• Tidak ada hasil yang ditemukan

LATAR BELAKANG KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LATAR BELAKANG KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT (1)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

LATAR BELAKANG KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT MENDUKUNG PROGRAM NUKLIR INDIA

MELALUI U.S.-INDIA CIVIL NUCLEAR COOPERATION INITIATIVE TAHUN 2006

Ziauddin Muslim Khalifa NIM. 0811243099

Dosen Pembimbing : Dian Mutmainah, S.IP., M.A.

Abstract

This research aims to analyze the background of United States policy in supporting India’s nuclear program with U.S.-India Civil Nuclear Cooperation Initiative in 2006. This nuclear cooperation is US strategic alliance to defend its hegemony in Asia. This issue is worth to learn because US policy towards India is break the international laws about Nuclear non-Proliferation Treaty. US as one of the legitimate nuclear states (Nuclear Weapon States) is not allowed to supporting nuclear program of non-NPT states like India. Based on the Balance of Threat theory, the author wants to analyze the motives behind US-India alliance. The author finds that the emerging China in Asia is the main reason which could threaten US hegemony in Asia. So that it will also find the reason in choosing India as the proper state alliance to prevent the rising China which has the chance to be a new hegemon in Asia.

Keywords : Alliance, Hegemony, Balance of Threat Theory

Pendahuluan

Efek perang dingin dalam hal kepemilikan kekuatan nuklir masih menjadi domain konstelasi politik internasional. Bedanya, saat ini tujuan pengembangan kekuatan nuklir tidak hanya di dominasi oleh keinginan memperkuat kekuatan militer tapi lebih pada kerangka tujuan sipil (damai), seperti pemenuhan kebutuhan energi suatu negara sebagai alternatif dari bahan bakar gas dan minyak. Walaupun tak dapat dipungkiri bahwa pembangunan instalasi nuklir memiliki sifat ganda, yaitu bahwa tujuan sipil tersebut dapat berkembang atau ditransformasi ke dalam tujuan militer. Tak heran jika pengembangan program nuklir suatu negara sering diklaim oleh negara lain sebagai perkembangan yang dapat membahayakan sistem internasional. Namun, tak jarang pula perkembangan program nuklir tersebut disambut dengan dukungan dan kerjasama pengembangan program nuklir antar negara.

(2)

yang sah yaitu AS, Inggris, China, Perancis, dan Rusia. Lima negara pemilik senjata nuklir (Nuclear Weapon States/NWS) ini sepakat untuk tidak mentransfer teknologi senjata nuklir ke negara non-NWS, dan negara-negara non-NWS sepakat untuk tidak meneliti dan mengembangkan senjata nuklir.

India sebagai rising state di Asia memiliki sejarah kepemilikan nuklir yang kontroversial. Hal ini mengacu pada status India sebagai negara pemilik nuklir namun bukan merupakan negara penandatangan NPT. Meskipun awalnya program nuklir India merupakan program non-proliferasi dengan konsep Atom for Peace pada tahun 1950-an, namun tes nuklir pertama kali India pada 18 Mei 1974 menunjukkan bahwa teknologi nuklir untuk tujuan perdamaian tidak bisa dipungkiri dapat ditransformasi menjadi kepentingan militer (www.globalsecurity.org, 2005). Menanggapi program nuklir India yang rentan terhadap proliferasi, Amerika Serikat sebagai salah satu negara sah NWS berusaha untuk merangkul India. Pada tanggal 18 Juli 2005 Amerika Serikat menjalin aliansi strategis dengan India melalui perjanjian kerjasama nuklir yang bertajuk U.S.-India Civil Nuclear Cooperation Initiative atau lebih dikenal 123 agreement. Traktat nuklir senilai 27 miliar USD ini berisikan bahwa AS akan membangun 18 sampai 20 reaktor nuklir di India hingga tahun 2020. Tim pengawas internasional berhak untuk memeriksa instalasi nuklir sipil India, sedangkan instalasi nuklir militer India tetap tertutup bagi tim pengawas internasional (IAEA). Selain itu, India akan mendapatkan akses terhadap bahan bakar nuklir dari AS dan pemasok lainnya yakni dari Nuclear Suppliers Group (NSG). India kemudian dapat bertransaksi untuk pembelian dual-use teknologi nuklir dari AS, termasuk material dan peralatan yang digunakan untuk memperkaya uranium atau memproses plutonium dan berpotensi membentuk material bom nuklir selain dapat menambah pasokan gas untuk reaktor nuklirnya (www.cfr.org, 2010).

Perjanjian ini juga akan memberikan dampak yang buruk bagi NPT. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi bahwa India merupakan salah satu negara yang menolak menandatangani perjanjian proliferasi nuklir. Sikap umum AS dalam menyikapi program nuklir suatu negara non-NPT adalah penolakan dan kecaman. Contohnya seperti penolakan dan kecaman AS terhadap program nuklir Pakistan dan Korea Utara yang bukan merupakan negara penandatangan NPT. Namun menyikapi program nuklir India, AS mengalami perubahan kebijakan dimana dulunya AS mengecam program nuklir India hingga memberikan berbagai macam sanksi internasional dan embargo ekonomi sedangkan sekarang justru berbalik mendukung program nuklir India. Kesepakatan kerjasama pemanfaatan energi nuklir AS-India merupakan kebijakan luar negeri AS yang sarat kontroversi mengacu pada inkonsistensi dengan aturan-aturan internasional yang telah ada.

(3)

berjudul “Alliance Formation and The Balance of World Power” pada tahun 1985 yang kemudian dikembangkan dan dibukukan dengan judul “The Origins of Alliances” pada tahun 1987. Teori Balance of Threat atau BOT merupakan sebuah teori modifikasi dari perspektif realisme yang merupakan salah satu teori tradisional yakni Teori Balance of Power atau BOP. Modifikasi atau pengembangan yang dilakukan oleh Walt disebabkan karena kekuatan militer saja tidak cukup untuk membuat suatu negara bereaksi pada power negara lainnya. Dalam BOP ada satu sisi yang tidak begitu diperhatikan yang sangat penting dalam menganalisa perilaku suatu negara yakni ‘ancaman’. Dalam BOT sisi inilah yang begitu diperhitungkan dan menjadi fokus perhatian utama.

Keberlangsungan aliansi bergantung pada beberapa hal. Pertama, anggapan terhadap keberlangsungan threat. Aliansi biasanya dibentuk berdasarkan rasa takut beberapa negara atas ancaman satu kekuatan tertentu, oleh karenanya mereka beraliansi agar mempunyai power yang sama besar untuk kemudian dapat bertahan atau melawan kekuatan tersebut. Kedua, kesamaan sistem politik dan ideologi negara-negara anggota aliansi. Ketiga, keberadaan negara besar yang menghegemoni. Dalam BOT terdapat dua pemikiran atau konsep mengenai alliance suatu negara dalam menghadapi threat eksternal yakni balancing dan bandwagoning. Balancing merupakan sebuah model perilaku negara yang lebih memilih untuk melakukan aliansi dengan negara lain sebagai perimbangan terhadap negara yang melakukan ancaman. Negara-negara yang memilih untuk melakukan balancing biasanya merupakan negara-negara yang memiliki kapabilitas militer atau actual power yang kuat dan memiliki potensi untuk mengimbangi lawan. Waltz menambahkan, aliansi dilakukan dengan dua alasan yakni alasan pertama ialah untuk untuk menghentikan ancaman negara lain yang berpotensi untuk mejadi hegemon. Sedangkan alasan yang kedua yakni aliansi merupakan instrumen negara yang lebih kuat untuk memberikan pengaruh pada negara yang lebih lemah karena negara yang lemah sangat membutuhkan perlindungan dari negara yang lebih kuat. Negara-negara cenderung memilih balancing saat threat memiliki potensi untuk menjadi negara hegemon. Karena threat dianggap sudah terlalu kuat untuk dihadapi sendirian. Oleh karena itu balancing lebih umum digunakan sebagai pola aliansi antar negara dalam sistem internasional (Walt, 1987).

Berdasarkan atas penjelasan di atas maka menurut penulis, AS akan menggunakan strategi balancing sebagai alliance terhadap potensi hegemon yang ada dalam kawasan Asia. Karena AS memilih untuk melakukan aliansi dengan India melalui perjanjian program pengembangan nuklir yang diharapkan mampu menjaga stabilitas keamanan di Asia. Dengan demikian maka pola alliance yang tepat dalam menghadapi potensi threat yang ada berupa balancing. Menurut Walt dalam pola interaksi aliansi terhadap ancaman, balancing merupakan common choice karena akan membuat negara lebih secure. Logikanya threatening state akan melemah jika menghadapi aliansi negara-negara. Sedangkan bandwagoning hanya akan membuat negara semakin insecure karena threatening state akan semakin besar dan kuat dengan bergabungnya lebih banyak sekutu (Walt, 1987).

(4)

berbagai penjuru dunia. Asia sebagai salah satu kawasan yang cukup potensial bagi kepentingan tata dunia AS juga tak luput dari upaya dominasi AS. Hegemoni Amerika Serikat di Asia berawal pada Perang Dunia II dimana AS gencar mengampanyekan perang terhadap komunisme. Namun pada milenium baru hegemoni Amerika Serikat di Asia terbentuk melalui penyebaran ide-ide demokrasi liberal dan perang terhadap terorisme. Ekspansi militer Amerika Serikat di Asia juga secara signifikan mendukung dominasi dan hegemoni AS di kawasan tersebut. Fenomena kebangkitan China berpotensi untuk menimbulkan dominasi single power di Asia dan bukan tidak mungkin mampu menggusur posisi Amerika Serikat sebagai negara hegemon. Negara-negara besar Asia lainnya juga berusaha untuk menjaga keseimbangan keamanan di Asia dengan berbagai cara. Salah satunya yaitu India yang menjalin aliansi strategis dengan Amerika Serikat melalui perjanjian kerjasama nuklir yang bertajuk U.S.-India Civil Nuclear Cooperation Initiative atau lebih dikenal 123 agreement. Melalui aliansi nuklir dengan India ini Amerika Serikat berharap akan mampu mengimbangi pengaruh China yang semakin besar dimana berpotensi untuk menghadirkan negara hegemon baru dalam kawasan Asia.

Pembahasan

China sebagai Hegemon Potensial bagi Hegemoni Amerika Serikat di Asia Tahun 2006 Pada awal abad ke-21, proses pergeseran kekuatan global ditandai oleh fenomena kebangkitan China yang begitu pesat. Fenomena ini serta merta menjadi fokus utama Amerika Serikat untuk dalam menerapkan kebijakan-kebijakannya untuk mengantisipasi agresivitas negara China terhadap ancaman hegemoninya. Hadirnya China sebagai potensi ancaman bagi hegemoni Amerika Serikat merupakan isu yang signifikan bagi masa depan Amerika Serikat dalam percaturan politik internasional. Isu ini secara tidak langsung akan memberikan tantangan tersendiri bagi Amerika Serikat bagaimana menanggapi dan mengakomodasi kebangkitan China ini sehingga dapat menjadi aktor dan mitra yang baik dalam menjamin stabilitas kawasan dan sekaligus tidak menjadi tantangan dalam hegemoni Amerika Serikat. Dalam hal ini, Amerika Serikat sepertinya masih dalam proses pencarian format kebijakan dan strategi yang tepat. Amerika Serikat tentunya masih sulit memaknai fenomena kebangkitan China terhadap kepentingan nasionalnya, apakah nantinya China akan menjadi mitra kerjasama, pesaing strategis, atau bahkan musuh bagi Amerika Serikat di masa depan.

(5)

tentang intensi utama China perihal besarnya anggaran belanja militer mereka (Mearsheimer, 2006).

Menyikapi fenomena kebangkitan China, Amerika Serikat perlu untuk menerapkan kebijakan yang strategis bagi kepentingan hegemoninya di Asia. Di kawasan Asia, Amerika Serikat telah memiliki kebijakan-kebijakan terdahulu melalui pengadaan kerjasama dengan negara-negara maju lainnya seperti Jepang dan Korea Selatan. Kemudian sekitar tahun 2005– 2006, Amerika Serikat membuat publik internasional fokus terhadap aliansinya dengan India melalui perjanjian kerjasama nuklir. Melalui kebijakan nuklir dengan India, Amerika Serikat ingin membentuk aliansi strategis yang menguntungkan dengan India, sekaligus mengantisipasi kebangkitan China. Karena Amerika Serikat memandang bahwa India merupakan negara strategis untuk menerapkan strategi ganda.

Amerika Serikat mengharapkan terciptanya kondisi yang membuat China merevisi tatanan global dan regional yang berlaku. India memiliki deterrence yang tinggi di Asia, terutama bagi China. Karena India juga merupakan salah satu negara yang mengalami kemajuan sangat pesat di Asia. Sehingga kemudian akan berguna untuk membuat China berpikir ulang untuk mengambil sikap yang positif. Sebaliknya, keterlibatan Amerika Serikat dalam program pengembangan nuklir India, dapat mengangkat posisi India untuk mengimbangi kebangkitan China. Meskipun persepsi mengenai ancaman militer China mulai menurun, kepentingan untuk mengimbangi kekuatan China tetap menjadi prioritas utama dalam strategi India di kawasan Asia.

Munculnya China sebagai hegemon potensial menjadi ancaman tersendiri bagi hegemoni Amerika Serikat di Asia. AS tentunya tidak ingin hegemoninya di Asia yang dibangun sejak era Perang Dingin serta merta ditandingi China yang mulai membangun hegemoninya sejak tahun 1990-an.

Keunggulan Aggregate Power China

China sebagai the rising state pada abad 21 menjadi fokus perhatian masyarakat internasional ketika pada awal tahun 1990-an mulai mengalami peningkatan yang signifikan dalam aggregate power. Pada awal tahun 1950-an fokus kebijakan pemerintahan China di bawah kepemimpinan Mao Zedong yaitu mengenai program pengembangan senjata nuklir. Kemudian pada masa pemerintahan Deng Xiaoping pada awal tahun 1980-an China fokus terhadap beberapa pertumbuhan ekonomi. Dan yang membuat kecemasan masyarakat internasional terutama Amerika Serikat sebagai negara hegemon yaitu perubahan fokus kebijakan pemerintahan China pada awal tahun 1990-an hingga saat ini, yaitu program modernisasi militer dan ekonomi yang gencar dilakukan oleh China dengan menggunakan AS sebagai role model.

(6)

sebagai negara hegemon, merasa perlu untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang strategis untuk mengatasi fenomena kebangkitan China di Asia.

Pengaruh Proximate Power China di Asia

Status China sebagai negara dengan basis militer paling besar di kawasan Asia menimbulkan ancaman bagi Amerika Serikat melalui negara-negara aliansi militernya yang secara geografis berdekatan dengan China. AS memiliki banyak sekutu dan menjalin kerjasama pertahanan dengan beberapa negara di Asia demi mempertahankan hegemoninya, yaitu India, Jepang, Korea Selatan, Thailand, Filipina, dan Taiwan. Bahkan negara-negara aliansi militer AS tersebut sengaja digunakan untuk meredam power China yang semakin besar. Secara geografis letak India, Jepang, Korea Selatan, Thailand, Filipina, dan Taiwan sebagai negara aliansi AS di Asia berada di sekeliling negara China. Aliansi militer AS-India terjalin melalui kerjasama nuklir pada tahun 2006 yang kemudian berkembang ke arah transfer senjata dan jalinan pasukan gabungan. Aliansi militer AS-Jepang terjalin melalui Japanese Treaty pada tanggal 19 Januari 1960. Kerjasama pertahanan ini semakin berkembang luas demi merespon kekuatan 2 negara komunis di Asia yaitu China dan Korea Utara. AS membangun pangkalan militernya di Jepang dan melaksanakan patroli laut untuk menjaga perairan Jepang. Demikian pula dengan anggaran militer Jepang yang besar selalu didukung oleh AS (The New York Times, 2013). Korea Selatan juga merupakan salah satu negara aliansi militer AS yang penting di Asia. Selain untuk mengepung China, Korsel juga digunakan AS untuk meredam agresifitas Korea Utara. Kerjasama pertahanan AS-Korsel telah terjalin sejak tahun 1953 dimana AS merupakan produsen tetap senjata dan pesawat militer bagi Korsel. Kedua negara juga secara rutin menggelar latihan militer gabungan baik darat maupun laut (Manyin, 2011).

Selain menjalin aliansi dengan negara-negara maju, AS juga menjalin aliansi militer dengan beberapa negara berkembang di Asia yaitu Thailand, Filipina, dan Taiwan. Kerjasama pertahanan ini terjalin melalui Southeast Asia Treaty pada tanggal 8 September 1954 dan secara khusus Philippine Treaty pada tanggal 30 Agustus 1951 (www.state.gov, 2006). Jalinan aliansi tersebut memperbolehkan AS untuk melakukan ekspansi militer dengan membangun pangkalan militernya di masing-masing negara. AS juga berhak untuk menggelar latihan pasukan gabungan dan menjadi produsen tetap transfer senjata antar negara (Asia Pacific Defense, 2014).

Namun meskipun AS memiliki banyak aliansi militer di sekitar China tetap saja AS merasa terancam oleh kebangkitan China. Hal ini dikarenakan basis militer China yang begitu besar jauh mengungguli India dan Jepang sebagai aliansi militer terkuat AS di Asia. Kapasitas angkatan bersenjata (darat, laut, dan udara), kapabilitas senjata-senjata berteknologi tinggi, dan kepemilikan energi nuklir menjadikan status militer China unchallenged di Asia. Kondisi ini diperkuat dengan fakta bahwa China menjalin hubungan kerjasama bilateral yang harmonis dengan Rusia dan Korea Utara sebagai negara penganut komunis-sosialis. Kedekatan secara geografis antara China, Korut, dan Rusia semakin meningkatkan tensi ancaman bagi hegemoni AS di Asia (Asia Times, 2013).

(7)

segala bidang. China mendukung penuh atas besarnya pasukan militer dan program pengembangan nuklir Korut. Selain itu China juga merupakan importir utama Korut melalui perdagangan dan bantuan asing. Secara diplomatik hubungan kedua negara juga semakin erat dan harmonis. Kondisi ini menjadi ancaman serius dimana Rusia dan Korut merupakan aktor antagonis bagi Amerika Serikat. Bahkan Korut secara terang-terangan menyatakan bahwa negaranya siap jika terjadi perang nuklir dengan AS. Kapabilitas nuklir eksplosif Korut dengan mudah mampu menghancurkan semua pangkalan militer AS beserta negara-negara aliansinya di Asia yang secara geografis berdekatan (Asia Times, 2013).

Besarnya Offensive Capability China melalui Senjata Nuklir

China merupakan salah satu negara pemilik senjata nuklir terbesar di dunia. Saat ini China memiliki 20 reaktor nuklir aktif dan 28 reaktor dalam perbaikan. Status China sebagai salah satu negara pemilik nuklir menjadi ancaman bagi keamanan dan stabilitas internasional karena kebijakan pengembangan nuklirnya yang tertutup bagi masyarakat internasional. Tidak adanya transparansi dari program pengembangan nuklir China yang semakin berkembang membuat gerah negara-negara tetangga di Asia dan Amerika Serikat sebagai negara hegemon (World Nuclear Association, 2014).

Program senjata nuklir China semakin dianggap berbahaya karena China terbukti melakukan transfer teknologi nuklir ke beberapa negara di dunia. Ekspor rudal nuklir China telah menjadi perhatian masyarakat internasional sejak tahun 1980-an. China mentransfer rudal jarak menengah 36 DF-3 ke Arab Saudi pada tahun 1988, dan menyediakan suplai rudal jarak pendek 34 DF-11 ke Pakistan pada tahun 1992. China juga mentransfer ilmu dan teknologi pada beberapa program nuklir negara-negara yang diduga mengembangkan program WMD (Weapon Mass Destruction) termasuk Iran, Irak, Libya, Korea Utara, dan Syria (NTI, 2013).

Dengan program senjata nuklir China yang dianggap tidak koperatif terhadap rezim non-proliferasi, Amerika Serikat merasa perlu untuk mengecam China agar menekan perkembangan program nuklirnya. Jika kondisi ini terus berlangsung, AS meyakini bahwa proliferasi nuklir akan semakin meluas dan tentunya dapat menimbulkan kekacauan pada sistem internasional. Merupakan agenda nasional Amerika Serikat sebagai negara hegemon dan penjaga stabilitas keamanan global untuk mengambil sikap yang tepat melalui kebijakan-kebijakan strategis seperti aliansi nuklir dengan India dalam upayanya mengatasi program nuklir China yang dianggap berbahaya bagi kawasan Asia bahkan dunia.

Agresivitas Militer China (Offensive Intentions)

(8)

Rusia merupakan pemasok senjata militer terbesar di China. Begitu pula China merupakan pelanggan utama dalam industri militer Rusia. Terhitung sudah triliunan dollar senjata diekspor Rusia ke Cina. Yang terbaru China menyepakati kerangka perjanjian untuk membeli 24 jet tempur Su-35 dan empat kapal selam konvensional Lada-class. Antara tahun 1991 hingga tahun 1996, Rusia menjual senjata ke China senilai $1 miliar per tahun. Antara tahun 1996 hingga tahun 2001, penjualan tersebut meningkat dua kali lipat menjadi $2 miliar per tahun. Dilaporkan bahwa kedua negara telah menandatangani paket perdagangan militer pada tahun 1999 bahwa antara tahun 2000 hingga tahun 2004 penjualan tersebut akan bernilai $20 billion (The Heritage Foundation, 2001).

Kerjasama militer China-Rusia terus berlanjut dan semakin harmonis hingga pada tahun 2005 membentuk pasukan gabungan “Misi Perdamaian”. Pada tanggal 22 April 2005, China dan Rusia meluncurkan latihan gabungan angkatan laut mereka yang pertama kalinya. Latihan gabungan ini diselenggarakan selama enam hari berturut-turut di laut kuning selepas pantai timur China yang bertajuk operasi anti pembajakan dan terorisme dengan menggunakan kapal selam dan kapal tempur.

Upaya Balancing Alliance Amerika Serikat dengan India Tahun 2006

Pada abad ke-21, munculnya India sebagai negara kuat, stabil, demokratik, dan menjadi berpengaruh bagi kepentingan global memiliki potensi untuk meningkatkan efektifitas keamanan dalam sistem internasional (Steinberg, 2009). Perkembangan India yang pesat sebagai rising superpower state menjadi pertimbangan tersendiri bagi pemerintah Amerika Serikat sebagai negara hegemon saat ini.

India muncul sebagai kekuatan baru di Asia yang telah mengubah konfigurasi kekuatan-kekuatan militer, politik, dan ekonomi di Asia. Pasca perang dingin, kekuatan-kekuatan militer India menjelma menjadi kekuatan militer yang relatif kuat dan besar, hal tersebut dapat dilihat dari jumlah anggotanya yang mencapai satu juta personil dan dilengkapi dengan peralatan modern dengan industri pendukung, serta anggaran militer yang sangat besar, militer India merupakan salah satu yang terkuat di dunia. Pertumbuhan ekonomi India yang terus meningkat 7% tiap tahunnya dengan GDP US$ 3,61 trilyun menuntut dilakukannya penyesuaian-penyesuaian kebijakan oleh Amerika Serikat terhadap India di Asia (Ayres & Mohan, 2009).

Perkembangan India sebagai rising state memberikan peluang bagi Amerika Serikat untuk bekerjasama membentuk suatu tatanan kawasan yang terus memberi peluang warganya untuk mengejar tujuan-tujuan global seperti perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran. Sebagai negara hegemon yang memiliki jangkauan kebijakan luar negeri yang sangat luas dan memiliki jangkauan kekuatan militer yang sangat besar sejak Perang Dunia II, AS selalu ‘hadir’ di Asia (Tellis, 2005). Dengan demikian seiring perkembangan pesat India, Amerika Serikat tentu memerlukan penyesuaian-penyesuaian kebijakan ekonomi, politik, maupun militernya di kawasan ini.

(9)

India sekaligus menjadi mitra dagang terbesar India. Pada bulan Juli 2005, Presiden AS, George W. Bush dan Perdana Menteri India Dr. Manmohan Singh membuat program baru yang disebut Forum Kebijakan Perdagangan. Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan perdagangan bilateral dan aliran investasi. Demikian pula dalam bidang militer, AS menjadi salah satu pemasok senjata terbesar bagi India. Hingga pada bulan Maret 2009, pemerintah Obama menjual sebesar US $ 2,1 miliar berupa delapan P-8 Poseidons ke India. Angka ini merupakan kesepakatan militer terbesar antara kedua negara (www.state.gov, 2006).

Aliansi strategis AS-India mencapai puncaknya ketika Presiden Bush dan Perdana Menteri India Manmohan Singh pada tanggal 18 Juli 2005 membuat kesepakatan mengenai moratorium perjanjian nuklir AS-India. Kunjungan tersebut bertujuan untuk menandatangani perjanjian yang cukup kontroversial yaitu kesediaan Amerika Serikat dalam penyediaan teknologi pengembangan program energi nuklir untuk India, sebuah negara yang tidak pernah berkeinginan untuk menandatangani Nuclear non-Proliferation Treaty (NPT). Majalah The Economist menjuluki perjanjian tersebut sebagai “Dr. Strangedeal”. Pendekatan AS kepada India merupakan tindak lanjut dari laporan CIA yang mengidentifikasi India sebagai the key swing state di abad ke-21. Dalam konteks tersebut, Amerika Serikat bermaksud untuk memperkuat India sebagai bentuk balancing terhadap pengaruh China di Asia dan negara dunia lainnya (Virmani, 2005).

Kedua, penggunaan India sebagai negara sekutu di kawasan Asia. Dengan jalinan kerjasama nuklir dengan India, AS mengharapkan terciptanya stabilitas keamanan di Asia. Bagi Amerika Serikat, India menjadi tujuan ketiga dari penetapan kebijakan politik luar negeri di Asia setelah Jepang dan Korea Selatan. Upaya ini juga tidak terlepas dari kepentingan Amerika Serikat untuk menandingi dominasi China. Hal ini dikaitkan dengan kepentingan China dalam mengembangkan pengaruhnya seperti kekuatan dan hubungan diplomatik di kawasan lain termasuk di antaranya adalah wilayah Asia.

Selain itu, kepentingan militer yang dijalankan oleh pemerintah Amerika Serikat berupaya untuk mewujudkan kepentingan politik yaitu antara lain: Amerika Serikat harus terlibat dalam memimpin dunia, Amerika Serikat harus terus mempertahankan dan memperkuat hubungan kerjasama dengan negara-negara terkuat di dunia, penting bagi Amerika Serikat untuk membangun aliansi strategis yang mempromosikan keamanan dan kemakmuran melalui demokrasi dan HAM sebagai alasan untuk menjadi alat kepentingan Amerika Serikat.

Demikian pula kepentingan tata dunia Amerika Serikat di wilayah Asia. Melalui kerjasama dengan India, AS berharap dapat membendung kekuatan China dalam mempengaruhi politik di kawasan Asia. Dominasi China di wilayah Asia tersebut dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan Rusia. Kedekatan China dan Rusia dapat dilihat dari panjangnya kedekatan historis yang telah terjalin. Disebutkan bahwa China, Rusia, dan Pakistan akan melaksanakan berbagai bentuk kerjasama dan dilakukan dalam berbagai bidang, termasuk di antaranya adalah bidang militer khususnya perkembangan teknologi nuklir (Ayres & Mohan, 2009).

(10)

memiliki sejarah konfliktual dengan China dalam isu Kashmir. India juga pada saat ini merupakan salah satu negara yang pertumbuhan perekonomiannya sangat pesat mendekati China, ditambah lagi lingkungan geostrategic India yang memang berbatasan langsung membuatnya menjadi salah satu kawan terbaik AS dalam upaya balancing China (Mearsheimer, 2010).

Amerika Serikat memegang prinsip bahwa untuk didengar di kancah perpolitikan dunia, maka negara itu harus memiliki kekuatan militer yang kuat. Karena itu negara tersebut kemudian memperkuat angkatan bersenjatanya. Maka menjadi jelas dari penelaahan singkat atas realitas yang terjadi pada saat ini bahwa keberpihakkan di dunia telah terbagi. Amerika Serikat sebagai negara yang kembali memperoleh kekuatan posisi tawar di mata internasional, seiring dengan perbaikan ekonomi, berusaha mengembangkan kembali kekuatan terutama untuk mengimbangi negara-negara tertentu yang dianggap mengganggu stabilitas hegemoni Amerika Serikat dengan menjalin aliansi terhadap negara yang dianggap potensial sebagai mitra strategis baru.

Untuk membangun aliansi yang bermanfaat bagi stabilitas hegemoni Amerika Serikat, maka perlu bagi AS untuk membuka hubungan intensif dengan negara India. Upaya menciptakan lingkungan regional yang kondusif dapat terwujud dengan memaksimalkan peran India untuk dapat berdialog dengan menyamakan persepsi tentang pengembangan keamanan. Banyak akademisi melihat bahwa cara ini merupakan salah satu jalan yang paling efektif dan efisien untuk meyakinkan stabilitas yang tercipta antara India dan Amerika Serikat.

Dalam perkembangannya, aliansi AS-India juga merambah pada bidang-bidang politik keamanan yang bertujuan memberikan konstribusi pada keamanan dan perdamaian global. Amerika Serikat ingin menanamkan dominasi di India. Kepentingan militer yang dibangun oleh Amerika Serikat terhadap India sebenarnya tidak terlepas dari kepentingan ekonomi Amerika Serikat sendiri. Kebutuhan Amerika Serikat terhadap minyak yang makin bertambah serta ketersediaan minyak bumi di wilayah India menjadi satu alasan kuat bagi Amerika Serikat mendesak Rusia menghormati kedaulatan negara India serta mendesak pemerintah Rusia untuk menarik pasukan militer (Tellis, 2005).

(11)

Oleh karena itu, menjadi sebuah pertanyaan besar mengapa India dipilih Amerika Serikat sebagai negara aliansinya di Asia. Karena untuk menjadi balancing alliance yang berpengaruh dalam kawasan terutama untuk menandingi dominasi China dibutuhkan alliance power yang kuat. India sebagai negara aliansi Amerika Serikat memiliki alliance power yang relatif kuat dan dapat disejajarkan dengan China dalam kawasan Asia. Dalam bidang militer India mengeluarkan anggaran pertahanan sebesar US$ 32,5 miliar pada tahun 2005. Meningkat 40 persen dari dua tahun sebelumnya. Besarnya kapabilitas militer India ditopang oleh 40 pabrik senjata dan 8 Defence Public Sector Undertakings (DPSUs) sebagai organisasi yang bekerja di bawah kontrol Menteri Pertahanan India Pertumbuhan ekonomi India juga meningkat pesat yang dilatarbelakangi oleh adanya liberalisasi ekonomi sejak tahun 1984. Pemerintahan India menerapkan enam program revolusi ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan, yaitu revolusi demografi, pengalihdayaan (outsourcing), globalisasi, keuangan, aspirasi, dan reformasi bagi kaum miskin. Dengan adanya liberalisasi ekonomi pada tahun 1991 maka perekonomian India mengalami peningkatan yang lebih signifikan. Hingga dalam 7 tahun terakhir GDP India meningkat hingga sekitar 8,6 persen. Berdasarkan atas tren peningkatan perekonomian India melalui GDP negara, saat ini India merupakan negara dengan perekonomian terbesar keempat di dunia setelah Amerika Serikat, China, dan Jepang.

(12)

militer terbesar antara kedua negara. Patroli gabungan dari jalur-jalur laut di Samudera Hindia juga telah berlangsung di bawah naungan joint forces armada laut.

Simpulan

Modernisasi militer dan ekonomi China merupakan salah satu faktor yang mendasari besarnya potensi ancaman terhadap hegemoni AS. Militer China semakin kuat dengan anggaran belanja pertahanan yang semakin meningkat tiap tahunnya. Kapasitas militer China didukung oleh perekonomiannya yang terus berkembang pesat hingga menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Status China sebagai single power di Asia semakin memperkuat pengaruhnya dalam kawasan. Kepemilikan energi dan senjata nuklir China juga berpotensi untuk menimbulkan instabilitas keamanan di Asia. Begitu pula aliansi khusus antara China dengan Rusia juga menimbulkan kekhawatiran bagi Amerika Serikat sebagai negara hegemon di Asia.

Fenomena China sebagai hegemon potensial di Asia ini mencapai puncaknya pada awal tahun 2000-an. Dimana anggaran belanja militer dan perekonomian China semakin meningkat pesat. Tren peningkatan ini diprediksi akan menyalip Amerika Serikat dalam beberapa tahun ke depan. Begitu pula ketika aliansi militer China-Rusia semakin harmonis dan membentuk pasukan gabungan “Misi Perdamaian” pada tahun 2005. Pada tanggal 22 April 2005, China dan Rusia meluncurkan latihan gabungan militer mereka yang pertama kalinya. Bahkan saat ini China dan Rusia telah berpartisipasi dalam empat latihan militer gabungan sejak tahun 2005.

Oleh karena itu Amerika Serikat kemudian mencari aliansi strategis demi kepentingan hegemoninya di Asia yang terancam atas kemunculan China sebagai hegemon potensial. India dipilih sebagai negara aliansi melalui perjanjian nuklir pada tahun 2006 karena memiliki kemampuan untuk menandingi dominasi China di Asia. Seperti halnya China, India juga merupakan rising state saat ini di Asia. Melalui variabel-variabel seperti alliance power, foreign aid, dan political penetration, penulis menemukan fakta-fakta dan kesimpulan bahwa India merupakan negara aliansi yang tepat bagi Amerika Serikat untuk mengimbangi China dan mempertahankan hegemoninya di Asia. India memenuhi semua kualifikasi sebagai negara aliansi AS di Asia. Selain memiliki kapabilitas militer yang besar serta perekonomian yang stabil dan terus berkembang, India juga memiliki program senjata nuklir yang masih aktif. Apalagi dengan dukungan dan kerjasama dari Amerika Serikat sebagai negara NWS yang sah. Kerjasama militer antara India dan Amerika Serikat yang semakin erat melalui perdagangan senjata dan pasukan gabungan juga mampu meningkatkan level kekuatan India sebagai negara aliansi. Selain itu, pemilihan India sebagai negara aliansi juga merupakan rational choice, dimana India memiliki rivalitas yang historis dengan China dalam kawasan Asia terkait upaya mereka untuk menjadi single power di Asia.

(13)

secara internal. Jika alliance power merupakan variabel yang secara langsung berdampak pada hegemon potensial, maka foreign aid dan political penetration berdampak pada alliance power itu sendiri. Intensitas foreign aid Amerika Serikat terhadap India yang begitu tinggi akan semakin memperkuat power India sebagai negara aliansi. Hubungan bilateral yang terjalin akan berdampak pada semakin kuatnya kapasitas militer dan ekonomi India. Begitu pula dengan intensitas political penetration Amerika Serikat terhadap India yang begitu tinggi. Adanya perbedaan ideologi antara India dengan China dan kesamaan ideologi antara India dengan Amerika Serikat menjadi alasan mendasar atas terjalinnya aliansi tersebut. Karena dengan adanya shared values dan shared ideology antara AS-India akan semakin memperkuat keterikatan dan ketergantungan antar kedua negara. Penetrasi politik Amerika Serikat terhadap India yang sudah terjalin sejak masa Perang Dingin semakin mempermudah kontrol AS terhadap India sebagai negara aliansinya.

Melalui indikator-indikator yang menjelaskan besarnya level ancaman emerging China terhadap hegemoninya membuat AS melakukan strategi balancing dalam kerangka BOT sebagai reaksi atas hegemon potensial. Indikator-indikator yang diharapkan mampu membendung dan mengimbangi emerging China yaitu menjalin aliansi melalui kerjasama nuklir dengan India. Selain faktor nuklir yang dianggap sebagai alat deterrence paling ampuh, konsiderasi pemilihan India sebagai negara aliansi merupakan rational choice. Mengingat modernisasi militer dan ekonomi India yang sangat pesat mampu menandingi modernisasi militer dan ekonomi China di Asia. Begitu pula status India sebagai rival utama bagi China di Asia terkait pengaruhnya melalui militer dan ekonomi. Ideologi yang berseberangan antara India dan China menjadikan mereka sebagai saingan yang sepadan terkait dengan hubungan bilateral masing-masing dengan AS dan Rusia. Ditambah lagi kepemilikan energi dan senjata nuklir oleh India dan kerjasama militer dengan AS membuat India memiliki bargaining position yang cukup tinggi di Asia sebagai penghalang dominasi China.

Referensi Buku :

Ayres, Alyssa and C. Raja Mohan. 2009. Power Realignments in Asia: China, India and the United States. New Delhi: Sage Publications.

Baumann, Florian. 2008. Energy Security as Multidimentional Concept. C.A.P Policy Analysis. Baylis, John and Steve Smith. 2003. The Globalization of World Politics: An Introduction to

International Relations, Second Edition. London: Oxford University Press.

Behera, Laxman Kumar. 2009. India’s Defence Public Sector Undertakings: A Performance Analysis. New Delhi: Institute of Defence Studies and Analyses.

Cohen, Stephen Philip. 2001. India : Emerging Power. Washington, D.C: Brookings Institution Press.

David, Charles-Philippe and David Grondin. 2006. Hegemony or Empire? The Redefinition of U.S. Power Under George W. Bush. Hampshire: Ashgate Publishing Limited.

(14)

Haryono, Endi dan Saptopo B. Ilkobar. 2005. Menulis Skripsi: Panduan untuk Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jacques, Martin. 2009. When China Rules The World: The End of the Western World and the Birth of a New Global Order. London: Penguin Books.

Karnad, Bharat. 2008. India’s Nuclear Policy. London: Praeger Security International.

Khan, Saira. 2010. Iran and Nuclear Weapons: Protracted Conflict and Proliferation. London and New York: Routledge.

Mas’oed, Mochtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES.

Mearsheimer, John J. 2006. China’s Unpeaceful Rise. London: Oxford University Press.

---. 2010. China’s Challenge to US Power in Asia. London: Oxford University Press.

Peerenboom, Randall. 2007. China Modernizes: Threat to the West or Model to the Rest?. New York: Oxford University Press.

Program Studi Hubungan Internasional. 2008. Panduan Penulisan Skripsi. Jakarta: Universitas Budi Luhur.

Rozman, Gilbert. 2007. Strategic Thinking about the Korean Nuclear Crisis: Four Parties Caught between North Korea and the United States. New York: Palgrave Macmillan.

Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Adhitama. Stein, Charles. 2003. The Rise of China Inc. Boston: Boston Globe.

Tow, William T. and Amitav Acharya. 2007. Obstinate or Obsolete? The US Alliance Structure in the Asia–Pacific. Canberra: Australian National University.

Walt, Stephen M. 1987. Origins of Alliances. Ithaca and London: Cornell University Press.

Jurnal :

Bellacqua, James A. 2010. The Future of China-Russia Relations. The University Press of Kentucky.

Cirincione, Joseph. 2006. Bomb Scare The History and Future of Nuclear Weapon, 123 Agreement Chart: Issue in US-India Nuclear Cooperation. Carnegie Endowment for International Peace.

Goh, Evelyn. 2005. Great Powers and Southeast Asian Regional Security Strategies: Omni-Enmeshment, Balancing and Hierarchical Order. Singapore: IDSS.

Lieber, Keir A. and Daryl G. Press. 2007. U.S. Nuclear Primacy and the Future of the Chinese Deterrent. China: World Security Institute.

Manyin, Mark E. 2011. U.S.-South Korea Relations. Congressional Research Service.

Pan, Esther & Jayshree Bajoria. 2008. The U.S.-India Nuclear Deal. Council on Foreign Relations.

(15)

Tellis, Ashley J. 2005. India As A New Global Power: An Action Agenda For The United States. Carnegie Endowment for International Peace.

---. 2006. Atoms for War? U.S.-Indian Civilian Nuclear Cooperation and India’s Nuclear Arsenal. Washington D.C.: Carnegie Endowment for International Peace.

USAID. 2009. India - U.S. Foreign Assistance Performance Publication Fiscal Year. United States Department of State.

Virmani, Arvind. 2005. A Tripolar Country: USA, China and India. Indian Council: Research on International Economic Relations.

Website :

Asia Pacific Defence, India - China Top List of Global-Arms Importers, http://apdforum.com/zh/article/rmiap/articles/online/features/2013/04/29/india-china-weapons.

---, India Welcomes U.S. Partnership On Defense Cooperation,

http://apdforum.com/zh/article/rmiap/articles/online/features/2013/10/09/us-india-defense.

---, Perspektif Kawasan atas Penyeimbangan Kembali A.S., http://apdforum.com/id/article/rmiap/articles/print/features/2014/01/01/feature-pr-7. Asia Times, America: Hooked On Hegemony,

http://www.atimes.com/atimes/World/WOR-01-080114.html.

---, China and North Korea's Pit Bull Alliance, http://www.atimes.com/atimes/China/CHIN-03-150313.html.

BBC News, China Lands J-15 Jet On Liaoning Aircraft Carrier, http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-china-20483716.

Chinafolio, Population Power: China’s Shifting Masses, http://www.chinafolio.com/population-power/.

Council on Foreign Relations, The U.S.-India Nuclear Deal, http://www.cfr.org/india/us-india-nuclear-deal/p9663.

Economic Times, Indo-US N-deal smacks of double standards: Chinese scholar,

http://articles.economictimes.indiatimes.com/2010-04-16/news/28457137_1_international-atomic-energy-agency-nuclear-deal-nuclear-fuel. Global Fire Power, China Military Strength,

http://www.globalfirepower.com/Country-Military-Strength-Detail.Asp?Country_Id=China.

Global Security, Asia; Chinese Arms Threaten Asia, http://www.globalsecurity.org/org/news/2005/050604-china-asia.htm.

---, China's Defense Budget,

http://www.globalsecurity.org/military/world/china/budget.htm.

(16)

Huffington Post, China Lands First Jet On Its Aircraft Carrier, http://www.huffingtonpost.com/2012/11/25/China-Jet-Aircraft-Carrier_N_2187767.html. Japan Times, New Ships Give China's Navy A Stronger Punch,

http://www.japantimes.co.jp/text/eo20120912mr.html.

Knowledge, Upstart: China’s Emergence in Technology and Innovation, http://knowledge.insead.edu/world/china/upstart-chinas-emergence-in-technology-and-innovation-1180.

Maps of World, Asia Map, http://www.mapsofworld.com/asia/.

Nuclear Threat Initiative, China, http://www.nti.org/country-profiles/china/.

Republika, India Siap Uji Coba Kapal Selam Nuklir Pertama di Laut Terbuka, http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/08/10/mrbjij-india-siap-uji-coba-kapal-selam-nuklir-pertama-di-laut-terbuka.

Reuters, Putin Says to Push Military Ties with China,

http://www.reuters.com/article/2012/06/06/us-china-russia-military-idUSBRE8550BG20120606.

Security & Defence Agenda, China-Russia Military Cooperation, http://www.securitydefenceagenda.org/Contentnavigation/Library/Libraryoverview/tabid/ 1299/articleType/ArchiveView/year/2008/Default.aspx.

SIPRI, China's Technological Development and the Implications for the Rest of the World, http://www.sipri.org/research/security/china/research/technology.

Tempo, India Uji Coba Rudal Berkemampuan Nuklir Agni-V,

http://www.tempo.co/read/news/2013/09/15/118513515/India-Uji-Coba-Rudal-Berkemampuan-Nuklir-Agni-V.

The Economist, China Military Rise: The Dragon’s New Teeth, http://www.economist.com/Node/21552193.

The Heritage Foundation, The Russia-China Friendship and Cooperation Treaty: A Strategic Shift in Eurasia?, http://www.heritage.org/research/reports/2001/07/the-russia-china-friendship-and-cooperation-treaty.

The New York Times, U.S. and Japan Agree to Broaden Military Alliance, http://www.nytimes.com/2013/10/04/world/asia/japan-and-us-agree-to-broaden-military-alliance.html?_r=0.

The Times of India, http://articles.timesofindia.indiatimes.com/2012-08-28/china/33449060_1_test-fires-ballistic-missile-agni-v.

The Washington Post, U.S., India Reach Deal On Nuclear Cooperation,

http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2006/03/02/AR2006030200183.html.

The World Bank, China Overview, http://www.worldbank.org/en/country/china. U.S. Department of State, India, http://www.state.gov/outofdate/bgn/india/74167.htm.

(17)

,---, Taking Stock of the U.S.-India Nuclear Deal, http://www.state.gov/p/sca/rls/rmks/2011/174883.htm.

---, Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT), http://www.state.gov/t/isn/trty/16281.htm.

---, U.S. Collective Defense Arrangements, http://www.state.gov/s/l/treaty/collectivedefense/.

Referensi

Dokumen terkait

Sebelum Bahasa sasaran dapat dihasilkan, dalam melakukan proses kompilasi ini tiap bagian utama kompilator akan berhubungan dan berkomunikasi dengan suatu berkas tabel yang

Rumusan masalah secara deskriptif adalah 1) seberapa jauhkah pembelajaran berbasis kearifan lokal dalam kegiatan pembelajaran di SD Perum- nas Condongcatur; 2) seberapa

Instrumen yang digunakan adalah Pembelaja- ran Kewarganegaraan dengan menggunakan model pembeleajaran kooperatif tipe TGT, yang disampaikan dalam bentuk panduan be-

Secara amnya, jika dilihat purata min bagi setiap bahagian seperti dalam jadual 7, dapat digambarkan bahawa persepsi pelajar terhadap aktiviti kokurikulum berada dalam

Ženske zaradi potencialnega materinstva dopust za nego in varstvo otroka še vedno v veliki večini koristijo samo matere, čeprav imajo tudi očetje to možnost in s tem

Dengan demikian, dikarenakan banyak item orientasi bakat yang ragu-ragu atau kriteria penilaiannya rendah, dan 4 item sesuai atau kriteria penilaian cukup maka orientasi

Tujuan dari proyek akhir ini adalah memanfaatkan Dialogic D/4PCIU yang merupakan teknologi Computer Telephony Integration (CTI) sebagai interface dengan personal komputer,

Hasil analisis HSI di TNBT secara keseluruhan dari tiga aspek (ekologi, sosial dan kelembagaan) diperoleh nilai rata-rata nilai HSI sebesar 56,3% yang berarti kawasan TNBT