• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat pa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat pa"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat pada Masa Pemerintahan

Barrack Obama:

A New “Soft Approach” Diplomacy Bilateral Strategy on Cuba

Gibran Muhammad (130910101011)

International Relations

Jember University, Indonesia

gibranmuhammad666@gmail.com

Abstract

Washington and Havana is the long-term conflict since the Cold War era till now. Every resolution from the policy-makers of United States always take the military aspects such as military intervention, invasion, blockade, and embargo. All of that never give the light of peace between them. Taking the hard power always failed. And now, Obama with his cold hand can take a new resolution that can be a new ways to resolve that conflicts. He doesn’t use the old ways or the military aspects again to resolve this conflicts. With new soft power approach from Obama, the United Sates policy take a new form towards Cuba conflicts. Obama bring the democracy and human rights issue to resolve this long-term ideological conflicts. After his visiting to Cuba and meet Raul Castro, the degree of bilateral conflict between United States and Cuba has decrease. Obama has successful to build a diplomatic ties with Cuba and increase the national and regional security between Washington and Havana.

Keywords: United States, Cuba, Obama, Conflict, Soft Power

Historical Background

(2)

perpolitikan dalam negeri sendiri. Dengan kekuatan ekonomi yang mereka miliki, Amerika Serikat mampu memperluas wilayahnya drngan membeli wilayah Louisiana dari Perancis dan wilayah Alaska dari Rusia. Hingga kemudian kekuatan ekonomi yang mereka miliki digunakan untuk memperbanyak dan memperkuat pasukan militer mereka. kekuatan militer Amerika Serikat yang besar tersebut akhirnya dipergunakan untuk perluasan wilayah kembali dengan cara aneksasi. Wilayah-wilayah Amerika Serikat yang diperoleh dari proses aneksasi diantaranya adalah Texas dan Hawai. Kebijakan pemerintah Amerika Serikat pada saat itu untuk memperkuat ekonomi dan militer tanpa ikut campur tangan dalam politik internasional memberikan dampak positif dengan bertambah luasnya wilayah yang mereka miliki dan kekuatan ekonomi yang cukup besar.

Keikutsertaan Amerika Serikat dalam politik internasional bermula ketika Menteri Luar Negeri John Hay membuat sebuah kebijakan yang disebut open door policy

terhadap China untuk menyeimbangkan perdagangan yang dilakukan negara-negara lain melalui China. Terdapat 3 catatan penting dalam open door policy tersebut, yaitu:1 1.

Masing-masing negara besar harus menjaga akses gratis menuju pelabuhan yang telah ditulis dalam perjanjian, 2. Hanya pemerintah China yang boleh memungut pajak dari perdagangan, dan 3. Tidak ada kekuatan besar yang dibebaskan biaya iuran pelabuhan dan kereta api. Semejak munculnya kebijakan tersebut Amerika Serikat semakin aktif dalam perpolitikan dunia. Hal tersebut terlihat ketika Woodrow Wilson membuat sebuah lembaga yang menaungi negara-negara di dunia yaitu league of nations. Akan tetapi lembaga tersebut dianggap gagal karena meletusnya Perang Dunia I di Eropa. League of nations dianggap tidak mampu menjaga perdamaian dunia seperti yang diharapkan ole Woodrow Wilson. Hingga akhirnya Amerika Serikat turun tangan dengan ikut serta dalam Perang Dunia I untuk menghentikan agresivitas Jerman. Hingga pada akhirnya Jerman menyerah dan berakhirlah Perang Dunia I. Akan tetapi, Jerman kembali melakukan agresi untuk memperluas wilayah hingga meletuslah Perang Dunia II. Keikutsertaan Jepang dalam Perang Dunia II dikarenakan tragedi pearl harbor yang memaksa Amerika Serikat menggunakan teknologi atom untuk pertama kalinya dalam sejarah. Menyerahnya Jepang menandai berakhirnya Perang Dunia II dan memunculkan Amerika Serikat sebagai pemenangnya yang kemudian mendirikan lembaga baru untuk menjaga perdamaian dunia, united nations.

Era Perang Dingin merupakan era dimana politik luar negeri Amerika Serikat mengambil peran besar. Dibentuknya Pakta Warsawa menimbulkan kegelisahan di tubuh

(3)

Amerika Serikat mengenai ketakutan akan munculnya kembali Perang Dunia yang selanjutnya. Para pemimpin Amerika Serikat yang semula tidak mempercayai konsep aliansi, akhirnya membentuk NATO demi mengimbangi aliansi Pakta Warsawa bentukan Uni Soviet. Intervensi Uni Soviet pada Kuba mengakibatkan kembali memanasnya hubungan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Disamping itu, penyebaran ideology komunis juga mempengaruhi kebijakan kongres untuk melakukan intervensi terhadap Vietnam demi mencegah perluasan negara-negara komunis. Hingga akhirnya pada tahun 1—1, keruntuhan Uni Soviet menandai berakhirnya era Perang Dingin yang kembali dimenangkan oleh Amerika Serikat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam sistem negara presidensiil seperti Amerika Serikat, peran eksekutif sangatlah besar dalam setiap proses pengambilan keputusan baik kebijakan dalam negeri maupun luar negeri. Disamping itu, proses pembuatan kebijakan luar negeri juga melalui beberapa tahapan penting sebelum ditetapkan oleh presiden. Dalam dinamika pembuatan kebijakan Amerika Serikat, terdapat istilah khusus dari beberapa institusi yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Iron triangle merupakan sebutan dari tiga komponen utama yang dapat mempengaruhi kebijakan Amerika Serikat, yaitu Kongres, birokrasi, dan kelompok kepentingan. Ketiga institusi tersebut saling berkaitan dalam setiap proses pembuatan kebijakan. Namun, dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri, peran presiden merupakan yang rerbesar dibandingkan ketiga institusi tersebut. Kemampuan Kongres untuk membuat kebijakan luar negeri, bagaimanapun, dibatasi oleh banyak faktor kelembagaan, ideologi, dan situasional. Selain itu, hubungan antara Kongres dan presiden sering diisi dengan konflik, yang mengarah ke kemacetan dan kekacauan dalam pembuatan kebijakan. Kongres, seperti presiden, tidak bebas dan independen dalam upaya untuk membentuk kebijakan luar negeri. Partai-partai politik dalam pemerintahan sering terbelah, yang menyebabkan kemacetan kebijakan. Hal tersebut terjadi karena masing-masing pihak mencoba untuk mengutamakan kepentingan kelompoknya agar tujuan yang mereka inginkan dapat tercapai. Disisi lain, Kongres memiliki peran penting dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri dimana Kongres dapat membatalkan kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat apabila presiden mengeluarkan kebijakan tanpa persetujuan Kongres setelah 3- hari dari ditetapkannya kebijakan tersebut.

(4)

penandatanganan perjanjian, dan penunjukan duta besar. Namun, sering terjadi konflik internal di tubuh pemerintahan Amerika Serikat mengenai kebijakan luar negeri yang berkaitan dengan militer. Seperti konflik antara Obama dan Kongres pada pengambilan keputusan dalam pemberantasan kelompok teroris ISIS. Kongres belum memutuskan untuk memberikan presiden otoritas formal untuk operasi militer sejak tahun 2002 ketika didukung George W. Bush dalam kampanye untuk menyerang Irak setelah pemerintahannya terbukti mendiskreditkan, bahwa pemerintah Saddam Hussein memiliki senjata konvensional.2

Kondisi tersebut memperlihatkan ketidak harmonisan di tubuh internal pemeritahan Amerika Serikat. Meskipun tidak mendapatkan persetujuan dari Kongres, Obama tetap mengirimkan pasukan militer menuju Iraq dan Syria untuk memberantas kelompok teroris ISIS.3 Meskipn

sering terjadi tarik ulur kebijakan antara presiden dan Kongres, presiden tetap mempunyai kuasa penuh dalam penentuan kebijakan politik luar negeri.

A New Obama “Soft Approach”

Barrack Hussein Obama, begitulah nama lengkap seorang pria Afro pertama yang mampu menjadi Presiden Amerika Serikat selama dua periode. Mempuyai latar belakang sebagai ahli hukum, karir politiknya terus menanjak semenjak ia menjadi ketua dari sebuah organisasi massa di negara bagian Chicago, Amerika Serikat. Tidak banyak yang menduga, seorang berkulit hitam tersebut mampu masuk menjadi kandidat presiden Partai Demokrat dan mengalahkan para pesaingnya yang terbilang cukup tenar dalam dunia perpolitikan Amerika Serikat, seperti Bill Clinton. Obama dikenal sebagai orang yang pandai dalam mengolah konflik, atau konflik resolutor. Selain itu, Obama juga dianggap sebagai seorang pemimpin yang lebih mencintai pedamaian dibanding pendahuluya, George W. Bush. Hal ini dapat dilihat dari beberapa konflik yang mampu ia selesaikan tanpa melalui jalur kekerasan. Seperti yang terjadi pada saat masa kampanye presiden pertamanya ketika ia dikaitkan pada masalah rasial akibat kedekatannya pada pendeta radikal kulit hitam Jeremiah Wright. Akibatnya, Obama dituduh sebagai seorang yang rasial seperti apa yang dilakukan oleh Wright. Hal tersebut tentu memicu konflik antara kulit hitam dan kulit putih dimana para pendukung Obama meragukan sikap anti-rasis pada dirinya. Akan tetapi, Obama mampu meredam konflik tersebut melalui pidatonya di Philadelphia pada Maret 2---. Pidato Obama

2 http://www.nytimes.com/2015/02/11/us/obama-to-seek-war-power-bill-from-congress-to-fight-isis.html? _r=0 di akses pada 11-04-2016 15:40

(5)

tersebut berisi bahwa ia mengakui berasal dari kulit hitam, namun ia juga mempunyai keturunan kulit putih, sehingga masalah etnik dan rasial bukan berarti dapat mengganggu rasa cintanya terhadap bangsa Amerika yang terdiri dari multietnis, dan multikulural –Abramsky 2---:16--. Melalui pidato tersebut, Obama berhasil mencegah konflik etnis yang dapat merusak keamanan dalam negeri Amerika Serikat pada masa kampanye presiden 2---.

Disamping itu, selain mampu mengolah konflik dalam negeri Obama juga pandai dalam merumuskan kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang lebih pro pada perdamaian. Beberapa kebijakan Obama yang terbilang “damai” adalah ketika ia memutuskan untuk menarik pasukan militer Amerika Serikat pada Perang Irak dan memperbaiki hubungan bilateral dengan Rusia. Selain itu, kebijakan-kebijakan Obama dalam segi ekonomi juga mampu meningkatkan perekonomian Amerika Serikat secara nasional maupun global. Salah satu kebijakan luar negeri Obama yang terbilang cukup ekstrim ialah kembali membuka hubungan bilateral Amerika Serikat dengan negara komunis, yaitu Kuba. Konflik antaradua negara tersebut telah berlangsung lama semenjak era Perang Dunia II, Perang Dingin hingga masa sekarang. Pada awalnya, hubungan antara Amerika Serikat dan Kuba didasarkan pada sisi ekonomi dimana kedua negara saling melakukan kegiatan ekspor-impor untuk memenuhi kebutuhan negara masing-masing.4 Akan tetapi situasi tersebut tidak lagi terlihat ketika era

Perang Dunia dimulai. Kedua negara terlibat konflik yang mendasar, yakni ideologi. Perbedaan idelogi kedua negara mengakibatkan konflik yang berkepanjangan. Kondisi tersebut semakin memburuk ketika memasuki era Perang Dingin dimana intervensi Uni Soviet pada Kuba semakin memperkeruh dan memperumit konflik yang telah berlangsung. Blokade, embargo, penutupan kantor kedutaan kedua negara, dan pemutusan hubungan bilateral telah berlangsung selama kurang lebih 5- tahun.

Akan tetapi, konflik bilateral tersebut mulai menemukan titik temu pada masa pemerintahan presiden Obama. Melalui soft diplomacy, Obama mencoba untuk menyelesaikan konflik tersebut. Hubungan bilateral kedua negara mulai terlihat membaik saat Amerika Serikat mengumumkan bahwa telah menghapuskan Kuba dari daftar negara pendukung teroris.5 Kebijakan tersebut meningkatkan hubungan bilateral kedua negara,

dimana Amerika Serikat tidak lagi mempermasalahkan pemerintah Kuba yang tetap memegang teguh ideologi komunis. Hubungan bilateral kedua negara terus meningkat dimana kedua negara sepakat untuk membuka kembali kantor kedutaan besar masing-masing

4 Holmes, Ann-Marie. “The United States and Cuba 1----1---“. 2---.

(6)

negara.6 Membaiknya hubungan bilateral kedua negara juga diikuti dengan meningkatnya

jumlah migran dari Kuba menuju Amerika Serikat. Para migran Kuba yang dulunya kesulitan untuk memasuki wilayah Amerika Serikat, kini menjadi lebih mudah dengan kembali dibukanya kantor kedutaan besar Kuba di Amerika Serikat.

Gambar 1. Grafik peningkatan jumlah migran Kuba menuju Amerika Serikat.7

Peningkatan jumlah migran tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu indicator penting dalam perkembangan hubungan bilateral Amerika Serikat dan Kuba, hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada lagi sekat yang membatasi kedua negara untuk melaksanakan hubungan bilateral. Disisi lain, peningkatan jumlah migran tersebut juga mendorong peningkatan keuntungan di bidang ekonomi dimana Amerika Serikat yang membutuhkan banyak tenaga kerja dan Kuba yang membutuhkan tambahan devisa negara melalui para migran tersebut.Washington harus serius merubah pemrograman demokrasi saat ini dengan memperluas ruang lingkup untuk menyertakan lebih beragam sektor masyarakat sipil, termasuk kelompok kerja dalam aturan permainan untuk memprovokasi debat dan reformasi, serta sektor usaha kecil, membuat hibah yang lebih transparan, dan mengurangi dukungannya

6 ibid

(7)

kepada kelompok pengasingan membungkuk pada perubahan rezim.8 Pendekatan yang

dilakukan Obama dalam usahanya untuk kembali menjalin hubungan dengan Kuba dilakukan melalui cara-cara sederhana yang mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah Kuba itu sendiri. Dalam tahap awal, Obama mengizinkan perusahaan telekomunikasi AS untuk menyediakan lebih banyak layanan seluler dan satelit di Kuba dan memungkinkan warga AS untuk mengirimkan uang kepada anggota non-keluarga di Kuba dan bepergian ke sana di bawah lisensi untuk tujuan pendidikan atau agama.9 Melalui cara-cara seperti itulah Obama

melakukan dipomasi dengan Kuba untuk normalisasi hubungan bilateral kedua negara. Kunjungan Obama ke Kuba juga menjadi salah satu pretasi besar dalam konteks normalisasi konflik bilateral Amerika Serikat dan Kuba. Keberanian Obama dalam melakukan normalisasi tersebut dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk kembali menghidupkan perekonomian kedua negara yang dulu pernah berlangsung.

Disisi lain, Presiden Kuba yaitu Raul Castro juga menekankan bahwa tujuan utamanya pasca normalisasi hubungan bilateral dengan Amerika Serikat adalah memperbaiki identitas internasional mereka yang dipandang buruk oleh beberapa negara sekutu Amerika Serikat.10 Selain itu, Raul Castro juga menegaskan akan melakukan hal yang sama seperti

dengan Amerika Serikat untuk meningkatkan hubungan multilateral Kuba dengan berbagai negara. Reformasi Castro sendiri juga telah membantu menumbuhkan sektor swasta. Hari ini sekitar 500.000 orang Kuba, atau 10 persen dari angkatan kerja, yang terdaftar untuk bekerja di perusahaan swasta, termasuk restoran, bengkel perbaikan mobil, rumah disewakan untuk wisatawan, salon kecantikan dan sekolah bahasa Inggris.11 Reformasi yang dilakukan oleh

Castro tersebut mendapatkan dukungan dari Obama agar praktik demokrasi di Kuba dapat segera dilaksanakan. Pendekatan yang dilakukan Obama untuk mendukung demokratisasi di Kuba dengan cara memfasilitasi masyarakat Kuba melalui investasi di sektor komunikasi dan pendidikan untuk lebih meningkatkan wawasan masyarakat mengenai demokrasi itu sendiri. Akan tetapi, Obama tidak memaksakan proses demokratisasi di Kuba berjalan dengan cepat dan tetap menghargai pemerintah Kuba dalam menjalankan pemeritahannya, "Tidak semua orang setuju dengan saya ini, tidak semua orang setuju dengan orang-orang Amerika ini, tapi saya percaya hak-hak asasi manusia yang universal. Saya percaya hak-hak rakyat Amerika,

8 Ted Piccone. ”United States-Cuba Normalizations: Strategic Implications for U.S. National Security”. 2---. Florida International University. Miami, Florida. Page 6

9 http://www.cfr.org/cuba/us-cuba-relations/p11113 di akses pada 10-04-2016 20:45

10 Ted Piccone. ”United States-Cuba Normalizations: Strategic Implications for U.S. National Security”. 2---. Florida International University. Miami, Florida. Page 4

(8)

orang-orang Kuba dan orang-orang di seluruh dunia,".12 Dengan kata lain, Obama melakukan

normalisasi hubungan bilateral dengan Kuba melalui jalur yang berbeda dengan beberapa presiden sebelumnya. Invasi militer, embargo, blokade, dan tindakan-tindakan lain yang tergolong hard diplomacy atau military aspects tidak berhasil untuk “menundukkan” Kuba. Namun, Obama dengan tangan dingin dan kemampuannya sebagai konflik resolutor dapat memberikan sebuah titik terang bagi keberlangsungan hubungan bilateral antara Amerika Serikat dan Kuba.

Dibukanya kembali kantor kedutaan besar di kedua negara memunculkan harapan baru terhadap perdamaian dunia yang diimpikan oleh seluruh negara di dunia. Rezim Fidel Castro yang dikenal sangat antipati terhadap kapitalisme Amerika Serikat, sedikit demi sedikit mulai meluntur seiring dengan berpindahnya kekuasaan Kuba ke tangan Raul Castro. Reformasi pemerintahan secara perlahan mulai terjadi, mulai dari peningkatan akses terhadap pendidikan, kesehatan, pembukaan lapangan pekerjaan baru memberikan dampak positif terhadap perkembangan negara Kuba itu sendiri. Selain itu, dukungan dari Obama bagi Raul Castro untuk terus melanjutkan reformasi tersebut menjadikan salah satu faktor penting dalam usaha Amerika Serikat untuk menjalin hubungan bilateral yang lebih harmonis terhadap Kuba.

Disisi lain, keberhasilan Obama dalam kembali menjalin hubungan dengan Kuba memberikan peningkatan pada sektor regional security di kawasan Amerika Serikat dan Amerika Latin. Intervensi asing terhadap Kuba pun juga dapat diatasi tanpa melalui jalur kekerasan. Pemerintah Amerika sendiri berharap bahwa pendekatan-pendekatan yang dilakukan terhadap Kuba akan memberikan dampak positif terhadap hubungan jangka panjang antara Washington dan Havana. Dengan dibukanya kembali hubungan diplomasi antara Amerika Serikat dan Kuba, maka akan memperkecil konflik fisik yang terjadi. Hal tersebut dikarenakan kedua belah pihak telah menyetujui untuk meningkatkan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia. Proses demokratisasi Kuba secara perlahan mulai menemukan titik terang terus mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat yang berkeinginan untuk merubah masyarakat Kuba menjadi lebih demokratis. Selain itu, perbebaan ideologi yang menjadi dasar dari konflik bilateral tersebut lama-kelamaan dapat memudar seiring dengan meningkatnya proses demokratisasi di Kuba. Dengan kata lain, perbedaan ideologi tidak lagi menjadi suatu permasalahan yang fundamental bagi kedua belah pihak maupun keseluruhan negara di dunia.

(9)

Referensi

Abramsky, Sasha. “Inside Obama’s Brain”. 2---. Penguin Group USA Inc.

(10)

Holmes, Ann-Marie. “The United States and Cuba 1----1-5-“. 2---. Diplomacy and Military Studies

Paterson, Thomas G. “U.S. Intervention in Cuba,1---: Interpreting the Spanish-American-Cuban-Filipimo War”. 1---. OAH Magazine of History

Leogrande, William. “Normalizing US-Cuba Relations: Escaping the Shackles of the Past”. 2-15. The Royal Institute of International Affairs

https://www.whitehouse.gov/issues/foreign-policy/cuba

http://www.cfr.org/cuba/us-cuba-relations/p11113

http://foreignpolicy.com/2015/08/14/u-s-cuba-diplomacy-replace-interests-section-embassy-havana/

http://www.migrationpolicy.org/article/cuban-immigrants-united-states

Gambar

Gambar 1. Grafik peningkatan jumlah migran Kuba menuju Amerika Serikat.7

Referensi

Dokumen terkait

Cairan transeluler merupakan cairan yang disekresikan dalam tubuh terpisah dari plasma oleh lapisan epithelial serta peranannya tidak terlalu berarti dalam keseimbangan cairan

sesuatu yang berkaitan dengan uraian tugas yang telah ditetapkan. - Tanggung

Menurut Harahap (2004:190), Analisis Laporan Keuangan mengurai pos- pos laporan keuangan menjadi unit informasi yang lebih kecil dan melihat hubungannya yang bersifat

Penelitian ini membuktikan, bahwa untuk memprediksi distress keuangan perusahaan publik sektor non keuangan Indonesia dapat menggunakan beberapa rasio keuangan satu tahun

Adapun prinsip kerja dari hall effect sensor adalah : (a) Magnet yang berada pada kabel yang berarus di deteksi menggunakan bagian IC yang peka terhadap magnet.(b) Magnet

Usahakan berkomunikasi dan bergaul dengan peserta lain selama program karena dengan berbagi cerita bisa belajar dari peserta lain dan membentuk pertemanan yang solid sehingga

Perancangan power supply dalam sistem ini harus sesuai dengan kebutuhan arus dan tegangan yang sesuai dengan spesifikasi komponen – komponen utama yang merupakan

& Fatwa Online; Ragam Ekspresi Islam Indonesia Kontemporer. Buku ini ditulis oleh Greg Fally dan Sally White, hasil dari penelitian tahun 2008 yang dilakukan