, sedangkan untuk tempat tidur tidak dibuat kotak yang khusus untuk tempat istirahat, hanya pada bagian dinding dibuat sedikit menjorok ke dalam berbentuk persegi panjang yang cukup untuk owa meluruskan kaki atau istirahat.

Foto : Mahardika (2007)

Gambar 2. Kandang Individu Owa Jawa

Peralatan

Peralatan yang digunakan yaitu termohigrometer (untuk mengukur suhu dan kelembaban udara kandang), tempat makan, tempat minum, jam atau pencatat waktu (untuk membatasi interval pengamatan), peralatan untuk kebersihan dan alat tulis (untuk mencatat data pengamatan).

Bahan Pakan

Bahan pakan yang diberikan berupa buah-buahan segar seperti semangka, apel, pisang, markisa dan jambu, sayuran seperti kangkung dan umbi-umbian berupa ubi jalar merah. Pakan diberikan untuk memenuhi kebutuhan owa Jawa. Bahan

(42)

pakan ini berasal dari sekitar tempat penangkaran satwa seperti buah pisang dan ubi didapat dari petani sekitar, sayuran, semangka, markisa, jambu dan apel dibeli di pasar tradisional sekitar pusat penangkaran dan sayuran lain diperoleh di perkampungan sekitar pusat penangkaran. Pakan dan air minum diberikan dua kali dalam sehari yaitu pagi dan siang hari. Sebelum diberikan, pakan ditimbang terlebih dahulu sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan. Berat masing-masing pakan adalah sebagai berikut markisa 100 g, ubi jalar 100 g, apel 50 g, jambu biji 50 g, semangka 100 g, pisang 80 g, kangkung 50 g, sedangkan air minum diberikan secara ad libitum disesuaikan dengan kebutuhan, tetapi diusahakan tempat air minum tidak kosong. Penentuan bobot bahan pakan yang diberikan berdasarkan ketersediaan bahan pakan di penangkaran, berdasarkan kesepakatan, dan berdasarkan bobot badan satwa serta asupan kalori, sehingga diambil pendekatan jumlah pakan sama dengan 10% dari bobot badan.

Prosedur

Penelitian preliminary (pendahuluan) dilakukan terlebih dahulu dengan mengamati aktivitas owa Jawa selama enam hari dengan metode ad libitum sampling. Pemberian pakan dilakukan dengan metode restricted feeding (Pratas, 2006). Hasil pengamatan pada penelitian preliminary digunakan untuk menentukan aktivitas yang berhubungan dengan pola konsumsi pakan. Untuk melengkapi data penelitian, maka dilakukan wawancara kepada pemelihara atau pengelola yang paham tentang owa Jawa di pusat penangkaran tempat penelitian. Setelah penelitian preliminary selama enam hari selesai, maka pengambilan data dimulai selama 24 hari.

Persiapan-persiapan yang dilakukan selama berlangsungnya penelitian adalah pembersihan kandang yang dilakukan setiap pagi hari, penyediaan pakan dan air minum. Pemberian pakan dilakukan sebanyak dua kali sehari yang diberikan pada pagi hari sekitar pukul 07.00-08.00 WIB dan siang hari sekitar pukul 13.00-14.00 WIB tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan owa Jawa. Pakan diberikan dua kali dalam sehari maksudnya adalah agar bahan pakan yang diberikan tetap dalam keadaan segar. Sebelum pakan diberikan kepada owa Jawa, terlebih dahulu pakan dicuci bersih kemudian ditimbang.

(43)

Pengambilan data aktivitas (data pengamatan) dilakukan dengan metode One-zero sampling, yaitu mencatat setiap aktivitas yang terjadi sesuai interval waktu yang telah ditetapkan. Angka satu apabila ada aktivitas dan angka nol apabila tidak ada aktivitas pada periode pengamatan (Martin dan Bateson, 1988). Pengambilan data pengamatan dilakukan setiap hari selama 24 hari dimulai dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB. Waktu pengamatan dibagi menjadi tiga periode, yaitu pagi hari (06.00 - 10.00 WIB), siang hari (10.00 – 14.00 WIB), dan sore hari (14.00 – 18.00 WIB). Dari setiap periode pengamatan dibagi lagi dengan interval waktu pengamatan, yang masing-masing pengamatan selama 15 menit. Aktivitas yang diamati kemudian dicatat.

Pengamatan aktivitas makan dilakukan pada saat pemberian pakan yaitu pada pagi dan siang hari dengan mengamati urutan pakan yang pertama kali diambil hingga pakan terakhir untuk dikonsumsi. Selain mengamati urutan pakan yang diambil, diamati juga aktivitas owa Jawa saat mengkonsumsi pakan.

Peubah 1. Pemilihan Pakan

Peubah ini diamati berdasarkan urutan pakan yang pertama kali dipilih sampai dengan yang terakhir dipilih untuk dikonsumsi. Pengamatan dilakukan pada saat pemberian pakan.

2. Pengamatan Aktivitas Owa Jawa

Perilaku makan : Memilih pakan, mencium pakan, menggigit pakan, memasukkan makanan ke mulut, mengunyah, menelannya, kemudian memuntahkan dan memakannya kembali

Perilaku minum : Memasukkan cairan ke mulut dan menelannya Perilaku urinasi : Mengeluarkan kotoran dalam bentuk cairan Perilaku defekasi : Mengeluarkan kotoran dalam bentuk padat

Lokomosi : Bergerak atau melompat, bergelayutan, berpindah tempat, bergeser, menjilati jeruji, berjalan, mengendus-endus, bangun tidur, menguap, meregangkan tubuh, bersuara,

Gambar

Foto : Kueter (2000)  Gambar 1. Owa Jawa
Foto : Mahardika (2007)
Tabel 2.  Ranking Urutan Pakan dari Pakan yang Pertama Kali Dipilih      Sampai Pakan yang Terakhir Dipilih
Gambar 3.    Persentase Aktivitas Owa Jawa pada Siang Hari dari Pukul  06.00 WIB sampai Pukul 18.00 WIB
+7

Referensi

Dokumen terkait