Surakarta, 2-5 November 2009
PARADI GMA USHUL FI QI H MULTI KULTURAL DI I NDONESI A
Oleh: Dr. Moh. Dahlan, M.Ag.1
A. PENDAHULUAN
I ndonesia adalah sebuah bangsa yang komposisinya sangat beragam, baik ras, agama, aliran kepercayaan, bahasa, adat istiadat, orientasi kultur maupun pandangan hidupnya. Keragaman ini (baca: multikultural) memerlukan paradigma berpikir baru. Sebab, keragaman it u, khususnya dalam agama, dapat menimbulkan berbagai konflik.2 Konflik terbuka ant ar (umat) agama itu muncul lantaran adanya paham keagamaan yang eksklusif walaupun bukan sat u-sat unya penyebab. Namun, agama telah memberikan
kontribusi besar terhadap munculnya konflik di beberapa daerah. 3
Konflik ant ar agama itu perlu diselesaikan dengan merumuskan paradigma baru yang bisa mengantarkan umat beragama bisa hidup damai, toleran dan saling menghormati, terutama umat I slam sebagai kaum mayoritas. Karena it u, umat I slam perlu merumuskan paradigma ushul fiqih multikultural yang diharapkan
mampu untuk menjawab kepentingan kultural kemanusiaan yang beragam t ersebut. 4
B. KERANGKA BERPI KI R
I stilah multikultural adalah gabungan dari kata multy (banyak) dan cultur (budaya). Multikultural secara singkat, adalah sebuah paradigma tentang kesetaraan semua ekspresi budaya.5 Dalam tradisi keilmuan, multikulturalitas teradapat dua orientasi, yaitu Pertama, multikulturalitas statis yang berarti suatu pandangan mengenai keragaman yang berisfat fragmentatif, keragaman itu menjadi serpihan-serpihan budaya yang berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan spesifikasi masing-masing. Kedua, multikult uralit as dinamis yang berarti bahwa dalam beragam budaya at au t radisi terjadi interkulturalitas. I dentitas baru yang dikonstruksi tidak lagi terkungkung pada lokalitas tertentu, tetapi menekankan kolektivitas identitas lokalitas masing-masing kelompok identitas yang telah mengalami kondisi fragmentasi.6
C. PROBLEMATI KA KEMAJEMUKAN MASYARAKAT I NDONESI A
Secara umum, masyarakat itu merupakan eksistensi yang hidup dan dinamis yang dapat membent uk pranata dan tanggung jawabnya sendiri.7 Dinamika kehidupan ini menj adi tuntutan tersendiri unt uk membangun budaya yang berwawasan multikult ural di I ndonesia. Hal ini didasari beberapa alasan. Pertama,
manusia diciptakan dalam keanekaragaman budaya. Kedua, dalam banyak kasus konflik sosial yang
bernuansa SARA (suku, agama, dan ras) pada dasawarsa terakhir ditengarai berkaitan erat dengan masalah
kebudayaan (lihat: AlQadrie, 2005 dan Rahman, 2005). Ketiga, pemahaman terhadap multikult uralisme
merupakan kebutuhan bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi t antangan global (baca: Samuel P. Huntington, 1993).8
Dalam hal konflik agama, para peneliti t ermasuk Thomas Santoso menyebutkan bahwa terj adinya pengrusakan rumah ibadah disebabkan adanya pemahaman keagamaan yang dangkal walaupun agama bukan sat u-sat unya penyebab konflik dan kekerasan, sebagaimana t emuan Riza Sihbudi. Di atas semua itu,
1
Penulis adalah Dosen Universitas Darul ‘Ulum Jombang Jawa Timur, HP 08179403094
2
M. Amin Abdullah, St udi Agama (Yogyakart a: Pust aka Pelaj ar,1996), hlm. 5; Achmad Syahid, “Pet a Ker ukunan Umat
Beragama Propinsi Bengkulu” ( Seri I I ), dalam Riuh Di Beranda Sat u, ( Jakarta: Depag RI , 2003), hlm. 1-2.
3
Syamsul Arif in, Silang Sengkarut Agama di Ranah Sosial Tent ang Konf lik, Kekerasan Agama dan Nalar Mult ikulturalisme,
(Malang: UMM Press, 2009) , hlm. 13; Hendrizal, Keragaman dan Pendidikan Multikult ural,ww w. analisadaily.com/ index.
diakses 01-06-2009.
4
Akh. Minhaj i, Hukum I slam: Antara Profanit as dan Sakralitas, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fak. Syari’ah UI N Sunan Kalijaga Yogyakart a, 2004, hlm. 33-34; Gr eg Barton, Gagasan I slam Liberal di I ndonesia, terj . Nanang Tahqiq (Jakarta:
Berbasis Mult ikult ural”, Agust us 2008, dalam Arsip Blog.
6
Tadj oer Ridjal Baidoeri, “ Ragam Reaksi Akult uratif Masuknya I de-ide Baru dalam Dunia Pesantren” dalam Makalah
Lokakarya Nasional Pengasuh Pondok Pesant ren se-Jawa Timur, diselenggarakan oleh FAI Univ Darul ’Ulum Jombang
Kerj asama dengan Puslitbang & Diklat Depag RI , 12-13 Agust us 2009, hlm. 13-15.
Surakarta, 2-5 November 2009
beragam konflik yang tumbuh subur pada dasawarsa terakhir ini lantaran pada zaman Orde Baru, dengan jargon “persatuan” dan “kesatuan” yang dikawal serdadu berusaha untuk menghapus segala potensi bent uran
at as dasar suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).9
Untuk menjawab hal tersebut adalah dengan merumuskan paradigma berpikir multikulural, yakni paradigma berpikir yang bisa menghormati, t ulus dan toleran terhadap keanekaragaman budaya, bukan paradigma monokultural yang mengabaikan keragaman10 dan t elah mendorong munculnya pola pikir radikal, ekstrim, dan berlebihan.11 Salah satu persoalan krusial dalam kehidupan religius bangsa I ndonesia adalah pemikiran mayoritas bangsa I ndonesia yang beragama I slam, yakni pemikiran ushul fiqih yang perlu untuk selalu diperbarui agar terbangun pola hidup dan amalan praktis fiqih kaum Muslim yang bisa menghormati, tulus dan toleran terhadap keragaman budaya, agama, dan hal lain.
C. DESKRI PSI TENTANG SYARÎ ‘AH, FI QH DAN USHUL FI QI H
Pert ama, secara etimologis, syara‘a berarti “menggambar jalan yang j elas menuj u ke sumber air”,12 sedang secara t erminologis, syarî‘ah memiliki arti sebagai ketentuan hukum yang ditetapkan Allah yang diperuntukkan bagi hamba-Nya untuk diikuti.13 Dalam arti ini juga t ercakup aturan hukum yang diwahyukan dalam al-Qur’an; lalu aturan yang terkandung dalam al-Hadîts (verbal traditions), dan selanjutnya tafsir, pendapat-pendapat, ijtihad (personal opinion), fatwa (religious opinion) ulama, dan keputusan-keputusan hakim.14 Kedua, secara harfiah, fiqh berarti “ pemahaman yang mendalam t entang tujuan suatu ucapan dan perbuatan”.15 Secara istilah, fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syara‘ yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili melalui penalaran.16Ketiga, ushul fiqih adalah ilmu yang membahas
tentang sumber-sumber pokok dan metode-metode pengambilan kesimpulan atau istimbat hukum I slam. Para
fuqaha’ melakukan usahanya untuk menemukan pemecahan di bidang hukum dari sumber-sumber dan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah.17 Menurut Syekh Kamaluddin I bn Himam, ushul fiqih adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk menggali hukum-hukum fiqih. Atau dengan kata lain disebutkan bahwa kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara pengambilan hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’ î.18
D. Pergeseran Paradigma Ushul Fiqih: Dari Ushul Fiqih Monokultural ke Ushul Fiqih Multikultural
1. Sumber Fiqh Monokultural dan Multikultural
‘Abd al-Wahhâb Khallâf mengatakan bahwa teks (nashsh) al-Qur’an keseluruhannya adalah qath‘î19 baik
dari sisi turunnya, ketetapannya maupun penukilannya dari Nabi Muhammad saw. pada umatnya. Teks
9
Arifin,Silang Sengkarut...., hlm.13-14; htt p: / / w ww.shaleholic.com.diakses 01-06-2009.
10
dalam dalam MakalahLokakarya Nasional Pengasuh Pondok Pesant ren se-Jaw a Timur, diselenggarakan oleh FAI Univ
Darul ’Ulum Jombang Kerjasama dengan Puslit bang & Diklat Depag RI , 12-13 Agustus 2009, hlm. 3.
12
Machnun Husein (Jakart a: Raj aw ali Pers, 1995), hlm. 325.
18
Abu Zahrah, Ushul Fiqih..., hlm.3.
19
Surakarta, 2-5 November 2009
Qur’an itu diturunkan Allah pada Nabi untuk disampaikan pada umatnya tanpa ada perubahan dan penggantian sedikit pun.20 Sement ara al-Sunnah (al-Hadîts) sebagai sumber kedua j uga memiliki nilai qath‘î t etapi berbeda dengan al-Qur’an. Dalam al-Sunnah, ada yang qath‘î al-wurûd (memiliki validitas kuat datangnya dari Nabi; al-Sunnah al-Mutawâtirah) dan zhannî al-wurûd (t idak memiliki validitas kuat datanganya dari Nabi; al-Sunnah al-Ahâd).21
Fuqaha’ monokultural menyat akan bahwa t eks al-Qur’an t erbagi menjadi dua bagian: Pert ama, qath‘î al-dilâlah adalah t eks yang memiliki pengertian yang j elas dan tidak menimbulkan ta’wîl sert a tidak ada jalan untuk dipahami selain dari arti yang jelas itu. Kedua, zhannî al-dilâlah adalah teks yang memiliki suatu pengertian, tetapi masih dapat menimbulkan ta’wîl atau dapat diubah dari pengertian aslinya kepada pengertian lain.22 Dalam tradisi fuqaha’ ini, ”budaya teks” masih menjadi satu-satunya ukuran untuk menilai dan menet apkan ketent uan hukum/ fiqih.23
Sementara itu, fuqaha’ multikultural mengatakan bahwa teks al-Qur’an adalah firman literal dan final dari Allah, sedang Nabi Muhammad saw selama menyampaikan misinya sering menjelaskan dan mengelaborasi arti atau makna teks al-Qur’an, dan menambahkan keputusan-keputusannya melalui perkataan (statemen) dan perbuatan (action) sert a persetujuannya pada para pengikut nya (sahabat Nabi) berdasarkan kepentingan kultural ( kemaslahatan) umat. Keputusan Nabi ini kemudian dikenal sebagai al-Sunnah yang dijadikan sumber kedua oleh umat I slam.24
2. Paradigma I jtihad Fiqih Monokultural dan Multikultural
Dalam perspektif historis, sistem kenegaraan yang diterapkan Nabi Muhammad saw dengan Piagam Madinahnya menj adi dasar hukum fiqih bagi legalitas multikulturalisme. Piagam Madinah ini adalah konsesi
atas Hijrah Nabi Muhammad saw yang menemukan kondisi sosiologis Madinah berbeda dengan di Makkah.25
Dalam perkembangannya setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, proses pembentukan hukum fiqih mulai mengalami perdebatan seputar peran kultur (yang berasaskan kemaslahat an umat) dan wahyu (yang berasaskan teks/ nash) yang telah menimbulkan perdebatan yang hangat antara Umar ibn al-Khatt ab dengan sahabat Nabi lainnya dalam masalah bagian muallaf dan pembagian hart a rampasan perang. Umar berpij ak pada kepentingan kult ur al masyarakat setempat, sementara sahabat lainnya bersikukuh pada t radisi formal-legalistik.26 Perkembangan perdebatan fiqih di dunia I slam, khususnya di I ndonesia, juga tidak lepas dari persoalan peran teks dan kultur tersebut. 27
Tarik menarik antara peran teks dan kult ur menimbulkan polarisasi paradigmatik dalam pembaruah fiqih, yakni: Pertama, paradigma ushul fiqih multikultural yang berupaya melahirkan kaidah dan rumusan
fiqih yang sesuai dengan kepentingan kultural manusia yang berwawasan kemaslahatan. Kedua, paradigma
ushul fiqih monokultural yang melet akkan nas-nas al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar pijaknya dalam
menjawab masalah-masalah baru, dan akal dianggap t idak mampu menafsirkan nas-nas al-Qur’an dan
Political Conditions and Script ural I mperatives”, Harvard Human Rights Journal 3 (1990), hlm. 17; Abdullahi Ahmed
An-Na‘im, “ The Cont ingent Universality of Human Right s: The Case of Freedom of Expression in African and I slamic
Contexts” , Em ory I nt ernational Law Review 11 ( 1997), hlm. 49.
25
Mustat o’, “Pendidikan Agama I slam Berbasis Multikult ural”, Agustus 2008, dalam Arsip Blog.
Surakarta, 2-5 November 2009
Sunnah yang j elas dan rinci. Demikian juga kultur tidak memiliki peran strategis dalam merumuskan ketentuan fiqih.28
3. Mujtahid Yang Berw aw asan Monokultural dan Multikultural
I jt ihad merupakan usaha yang sungguh-sungguh dari mujtahid dalam menemukan hukum-hukum
syar‘î. Mujtahid harus memenuhi tiga syarat: Pertama, pengerahan segala kemampuan dari muj tahid. Kedua, usaha yang sungguh-sungguh itu adalah untuk mencari hukum-hukum syar‘î yang bersifat zhannî. Ketiga, pencarian hal-hal yang zhannî itu adalah dari t eks syar‘î (al-Qur’an dan al-Sunnah).29
Syarat mujt ahid meliputi beberapa hal berikut: Pertama, syarat umumnya adalah baligh, berakal, memahami masalah, dan beriman. Kedua, syarat utamanya adalah menget ahui bahasa Arab, ilmu ushul fiqih, ilmu mantiq (logika), dan mengetahui hukum asal. Ketiga, syarat yang pokok adalah mengetahui al-Qur’an, al-Sunnah, maqâsid al-syar‘î,asrâr al-syar‘î, dan mengetahui qawâid al-fiqhiyyah.30
Adapun muj tahid meliput i t iga tingkatan: Pertama, mujtahid al-madzhab adalah seorang muj tahid yang mengikuti (yuqallidu) t eori ijt ihad dari salah satu imam madzhab, sedangkan produk hukumnya boleh
berbeda. Kedua, mujt ahid al-mas’alah adalah seorang mujtahid yang boleh melakukan ijtihad dengan hanya
berbekal pengetahuan yang berhubungan dengan satu persoalan yang akan dipecahkan dan produk
hukumnya boleh berbeda. Ketiga, mujt ahid al-mutlaq adalah seseorang yang memiliki kemampuan
mencetuskan teori dan rumusan ketentuan hukum syar‘î. Di luar tiga hal tersebut adalah muqallid, yang t indakannya sering disebut “taqlîd”. 31
Salah satu contoh gagasan ijtihad yang ideal adalah ijtihadnya Umar yang menempatkan gagasan fiqihnya yang berbasis kultural, kepent ingan penduduk setempat, dalam masalah harta rampasan perang (baca: al-Qur’an 59: 6-10). Gagasan Umar itu mengakomodasi adanya pluralitas kepentingan masyarakat setempat, sehingga ia dapat mengamalkan pesan living tradit ion dari Nabi, ia mengikuti Sunnah Nabi dalam wuj ud t indakan baru yang sudah mengalami the autonomisation of action –meminjam istilah Ricoeur- dari pelaku aslinya, Nabi. 32
Dalam tradisi ijtihad Imam Madzhab, ada apresiasi luar biasa t erhadap kepentingan kultural kemanusiaan melalui urf. Misalnya, I mam Hanafi menolak qiyâs demi mempertahankan urf/ tradisi yang baik. Demikian juga I mam Malik menempatkan urf sebagai salah satu sumber hukum fiqih yang valid.
Sementara Imam Syafi’i yang menggagas qaul qadim dan qaul jadid pada hakikatnya juga memiliki
perhatian terhadap aspek kult ural/urf. 33
Dalam kehidupan I ndonesia, pola pikir Umar dan para imam madzhab memiliki arti penting unt uk memberikan sumbangan penting bagi bangsa I ndonesia yang mayoritas beragama I slam agar mereka memiliki paradigma (fiqih) I slam yang berwawasan multikultural, bukan paradigma (fiqih) I slam yang bertitik tolak pada pemikiran dogmatik-spekulatif, dan bukan pula paradigma berpikir yang hanya berpij ak pada akar pemikiran rasional dan empiris.34 Hal ini penting untuk menjawab kelemahan padarigma ushul fiqih di I ndonesia yang monolit ik (single entities) dan berwawasan taqlid.35
28
Ada dua paradigma int erpretasi: Pert ama, penafsiran mult ikult ural yang berlandaskan kont eks baik kont eks kalimat
ataupun kont eks kult ur al (konteks t urun at au kekiniannya). Kedua, penafsiran monokult ural yang berlandaskan nas-nas
al-Qur'an yang j elas dan rinci. Jalaluddin Rakhmat , “Tinjauan Krit is Atas Sejarah Fiqh” dalam Budhy Munawar-Rachman
(ed.), Kont ekst ualisasi Dokt rin I slam Dalam Sejarah (Jakart a: Paramadina, t.t h.), hlm. 8-10; Al- Syat hibi, Al-Muwafaqat
Pengant ar”, dalam Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir ( Yogyakarta: Pust aka, 2003), hlm. xii.
Surakarta, 2-5 November 2009 E. Menuju Paradigma Ushul Fiqih Mult ikultural
Rasulullah SAW mengaj arkan prinsip integrasi sosial unt uk membangun masyarakat yang beradab. I a mengatakan bahwa aj aran fiqih I slam harus menjadi rujukan nilai, pengetahuan dan tindakan bagi kaum Muslim untuk berta’aruf dengan keompok-kelompok lain di dalam masyarakat yang berbeda baik dalam hal agama, sosial maupun budaya.36 Unt uk itu rumusan paradigma ushul fiqih yang relevan adalah “ushul fiqih multikultural” yang diyakini dapat memproduk hukum-hukum fiqih yang aspiratif dan akomodatif terhadap pluralit as kultural/ kepent ingan kemanusiaan, sehingga umat manusia mendapatkan posisi yang setara tanpa membedakan ras, agama, jenis kelamin dan keturunan.
Paradigma ushul fiqih multikultural itu berdasarkan al-Qur’an: Pertama, surat al-Hujurat yang
menempatkan manusia secara setara.37Kedua, surat ar-Rum yang memberikan keabsahan bahwa perbedaan
warna kulit, bahasa, dan budaya harus diterima sebagai sesuatu yang positif dan merupakan tanda-tanda dari kebesaran Allah swt.38 Ketiga, surat al-kafirun yang menetapkan prinsip saling menghargai antar pemeluk agama.39 Keempat, surat Yunus dan al-Nahl yang memberikan ruang yang terbuka bagi pola hubungan di antara sesama manusia, termasuk hubungan ant ar agama, etnis, suku, bangsa, dan budaya berdasarkan asas
kerelaan/ kesetaraan kepent ingan tanpa ada pemaksaan.40 Dengan demikian, paradigma ushul fiqih
multikultural ini berusaha menempatkan nilai-nilai kult ural dan memberikan kesempatan kepada setiap generasi untuk memberikan terobosan baru unt uk mencapai suat u pengetahuan hukum fiqih yang berbasis keragaman kepentingan kutlural. Pertimbangan kepentingan kultural memperoleh tempat yang layak.
Dalam konteks ini, penulis perlu mengemukakan perbedaan ketentuan fiqih monokultural dengan ketentuan fiqih multikultural. Ket entuan fiqih monokult ural menandaskan bahwa: Pertama, pembedaan stat us kewarganegaraan berdasarkan asas agama dan gender. Kedua, pembedaan dej arat saksi berdasarkan jenis kelamin atau agama. Ketiga, pembedaan dalam persoalan pernikahan, perceraian dan dzimmî.41 Sementara itu ketent uan fiqih multikultural menandaskan bahwa persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan harus ditegakkan di depan hukum. Demikian juga persamaan kedudukan non-Muslim, baik dalam persoalan hukum pidana, persaksian maupun perdata.42
Dari uraian t ersebut, fiqih yang berwawasan multikult ural memiliki arti penting karena
masyarakat/ bangsa I ndonesia terdiri dari berbagai golongan yang berbeda secara etnis, sosial, politis, ekonomis, keagamaan, dan kultural. Masyarakat yang seperti ini memerlukan ketentuan fiqih yang akomodatif dan apresiatif terhadap keragaman tersebut. Karena it u, ident itas hukum fiqih dapat diperluas berdasarkan keragaman identitas yang berkembang di masyarakat. Sebab, identitas yang diharapkan bukanlah identitas yang statis tetapi identitas yang dinamis.43 Keragaman yang ada yang berlandaskan identitas keagamaan itu diharapkan oleh paradigma ushul fiqih multikult ural ini akan bersinergi, sehingga keberagaman identitas tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi keragaman ident itas baik budaya, agama, maupun kult ur sama-sama semakin diperluas dan diperkaya.
F. Kesimpulan
Arti penting paradigma ushul fiqih multikultural adalah sebagai berikut: Pert ama, ia menekankan pada pengambilan nilai-nilai dasar kultural kemanusiaan sebagai prinsipnya dalam merumuskan hukum (fiqih) I slam. Kedua, ia mendorong kaum Muslim unt uk selalu menangkap realitas aktual kekinian. Konsekuensinya, perlu pergeseran paradigma dari ushul fiqih monokultural ke ushul fiqih multikultural. Ketiga, ia dapat melahirkan produk hukum yang mampu menghargai dan menghormati adanya keragaman gaya hidup bangsa
Globalisasi: Tantangan dan Upaya Merumuskan Kembali Orient asi St rategi dan Kur ikulum. Kerjasama FAI -UMM dengan
AI PUM Malaysia, di UMM, tgl 22-23 Juni 2007, hlm. 3.; lihat juga Moh Dahlan, “ Gagasan Ushul Fiqih Pluralis”…,
Surakarta, 2-5 November 2009
at au masyarakat I ndonesia yang mendesak di tengah arus gerakan keagamaan yang sering hanya mengedepankan unsur normatif fiqih tanpa mengikut kan unsur keragaman historis fiqih, tradisi/urf.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, Yogyakarta: Pustaka, 2003
Abdullah, M. Amin, Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996.
Abdullah, Taufik, dan M Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.
Abû Zahrah, Muhammad, Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, t.th.. , Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Akh. Minhaji, Hukum I slam: Ant ara Profanitas dan Sakralit as, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fak. Syari’ah UI N Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004
al- Zukhailî, Wahbah, Ushûl al-Fiqh al-I slâmî Jilid I I , Beirut : Dâr al-Fikr, 1986.
Ali, A. Mukti, Alam Pikiran I slam Modern di I ndia dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1998. al-Jashshâsh, Abî Bakar Ahmad al-Râzî, Ahkâm al-Qur’ân Jilid I I , Beirut: Dâr al-Fikr, 1993. al-Qardlâwî, Yûsuf, Madkhal li Dirâsah al-Syarî‘ah al-I slâmiyyah, Kairo: Maktabah Wahbah, 2001. al-Syâfi‘î, Muhammad bin Idrîs, Al-Risâlah Ahmad Muhammad Sakir (ed.), Beirut: Dâr al-Fikr, t.t h. Al-Syat hibi, Al-Muwafaqat fî Ushul al-Syari’ah Jilid I (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997)
al-Syawwâf, Muhâmî Munîr Muhammad Thâhir, Tahâfut Qirâ’ah Mu‘âshirah, Cyprus: Al-Syawwâf li al-Nasyr wa al-Dirâsât, 1993.
An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Toward an I slamic Reformation: Civil Liberties, Human Right s and I nternational Law, Syracuse: Syracuse University Press, 1990.
Arifin, Syamsul, Silang Sengkarut Agama di Ranah Sosial Tentang Konflik, Kekerasan Agama dan Nalar Multikulturalisme, Malang: UMM Press, 2009.
Baidowi, Ahmad, M. Affan dan Ach. Baidowi Amiruddin (peny.), Rekonstruksi Metodologi I lmu-Ilmu Keislaman,
Yogyakart a: SUKA-Press, 2003.
Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin I slam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, t .th.)
Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal, terj. Bahrul Ulum (Jakarta: Paramadina, 2001).
Dahlan, Moh, Epist emologi Hukum I slam: Studi Atas Pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im, Disertasi S-3 : UI N Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006.
Djamil, Fathurahman, Filsafat Hukum I slam, Logos, 1997.
Donohue, John J., dan John L. Esposito (peny.), I slam dan Pembaruan, terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawali Pers, 1995.
Greg Barton, Gagasan I slam Liberal di I ndonesia, terj . Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999). Haroen, Nasrun, Ushul Fiiqh I, Jakarta: Logos, 1997.
Hasan, Ahmad, The Early Development of I slamic Jurisprudence, I slamabad: I slamic Research I nstitute, 1970. I mâm, Muhammad Kamâl al-Dîn, Ushûl al-Fiqh al-I slâmî, I skandariyah: Dâr al-Mathbû‘ al-Jâmi‘iyyah, t.th. Khallâf, ‘Abd al-Wahhâb, ‘Ilmu Ushûl al-Fiqh, Kairo: Dâr al-Qalam, 1978.
, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-I slâmî, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1972.
Nafis, Muhammad Wahyun, (ed.), Kont ekstualisasi Ajaran I slam, Jakarta: Paramadina, 1995.
Rahman, Fazlur, I slam, Garden City: Anchor Books, 1968.
Ricoeur, Paul, Hermeneutics and the Human Sciences, John B Thompson (terj. & ed.), Cambridge: Cambridge University Press, 1982.
Riuh Di Beranda Sat u, Jakarta: Depag RI, 2003.
Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: Gunung Mulia, 2004.
Syah, I smail Muhammad, et al. (peny.), Filsafat Hukum I slam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992. Syalt ût, Mahmûd, Al-I slâm: ‘Akîdah wa Syarî‘ah, t.t: Dâr al-Qalam, t. th..
Syarifuddin, Amir, Pembaruan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1990.
B. Makalah, Jurnal, I nternet, dan lainnya Al-Jâmi’ah No. 62 dan 39:2 Yogyakarta, 2001 al-‘Adalah, Vol 10 N0 2, Jember: STAI N Press, 2007.
Surakarta, 2-5 November 2009
Baidoeri, Tadjoer Ridj al, “Ragam Reaksi Akulturatif Masuknya I de-ide Baru dalam Dunia Pesantren” dan
Muchlis M Hanafi, ”Konsep al-Wasathiyyah dalam I slam” dalam Makalah Lokakarya Nasional
Pengasuh Pondok Pesantren se-Jawa Timur, diselenggarakan oleh FAI Univ Darul ’Ulum Jombang Kerj asama dengan Puslitbang & Diklat Depag RI , 12-13 Agustus 2009.
Emory I nt ernational Law Review 11 (1997) Gerbang, Vol. 06, No.03. 2000 Harvard Human Rights Journal 3 ( 1990)
htt p:/ / re-searchengines.com/ muhaemin6-04.html. diakses 01-06-2009.
htt p:/ / www.shaleholic.com.diakses 01-06-2009.
Jurnal al-‘Adalah Vol 9 No 3, Jember: STAI N Press, 2006. Jurnal Citra I lmu, Temanggung: STAI NU Press, 2008.
Mustato’, “Pendidikan Agama I slam Berbasis Multikultural”, Agust us 2008, dalam Arsip Blog.
Seminar I nternasional di Era Globalisasi: Tantangan dan Upaya Merumuskan Kembali Orientasi Strategi dan Kurikulum. Kerjasama FAI -UMM dengan AI PUM Malaysia, di UMM, t gl 22-23 Juni 2007.