• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERILAKU KOMPLAIN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEPUASAN DAN LOYALITAS PELANGGAN JASA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERILAKU KOMPLAIN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEPUASAN DAN LOYALITAS PELANGGAN JASA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU KOMPLAIN DAN PENGARUHNYA

TERHADAP KEPUASAN DAN LOYALITAS

PELANGGAN JASA

Nunung Ghoniyah

Fakultas Ekonomi Universitas Islam Sultan Agung Semarang Nunungghoniyah@yahoo.com

ABSTRACK

Artikel ini menjelaskan tentang bagaimana perilaku komplain yang dilakukan konsumen, penyebabnya dan bagaimana pengaruhnya terhadap kepuasan pelanggan setelah melakukan komplain. Beberapa hasil riset menyebutkan bahwa terdapat pengaruh antara kegagalan jasa dan ketidakpuasan dengan perilaku komplain. Terdapat pengaruh antara penanganan komplain dengan loyalitas pelanggan. Terdapat pengaruh antara penanganan komplain dengan memberikan keadilan distributif,keadilan prosedural dan keadilan interaksional dengan kepuasan setelah melakukan komplian. A. PENDAHULUAN

Kualitas jasa telah menjadi strategi penting dalam organisasi dalam usaha memuaskan dan mempertahankan pelanggan atau menarik pelanggan baru (Lewis&Clacher, 2001). Lewis dan Spyrakopoulus (2004) menyatakan bahwa kegagalan jasa dapat terjadi di banyak perusahaan, bahkan di perusahaan yang telah fokus pada kualitas. Karena jasa bersifat intangible, kegagalan jasa tidak dapat diperbaiki dengan cepat seperti kegagalan dalam barang (de Ruyter&Wetzels, 2000). Tidak mungkin untuk meyakinkan bahwa terdapat 100% error-free, karena produksi dan konsumsi jasa dilakukan bersamaan (bersifat inseparability), sehingga sangat sulit untuk menghindarihuman errordalam penyampaian jasa (Fisk, Brown, &Bitner, 1993). Untuk itulah perlu adanya manajemen komplain untuk mengantisipasi ketidakpuasan pelanggan akibat penyampaian jasa.

(2)

untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan kegagalan penyampaian produk dan untuk mempertahankancustomer’s goodwill.

B. PENGARUHSERVICE FAILUREDENGAN PERILAKU KOMPLAIN Kegagalan jasa didefinisikan sebagai kinerja jasa yang tidak dapat memenuhi harapan pelanggan (Hoffman&Bateson, 1997). Banyak peneliti percaya bahwa jika kegagalan jasa ini tidak segera ditangani dengan cepat akan menimbulkan biaya yang besar dalam recovery-nya dan menyebabkan perpindahan konsumen (Kotler, 2000; Maxham, 2001). Bitner et al. (1990) mengelompokkan kegagalan jasa menjadi empat kategori, yaitu: (1) kegagalan sistim penyampaian jasa, (2) gap antara kebutuhan dan keinginan, (3) kelambanan tindakan karyawan, (4) masalah pelanggan. Lewis&Spyrakopoulos (2001) mengklasifikasikan kegagalan jasa menjadi lima kategori, yaitu: (1) prosedur, (2) kesalahan, (3) perilaku karyawan, (4) kegagalan teknis, (5) tindakan organisasi. Peneliti yang lain mengungkapkan bahwa kegagalan jasa dapat terjadi karena perilaku konsumen dalam proses penyampaian jasa (Denham, 1998; Johnson, 1994).

Heung dan Lam (2003) melaporkan bahwa di Cina, banyak konsumen yang tidak puas akan menceritakannya kepada teman-teman mereka atau diam, tidak melakukan apa-apa untuk menjaga keharmonisan hubungannya dengan masyarakat dan menghindari konfrontasi. Di Negara individualistik seperti Amerika, Australia, Jerman, Perancis, Turki dan Inggris, konsumen lebih suka komplain ke perusahaan atau menggunakan pihak ketiga (Huang, Huang&Wu, 1996). Menurut Singh (1988), ada empat kemungkinan respon konsumen dalam menghadapi kegagalan jasa, yaitu: konsumen tidak melakukan apa-apa, namun langsung berpindah ke pesaing; konsumen berhenti menggunakan jasa dan berpindah ke pesaing dan juga melakukan negative word-of-mouth; langsung melakukan komplain ke perusahaan untuk mendapatkan ganti rugi; konsumen memberitakannya ke media. Hunt (1991) menyatakan bahwa pembalasan merupakan kemungkinan kelima dalam perilaku komplain. Konsumen yang tidak puas akan merusak fasilitas perusahaan jasa.

(3)

Dalam hal terjadinya ketidakpuasan, paling tidak terdapat empat kemungkinan respons pelanggan, yaitu (Tjiptono, 2006): Pertama, tidak melakukan apa-apa. Artinya mereka tidak menyampaikan komplainnya kepada siapapun. Namun kebanyakan mereka langsung beralih ke pemasok lainnya.

Kedua, berhenti membeli produk dan atau menyampaikan word-of-mouth

kepada keluarga, teman dan orang terdekat (private action). Informasi ini biasanya mengalir cepat dan berdampak pada citra perusahaan. Akibatnya perusahaan dapat kehilangan pelanggan potensial maupun pelanggan saat ini.

Ketiga, menyampaikan komplain secara langsung dan atau meminta kompensasi

kepada perusahaan. Bila hal ini terjadi sebetulnya perusahaan ‘masih diuntungkan’.

Paling tidak perusahaan mendapatkan umpan balik yang berharga dari berbagai komplain yang disampaikan dan ada peluang untuk mengatasi masalah sebelum tersebar luas. Bila komplain berhasil ditangani secara efektif dan memuaskan, konsumen yang semula tidak puas menjadi puas dan kembali membeli produk perusahaan. Ini sangat berbeda dengan konsumen yang langsung berhenti memakai produk dan beralih ke pesaing tanpa melakukan komplain, sehingga perusahaan tidak tahu penyebab kekecewaan pelanggan. Sayangnya hanya 4% pelanggan yang kecewa melakukan komplain, sisanya 96% tetap tidak puas dan menyampaikan kepada sekitar sebelas orang tentang ketidakpuasannya itu (Kotler, 2000). Riset lainnya menunjukkan bahwa sekitar 2/3 konsumen tidak pernah melaporkan ketidakpuasannya. Ketika mereka mengalami kekecewaan, mereka langsung beralih pemasok, melakukan negative word-of-mouthatau kedua-duanya (Stephen&Gwinner, 1998).

Keempat, mengadu lewat media massa, ke lembaga konsumen atau instansi pemerintah terkait, menuntut produsen secara hukum. Ini merupakan bentuk komplain yang paling ditakuti setiap perusahaan. Komunikasi pemasaran dan public relations

(4)

Studi yang dilakukan oleh Singh (1990) juga mengindikasikan bahwa respons pelanggan terhadap ketidakpuasan dipengaruhi pula oleh karakteristik individu, seperti demografi, sikap terhadap komplain dan nilai-nilai pribadi.

Selain pengaruh karakteristik individu, faktor produk dan situasi juga memainkan peranan penting dalam menjelaskan respons pelanggan terhadap ketidakpuasan. Faktor-faktor ini meliputi: daya tanggap perusahaan terhadap komplain, biaya komplain, harga, arti penting produk bagi pelanggan dan pengalaman konsumen.

Huefner&Hunt (1994) dalam Tjiptono (2006) menambahkan tiga perilaku komplain lainnya: retaliasi, avoidance dan grudgeholding. Retaliasi merupakan salah satu bentuk balas dendam yang dilakukan pelanggan yang tidak puas terhadap perusahaan atau distributor yang mengecewakannya. Manifestasinya dapat bermacam-macam, misalnya merusak peralatan perusahaan, mencuri atau mengutil, melakukan komunikasi gethok tular negatif di dalam toko yang bersangkutan dan disruptive behavior (seperti sengaja meletakkan item produk di tempat-tempat yang keliru).

Avoidance dan grudgeholding merupakan bentuk variasi dari exit. Menurut Boote (1998) dalam Tjiptono (2006), exit dapat berbentuk empat macam tindakan, yaitu: memboikot atau berhenti membeli merek yang sama; berhenti membeli tipe produk tertentu (terlepas siapapun produsennya); berhenti membeli dari pengecer tertentu; berhenti membeli dari pemanufaktur tertentu. Masalah yang sering dijumpai dalam konseptualisasi exit pada sejumlah riset perilaku komplain adalah tidak adanya time-frame yang jelas. Konsumen yang berbeda akan berhenti membeli produk tertentu selama jangka waktu yang berbeda-beda. Menurut Huefner&Hunt (1994) dalam Tjiptono (2006), exit merupakan fenomena jangka pendek, sedangkan avoidance lebih berjangka menengah sebagai bentuk tindakan sengaja untuk ‘menghukum’ perusahaan.

Sementara grudgeholding merupakan fenomena yang lebih ekstrim dan dapat berlangsung bertahun-tahun atau bahkan selamanya.

(5)

besar, maka besar kemungkinannya pelanggan bersangkutan akan melakukan komplain. (2) Tingkat ketidakpuasan pelanggan. Semakin tidak puas seorang pelanggan, semakin besar pula kemungkinannya melakukan komplain. (3) Manfaat yang diperoleh dari komplain. Semakin besar persepsi konsumen terhadap manfaat yang dapat diperoleh dari penyampaian komplain, semakin besar pula kemungkinannya melakukan komplain. Secara garis besar, manfaat yang dapat diperoleh dari komplain adalah: (a) manfaat emosional, yaitu kesempatan unuk menuntut hak, menumpahkan kekesalan, melampiaskan kemarahan, serta menerima permintaan maaf, (b) manfaat fungsional, yaitu pengambilan uang penggantian jasa yang dibeli, (c) manfaat bagi orang lain, yaitu membantu pelanggan lain agar terhindar dari ketidakpuasan serupa di masa dating, (d) penyempurnaan produk, yaitu perusahaan jasa kemungkinan besar akan meningkatkan atau memperbaiki layanannya. (4) Pengetahuan dan pengalaman. Hal ini meliputi jumlah pembelian (pemakaian jasa) sebelumnya, pemahaman akan jasa, persepsi terhadap kapabilitas sebagai konsumen dan pengalaman komplain sebelumnya. (5) Sikap pelanggan terhadap keluhan. Pelanggan yang bersikap positif terhadap penyampaian keluhan biasanya sering menyampaikan komplain, karena yakin akan manfaat positif yang akan diterimanya. (6) Tingkat kesulitan mendapatkan ganti rugi. Faktor ini mencakup waktu yang dibutuhkan, prosedur yang harus dilalui, gangguan terhadap aktivitas rutin yang dijalankan, dan biaya yang dibutuhkan untuk melakukan komplain. Biaya-biaya relevan dalam menyampaikan komplain meliputi: inconvenience

(misalnya harus melakukan perjalanan khusus, harus mengisi berbagai macam formulir dan sebagainya), uncertainty (tidak ada tanda-tanda diberikannya ganti rugi), dan

unpleasant (misalnya khawatir diperlakukan secara kasar, rasa malu, enggan berkonfrontasi langsung dan lain-lain). Jika tingkat kesulitan dalammendapatkan ganti rugi dirasa tinggi, maka konsumen cenderung tidak melakukan komplain. (7) Peluang keberhasilan dalam melakukan komplain. Bila pelanggan merasa bahwa peluang keberhasilan dalam melakukan komplain sangat kecil, maka pelanggan cenderung tidak melakukannya. Hal sebaliknya terjadi apabila dirasakan peluangnya besar.

(6)

mendapatkan kesempatan lagi untuk memperbaiki hubungannya dengan pelanggan yang kecewa; (2) penyedia jasa dapat terhindar dari publisitas negatif; (3) penyedia jasa dapat memahami aspek-aspek layanan yang perlu dibenahi dalam rangka memuaskan pelanggan; (4) penyedia jasa akan mengetahui sumber masalah operasinya; dan (5) karyawan dapat termotivasi untuk memberikan layanan berkualitas lebih baik (Mudie&Cottam, 1999) dalam Tjiptono (2006).

Proses penanganan komplain secara efektif dimulai dari identifikasi dan penentuan sumber masalah yang menyebabkan pelanggan tidak puas dan mengeluh. Langkah ini merupakan langkah yang sangat vital, karena menentukan efektivitas langkah-langkah berikutnya. Sumber masalah ini perlu diatasi, ditindaklanjuti dan diupayakan agar di masa datang tidak timbul masalah yang sama. Dalam langkah ini, kecepatan dan ketepatan penanganan merupakan hal krusial. Ketidakpuasan dapat semakin besar apabila pelanggan yang mengeluh merasa keluhannya tidak diselesaikan dengan baik. Kondisi dapat menyebabkan mereka berprasangka buruk dan sakit hati. Yang terpenting bagi pelanggan adalah bahwa pihak perusahaan harus menunjukkan perhatian, keprihatinan dan penyesalannya terhadap karyawan perusahaan (terlebih karyawan lini depan yang berhadapan langsung dengan pelanggan) perlu dilatih dan diberdayakan untuk mengambil keputusan dalam rangka menangaani situasi-situasi seperti itu.

Di samping itu, keterlibatan manajemen puncak dalam menangani keluhan pelanggan juga memberikan dampak positif. Hal ini dikarenakan pelanggan lebih suka berurusan dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan/wewenang untuk mengambil keputusan dan tindakan untuk memecahkan masalah mereka. Langkah berikut yang tidak kalah pentingnya adalah mengembangkan system informasi manajemen, dimana perusahaan dapat mengkategorikan setiap keluhan yang disampaikan dan belajar dari kesalahan yang pernah dilakukan.

(7)

yang dipandang sebagai peluang pemasaran dan penyempurnaan proses jasa. (3) Mengukur biaya primer dan biaya sekunder dari pelanggan yang tidak puas, lalu melakukan penyesuaian investasi terhadap tingkat biaya tersebut. (4) Memberdayakan karyawan lini depan untuk mengambil tindakan cepat dan tepat dalam rangka pemulihan layanan. (5) Mengembangkan jalur komunikasi yang singkat antara pelanggan dan manajer. (6) Memberikan penghargaan kepada setiap karyawan yang menerima dan memecahkan masalah keluhan pelanggan, serta memperbaiki sumber-sumber masalahnya. (7) Memasukkan keunggulan layanan dan pemulihan layanan sebagai bagian dari strategi bisnis perusahaan. (8) Komitmen manajemen puncak terhadap dua hal utama, yaitu: “melakukan segala sesuatu secara benar sejak pertama

kali” dan mengembangkan program pemulihan layanan yang efektif.

D. PENGARUH PENANGANAN KOMPLAIN DENGAN LOYALITAS

PELANGGAN

(8)

Perilaku komplain tidak menyebabkan kepuasan. Ini tergantung pada bagaimana komplain diterima dan diperlakukan perusahaan sebagai sesuatu yang dapat meningkatkan kepuasan. Efek negatif dari komplain adalah terjadinya word of mouth negative yang dapat membahayakan reputasi dan merek perusahaan (Ganesan, 1994; Morgan dan Hunt, 1994). Jadi, ada hubungan antara citra negatif dan komplain terhadap kepercayaan merek dan loyalitas konsumen (Ball, Coelho dan Machas, 2004). Semakin sedikit complain pelanggan maka akan meningkatkan loyalitas pelanggan (Tax et al., 1998).

E. PENGARUH KEADILAN DISTRIBUTIF DENGAN KEPUASAN SETELAH MELAKUKAN KOMPLAIN.

Taxet al. (1998) mendefinisikan keadilan distributif sebagai perasaan konsumen karena mereka telah diperlakukan secara adil dalam mendapatkan hasil pemulihan jasa atau perilaku komplain. Hasil perilaku komplain atau pemulihan jasa ini dapat berupa diskon, pengembalian uang, dan bentuk kompensasi lainnya. Maxham dan Netemeyer (2002) menyatakan bahwa keadilan distributif berpengaruh pada kepuasan karena pemulihan jasa dan kepuasan keseluruhan. Dalam penelitiannya, Maxam dan Netemeyer menggunakan indikator untuk keadilan distributif seperti: (1) adanya hasil yang positif meskipun menyita waktu, (2) hasil dari pemulihan jasa dirasakan adil. Smith&Bolton (1998) mendefinisikan kepuasan karena pemulihan jasa sebagai kepuasan konsumen setelah menghadapi kegagalan penyampaian jasa dan mendapatkan pemulihan jasa (service recovery).

(9)

dari proses pemilihan jasa. Matilla dan Patterson (2004) menemukan bahwa kompensasi lebih penting untuk masyarakat Amerika dibandingkan Asia, sehingga konsumen Amerika agresif untuk meminta ganti rugi dibandingkan konsumen Asia. Sebaliknya, penjelasan tentang penyebab kegagalan jasa lebih penting bagi orang-orang Asia dibandingkan orang Amerika (Matilla dan Patterson, 2004).

F. PENGARUH KEADILAN PROSEDURAL DAN KEPUASAN SETELAH MELAKUKAN KOMPLAIN.

Keadilan prosedural mengacu pada persepsi keadilan dari kebijakan dan prosedur dalam upaya penanganan pemulihan jasa. Terdapat bukti bahwa keadilan prosedural mempengaruhi hasil dari proses pemulihan jasa. Sebagai contoh, jika konsumen harus menunggu lama untuk menunggu pengembalian uang karena perusahaan mensyaratkan karyawan fronline untuk membereskan semua ganti rugi dengan manager, konsumen mungkin tidak merasa diperlakukan adil. Smith et al. (1999) melaporkan pengaruh signifikan antara keadilan procedural dengan kepuasan setelah proses pemulihan jasa, sedangkan Tax et al. (1998) menyatakan bahwa ada pengaruh positif antara keadilan procedural dengan kepuasan setelah penanganan komplain.

Maxham dan Netemeyer (2002) menemukan pengaruh positif antara keadilan prosedural dengan kepuasan keseluruhan dan kepuasan setelah pemulihan jasa. Dalam penelitiannya, Maxam dan Netemeyer menggunakan indikator keadilan procedural seperti: (1) respon perusahaan adil dan cepat, (2) kepercayaan konsumen terhadap keadilan prosedur, (3) perusahaan tetap adil dalam menjalankan prosedur dan kebijakannya. Tax dan Brown (1998) menyatakan bahwa rendahnya tingkat keadilan procedural selama kegagalan jasa atau proses pemulihan jasa dapat berakibat negatif pada kepuasan keseluruhan.

G. PENGARUH KEADILAN INTERAKSIONAL DAN KEPUASAN SETELAH MELAKUKAN KOMPLAIN.

(10)

personal mereka dengan personil perusahaan melalui prosesrecovery. Termasuk dalam konsep ini adalah elemen-elemen kejujuran, kesopanan, perhatian, upaya penanganan komplain (Smithet al., 1999; Taxet al., 1998).

Evaluasi dari proses pemulihan jasa lebih ditentukan oleh interaksi antara konsumen dengan karyawan. Smithet al. (1999),menemukan pengaruh antara keadilan interakasional dengan kepuasan pada proses pemulihan jasa. Tax et al. (1998) menemukan pengaruh yang kuat antara keadilan interaksional dengan kepuasan akibat penanganan komplain. Maxham dan Netemeyer (2002) menemukan pengaruh keadilan interaksional dengan kepuasan keseluruhan. Dalam penelitiannya ini Maxham dan Netemeyer menggunakan indikator keadilan interaksional seperti: (1) perlakuan yang adil dan sopan, (2) karyawan menunjukkan perhatian untuk bersikap adil, (3) keinginan karyawan mendapatkan input dari konsumen, (3) berempati. Mackoy (1995) dalam Maxham et al. (2002) meneliti tentang kerugian klaim konsumen dalam jasa, menemukan bahwa kepuasan terhadap personil atau karyawan merupakan determinan penting dalam mengukur kepuasan keseluruhan. Tetreuault (1990) dalam Maxhamet al. (2002) melaporkan bahwa kepuasan keseluruhan terhadap perusahaan meningkat ketika karyawan memperlakukan konsumen secara adil.

DAFTAR PUSTAKA

Beatson, A., Coote, L.V. and Rudd, J.M. (2006),”Determining Consumer Satisfaction and Commitment Trough Self-Service Technology and Personal Service Usage,”

Journal of Marketing Management,22, 7-8, 853-882

De Ruyter, K., &Wezels, M. (2000),”Cuatomer Equity Considerations in Service Recovery: A Cross Industry Perspective”, International Journal of Service Industry Management,11, 91-108.

Denham, J. (1998),”Handling Customer Complaints”, Sydney, Australia: Prentice Hall.

Fisk, R.P. Brown, S.W., &Bitner, M.J. (1993),”Tracking the Evolution of Services Marketing Literature”,Journal of Retailing,69, 61-103.

(11)

Goodwin, C., &Ross, I. (1992),”Consumer Responses to Service Failures: Influence of Procedural and Interactional Fairness Perceptions”, Journal of Business Research, 25, 149-163

Heung, V.C.S., &Lam, T. (2003),”Consumer Complaint Behaviour towards Hotel Restaurant Services”, International Journal of Contemporary Hospitality Management, 15, 283-289

Heskett, J.L., Sasser W.E., Schlesinger L.A. (1997),”The Service Profit Chain: How Leading Companies Link Profit, Growth to Loyalty, Satisfaction and Value”, New York: A Division of Simon&Schuster Inc

Hoffman, K.D., &Bateson, J.E.G. (1997),”Essentials of Service Marketing”, Forth Worth, TX: Dryden

Huang, J.H., Huang, C.T., &Wu, S. (1996),” National Character and Response to Unsatisfactory Hotel Service”, International Journal of Hospitality Management, 15, 229-243.

Hunt, H.K. (1991),”Customer Satisfaction, Dissatisfaction, and Complaining Behaviour”,Journal of Social Issues, 47, 1, 107-117

Hoffman, K.D. and Bateson, J.E.G. (2006),”Service Marketing: Concepts, Strategies, and Cases, 3th Ed.USA”: Thomson South-Western.

Johnson, R. (1994),”Service Recovery: An Empirical Study”, Coventry, United Kingdom: Warwick Business School.

Kotler, P. (2000),”Marketing Management”, Upper Saddle River, NJ: Prentice hall

Lewis, B.R., &Clacher, E. (2001),”Service Failures and Recovery in U.K.Theme parks: The Employees’ Perspective”, International Journal of Contemporary Hospitality Management, 13, 166-175

Lewis, B. R., &Spyrakopoulos, S. (2001),”Service Failures and Recovery in Retail Banking: The Consumers Perspective”, International Journal of Banking Marketing, 19, 37-47.

Liu, B. S. C., Sudharshan, D., &Hamer, L.O. (2000),”After-Service Response in Service Quality Assessment: A Real-time Updating Model Approach”, Journal of Service Marketing, 14, 160-177.

(12)

Maxham, J.G&Netemeyer, R.G. (2002),”Modeling Customer Perceptions of Complaint Handling over Time: The Effect of Perceived Justice on Satisfaction and Intent”,

Journal of Retailing, 78, 239-252.

Mattila, A.S. & Patterson, P. (2004),”Service Recovery and justice Perception in Individualistic and Collectivist Cultures”,Journalof Service Research, 6, 4, 336-346 Oliver, M.& J.W. Huppertz (2010),”External Equity, Loyalty Program Membership and service Recovery”,Journal of Service Marketing,24, 3, 244-254

Sing, J. (1988),”Customer Complaint Intentions and Behaviour”,Journal of Marketing, 52, 1, 93-107.

Smith, A.K., Bolton, R.N. &Wagner, J. (1999),”A Model of Customer Satisfaction with Service Encounter Involving Failure and Recovery”, Journal of Marketing Research, 36, 356-373

Tax, S.S., &Brown, S.W. (1998),”Recovering and Learning from Service Failure”,

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu penggunaan perangkat ( gadget) smartphone secara menerus akan berdampak buruk bagi pola perilaku anak dalam kesehariannya, anak-anak yang cenderung

DDRAM atau CGROM bergantung pada kondisi Address Counter , sedangkan proses akses data ke atau dari register perintah akan mengakses Instruction Decoder (dekoder

Perpustakanaan menyediakan buku-buku penunjang kegiatan pembelajaran siswa dikelola oleh seorang petugas. Siswa dapat meminjam buku maksimal 1 minggu dan jika melebihi akan

Berdasarkan teori Vygotsky Yuliani (2005) menyimpulkan beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu: (a) dalam kegiatan pembelajaran hendaknya

Indeed it is apparent from the various chapters that there is as yet little agreement as to which (if any) taxa or groups of taxa are good indicators for bio- diversity generally,

No Nomor Peserta Nama Asal Sekolah Kab./Kota1. ABDUL KHOLIQ MI MAMAUL

Dalam VB 6.0 untuk pembuatan Aplikasi,sarana pengembangannya bersifat visual memudahkan pemakainya untuk menggunakan tombol-tombol yang telah tersedia yaitu dengan cara

Seni wayang iku akeh banget jinise, kayata wayang beber, wayang krucil, wayang wong, wayang gedhog, wayang kancil, wayang suluh, wayang wahyu, lan liya – liyane.. Salah sijine