• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Perilaku dan Pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) Di Pusat Studi Satwa Primata IPB dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango : Penyiapan Pelepasliaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Perilaku dan Pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) Di Pusat Studi Satwa Primata IPB dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango : Penyiapan Pelepasliaran"

Copied!
242
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PERILAKU DAN PAKAN OWA JAWA (Hylobates moloch)

DI PUSAT STUDI SATWA PRIMATA IPB DAN TAMAN NASIONAL

GUNUNG GEDE PANGRANGO : Penyiapan Pelepasliaran

DEDE AULIA RAHMAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Studi Perilaku dan Pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) Di Pusat Studi Satwa Primata IPB dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango : Penyiapan Pelepasliaran adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2011

(3)

ABSTRACT

DEDE AULIA RAHMAN. Study of Behavior and Feeding of Javan Gibbon in Primate Research Center IPB and Gunung Gede Pangrango National Park : Preparation of Release. Under direction of DEWI APRI ASTUTI and ENTANG ISKANDAR

Study on behavior and food analysis of the Javan gibbon at the IPB Primate Research Center (IPB PRC) and Gunung Gede Pangrango National Park (GGPNP) has been conducted to evaluate the plan on releasing the Javan gibbon at the IPB PRC captive facility to the natural habitat. Focal animal and adh-libitum sampling method have been used to record behavior and food preference (quantity, quality and palatability) from January through March 2011, data were analysed using chi-square test. Result showed that there were differences on behavior between Javan gibbon at IPB PRC and GGPNP (Rasamala Forest), example especially significant different on vocalitation the Javan gibbon at Rasamala Forest has a greater frequency of vocalitation than IPB PRC. Another significant difference in behavior is locomotion, some Javan gibbon in PRC often perform a bipedal walking movement (Individual OJ and JLO) and this rarely happens in the Owa of Java in the Forest Rasamala. The largest proportion of activity and behavior in the PRC and Rasamala forest that is on activity and feeding behavior, with the percentage of activity and feeding behavior in PRC reached 15.63% -39.72% and in the rasamala forest reached 15.43% -42.57%. While the activities and behavior that is lowest in vocalisation activity, with the percentage of activity and behavior of vocalisation in the PSSP (0% -0.14%) and in the rasamala forest reach (0% -0.75). For value of nutrient, Total consumption of dry matter (DM), fat and energy in Javan gibbon at PRC higher than rasamala forest. But in terms of nutritional intake of crude fiber and protein, Javan gibbon groups at rasamala forest consume nutrients was higher than PRC. Based on body weight data of Javan gibbon are available on the PRC, DM consumption can be estimated at adult age classes reach 3% of body weight and 7% of body weight for age classes of infant. Related to the need for energy to support the activities and movement and other activity on juvenile age class and reproductive activity in adult age classes, the total energy consumption per body weight reaches 30-50 Cal / kg BW. Considering behavioral, nutrient and health management, release program of Javan gibbon at the IPB PRC needs to be reconsidered, otherwise, building new cage to separate individuals in the group would be best solution at mean while.

(4)

spesies genus Hylobates yang hidup di Indonesia. Berdasarkan Laporan Conservation Assessment and Management Plan PrimataIndonesia (Supriatna, et.al. 2001), saat ini diperkirakan hanya tersisa antara 400-2.000 individu spesies kera ini di habitat alaminya. Hal ini terjadi karena adanya tekanan atau degradasi habitat Owa Jawa dan perdagangan liar satwa ini sebagai hewan peliharaan (Supriatna 2006). Melalui program pelestarian Owa Jawa secara eksitu diharapkan mampu menunjang konservasi in-situ melalui program pelepasliaran ke habitat alaminya. Studi komparasi antara perilaku di alam (insitu) dan di habitat eksitu merupakan kunci bagi program konservasi spesies dan solusi bagi permasalahan tersebut. Hasil kajian mengenai komparasi dirumuskan sebagai dasar dalam penentuan kebijakan dan arah kegiatan pengelolaan manajeman eksitu di PSSP. Studi ini ditunjukan dalam rangka menyiapkan individu di penangkaran sehingga mampu beraktivitas dan berperilaku serta memanfaatkan pakan sebagai mana ketika berada di alam serta ditunjukan dalam penetapan kriteria kesiapan individu yang akan dilepasliarkan.

Data-data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Pengamatan dilakukan secara langsung dilapangan terhadap aktivitas dan perilaku serta pakan Owa Jawa baik di PSSP maupun di Hutan rasamala (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango) serta melalui studi literature yang relevan dengan bidang kajian. Pengumpulan data primer meliputi data kondisi bio-fisik, pengkayaan lingkungan kandang Owa Jawa, aktivitas dan perilaku, serta pakan.

Berdasarkan hasil pengamatan pada kelompok Owa Jawa di PSSP dan Hutan rasamala. Kedua kelompok ini sudah dalam batas maksimal terkait jumlah individu dalam kelompok. Kerentanan pada kelompok Owa Jawa yang terdapat di Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang terdapat di hutan rasamala. Beberapa bulan kedepan Owa Jawa di PSSP akan bertambah dengan lahirnya individu baru (betina dewasa saat ini dalam masa bunting). Dengan ukuran kandang yang relatif kecil (panjang 7,9 m, lebar 7 m dan tinggi 3,3 m, terbagi atas dua ruang yang dipisahkan oleh sekat) untuk menampung sejumlah individu Owa Jawa tersebut menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan timbulnya konflik dalam kelompok karena keterbatasan ruang. Kemungkinan inbreeding (perkawinan sedarah) antara OJ dan JLO pun dapat terjadi, OJ saat ini telah memasuki usia pradewasa dan menunjukan perilaku siap kawin.

(5)

Pola aktivitas dan perilaku harian Owa Jawa di PSSP umumnya sama dengan primata diurnal lain, yaitu bangun pada pagi hari dengan aktivitas dan perilaku pertama yaitu membuang kotoran, urinasi (eliminative behavior) atau melakukan aktivitas suara kemudian dilanjutkan dengan melakukan puiergerakan untuk mencari makan, dan sore hari mencari pohon tidur untuk tidur sepanjang malam. Secara umum urutan aktivitas yang ditunjukan oleh kelompok Owa Jawa yang terdapat di PSSP dan Hutan rasamala hampir sama, namun aktivitas bersuara rendah pada Owa Jawa di PSSP. Perbedaan perilaku lain yang signifikan adalah perilaku bergerak, beberapa Owa Jawa di PSSP sering melakukan pergerakan secara bipedal walking (individu OJ dan JLO) dan hal ini jarang terjadi pada Owa Jawa di hutan rasamala. Proporsi terbesar aktivitas dan perilaku di PSSP dan hutan rasamala yaitu pada aktivitas dan perilaku makan, dengan presentase aktivitas dan perilaku makan di PSSP mencapai 15,63%-39,72% dan di hutan rasamala mencapai 15,43%-42,57%. Aktivitas dan perilaku terendah yaitu pada aktivitas bersuara, dengan presentase aktivitas dan perilaku bersuara di PSSP (0%-0,14%) dan di hutan rasamala mencapai (0%-0,75).

Jenis pakan, jenis pakan yang paling disukai di PSSP yaitu jeruk dan di Hutan rasamala yaitu daun rasamala. Jumlah Konsumsi bahan kering (BK), lemak dan energi di PSSP lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok Owa Jawa di hutan rasamala. Namun dalam hal konsumsi gizi berupa serat kasar dan protein kelompok hutan rasamala mengkonsumsi zat gizi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok Owa Jawa di PSSP. Berdasarkan data bobot badan yang tersedia pada kelompok Owa Jawa di PSSP, dapat diestimasi konsumsi BK pada kelas umur dewasa mencapai 3% dari bobot badan dan 7% dari bobot badan untuk kelas umur anak. Terkait dengan kebutuhan akan energi untuk menunjang aktivitas dan aktivitas bergerak dan lainnya pada kelas umur remaja dan aktivitas reproduksi pada kelas umur dewasa maka total konsumsi energi per bobot badan mencapai 30 - 50 Kal/Kg BB. Walaupun demikian kedua kelompok ini masih menunjukan kecukupan zat gizi, hal ini tampak dari kemampuan tumbuh, reproduksi dan merawat anak (menyusui).

Perbedaan yang mendasar baik dalam hal aktivitas dan perilaku, khususnya perilaku sosial dan pergerakan serta jenis pakan kelompok Owa Jawa di PSSP dan di Hutan rasamala mengindikasikan perlunya penyiapan proses pelepasliaran individu atau kelompok melalui berbagai tindakan manajeman lain untuk siap dilepasliarkan terkait perilaku, pakan dan kesehatan.

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

STUDI PERILAKU DAN PAKAN OWA JAWA (Hylobates moloch) DI

PUSAT STUDI SATWA PRIMATA IPB DAN TAMAN NASIONAL

GUNUNG GEDE PANGRANGO : Penyiapan Pelepasliaran

DEDE AULIA RAHMAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Primatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

(10)

PRAKATA

Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains primatologi dari Institut Pertanian Bogor. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Pusat Studi Satwa Primata dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Resort Bodogol).

Tesis berjudul “Studi Perilaku dan Pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) Di Pusat Studi Satwa Primata IPB dan Taman Nasional Gunung Gede Pangranggo : Penyiapan Pelepasliaran” ini disusun berlandaskan atas kepedulian terhadap keberadaan Owa Jawa di beberapa habitat insitu yang semakin terdesak keberadaannya akibat hilang dan terfragmentasinya habitat alami yang mengakibatkan ancaman kepunahan. Fenomena hilangnya habitat dan ancaman bagi spesies ini mendasari sebuah kajian mengenai komparasi antara pola aktivitas dan perilaku harian termasuk di dalamnya pakan dan kelompok sosial antara habitat alami (insitu) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dirumuskan sebagai dasar dalam penentuan kebijakan dan arah kegiatan pengelolaan bagi manajeman eksitu di PSSP dalam rangka penyiapan pelepasliaran dan penetapan kriteria kesiapan individu yang akan dilepasliarkan .

Dalam tesis ini diuraikan tentang pola perilaku, pakan dan kelompok sosial Owa Jawa baik pada habitat insitu maupun eksitunya. Selain itu, diuraikan pula mengenai faktor-faktor yang menentukan dalam penetapan kriteria pelepasliaran.

Akhirnya, disadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan, kekeliruan dan kelemahan. Oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini. Semoga hasil penelitian yang dituangkan dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Juni 2011

(11)

PERSEMBAHAN

Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister sains primatologi dari Institut Pertanian Bogor. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Pusat Studi Satwa Primata dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Resort Bodogol).

Pada kesempatan ini izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada: (1) Kepala Pusat Studi Satwa Primata dan PT. Wanara Satwaloka, yang telah memberikan izin dan sponsor beasiswa dalam penyelenggaraan pendidikan Program Magister Sains di Institut Pertanian Bogor, (2) Prof. drh. Dondin Sajuthi MST, Ph.D selaku Ketua Program Studi Primatologi yang telah memberikan izin dan motivasi kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan di Institut Pertanian Bogor, (3) Prof. Dr. Ir. Supraptini Mansjoer, MS atas motivasi dan masukan yang sangat berharga kepada penulis selama penulis menempuh pendidikan magister, (4) Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA yang selalu memberikan dukungan, motivasi dan bantuan selama penelitian berlangsung. Terima kasih pula kepada kawan-kawan seperjuangan mahasiswa S2 Primatologi, Ibu Yanti, Pak Yana, Pak Sofwan, Bu Uum dan Pak Ismail atas bantuannya.

Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya disampaikan kepada Komisi Pembimbing, yakni: Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS selaku ketua Komisi, Dr. Ir. Entang Iskandar, MSi selaku anggota Komisi atas curahan pemikiran, waktu, kesabaran, saran dan arahan serta petunjuk yang diberikan selama pembimbingan sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Kepada Prof. drh. Dondin Sajuthi MST, Ph.D yang telah bersedia meluangkan waktu sebagai penguji luar komisi diucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

Akhirnya ucapan terimakasih secara khusus penulis sampaikan kepada Bapak tercinta Komarudin Effendi dan Ibu Unay Yulia (Alm), Ibu Dewi Panca MKH dan kakak adik tersayang Novita Anggraeni, Dicky Rizal Samsir Alam, Lembah Nandono dan Kalimas Nandono serta Sarlita Fitri Pasaribu atas kasih dan dukungannya selama penulis menjalani studi.

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 14 Januari 1987 di Desa Cihideung Ilir, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Komarudin Effendi dan Ibu Unay Yulia (Alm). Pada tahun 1998 menamatkan Pendidikan Sekolah Dasar di SDN 4 Cihideung Ilir Kabupaten Bogor, tahun 2001 menamatkan Pendidikan Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Ciampea Kabupaten Bogor. Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 5 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, lulus pada tahun 2008.

Sejak tahun 2008 sampai sekarang penulis bekerja sebagai asisten dosen di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. Tahun 2009 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan sekolah pada program Magister Sains IPB pada Program Studi Primatologi.

(13)

(i)

2.1.1. Klasifikasi dan Taksonomi... 5

2.1.2. Morfologi ... 6

2.1.3. Habitat dan Penyebaran .. ... 7

2.1.4. Aktivitas Harian dan Perilaku.. ... 9

2.1.5. Pakan dan Pengkayaan Pakan ... 11

2.1.6. Kelompok Sosial dan Pengkayaan Sosial ... 12

2.1.7. Status Konservasi ... 13

2.2. Pengkayaan Lingkungan (Enrichment) .. ... 14

2.2.1. Pengkayaan Struktural... ... 14

2.2.2. Pengkayaan Objek .. ... 16

2.3. Persiapan Pelepasliaran ... 17

III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Sejarah Singkat Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) ... 19

3.2. Laboratorium dan Kegiatannya ... 20

3.2.1. Laboratorium Sumberdaya Hewan Penelitian ... 20

3.2.2. Unit Karantina dan Penangkaran ... 20

3.3. Sejarah Singkat TN Gunung Gede Pangrango (TNGP) ... 27

3.3.1. Letak dan Luas ... 28

3.3.2. Bio-Fisik Kawasan ... 29

3.3.3. Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol (PPKAB) ... 33

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu ... 37

4.2. Peralatan dan Bahan ... 37

4.3. Pengumpulan Data ... 38

4.3.1. Studi Literatur ... 38

4.3.2. Kondisi Fisik Lingkungan Kandang ... 38

4.3.3. Komponen Biotik Lingkungan Kandang ... 39

(14)

(ii)

4.3.5. Perilaku, Pakan dan Kelompok Sosial ... 39

4.4. Pengolahan dan Analisis Data ... 43

4.4.1. Durasi, Frekuensi dan Transisi Perilaku ... 43

4.4.2. Pakan, Aktivitas dan Perilaku Makan ... 44

4.4.3. Kelompok Sosial ... 45

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Populasi Owa Jawa di PSSP dan Bodogol ... 46

5.2. Aspek Kesehatan Individu Owa Jawa di PSSP ... 47

5.3. Kondisi Bio-Fisik Lingkungan Kandang Owa Jawa ... 48

5.4. Aktivitas dan Perilaku Owa Jawa ... 49

5.4.1. Aktivitas dan Perilaku Berpindah... ... 52

5.4.2. Aktivitas dan Perilaku Makan ... 56

5.4.3. Aktivitas dan Perilaku Sosial ... 59

5.4.4. Aktivitas dan Perilaku Beristirahat dan Tidur ... 68

5.5. Pakan dan Pengkayaan Pakan ... 71

5.5.1. Waktu Pemberian Pakan ... 71

5.5.2. Cara Pemberian Pakan ... 72

5.5.3. Jenis Pakan ... 72

5.5.4. Pemilihan Pakan ... 78

5.5.5. Bagian Pakan yang Dikonsumsi ... 80

5.5.6. Jumlah Pakan yang Diberikan dan Dikonsumsi ... 82

5.5.7. Komposisi Nutrisi Pakan ... 85

5.6. Kelompok Sosial ... 88

5.7. Penilaian Kesiapan Pelepasliaran ... 90

5.8. Standar Desain Manajeman Penangkaran PSSP ... 91

VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... ... 94

6.2. Saran .... ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... ... 96

LAMPIRAN ... 102

(15)

(iii)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kategori tingkat umur pada kelompok Owa Jawa ... 7

2. Terminologi penentu dalam mengidentifikasi jenis kandang ...15

3. Ukuran kandang individual yang direkomendasikan untuk Primata ...15

4. Interpretasi Palpasi dan Umur Kebuntingan...23

5. Susunan gigi geligi dan estimasi umur...23

6. Interpretasi hasil uji tuberkulinasi ...24

7. Jalu-jalur Pengamatan di Resort Bodogol ...36

8. Nama, jenis kelamin dan umur Owa Jawa di Pusat Studi Satwa Primata ...38

9. Tipe variasi suara Owa Jawa (Hylobates moloch) ...42

10. Ukuran dan komposisi kelompok Owa Jawa di PSSP dan Hutan Rasamala ...46

11. Kondisi kesehatan dan paparan penyakit pada Owa Jawa di PSSP ...48

12. (a) Alokasi waktu harian Owa Jawa di Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) ...51

(b) Alokasi waktu harian Owa Jawa di Resort Bodogol hutan rasamala ...51

13. Persentase cara pergerakan kelompok Owa Jawa di PSSP dan Hutan rasamala ...55

14. Perbandingan dan hubungan antar individu yang melakukan parawatan (grooming) dengan individu yang dirawat ...66

15. Jadwal pemberian pakan dan jenis pakan yang diberikan...71

16. Jenis pakan yang diberikan pada Owa Jawa di PSSP ...74

17. Jenis pakan yang diberikan pada Owa Jawa di JGC ...75

18. Presentase jenis pakan Owa Jawa kelompok hutan rasamala ...76

19. Jenis, urutan pemilihan dan konsumsi pakan pada Owa Jawa di PSSP ...79

20. Jenis, urutan pemilihan dan konsumsi pakan pada Owa Jawa di Hutan rasamala ...80

21. Jenis pakan dan bagian yang dikonsumsi oleh Owa Jawa pada kedua kelompok ...80

22. Jumlah pakan yang diberikan per hari (untuk 5 individu Owa Jawa) ...82

23. Konsumsi pakan pada masing-masing individu pada kelompok Owa Jawa di PSSP ...83

(16)

(iv)

(17)

(v)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Skema Kerangka pemikiran penelitian ... 4 2. Owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) ... 6 3. Peta penyebaran Owa Jawa (Hylobates moloch) (Nijman 2001) ... 8 4. Contoh bentuk design kandang luar (housing) Owa Jawa di kebun

binatang ... 16 5. Peta kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ... 28 6. Peta Studi Area Bodogol di wilayah Resort Bodogol ... 35 7. Lokasi penelitian studi penangkaran Owa Jawa (Hylobates moloch)

di Pusat Studi Satwa Primata ... 37 8. Persentase waktu aktivitas dan perilaku bergerak Owa Jawa di PSSP

dan hutan rasamala ... 52 9. Pergerakan kelompok Owa Jawa di PSSP dengan (a) brakiasi dan (b)

bipedal walking ... 54 10. Presentase aktivitas dan perilaku makan kelompok PSSP dan Hutan

rasamala ... 58 11. (a). Tipe suara Owa Jawa di PSSP-IPB; (b) Tipe suara Owa Jawa di

hutan rasamala (Resort Bodogol-TNGGP)... 61 12. Presentase aktivitas dan perilaku bersuara Owa Jawa di PSSP dan

Hutan rasamala (Resort Bodogol) ... 62 13. Aktivitas grooming pada Owa Jawa di (a) PSSP dan (b) Hutan

rasamala ... 63 14. Aktivitas grooming pada kelompok Owa Jawa di PSSP (a) Jantan

remaja menggrooming jantan dewasa (b) Jantan dewasa

menggrooming betina dewasa dan anak (c) aktivitas autogrooming ... 65 15. Presentase aktivitas dan perilaku bermain Kelompok Owa Jawa di

PSSP dan hutan rasamala ... 68 16. (a) Pakan sayur dan buah yang diberikan pada Owa Jawa di PSSP (b)

Formulasi pakan tambahan berupa monkey chow ... 74 17. Jenis pakan Owa Jawa di hutan rasamala (a) puspa (b) rasamala (c)

(18)

(vi)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Ukuran dan komposisi kelompok Owa Jawa di Resort Bodogol tahun

2003-2007 ... 102 2. Jenis pakan Owa Jawa di Resort Bodogol ... 104 3. Uji Chi-square pada tipe aktivitas dan perilaku Owa Jawa di PSSP dan

Hutan rasamala ... 107 4. International studbook keeper (Husbandry Manual for the Javan

(19)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) merupakan satu dari lima spesies genus Hylobates yang hidup di Indonesia. Spesies ini merupakan jenis endemik dan hanya terdapat di Pulau Jawa yaitu di wilayah Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah (Supriatna & Wahyono 2000). Fragmentasi hutan yang terus terjadi di Pulau Jawa merupakan ancaman paling serius bagi kelestarian Owa Jawa (Supriatna 2006). Gangguan terhadap habitat seperti aktivitas penebangan, merupakan contoh faktor yang menimbulkan ancaman bagi kelestarian populasi Owa Jawa karena mengakibatkan hilang serta menyempitnya habitat Owa Jawa serta menciptakan kepunahan spesies.

Owa Jawa termasuk kedalam jenis primata dengan kategori terancam (endangered) menurut IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) dan populasinya cenderung terus menurun (IUCN 2008). Owa Jawa masuk ke dalam daftar 25 jenis primata yang paling rentan terhadap kepunahan pada tahun 2000 (Mittermier et al. 2007). Hal ini terjadi karena adanya tekanan atau degradasi terhadap habitat Owa Jawa dan perdagangan liar satwa tersebut sebagai hewan peliharaan (Supriatna 2006). Berdasarkan Laporan Conservation Assessment and Management Plan PrimataIndonesia (Supriatna, et.al. 2001), saat ini diperkirakan hanya tersisa antara 400-2.000 individu spesies kera ini di habitat alaminya.

(20)

2

menyusut sekitar 96%. Habitatnya semula diperkirakan memiliki luas 43.274 km2, berkurang menjadi sekitar 1.608 km2 (Supriatna & Wahyono 2000).

Penyusutan habitat dan tekanan perburuan menyebabkan populasi spesies kera kecil ini terus mengalami penurunan dan semakin terdesak sebarannya hanya pada kawasan hutan yang dilindungi. Penurunan populasi di alam tersebut sangat memprihatinkan, hal ini berkaitan dengan semakin langkanya Owa Jawa di alam. Selain itu hal lain yang harus menjadi perhatian kita adalah mengenai informasi dan pengetahuan dasar spesies ini yang masih sangat terbatas terutama ketika spesies ini berada dalam suatu manajemen eksitu. Program pelestarian Owa Jawa melalui konservasi eksitu diharapkan tidak hanya menjadi sarana penangkaran bagi spesies tersebut namun diharapkan mampu menunjang konservasi insitu melalui program pelepasliaran ke habitat alaminya.

Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) merupakan salah satu instansi yang bergerak dalam pengembangan riset terkait primata yang tidak hanya terfokus pada aspek biomedis, biologi namun juga pada aspek pelestarian spesies primata. Program penangkaran eksitu yang dilakukan oleh PSSP merupakan upaya dalam mendukung pelestarian satwa primata, terutama bagi spesies yang terancam punah seperti penangkaran Owa Jawa dan beberapa satwa primata lainnya.

(21)

3 1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk :

1. Melihat perilaku individu Owa Jawa sebagai akibat dari tindakan manajemen di habitat penangkaran (PSSP) dan di habitat alam (TNGGP) 2. Mengenal jenis pakan dan status nutrisi pada Owa Jawa di PSSP dan

TNGGP

3. Memberikan penilaian kesiapan pelepasliaran terhadap perilaku dan status kecukupan pakan Owa Jawa di PSSP dengan model Owa Jawa TNGGP

1.3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai berbagai faktor terkait penangkaran (manajemen penangkaran) berbasis ekologi perilaku. Secara umum, data dan informasi dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam penyusunan desain penangkaran terbaik untuk pengelolaan dan pelestarian populasi Owa Jawa, serta menentukan pola terbaik untuk melepasliarkan satwa sehingga mampu bertahan hidup di habitat insitunya.

1.4. Perumusan Masalah

Ancaman terhadap kelestarian Owa Jawa yang semakin tinggi akibat perambahan hutan dan perburuan dewasa ini berimplikasi pada berbagai upaya penyelamatan spesies ini dari ancaman kepunahan. Salah satu upaya terbaik adalah melalui kegiatan konservasi eksitu seperti yang dilakukan oleh Pusat Studi Satwa Primata. Namun dalam pengelolaannya perlu ditinjau berbagai hal terkait aspek manajemen penangkarannya, timbulnya penyimpangan perilaku yang mungkin timbul dan tentu akan menyulitkan dalam proses menuju pelepasliaran. Oleh karena itu perlu kiranya dibuat sebuah rumusan yang pada akhirnya dapat digunakan untuk penyempurnaan penyusunan desain penangkaran.

(22)

4 1.5. Kerangka Pemikiran

Penelitian Studi Perilaku dan Pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) di Pusat Studi Satwa Primata IPB dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango : Penyiapan Pelepasliaran ini lebih ditekankan pada analisis mengenai manajeman penangkaran dan perilaku yang ditimbulkannya.

Keterangan:

= fokus penelitian

Gambar 1. Skema kerangka pemikiran

Pakan Perilaku

Perilaku Normal

Kelompok Sosial Manajemen Penangkaran

Owa Jawa

Desain Standar Manajemen Penangkaran (Perilaku, Pakan

dan Kelompok Sosial

TNGGP Manajeman di

Alam

Kriteria Kesiapan Pelepasliaran Perilaku

Abnormal Status Kecukupan

(23)

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bio Ekologi Owa Jawa

2.1.1. Klasifikasi dan Taksonomi Owa Jawa

Terdapat sebelas jenis primata dari family Hylobatidae yang tersebar di Asia Tenggara, enam spesies diantaranya termasuk ke dalam Genus Hylobates, yaitu Hylobates agilis F. Cuivert 1821(ungko, dark head gibbon), H. klosii Miller 1903 (siamang kerdil, klossi gibbon), H. lar Linnaeus 1771 (ungko lengan putih, white handed gibbon), H. muelleri Martin 1841(kelawat, gray gibbon), H. Moloch Audebert 1797 (Owa Jawa, silvery gibbon), dan Hylobates pileatus Gray 1861. Dari keenam spesies ini hanya H. Pilleatus Gray yang penyebarannya tidak meliputi wilayah Indonesia (Geissman 2002, Mootnick 2006)

Berdasarkan Napier & Napier (1967), Owa Jawa (Hylobates molloch Audebert 1797), diklasifikasikan sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Primata Famili : Hylobatidae Genus : Hylobates

Spesies : Hylobates moloch Audebert (1797).

(24)

6 2.1.2. Morfologi

Owa Jawa (H. moloch) adalah salah satu satwa primata yang termasuk dalam kelompok kera dengan ukuran tubuh yang kecil. Tungkai tangan lebih panjang dibandingkan dengan tungkai kaki, tidak berekor dan pada bagian pantat terdapat kulit tebal (ischial callosities) yang terpisah. Seluruh tubuh ditutupi oleh rambut dengan warna bervariasi dari hitam, abu-abu keperakan, coklat kemerahan dan coklat kekuningan. Bagian wajah, telapak tangan dan telapak kaki tidak berambut dan berwarna hitam (Napier & Napier 1967). Warna rambut Owa Jawa bersifat monokromatik artinya warna rambut dari bayi hingga dewasa tidak mengalami perubahan.

Gambar 2. Owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1797)

(25)

7

Tabel 1. Kategori tingkat umur pada kelompok Owa Jawa Kategori kelas umur Keterangan monoton, sering terlihat menggendong bayi atau dekat dengan individu anak ketika belum masuk rambut abu-abu, terdapat rambut hitam berbentuk segitiga di atas kepala. Scrotum mulai terlihat berjalan sendiri, warna rambut abu-abu keputihan Bayi

(Infant)

Berumur 0-2 tahun, sering dalam gendongan induk betinanya dan warna rambut putih kekuning-kuningan

Sumber : Kappler (1981)

Owa Jawa memiliki gigi seri kecil dan sedikit ke depan, sehingga memudahkan untuk menggigit dan memotong makanan. Gigi taring panjang dan berbentuk seperti pedang yang berfungsi untuk mengigit dan mengupas makanan. Gigi geraham atas dan bawah untuk mengunyah makanan (Napier & Napier 1967).

2.1.3. Habitat dan Penyebaran

(26)

8

Owa Jawa merupakan genus Hylobates yang membutuhkan pepohonan besar dengan tajuk rapat dan memiliki percabangan yang tumbuh horizontal untuk membantu mereka dalam berpindah. Jenis ini juga merupakan satwa yang benar-benar hidup arboreal sehingga membutuhkan hutan dengan kanopi antar pohon yang berdekatan (Kappeler 1984).

Penyebaran Owa Jawa hanya terdapat di separuh Pulau Jawa ke arah barat. Wilayah sebaran Owa Jawa di Jawa Barat meliputi TN Gunung Gede Pangrango, TN Gunung Halimun-Salak, TN Ujung Kulon, TN Gunung Ciremai, CA Gunung Simpang, CA Leuweung Sancang, Hutan Lindung (HL) Gunung Papandayan, HL Gunung Wayang, HL Gunung Jayanti, dan HL Gunung Porang. Di Jawa Tengah, Owa Jawa dapat ditemukan di HL Gunung Slamet, HL Gunung Prahu dan HL Pegunungan Dieng (Supriatna & Wahyono 2000).

Gambar 3. Peta penyebaran Owa Jawa (Hylobates moloch) (Nijman 2001)

(27)

9 2.1.4. Aktivitas Harian dan Perilaku Aktivitas dan Perilaku Berpindah

Pada saat melakukan aktivitas harian, Owa Jawa lebih bersifat arboreal dan jarang turun ke tanah. Pergerakan dari pohon ke pohon dilakukan dengan cara bergelayutan atau brankiasi. Pohon yang tinggi dapat digunakan untuk bergelayutan, berpindah tempat, tidur, menelisik (grooming) antara jantan dan betina atau antara induk betina dan anaknya serta mencari makan (Supriatna & Wahyono 2000).

Aktivitas dan Perilaku Makan

Aktivitas Owa Jawa dalam mencari makan dilakukan pada pagi hari dan setelah istirahat di siang hari sampai menjelang sore hari. Owa Jawa merupakan satwa frugivora yang memakan buah-buahan masak, kaya akan gula dan banyak mengandung air. Menurut Kappeler (1984), persentase jenis pakan yang dikonsumsi oleh Owa Jawa terdiri dari 61% buah, 38% daun dan 1% bunga. Karena bersifat monogami dan teritorial, maka Owa Jawa selalu bergerak bersama dengan kelompoknya dalam mencari makan dan dipimpin oleh betina dewasa (Sinaga, 2003). Jantan dewasa memiliki intensitas untuk melakukan aktivitas makan yang lebih rendah dibandingkan betina, hal ini berkaitan dengan peranan jantan untuk mempertahankan kelompok dari serangan predator (Campbell et al. 2007).

Menurut Kappeler (1981), saat melakukan aktivitas makan, Owa Jawa akan berdiam pada satu tempat dengan berbagai posisi seperti duduk, bergantung dan berdiri dengan satu atau dua tungkainya bebas untuk mengambil makanan. Ditambahkan oleh Chivers (1980), posisi tubuh saat beraktivitas dipengaruhi oleh faktor jenis pakan yang sedang dikonsumsi. Posisi bergantung dipilih Owa Jawa saat sedang mengkonsumsi buah-buahan, sedangkan duduk dilakukan saat sedang mengkonsumsi dedaunan.

(28)

10 Aktivitas dan Perilaku Sosial

Menurut McDonald (1993) bahwa perilaku sosial pada Owa Jawa meliputi aktivitas vokalisasi (bersuara), grooming (menelisik) dan bermain.

Aktivitas dan Perilaku Bersuara

Aktivitas Owa Jawa diawali dengan bersuara disertai pergerakan akrobatik sebelum mencari pakan (Rinaldi 1999). Pada pagi hari, Owa Jawa akan mengeluarkan suara berupa lengkingan nyaring yang disebut morning call, dengan durasi antara 10–30 menit. Suara Owa Jawa dapat diidentifikasi hingga radius 500–1.500 m. Suara yang dapat diidentifikasi adalah suara betina untuk menandai teritorinya, suara jantan ketika bertemu dengan kelompok lainnya, suara antar individu ketika terjadi konflik, dan suara anggota keluarga ketika melihat bahaya (Geissman et al. 2005). Perilaku bersuara pada Owa Jawa memiliki karakter khusus yang membedakan dengan family Hylobatidae lain, yaitu individu berperan lebih besar dalam penjagaan daerah jelajah. Hal tersebut ditunjukkan melalui alokasi penggunaan waktu bersuara Owa Jawa betina yang lebih besar dibandingkan jantan.

Aktivitas dan Perilaku Grooming (Menelisik)

Menurut Alexander (1974); Freeland (1976), beberapa sebab terjadinya grooming dalam kelompok primata adalah memelihara individu satwa dari gangguan parasit dan kotoran, selain itu pun aktivitas grooming ditunjukan untuk memelihara ketertarikan sosial antar individu dalam kelompok. Aktivitas ini umumnya meningkat disaat periode istirahat berlangsung.

Aktivitas dan Perilaku Bermain

(29)

11 Aktivitas dan Perilaku Tidur dan Beristirahat

Pohon tidur adalah jenis pohon yang digunakan Owa Jawa sebagai tempat beristirahat, tidur dan tempat berlindung dari predator. Gibbon akan melakukan perpindahan pohon tidur secara berkala. Jantan dan betina tidur pada pohon yang berbeda. Pada saat berada di pohon tidur, gibbon tidak akan bersuara untuk menghindari bahaya (Islam & Feeroz 1992). Setelah melakukan jelajah harian, Owa Jawa akan kembali ke pohon tidur beberapa jam sebelum matahari terbenam, dan tinggal di pohon tersebut sampai kira-kira 14–17 jam. Biasanya betina dewasa dan bayi menuju pohon tidur terlebih dahulu, diikuti juvenil atau anak yang beranjak dewasa dan terakhir jantan dewasa.

Iskandar (2008) menyatakan bahwa di TN Gunung Gede Pangrango terdapat sekitar 17 jenis vegetasi yang merupakan tempat tidur Owa Jawa yang tergolong kedalam 7 famili. Pohon tidur Owa Jawa tersebut adalah teureup (Artocarpus elasticus), rasamala (Altingia excelsa), kondang (Ficus variegata), Afrika (Maesopsis eminii), dan manggong (Macaranga rhizinoides).

Pada umumnya vegetasi yang dimanfaatkan Owa Jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur adalah vegetasi tingkat pohon. Hal tersebut disebabkan pola hidup Owa Jawa yang bersifat arboreal dengan memanfaatkan strata pohon tengah dan atas (Iskandar 2007).

2.1.5. Pakan dan Pengkayaan Pakan

Pola makan primata umumnya dibagi kedalam tiga kategori berdasarkan kuantitas jenis pakan yang dikonsumsinya yaitu frugivorus (banyak memakan buah), folivorus (banyak memakan dedaunan) dan insectivorus (banyak memakan serangga) (NRC 2005, Rowe 1996).

(30)

12

Sekitar 44 jenis pohon pakan Owa Jawa yang terdapat di TN Gunung Gede Pangrango, yang merupakan anggota dari 24 famili. Pohon pakan tersebut adalah rasamala (Altingia excelsa), afrika (Maesopsis eminii), teureup (Artocarpus elasticus), saninten (Castanopsis argentea) dan puspa (Schima wallichii) (Iskandar 2008). Di Taman Nasional Ujung Kulon setidaknya terdapat 27 jenis tumbuhan sumber pakan bagi Owa Jawa (Rinaldi 1999). Bagian vegetasi yang dijadikan makanan Owa Jawa adalah daun muda, buah dan bunga.

Di penangkaran, pemberian pakan bergizi yang bervariasi dan cukup sesuai dengan karakteristik pakan Owa Jawa yang lebih frugivorus dan folivorus, dengan cara-cara berbeda penting untuk meningkatkan kualitas hidup satwa.

Pemberian berbagai jenis pakan yang beranekaragam jenisnya baik buah-buahan, daun, maupun serangga pada jenis-jenis primata bukan hanya memberikan pemenuhan akan kebutuhan makanan terkait rasa lapar namun juga memberikan manfaat lain dalam hal pemenuhan gizi yang amat dibutuhkan bagi aktivitas mereka.

Pengkayaan jenis pakan ini pun pada dasarnya merupakan salah satu cara atau strategi dalam pengeliminiran rasa bosan pada jenis pakan tertentu ketika jenis pakan tersebut diberikan secara terus menerus dan berulang-ulang dalam waktu yang terus menerus (setiap hari). Strategi pemberian pakan harus dibangun dengan mengedepankan faktor kesehatan dan mengelimir segala bentuk kontaminan yang mungkin masuk ketubuh satwa. Ketika satwa berada dalam kelompok maka strategi pemberian pakan ditunjukan agar seluruh individu memperoleh kesempatan makan tanpa harus terlalu dibatasi oleh adanya perbedaan struktur sosial (Keiley and Arthur 1995).

2.1.6. Kelompok Sosial dan Pengkayaan Sosial

(31)

13

baru dengan pasangannya (Supriatna & Wahyono 2000; Suyanto 2002).

Masa bunting antara 197-210 hari, dengan jarak kelahiran anak yang satu dengan yang lainnya berkisar 3-4 tahun, dan umumnya owa jawa dapat hidup hingga 35 tahun (Supriatna & Wahyono 2000; Suyanto 2002).

Terkait dengan manajeman penangkaran, pengkayaan berupa kelompok sosial untuk spesies primata adalah suatu hal yang penting. Mensosialisasikan satwa dengan sejenisnya atau tidak merupakan bagian dari perilaku berkelompok spesies primata. Secara umum primata sebagian besar hidup secara berkelompok, paling sedikit 2-3 individu hidup dalam kelompok yang dikenal sebagai keluarga. Pada umumnya kelompok ini merupakan kelompok primata monogamus (sistem kawin dengan satu jantan dan satu betina), di Indonesia sendiri jenis primata yang hidup dengan pola perkawinan ini adalah Owa Jawa.

Berbeda dengan Owa Jawa, terdapat jenis primata lain yang hidup dalam kelompok besar seperti bekantan, simpai dengan pola perkawinan harem (satu jantan dengan banyak betina) atau banyak jantan dengan banyak betina seperti pada Macaca fascicularis. Bentuk pengkayaan yang menempatkan individu-individu dalam satu kandang yang sama atau penempatan boneka indukan betina bagi bayi primata yang kehilangan induk betinanya merupakan suatu bentuk pengkayaan sosial yang dimaksudkan untuk menciptakan kondisi kandang yang hampir mirip dengan kondisi alaminya sehingga berbagai aktivitas sosial seperti bermain, kawin, memelihara dan meminta dipelihara termasuk didalamnya grooming dapat dilakukan oleh individu-individu dalam kelompok tersebut.

2.1.7. Status Konservasi

(32)

14

Konvensi CITES metetapkan Owa Jawa dalam daftar Appendiks I. Hal ini berarti bahwa jenis ini termasuk yang terancam punah sehingga perdagangan internasional untuk tujuan komersil tidak diperbolehkan.

2.2. Pengkayaan Lingkungan (Enrichment)

Pengayaan lingkungan merupakan metode untuk memberikan kondisi dan perlakuan tertentu yang sesuai dengan hidup alaminya. Proses pengayaan lingkungan bermaksud untuk menghindari satwa dari ancaman stres, kebosanan, kegelisahan dan perilaku menyimpang maupun meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

Beberapa jenis enrichment untuk satwa meliputi pengkayaan struktural, untuk memperbaiki susunan lingkungan kandang. Misalnya, pemberian kandang yang cukup luas supaya satwa dapat melakukan gerakan alami seperti lari atau terbang, dan tempat untuk berteduh. Pengkayaan obyek, dan obyek itu termasuk sesuatu yang dapat digunakan supaya mengurangi kebosanan dan menghindari perkembangan perilaku menyimpang. Kenyataannya, tidak dapat dilupakan bahwa satwa merasa bosan dan membutuhkan kegiatan yang merangsangnya melakukan perilaku alami, penambahan objek seperti penyediaan fitur tambahan untuk sarana memanjat, bermain dan fitur lainnya dibuat agar satwa berperilaku secara normal. Pengkayaan sosial, yaitu, mensosialisasikan satwa dengan sejenisnya atau tidak, hal ini dikarenakan tidak semua jenis satwa hidup berkelompok. Pengkayaan pakan, pemberian pakan bergizi yang bervariasi dan cukup yang disesuaikan dengan kondisi di alam, dengan cara-cara berbeda yang penting untuk meningkatkan kualitas hidup satwa.

2.2.1. Pengkayaan Struktural

(33)

15

of Health (1985) membangun sebuah standarisasi terkait aspek perkandangan satwa primata dalam bentuk regulasi dan pedoman yaitu Animale Welfare Act (1985).

Dalam perencanaan perkandangan terdapat beberapa faktor penting yang harus dipertimbangkan yaitu :1) kandang harus dibuat sedemikian rupa dengan maksud untuk mendukung kenyamanan psikologis bagi satwa yang ada didalamnya; 2) kandang dibuat sesuai dengan ukuran satwa, perilaku sehingga satwa dapat tumbuh dengan normal dan kandang harus mampu mencegah adanya kemungkinan timbulnya penyakit; 3) kandang harus dilengkapi dengan sarana salinitas yang baik; 4) kandang dibuat sedemikian rupa sehingga memudahkan peneliti dan perawat satwa untuk mengelola satwa; 5) kandang dibuat berdasarkan standar baku yang telah direkomendasikan oleh Animal Welfare Act (1985).

Jenis kandang sangat ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu : jenis satwa, jumlah individu, umur satwa, tujuan penelitian, keselamatan kerja pekerja, faktor keselamatan dan kesejahteraan satwa, kondisi iklim setempat, adapun terminologi yang umum digunakan dalam mengidentifikasi jenis kandang dapat dilihat pada Tabel 2.

Table 2. Terminologi penentu dalam mengidentifikasi jenis kandang

Basis Jenis kandang

Tipe kandang

Satu jantan/satu bentina Kandang individu Satu jantan/banyak betina Kandang harem Banyak jantan/banyak betina Kandang kelompok Lokasi kandang

Indoor Kandang individu/harem/kelompok Outdoor Kandang koral/lapangan/pulau kecil Indoor/outdoor Kandang rumput

Sumber : Bayne 1989; Bielitzki et al. 1990

Ukuran kandang individual ketika satwa dipisahkan dalam koloni atau dikenai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 3. Ukuran kandang individual yang direkomendasikan untuk satwa primata

Berat badan Luas alas minimal Tinggi minimal

< 1 kg 0,15 m2 50,8 cm

1 kg – 3 kg 0,28 m2 76,2 cm

3 kg – 15 kg 0,40 m2 76,2 cm

15 kg – 25 kg 0,74 m2 91,4 cm

> 25 kg 2,33 m2 213,4 cm

(34)

16

Ukuran kandang (housing) luar dibuat menyerupai habitat aslinya, berbagai bentuk pengkayaan seperti penyediaan pohon-pohon dan tali temali di dalam kandang untuk satwa arboreal, lantai tanah atau koral untuk satwa terestrial dibuat sedemikian rupa untuk menciptakan kenyamanan pada individu di dalam kandang. Pada Owa Jawa dapat dibuat kandang terbuka dengan tinggi minimum 4,5 m, disarankan 3m terakhir dari dinding atau pagar harus memungkinkan untuk tidak mungkin dipanjat, pagar atau dinding harus diperluas setidaknya 50cm di bawah tanah, fitur kandang ukuran: 30m x 7m.

Gambar 4. Contoh bentuk design kandang luar (housing) Owa Jawa di kebun binatang

2.2.2. Pengkayaan Objek

Perkandangan luar (housing) memerlukan fitur lainnya dalam bentuk objek yang memungkinkan satwa untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya serta memungkinkan satwa terhindar dari rasa bosan. Fitur tambahan seperti sarana memanjat, bermain dan fitur lainnya dibuat agar satwa berperilaku secara normal. Penambahan fitur dibuat sedemikian rupa agar satwa dapat mengekspresikan berbagai aktivitasnya dengan tetap mengedepankan faktor keamanan satwa dan pekerja. Selain itu fitur tambahan berupa kompartemen yang berfungsi sebagai pemisah diperlukan pula sebagai sebuah cara untuk mengurangi

Kemiringan

Penghubung

Pintu

Perencanaan

Pohon

Compartment

Akses masuk keeper

Area Pelayanan

Kandang Malam

(35)

17

kemungkinan agresi atau traumatik akibat agresi oleh individu lain. Penyediaan barang-barang seperti tongkat, bola, mainan plastik diketahui mampu mengurangi stres, timbulnya agresi dan traumatik pada satwa dalam kandang.

Fitur tambahan dapat dibuat sealami mungkin atau dengan modifikasi yang benar-benar tidak ditemui ketika satwa berada diluar habitat alaminya. Penyediaan fitur alami seperti kayu atau pohon-pohonan dalam kandang luar memungkinkan satwa untuk bereksplorasi dengan fitur tersebut. Fitur buatan yang bersifat artifisial dibuat dengan maksud menciptakan kesenangan pada satwa sehingga satwa terhindar dari rasa bosan, sebagai contoh adanya fitur seperti box kecil yang dimodifikasi sebagai tempat pakan memberikan manfaat dalam hal terciptanya kondisi satwa yang tetap mampu melakukan aktivitas mencari makan (foraging), selain itu penggunaan feeding puzzle atau mekanisme pemberian hadiah berupa makanan merupakan salah satu cara terbaik untuk menghindarkan satwa dari kebosanan (Bloom & Cook 1989)

2.3. Persiapan Pelepasliaran

Terancamnya kelestarian Owa Jawa (Hylobates moloch) menyebabkan satwa endemik tersebut memerlukan upaya konservasi yang bermanfaat bagi peningkatan jumlah populasinya di alam. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan melepasliarkan Owa Jawa yang telah melalui proses rehabilitasi ke habitat alaminya. Menurut Cyne (2004) rehabilitasi tidak dapat menggantikan proses pembelajaran seperti di alam, namun melalui rehabilitasi Owa Jawa dapat belajar berbagai kemampuan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup di alam. Baker (2002) menyatakan bahwa terdapat dua strategi pelepasan satwa liar ke habitat alaminya (reintroduksi) yaitu soft release dan hard release. Strategi soft release atau uji coba pelepasan yang dilakukan dengan menempatkan satwa pada atau berdekatan dengan titik pelepasan dan memberikan post monitoring support sebagai slah satu upaya mendukung aklimatisasi satwa. Strategi hard-release dilakukan dengan menempatkan satwa di titik pelapasan tanpa disertai dengan post monitoring support.

(36)

18

pakan. Kriteria kedua yaitu terjaganya ikatan antar pasangan yang ditandai dengan terjadinya kopulasi. Kriteria ketiga yaitu dihasilkannya keturunan yang mampu bertahan hidup. Tingkat keberhasilan pelepasan Hylobatidae yang telah dilakukan relatif rendah, yaitu hanya 11% dari 145 pelepasan. Fischer and Lindermayer (2000) melaporkan bahwa 87 pelepasan Hylobatidae yang telah dilakukan memiliki tingkat keberhasilan sebesar 25%. Tingkat keberhasilan yang rendah menunjukkan banyak individu yang tidak mampu bertahan hidup setelah pelepasliaran dilakukan. Menurut Cheyne (2004) tingkat keberhasilan rehabilitasi dan pelepasan owa yang rendah disebabkan satwa tidak memenuhi kriteria kesiapan perilaku pelepasan dan tidak dilakukannya post monitoring support.

Ravasi (2004) menyatakan bahwa rehabilitasi Hylobates lar (ungko lengan putih) di Thailand telah melakukan pelepasan satu kelompok ungko lengan putih yang terdiri atas 14 individu (reintroduksi) dalam rentan waktu 1993 hingga 1995. Berdasarkan post released monitoring diketahui bahwa satu individu mati dan 13 individu lainnya berpisah. Hasil serupa juga diperoleh saat melakukan post released monitoring terhadap sepuluh individu yang dilepaskan pada tahun 1996 hingga 2002, yaitu tiga individu dipindahkan dari lokasi pelepasan, tiga individu mati, dan empat individu berpisah. Ravasi (2004) dan Cheyne (2004) menyatakan bahwa ikatan pasangan yang kuat merupakan syarat utama bagi Owa yang dilepaskan. Oleh karena itu, harus dipastikan pasangan yang akan menjalani uji coba pelepasan harus dapat melakukan kopulasi.

Cheney (2004) juga menambahkan bahwa salah satu perencanaan menjelang pelepasan adalah memastikan pasangan yang akan dilepaskan telah memiliki kemampuan hidup. Hal tersebut dapat diketahui dengan mengetahui pemenuhan parameter kesiapan perilaku menjelang uji coba pelepasan.

(37)

19

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Lokasi 1

3.1. Sejarah Singkat Pusat Studi Satwa Primata (PSSP)

Pusat Studi Satwa Primata IPB didirikan tahun 1990 melalui SK Rektor No. 080/C/1990. Pembentukan pusat studi ini merupakan respon terhadap kebutuhan akan suatu institusi yang dapat berperan sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan manajeman yang berhubungan dengan satwa primata serta dapat berperan pada tingkat nasional maupun internasional. Tujuan didirikannya PSSP, antara lain :

1. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui kegiatan pendidikan, penelitian, pelatihan, seminar dan publikasi yang berhubungan dengan primatologi.

2. Memberi pertimbangan dan menghasilkan panduan dalam menunjang kebijakan pembangunan berkelanjutan untuk kepentingan konservasi dan pemanfaatan satwa primata di bidang biologi, life-science, biomedis dan kedokteran.

3. Membina dan mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak di dalam dan luar negeri untuk memajukan alih teknologi, pertukaran informasi dan tenaga ahli, serta penelitian dan pendidikan primatologi.

4. Menangkarkan satwa primata Indonesia baik secara alami maupun eks-situ sebagai upaya mendukung program konservasi dan memanfaatkannya untuk kepentingan penelitian biologi dan biomedis.

Program – program yang terdapat di PSSP sebagian besar adalah program riset dan pendidikan. Penelitian utama dibagi kedalam 3 kategori, yaitu :

1. Konservasi jenis primata Indonesia.

2. Studi biologi dan genetik jenis primata Indonesia.

(38)

20

Dalam upaya mewujudkan program-program PSSP yang berfokus pada konservasi primata Indonesia, biologi, dan penelitian biomedis, enam laboratorium atau unit utama didirikan sebagai pendukung program-program tersebut, yaitu :

1. Laboratorium hewan penelitian

2. Laboratorium mikrobiologi dan imunologi 3. Laboratorium patologi

4. Laboratorium biologi dan reproduksi 5. Unit penangkaran

6. Unit karantina

3.2. Laboratorium dan Kegiatannya

Terkait dengan kegiatan pengelolaan owa jawa dan penelitian terhadap aspek pengkayaan lingkungan, perilaku dan kelompok sosial dari jenis satwa ini, secara khusus laboratorium atau unit yang terlibat meliputi :

3.2.1. Laboratorium Hewan Penelitian

Laboratorium ini menunjang seluruh perawatan dan kegiatan penanganan penelitian dan pelatihan/pendidikan yang menggunakan hewan di PSSP LPPM-IPB. Selain itu, menunjang penanganan kesehatan satwa primata untuk program konservasi, seperti Owa Jawa (Hylobathes moloch). Fasilitas dan kegiatan yang berada di Kampus Lodaya IPB telah terakreditasi oleh AAALAC internasional tahun 2006

3.2.2. Unit Karantina dan Penangkaran Prosedur Karantina di PSSP LPPM-IPB

Prosedur penerimaan dan karantina satwa primata yang dilakuakan di PSSP LPPM-IPB adalah sebagai berikut :

1. Pasca kedatangan, hewan diistrahatkan terlebih dahulu selama beberapa hari di karantina

(39)

21

3. Dilakukan uji tuberkulinasi dengan Mamalian Old Tuberculin dosis 1500 IU per ekor secara intra dermal di kolopak mata dan pengambilan sampel feses untuk pemeriksaan bakteriologis (Salmonella sp, Shigella sp), parasitologi dan pengambilan darah untuk uji serologis dan virology serta parasit.

4. Hewan diberikan vitamin bila terlihat kurus seperti kombinasi hematopan 0.5 ml per ekor dengan biosalamin 0.5 ml per ekor.

5. Hewan kemudian ditempatkan di dalam kandang-kandang individual di ruang karantina.

6. Selama periode karantina hewan, uji tuberkulinasi dilakukan selama 2 minggu sekali. Jika terbukti positif uji tuberkulinasi hewan harus dieuthanasi. Hewan dengan status dilindungi harus diobati dengan regimen pengobatan TBC manusia.

7. Hewan diberikan prophilaksis anti parasit yaitu ivomec (ivormectin 1%) 200 g/kg berat badan secara subkutan. Sekurang-kurangnya 2 kali selama masa karantina dan diulang sebelum hewan dikeluarkan dari karantina.

8. Penimbangan berat badan dilakukan setiap kali hewan disedasi. Prosedur ini sesuai dengan penerimaan dan karantina menurut Butler et al.(1995).

Prosedur Penggunaan Hewan coba di PSSP LPPM-IPB

Penelitian yang akan menggunakan hewan laboratorium untuk penelitian, pengujian atau training sebelumnya harus disetujui oleh Komisi Etik atau ACUC (Animal Care and Use Committee) yang sekurang-kurangnya terdiri dari seorang peneliti (Scientisi), seorang dokter hewan dan satu orang awam yang bukan peneliti/pengguna hewan atau tidak berafiliasi dengan lembaga (PSSP).

Lamanya persetujuan diterimanya proposal tergantung pada jenis penelitiannya dimana waktu yang paling cepat 1 minggu hingga yang paling lama 3 minggu. Proposal dapat disetujui, disetujui bersyarat, ditolak (biasanya berkaitan dengan ketidaktersediaan fasilitas yang memadai, misal biosafety level 3).

Pemeriksaan Kesehatan Hewan di Karantina dan Penangkaran

(40)

22

dan pada sore hari (jam 13.30-14.00). Pada pemeriksaan tersebut yang diamati adalah :

1. Keadaan umum hewan. Dilihat aktifitasnya apakah hewan lincah, lesu atau meringkuk di kandangnya. Pada kandang kelompok biasanya hewan yang sakit akan memisahkan diri dari kelompoknya dan sering berada di lantai kandang.

2. Pemeriksaan nafsu makan dapat dilihat dari sisa monkey chow atau buah-buahan seperti pisang, jambu yang tertinggal di kandang individual maupun di kandang kelompok (gang cage). Pada kandang individual observasi lebih mudah dilakukan dibandingkan kandang kelompok karena hanya berisi 1-2 ekor hewan (pair housing) tiap kandangnya.

3. Pemeriksaan feses meliputi pengamatan konsistensi fesesnya apakah padat normal (N), agak lembek (NF) ataupun diarrhea water (DW). Pada kandang kelompok observasi lebih sulit dilakukan karena banyaknya jumlah hewan. Biasanya observasi pada kandang kelompok dilihat kotor atau tidaknya daerah sekitar anus dan ekornya.

4. Pemeriksaan luka pada tubuh hewan. Hewan pada kandang kelompok lebih rawan untuk terluka dibandingkan yang dikandangkan dalam kandang individual, dimana kejadian untuk dapat terjadi kontak langsung dengan hewan lain lebih kecil daripada berada di kandang kelompok karena itu harus selalu dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan terjadinya luka akibat berkelahi ataupun ha lainnya. Namun luka pada hewan yang dikandangkan individu masih dapat terjadi akibat abnormalitas perilaku ataupun akibat rusaknya kandang.

5. Keadaan yang juga harus diperhatikan adalah adanya nasal dischrge, batuk, eye discharge, menstruasi, muntah dan sebagainya.

(41)

23

Pemeriksaan berkala dilakukan setiap 2 minggu sekali untuk di karantina dan 3 bulan sekali untuk hewan non-karantina di fasilitas hewan penelitian dan penangkaran yang meliputi :

1. Penimbangan berat badan. Pengecekan kenaikan atau penurunan berat badan seiring dengan pertambahan usia.

2. Pemeriksaan kebuntingan umumnya dilakukan dengan palpasi abdominal. Palpasi dapat dilakukan pada saat umur kebuntingan mencapai 25 hari, seperti dijelaskan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Interpretasi palpasi dan umur kebuntingan Diameter

a. Pemeriksaan umur dapat ditentukan dengan melihat gigi geligi Tabel 5. Susunan gigi geligi dan estimasi umur

(42)

24

b. Uji Tuberkulinasi dilakukan untuk mengetahui status infeksi terhadap Mycobacterium penyebab TBC (Mycobacterium tuberculosis, M.bovis). uji tuberkulinasi di karantina dilakukan setiap 2 minggu sekali sedangkan di fasilitas hewan penelitian dilakukan setiap 3 bulan sekali. Infeksi terjadi melalui inhalasi, ingesti dan tusukan jarum. Reaksi yang terjadi pada uji ini adalah reaksi delayed hypersensitivity (hypersensitivitas tipe IV). Interpretasi pembacaan hasil uji tuberkulinasi dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Interpretasi hasil uji tuberkulinasi

Hasil Tanda-tanda yang terlihat

Negatif (-) Grade 0 Tidak ada kelainan

Grade 1 Terjadi memar dan perembesan darah pada kelopak mata, yang disebabkan oleh tujukan jarum biasanya terjadi

Grade 2 Terjadi eritema pada sisi tusukan jarum tanpa ada kebengkakan

Dibius (+/-) Grade 3 Terjadi kebengkakan minimal tanpa atau dengan eritema

Positif (+) Grade 4 Terjadi kebengkakan pada kelopak mata dengan kelopak mata yang jatuh (droopy) kebawah sampai hampir menutup dan eritema

Grade 5 Terjadi kebengkakan kelopak mata disertai dengan nekrosis dan penutupan kelopak mata. Sumber: Butler, et al (1995).

Setelah penyuntikan diamati pada 24, 48 dan 72 jam untuk mengetahui reaksi uji. Jika terjadi hasil yang positif maka hewan tersebut di euthanasia. Hewan yang dilindungi akan diobati. Hasil dubius ulang atau dilakukan uji lain untuk konfirmasi (misalnya roentgent).

c. Pemberian antiparasit dilakukan pada saat hewan masuk ke karantina sebanyak 3 kali (uji TB I, II dan saat karantina berakhir. Pemberian obat cacing di koloni penangkaran dan penelitian dilakukan setiap 6 bulan sekali. Obat cacing yang digunakan adalah ivermectin dengan dosis 200 g/kg berat badan.

Sistem Perkandangan di Karantina dan Penangkaran PSSP LPPM-IPB

(43)

25

Kandang individu ditempatkan dalam bangunan/ruangang yang tertutup, sehingga terlindungi dari cuaca dan lingkungan luar. Udara yang masuk dan keluar ruangan harus menggunakan sistem tertentu, untuk membatasi paparan bibit penyakit yang akan membahayakan hewan dan manusia. Sistem tertutup ini diperlengkapi dengan exhaust untuk menjaga sirkulasi udara dan menjaga agar perubahan temperatur dan kelembaban tidak terlalu tinggi. Ruangan dilengkapi dengan lampu yang dilengkapi pengatur otomatis agar selama 12 jam menyala dan 12 jam mati.

Karantina satwa primata selama 90 hari sesuai dengan syarat dari Code of Federal Regulations tahun 1987 dan waktu ini dinilai cukup untuk mendeteksi adanya penyakit pada primata (Butler et al. 1995). Fasilitas Hewan Penelitian menggunakan 3 macam kandang yang berbeda, yaitu kandang koral (semi terbuka), kandang kelompok (gang cage) dan kandang individu. Kandang koral merupakan kandang semi terbuka dengan sebagian tempat beratap sebagai tempat berlindung apabila cuaca buruk. Udara dapat keluar masuk secara bebas termasuk sinar matahari pun dapat masuk ke ruangan ini. Luas minimum kandang koral adalah 2 hektar tanpa adanya penghalang yang permanen, dimana pada kandang koral terdapat 2 macam daerah yaitu yang ditumbuhi rumput dan berupa peralatan bersemen untuk meletakkan makanan monyet. Di dalam kandang disediakan beberapa panggung dan tonggak kayu untuk satwa bermain-main dan terhindar dari hujan serta terik matahari (Sajuthi 1983). Luas kandang koral di Fasilitas Hewan Penelitian Lodaya adalah 15 m x 8.5 m untuk menampung kapasitas hewan yang lebih sedikit. Di Fasilitas Hewan Penelitian Lodaya terdapat 2 kandang koral dengan 2 macam lantai yaitu batu (pengayaan lingkungan) dan daerah berlantaikan keramik yang atapnya tertutup. Dalam kandang ini hewan dibiarkan hidup bebas dan berkembang biak secara alami. Pemberian air minim menggunakan system air otomatis. Pakan ditempatkan di beberapa “feeders”.

(44)

26

Kandang individual dipergunakan untuk hewan yang sakit atau yang menderita abdormalitas perilaku yang membahayakan koloni seperti mencuri anak dari indukan lain (infant stealling) atau hewan yang terlalu agresif sehingga menyerang anakan bahkan sampai membunuhnya (infanticide).

Sistem Pembersihan Kandang di Karantina dan Penangkaran PSSP LPPM IPB

Sistem pembersihan kandang yang dilakukan adalah dengan sistem basah. Pembersihan kandang dilakukan 2 kali sehari yaitu pada pagi hari jam 07.30 sampai selesai dan sore hari pada jam 13.30 sampai selesai. Lantai kandang dan tempat minum pada umumnya disikat, dan kotoran yang ada dikumpulkan dan dibuang. Limbah yang terkumpul selanjutnya dialirkan ke septic tank. Pembersihan kandang selalu dilakukan sebelum pemberian makan. Lantai kandang juga disemprotkan dengan desinfektan setiap minggu.

Sistem Pemberian Makan dan Minum di Penangkaran PSSP LPPM-IPB

Pakan yang diberikan adalah pakan yang sudah diketahui komposisi, jumlah dan memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh satwa. Pakan yang diberikan berupa biskuit (Monkey Chow) dengan kandungan serat kasar (5,18%), protein kasar (27,20%), lemak (4,90%), kalsium (1,31 %), phosphor (1,09%) dan energi bruto (4.386,00 kal/kg) serta sebagai tambahan diberikan buah-buahan misalnya pisang, jambu batu, pepaya dan lain-lain.

(45)

27

ini diberikan secara ad libitum (selalu tersedia) dan diganti setiap pagi dan sore. Hewan di kandang koral dan gang cage dialiri oleh sistem air otomatis.

Pada hewan yang sakit memerlukan suplai vitamin maka dapat diberikan secara oral seperti multivitamin biolisin dengan dosis disamakan dengan dosis untuk anak-anak (digunakan untuk hewan dewasa, sedangkan dosis untuk anakan ½ dosis hewan dewasa). Hewan dalam keadaan sakit yang serius harus diberikan vitamin dengan rute parenteral, misalnya diberikan injeksi IM kombinasi vitamin hematopan dengan dosis 0.5 ml per ekor dan biosalamin dengan dosis 0.5 ml per ekor.

Lokasi 2

3.3. Sejarah Singkat TN Gunung Gede Pangrango (TNGP)

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) merupakan salah satu dari beberapa kawasan konservasi yang pertama kali ditetapkan sebagai taman nasional di Indonesia berdasarkan Pengumuman Menteri Pertanian pada tanggal 6 Maret 1980, yang kemudian ditetapkan secara administratif dengan SK Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982 yang meliputi kawasan hutan seluas 15.196 ha. Kawasan konservasi ini berasal dari penyatuan kawasan-kawasan Cagar Alam Cimungkad (56 ha), Cagar Alam Cibodas (1.040 ha), Kawasan Hutan Gede Pangrango (14.000 ha) dan Taman Wisata Situ Gunung (100 ha). Kawasan TNGP merupakan perwakilan hutan hujan tropis dataran tinggi dengan ketinggian antara 1.000 - 3.019 m dpl (TNGP 2005).

(46)

28

kekayaan keanekaragaman hayati serta keterwakilan ekologi dan biogeografi dari TNGP (Soedjito 2004).

3.3.1. Letak dan Luas

Secara geografis, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) (Gambar 4) terletak di antara 106°51` - 107°02` BT dan 6°41’ - 6°51` LS. Secara administratif pemerintahan, wilayah TNGP tercakup dalam 3 (tiga) kabupaten, yaitu: Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Dalam pengelolaannya, TNGP dibagi ke dalam 3 wilayah pengelolaan, yaitu Wilayah Pengelolaan I Sukabumi, Wilayah Pengelolaan II Bogor, dan Wilayah Pengelolaan III Cianjur dengan 13 resort pemangkuan taman nasional. Batas kawasan TNGP adalah

sebelah utara : Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bogor, sebelah barat : Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor, sebelah selatan : Kabupaten Sukabumi, dan

sebelah timur : Kabupaten Cianjur.

Gambar 5. Peta kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

(47)

29

perluasan berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003, dimana luas TNGP yang semula 15.196 ha diperluas menjadi 21.975 ha. Areal perluasan tersebut sebelumnya berfungsi sebagai hutan produksi, hutan rawang, hutan lindung, tanah terlantar, lahan garapan masyarakat dan lahan lain-lain yang diperuntukkan bagi keperluan persemaian. Kawasan TNGP hasil perluasan tersebut mencakup 3 kabupaten, yaitu Sukabumi (9.356,10 ha), Bogor (7.155,00 ha), dan Cianjur (5.463,90 ha). Dalam SK yang sama, ditetapkan pula panjang batas luar 375.198 m dan pal batas sebanyak 7.278 buah (TNGP 2005).

3.3.2. Bio-Fisik Kawasan Ekosistem

Berdasarkan Rencana Pengelolaan TNGP Tahun 2005-2020, secara umum tipe-tipe ekosistem di dalam kawasan TNGP khususnya resort bodogol dapat dibedakan menurut ketinggiannya, antara lain (a) ekosistem hutan pegunungan bawah; (b) ekosistem hutan pegunungan atas; dan (c) ekosistem sub alpina. Selain ketiga tipe ekosistem utama tersebut, ditemukan pula beberapa tipe ekosistem khas lainnya yang tidak dipengaruhi oleh ketinggian tempat yaitu ekosistem hutan tanaman.

(a). Ekosistem Hutan Pegunungan Bawah dan Hutan Pegunungan Atas

Tipe ekosistem hutan pegunungan bawah terdapat pada ketinggian 1.000 - 1.500 m dpl, sedangkan ekosistem hutan pegunungan atas terdapat pada ketinggian 1.500 – 2.400 m dpl. Pada umumnya, tipe ekosistem hutan pegunungan bawah dan pegunungan atas dicirikan oleh keanekaragaman jenis vegetasi yang tinggi, dengan pohon-pohon besar dan tinggi yang membentuk tiga strata tajuk hutan. Tinggi tajuk hutan di dalam kawasan TNGP sekitar 30 – 40 m, dan strata tertinggi didominasi oleh jenis-jenis Litsea spp. dan Castanopsis spp.

(b). Ekosistem Hutan Sub Alpina

(48)

30

pegunungan atas). Pepohonan di puncak Gunung Gede memiliki batang yang lebih kurus, memiliki kerapatan yang lebih tinggi, serta ditumbuhi lumut lebih banyak dibandingkan keadaan hutan di puncak Gunung Pangrango. (g). Ekosistem Hutan Tanaman

Jenis Damar (Agathis lorantifolia) merupakan tanaman dominan dalam ekosistem ini. Jenis ini ditanam pada tahun 1920 di wilayah Situ Gunung dengan luas 2,5 ha (TNGP 2005).

Flora dan Fauna

TNGP dikenal dan banyak dikunjungi oleh wisatawan dan peneliti karena memiliki potensi hayati yang tinggi, utamanya keanekaragaman jenis flora. Di kawasan ini hidup lebih dari 1.000 jenis flora, dimana jenis-jenis yang tergolong tetumbuhan berbunga (Spermatophyta) berjumlah sekitar 900 jenis, tetumbuhan paku lebih dari 250 jenis, lumut lebih dari 123 jenis, ditambah berbagai jenis ganggang, spagnum, jamur dan jenis-jenis Thalophyta lainnya.

Pohon rasamala terbesar dengan diameter batang 150 cm dan tinggi 40 m dapat ditemukan di kawasan ini di sekitar jalur pendidikan pada wilayah Pos Cibodas. Jenis puspa terbesar dengan diameter batang 149 cm dan tinggi 40 m terdapat di jalur pendakian Selabinta – Gunung Gede, sedangkan pohon Jamuju terbesar ditemukan di wilayah Pos Bodogol. Selain pepohonan raksasa, di kawasan ini juga terdapat jenis-jenis tetumbuhan yang unik dan menarik, seperti: Kantong semar (Nepenthes gymnamphora), bunga Rafflesia (Rafflesia rochusseni) dan bunga Sembilan tahun (Strobilanthus cernua) yang berbunga sekali sembilan tahun (TNGP 2005).

Keanekaragaman flora di kawasan ini membentuk keanekaragaman habitat bagi berbagai jenis satwaliar, seperti mamalia, reptilia, amfibia, aves, insekta, dan kelompok satwa tak bertulang belakang. Dari kelompok burung (Aves), di dalam kawasan TNGP hidup 251 jenis atau lebih dari 50% jenis-jenis burung yang hidup di Jawa. Salah satu diantaranya yang merupakan jenis endemic dan sangat langka adalah elang jawa (Spizaetus bartelsi).

(49)

31

(Muntiacus muntjak). Selain itu, terdapat pula serangga (insekta) lebih dari 300 jenis, reptilia sekitar 75 jenis, katak sekitar 20 jenis, dan berbagai jenis binatang lunak (molusca) (TNGP 2005).

Topografi

Kawasan TNGP merupakan rangkaian gunung berapi, yaitu Gunung Gede (2.958 m dpl) dan Gunung Pangrango (3.019 m dpl) yang merupakan dua dari tiga gunung berapi tertinggi di Jawa Barat. Topografinya bervariasi, mulai dari landai hingga bergunung dengan kisaran ketinggian antara 700 - 3.000 m dpl. Jurang dengan kedalaman sekitar 70 m banyak dijumpai pada kedua kawasan tersebut. Sebagian besar kawasan TNGP merupakan dataran tinggi tanah kering dan sebagian kecil merupakan daerah rawa, utamanya di daerah Cibeureum yaitu Rawa Gayonggong (TNGP 2005).

Pada bagian selatan kawasan, yaitu daerah Situ Gunung, memiliki kondisi lapangan yang berat karena terdapat bukit-bukit (misalnya bukit Masigit) dengan kemiringan lereng sekitar 20 – 80%. Kawasan Gunung Gede yang berada di bagian Timur dihubungkan dengan Gunung Pangrango di bagian barat oleh punggung bukit yang berbentuk tapal kuda sepanjang ±2.500 m, dengan sisisisinya yang membentuk lereng-lereng curam berlembah menuju dataran Bogor, Cianjur dan Sukabumi.

Gambar

Gambar 5. Peta kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Gambar 6. Peta Studi Area Bodogol di wilayah Resort Bodogol
Tabel 7. Jalur-jalur pengamatan di Resort Bodogol
Gambar 7. Lokasi penelitian studi perilaku dan pakan Owa Jawa (Hylobates moloch) di
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan rasa dan kualitas pakan saat pembelian pakan juga mempengaruhi konsumsi pakan pada menu 1 dengan menu 2, owa jawa akan mengkonsumsi pakan yang lebih banyak pada

Konsumsi bahan kering yang paling tinggi pada pagi hari oleh owa Jawa. jantan adalah jambu biji dengan rataan

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai owa jawa di Pusat Primata Schmutzer (PPS) untuk mengetahui aktivitas makan dan pakan yang diberikan.. Hal

Owa jawa (Hylobates moloch) merupakan primata endemik Pulau Jawa.Taman Nasional Gunung Halimun Salak adalah salah satu habitat yang sesuai serta merupakan jumlah populasi

Perbedaan rasa dan kualitas pakan saat pembelian pakan juga mempengaruhi konsumsi pakan pada menu 1 dengan menu 2, owa jawa akan mengkonsumsi pakan yang lebih banyak pada

Persentase aktivitas harian owa Jawa selama di penangkaran berturut-turut adalah sebagai berikut makan (12,77%), minum (0,96%), defekasi (1,97%), urinasi (2,43%), dan ini

Simpulan dari penelitian ini adalah: (1) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) merupakan habitat yang sesuai bagi populasi owa jawa; (2) Populasi owa jawa di TNGP berada

Key words: Javan gibbon, feeding, Halimun Salak ABSTRAK Owa jawa Hylobates moloch merupakan primata endemik Pulau Jawa.Taman Nasional Gunung Halimun Salak adalah salah satu habitat