• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di SD 2.1.1.1 Pengertian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Penerapan Model Pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) denga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di SD 2.1.1.1 Pengertian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Penerapan Model Pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) denga"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

7

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori

2.1.1 Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di SD 2.1.1.1 Pengertian

Wahidin (2010: 37), menyatakan bahwa Pendidikan

Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk

mendidik generasi muda menjadi warga Negara yang demokratis dan

partisipatif melalui suatu pendidikan yang dialogial. Pendapat ini lebih

menekankan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan

demokrasi, dimana siswa diharapkan kelak menjadi warga Negara yang

demokratis dan partisipatif dalam kehidupan berbangsa.

Sementara itu, Winataputra (2012: 2), mendefinisikan Pendidikan

Kewarganegaraan “sebagai wahana pendidikan yang dibangun untuk

membina dan mengembangkan warga Negara yang cerdas dan baik dalam

latar subsistem pendidikan formal, nonformal, dan informal, pada dasarnya

sudah menjadi bagian inhern dari idea, instrumentasi dan praksis pendidikan

nasional Indonesia”. Pendapat ini memberikan pengertian bahwa

pembelajaran PKn yang diselenggarakan baik di lembaga formal maupun

nonformal dilaksanakan dalam rangka membekali siswa dengan

pengetahuan, keterampilan dan sikap kewarganegaraan agar kelak siswa

menjadi warga Negara yang baik dan cerdas.

Dalam lampiran Permendiknas No. 22 tahun 2006, dikemukakan

bahwa:

“Mata pelajaran Pendidikan Kewargenegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada membentukkan warga Negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945”.

Pernyataan ini mengandung arti bahwa Pendidikan

Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang menitikberatkan pada

(2)

lampiran Permendiknas tersebut, dapat dipahami bahwa terdapat beberapa

nilai yang diharapkan dimiliki siswa dengan belajar PKn, yaitu: pertama,

siswa terbentuk menjadi pribadi yang mampu bersikap menghargai semua

keragaman dengan memahami hak dan kewajiban dirinya dan orang lain

sebagai warga Negara Indonesia; kedua, siswa diharapkan menjadi pribadi

yang cerdas dimana kecerdasan ini diperoleh siswa dari proses

pembelajaran PKn di sekolah; ketiga, siswa diharapkan terampil baik

keterampilan intelektual maupun keterampilan partisipatoris; keempat,

siswa menjadi pribadi yang berkarakter, dimana karakter ini dapat diperoleh

dari watak kewarganegaraan yang dibina dan dikembangkan dalam proses

pembelajaran PKn di sekolah. Nilai-nilai ini tentu saja dilandasi nilai moral

luhur bangsa Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 1945.

Sementara itu, dalam Encyclopedia of Educational Research,

pengertian Pendidikan Kewarganegaraan dapat dijelaskan dalam arti sempit

dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, Pendidikan Kewarganegaraan adalah

pembelajaran yang membahas masalah hak dan kewajiban.Pengertian ini

didasarkan pada konotasi politik dari warga Negara.Sementara itu, dalam

arti luas, pendidikan kewarganegaraan adalah pembelajaran yng berisi

masalah moral, etika, sosial, serta berbagai aspek kehidupan ekonomi

(Dasim Budimansyah, 2007: 7.5-7.6).

Sejalan dengan pendapat tersebut, Pendidikan Kewarganegaraan

memiliki visi utama sebagai pendidikan demokrasi yang bersifat

multidimensional (Depdiknas, 2007). PKn merupakan pendidikan nilai

demokrasi, pendidikan moral, pendidikan sosial dan pendidikan politik.

Akan tetapi, dari semua pendidikan tersebut yang paling menonjol dari PKn

adalah pendidikan nilai dan moral. Alasannya antara lain yakni: pertama,

materi PKn merupakan konsep-konsep nilai Pancasila dan UUD 1945

beserta dinamika perwujudan dalam kehidupan masyarakat Negara

Indonesia; kedua, sasaran akhir dari belajar PKn adalah perwujudan

nilai-nilai tersebut dalam perilaku nyata kehidupan sehari-hari; ketiga, dalam

(3)

sosial dari peserta didik dan guru sehingga nilai-nilai itu bukan hanya

sekedar dipahami (bersifat kognitif) tetapi dihayati dan dilaksanakan

(bersifat afektif) (Aris Susanto, 2013: 42).

Berdasarkan visi PKn yang seperti di atas itulah, maka tujuan PKn

menurut Lampiran Permendiknas No. 22 Tahun 2006 adalah agar peserta

didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

a. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu

kewarganegaraan.

b. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak

secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara serta anti korupsi.

c. Berkembang secara positif dan demokratis tis untuk membentuk diri

berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup

bersama dengan bangsa-bangsa lain.

d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara

langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi

informasi dan komunikasi.

Untuk mencapai tujuan pembelajaran PKn tersebut, delapan materi

pokok standar isi mata pelajaran PKn di Indonesia untuk satuan dasar dan

menengah memuat komponen sebagai berikut:

1. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam

perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia,

Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,

Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara

Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan

2. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan

keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat,

Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara, Sistim hukum dan peradilannasional,

(4)

3. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan

kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional

HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM

4. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri

sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan

mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi

diri, Persamaan kedudukan warga negara

5. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi

yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di

Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi

6. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan,

Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan

sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat

madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi

7. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan

ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara,

Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari,

Pancasila sebagai ideologi terbuka

8. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri

Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan

internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi

globalisasi.

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa PKn pada

hakikatnya adalah pendidikan yang mengarahkan siswa agar terbentuk

menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab berdasarkan

(5)

2.1.1.2 Kompetensi Dasar Pembelajaran PKN SD Tabel 2.1

SK dan KD yang digunakan Dalam Penelitian Kelas 4, Semester 2

Stándar Kompetensi

Kompetensi Dasar

4. Menunjukkan sikap terhadap globalisasi di lingkungannya

4.1 Memberikan contoh sederhana pengaruh globalisasi di lingkungannya

4.2 Mengidentifikasi jenis budaya Indonesia yang pernah ditampilkan dalam misi kebudayaan internasional

4.3 Menentukan sikap terhadap pengaruh globalisasi yang terjadi di lingkungannya

2.1.1.3 Pembelajaran PKn SD

Pendidikan Kewarganegaraan dibangun atas dasar paradigma bahwa

PKn secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang

bertujuan mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara

Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung

jawab. Secara teoretik, PKn dirancang sebagai subjek pembelajaran yang

memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang bersifat

konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi

ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis,

dan bela negara. Secara programatik, PKn dirancang sebagai subjek

pembelajaran yang menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai

(content embedding values) dan pengalaman belajar (learning experience)

dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan

sehari-hari (Budimansyah, 2006: 37).

Dari pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa pada dasarnya PKn

adalah pendidikan yang mengarahkan siswa agar terbentuk menjadi warga

Negara yang baik dan bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai dan dasar

(6)

pendekatan PKn adalah sebagai pendidikan nilai dan moral. Pendidikan

nilai adalah suatu proses penyelenggaraan pendidikan dimana

pengembangan yang lebih ditekankan adalah aspek afektif, bukan lagi

kognitif dan diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari

peserta didik sebagai individu. Oleh karena itu, pembelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan di Sekolah Dasar (SD) seharusnya diarahkan untuk

penanaman nilai-nilai dan moral Pancasila ke dalam diri siswa. Sasaran

pembelajaran lebih kepada aspek afektif, sehingga diharapkan siswa tidak

hanya sebatas memahami, tetapi juga dapat menerapkan nilai-nilai dan

norma ini ke dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti yang telah dipaparkan pada penjelasan sebelumnya bahwa

hakikat dari pembelajaran PKn adalah penanaman nilai dan moral ke dalam

diri siswa. Pendidikan Kewarganegaraan seharusnya mampu

mengeksplorasi internal side dari seseorang, dan salah satu hasil dari

internal side ini adalah sikap. Sikap merupakan posisi seseorang atau

keputusan seseorang sebelum berbuat, sehingga sikap merupakan ambang

batas seseorang antara sebelum melakukan suatu perbuatan atau perilaku

tertentu dengan berbuat atau berperilaku tertentu.

Pembelajaran PKn perlu dilaksanakan sesuai dengan visi misinya,

yaitu melalui penerapan alternative pembelajaran yang relevan diantaranya

dengan Model pembelajaran Konsiderasi, Role Playing, Portfolio Based

Model,VCT, Cognitive Developmental Model, Reflective Inquiry, Inquiry

Social, PKKBI. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan model

pembelajaran Value Clarification Technique (VCT).

2.1.2 Model Pembelajaran Value Clarification Technique (VCT) 2.1.2.1 Pengertian VCT

Pembelajaran PKn erat kaitannya dengan pengembangan pada ranah

afektif. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pembelajaran PKn

lebih menitikberatkan pada penanaman nilai dan moral pada siswa. Oleh

(7)

menyentuh sisi kognitif saja melainkan juga bertujuan mencapai sisi sikap

dan keterampilan (afektif).

Salah satu strategi yang dapat digunakan sesuai dengan karakteristik

Pkn adalah model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT).

Value Clarification Technique atau yang sering disingkat VCT merupakan

teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan

suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui

proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa

(Sanjaya: 2006). Abdul Gafur (2006: 6), juga berpendapat bahwa VCT

merupakan metode menanamkan nilai (values) dengan cara sedemikian

rupa sehingga peserta didik memperoleh kejelasan/kemantapan nilai.

Teknik yang digunakan pada VCT dapat berupa angket dan tanya jawab.

Dari pendapat para ahli tersebut, dapat dipahami bahwa VCT adalah salah

satu teknik pembelajaran yang dapat memenuhi tujuan pancapaian

pendidikan nilai.

Pembelajaran VCT dapat mengajarkan siswa tentang beberapa hal

sebagai berikut:

a. Memberikan nilai atas sesuatu

b. Membuat penilaian yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan

c. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang menyangkut

masalah nilai dengan jelas, rasional dan objektif

d. Memahami dan mengamalkan nilai-nilai yang berlaku dalam

masyarakat (Fathurrohman dan Wuryandani, 2011: 36-37).

Tujuan menggunakan model VCT dalam pembelajaran PKn menurut

Taniredja, Faridli, dan Harmianto (2012: 88) yaitu: (1) mengetahui dan

mengukur tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai; (2) menanamkan

kesadaran siswa tentang nilai yang dimiliki; (3) menanamkan

nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional (logis) dan diterima

siswa; (4) melatih siswa dalam menerima dan menilai nilai dirinya dan

(8)

2.1.2.2 Karakteristik Model Pembelajaran VCT

Teknik mengklarifikasi nilai (Value Clarification Technique) atau

sering disingkat VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk

membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap

baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai

yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa.

Kelemahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau

sikap adalah proses pembelajaran dilakukan secara langsung oleh guru,

artinya guru menanamkan nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa

memerhatikan nilai yang sudah tertanam dalam diri siswa. Akibatnya,

sering terjadi benturan atau konflik dalam diri siswa karena ketidakcocokan

antara nilai lama yang sudah terbentuk dengan nilai baru yang ditanamkan

oleh guru. Siswa sering mengalami kesulitan dalam menyelaraskan nilai

lama dan nilai baru. Salah satu karakteristik VCT sebagai suatu model dalam

strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan

melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa

kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak

ditanamkan.

Pembelajaran VCT menurut Djahiri dalam Taniredja, Faridli, dan

Harmianto (2012: 91), dianggap unggul untuk pembelajaran afektif karena;

pertama, mampu membina dan menanamkan nilai dan moral pada internal

side; kedua, mampu mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan materi

yang disampaikan; ketiga mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai

moral diri siswa dan nilai moral dalam kehidupan nyata; keempat, mampu

mengundang, melibatkan, membina dan mengembangkan potensi diri siswa

terutama potensi afektualnya; kelima, mampu memberikan pengalaman

belajar dalam berbagai kehidupan; keenam, mampu menangkal,

meniadakan mengintervensi dan menyubversi berbagai nilai moral naif

yang ada dalam sistem nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang;

(9)

2.1.2.3 Langkah-langkah Model Pembelajaran VCT

Jarolimek (1977) dalam Taniredja, Faridli, dan Harmianto (2012:

89-90) mengklasifikasikan langkah pelaksanaan model pembelajaran VCT

ke dalam 7 tahap yang dibagi menjadi 3 tingkat. Setiap tahap dijelaskan

sebagai berikut:

Tingkat 1. Kebebasan Memilih

Pada tingkat ini yang terdiri dari 3 tahap pembelajaran yaitu:

1) Memilih secara bebas, artinya kesempatan untuk menentukan pilihan

yang menurutnya baik karena nilai yang dipaksakan tidak akan menjadi

miliknya secara penuh;

2) Memilih dari beberapa alternatif, artinya untuk menentukan pilihan dari

beberapa alternatif pilihan secara bebas;

3) Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang

akan timbul sebagai akibat pilihannya.

Tingkat 2. Menghargai

Pada tingkat ini terdiri dari 2 tahap pembelajaran, yaitu:

1) Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi

pilihannya, sehingga nilai tersebut akan menjadi bagian dari dirinya;

2) Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di

depan umum, artinya jika kita menganggap nilai itu suatu pilihan, maka

kita akan berani dengan penuh kesadaran untuk menunjukkannya di

depan orang lain.

Tingkat 3. Berbuat

Pada tingkat ini terdapat 2 tahap pembelajaran, yaitu:

1) kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya;

2) mengulangi perilaku sesuai dengan nilai pilihannya, artinya nilai yang

menjadi pilihan itu harus tercermin dalam kehidupannya sehari-hari.

Langkah-langkah model pembelajaran VCT sebenarnya tergantung pada

teknik yang akan diambil, akan tetapi menurut Djahiri (1985: 10), secara

umum dapat dikemukakan sebagai berikut :

(10)

Stimulus yang ditentukan harus bersifat dilematis dan memuat konflik

nilai/moral. Hal ini bertujuan agar siswa merasakan adanya dilema

karena adanya dua atau tiga nilai yang sama berat, sama benar, ataupun

sama salahnya yang mengharuskan siswa untuk memecahkan atau

memilihnya.

2. Penyajian Stimulus

Penyajian stimulus ini dapat melalui berbagai kegiatan, misalnya

meminta siswa untuk memperagakan, membacakan hal-hal sebagai

berikut:

a. Masalah (konflik nilai/moral)

b. Identifikasi fakta yang dibuat stimulus

c. Menentukan kesamaan pengertian

d. Menentukan masalah utama yang akan dipecahkan

3. Penentuan Pilihan

Siswa diberi posisi kesempatan untuk menanggapi melalui :

a. Penentuan pilihan secara individual

b. Penentuan pilihan secara kelompok atau kelas

c. Klarifikasi atas pilihan yang dibuat (guru berperan untuk

meluruskan, menjelaskan atau memperjelas dan memanipulasi

klarifikasi siswa menuju target nilai).

4. Menguji Alasan

Dilakukan dengan cara :

a. Meminta argumentasi siswa/kelompok/kelas

b. Pemantauan argumentasi melalui:

1) Mempertentangkan argumen demi argument (konsep dan teori

diikutsertakan melalui argument tersebut).

2) Penerapan kejadian secara analogis

3) Mengkaji akibat-akibat penerapan tersebut

4) Mengkaji kemungkinan dari kegiatan.

5. Penyimpulan dan Pengarahan

(11)

a. Kesimpulan siswa/kelompok kelas

b. Kesimpulan dan pengarahan oleh guru sesuai dengan target materi

pelajaran (konsep nilai/norma/moral)

6. Tindak Lanjut (follow up)

Dapat berupa :

a. Kegiatan perbaikan /remedial/pengayaan

b. Kegiatan ekstra/latihan penerapan uji coba. Khususnya

masalah/kegiatan ini ada baiknya diarahkan kepada:

1) Membina kesinambungan idealisme/nilai/moral yang diajarkan

dengan realita.

2) Pembinaan kesinambungan antara pendapat/ucapan dengan

perbuatan

3) Pembinaan kepentingan diri dengan kepentingan umum

4) Analisis esensi penerapan melalui telaah pro/kontra atau

reportasi pengalaman/kenyataan atau kaji banding pengujian

pro-kontra suatu/sejumlah perbuatan.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sintaks yang disampaikan

oleh Djahiri.

2.1.2.4 Analisis Komponen Model Pembelajaran VCT

Bruce Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun (2009: 104-106),

mengemukakan bahwa setiap model pembelajaran memiliki unsur-unsur

berupa 1) Sintaks; 2) Prinsip reaksi; 3) Sistem sosial; 4) Sistem Penduukung

5) Dampak Instruksional dan dampak pengiring. Berikut akan diuraikan

analisis komponen pembelajaran VCT berdasarkan teori Bruce Joyce diatas.

1. Sintaks

Sintaks merupakan urutan langkah pengajaran yang menunjuk

pada fase-fase atau tahap-tahap yang harus dilakukan oleh guru bila

menggunakan model pembelajaran tertentu. Menurut Djahiri (1985: 10)

sintaks model pembelajaran VCT dapat diuraikan sebagai berikut:

(12)

Stimulus yang ditentukan harus bersifat dilematis dan memuat

konflik nilai/moral. Hal ini bertujuan agar siswa merasakan

adanya dilema karena adanya dua atau tiga nilai yang sama berat,

sama benar, ataupun sama salahnya yang mengharuskan siswa

untuk memecahkan atau memilihnya.

2) Penyajian Stimulus

Penyajian stimulus ini dapat melalui berbagai kegiatan, misalnya

meminta siswa untuk memperagakan, membacakan hal-hal

sebagai berikut:

a) Masalah (konflik nilai/moral)

b) Identifikasi fakta yang dibuat stimulus

c) Menentukan kesamaan pengertian

d) Menentukan masalah utama yang akan dipecahkan

3) Penentuan Pilihan

Siswa diberi posisi kesempatan untuk menanggapi melalui :

a) Penentuan pilihan secara individual

b) Penentuan pilihan secara kelompok atau kelas

c) Klarifikasi atas pilihan yang dibuat (guru berperan untuk

meluruskan, menjelaskan atau memperjelas dan

memanipulasi klarifikasi siswa menuju target nilai).

4) Menguji Alasan

Dilakukan dengan cara :

a) Meminta argumentasi siswa/kelompok/kelas

b) Pemantauan argumentasi melalui:

1. Mempertentangkan argumen demi argument (konsep dan

teori diikutsertakan melalui argument tersebut).

2. Penerapan kejadian secara analogis

3. Mengkaji akibat-akibat penerapan tersebut

4. Mengkaji kemungkinan dari kegiatan.

5) Penyimpulan dan Pengarahan

(13)

a) Kesimpulan siswa/kelompok kelas

b) Kesimpulan dan pengarahan oleh guru sesuai dengan target

materi pelajaran (konsep nilai/norma/moral)

6) Tindak Lanjut (follow up)

Dapat berupa :

a) Kegiatan perbaikan /remedial/pengayaan

b) Kegiatan ekstra/latihan penerapan uji coba. Khususnya

masalah/kegiatan ini ada baiknya diarahkan kepada:

1. Membina kesinambungan idealisme/nilai/moral yang

diajarkan dengan realita.

2. Pembinaan kesinambungan antara pendapat/ucapan

dengan perbuatan

3. Pembinaan kepentingan diri dengan kepentingan umum

4. Analisis esensi penerapan melalui telaah pro/kontra atau

reportasi pengalaman/kenyataan atau kaji banding

pengujian pro-kontra suatu/sejumlah perbuatan.

2. Prinsip reaksi

Prinsip reaksi merupakan pola kegiatan yang menggambarkan

bagaimana seharusnya guru melihat dan memperlakukan para siswa,

termasuk bagaimana seharusnya guru memberikan respon terhadap

siswa. Prinsip ini memberi petunjuk bagaimana seharusnya guru

menggunakan aturan permainan yang berlaku pada setiap model

pembelajaran.

Dalam pembelajaran dengan menggunakan model VCT ini guru

berperan sebagai model, dalam arti guru harus menjadi teladan atau

contoh sikap sesuai yang diharapkan dalam pembelajran PKn. Selain

itu, dalam proses pembelajaran, guru menjadi fasilitator yang akan

memberikan bantuan ataupun pengarahan bagi siswa. Hal ini dapat

dilihat pada saat guru berperan untuk meluruskan, menjelaskan atau

memperjelas dan memanipulasi klarifikasi siswa menuju target nilai

(14)

akan membimbing siswa untuk mengambil kesimpulan sesuai dengan

target nilai yang telah ditetapkan.

3. Sistem sosial

Sistem sosial merupakan pola hubungan guru dengan siswa pada

saat terjadinya proses pembelajaran (situasi atau suasana dan norma

yang berlaku dalam penggunaan metode pembelajaran tertentu).

Dalam pembelajaran menggunakan model VCT ini kegiatan kelas

berorientasi pada pemecahan masalah baik secara individu, kelompok,

maupun kelas. Siswa difasilitatori oleh guru mengenal dan

menganalisis masalah secara rinci. Peran siswa dan guru sederajat,

walaupun dalam hal ini berbeda peran.

4. Sistem pendukung

Sistem Pendukung merupakan segala sarana, bahan dan alat yang

diperlukan untuk menunjang terlaksananya proses pembelajaran

secara optimal. Dalam pembelajaran menggunakan model VCT ini

sistem pendukung yang diperlukan dari segi kondisi lingkungan fisik

yaitu ketersediaan sarana dan prasarana yang mendukung seperti

papan tulis atau LCD untuk menampilakan masalah dilematis. Selain

itu, guru juga harus mempersiapkan rancangan pembelajaran berupa

RPP, Lembar kerja siswa berbasis VCT analisis nilai, dan lembar

evaluasi.

5. Dampak instruksional dan dampak pengiring.

Dampak instruksional adalah hasil belajar yang dicapai atau

yang berkaitan langsung dengan materi pembelajaran. Jadi, dampak

instruksional merupakan kemampuan siswa yang diperoleh setelah

dilaksanakannya pembelajaran. Secara umum, dampak instruksional

yang dimiliki siswa setelah mengikuti pembelajaran PKn

menggunakan model pembelajaran VCT ini diantaranya yaitu siswa

dapat menyebutkan pengertian globalisasi, siswa dapat menyebutkan

pengaruh globalisasi pada makanan, minuman dan kebudayaan, siswa

(15)

model VCT ini, siswa akan secara aktif memecahkan suatu masalah

yang dilematis. Untuk memecahkan masalah tersebut, tentu

dibutuhkan pengetahuan tentang masalah tersebut. Sasaran akhir dari

model pembelajaran ini adalah siswa dapat mengambil keputusan

dengan target nilai yang harus dicapai dalam pembelajaran. Tujuan

akhir dari pembelajaran VCT ini menekankan pada aspek sikap siswa.

Dampak pengiring adalah hasil belajar sampingan (iringan) yang

dicapai sebagai akibat dari penggunaan model pembelajaran tertentu.

Secara umum, dampak pengiring yang akan timbul dengan penerapan

model pembelajaran VCT ini adalah siswa lebih inovatif dalam

menanggapi masalah, keaktifan dalam bekerja sama, pengendalian

diri dalam penyelesaian konflik, kreatif dalam menganalisis suatu

permasalahan, sensitif dalam menanggapi masalah-masalah baik di

lingkungan kelas maupun di lingkungan yang lebih luas.

Gambar 2.1

(16)

Keterangan :

Dampak Instruksional :

Dampak Pengiring :

2.1.2.5 Penerapan Model Pembelajaran VCT dalam Pembelajaran PKn SD

Sebelum melaksanakan pembelajaran, perlu perencanaan yang

matang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran menggunakan model

tertentu. Oleh karena itu, pemetaan sintak dan langkah-langkah

pembelajaran perlu dibuat. Pemetaan ini berguna sebagai patokan dalam

menyusun Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Berikut akan

diuraikan mengenai pemetaan sintak dan langkah-langkah yang harus

dilaksanakan dalam pembelajaran PKn menggunakan model pembelajaran

VCT.

Tabel 2.2 Pemetaan Sintak VCT KEGIATAN

GURU

SINTAKS VCT KEGIATAN

(17)

hari atau berbekal yang telah dipelajari

Mengadakan

2.1.3 Hasil Belajar PKn

Secara umum, proses pendidikan terdiri dari masukan (input), tahap atau

proses pembelajaran dan hasil akhir atau hasil pembelajaran (output). Hasil

(18)

Dalam proses pembelajaran di sekolah, setelah mengikuti pembelajaran siswa

diharapkan dapat merubah perilakunya dibandingkan sebelum mengikuti

pembelajaran.

Menurut Nana Sudjana seperti dikutip oleh Kunandar (2010: 276),

hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat

pengukuran, yaitu berupa tes yang disusun secara terancana, baik tes tertulis,

tes lisan maupun tes perbuatan. Sedangkan S. Nasution seperti dikutip oleh

Kunandar (2010: 276), berpendapat bahwa hasil belajar adalah suatu

perubahan pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan,

tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri pribadi

individu yang belajar. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan

bahwa hasil belajar merupakan kemampuan siswa yang dilakukan pada proses

pembelajaran dan dapat dilihat dari penilaian.

Menurut Bloom dalam Agus Supriono (2009: 6-7), terdapat tiga ranah

yang digunakan untuk mengukur hasil belajar, yaitu:

1. Ranah Kognitif

Ranah kognitif yaitu berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang

terdiri dari enam aspek yaitu pengetahuan, ingatan, pemahaman, aplikasi,

análisis, síntesis, dan evaluasi. Dalam Pkn, aspek pengetahuan ini juga

dikenal sebagai Civic Knowledge. Sesuai dengan tujuan Pkn yaitu untuk

membentuk warga negara yang baik maka siswa perlu dibekali dengan

pengetahuan tentang PKn itu sendiri. Center for Indonesian Civic

Education (CICED) dalam Winarno (2013: 109) menyebutkan komponen

pengetahuan kewarganegaraan meliputi: (1) Principle of democracy; (2)

Comprehend of state constitution; (3) Citizen’s rights any responssibility;

(4) State’s rule of law; (5) Good government; (6) Citizenship; (7) People

sovereignty; (8) Free and fair tribune; (9) Equality and equity; (10)

Justice; (11) Human rights; (12) Civilization; (13) Cultural differences;

(14) Democratic processes; (15) Citizenship activities; (16) National

identity/attributes; (17) Civil society; (18) Free market economy; (19)

(19)

2. Ranah Afektif

Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yaitu

penerimaan, jawaban, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Contoh

hasil belajar afektif yaitu, kemauan untuk menerima pelajaran dari guru,

perhatian siswa terhadap apa yang dijelaskan guru, bertanya, dan lain

-lain.

Dalam Pkn, ranah afektif ini dikenal dengan Civic Disposition. Hal ini

berkaitan dnegan karakter/watak/sikap yang ditunjukkan siswa setelah

menerima pembelajaran PKn. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya,

bahwa Civic Disposition merupakan tujuan akhir dari PKn yaitu

menjadikan warga Negara yang baik.

3. Ranah Psikomotor

Ranah psikomotor yaitu hasil belajar keterampilan, dan kemampuan

bertindak individu. Ada enam tingkatan keterampilan, yakni: gerakan

refleks (keterampilan pada gerakan yang tidak sadar), keterampilan

gerakan-gerakan dasar, kemampuan perseptual (membedakan visual,

auditif, dan motoris), kemampuan dibidang fisik (misalnya kekuatan,

ketepatan), gerakan-gerakan skill, dan kemampuan yang berkenaan

dengan gerakan ekspresif dan interpreatif.

Dalam Pkn, ranah psikomotor berkaitan dengan keterampilan

kewarganegaraan (Civic Skill). Kecakapan kewarganegaraan kadang

disebut sebagai kecakapan berpikir kritis. Kecakapan ini antara lain:

mengidentifikasi dan menjelaskan; menjelaskan dan menganalisis;

mengevaluasi, mengambil, dan memahami isuisu publik. Warga negara

harus mampu menganalisis hal-hal seperti komponen dan konsekuensi

dari ide-ide, proses sosial, politik, atau ekonomi, dan lembaga. Hal ini

memungkinkan warga negara untuk membedakan antara fakta dan opini.

Keterampilan ini memungkinkan warga negara untuk menilai dan

membahas isu-isu publik.

Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar.

(20)

yang seharusnya lebih banyak dikembangkan oleh guru di sekolah.

Dalam penelitian ini, hasil belajar yang menjadi fokus perhatian adalah

pada ranah afektif, terutama aspek sikap.

2.1.4Penilaian Aspek Sikap pada Pembelajaran PKn

Mengenai pengertian “sikap” itu sendiri, banyak ahli dalam

bidang psikologi sosial dan sosiologi yang telah memberikan definisi.

Akan tetapi ada kesamaan yang dapat diterima semua pihak. Rokeach

seperti dikutip oleh Mardapi (2008: 75), misalnya mengartikan sikap itu

sebagai organisasi keyakinan yang relatif tetap tentang suatu objek atau

situasi, yang menimbulkan kecenderungan pada seseorang untuk

merespon dengan cara-cara tertentu. Sementara Alport seperti dikutip oleh

Azwar (2011: 25) menekankan bahwa sikap merupakan suatu keadaan

neuropsikis dari kesiapan seseorang untuk melakukan kegiatan mental

dan kesiapan untuk merespon, suatu keadaan batin individu yang terarah

pada suatu nilai. Dari dua pengertian sikap yang telah dikemukakan di

atas, Nampak bahwa sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas,

akan tetapi berupa kesiapan dan kecenderungan untuk merespon. Dengan

demikian sikap seseorang tidak dapat diamati secara langsung, melainkan

harus ditafsirkan terlebih dahulu dari tingkah laku yang tampak baik

verbal maupun non verbal. Di dalam sikap terdapat tiga komponen yang

disebut dengan istilah kognisi, afeksi dan konasi. (Azwar, 2011: 27).

Komponen kognisi berhubungan dengan keyakinan (belief, ide dan

konsep). Komponen afeksi menyangkut kehidupan emosional seseorang

sedangkan komponen konasi merupakan kecenderungan untuk

berperilaku.

Ketiga komponen sikap tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan

berinteraksi satu dengan yang lainnya secara kompleks. Dengan demikian

timbulnya sikap terhadap suatu objek tidak bisa dilepaskan dari komponen

kognisi, afeksi dan konasi. Komponen kognisi akan menimbulkan

(21)

dipengaruhi oleh faktor pengalaman, proses belajar (sosialisasi), keluasan

pandangan dan pengetahuan seseorang. Faktor pengalaman dan proses

belajar akan memberikan bentuk dan struktur terhadap hal yang dilihat.

Sedangkan keluasan pandangan (cakrawala) dan pengetahuan akan

memberi arti kepada obyek yang dimaksud. Kemudian berdasarkan

norma-norma dan nilai-nilai yang dianut seseorang, maka ia akan

mempunyai keyakinan (belief) tertentu terhadap suatu obyek. Selanjutnya

komponen afeksi memberikan evaluasi emosional yang berupa perasaan

senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju terhadap obyek tersebut.

Pada tahab berikutnya berperan komponen konasi yang menentukan

kesedian atau kesiapan untuk bertindak terhadap obyek itu.

Sikap yang dimiliki oleh seseorang lebih dipandang sebagai hasil

belajar dari pada hasil perkembangan atau sesuatu yang diturunkan. Ini

berarti bahwa sikap diperoleh melalui interaksi dengan obyek sosial atau

peristiwa sosial. Oleh karenanya sikap dapat berubah-ubah, sehingga

dapat dipelajari dan dibentuk.

Pertanyaan berikut berkaitan dengan sikap adalah bagaimana

mengukur sikap? Ada empat pendekatan yang dapat dipergunakan untuk

mengetahui sikap seseorang, yaitu: (1) dengan menggunakan laporan diri

sendiri (self-report) (2) melalui laporan orang lain, (3) prosedur sosio

metri, dan (4) pencatatan dokumen. Berdasarkan empat pendekatan

tersebut dikembangkan teknik-teknik yang akan digunakan untuk

mengukur sikap, seperti: wawancara langsung, laporan tertulis, kuesioner,

pengumpulan pendapat (polls), observasi, teknik pilihan social, skala

sikap, dan masih ada lainnya.

Keempat pendekatan yang telah dikembangkan diatas,

masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Demikian juga dengan

teknik-teknik pengukuran yang dikembangkan; oleh sebab itu pemilihan

terhadap salah satu dari empat pendekatan tersebut haruslah

memperhatikan asumsi yang melandasinya. Misalnya, jika jika kita

(22)

sikapnya ingin kita ketahui seyogyanya: (a) dapat memahami

pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan kepadanya, (b) memiliki kesadaran diri yang

memadai untuk memberikan informasi yang diperlukan dan (c) terdapat

kemungkinan yang besar bahwa mereka akan menjawab pertanyaan

secara jujur. Atas dasar tujuan penelitian ini, pembahasan difokuskan

pada skala sikap. Salah satu model skala sikap yang sudah familiar dalam

penilaian pembelajaran adalah skala sikap model Likert.

Menyusun sejumlah besar pertanyaan sikap (item) merupakan

langkah pertama dari proses penyusunan skala Likert. Untuk

masing-masing item, penyusun perlu menetapkan apakah pernyataan sikap yang

disusunnya itu menunjukan dukungan (favourable) atau menolak

(unfavourable) terhadap obyek sikap. Akan tetapi dari item-item itu dalam

kontinum psikologinya tidak diketahui. Oleh karena didalam memberikan

respon, subyek diijinkan memilih salah satu dari kemungkinan jawaban

yang disediakan; sangat setuju, setuju, ragu-ragu/ tidak ditentukan

(undecided), tidak setuju, sangat tidak setuju. Dengan demikian subyek

yang sangat positif sikapnya terhadap suatu obyek akan memiliki jawaban

“sangat setuju” untuk pernyataan positif.

2.2 Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian dipandang perlu mempunyai kajian penelitian terdahulu yang

relevan. Hasil penelitian yang relevan dengan penerapan model VCT yaitu

penelitian yang dilakukan oleh N. L. P. Eka Agustini, Ndara Tanggu Renda, I

Nyoman Murda (2015), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perbandingan

hasil perhitungan rata-rata hasil belajar ranah afektif mata pelajaran PKn siswa

yang mengikuti pembelajaran dengan model VCT adalah 120,31 lebih besar dari

rata-rata hasil belajar ranah afektif mata pelajaran PKn siswa yang mengikuti

pembelajaran model konvensional adalah 97,14. Mendukung penelitian yang

dilakukan N. L. P. Eka Agustini, Ndara Tanggu Renda, I Nyoman Murda

(2015), Kd. Dewi Anggarini, I Nym. Murda, I Wyn. Sudiana (2013) telah

membuktikan bahwa model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT)

(23)

mata pelajaran PKn pada siswa kelas V di Gugus VI Tajun Kecamatan

Kubutambahan.

Si Ayu Sri Wahyuni, Ni Nyn. Ganing, I Md. Suara (2013), juga telah

berhasil menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap hasil

belajar PKn antara siswa yang dibelajarkan melalui Kontekstual Bermuatan

Klarifikasi Nilai dengan siswa yang dibelajarkan secara konvensional (hitung

(3,23) > tabel (1,980). Begitu pula dengan Mursetyadi Yuli Sadono,

Muhsinatun Siasah Masruri (2014), hasil penelitiannya menunjukan bahwa

rerata hasil belajar afektif siswa dengan pembelajaran VCT lebih tinggi daripada

siswa yang belajar dengan teknik konvensional (151,47>138,91; α 0,000).

Dewa Ayu, I Made Suara, I Gede Meter (2014), dalam penelitiannya

menyimpulkan bahwa model pembelajaran VCT berbantuan media cerita

bergambar berpengaruh dan signifikan terhadap hasil belajar PKn siswa kelas

V SD Gugus 1 Kecamatan Gianyar.

Peneliti lain, yaitu Fairizah Haris (2013), dalam penelitiannya

menyimpulkan bahwa model pembelajaran VCT efektif digunakan dalam

pembelajaran PKn. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Putra

Wahyu Perdana (2012), yang menunjukkan bahwa model VCT dapat

meningkatkan hasil belajar siswa. Herniawati (2012), dalam penelitiannya juga

menyimpulkan bahwa model pembelajaran VCT dapat meningkatkan hasil

belajar siswa.

Beberapa penelitian tersebut di atas menyatakan bahwa model

pembelajaran VCT memberikan pengaruh yang positif terhadap hasil belajar

siswa pada mata pelajaran PKn baik dari aspek kognitif maupun aspek afektif.

Berbeda dengan temuan peneliti di atas, Farida Herna Astuti (2014)

menemukan hasil yang berbeda. Penelitiannya mengungkapkan bahwa tidak

ada perbedaan skor rata-rata yang signifikan setelah dilakukan pembelajaran

(24)

2.3 Kerangka Berpikir

Keberhasilan proses belajar mengajar di sekolah dipengaruhi oleh

berbagai faktor, diantaranya adalah kondisi siswa baik internal maupun

ekternal, kurikulum, serta sarana prasarana yang tersedia.

Hasil belajar PKn ditentukan oleh proses belajar PKn. Jika proses

belajar berjalan baik dan melibatkan intelektual dan emosional peserta didik

secara optimal maka hasil belajar PKn juga akan optimal. Agar hasil belajar

PKn sesuai dengan tujuannya yaitu sebagai sarana penanaman nilai, salah

satunya dengan pemilihan model atau metode belajar yang sesuai dengan tujuan

tersebut.

Untuk melakukan pembenahan dan inovasi terkait dengan strategi dan

model yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran PKn, salah

satunya dengan model pembelajarn Value Clarification Technique (VCT).

Model pembelajaran VCT merupakan model pembelajaran yang digunakan

untuk penanaman nilai. Penanaman nilai ini dilakukan melalui proses analisis

nilai yang sudah ada dalam diri siswa sebelumnya kemudian menyelaraskannya

dengan nilai baru yang ingin ditanamkan. Dengan demikian diharapkan dapat

diketahui pengaruh hasil belajar PKn pada aspek afektif antara siswa yang diajar

dengan menggunakan model pembelajaran konvensional dengan model

(25)
(26)

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pikir diatas, maka hipotesis tindakan yang

penulis ajukan adalah sebagai berikut :

Hasil belajar berupa sikap terhadap Globalisasai pada pembelajaran PKn

menggunkan VCT lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan hasil

Gambar

Tabel 2.1 SK dan KD yang digunakan Dalam Penelitian
Dampak Pengiring dan Dampak Instruksional Model Pembelajaran Gambar 2.1 Value
Pemetaan Sintak Tabel 2.2 VCT
Gambar 2.2 Kerangka Pikir

Referensi

Dokumen terkait

rawat inap kelas II terhadap pelayanan keperawatan di RSUD Sanjiwani Gianyar dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut dari 86 responden secara umum sebagian besar

Karakteristik pada penelitian ini sama dengan karakteristik yang dikemukakan oleh Jun & Mendoza (2002) yaitu mempunyai kemampuan berpikir secara konseptual,

5ada bayi dan anak usia dibaah  atau 6 tahun, jenis pernapasan adalah pernapasan diagragma atau pernapasan abdomen.3olume oksigen yang di ekspirasi oleh bayi dan anak 4

setelah mendapatkan penjelasan mengenai penelitian tentang “Hubungan Pemberian ASI Eksklusif terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi

Concept Selection adalah suatu metode untuk memutuskan konsep mana yang akan terus dikembangkan hingga akhirnya menjadi produk jadi dari beberapa konsep yang telah

Concept Selection adalah suatu metode untuk memutuskan konsep mana yang akan terus dikembangkan hingga akhirnya menjadi produk jadi dari beberapa konsep yang telah

Pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Komisaris dilaksanakan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar dan peraturan perundang-undangan