Tubuh Perempuan dalam Cengkraman Globalisasi
Pengantar
Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa globalisasi hari ini tidak hanya menyentuh ke dalam pemikiran masyarakat dunia saja melainkan merengkuh tubuh individu khususnya perempuan. Perempuan yang diidentikkan dengan keindahan, kecantikan, dan kemolekan kini menjadi santapan dari berbagai produk dan wacana tentang kecantikan yang marak muncuk di media-media massa. Tangan globalisasi semakin erat mencengkram tubuh perempuan dengan berbagai wacana yang mendorong kaum hawa untuk mengonsumsi segala sesuatu yang menyangkut kecantikan, kelangsingan dan kesehatan tubuhnya.
Salah satu artikel yang mengangkat persoalan medikalisasi tubuh perempuan karangan Anna Arroba (2001) mengatakan bahwa sistem patriarki secara efektif didasarkan pada kontrol dan perampasan perempuan, terutama tubuh kami. Kontrol gerakan dan sikap kami, seksualitas dan kesuburan, siklus hidup kami, kehamilan dan kelahiran, menopause dan penuaan kami, kontrol kesehatan secara keseluruhan berada di tangan "ahli." Artinya era yang sekarang ini menandakan bahwa perempuan seakan dibentuk oleh berbagai wacana terlebih wacana mengenai tubuh dan perempuan yang pada hakikatnya merupakan makhluk yang umumnya sangat mengandalkan tubuhnya telah menjadi “pasar” yang potensial.
Beberapa wacana mengenai kesehatan tubuh telah banyak ditampilkan pada media-media massa, mulai dari pola hidup sehat secara alami atau herbal hingga operasi pembentukan tubuh agar ideal. Hal ikhwal yang lebih menakjubkan lagi hari ini telah banyak berkembang berbagai penyakit yang berhubungan dengan alat reproduksi dan tubuh perempuan yan diekspos besar-besaran oleh media massa, seperti kanker mulut rahim, kanker payudara, miom, dan lain sebagainya yang pada zaman dahulu tidak pernah terdengar. Bayangkan dahulunya kaum Ibu hanya mengerti soal penyakit-penyakit biasa seperti demam, batuk atau yang paling gawat seperti tipus, jantung dan lain sebagainya hari ini perempuan dihadapi dengan penyakit “bias gender” yang hanya menyerang tubuhnya saja.
wacana budaya popular namun telah membudaya. Berbagai propaganda menunjukkan bahwa tubuh dan kesehatan merupakan bagian terpenting bagi setiap perempuan, diet, langsing, sehat, olahraga, operasi plastik, bakar lemak, fitness dan lain sebagainya merupakan bagian dari pembentukan image perempuan masa kini yang penuh dengan kesempurnaan.
Tubuh adalah etalase, dimana perempuan selalu ingin memamerkan setiap lekuk tubuhnya yang indah menandakan status sosial yang tinggi, persepsi tersebut telah berhasil dibangun oleh globalisasi bahkan sejak era dimana perempuan tidak pernah menyadarinya dan tiba-tiba telah masuk begitu saja kedalamnya.
Media Sebagai Pengantar Ideologi Kecantikan
Ideologi pada umumnya merupakan ide atau gagasan atau cara pandang yang dipercayai dan diyakini oleh seseorang dalam tataran pemikiran maupun perbuatannya. Misalnya ideologi kebangsaan, ideologi organisasi dan lain sebagainya. Konsep ideologi yang selama ini beredar sebagai pemahaman juga muncul pada pembentukan wacana popular culture, walaupun sedikit berbeda. Pada wacana pop culture, John Storey (2004:4 dalam Aprilia, 2005) dalam bukunya yang berjudul Teori Budaya dan Budaya Pop Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies, menuliskan ada lima makna konsep ideologi. Makna yang dibahas hanya yang terkait dengan budaya pop, yaitu
1. ideologi dapat mengacu pada suatu pelembagaan gagasan-gagasan sistematis yang diartikulasikan oleh sekelompok masyarakat tertentu.
2. definisi ideologi yang menyiratkan adanya penopengan, penyimpangan, atau penyembunyian realitas tertentu. Di sini, ideologi digunakan untuk menunjukkan bagaimana teks-teks dan praktik-praktik budaya tertentu menghadirkan pelbagai citra tentang realitas yang sudah didistorsi atau diselewengkan. Teks-teks dan praktik-praktik itulah yang kemudian memproduksi apa yang disebut sebagai “kesadaran palsu”
3. Penggunaan ideologi ini dimaksudkan untuk menarik perhatian pada cara-cara yang selalu digunakan teks (media massa) untuk mempresentasikan citra tertentu tentang dunia
4. Althusser melihat ideologi bukan hanya sebagai pelembagaan ide-ide, tetapi juga sebagai suatu praktik material, artinya penerapan ideologi terletak pada kehidupan sehari-hari.
Dari berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa ideologi dari pendekatan opo culture merupakan pelembagaan kesadaran palsu yang diterapkan secara terus-menerus pada kehidupan sehari-hari oleh masyarakat.
Kesadaran palsu ini dilanggengkan dengan adanya pencitraan yang dilakukan oleh media massa. Misalnya kesadaran palsu akan kecantikan melalui iklan-iklan dan tayangan program-program televisi yang menggambarkan bahwa wanita cantik itu langsing, berkulit putih, berwajah mulus dan lain-lain, artinya kecantikan yang digambarkan tersebut bukanlah realitas melainkan kesemuan yang diciptakan dan terus menghegemoni.
Mengutip salah satu bentuk pencitraan dari beberapa iklan yang mencitrakan kecantikan “Kulit Santi tidak seputih Sinta” pada iklan tersebut Santi digambarkan minder dengan kulit hitamnya dan Sinta memiliki pasangan yang tampan. Penggambaran tersebut mencerminkan bahwa wanita cantik adalah yang berkulit putih dan lelaki normal akan menyukai kulit perempuan yang putih, pada kenyataannya ini hanya merupakan proses kreatif dari sebuah produk pemutih kulit yang ingin memasarkan produknya. Realitanya hinga hari ini perempuan-perempuan senantiasa membeli produk kecantikan yang dapat memutihkan kulitnya.
Begitu juga dengan obsesi kelangsingan yang terus menerus dibangun pada kaum hawa. Penggambaran perempuan yang bertubuh gemuk dinyatakan sebagai tubh yang tidak cantik, atau jika diiklankan dari segi kesehatan merupakan tubuh yang tidak sehat karena beresiko sakit kronis seperti jantung, diabetes dan lain sebagainya. Setelahnya akan muncul produk-produk kesehatan dan kecantikan yang akan membantu seseorang untuk kurus dan langsing.
penggunaan produk kecantikan. Upaya mempercantik diri, jika dilihat memang merupakan salah satu bentuk nalar instrumental. Di mana eksploitasi atas diri perempuan dilakukan untuk mencapai kecantikan. Dan pada akhirnya tidak sedikit nalar instrumental telah membawa masalah baru bagi perempuan. Masalah yang muncul dari upaya perempuan untuk mempercantik diri, misalnya anorexia akibat diet yang ketat untuk melangsingkan tubuh, kanker kulit akibat penggunaan kosmetik yang tidak aman bagi kulit, kerusakan jaringan kulit akibat suntikan silikon cair, bahkan kematian akibat operasi bagian tubuh agar menjadi lebih proposional dan menarik.
Barbie Culture : Icon Kecantikan Wanita
Tidak hanya sampai disitu, agen globalisasi yang juga mempengaruhi ideology kecantikan dikalangan perempuan adalah boneka Barbie. Mary F. Rogers (2009) dalam bukunya yang berjudul Barbie Culture : Ikon Budaya Konsumerisme mengatakan bahwa penciptaan ikon Barbie bukan sekedar mainan anak-anak melainkan pengkultusan kecantikan wanita yang mandiri, muda dan produktif. Globalisasi sungguh luar biasa hingga menebar hegemoni mulai dari permainan anak-anak perempuan yang tentu saja tidak disadari oleh sebagian besar orang tua bahwa kesadaran palsu telah dibangun dalam diri anak perempuan mereka sejak usia dini dan disebuah ruangan kecil yang biasa disebut kamar tidur.
Belakangan ini sering tersiar kabar beberapa orang ingin menyamakan tubuhnya dengan ikon perempuan cantik itu, beberapa kasus operasi plastik, implant payudara, operasi pembesaran bokong dan lain sebagainya memang dipengaruhi oleh boneka berkelamin ini. Bahkan tidak hanya perempuan kaum pria pun fitness mati-matian demi memiliki badan sebagus Ken (kekasih Barbie).
Tidak Hanya Cantik tetapi Harus Sehat
Perempuan mengkonsumsi antara 60% sampai 70% obat-obatan di seluruh dunia, yang sebagian besar disebabkan kenyataan bahwa umumnya bertanggung jawab penuh untuk sesuatu yang dinamakan dengan kontrasepsi. Perempuan lebih rentan terhadap intrik industri farmasi, serta membuat perempuan menjadi kunci dari target pasar. Kombinasi ini telah mengakibatkan berbagai bencana kesehatan selama 40 tahun terakhir atau lebih, setidaknya begitu yang penulis baca pada artikel yang ditulis oleh Anna Arroba (2001) yang berjudul The Medicalization of women's bodies in the era of globalization. Anna Arroba dalam tulisan memaparkan bahwa perempuan terkadang menjadi korban atas budaya patriakat, perempuan seakan harus dijaga sedemikian rupa melalui beberapa wacana, dieksplor hingga menjadi pangsa pasar dari berbagai produk kecantikan dan obat-obatan, adalah menjadi tanda Tanya besar mengapa harus perempuan? Begitu banyak ragam produk yang disegmentasikan kepada perempuan.
Jawabannya adalah karena sebagian besar negara-negara dunia ketiga khususnya memiliki sistem partiarkhi dimana perempuan umumnya berada pada posisi sub ordinat. Tetapi lain hal ketika kapitalisme telah memasuki wilayah negara, posisi sub ordinat tersebut seakan diberikan akses yang luas namun nyatanya menjadi lahan yang siap digarap. Perempuan selalu menjadi santapan dari berbagai produk, misalnya alat kontrasepsi yang beredar lebih banyak ragamnya kepada produk untuk perempuan. Lelaki cenderung enggan bersakit-sakit karena pasektomi dibanding perempuan yang selalu harus memasang spiral untuk perencanaan jumlah anak.
Anna Arroba juga memaparkan paradigma kesehatan mengarah pada Paradigma "pengobatan adalah sains" menyembunyikan fakta bahwa obat adalah bisnis dan mendukung asumsi bahwa:
1) Pengobatan Barat (khususnya dari AS) adalah yang terbaik; 2) Dokter tahu apa yang terbaik untuk "pasien;" dan
3) Penggunaan prosedur invasif dan teknologi yang mahal, yang tidak harus dipertanyakan. Pada kenyataan seperti ini tentu tidak adanya akses perempuan dalam memperoleh pengetahuan yang lebih mengenai apa yang dikonsumsi, melainkan selalu menuruti apa yang dokter katakan. Keadaan yang cukup mengkhawatirkan jika tim medis sendiri juga bermain-main dengan kapitalisme dan mencari keuntungan semata.
yang menyangkut perempuan. Salah satunya I.M. Hendrarti dengan penelitiannya yang berjudul Kesehatan Reproduksi Perempuan Dalam Media Cetak (2007), Ia memaparkan bahwa terdapat beberapa kejanggalan, antara lain umumnya berita di media cetak selalu menempatkan perempuan sebagai objek bukan subjek, pernyataan-pernyataan narasumber juga banyak yang bias gender dan dipengaruhi oleh budaya patriarkhi, isu kesehatan perempuan sesungguhnya bukan hanya menjadi kesalahan perempuan semata namun juga ada kebijakan pemerintah yang tidak tepat tetapi media massa cenderung menyalahkan perempuan dengan menggunakan strategi blaming the victim, media massa juga selalu menulis khususnya berita features mengenai perempuan dengans angat melodramatic. Hendrarti juga mendambahkan kritikannya kepada kultur masyarakat.
“Kultur masyarakat perlu pula dikritisi terutama yang menyangkut tentang kesehatan reproduksi perempuan. Masyarakat patriarki sering menganggap alat reproduksi perempuan sebagai hal penting tapi juga remeh karena mereka cenderung melihatnya sebagai “mesin produksi, bukan sebagai bagian tubuh manusia yang perlu diperhatikan. Berkaitan dengan hal ini adalah kultur media cetak yang “patriarkis karena menganggap isu kesehatan perempuan sebagai hal‟
yang tidak penting. Penempatan berita tentang kesehatan perempuan dikalahkan oleh berita lain sehingga tidak pernah berada di halaman pertama atau jarang menjadi headline.”
Demikian penggambaran penelitian mengenai bagaimana media massa menyoroti tentang isu kesehatan perempuan. Penanaman ideologi sedemikian rapinya sehingga terkadang perempuan berada diposisi yang tidak dapat berbuat apa-apa kecuali melahap apapun yang diberikan kepadanya. Bahkan keharusan untuk cantik dan sehat juga merupakan kesemuan yang diciptakan agar kapitalis obat dan kosmetik meraih keuntungan yang tinggi.
Mengubah Cara Pandang
pasar yang akan mengonsumsi apapun bahkan tanpa batas karena tidak ada rasa puas didalamnya.
Konstruksi realitas yang dilakukan media juga tidak bisa lepas dari pengaruh budaya populer, yang mengedepankan gaya hidup. Artinya jika perempuan ingin memiliki hak sepenuhnya terhadap tubuhnya, harus independen dalam pemikiran, media bukanlah satu-satunya sarana informasi begitu juga keterikatan atau tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap tim medis menjadikan perempuan tidak mampu menganalisis sendiri bahkan terhadap apa yang Ia butuhkan dalam penyembuhan.
Nobody is perfect. Mungkin itu adalah kata-kata yang klise, tapi itu memang kenyataan. Tidak ada manusia yang sempurna. Apa yang ditampilkan di media massa tentang wanita “cantik” yang telah menjadi standar ukuran seorang perempuan mengakibatkan suatu histeria massa dari para wanita untuk berusaha melakukan segala cara agar mereka bisa disebut “cantik”. Padahal para wanita yang ditampilkan dalam media massa terutama iklan adalah modelmodel yang telah direkayasa, sehingga mereka merepresentasikan citra “cantik” yang sesuai dengan harapan media massa.
Ekspansi pasar dan media massa tidak bisa dilepaskan dari arus konsumerisme, karena media massa (terutama iklan ditelevisi) adalah perpanjangan tangan pasar untuk memperlaris produk industri dalam bentuk pencitraan yang bersumber pada “mode of production”. Sehingga melalui proses pemaknaan masyarakat terpengaruh oleh citra buatan pasar dan iklan yang meningkatkan kemauan mereka untuk berprilaku konsumtif. Disinilah dimulai peran pengaburan identitas oleh iklan sebagai media pendukung konsumerisme, sehingga mereka yang mengidentikkan diri sebagai Manusia modern, tidak lagi menjadi diri sendiri dalam realitas tapi tak lebih “Manusia Robot” peniru tanpa identitas asli, prinsip hidup tergadai atas nama modernitas.
Dominic Strianati mengatakan melalui bukunya yang berjudul Popular Culture (2007) bahwa budaya massa adalah budaya yang dihasilkan melalui teknik-teknik industrial produksi massa yang diharapkan menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya, dengan kata lain perempuan harus mampu melihat apakah Ia memenuhi kebutuhannya karena memang butuh atau hanya mengikuti tren yang telah disebar melalui media massa demi keuntungan yang banyak dari segelintir pemodal. Budaya massa akan terus berkembang pesan, dan mengikis identitas yang dimiliki seseorang khususnya perempuan, jika memang masih ingin memiliki identitas asli maka mulai detik ini gunakan prinsip “just be yourself” serta meminta lingkungan untuk mengatakan “just the way you are”
Kajian Terkait dengan Perempuan dan Globalisasi
1. Iklan dan Budaya Popular: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan Perempuan oleh Iklan (Analisis Semiotika Iklan Cetak WRP Body Shape & Prolene) oleh Dwi Ratna Aprilia
Penelitian ini menggambarkan tentang bagaimana media massa melalui iklan mencitrakan perempuan yang cantik. Ia melakukan analisis semiotika terhadap iklan cetak WRP Body Shape dan Prolene. Hasil yang Ia simpulkan bahwa iklan WRP Body Shop dan Prolene. Iklan ini menampilkan suatu citra kecantikan yang mana citra itu telah didistorsi, yaitu perempuan yang “cantik” adalah perempuan yang bertubuh langsing, berperut rata, wanita yang gemuk tidak bisa disebut cantik. Modelmodel yang digunakan dalam iklan ini, memang mewakili semua standar “cantik”, yaitu berkulit putih, langsing, dan berambut hitam panjang lurus.
Iklan dan budaya popular atau budaya massa saling berhubungan. Iklan merefleksikan budaya popular dan iklan juga membuat (membentuk) budaya popular. Selain itu, dalam hal kecantikan, iklan membantu “media massa” untuk melanggengkan ideologi kecantikan kepada setiap perempuan agar dapat memasarkan produk dan meraup keuntungan dari pemodal.
perempuan itu sendiri, pemberitaan juga selalu bias gender dan komentar para narasumber yang terpengaruh pada budaya partiarkhi serta merta ditelaah dan dijadikan berita tanpa mengonfirmasi dari berbagai sisi.
Ia menyimpulkan bahwa ternyata perempuan memang berada dalam scenario besar untuk terus di-eksploitasi, dan media adalah salah satu alat pendukung untuk itu semua. Jika memang media memberikan perhatian yang lebih terhadap isu kesehatan perempuan, berita yang dinaikan bukanlah berita features yang cenderung melodramatic dan tidak terletak pada headline melainkan pada rubric khusus dan pada halam belakang. Hendrarti menganggap bahwa memang kebanyakan media massa merupakan media yang berpaham patriarkhi, sehingga menganggap isu kesehatan perempuan tidak penting namun hegemoni harus terus berjalan.
3. Perempuan Dalam Jeratan Eksploitasi Media Massa oleh Delmira Syafrini Penelitian ini lebih melihat kepada bagaimana ekspansi pasar yang besar-besaran menciptakan eksploitasi tubuh perempuan pada media massa. Ia mengatakan bahwa tubuh perempuan merupakan komoditas sekaligus pasar yang baik untuk memasarkan berbagai produk kecantikan dan kesehatan. Penelitian ini lebih mengarah kepada budaya konsumerisme perempuan yang akhirnya menjadi trik dalam memasarkan berbagai produk yang ada demi memperkaya pemodal. Perempuan dianggap akan selalu mengonsumsi dan tidak akan banyak bertanya untuk apa suatu produk dikonsumsi. Herannya, tersebut, tapi menikmatinya dengan dalih gaya dan mode. Artinya perempuan hari ini telah terhegemony dan di dominasi oleh struktur kapitalis. Seperti apa yang diungkapkan Gramsci, bahwa hegemoni tercipta ketika sebuah ideology dipaksakan sedemikian rupa tapi disetujui dan didukung oleh mayoritas secara sadar sehingga pada akhirnya kesadaran akan hilang akibat penindasan tersebut. Manusia yang sebenarnya terdominasi, menerima dominasi itu secara sukarela. (Beilharz, 2005).
Daftar Pustaka
Buku
Baudrillard, Jean P. 2004. Masyarakat Konsumsi. Kreasi Wacana: Yogyakarta. Rogers, Marry F. 2009. Barbie Culture : Ikon Budaya Konsumerisme. Relief :
Strinati, Dominic. 2007. Popular Culture . Jejak : Yogyakarta
Jurnal
Aprilia, Dwi Ratna. 2005. Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 1 Nomor 2 Tahun 2005. Iklan dan Budaya Popular: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan Perempuan oleh Iklan (Analisis Semiotika Iklan Cetak WRP Body Shape & Prolene). (Juni 2005 : 41-68) Fitriyani. Inda. 2009. Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 6 Nomor 2 Tahun 2009. Iklan
dan Budaya Popular : Pembentukan Identitas Ideologi Kecantikan Perempuan oleh Iklan Televisi. (Desember 2009 :119-136)
Hendrarti, I.M. 2013. Humanika Volume. 17, Th.X. Januari-Juni 2013. Kesehatan Reproduksi Perempuan Dalam Media Cetak.
Sari. Sapta. 2012. Citra Perempuan dalam Media Volume 10 Nomor 1 Tahun 2012. Stereotip, Bahasa, dan Pencitraan Perempuan Pada Iklan dalam Perspektif Budaya Populer. Balai pengkajian dan pengembangan komunikasi dan informatika (BPPKI) : Bandung Syafrini, Dalmira. 2014. Humanis Vol. XIII No.1 Th. 2014. Perempuan dalam Jeratan
Eksploitasi Media Massa Artikel
Anna Arroba "The Medikalisasi tubuh perempuan di era globalisasi". Jurnal Kesehatan Perempuan. FindArticles.com. 6 Agustus 2010.
http://findarticles.com/p/articles/mi_m0MDX/is_1_2003/ai_n18616353/