• Tidak ada hasil yang ditemukan

SYARAT DAN ETIKA ORANG YANG MENATAFSIRKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SYARAT DAN ETIKA ORANG YANG MENATAFSIRKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

SYARAT DAN ETIKA TAFSIR BI AL-RA’YI

Makalah

Diajukan dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah

Ulumul Qur'an

Oleh :

Mahyunatul Mahfudloh (14210587) Maria Ulfah (14210589)

Dosen Pengampu :

Ali Mursyid, MA

Program Studi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin

Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Betapa sangat menyakitkan, saat kita melihat banyak manusia mencoba – coba

menafsirkan Al-Qur’an tanpa didasari ilmu. Mereka tidak merasa sama, sehingga

lidah mereka tidak berhenti, hati mereka tidak terguncang, bahkan mereka seakan

merasa telah mengusai Al-Qur’an beserta ilmunya, Al-Qur’an menjadi bagian dari

kecerdasan dan pengetahuan mereka.

Ada yang bertanya kenapa para ulama membuat persyaratan-persayaratan?

Bukankah Al-Qur’an untuk seluruh umat manusia? Bukankah membahasnya adalah

wajib untuk kita semua?

Memang benar, sesungguhnya membaca Al-Qur’an merupakan hak bahkan

kewajiban bagi setiap muslim. Akan tetapi, menafsirkan dan menjeaskan Al-Qur’an

untuk manusia bukanlah hak setiap orang, sebagaimana ilmu-ilmu yang lain. Ilmu

pengobatan adalah hak setiap orang untuk mempelajarinya, namun untuk memeriksa

dan merawat manusia bukanlah hak setiap manusia, kecuali apabila belajar ilmu

pengobatan pandai dalam hal itu. Untuk itu makalah ini akan membahas lebih lanjut

tentang syarat-syarat, ilmu yang harus dikuasai serta apa-apa yang harus dihindari

oleh mufasir bi al-Ra’yi.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah syarat-syarat menjadi ahli tafsir bi al-ra’yi?

2. Apakah etika menjadi ahli tafsir bi al-ra’yi?

3. Bagaimanakah manhaj yang digunakan oleh mufassir bi al-ra’yi?

(3)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Syarat Menjadi Ahli Tafsir bi al-Ra’yi

Secara umum, beberapa syarat ahli tafsir sebagaimana dikemukakan para ulama adalah:1

1. Pandai dalam ilmu Riwâyah dan Dîrayah Hadîts. Mengingat bahwa hadis-hadis rasul

merupakan penjelas Al-Qur’an. Imam syafi’i berkata “setiap keputusan rasulullah saw

adalah hasil pemahamannya terhadap Al-Qur’an”(Taimiyah, 1391:34) Imam Ahmad

juga berkata: “As-sunnah adalah tafsir dan tabyin (penjelas) bagi Al-Qur’an” (Qurthubi,

I, 1965:39).

2. Mufassir mengetahui dasar-dasar agama (Ushûluddîn). Yang dimaksud dengan

dasar-dasar agama adalah ilmu tauhid sehingga dalam menafsirkan ayat-ayat asmâ (nama)

Allah dan sifat-sifat-Nya tidak akan terjadi penyerupaan, perumpamaan dan

pengingkaran.

3. Seorang mufassir harus mengetahui Bahasa arab (lughah). Dengan ilmu ini, seorang

mufasir dapat menjelaskan makna dan maksud sebuah kata sesuai kata dengan

konteksnya.2

4. Seorang mufassir harus mengetahui Gramatika (nahwu). Makna setiap kata dalam

bahasa arab selalu berubah ubah dan berbeda-beda sesuai dengan perubahan I’robnya.

Oleh karena itu, ilmu nahwu harus dikuasai oleh seorang mufasir. Abu “ubaid meriwayatkan dari Al-Hasan bahwa dia pernah ditanya tentang seseorang yang

mempelajari bahasa arab untuk memperbagus pembicaraannya dan untuk memperbaiki

bacaan Al-Qur’annya, dia berkata, “bagus, pelajarilah bahasa arab, sebab seseorang

yang membaca ayat Al-Qur’an, tetapi tidak tahu dengan apa yang dibacanya, ia bisa

celaka karenanya (karena kesalahan membaca).

5. Seorang mufassir harus mengetahui Morfologi bahasa arab (sharaf). Sharaf merupakan

alat untuk mengetahui bentuk-bentuk kata (shigat) dan proses pembentukannya.

1

Fadh bin Abdirrahman ar-Rumi, Ulumul Qur’an : Studi Kompleksitas Al-Qur’an, (Yogyakarta : Titian Ilahi Pers, 1997) cet. I hal. 218

2

(4)

6. Seorang mufassir harus mengetahui Turunan kata atau akar kata (isytiqaq). Setiap kata

benda atau kata nama (isim) yang diturunkan dari akar kata yang berbeda. Misalnya

al-masih, untuk memahami kata tersebut, harus diketahui apakah kata tersebut diturunkan

dari kata al-siyabah ataukah dari kata al-mash.

7. Seorang mufassir harus mengetahui Ilmu ma’ani (semantik arab). Dengan ilmu ini

seorang mufasir akan mengetahui karakteristik susunan kalimat dari aspek pemenuhan

makna.

8. Seorang mufassir harus mengetahui Ilmu bayan (termasuk semantic arab). Dengan ilmu

ini, seorang mufasir dapat mengetahui karakteristik kalimat dari aspek kejelasan

maksud dan kesamaannya.

9. Seorang mufassir harus mengetahui Ilmu badi’ (bagian ilmu sastra) dengan ilmu ini

dapat mengetahui karakteristik kalimat dari aspek keindahannya.

10.Seorang mufassir harus mengetahui Ilmu qiro’ah (teori membaca). Dengan ilmu ini,

seorang mufasir dapat mengetahui cara membaca Al-Qur’an. disamping itu, ia juga

dapat mengetahui berbagai macam qiraat, dari yang kuat sampai yang lemah sehingga ia

dapat membedakan pemaknaan dan penafsiran dari satu qira'at dengan qira'at yang lain

yang ada

11.Seorang mufassir harus mengetahui Ilmu Ushul Fiqh. Dengan ini seorang mufasir dapat

mengetahui metodologi penarikan kesimpulan hukum (istidlal dan istinbath).

12.Seorang mufassir harus mengetahui Ilmu tentang sebab turunnya ayat dan kisah-kisah

dalam Al-Qur’an (asbab al-nuzul dan qishash). Dengan ini seorang mufasir dapat

mengetahui makna ayat sesuai dengan konteks kejadiannya.

13.Seorang mufassir harus mengetahui Ilmu Nasikh dan Mansukh. Dengan ilmu ini,

mufasir dapat memahami mana ayat yang jelas (muhkamah) dan mana yang tidak jelas

(ghair muhkamah).

14.Seorang mufassir harus mengamalkan apa yang dia ketahui ini akan melahirkan darinya

ilmu mauhibah dan ilmu ini diwariskan oleh Allah kepada orang yang mengamalkan

apa yang dia ketahui. 3

3

(5)

Ilmu-ilmu tersebut adalah media untuk mengetahui pengertian dan kekhususan

susunan kalimat serta mengetahui bentuk-bentuk kemu’jizatan Al-Qur’an. Syarat-syarat

tersebut sebagaimana telah diketahui adalah sasaran yang bagus, oleh karenanya, sebagian

besar ulama salaf merasa berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Hal

semacam itu merupakan suatu apresiasi kuatnya iman di hati mereka dalam menyatakan

takut mereka kepada Allah.

B. Etika Menjadi Ahli Tafsir bi al-Ra’yi.4

Diantara etika menjadi ahli tafsir bi al-rayi adalah sebagai berikut :

1. Berniat baik dan bertujuan benar, sebab amal perbuatan itu bergantung pada niat.

Orang yang mempunyai ilmu-ilmu syari’at hendaknya mempunyai tujuan dan tekad

membangun kebaikan umum, berbuat baik kepada islam dan membersihkan diri dari

tujuan-tujuan duniawi agar Allah meluruskan langkahnya dan memanfaatkan

ilmunya sebagai sebuah keikhlasannya.

2. Berakhlak baik, karena mufassir bagai seorang pendidik yang didikannya itu tidak

akan berpengaruh ke dalam jiwa tanpa ia menjadi panutan yang diikuti dalam hal

akhlak dan perbuatan mulia. Kata-kata yang kurang baik terkadang menyebabkan

siswa enggan memetik manfaat dari apa yang didengar dan dibacanya, bahkan

terkadang dapat mematahkan jalan pikirannya.

3. Ikhlas, hendaknya hanya brniat karena Allah, mengharap ridha-Nya tidak

mengharapkan kemuliaan dan kehormatan.5

4. Akidahnya bersih. orang yang akidahnya telah berubah dan meyakini rasio.

Kemudian ia membawa lafal-lafal Al-Qur’an dengan rasionya. Mereka tidak

mengikuti para sahabat dan para tabi’in. apabila orang ini menafsirkan Al-Qur’an ia menakwilkan ayat-ayat yang berbeda dengan fahamnya yang salah. Lalu ia

selewengkan sampai sesuai dengan madzhab (faham) nya. Hal seperti ini tidak bisa

dipakai sandaran dalam mencari kebenaran, bagaimana bisa orang menemukan

sesuatu darinya.

4

Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2011) cet. 14 hal. 465

5

(6)

5. Tidak mengikuti hawa nafsu. Hawa nafsu membawa pemiliknya kepada faham

subjektifnya, sekalipun salah dan menolak yang lain, sekalipun yang ditolak itu

benar.

6. Melakukan paling awal, jika seorang mengajak kearah kebaikan maka ia harus

melaksanakannya terlebih dahulu sehingga diterima orang lain. Jika melarang

sesuatu wajib bagi yang melarang menjauhinya terlebih dahulu sebelum orang lain,

karena jika manusia melihat seseorang memerintah sesuatu padahal dia sendiri tidak

melakukannya atau ia melarang sesuatu sedangkan ia sendiri tidak menghindari

larangan tersebut maka mereka akan lari darinya dan dari perkataannya, sekalipun

yang dikatakan adalah benar.

7. Taat dan beramal. Ilmu akan lebih dapat diterima oleh khalayak melalui orang yang

mengamalkanya ketimbang dari mereka yang hanya memiliki ketinggian

pengetahuan dan kecermatan kajiannya. Dan prilaku mulia akan menjadikan mufassir

sebagai panutan yang baik bagi pelaksana masalah-masalah agama yang

ditetapkannya. Seringkali manusia menolak untuk menerima ilmu dari orang yang

luas pengetahuannya hanya karena orang tersebut berprilaku buruk dan tidak

mengamalkan ilmunya.

8. Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan, sehingga mufassir tidak berbicara atau

menulis kecuali setelah menyelidiki apa yang diriwayatkannya. Dengan cara ini ia

akan terhindar dari kesalahan dan kekeliruan.

9. Tawadu’ dan lemah lembut, karena kesombongan ilmiah merupakan dinding kokoh

yang menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.

10.Berjiwa mulia. Seharusnyalah seorang alim menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh

serta tidak mengelilingi pintu-pintu kebesaran dan penguasa bagai peminta-minta

yang buta.

11.Berpenampilan baik yang dapat menjadikan mufassir berwibawa dan terhormat

dalam semua penempilannya secara umum, juga dalam cara duduk, berdiri dan

berjalan, namun sikap ini hendaknya tidak dipaksa-paksakan.

12.Bersikap tenang dan mantap. Mufassir hendaknya tidak tergesa-gesa dalam berbicara

(7)

13.Mendahulukan orang yang lebih utama daripada dirinya. Seorang mufassir

hendaknya tidak gegabah untuk menafsirkan dihadapan orang yang lebih pandai pada

waktu mereka masih hidup dan tidak pula merendahkan mereka sesudah mereka

wafat. Tetapi hendaknya ia menganjurkan belajar dari mereka dan membaca

kitab-kitabnya.

14.Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik, seperti

memulai dengan menyebutkan asbabun nuzul, arti kosa kata, menerangkan susunan

kalimat, menjelaskan segi-segi balagah dan i’rab yang padanya bergantung penentu

makna. Kemudian menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan

kehidupan umum yang sedang dialami umat manusia pada masa itu dan kemudian

mengambil kesimpulan dan hukum.6

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tafsir bi al-ra'yi para ulama’ berbeda pendapat,

ada sekelompok ulama’ yang mengharamkan, dengan alasan karena tafsir harus mauquf

(didasarkan) pada pendengaran. Ada pula yang memperbolehkan, seperti pendapat jumhur

ulama bahwa tafsir bi al-ra'yi itu diperbolehkan dengan syarat-syarat terdahulu.7 Sebenarnya

perbedaan itu karena mufassir menafsirkan berdasarkan pendapat (ra’yu) memastikan “yang

dimaksud Allah begini dan begitu” tanpa disertai dalil dan hujjah atau orang-orang berusaha

menafsirkan Al-qur’an atas dasar pendapat dan akal.

Dalam buku ini diterangkan bahwa, As-suyuthi mengutip pendapat zarkasyi dalam

al-burhan mengenai syarat-syarat pokok yang harus dimiliki oleh seseorang agar ia boleh

menafsirkan Al-qur’an berdasarkan ra’yu (pendapat atau akal). Syarat-syarat pokok itu berkisar

di sekitar empat so’al:

1. Berpegang pada hadits-hadits berasal dari Rasulullah Saw dengan ketentuan ia harus

waspada terhadap riwayat yang dha’if (lemah) dan maudlu’ (palsu).

2. Berpegang pada ucapan sahabat Nabi, karena apa yang mereka katakan, menurut

peristilahan hadis hukumnya mutlak marfu’ (shahih atau hasan), khususnya yang

berkaitan dengan asbabun-nuzul dan hal-hal lain yang tidak dapat dicampuri pendapat (ra’yu).

6

Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2011) cet. 14 hal. 466

7

(8)

3. Mutlak harus berpegang pada kaidah bahasa Arab, dan harus tetap berhati-hati jangan

sampai menafsirkan ayat-ayat, menyimpang dari makna lafadz yang semestinya,

sebagaimana banyak terdapat didalam pembicaraan orang-orang Arab.

4. Berpegang teguh pada maksud ayat, dan harus terjamin kebenarannya menurut aturan dan

hukum syara’.8

Sedangkan Etika yang berkenaan dengan moral untuk para mufassir yang menafsirkan dengan ra’yu tidak berbeda dengan mufassir umumnya seperti yang telah di terangkan sebelumnya.

C. Manhaj Yang Digunakan Oleh Mufassir bi al-Ra'yi

Manhaj atau metode yang digunakan oleh mufassir bi al-rayi antara lain :

1. Menyingkap dan menampakkan makna-makna yang logis yang terkandung dalam

Al-Qur'an.

2. Mengungkap rahasia yang terkandung dalam Al-Qur'an sesuai kemampuan manusia

3. Mengungkapkan maksud-maksud ayat dan orientasinya

4. Menjelaskan dimana saja ibarat-ibarat yang ada dalam kisah Al-Qur'an dan menjelaskan

kandungan nasehat-nasehatnya.

5. Menampakkan kebesaran Al-Qur'an dalam dan kebesaran Balaghahnya.

D. Sedangkan langkah-langkah seorang mufassir bi al-ra'yi ketika menafsirkan Al-Qur'an

adalah sebagai berikut :9

a. Tafsir dilakukan sesuai dengan apa yang ditafsirkannya tanpa pengurangan dalam

menjelaskan makna, tanpa tambahan yang tidak perlu dengan berhati-hati agar tidak

salah dalam menafsirkan.

b. Teliti dan jeli dalam melihat makna hakiki dan makna majazi.

c. Teliti dalam melihat apa yang tertulis dengan tema atau maksud yang diangkat, yang

sesuai dengan konteks ayat yang sedang ditafsirkan. Juga termasuk teliti dalam

membaca kedekatan-kedekatan antar kata.

8

Dr. Subhi As-Shalih, Mabahis Fi Ulumil-Qur’an, (Lebanon: Darul- Ilm Lil-Malayin 1985) cet. 16 hal. 386-387

9

Ansori, Tafsir bi Al-Ra'yi Memahami Al-Qur'an dengan Ijtihad, (Jakarta : Gaung Persada Press) cet. 1 hal.

(9)

d. Teliti dalam melihat persesuaian (munasabah) menjelaskan persesuaian satu ayat

dengan ayat sebelum dan sesudahnya sehingga jelas sekali tergambar bahwa ayat-ayat

Al-Qur'an bukanlah sesuatu yang terpisah satu dengan yang lainnya, melainkan

ayat-ayat yang memiliki kesesuaian antara satu dengan yang lainnya.

e. Menyenyebutkan Asbȃb al-nuzȗl ayat. Ini dilakukan setelah menyebutkan munasabah

ayat, dan sebelum menjelaskan makna ayat yang ditafsirkan. Ini merujuk pada

kebiasaan mufassir dalam menjelaskan ayat Al-Qur'an, dengan menyebut munasabah

f. bila memungkinan melakukan istinbath hukum (penetapan hukum) syar'iy dari ayat

yang ditafsirkan tersebut. Dalam menafsirkan terlebih dahulu kemudian asbab al-nuzul

g. Selanjutnya mufassir menganalisis dan menjelaskan mufradat (lafadz-lafadz), baik dari

sisi bahasanya, sharafnya serta asal katanya. Kemudian setelah itu mufassir mengulas

susunan kata dalam kalimat (tarkib), menjelaskan i'rab al-kalimah juga menjelaskan

sisi balaghahnya (bayan, badi', ma'ani). Setelah itu baru mufassir menjelaskan makna

yang terkandung suatu atau beberapa ayat, kemudianatas dasar ra'yu mufassir

hendaknya sebisa mungkin menghindari penjelasan panjang bagi

pengulangan-pengulangan didalam Al-Qur'an. Dalam hal ini mufassir juga hendaknya menghindari

penjelasan-penjelasan yang tidak dibutuhkan. Seperti penyebutan 'illat-'illat dalam

analisa nahwu, menyebutkan berbagai dalil fiqih dan ushul fiqh serta dalil-dalil

ushuluddin, tidak menyebutkan asbab al-nuzul yang tidak benar dan juga hadis-hadis

fadha'il al a'mal yang tidak shahih.

h. Dalam menafsirkan atas dasar ra'yu, setelah melakukan 7 langkah diatas maka

selanjutnya mufassir bisa melakukan tarjih (pengunggulan satu atas yang lain) jika

memang dalam satu ayat mengandung banyak sisi (wujuh) dalam pemaknaannya.10

Mufassir yang menafsirkan Al-Qur’an secaran ra’yi juga harus menghindari enam hal

yang kurang lebih sama dengan hal-hal yang harus dihindari oleh para mufassir umumnya,

yakni:

1) Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat

sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.

10

Ansori, Tafsir bi Al-Ra'yi Memahami Al-Qur'an dengan Ijtihad, (Jakarta : Gaung Persada Press) cet. 1 hal. 19-20

(10)

2) Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah (otoritas

Allah semata).

3) Menafsirkan Al-Qur’an dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai

sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).

4) Menafsirkan suatu ayat untuk mendukung suatu madzhab yang salah dengan cara

menjadikan faham madzhab sebagai dasar sedangkan penafsirannya mengikuti

faham madzhab tersebut.

5) Mufasir harus menghindari menyelami ayat yang Allah pilih untuk diketahui-Nya

sendiri, yaitu masalah-masalah ghaib dan mutasyabihat.

6) Mufasir harus menghindari sumber-sumber palsu, israilliyat, hadis-hadis maudhu,

dan semua yang dapat menutupi semua cahaya hidayah Al-Qur’an dari hati atau

memalingkan umat manusia dari melakukan perenungan.11

7) Menafsirkan Al-Qur’an dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki

Allah adalah demikian tanpa didukung dalil.12

11

Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Tafsir Al-Qur’an Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, (Ciputat : Gaya Media Pratama, 2007) cet. I hal. 97

12

(11)

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Syarat-syarat menjadi ahli tafsir bir-ra’yi antara lain, Pandai dalam ilmu Riwâyah dan Dîrayah

Hadîts, mengetahui dasar-dasar agama (Ushûluddîn), menguasai bahasa arab, mengetahui

gramatik nahwu, menguasai sharaf, menguasaiturunan kata atau akar kata (isytiqaq), menguasai

ilmu balaghah termasuk didalamnya (ma’ani, bayan dan ba’di), menguasai ilmu Qiro’at,

menguasai ilmu Ushul Fiqh, mengetahui ilmu asbȃb an-nuzȗl, menguasai ilmu nasikh dan

mansukh, mempunyai ilmu mauhibah.

Sedangkan etika menjadi ahli tafsir bi al-rayi tidak berbeda seperti etika pada tafsir umunya,

antara lain yaitu, berniat baik, berakhlak baik, ikhlas, melakukan apa yang diperintahkan Allah

paling awal sebelum ia menyeru kepada orang lain, taat dan beramal, berlaku jujur dan teliti dalam penukilan, tawadu’ dan lemah lembut, berjiwa mulia, berpenampilan baik, bersikap tenang dan mantap, mendahulukan orang yang lebih utama daripada dirinya, mempersiapkan dan

menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik, vokal dalam menyampaikan kebenaran baik.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tafsir bi al-ra'yi para ulama’ berbeda pendapat,

ada sekelompok ulama’ yang mengharamkan, dengan alasan karena tafsir harus mauquf

(didasarkan) pada pendengaran. Ada pula yang memperbolehkan, seperti pendapat jumhur ulama

(12)

DAFTAR PUSTAKA

ar-Rumi, Fadh bin Abdirrahman, Ulumul Qur’an : Studi Kompleksitas Al-Qur’an,

(Yogyakarta : Titian Ilahi Pers, 1997)

al-Qattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa,

2011)

Adz-Dzahabi, Muhammad Husein, Ensiklopedia Tafsir Jilid I, ( Jakarta : Kalam Mulia,

2010)

Qosim, Tarmana Abdul, Samudra Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Bandung : PT Mizan

Pustaka,2003)

As-shobuni, Muhammad Ali, Nur, Muhammad Qodirun (Alih bahasa), Ikhtishar Ulumul

Qur’an, (Jakatra: Pustaka Amani)

Ansori, Tafsir bi Al-Ra'yi Memahami Al-Qur'an dengan Ijtihad, (Jakarta : Gaung Persada

Press, 2010)

As-Shalih, Subhi, Mabahis Fi Ulumil-Qur’an, (Lebanon: Darul- Ilm Lil-Malayin 1985

Nur, Qadirun, Musyafiq, Ahmad, Tafsir Al-Qur’an Sejarah Tafsir dan Metode Para

Mufasir, (Ciputat : Gaya Media Pratama, 2007)

Anwar, Rosihan, Pengantar Ulumul Qur’an, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2009)

As-shobuni, Muhammad Ali, Aminuddin (Penerjemah), Studi Ilmu Al-Qur’an,

Referensi

Dokumen terkait

Baik kerangka konseptual maupun kerangka teori tidak digambarkan secara jelas dalam jurnal penelitian tersebut, namun pada bagian pembahasan, tinjauan pustaka

Guru sosiologi tidak menerapkan 1 komponen yang tidak dieterapkan yaitu memotivasi siswa.Dari semua komponen keterampilan menutup pelajaran yang terdiri dari 3 komponen

Maka sejak saat itu, para penduduk kampung selalu menggantungkan lampion, menghiasi rumah mereka dengan ornament ornamen yang berwarna merah pada malam Tahun

Diberitahukan dengan hormat, Sehubungan dengan telah berjalannya kegiatan belajar mengajar (KBM) Pendidikan Anak Usia Dini

10) Teacher asks the students to write down a narrative text by using Pyramid... Confirmation.. 4) The teacher asks the students about the material have

Menurut psikologi, remaja adalah suatu periode transisi dari masa awal anak anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul: ANALISIS KESESUAIAN ANTARA SINGLE TUNED FILTER

Disarankan kepada perusahaan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi keselamatan kerja dan membuat variasi yang baru dalam mengkomunikasikan keselamatan kerja,