7
KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori
2.1.1 Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di SD 2.1.1.1 Pengertian
Wahidin (2010: 37), menyatakan bahwa Pendidikan
Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk
mendidik generasi muda menjadi warga Negara yang demokratis dan
partisipatif melalui suatu pendidikan yang dialogial. Pendapat ini lebih
menekankan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan
demokrasi, dimana siswa diharapkan kelak menjadi warga Negara yang
demokratis dan partisipatif dalam kehidupan berbangsa.
Sementara itu, Winataputra (2012: 2), mendefinisikan Pendidikan
Kewarganegaraan “sebagai wahana pendidikan yang dibangun untuk
membina dan mengembangkan warga Negara yang cerdas dan baik dalam
latar subsistem pendidikan formal, nonformal, dan informal, pada dasarnya
sudah menjadi bagian inhern dari idea, instrumentasi dan praksis pendidikan
nasional Indonesia”. Pendapat ini memberikan pengertian bahwa
pembelajaran PKn yang diselenggarakan baik di lembaga formal maupun
nonformal dilaksanakan dalam rangka membekali siswa dengan
pengetahuan, keterampilan dan sikap kewarganegaraan agar kelak siswa
menjadi warga Negara yang baik dan cerdas.
Dalam lampiran Permendiknas No. 22 tahun 2006, dikemukakan
bahwa:
“Mata pelajaran Pendidikan Kewargenegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada membentukkan warga Negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945”.
Pernyataan ini mengandung arti bahwa Pendidikan
Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang menitikberatkan pada
lampiran Permendiknas tersebut, dapat dipahami bahwa terdapat beberapa
nilai yang diharapkan dimiliki siswa dengan belajar PKn, yaitu: pertama,
siswa terbentuk menjadi pribadi yang mampu bersikap menghargai semua
keragaman dengan memahami hak dan kewajiban dirinya dan orang lain
sebagai warga Negara Indonesia; kedua, siswa diharapkan menjadi pribadi
yang cerdas dimana kecerdasan ini diperoleh siswa dari proses
pembelajaran PKn di sekolah; ketiga, siswa diharapkan terampil baik
keterampilan intelektual maupun keterampilan partisipatoris; keempat,
siswa menjadi pribadi yang berkarakter, dimana karakter ini dapat diperoleh
dari watak kewarganegaraan yang dibina dan dikembangkan dalam proses
pembelajaran PKn di sekolah. Nilai-nilai ini tentu saja dilandasi nilai moral
luhur bangsa Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Sementara itu, dalam Encyclopedia of Educational Research,
pengertian Pendidikan Kewarganegaraan dapat dijelaskan dalam arti sempit
dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, Pendidikan Kewarganegaraan adalah
pembelajaran yang membahas masalah hak dan kewajiban.Pengertian ini
didasarkan pada konotasi politik dari warga Negara.Sementara itu, dalam
arti luas, pendidikan kewarganegaraan adalah pembelajaran yng berisi
masalah moral, etika, sosial, serta berbagai aspek kehidupan ekonomi
(Dasim Budimansyah, 2007: 7.5-7.6).
Sejalan dengan pendapat tersebut, Pendidikan Kewarganegaraan
memiliki visi utama sebagai pendidikan demokrasi yang bersifat
multidimensional (Depdiknas, 2007). PKn merupakan pendidikan nilai
demokrasi, pendidikan moral, pendidikan sosial dan pendidikan politik.
Akan tetapi, dari semua pendidikan tersebut yang paling menonjol dari PKn
adalah pendidikan nilai dan moral. Alasannya antara lain yakni: pertama,
materi PKn merupakan konsep-konsep nilai Pancasila dan UUD 1945
beserta dinamika perwujudan dalam kehidupan masyarakat Negara
Indonesia; kedua, sasaran akhir dari belajar PKn adalah perwujudan
nilai-nilai tersebut dalam perilaku nyata kehidupan sehari-hari; ketiga, dalam
sosial dari peserta didik dan guru sehingga nilai-nilai itu bukan hanya
sekedar dipahami (bersifat kognitif) tetapi dihayati dan dilaksanakan
(bersifat afektif) (Aris Susanto, 2013: 42).
Berdasarkan visi PKn yang seperti di atas itulah, maka tujuan PKn
menurut Lampiran Permendiknas No. 22 Tahun 2006 adalah agar peserta
didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
a. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan.
b. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak
secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara serta anti korupsi.
c. Berkembang secara positif dan demokratis tis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lain.
d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara
langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran PKn tersebut, delapan materi
pokok standar isi mata pelajaran PKn di Indonesia untuk satuan dasar dan
menengah memuat komponen sebagai berikut:
1. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam
perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia,
Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara
Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan
2. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan
keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat,
Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, Sistim hukum dan peradilannasional,
3. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan
kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional
HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM
4. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri
sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan
mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi
diri, Persamaan kedudukan warga negara
5. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi
yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di
Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi
6. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan,
Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan
sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat
madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi
7. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan
ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara,
Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari,
Pancasila sebagai ideologi terbuka
8. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri
Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan
internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi
globalisasi.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa PKn pada
hakikatnya adalah pendidikan yang mengarahkan siswa agar terbentuk
menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab berdasarkan
2.1.1.2 Kompetensi Dasar Pembelajaran PKN SD Tabel 2.1
SK dan KD yang digunakan Dalam Penelitian Kelas 4, Semester 2
Stándar Kompetensi
Kompetensi Dasar
4. Menunjukkan sikap terhadap globalisasi di lingkungannya
4.1 Memberikan contoh sederhana pengaruh globalisasi di lingkungannya
4.2 Mengidentifikasi jenis budaya Indonesia yang pernah ditampilkan dalam misi kebudayaan internasional
4.3 Menentukan sikap terhadap pengaruh globalisasi yang terjadi di lingkungannya
2.1.1.3 Pembelajaran PKn SD
Pendidikan Kewarganegaraan dibangun atas dasar paradigma bahwa
PKn secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang
bertujuan mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara
Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung
jawab. Secara teoretik, PKn dirancang sebagai subjek pembelajaran yang
memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang bersifat
konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi
ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis,
dan bela negara. Secara programatik, PKn dirancang sebagai subjek
pembelajaran yang menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai
(content embedding values) dan pengalaman belajar (learning experience)
dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari (Budimansyah, 2006: 37).
Dari pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa pada dasarnya PKn
adalah pendidikan yang mengarahkan siswa agar terbentuk menjadi warga
Negara yang baik dan bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai dan dasar
pendekatan PKn adalah sebagai pendidikan nilai dan moral. Pendidikan
nilai adalah suatu proses penyelenggaraan pendidikan dimana
pengembangan yang lebih ditekankan adalah aspek afektif, bukan lagi
kognitif dan diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari
peserta didik sebagai individu. Oleh karena itu, pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan di Sekolah Dasar (SD) seharusnya diarahkan untuk
penanaman nilai-nilai dan moral Pancasila ke dalam diri siswa. Sasaran
pembelajaran lebih kepada aspek afektif, sehingga diharapkan siswa tidak
hanya sebatas memahami, tetapi juga dapat menerapkan nilai-nilai dan
norma ini ke dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti yang telah dipaparkan pada penjelasan sebelumnya bahwa
hakikat dari pembelajaran PKn adalah penanaman nilai dan moral ke dalam
diri siswa. Pendidikan Kewarganegaraan seharusnya mampu
mengeksplorasi internal side dari seseorang, dan salah satu hasil dari
internal side ini adalah sikap. Sikap merupakan posisi seseorang atau
keputusan seseorang sebelum berbuat, sehingga sikap merupakan ambang
batas seseorang antara sebelum melakukan suatu perbuatan atau perilaku
tertentu dengan berbuat atau berperilaku tertentu.
Pembelajaran PKn perlu dilaksanakan sesuai dengan visi misinya,
yaitu melalui penerapan alternative pembelajaran yang relevan diantaranya
dengan Model pembelajaran Konsiderasi, Role Playing, Portfolio Based
Model,VCT, Cognitive Developmental Model, Reflective Inquiry, Inquiry
Social, PKKBI. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan model
pembelajaran Value Clarification Technique (VCT).
2.1.2 Model Pembelajaran Value Clarification Technique (VCT) 2.1.2.1 Pengertian VCT
Pembelajaran PKn erat kaitannya dengan pengembangan pada ranah
afektif. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pembelajaran PKn
lebih menitikberatkan pada penanaman nilai dan moral pada siswa. Oleh
menyentuh sisi kognitif saja melainkan juga bertujuan mencapai sisi sikap
dan keterampilan (afektif).
Salah satu strategi yang dapat digunakan sesuai dengan karakteristik
Pkn adalah model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT).
Value Clarification Technique atau yang sering disingkat VCT merupakan
teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan
suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui
proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa
(Sanjaya: 2006). Abdul Gafur (2006: 6), juga berpendapat bahwa VCT
merupakan metode menanamkan nilai (values) dengan cara sedemikian
rupa sehingga peserta didik memperoleh kejelasan/kemantapan nilai.
Teknik yang digunakan pada VCT dapat berupa angket dan tanya jawab.
Dari pendapat para ahli tersebut, dapat dipahami bahwa VCT adalah salah
satu teknik pembelajaran yang dapat memenuhi tujuan pancapaian
pendidikan nilai.
Pembelajaran VCT dapat mengajarkan siswa tentang beberapa hal
sebagai berikut:
a. Memberikan nilai atas sesuatu
b. Membuat penilaian yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan
c. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang menyangkut
masalah nilai dengan jelas, rasional dan objektif
d. Memahami dan mengamalkan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat (Fathurrohman dan Wuryandani, 2011: 36-37).
Tujuan menggunakan model VCT dalam pembelajaran PKn menurut
Taniredja, Faridli, dan Harmianto (2012: 88) yaitu: (1) mengetahui dan
mengukur tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai; (2) menanamkan
kesadaran siswa tentang nilai yang dimiliki; (3) menanamkan
nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional (logis) dan diterima
siswa; (4) melatih siswa dalam menerima dan menilai nilai dirinya dan
2.1.2.2 Karakteristik Model Pembelajaran VCT
Teknik mengklarifikasi nilai (Value Clarification Technique) atau
sering disingkat VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk
membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap
baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai
yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa.
Kelemahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau
sikap adalah proses pembelajaran dilakukan secara langsung oleh guru,
artinya guru menanamkan nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa
memerhatikan nilai yang sudah tertanam dalam diri siswa. Akibatnya,
sering terjadi benturan atau konflik dalam diri siswa karena ketidakcocokan
antara nilai lama yang sudah terbentuk dengan nilai baru yang ditanamkan
oleh guru. Siswa sering mengalami kesulitan dalam menyelaraskan nilai
lama dan nilai baru. Salah satu karakteristik VCT sebagai suatu model dalam
strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan
melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa
kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak
ditanamkan.
Pembelajaran VCT menurut Djahiri dalam Taniredja, Faridli, dan
Harmianto (2012: 91), dianggap unggul untuk pembelajaran afektif karena;
pertama, mampu membina dan menanamkan nilai dan moral pada internal
side; kedua, mampu mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan materi
yang disampaikan; ketiga mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai
moral diri siswa dan nilai moral dalam kehidupan nyata; keempat, mampu
mengundang, melibatkan, membina dan mengembangkan potensi diri siswa
terutama potensi afektualnya; kelima, mampu memberikan pengalaman
belajar dalam berbagai kehidupan; keenam, mampu menangkal,
meniadakan mengintervensi dan menyubversi berbagai nilai moral naif
yang ada dalam sistem nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang;
2.1.2.3 Langkah-langkah Model Pembelajaran VCT
Jarolimek (1977) dalam Taniredja, Faridli, dan Harmianto (2012:
89-90) mengklasifikasikan langkah pelaksanaan model pembelajaran VCT
ke dalam 7 tahap yang dibagi menjadi 3 tingkat. Setiap tahap dijelaskan
sebagai berikut:
Tingkat 1. Kebebasan Memilih
Pada tingkat ini yang terdiri dari 3 tahap pembelajaran yaitu:
1) Memilih secara bebas, artinya kesempatan untuk menentukan pilihan
yang menurutnya baik karena nilai yang dipaksakan tidak akan menjadi
miliknya secara penuh;
2) Memilih dari beberapa alternatif, artinya untuk menentukan pilihan dari
beberapa alternatif pilihan secara bebas;
3) Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang
akan timbul sebagai akibat pilihannya.
Tingkat 2. Menghargai
Pada tingkat ini terdiri dari 2 tahap pembelajaran, yaitu:
1) Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi
pilihannya, sehingga nilai tersebut akan menjadi bagian dari dirinya;
2) Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di
depan umum, artinya jika kita menganggap nilai itu suatu pilihan, maka
kita akan berani dengan penuh kesadaran untuk menunjukkannya di
depan orang lain.
Tingkat 3. Berbuat
Pada tingkat ini terdapat 2 tahap pembelajaran, yaitu:
1) kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya;
2) mengulangi perilaku sesuai dengan nilai pilihannya, artinya nilai yang
menjadi pilihan itu harus tercermin dalam kehidupannya sehari-hari.
Langkah-langkah model pembelajaran VCT sebenarnya tergantung pada
teknik yang akan diambil, akan tetapi menurut Djahiri (1985: 10), secara
umum dapat dikemukakan sebagai berikut :
Stimulus yang ditentukan harus bersifat dilematis dan memuat konflik
nilai/moral. Hal ini bertujuan agar siswa merasakan adanya dilema
karena adanya dua atau tiga nilai yang sama berat, sama benar, ataupun
sama salahnya yang mengharuskan siswa untuk memecahkan atau
memilihnya.
2. Penyajian Stimulus
Penyajian stimulus ini dapat melalui berbagai kegiatan, misalnya
meminta siswa untuk memperagakan, membacakan hal-hal sebagai
berikut:
a. Masalah (konflik nilai/moral)
b. Identifikasi fakta yang dibuat stimulus
c. Menentukan kesamaan pengertian
d. Menentukan masalah utama yang akan dipecahkan
3. Penentuan Pilihan
Siswa diberi posisi kesempatan untuk menanggapi melalui :
a. Penentuan pilihan secara individual
b. Penentuan pilihan secara kelompok atau kelas
c. Klarifikasi atas pilihan yang dibuat (guru berperan untuk
meluruskan, menjelaskan atau memperjelas dan memanipulasi
klarifikasi siswa menuju target nilai).
4. Menguji Alasan
Dilakukan dengan cara :
a. Meminta argumentasi siswa/kelompok/kelas
b. Pemantauan argumentasi melalui:
1) Mempertentangkan argumen demi argument (konsep dan teori
diikutsertakan melalui argument tersebut).
2) Penerapan kejadian secara analogis
3) Mengkaji akibat-akibat penerapan tersebut
4) Mengkaji kemungkinan dari kegiatan.
5. Penyimpulan dan Pengarahan
a. Kesimpulan siswa/kelompok kelas
b. Kesimpulan dan pengarahan oleh guru sesuai dengan target materi
pelajaran (konsep nilai/norma/moral)
6. Tindak Lanjut (follow up)
Dapat berupa :
a. Kegiatan perbaikan /remedial/pengayaan
b. Kegiatan ekstra/latihan penerapan uji coba. Khususnya
masalah/kegiatan ini ada baiknya diarahkan kepada:
1) Membina kesinambungan idealisme/nilai/moral yang diajarkan
dengan realita.
2) Pembinaan kesinambungan antara pendapat/ucapan dengan
perbuatan
3) Pembinaan kepentingan diri dengan kepentingan umum
4) Analisis esensi penerapan melalui telaah pro/kontra atau
reportasi pengalaman/kenyataan atau kaji banding pengujian
pro-kontra suatu/sejumlah perbuatan.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sintaks yang disampaikan
oleh Djahiri.
2.1.2.4 Analisis Komponen Model Pembelajaran VCT
Bruce Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun (2009: 104-106),
mengemukakan bahwa setiap model pembelajaran memiliki unsur-unsur
berupa 1) Sintaks; 2) Prinsip reaksi; 3) Sistem sosial; 4) Sistem Penduukung
5) Dampak Instruksional dan dampak pengiring. Berikut akan diuraikan
analisis komponen pembelajaran VCT berdasarkan teori Bruce Joyce diatas.
1. Sintaks
Sintaks merupakan urutan langkah pengajaran yang menunjuk
pada fase-fase atau tahap-tahap yang harus dilakukan oleh guru bila
menggunakan model pembelajaran tertentu. Menurut Djahiri (1985: 10)
sintaks model pembelajaran VCT dapat diuraikan sebagai berikut:
Stimulus yang ditentukan harus bersifat dilematis dan memuat
konflik nilai/moral. Hal ini bertujuan agar siswa merasakan
adanya dilema karena adanya dua atau tiga nilai yang sama berat,
sama benar, ataupun sama salahnya yang mengharuskan siswa
untuk memecahkan atau memilihnya.
2) Penyajian Stimulus
Penyajian stimulus ini dapat melalui berbagai kegiatan, misalnya
meminta siswa untuk memperagakan, membacakan hal-hal
sebagai berikut:
a) Masalah (konflik nilai/moral)
b) Identifikasi fakta yang dibuat stimulus
c) Menentukan kesamaan pengertian
d) Menentukan masalah utama yang akan dipecahkan
3) Penentuan Pilihan
Siswa diberi posisi kesempatan untuk menanggapi melalui :
a) Penentuan pilihan secara individual
b) Penentuan pilihan secara kelompok atau kelas
c) Klarifikasi atas pilihan yang dibuat (guru berperan untuk
meluruskan, menjelaskan atau memperjelas dan
memanipulasi klarifikasi siswa menuju target nilai).
4) Menguji Alasan
Dilakukan dengan cara :
a) Meminta argumentasi siswa/kelompok/kelas
b) Pemantauan argumentasi melalui:
1. Mempertentangkan argumen demi argument (konsep dan
teori diikutsertakan melalui argument tersebut).
2. Penerapan kejadian secara analogis
3. Mengkaji akibat-akibat penerapan tersebut
4. Mengkaji kemungkinan dari kegiatan.
5) Penyimpulan dan Pengarahan
a) Kesimpulan siswa/kelompok kelas
b) Kesimpulan dan pengarahan oleh guru sesuai dengan target
materi pelajaran (konsep nilai/norma/moral)
6) Tindak Lanjut (follow up)
Dapat berupa :
a) Kegiatan perbaikan /remedial/pengayaan
b) Kegiatan ekstra/latihan penerapan uji coba. Khususnya
masalah/kegiatan ini ada baiknya diarahkan kepada:
1. Membina kesinambungan idealisme/nilai/moral yang
diajarkan dengan realita.
2. Pembinaan kesinambungan antara pendapat/ucapan
dengan perbuatan
3. Pembinaan kepentingan diri dengan kepentingan umum
4. Analisis esensi penerapan melalui telaah pro/kontra atau
reportasi pengalaman/kenyataan atau kaji banding
pengujian pro-kontra suatu/sejumlah perbuatan.
2. Prinsip reaksi
Prinsip reaksi merupakan pola kegiatan yang menggambarkan
bagaimana seharusnya guru melihat dan memperlakukan para siswa,
termasuk bagaimana seharusnya guru memberikan respon terhadap
siswa. Prinsip ini memberi petunjuk bagaimana seharusnya guru
menggunakan aturan permainan yang berlaku pada setiap model
pembelajaran.
Dalam pembelajaran dengan menggunakan model VCT ini guru
berperan sebagai model, dalam arti guru harus menjadi teladan atau
contoh sikap sesuai yang diharapkan dalam pembelajran PKn. Selain
itu, dalam proses pembelajaran, guru menjadi fasilitator yang akan
memberikan bantuan ataupun pengarahan bagi siswa. Hal ini dapat
dilihat pada saat guru berperan untuk meluruskan, menjelaskan atau
memperjelas dan memanipulasi klarifikasi siswa menuju target nilai
akan membimbing siswa untuk mengambil kesimpulan sesuai dengan
target nilai yang telah ditetapkan.
3. Sistem sosial
Sistem sosial merupakan pola hubungan guru dengan siswa pada
saat terjadinya proses pembelajaran (situasi atau suasana dan norma
yang berlaku dalam penggunaan metode pembelajaran tertentu).
Dalam pembelajaran menggunakan model VCT ini kegiatan kelas
berorientasi pada pemecahan masalah baik secara individu, kelompok,
maupun kelas. Siswa difasilitatori oleh guru mengenal dan
menganalisis masalah secara rinci. Peran siswa dan guru sederajat,
walaupun dalam hal ini berbeda peran.
4. Sistem pendukung
Sistem Pendukung merupakan segala sarana, bahan dan alat yang
diperlukan untuk menunjang terlaksananya proses pembelajaran
secara optimal. Dalam pembelajaran menggunakan model VCT ini
sistem pendukung yang diperlukan dari segi kondisi lingkungan fisik
yaitu ketersediaan sarana dan prasarana yang mendukung seperti
papan tulis atau LCD untuk menampilakan masalah dilematis. Selain
itu, guru juga harus mempersiapkan rancangan pembelajaran berupa
RPP, Lembar kerja siswa berbasis VCT analisis nilai, dan lembar
evaluasi.
5. Dampak instruksional dan dampak pengiring.
Dampak instruksional adalah hasil belajar yang dicapai atau
yang berkaitan langsung dengan materi pembelajaran. Jadi, dampak
instruksional merupakan kemampuan siswa yang diperoleh setelah
dilaksanakannya pembelajaran. Secara umum, dampak instruksional
yang dimiliki siswa setelah mengikuti pembelajaran PKn
menggunakan model pembelajaran VCT ini diantaranya yaitu siswa
dapat menyebutkan pengertian globalisasi, siswa dapat menyebutkan
pengaruh globalisasi pada makanan, minuman dan kebudayaan, siswa
model VCT ini, siswa akan secara aktif memecahkan suatu masalah
yang dilematis. Untuk memecahkan masalah tersebut, tentu
dibutuhkan pengetahuan tentang masalah tersebut. Sasaran akhir dari
model pembelajaran ini adalah siswa dapat mengambil keputusan
dengan target nilai yang harus dicapai dalam pembelajaran. Tujuan
akhir dari pembelajaran VCT ini menekankan pada aspek sikap siswa.
Dampak pengiring adalah hasil belajar sampingan (iringan) yang
dicapai sebagai akibat dari penggunaan model pembelajaran tertentu.
Secara umum, dampak pengiring yang akan timbul dengan penerapan
model pembelajaran VCT ini adalah siswa lebih inovatif dalam
menanggapi masalah, keaktifan dalam bekerja sama, pengendalian
diri dalam penyelesaian konflik, kreatif dalam menganalisis suatu
permasalahan, sensitif dalam menanggapi masalah-masalah baik di
lingkungan kelas maupun di lingkungan yang lebih luas.
Gambar 2.1
Keterangan :
Dampak Instruksional :
Dampak Pengiring :
2.1.2.5 Penerapan Model Pembelajaran VCT dalam Pembelajaran PKn SD
Sebelum melaksanakan pembelajaran, perlu perencanaan yang
matang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran menggunakan model
tertentu. Oleh karena itu, pemetaan sintak dan langkah-langkah
pembelajaran perlu dibuat. Pemetaan ini berguna sebagai patokan dalam
menyusun Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Berikut akan
diuraikan mengenai pemetaan sintak dan langkah-langkah yang harus
dilaksanakan dalam pembelajaran PKn menggunakan model pembelajaran
VCT.
Tabel 2.2 Pemetaan Sintak VCT KEGIATAN
GURU
SINTAKS VCT KEGIATAN
hari atau berbekal yang telah dipelajari
Mengadakan
2.1.3 Hasil Belajar PKn
Secara umum, proses pendidikan terdiri dari masukan (input), tahap atau
proses pembelajaran dan hasil akhir atau hasil pembelajaran (output). Hasil
Dalam proses pembelajaran di sekolah, setelah mengikuti pembelajaran siswa
diharapkan dapat merubah perilakunya dibandingkan sebelum mengikuti
pembelajaran.
Menurut Nana Sudjana seperti dikutip oleh Kunandar (2010: 276),
hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat
pengukuran, yaitu berupa tes yang disusun secara terancana, baik tes tertulis,
tes lisan maupun tes perbuatan. Sedangkan S. Nasution seperti dikutip oleh
Kunandar (2010: 276), berpendapat bahwa hasil belajar adalah suatu
perubahan pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan,
tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri pribadi
individu yang belajar. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan
bahwa hasil belajar merupakan kemampuan siswa yang dilakukan pada proses
pembelajaran dan dapat dilihat dari penilaian.
Menurut Bloom dalam Agus Supriono (2009: 6-7), terdapat tiga ranah
yang digunakan untuk mengukur hasil belajar, yaitu:
1. Ranah Kognitif
Ranah kognitif yaitu berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang
terdiri dari enam aspek yaitu pengetahuan, ingatan, pemahaman, aplikasi,
análisis, síntesis, dan evaluasi. Dalam Pkn, aspek pengetahuan ini juga
dikenal sebagai Civic Knowledge. Sesuai dengan tujuan Pkn yaitu untuk
membentuk warga negara yang baik maka siswa perlu dibekali dengan
pengetahuan tentang PKn itu sendiri. Center for Indonesian Civic
Education (CICED) dalam Winarno (2013: 109) menyebutkan komponen
pengetahuan kewarganegaraan meliputi: (1) Principle of democracy; (2)
Comprehend of state constitution; (3) Citizen’s rights any responssibility;
(4) State’s rule of law; (5) Good government; (6) Citizenship; (7) People
sovereignty; (8) Free and fair tribune; (9) Equality and equity; (10)
Justice; (11) Human rights; (12) Civilization; (13) Cultural differences;
(14) Democratic processes; (15) Citizenship activities; (16) National
identity/attributes; (17) Civil society; (18) Free market economy; (19)
2. Ranah Afektif
Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yaitu
penerimaan, jawaban, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Contoh
hasil belajar afektif yaitu, kemauan untuk menerima pelajaran dari guru,
perhatian siswa terhadap apa yang dijelaskan guru, bertanya, dan lain
-lain.
Dalam Pkn, ranah afektif ini dikenal dengan Civic Disposition. Hal ini
berkaitan dnegan karakter/watak/sikap yang ditunjukkan siswa setelah
menerima pembelajaran PKn. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya,
bahwa Civic Disposition merupakan tujuan akhir dari PKn yaitu
menjadikan warga Negara yang baik.
3. Ranah Psikomotor
Ranah psikomotor yaitu hasil belajar keterampilan, dan kemampuan
bertindak individu. Ada enam tingkatan keterampilan, yakni: gerakan
refleks (keterampilan pada gerakan yang tidak sadar), keterampilan
gerakan-gerakan dasar, kemampuan perseptual (membedakan visual,
auditif, dan motoris), kemampuan dibidang fisik (misalnya kekuatan,
ketepatan), gerakan-gerakan skill, dan kemampuan yang berkenaan
dengan gerakan ekspresif dan interpreatif.
Dalam Pkn, ranah psikomotor berkaitan dengan keterampilan
kewarganegaraan (Civic Skill). Kecakapan kewarganegaraan kadang
disebut sebagai kecakapan berpikir kritis. Kecakapan ini antara lain:
mengidentifikasi dan menjelaskan; menjelaskan dan menganalisis;
mengevaluasi, mengambil, dan memahami isuisu publik. Warga negara
harus mampu menganalisis hal-hal seperti komponen dan konsekuensi
dari ide-ide, proses sosial, politik, atau ekonomi, dan lembaga. Hal ini
memungkinkan warga negara untuk membedakan antara fakta dan opini.
Keterampilan ini memungkinkan warga negara untuk menilai dan
membahas isu-isu publik.
Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar.
yang seharusnya lebih banyak dikembangkan oleh guru di sekolah.
Dalam penelitian ini, hasil belajar yang menjadi fokus perhatian adalah
pada ranah afektif, terutama aspek sikap.
2.1.4Penilaian Aspek Sikap pada Pembelajaran PKn
Mengenai pengertian “sikap” itu sendiri, banyak ahli dalam
bidang psikologi sosial dan sosiologi yang telah memberikan definisi.
Akan tetapi ada kesamaan yang dapat diterima semua pihak. Rokeach
seperti dikutip oleh Mardapi (2008: 75), misalnya mengartikan sikap itu
sebagai organisasi keyakinan yang relatif tetap tentang suatu objek atau
situasi, yang menimbulkan kecenderungan pada seseorang untuk
merespon dengan cara-cara tertentu. Sementara Alport seperti dikutip oleh
Azwar (2011: 25) menekankan bahwa sikap merupakan suatu keadaan
neuropsikis dari kesiapan seseorang untuk melakukan kegiatan mental
dan kesiapan untuk merespon, suatu keadaan batin individu yang terarah
pada suatu nilai. Dari dua pengertian sikap yang telah dikemukakan di
atas, Nampak bahwa sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas,
akan tetapi berupa kesiapan dan kecenderungan untuk merespon. Dengan
demikian sikap seseorang tidak dapat diamati secara langsung, melainkan
harus ditafsirkan terlebih dahulu dari tingkah laku yang tampak baik
verbal maupun non verbal. Di dalam sikap terdapat tiga komponen yang
disebut dengan istilah kognisi, afeksi dan konasi. (Azwar, 2011: 27).
Komponen kognisi berhubungan dengan keyakinan (belief, ide dan
konsep). Komponen afeksi menyangkut kehidupan emosional seseorang
sedangkan komponen konasi merupakan kecenderungan untuk
berperilaku.
Ketiga komponen sikap tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan
berinteraksi satu dengan yang lainnya secara kompleks. Dengan demikian
timbulnya sikap terhadap suatu objek tidak bisa dilepaskan dari komponen
kognisi, afeksi dan konasi. Komponen kognisi akan menimbulkan
dipengaruhi oleh faktor pengalaman, proses belajar (sosialisasi), keluasan
pandangan dan pengetahuan seseorang. Faktor pengalaman dan proses
belajar akan memberikan bentuk dan struktur terhadap hal yang dilihat.
Sedangkan keluasan pandangan (cakrawala) dan pengetahuan akan
memberi arti kepada obyek yang dimaksud. Kemudian berdasarkan
norma-norma dan nilai-nilai yang dianut seseorang, maka ia akan
mempunyai keyakinan (belief) tertentu terhadap suatu obyek. Selanjutnya
komponen afeksi memberikan evaluasi emosional yang berupa perasaan
senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju terhadap obyek tersebut.
Pada tahab berikutnya berperan komponen konasi yang menentukan
kesedian atau kesiapan untuk bertindak terhadap obyek itu.
Sikap yang dimiliki oleh seseorang lebih dipandang sebagai hasil
belajar dari pada hasil perkembangan atau sesuatu yang diturunkan. Ini
berarti bahwa sikap diperoleh melalui interaksi dengan obyek sosial atau
peristiwa sosial. Oleh karenanya sikap dapat berubah-ubah, sehingga
dapat dipelajari dan dibentuk.
Pertanyaan berikut berkaitan dengan sikap adalah bagaimana
mengukur sikap? Ada empat pendekatan yang dapat dipergunakan untuk
mengetahui sikap seseorang, yaitu: (1) dengan menggunakan laporan diri
sendiri (self-report) (2) melalui laporan orang lain, (3) prosedur sosio
metri, dan (4) pencatatan dokumen. Berdasarkan empat pendekatan
tersebut dikembangkan teknik-teknik yang akan digunakan untuk
mengukur sikap, seperti: wawancara langsung, laporan tertulis, kuesioner,
pengumpulan pendapat (polls), observasi, teknik pilihan social, skala
sikap, dan masih ada lainnya.
Keempat pendekatan yang telah dikembangkan diatas,
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Demikian juga dengan
teknik-teknik pengukuran yang dikembangkan; oleh sebab itu pemilihan
terhadap salah satu dari empat pendekatan tersebut haruslah
memperhatikan asumsi yang melandasinya. Misalnya, jika jika kita
sikapnya ingin kita ketahui seyogyanya: (a) dapat memahami
pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan kepadanya, (b) memiliki kesadaran diri yang
memadai untuk memberikan informasi yang diperlukan dan (c) terdapat
kemungkinan yang besar bahwa mereka akan menjawab pertanyaan
secara jujur. Atas dasar tujuan penelitian ini, pembahasan difokuskan
pada skala sikap. Salah satu model skala sikap yang sudah familiar dalam
penilaian pembelajaran adalah skala sikap model Likert.
Menyusun sejumlah besar pertanyaan sikap (item) merupakan
langkah pertama dari proses penyusunan skala Likert. Untuk
masing-masing item, penyusun perlu menetapkan apakah pernyataan sikap yang
disusunnya itu menunjukan dukungan (favourable) atau menolak
(unfavourable) terhadap obyek sikap. Akan tetapi dari item-item itu dalam
kontinum psikologinya tidak diketahui. Oleh karena didalam memberikan
respon, subyek diijinkan memilih salah satu dari kemungkinan jawaban
yang disediakan; sangat setuju, setuju, ragu-ragu/ tidak ditentukan
(undecided), tidak setuju, sangat tidak setuju. Dengan demikian subyek
yang sangat positif sikapnya terhadap suatu obyek akan memiliki jawaban
“sangat setuju” untuk pernyataan positif.
2.2 Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian dipandang perlu mempunyai kajian penelitian terdahulu yang
relevan. Hasil penelitian yang relevan dengan penerapan model VCT yaitu
penelitian yang dilakukan oleh N. L. P. Eka Agustini, Ndara Tanggu Renda, I
Nyoman Murda (2015), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perbandingan
hasil perhitungan rata-rata hasil belajar ranah afektif mata pelajaran PKn siswa
yang mengikuti pembelajaran dengan model VCT adalah 120,31 lebih besar dari
rata-rata hasil belajar ranah afektif mata pelajaran PKn siswa yang mengikuti
pembelajaran model konvensional adalah 97,14. Mendukung penelitian yang
dilakukan N. L. P. Eka Agustini, Ndara Tanggu Renda, I Nyoman Murda
(2015), Kd. Dewi Anggarini, I Nym. Murda, I Wyn. Sudiana (2013) telah
membuktikan bahwa model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT)
mata pelajaran PKn pada siswa kelas V di Gugus VI Tajun Kecamatan
Kubutambahan.
Si Ayu Sri Wahyuni, Ni Nyn. Ganing, I Md. Suara (2013), juga telah
berhasil menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap hasil
belajar PKn antara siswa yang dibelajarkan melalui Kontekstual Bermuatan
Klarifikasi Nilai dengan siswa yang dibelajarkan secara konvensional (hitung
(3,23) > tabel (1,980). Begitu pula dengan Mursetyadi Yuli Sadono,
Muhsinatun Siasah Masruri (2014), hasil penelitiannya menunjukan bahwa
rerata hasil belajar afektif siswa dengan pembelajaran VCT lebih tinggi daripada
siswa yang belajar dengan teknik konvensional (151,47>138,91; α 0,000).
Dewa Ayu, I Made Suara, I Gede Meter (2014), dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa model pembelajaran VCT berbantuan media cerita
bergambar berpengaruh dan signifikan terhadap hasil belajar PKn siswa kelas
V SD Gugus 1 Kecamatan Gianyar.
Peneliti lain, yaitu Fairizah Haris (2013), dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa model pembelajaran VCT efektif digunakan dalam
pembelajaran PKn. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Putra
Wahyu Perdana (2012), yang menunjukkan bahwa model VCT dapat
meningkatkan hasil belajar siswa. Herniawati (2012), dalam penelitiannya juga
menyimpulkan bahwa model pembelajaran VCT dapat meningkatkan hasil
belajar siswa.
Beberapa penelitian tersebut di atas menyatakan bahwa model
pembelajaran VCT memberikan pengaruh yang positif terhadap hasil belajar
siswa pada mata pelajaran PKn baik dari aspek kognitif maupun aspek afektif.
Berbeda dengan temuan peneliti di atas, Farida Herna Astuti (2014)
menemukan hasil yang berbeda. Penelitiannya mengungkapkan bahwa tidak
ada perbedaan skor rata-rata yang signifikan setelah dilakukan pembelajaran
2.3 Kerangka Berpikir
Keberhasilan proses belajar mengajar di sekolah dipengaruhi oleh
berbagai faktor, diantaranya adalah kondisi siswa baik internal maupun
ekternal, kurikulum, serta sarana prasarana yang tersedia.
Hasil belajar PKn ditentukan oleh proses belajar PKn. Jika proses
belajar berjalan baik dan melibatkan intelektual dan emosional peserta didik
secara optimal maka hasil belajar PKn juga akan optimal. Agar hasil belajar
PKn sesuai dengan tujuannya yaitu sebagai sarana penanaman nilai, salah
satunya dengan pemilihan model atau metode belajar yang sesuai dengan tujuan
tersebut.
Untuk melakukan pembenahan dan inovasi terkait dengan strategi dan
model yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran PKn, salah
satunya dengan model pembelajarn Value Clarification Technique (VCT).
Model pembelajaran VCT merupakan model pembelajaran yang digunakan
untuk penanaman nilai. Penanaman nilai ini dilakukan melalui proses analisis
nilai yang sudah ada dalam diri siswa sebelumnya kemudian menyelaraskannya
dengan nilai baru yang ingin ditanamkan. Dengan demikian diharapkan dapat
diketahui pengaruh hasil belajar PKn pada aspek afektif antara siswa yang diajar
dengan menggunakan model pembelajaran konvensional dengan model
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pikir diatas, maka hipotesis tindakan yang
penulis ajukan adalah sebagai berikut :
Hasil belajar berupa sikap terhadap Globalisasai pada pembelajaran PKn
menggunkan VCT lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan hasil