• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penegakan Hukum terhadap Pelaku Kekerasa (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penegakan Hukum terhadap Pelaku Kekerasa (1)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Penegakan Hukum terhadap Pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Hukum Islam

La Jamaa

Abstract

Domestic vilence has reached a stage which is very alarming, and caused suffering for the victim, whether physical, phsycological, sexual or economic. Domestic violence was commited father tohis mother as a child, or because the understanding of Islamic teachings that gender bias and strong patriarchal culture in society. Because this is the taechings of Islam as rahmatan lil a’lamin, then the law has given attention to law enforcement for domestic violence perpetrators. In this regard, law enforcement against perpetrators of domestoc violence in the perspective of Islamic law, adapted to the forms of violence done to the victim. Husband who do physical violence or subject to jarimah qisas diyat/fines. A perpetrator of economic violence (neglect of household) is punishable by imprisonment. Psychological violence perpetrators can be subject to jarimah ta’zir. Ta’zir penalty also imposed on husband who commit violence or psychic to this wife and forced his who is menstruating to serve the biological desire.

Key words: Law Enforcement, Perpetrators of domestic violence, Islamic Law

Pendahuluan

Pada dasarnya seorang isteri mendambakan perlindungan serta kasih sayang dari suaminya, dan bukan kekerasan fisik, psikologis, seksual dan ekonomi yang diperolehnya. Apalagi perkawinan itu sendiri bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia (keluarga sakinah) dengan perekat berupa cinta, mawaddah, rahmah, dan amanah Allah, sehingga bila cinta pupus dan mawaddah putus, masih ada rahmah, dan kalau pun ini tidak tersisa juga, masih ada amanah, dan selama pasangan suami isteri itu beragama, amanahnya akan terpelihara.1 Karena Allah memerintahkan suami agar bergaul dengan isteri secara ma’ruf serta bersabar terhadap tindakan-tindakan istri yang tidak disukainya. Dalam konteks ini relasi suami dan isteri adalah relasi dua hati dan dua jiwa untuk mewujudkan kebahagiaan rumah tangga. Di samping itu Islam datang mengemban misi utama untuk pembebasan, termasuk pembebasan dari

Penulis adalah dosen pada Fakultas Syariah IAIN Ambon

1

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan

(2)

kekerasan, menuju peradaban yang egalitarian.2

Namun realitas menunjukkan bahwa banyak isteri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suaminya sendiri. Dari informasi media massa, baik media cetak maupun media elektronik (koran, majalah dan televisi) diketahui bahwa kekerasan suami kepada isteri dalam rumah tangga, telah memprihatinkan. Kekerasan yang dilakukan suami kepada isteri beragam bentuk, baik kekerasan fisik (berupa tamparan dengan tangan kosong, ditinju, ditendang bahkan ada yang disiram dengan air keras), kekerasan psikis (dicaci maki, diintimidasi, dibentak), kekerasan seksual (dipaksa menjadi pelacur) dan kekerasan ekonomi (tidak diberi nafkah, diberi nafkah tetapi tidak cukup, atau tidak diberi kepercayaan mengelola uang belanja).3

Kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menyita perhatian publik akhir-akhir ini, adalah kasus Manohara yang konon mengalami perlakuan kasar dari suaminya sendiri. Bentuk kekerasan yang dialaminya, antara lain kekerasan fisik (disileti), dijadikan obyek kekerasan seksual serta kekerasan psikis (dilarang berhubungan dengan ibunya).4

Bahkan menurut laporan Subkomisi Pemantauan Komisi Nasional Perempuan, kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia sepanjang tahun 2008, naik 100% menjadi 50.000 kasus. Pada tahun 2007 kekerasan dalam rumah tangga tercatat hanya berjumlah 25.000 kasus.5 Ini menunjukkan, bahwa kekerasan dalam rumah tangga, terutama yang dilakukan suami kepada isteri semakin meningkat. Realitas itu disebabkan para korban sudah mulai berani melaporkan kasus yang dialaminya setelah lahirnya Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam undang-undang tersebut memang bertujuan untuk:

a. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; b. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan

2

Nurul Huda S.A, Cakrawala Pembebasan Agama, Pendidikan dan Perubahan Sosial (Cet. I; Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), h. 73.

3

Lihat La Jamaa dan Hj. Hadidjah, Hukum Islam dan Undang-Undang Anti

Keke-rasan Dalam Rumah Tangga (Cet. I; Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2008), h. 71-72.

4

Amerika Ikut Bebaskan Manohara,”Tribun Timur, No. 112 Tahun 06, Senin 1 Juni

2009, 1.

5

(3)

d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.6 Mengingat pelaku kekerasan dalam rumah tangga mayoritas dilakukan penduduk muslim, maka penegakan hukum Islam terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga sebagai langkah advokasi terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini belum mendapatkan perlindungan hukum yang maksimal.

Mengacu pada konsepsi di atas maka penulis bermaksud membahasnya dalam makalah ini dengan permasalahan mengapa terjadi kekerasan dalam rumah tangga ddi masyarakat? Dan bagaimana penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam perspektif hukum Islam?

Fenomena Kekerasan dalam Rumah Tangga di Masyarakat

Kekerasan dalam rumah tangga dapat diklasifikasikan sebagai salah bentuk kejahatan, karena kejahatan domestik ini umumnya terjadi akibat masih adanya diskriminasi posisi antara pelaku kekerasan dengan mereka dengan korban kekerasan. Biasanya pelaku kekerasan merasa posisinya dominan dibandingkan korbannya. Jika hal ini terjadi dalam rumah tangga yang seharusnya mengayomi setiap individu, maka dapat digolongkan sebagai kejahatan.7 Ini menunjukkan bahwa kaum perempuan cenderung menjadi korban dari berbagai proses sosial yang terjadi dalam masyarakat.8 Memang tidak dapat disangkal bahwa perempuanlah yang sering menjadi korban karena posisinya yang inferior dibanding laki-laki.

Data statistik yang lengkap dan resmi soal ini memang belum tersedia, namun kumpulan fakta hasil inventarisasi LSM-LSM pendamping perempuan menunjukkan bahwa sebagian besar (kalau tak mau dibilang seluruhnya) korban kekerasan domestik adalah perempuan. Ada dua alasan setidaknya kenapa terjadi kekosongan data itu:

Pertama, karena kekerasan domestik tidak dikenal sebagai kejahatan oleh masyarakat. Peristiwa seperti penyiksaan terhadap istri, pembantu dan kekerasan lainnya dianggap sebagai masalah pribadi, masalah

6

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 4.

7

”Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Kekerasan Domestik),” Artikel, Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen, tanggal 20 Oktober 2004, http://www.dinkes.kebumen.go.id/

modules. php?op (diambil tanggal 21 Maret 2009).

8

(4)

rumah tangga orang lain, sehingga pihak luar termasuk penegak hukum tidak selayaknya turut campur.

Kedua, kebanyakan korban tidak berbicara secara terbuka tentang kasusnya. Ini terjadi karena kasus-kasus tersebut tidak dianggap penting atau diremehkan.9

Kasus kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun terus meningkat. Jika tahun 2001 tercatat 3.169 korban, tahun 2002 naik menjadi 5.163 korban. Tahun 2003 angka korban kekerasan naik lagi menjadi 5.934 orang. Dari jumlah tersebut 54 % berupa insiden kekerasan termasuk insiden di daerah konflik bersenjata Aceh dan 46 % kekerasan di lingkungan keluarga korban sendiri.10 Namun demikian kasus yang muncul di media massa itu ibaratnya hanyalah puncak dari gunung es. Masih banyak kekerasan terhadap perempuan (isteri) di masyarakat yang masih

‘bersembunyi’ mengumpulkan tenaga dan keberanian serta menunggu waktu

yang tepat untuk muncul ke permukaan. Sebab kasus kekerasan terhadap perempuan umumnya dan kekerasan dalam rumah tangga pada khususnya bukanlah persoalan yang mudah diungkap.

Penyebab Terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Sosiologi Hukum

Kekerasan telah terjadi sepanjang sejarah kemanusiaan yang menampilkan kekerasan, baik yang bersifat individual mau pun kolektif. Kenyataan historis ini menunjukkan bahwa kekerasan merupakan ungkapan

dari suatu ’potensi’ yang tersimpan pada setiap manusia, yaitu potensi dengan ’tendensi’ untuk menjelma sebagai tingkah laku yang agresif.11

Dalam kaitan ini Erich Fromm mengemukakan bahwa dalam diri manusia terdapat dua jenis agresi yang berbeda, yakni (1) agresi defensif yang dimaksudkan untuk mempertahankan hidup, bersifat adaptif biologis dan hanya muncul jika memang ada ancaman; dan (2) agresi jahat, kekerasan dan kedestruktifan, merupakan ciri khas spisies manusia. Agresi ini tidak terprogram secara filogenetik dan tidak adaptif secara biologis. Ia tidak mempunyai tujuan dan muncul karena dorongan nafsu semata. Karena itu dalam kondisi tertentu manusia lebih kejam dari binatang.Manusia

9

Ibid.

10

Lihat Aina Rumiyati Aziz,Perempuan Korban di Ranah Domestik.”Majalah Forum Keadilan, Edisi 4 Oktober 2002, http//:www.polarhome.com/ pipermail/

nusantara/2002-october/ 00848.html. (Diambil tanggal 15 Mei 2009).

11

Fuad Hassan, ”Ikhtiar Meredam Kultus Kekerasan,” dalamJurnal Perempuan, No.

(5)

merupakan satu-satunya primata yang tega menyiksa sesamanya tanpa alasan yang jelas, baik alasan biologis maupun ekonomis.12 Dengan demikian kekerasan merupakan suatu tingkah laku agresif yang dilakukan seseorang terhadap orang lain secara sengaja untuk menyebabkan korban mengalami penderitaan lahir atau batin.

Perlu dikemukakan bahwa potensi kekerasan merupakan daya yang tersimpan secara latent, sedangkan tendensi kekerasan adalah aktualisasinya yang terwujud dalam tingkah laku tertentu. Pada umumnya tindakan agresif dapat digambarkan sebagai pelampiasan dorongan naluri untuk berhasil menyakiti atau mencederai pihak lain yang dijadikan sasarannya. Keberhasilan dari tindakan itu dengan sendirinya berakibat meredanya daya dorongan itu. Dari sini muncul satu teori kekerasan, yaitu teori agresif-frustrasi (frustration-aggression theory) yang menerangkan ”adanya

pertautan langsung antara derajat frustrasi tertentu yang dialami seseorang

dengan timbulnya kecenderungan bertingkahlaku agresif.”13

Jadi, dalam konteks ini pemaknaan agresivitas yang dibatasi dengan ketentuan adanya intent to harm or hurt others, belum sepenuhnya dapat mencakup berbagai perwujudan tingkah laku agresif. Dengan demikian, tindakan kekerasan itu cenderung menjadi pilihan pelakunya untuk menyelesaikan suatu problema yang dihadapinya. Dalam hal ini cukup banyak hasil studi yang menunjukkan betapa terpaan yang sering diperoleh melalui adegan kekerasan sangat berpengaruh bagi seseorang untuk juga menjadikan tindakan kekerasan sebagai alternatif dalam penyelesaian problema yang dihadapinya. Tingginya frekuensi adegan tindakan kekerasan yang menimpa seseorang akan menimbulkan desensitisasi pada dirinya, berupa kehilangan perasaan tega menyaksikan dan bahkan melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain.14

Dari fenomena itumuncul teori kekerasan yang dikenal dengan ”teori

pembelajaran sosial (social learning theory).” Menurut teori ini, tindakan kekerasan pada umumnya adalah ”hasil proses pembelajaran dari interaksi individu dengan lingkungannya (dalam hal ini lingkungan sosialnya,

termasuk lingkungan keluarga).”15 Dalam realitasnya keluarga merupakan

12

Lihat Erich Fromm, The Anatomy of Human Destructiveness, diterjemahkan oleh Imam Muttaqin, Akar Kekerasan Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. xix-xxi.

13

Ibid.

14

Lihat ibid., h. 67-68.

15

(6)

lingkungan pergaulan anak yang pertama dan utama. Begitu pula dalam lingkungan sekolah.

Lingkungan keluarga juga memberikan pengalaman tentang kekerasan kepada anak. Dalam kaitan ini K. Durkin mengatakan bahwa “salah satu tempat terpenting dimana seorang belajar tentang agresi adalah dalam keluarga, terutama dalam cara membesarkan anak, dengan tingkah laku agresif pada anak-anak.”16

Anak yang terbiasa menyaksikkan kekerasan dalam keluarganya, dikemudian hari akan memandang kekerasan bukan saja sebagai alternatif untuk menyelesaikan problemanya, melainkan juga beranggapan bahwa perilaku kekerasan itu bersifat normatif yang layak untuk dilakukan. Ini berarti, bahwa kekerasan yang terjadi dalam lingkungan keluarga (domestic violonce) akan melahirkan kekerasan baru.

Relasi antara anggota keluarga memang tidak selamanya diwarnai dengan kekerasan sejak awal. Bahkan kebanyakan hubungan keluarga yang berakhir dengan kekerasan dalam rumah tangga, diawali dengan relasi yang harmonis.17 Namun dalam perjalanan kehidupan muncul ketidaksesuain dan konflik antar anggota keluarga. Dalam suasana seperti ini jika tidak dapat terselesaikan secara alami, akan memberi peluang penggunaan kekerasan sebagai solusi.

Pengalaman kekerasan juga dapat diperoleh melalui pergaulan dengan teman-teman sebaya. Jika dalam lingkungan ini anak menyaksikkan bahwa tindakan kekerasan juga bisa menjadi alternatif untuk menyelesaikan persoalan, maka anak mendapat pembelajaran sosial yang dipandang efektif untuk diaplikasikan jika dibutuhkan. Hal yang sama bisa diperoleh melalui adegan-adegan kekerasan secara visualisasi, khususnya media massa elektronik yang dikenal dengan TV-violence. Melalui tingginya frekuensi

tontonan adegan kekerasan akan melahirkan apa yang disebut ”kultur kekerasan” (the cult of violence).18Hal ini menimbulkan penggunaan tindak kekerasan sebagai solusi dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Bukan saja terhadap pihak lain tetapi juga terhadap diri sendiri, misalnya karena merasa frustrasi dalam menyelesaikan masalahnya, yang bersangkutan melakukan bunuh diri yang dianggap sebagai solusi. Apalagi kebanyakan tayangan sinetron bertema kekerasan dalam rumah tangga, ceritanya

16

K. Durkin, Development Social Psychology (Cambridge, Massachussets: Blackwell Publisher, 1995), h. 413.

17

Lihat N. Nelson, Dangerous Relationship (New York: Insight Books, 1997), h. 3.

18

(7)

berakhir tanpa pemberian hukuman kepada pelakunya.

Kekerasan juga bisa terjadi karena mendapat legitimasi secara ideologi. Kekerasan apa pun yang terjadi dalam masyarakat, sesungguhnya berangkat dari suatu ideologi tertentu yang mengesahkan penindasan di satu pihak- baik individual mau pun kolektif- terhadap pihak lain yang disebabkan oleh anggapan ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.19 Hal ini selaras dengan ”teori relasi kekuasaan” yang dikemukakan oleh Michel Foucault, bahwa kekuasaan sama dengan serba banyak relasi kekuasaan yang bekerja di salah satu ruang atau waktu. Kekuasaan itu sendiri menindas, menyebabkan kekuasaan itu memproduksi

kebenaran. Karena ”kebenaran berada di dalam relasi-relasi sirkular dengan sistem kekuasaan yang memproduksi kebenaran dan menjaga kebenaran

itu.”20 Karena itu ”kebenaran tidak ada dengan sendirinya. Karena tidak

berada di luar kekuasaan, ia berada di dalam kekuasaan.”21 Dengan

demikian, ”kebenaran adalah kekuasaan.”22

Berdasarkan ”teori relasi kekuasaan” tersebut, orang cenderung

kepada kekerasan karena merasa memiliki kekuasaan terhadap pihak lain, sekaligus korbannya. Dalam konteks inilah seorang penguasa merasa

mempunyai kewenangan untuk melakukan ”kekerasan” kepada rakyatnya.

Karena sang penguasa menganggap kekuasaan yang dimilikinya sebagai legitimasi terhadap semua tindakannya. Tindakan apa pun yang dilakukan atas nama kekuasaan adalah sah. Sehingga melakukan kekerasan pun dianggap sah pula.

Orangtua merasa memiliki kekuasaan terhadap anak-anaknya sehingga merasa berhak melakukan kekerasan kepada mereka. Seorang suami merasa mempunyai kekuasaan terhadap isterinya sehingga menganggap kekerasan kepada isteri adalah bagian dari kekuasaan yang dimilikinya.Dengan demikian kekerasan terjadi dalam lingkungan tertentu dimana hanya kekerasan yang menjadi satu-satunya cara untuk mengekspresikan eksistensi kemanusiaan. Kekerasan hanyalah manifestasi

19

Hj.Eti Nurhayati, dkk., “Implikasi Pinsip Kafa’ah dan Sensivitas Gender sebagai Penangkal Tindak Kekerasan Rumah Tangga dalam Relasi Suami Isteri: Studi Kasus tentang Kekerasan yang Dialami Perempuan di Pengadilan Agama Kota Cirebon,” dalam Departemen Agama R.I., Sinopsis dan Indeksasi Hasil Penelitian Kompetitif Dosen PTAI Tahun

1999-2003 (Cet. I; Jakarta: Ditperta Islam, 2004), h. 185.

20

Michel Foucault, Power/Knowledge (New York: Panthenon Books, 1980), h. 133.

21

Ibid., h.131.

22

(8)

eksternal dan yang terakhir setelah upaya panjang dan berliku dilewati.23 Selaras dengan uraian di atas dalam teori sosiologi dikemukakan bahwa kekerasan atau kejahatan disebabkan oleh kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Dalam hal ini faktor penyebab terjadinya kekerasan melalui beberapa bentuk proses, seperti imitasi, pelaksanaan peran sosial, asosiasi diferensial, kompensasi, identifikasi, konsep diri pribadi dan kekecewaan yang agresif.24 Dengan kata lain, bahwa seseorang berperilaku jahat dengan cara yang sama dengan perilaku yang tidak jahat. Artinya, perilaku kekerasan dipelajari dalam interaksi dengan orang-orang lain dan orang tersebut mendapatkan perilaku kekerasan sebagai hasil interaksi yang dilakukannya dengan orang-orang yang berperilaku cenderung melawan norma-norma hukum.25

Terjadinya kekerasan bisa jadi disebabkan oleh gangguan psikologis yang berasal dari keluarga lantaran orangtua tidak mampu berfungsi sebagai pendidik yang baik atau tidak berfungsinya keluarga sebagai lembaga psiko-sosial. Orang tua tidak dapat mengintegrasikan anaknya dalam keutuhan keluarga.26 Hal ini terjadi, karena dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan yang menuntut memperoleh pemuasan dan dorongan-dorongan-dorongan-dorongan itu akan tampak jika bertemu dengan stimulus yang cocok, dan selanjutnya dorongan-dorongan itu bersama dengan tabiat nafs lainnya menentukan bagaimana merespon stimulus tersebut. Dalam keadaan motif mendorong pada tingkah laku negatif, ia berpotensi untuk mempengaruhi seseorang, hingga berwujud pada tingkah laku yang tidak terkendali.27 Ini berarti, kekerasan bukan saja terjadi di area publik namun telah merambat ke area domestik (rumah tangga).

Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Hukum Islam

Selama ini ada ulama, di antaranya Nawawi Banten dalam kitabnya

Uqud al-Lujain, yang berpendapat bahwa kewajiban utama isteri adalah

23

Lihat Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer (Cet. I; Yogyakarta: Jendela, 2001), h. 54.

24

Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Cet. XVII; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), h. 408.

25

Lihat ibid.

26

Lihat Kartini Kartono, Patologi Sosial 3: Gangguan-Gangguan Kejiwaan (Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 34.

27

(9)

melayani kebutuhan biologis suami. Menolak tuntutan seksual suami merupakan dosa besar bagi seorang isteri.28 Menurutnya pula, bahwa suami

dibolehkan “memukul” isterinya yang dianggap nusyuz, seperti menolak untuk berhias, menolak ajakan tidur, keluar rumah tanpa izin, memukul anaknya yang masih kecil yang sedang menangis, mencaci maki orang lain, mengucapkan kata-kata yangtidak pantas, seperti ‘bodoh’ walaupun suami

mencaci lebih dulu, menampakkan wajah kepada lelaki yang bukan mahramnya, memberikan sesuatu dari harta suaminya di luar adat kebiasaan, menolak menjalin hubungan kekeluargaan dengan saudara suaminya.29 Pandangan ini sebenarnya mengacu kepada tekstual kalimat wadribuhunna dalam QS. al-Nisa (4): 34 yang memberi kesan suami diberi wewenang memukul isteri yang nusyuz.

Padahal “memukul” yang dimaksudkan ayat di atas bukanlah memberikan kekuasaan kepada suami memukul isteri tanpa batas, melainkan pukulan sebagai sarana edukatif. Untuk itu ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan oleh suami, di antaranya:

1) dilarang memukul dengan menggunakan alat, seperti tongkat dan sejenisnya;

2) dilarang memukul pada bagian wajah;

3) dilarang memukul hanya pada satu bagian tertentu, dan

4) dilarang memukul yang dapat menimbulkan cedera, apalagi hingga cacat.30

Ketentuan di atas menunjukkan bahwa pukulan secara fisik yang terpaksa dilakukan suami, tidak boleh menjurus sebagai penganiayaan. Suami juga dilarang memukul isteri pada tiga kondisi, yaitu:

1) Memukul isteri tanpa melalui tahapan nasehat dan pisah tempat tidur dengan isteri.31

2) Memukul yang menyakitkan, karena pukulan yang dikehendaki ayat di atas adalah pukulan mendidik, bukan pukulan keras yang dapat meninggalkan bekas, apalagi sampai mematahkan tulang. Tetapi

28

Lihat Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat (Cet. III; Bandung: Mizan, 1999), h. 179. Bandingkan dengan Abdelwahab Bouhdiba, Sexuality in

Islam, diterjemahkan oleh Ratna Maharani Utami, Peradaban kelamin Abad Pertengahan

(Cet. I; Yogyakarta: Alenia, 2004), h. 2333-234.

29

Lihat Forum Kajian Kitab Kuning (FK-3), Kembang Setaman Perkawinan Analisis Kritis Kitab ’Uqud al-Lujjayn (Cet. I; Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), h. 111-112.

30

Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan (Cet. I; Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2005), h. 167.

31

Lihat Fakhruddîn al-Rāzî, Al-Tafsir al-Kabir (Mafātîh al -Gaib), Jilid V, Juz X (Cet.

(10)

pukulan yang tidak meninggalkan bekas menurut ungkapan Nabi saw.32

3) Memukul yang bersifat dendam dan ingin menang sendiri. Seperti

diisyaratkan dalam makna potongan ayat “kemudian jika mereka

mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk

menyusahkannya,” yang berarti janganlah kamu menggunakan

pukulan dan pisah ranjang sebagai cara untuk menyusahkan dan

menyakiti isteri. Begitu pula ungkapan makna ayat “sesungguhnya

Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar mengisyaratkan, bahwa suami yang bersikap zalim akan mendapat ancaman dari Allah dan suami jangan mencari jalan untuk menyusahkan isterinya.33

Tentang makna pukulan yang tidak meninggalkan bekas ini Aţ a

pernah menanyakannya kepada Ibnu Abbas, yang kemudian dijawab Ibn

Abbas: “dengan siwak dan sejenisnya.”34Namun realitas yang terjadi, suami memukul isterinya secara sewenang-wenang, dan menjurus kepada kekerasan fisik. Indikasinya, isteri mengalami kekerasan fisik dalam berbagai bentuk:

1. Kekerasan fisik berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang; memukul, menyundut; melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan: (a) cedera berat, (b) tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari, (c) pingsan, (d) luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati, (e) kehilangan salah satu panca indera, (f) mendapat cacat., (g) menderita sakit lumpuh, (h) terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih, (i) gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan, (j) kematian korban.

2. Kekerasan fisik ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan: (a) cedera ringan, (b) rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat.35

Dengan demikian tindakan kekerasan fisik yang dilakukan suami yang menyebabkan isteri luka-luka bahkan cidera dan cacat apalagi meninggal

32

Ibn Mājah,Sunan Ibn Mājah, Juz I (Bayrut: Dar al-Fikr, [t.th.]), h. 594.

33

Lihat Muhammad Rasyid ’Uwayyid, Min Ajli Tahrir Haqiqi li al-Mar’ah, diterjemahkan oleh Ghazali Mukri dengan judul Pembebasan Perempuan (Cet. I; Yogyakarta: ‘Izzah Pustaka, 2002), h. 6-7.

34

Abu ‘Abdillāh Muhammad ibn Ahmad al-Anşārî al -Qurţ ubî, Tafsir Al-Jami’ li Ahkām al-Qur’ān,Jilid III, Juz V (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,1993M/1413H), h. 113.

35

(11)

dunia tidak dibenarkan oleh hukum Islam. Bahkan Nabi saw mengecam suami yang memukul isterinya melalui sabdanya:

ِإ َل ﺎ َﻗ

36

‘Dari Abdullah bin Zam’ah, bahwa Rasulullah saw berkhutbah lalu beliau menyebut perempuan dengan berwasiat tentang mereka

kemudian bersabda: ”Sampai kapankah seseorang diantaramu

mencambuk isterinya seperti mencambuk budak wanita? Dan mungkin saja ia menggaulinya di akhir (malam) harinya.’

Dalam konteks ini pula sebagai manusia biasa, isteri-isteri Nabi saw juga pernah berbuat salah dan menyakiti hati Nabi saw, seperti saat mereka menuntut tambahan nafkah kepada Nabi saw. Namun ternyata Nabi saw tidak menanggapinya dengan kekerasan. Bahkan Nabi saw dalam kehidupannya tidak pernah memukul dan melakukan tindak kekerasan kepada para isterinya.37 Ini berarti, bahwa hukum Islam anti kekerasan dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik, psikis, seksual maupun ekonomi.

Selaras dengan uraian di atas, jika isteri korban kekerasan fisik yang mengakibatkan korban cedera, cacat atau meninggal dunia, maka pelaku dapat dikenakan jarimah diyat, jika isteri cedera atau luka dan jarimah qisas jika isteri meninggal dunia. Hukum Islam juga tidak mentolerir kekerasan seksual. Karena Nabi saw tidak membenarkan suami melakukan hubungan biologis dengan istrinya tanpa foreplay, sesuai isyarat hadis:

:

(

)

38

‘Dari Abu Hurairah r.a (bahwa) Nabi saw bersabda: Janganlah salah

seorang di antaramu menggauli istrinya seperti seekor binatang. Hendaklah terlebih dahulu ia memberikan rangsangan dengan ciuman

dan rayuan.’ (HR. Ahmad)

Ini berarti berarti hukum Islam menolak kekerasan seksual dalam rumah tangga yang dilakukan suami, misalnya menyetubuhi istri di saat tertidur, dipaksa saat haid, nifas. Apalagi tindakan suami yang menjual isteri kepada orang lain atau memaksa isteri menjadi pelacur untuk tujuan

36

Ibn Mājah,Sunan Ibn Mājah,Juz I, op.cit., h. 638.

37

Abu Yasid (ed.),Fiqh Realitas Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam

Kontemporer (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 340-341.

38

(12)

komersial, seperti kasus Yudhi yang divonis satu tahun penjara karena menjual isterinya, Rini Sundari dengan tarif minimal Rp. 300.000 sekali

pakai. Hasil “penjualan” itu digunakan Yudhi untuk berfoya-foya.39

Sikap suami yang memaksa isteri melacurkan diri untuk tujuan komersil pada hakekatnya telah menjurus kepada pemaksaan untuk berzina sekaligus perbudakan. Padahal kedua-duanya sangat dilarang dalam Islam. Memperbudak seseorang– termasuk isteri – sama artinya telah mematikan jiwanya. Walau pun ia masih bernyawa dan beraktivitas namun pada hakekatnya ia telah mati, karena kebebasaannya telah hilang. Sehingga kifarat dalam berbagai pelanggaran adalah pembebasan budak. Karena itu dalam kasus pemaksaan suami terhadap untuk melacurkan diri untuk tujuan komersial bia dikategorikan sebagai penjualan perempuan. Dalam konteks ini menurut pendapat mazhab Zahiri, kasus pemerkosaan bisa diklasifikasikan pada konsep hirabah karena pemerkosaan merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan bisa dikategorikan sebagai upaya membumihanguskan eksistensi khalifah fi al-ard. Tegasnya menurut mereka,

bahwa ”setiap orang yang menyerang, merampok, merusak kehormatan

orang lewat dan mengancam akan melukai, membunuh, melecehkan adalah muharib.40

Hal ini sejalan dengan pendapat sebagian ahli fiqh mazhab Syafi’i dan

mazhab Maliki. Mereka berpendapat, bahwa pelecehan (kekerasan) seksual secara terang-terangan adalahhirābah.41Dengan demikian dalam pandangan

mazhab Zahriah, Syafi’i dan Maliki, bahwa tindak kekerasan seksual

merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan sehingga diidentikkan dengan

hirābahdan pelakunya harus dihukum berat.

Bertolak dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa hadis yang memuat informasi adanya kutukan kepada isteri yang menolak ajakan suami melakukan hubungan seksual bukanlah untuk melegitimasi kekerasan seksual dalam rumah tangga. Sebaliknya Islam sangat melarang suami melakukan kekerasan seksual kepada isterinya. Salah satu bentuk kekerasan seksual tersebut, adalah suami memaksa isteri yang sedang hadis melayani hasrat biologis suami, atau melakukan hubungan biologis yang disertai ancaman fisik kepada isteri. Bahkan salah satu bentuk akhlak seorang suami

39

Lihat Irwan Abdullah, Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan (Cet. I; Yogyakarta: Tawarang Press, 2001), h. 47.

40

Ibn Hazm, al-Muhalla,Juz XII (Beirut: Dār al-Afaq al-Jadỉdah, [t.th.]). 308.

41

(13)

adalah mampu berlapang dada dan menggauli isterinya tanpa kekerasan. Apalagi hubungan seksual merupakan jalinan dua hati dan raga yang kenikmatannya bukan saja monopoli suami tetapi juga milik isteri. Bahkan Nabi saw melarang suami melakukan hubungan biologisnya dengan

isterinya tanpa ”pemanasan” terlebih dahulu.

Dalam kaitan ini Yūsuf Qardawî mengatakan bahwa laknat yang disebutkan dalam hadis itu terjadi jika isteri tidak sedang uzur seperti sakit

atau karena ada halangan syar’i (haid, nifas), dan sebagainya.42 Walau pun demikian tidak tertutup kemungkinan keengganan isteri lantaran sifat egois semata, atau kesalahan persepsi terhadap hubungan seksual.

Munculnya keengganan isteri memenuhi hasrat seksual suami bisa jadi didorong oleh anggapannya, bahwa hubungan seksual hanyalah pelayanan terhadap suami. Sehingga perasaan itu menghalanginya menikmati seks. Persepsi itu berkaitan pula dengan anggapannya, bahwa pernikahan bukanlah hasil cinta dan hubungan perasaan, sehingga mengalami firigiditas. Frigiditas (kekakuan dalam hubungan seksual) yang dialami isteri seringkali disebabkan oleh egoisme suami dalam memuaskan kebutuhan seksualnya.43

Jadi, yang dimaksud hadis, adalah penolakan isteri memenuhi hasrat biologis suaminya dengan tujuan untuk menyakiti hati suaminya, bukan karena alasan kesehatan, seperti sakit keras, sangat kelelahan atau alasan

syar’i seperti haid, atau nifas. Karena itu menurut hukum Islam, paksaan

suami kepada isterinya untuk melakukan hubungan biologis belum masuk dalam wilayah marital rape atau kekerasan seksual dalam rumah tangga.

Hukum Islam juga sangat anti kekerasan psikis dalam rumah tangga karena al-Qur’an mewajibkan suami bergaul dengan isterinya secara baik

(ihsan). Sehingga menceraikan isteri dalam kondisi haid pun dilarang44oleh hukum Islam. Karena secara psikologis, perempuan selama menjalani haid umumnya mudah emosi. Perubahan kimia tubuh mereka turut mempengaruhi sikapnya yang cenderung tidak menyenangkan suaminya. Artinya, konflik yang terjadi selama isteri haid tidak layak dijadikan alasan

42

Yusuf al-Qardawî, Hady al- Islam Fatawiy Mu’asirah,diterjemahkan oleh As’ad Yasin dengan judul Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid I, op.cit., h. 611.

43Zakaria Ibrahim, Sîkūlūjiyyah al

-Mar’ah,diterjemahkan oleh Ghazi Saloom dengan judul Psikologi Wanita (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 99.

44

(14)

untuk bercerai.45 Di samping itu Allah memerintahkan dalam QS. al-Nisa (4):19

‘… Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu

tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan

yang banyak.’46

Rahmah, adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikkan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan keluarga, masing-masing suami isteri akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggunya.47

Al-Qur’an menggarisbawahi hal ini dalam rangka jalinan pernikahan

karena betapa pun hebatnya seseorang (suami dan isteri), pasti mempunyai kelemahan dan betapa pun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya. Sehingga suami dan isteri harus berusaha untuk saling melengkapi sesuai isyarat QS. Al-Baqarah (2): 187, bahwa suami isteri saling membutuhkan sebagaimana kebutuhan manusia pada pakaian, tetapi juga berarti bahwa suami isteri yang masing-masing menurut kodratnya mempunyai kekurangan, harus dapat berfungsi menutup kekurangan pasangannya, seperti halnya pakaian menutup aurat (kekurangan) pemakainya. Kalau pakaian merupakan hiasan bagi pemakainya, maka suami adalah hiasan bagi isterinya, begitu pula sebaliknya (QS. Al-A’raf (7):

26). Kalau pakaian mampu memelihara manusia dari sengatan panas dan dingin, (QS. Al-Nahl: 84) maka suami terhadap isterinya dan isteri terhadap suaminya harus mampu melindungi pasangannya dari krisis dan kesulitan yang mereka hadapi. Ini menunjukkan, bahwa hukum Islam anti kekerasan psikis dalam rumah tangga.

Hukum Islam juga anti kekerasan ekonomi (penelantaran rumah tangga). Karena suami berkewajiban memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal kepada isteri dan anak-anaknya secara layak (ma’ruf). Suami juga wajib memberi mahar kepada isterinya, dan jika ditangguhkan

45

Lihat Abul A’la Maududi, The Laws of Marriage and Divorce in Islam,

diterjemahkan oleh Achmad Rais dengan judul Kawin dan Cerai Menurut Islam (Cet. V; Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 44.

46

Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV Indah Press, 2002), h. 119.

47

(15)

penyerahannya akan menjadi hutang suami yang harus dilunasi, seperti hutang-hutang yang lain. Perampasan hak mahar isteri tergolong dosa besar.

Sehingga ada ungkapan orang bijak bahwa ”Allah mengampuni semua dosa

pada hari kiamat kecuali mahar wanita (isteri), orang yang merampas upah

pekerjanya, dan yang menjual orang merdeka (untuk dijadikan budak).”48

Adanya ancaman hukum terhadap suami yang mengabaikan hak isteri-berupa mahar menunjukkan bahwa adanya perhatian serius hukum Islam terhadap penanggulangan kekerasan ekonomi dalam rumah tangga. Karena mahar merupakan menjadi hak milik isteri, sehingga jika suami enggan memberikan kepada isterinya atau setelah diserahkan, suami merampasnya kembali, maka berarti suami telah melakukan suatu kekerasan ekonomi terhadap isteri.

Walaupun pasal 9 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara eksplisit tidak memasukkan perampasan mahar dalam kategori penelantaran rumah tangga (kekerasan ekonomi), namun secara implisit menunjukkan bahwa perampasan mahar yang menjadi hak isteri dapat diklasifikasikan dalam substansi pasal 9 ayat (1) UU Penghapusan KDRT, yang menegaskan bahwa:

Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.49

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa Islam memberikan perlindungan kepada perempuan (isteri) dari kekerasan ekonomi yang dilakukan laki-laki (suami) dengan cara melarang suami mengambil kembali mahar yang telah diberikan kepadanya tanpa kerelaan isteri.50

Mengingat betapa pentingnya hak nafkah bagi isteri dan anak itu, isteri dibolehkan mengambil sendiri tanpa sepengetahuan suaminya, seperti yang pernah dilakukan oleh Hindun binti Utbah, isteri Abu Sufyan, lantaran Abu Sufyan kikir sehingga dilaporkan kepada Rasulullah saw.51 Ini

48

Lihat Ibrahim Amini, Ikhtiar al-Zauj. Diterjemahkan oleh Muhammad Taqi dengan judul Kiat Memilih Jodoh Menurut Al-Qur’ân dan Sunnah. Cet. I; Jakarta: PT Lentera Basritama, 1996), h. 27.

49

Republik Indonesia, op,cit., h. 5.

50

Muhammad Rasyid al-Uwayyid, op.cit., h. 37.

51

(16)

menunjukkan, bahwa keengganan suami memberikan nafkah secara layak (kekerasan ekonomi) kepada isteri dapat dilaporkan kepada penguasa, sebab dalam kasus ini posisi Nabi saw bukan sekedar sebagai pemimpin agama, namun lebih sebagai pemimpin masyarakat Madinah saat itu. Persetujuan Nabi saw atas tindakan Hindun binti Utbah itu disebabkan Hindun hanya mengambil sesuatu yang menjadi haknya.

Pembangkangan suami memberi nafkah kepada isteri dan anak-anaknya dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk kekerasan ekonomi (penelantaran rumah tangga) sebagaimana yang dimaksudkan pasal 9 UU PKDRT. Jelasnya, bahwa hukum Islam memberikan perhatian serius terhadap kekerasan ekonomi (penelantaran rumah tangga). Dalam kaitan ini imam Malik berpendapat, bahwa:

Apabila seorang isteri mengeluh terhadap suaminya karena ia bersikap nusyuz dan menjauhi isteri, maka isteri boleh saja mengajukan perkara itu kepada pihak pengadilan, lalu pihak mengadilan berwenang memberikan nasehat kepada suami itu. Jika suami merespon dengan baik nasehat tersebut, maka selesailah perkara itu. Akan tetapi jika nasehat itu tidak memberikan kemanfaatan baginya dan tidak dihiraukannya, maka pihak pengadilan berkewajiban menyuruh dia memberikan nafkah kepada isteri dan melarang isteri taat dan patuh kepadanya. Jika cara ini tidak mengubah sikap suami, maka pengadilan boleh memberikan sanksi kepada suami itu dengan cara memukul dengan tongkat.52

Pendapat lebih tegas dari mazhab Hanafi, bahwa jika seorang suami tidak mau memberikan nafkah kepada istrinya, padahal dia berkemampuan dan mempunyai uang, maka negara berhak menjual hartanya secara paksa dan menyerahkan hasil penjualan itu kepada istrinya. Kalau tidak ada hartanya, negara berhak menahannya atas permintaan istri. Suami dalam keadaan seperti ini dapat dikategorikan sebagai seorang yang zalim. Dia boleh dihukum, sampai mau menyerahkan nafkahnya.53 Ini menunjukkan, bahwa para ulama klasik telah memberi perhatian serius terhadap penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga, khususnya suami.

Walau pun bentuk hukumannya berbeda antara pendapat imam Malik dengan UU PKDRT namun secara substansial sama-sama memberikan hukuman kepada suami yang menelantarkan rumah tangganya (melakukan

52

Lihat Malik bin Anas al-Aşbahỉ, al-Mudawwanah al-Kubrā,Juz II (Beirut: Dār al -Fikr, [t.th.]), h 192-193. Lihat pula Muhammad Rasyid Uwayyid, op.cit., h. 11-12.

53

‘Alauddỉ n Abū Bakr Mas’ūd al-Kāsānỉ al-Hanafỉ,Kitab Badai’ al-Șānai’ Tartỉb

(17)

kekerasan ekonomi) terhadap isteri dan anak-anaknya. Dalam hal ini pasal 49 UU PKDRT menjelaskan bahwa:

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) setiap orang yang:

a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1);

b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (2).54 Ini berarti, hukum Islam telah memberikan perhatian serius terhadap penegakan hukum kepada pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Dengan adanya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga, maka korban dapat dilindungi. Penegakan hukum tersebut diharapkan dapat memberikan efek jera baik kepada pelaku (suami) maupun orang lain dari tindak kekerasan dalam rumah tangga.

Penutup

Secara sosiologis kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh: (a) sikap agresif dalam diri pelaku menurut teori Erich Fromm; (b) teori pembelajaran sosial, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun media televisi (TV-violence), di mana pelaku memperoleh pembelajaran mengenai penggunaan kekerasan dalam penyelesaian masalah, sehingga dia juga meniru cara-cara penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan konflik dengan istrinya, (c) teori relasi kekuasaan dalam interaksi suami dengan korban (istri) yang merasa dirinya berkuasa sehingga berhak menggunakan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istrinya, dan (d) pemahaman ajaran agama (Islam) yang bias jender akibat kuatnya budaya patriarkhi, mendorong suami berlaku kasar kepada istrinya, dan istri harus taat secara mutlak.

Pada dasarnya hukum Islam anti terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Suami pada dasarnya dilarang memukul istrinya, sebab dispensasi memukul istri yang nusyuz hanya upaya edukatif dan tidak boleh menjurus kepada kekerasan fisik. Islam mewajibkan suami memperlakukan istrinya dengan baik, berarti dilarang melakukan kekerasan psikis. Nabi saw juga melarang suami melakukan hubungan biologis tanpa foreplay, berarti Islam melarang kekerasan seksual. Nabi saw juga memberi izin kepada Hindun mengambil sendiri nafkah dari harta suaminya, Abu Sufyan lantaran pelit. Ini berarti Islam menolak kekerasan ekonomi dalam rumah tangga. Penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam

54

(18)

perspektif hukum Islam, disesuaikan dengan bentuk kekerasan yang dilakukannya. Bagi suami yang melakukan kekerasan fisik dikenai jarimah qisas-diyat. Suami yang tidak memberi nafkah atau nafkah diberikan namun tidak cukup (kekerasan ekonomi) diancam hukuman penjara. Suami yang melakukan kekerasan psikis, dan seksual dalam bentuk memaksa istrinya yang sedang haid melayani hasrat biologisnya) dikenai jarimah ta’zir. Adapun pelaku kekerasan seksual yang menjual isterinya menjadi pelacur dapat dikenai jarimah hirabah, karena telah memperbudak istrinya atau memperlakukan istrinya seperti barang dagangan. Laki-laki yang menzinai korban dikenai hukuman had, dicambuk 100 kali jika belum kawin atau dihukum rajam jika dia sudah kawin.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan, Cet. I; Yogyakarta: Tarawang Press, 2001.

Aminî, Ibrāhîm. Ikhtiar al-Zauj. Diterjemahkan oleh Muhammad Taqi dengan judul Kiat Memilih Jodoh Menurut Al-Qur’ân dan Sunnah. Cet. I; Jakarta: PT Lentera Basritama, 1996.

Anonim. “Amerika Ikut Bebaskan Manohara.”Tribun Timur. No.112 Tahun 06, 1 Juni 2009.

Al-Aşbahỉ, Malik bin Anas. al-Mudawwanah al-Kubrā,Juz II, (Beirut: Dār al-Fikr, [t.th.].

Assegaf, Abd. Rahman.Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004.

Aziz, Aina Rumiyati. Perempuan Korban di Ranah Domestik.” Majalah Forum Keadilan, Edisi 4 Oktober 2002, http//:www.polarhome.com/ pipermail/ nusantara/2002-october/ 00848.html. (Diambil tanggal 15 Mei 2009).

Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat. Cet. III; Bandung: Mizan, 1999.

Bouhdiba, Abdelwahab. Sexuality in Islam. Diterjemahkan oleh Ratna Maharani Utami, Peradaban kelamin Abad Pertengahan. Cet. I; Yogyakarta: Alenia, 2004.

al-Bukharî. Sahîh al-Bukhārî, Juz III, dan V. Cet. I; Bayrut: Dar Kutub

al-’Ilmiyyah, 1992M.

(19)

Durkin, K. Development Social Psychology, Cambridge, Massachussets: Blackwell Publisher, 1995.

Forum Kajian Kitab Kuning (FK-3), Kembang Setaman Perkawinan Analisis Kritis Kitab ’Uqud al-Lujjayn, Cet. I; Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005. Foucault, Michel. Power/Knowledge, New York: Panthenon Books, 1980.

Fromm, Erich. The Anatomy of Human Destructiveness. Diterjemahkan oleh Imam Muttaqin dengan judul Akar Kekerasan Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

al-Hanafỉ , ‘Alauddỉ n Abū Bakr Mas’ūd al-Kāsānỉ.Kitab Badai’ al-Șānai’ Tartỉb al-Syarāi,’Juz IV. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, [t.th.].

Hanafi, Hassan. Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer, Cet. I; Yogyakarta: Jendela, 2001.

Hassan, Fuad. ”Ikhtiar Meredam Kultus Kekerasan.”Dalam Jurnal Perempuan, Nomor 8 Tahun 2001.

Huda, Nurul S.A. Cakrawala Pembebasan Agama, Pendidikan dan Perubahan Sosial, Cet. I; Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.

Ibrahim, Zakaria. Sîkūlūjiyyah al-Mar’ah,diterjemahkan oleh Ghazi Saloom dengan judul Psikologi Wanita. Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.

Ibn Mājah,Sunan Ibn Mājah,Juz I. Bayrut: Dar al-Fikr, [t.th.].

Kartono, Kartini. Patologi Sosial 3: Gangguan-Gangguan Kejiwaan, Cet. III; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

“KDRT Meningkat.”Tribun Timur, Selasa 10 Maret 2009, dan 1 Juni 2009.

“Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Kekerasan Domestik),” Artikel, Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen, tanggal 20 Oktober 2004, http://www.dinkes.kebumen. go.id/ modules. php?op (diambil tanggal 21 Maret 2009).

La Jamaa dan Hj. Hadidjah, Hukum Islam dan Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Cet. I; Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2008.

LBH APIK Jakarta, “Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga,” (Makalah),

http:// www.lbh.apik.or.id/kdrt.bentuk.htm. (Diambil tgl 15 Mei 2009). Maududi, Abul A’la.The Laws of Marriage and Divorce in Islam. Diterjemahkan

oleh Achmad Rais dengan judul Kawin dan Cerai Menurut Islam. Cet. V; Jakarta: Gema Insani Press, 1994.

Mubarok, Achmad. Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern Jiwa dalam Al-Qur’ān,Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2000.

Mulia, Siti Musdah. Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan. Cet. I; Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2005.

(20)

Hj.Eti Nurhayati, dkk. “Implikasi Pinsip Kafa’ah dan Sensivitas Gender sebagai Penangkal Tindak Kekerasan Rumah Tangga dalam Relasi Suami Isteri: Studi Kasus tentang Kekerasan yang Dialami Perempuan di Pengadilan

Agama Kota Cirebon.” Dalam Departemen Agama R.I., Sinopsis dan Indeksasi Hasil Penelitian Kompetitif Dosen PTAI Tahun 1999-2003. Cet. I; Jakarta: Ditperta Islam, 2004.

Nur, Iffatin. “Kejahatan Seksual berbasis Jender dalam Wacana Hukum Pidana Islam.” DalamJurnal Dinamika Penelitian STAIN Tulung Agung, Vol. 1 No. 1, Agustus 2001.

Al-Qardawi, Yusuf. Hady al-Islam Fatawiy Mu’asirah, diterjemahkan oleh As’ad

Yasin dengan judul Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid I. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

al-Qurţ ubî, Abu ‘Abdillāh Muhammad ibn Ahmad al-Anşārî. Tafsir Al-Jami’ li Ahkām al-Qur’ān, Jilid III, Juz V (Bayrut: Dar Kutub

al-‘Ilmiyyah,1993M/1413H.

Quţ b, Sayyid.Tafsîr fi Zilāl al-Qur’ ān,Jilid I, Juz II. Cet. XII; Mekkah: Dār al-‘Ilm

li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1986M/1406H.

al-Rāzî, Fakhruddîn. Al-Tafsir al-Kabir (Mafātîh al-Gaib), Jilid V, Juz X. Cet. I; Bayrut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1990M/1410H.

Republik Indonesia, Undang-undang R.I. Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. XII; Bandung: Mizan, 2001.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. XVII; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993.

al-Uwayyid, Muhammad Rasyid. Min Ajli Tahrir Haqiqi li al-Mar’ah. Diterjemahkan oleh Ghazali Mukri dengan judul Pembebasan Perempuan.

Cet. I; Yogyakarta: ‘Izzah Pustaka, 2002.

Referensi

Dokumen terkait

untuk meneliti tentang apa saja faktor yang mempengaruhi perilaku merokok pada. perawat di

Proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik di Polres Kota Batu terutama di bagian Unit PPA yang menangani masalah tindak pidana perdagangan orang telah sesuai

Parameter tanah pada lahan kering dan kaku /wadas Untuk mengetahui keberhasilan pengelolaan pertanian lah- an kering dengan perlakuan pupuk organik dapat diketahui an- tara lain

Kemampuan olah garak setiap orang berbeda-beda tidak bisa disamakan tetapi menurut saya olah gerak yang baik ketika memasuki perairan sempit adalah menggunakan

proses pembentukan. Setelah dikalkulasi tegangan-regangan tiap pembentukan, maka hasil tersebut disubtitusikan dalam persamaan 2.4. Persamaan 2.4 berfungsi untuk melihat besar

SetiapkonektorUSBdapatmemberikanduakonektor USB melalui braket USB opsional. Untuk membeli braket USB opsional, silahkan untuk menghubungi penyalur lokal. · Sebelum memasang braket

Analisis data kuantitatif adalah suatu pengukuran yang digunakan dalam. suatu penelitian yang dapat dihitung dengan jumlah satuan tertentu

Simsus adalah simpanan khusus investasi anggota yang bertujuan untuk penguatan modal BMT dan berhak atas bagian SHU sesuai dengan ketentuan yang berlaku.