• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap yang Diterapkan Direksi dalam Meng

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sikap yang Diterapkan Direksi dalam Meng"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

“SIKAP YANG DITERAPKAN DIREKSI DALAM MENGELOLA PERSEROAN TERBATAS, DIKHUSUSKAN PADA PRINSIP ITIKAD

BAIK”

Dyah Anggun Sismami, FH UNS 2014

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring perkembangan zaman dan teknologi yang makin pesat, makin pesat pula pemikiran masyarakat Indonesia tentang kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ditandai dengan munculnya badan-badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang dikelola oleh pemerintah maupun dikelola oleh swasta, milik perseorangan maupun milik kolektif, yang berupa persekutuan orang maupun persekutuan modal, yang begerak diberbagai bidang perekonomian, seperti usaha-usaha yang bergerak dibidang perdagangan, jasa konstruksi, percetakan, forwarding, industri dan lain-lain.

Bermula dari badan usaha yang berdiri tunggal, kemudian mengembangkan kegiatannya dengan membentuk cabang usaha atau anak perusahaan, jika perusahaan tersebut berbentuk Peseroan Terbatas, yang mana tujuannya adalah mendukung kegiatan ekonomi dari seluruh perusahaan yang ada di dalamnya, sehingga akan menjadikan kegiatan usaha yang dinamis, kondusif dan making a profit setinggi-tingginya. Ini dikarenakan sikap masyarakat Indonesia yang cenderung konsumtif dan selalu menginginkan sesuatu yang baru, sehingga mendorong para pengusaha untuk menciptakan badan-badan usaha yang tentunya diharapkan mampu menunjang keinginan dan kebutuhan masyarakat.

(2)

diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas) dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. (Selanjutnya disebut UUPT. Undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas). Istilah Perseroan Terbatas terdiri atas dua kata, yakni perseroan dan terbatas. Perseroan merujuk kepada modal PT yang terdiri dari sero-sero atau saham-saham. Kata terbatas merujuk kepada tanggung jawab pemegang saham yang luasnya hanya terbatas pada nominal semua saham yang dimilikinya. (H.M.N Purwosutjipto, op. cit., Jilid 2 , hlm 85).

Perseroan memiliki dua sisi, yaitu pertama sebagai badan hukum dan disisi lain adalah sebagai wadah atau tempat diwujudkannya kerjasama antara pemegang saham atau pemilik modal.

Karena berbadan hukum, maka pendirian PT lebih rumit dan komplek daripada pendirian badan usaha yang tidak berbadan hukum. Sebagai suatu badan hukum Perseroan Terbatas dapat memiliki hak dan kewajiban yang dapat dimiliki oleh subyek hukum, seperti halnya dengan orang perseorangan. Untuk melaksanakan hak dan kewajibannya tersebut, Perseroan Terbatas mempunyai organ-organ perseroan dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.

Ketentuan-ketentuan yang memuat persyaratan konstitutif badan hukum dapat ditemukan dalam anggaran dasar dan/atau peraturan perundang-undangan yang menunjuk orang-orang mana yang dapat bertindak untuk dan atas tanggung jawab badan hukum. Orang-orang tersebut disebut sebagai organ badan yang merupakan suatu esensial organisasi itu. (Ali Ridho, Badan Hkum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan Koperasi, Yayasan, Wakaf (Bandung; Alumni, 1986), hlm 17).

Pasal 1 Butir 2 UUPT secara tegas menyebutkan, bahwa organ perseroan terdiri dari :

1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS); 2. Direksi; dan

(3)

Masing-masing organ perseroan ini mempunyai fungsi dan kewenangan yang diatur dalam aturan perundang-undangan. Pemegang saham mempunyai hak pengendalian tertinggi dalam suatu perseroan, yang mana salah satu kewenangannya adalah menunjuk dan mengangkat direksi dan dewan komisaris. Dalam hal ini menunjuk direksi untuk memimpin perusahaan. Sedangkan direksi dalam mengemban tugasnya, memimpinperusahaan diawasi oleh dewan komisaris. (Khairandy Ridwan, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, (Yogyakarta; UII Press, 2013), hlm 93).

Dalam Perseroan Terbatas, direksi adalah pilar utama yang menjamin kelangsungan usaha perseroan dimana perseroan sebagai artifical person dan direksi sebagai natural person. Disebut pilar utama karena keberadaan direksi itulah yang menjamin Perseroan Terbatas sebagai person yang hidup. Tanpa Direksi, Perseroan Terbatas hanya sekedar person yang lumpuh. Direksi tidak pernah ada jika tidak pernah dibentuk, karena itu Perseroan Terbatas ada karena keterkaitan dengan direksi. Dengan demikian eksistensi Perseroan Terbatas dengan direksi bersifat mutualisme.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa dalam menjalankan tugasnya direksi mempunyai hak diskresi, yang merupakan wewenang yang berkaitan dengan kebijakan untuk mengambil suatu keputusan dalam menjalankan kegiatan ekonomi perseroan atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi, dengan batas-batas yang diatur dalam undang-undang.

Direksi harus memiliki prinsip itikad baik dan bertanggung jawab agar dalam mengemban tugasnya memimpin perseroan, direksi dapat menjalankannya sesuai kepentingan perseroan, demi kelangsungan dan kemajuan serta keberhasilan perseroan terbatas.

Namun bagaimana jika direksi lalai dan mengabaikan prinsip itikad baik? 1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok permasalahan yang diangkat dalam karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:

(4)

b. Apa akibat hukum jika direksi mengabaikan prinsip itikad baik dalam memimpin Perseroan Terbatas?

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Penerapan Prinsip Itikad Baik Direksi dalam Memimpin Perseroan dan Akibat Hukum Jika Mengabaikannya

1. Penerapan Prinsip Itikad Baik Direksi dalam Memimpin Perseroan

Tugas Pokok Mengurus Perusahaan (Daily Management) Oleh Direksi Pasal 92 ayat 1 UUPT berisikan tugas utama direksi, yaitu menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Penjelasan Pasal 92 ayat 1 UUPT menegaskan kembali tentang ruang lingkup dari frasa “pengurusan perseroan” yaitu pegurusan sehari-hari dari perseroan. Tugas dan sekaligus kewajiban direksi untuk mengurus sehari-hari perseroan (daily management) memberikan kedudukan khusus direksi selaku organ PT, dimana organ PT lainnya yaitu RUPS dan dewan komisaris tidak memiliki tugas dan kewajiban ini.

Tugas yang melekat pada direksi tersebut ialah melakukan pengurusan sehari-hari perseroan, membawa akibat hukum bagi direksi ialah bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 97 ayat 1 UUPT. Untuk lebih jelasnya kami mengutip redaksional Pasal 92 ayat 1 dan Pasal 97 ayat 1 UUPT: Pasal 92 ayat 1: “Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan”. Pasal 97 ayat 1: “Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1)”.

2. Tugas Direksi

(5)

“Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”. Dilanjutkan Pasal 97 ayat (4) merupakan petunjuk duty of care tanggung jawab menjadi tanggung renteng, “Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi “.

Tugas dan kewajiban melaksanakan pengurusan sehari-hari perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan tersebut dalam common law system dikenal dengan prinsip fiduciary duties. Dengan prinsip fiduciary duties ini direksi mempunyai hubungan fidusia dengan perseroan dimana direktur telah mengikatkan diri dengan atau kepada perseroan untuk bertindak dengan itikad baik (bonafid) untuk kemanfaatan dan keuntungan perseroan. Jadi terdapat relasi integral antara kepentingan perseroan dan itikad baik yang keduanya harus dijalankan oleh direksi.

Prinsip ini juga ditegaskan oleh Sutan Remy S. yang mengatakan bahwa kedua unsur “kepentingan dan tujuan/ usaha perseroan” dan “itikad baik dan penuh tanggung jawab” sebagai bagian integral dari pengurusan perseroan oleh direksi harus dipenuhi secara kumulatif dan bukan alternatif, artinya harus dipenuhi kedua-duanya.

Pasal 97 ayat 2 UUPT tegas membebankan adanya “itikad baik” dan penuh “tanggung jawab” (standard of care) kepada Direksi. Apabila direksi terbukti bersalah atau lalai menjalankan tugasnya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab tersebut yang menyebabkan perseroan menderita kerugian, maka Pasal 97 ayat UUPT, direksi tersebut wajib memikul tanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian yang diderita perseroan.

Pasal 97 ayat 3 UUPT: “Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”.

(6)

Secara umum pertanggungjawaban direksi adalah menyusun pertanggungjawaban pengelolaan perseroan dalam bentuk laporan tahunan yang memuat antara lain laporan keuangan, laporan kegiatan perseroan dan laporan pelaksanaan GCG (Good Corporate Governance). Laporan tahunan tersebut harus memperoleh persetujuan RUPS, sedangkan laporan keuangan harus memperoleh pengesahan RUPS. Pertanggungjawaban direksi kepada RUPS ini merupakan perwujudan akuntabilitas pengelolaan perseroan dalam rangka pelaksanaan prinsip GCG.

Jika berbicara mengenai pertanggungjawaban, maka dapat dilihat dari segi hubungan ekstern dan segi hubungan intern. Tanggung jawab ekstern adalah tanggung jawab sebagai dampak dalam hubungan dengan pihak luar. Sedangkan tanggung jawab intern adalah dampak dari hubungan si pengurus sebagai organ terhadap organ lainnya, yaitu institusi komisaris dan/atau rapat umum pemegang saham. Sedangkan jika dilihat dari substansinya, maka tanggung jawab direksi perseroan terbatas dibedakan setidak-tidaknya menjadi empat kategori, yakni:

a. tanggung jawab berdasarkan prinsip fiduciary duties dan duty to skill and care;

b. tanggung jawab berdasarkan doktrin manajemen ke dalam (indoor manajement rule);

c. tanggung jawab berdasarkan prinsip ultra vires; dan

d. tanggung jawab berdasarkan prinsip piercieng the corporate veil. 4. Kewenangan Direksi

Direksi suatu PT dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai organ PT yang bertanggung jawab dalam pengurusan sehari-hari perseroan oleh UUPT dilengkapi dengan kewenangan (otoritas) karena tanpa adanya kewenangan tersebut, pelaksanan tugas dan kewajibannya jelas tidak efektif. Secara garis besar kewenangan direksi terbagi atas:

a. Kewenangan Mewakili PT

(7)

“Direksi mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan”. Direksi yang mewakili perseroan tersebut bertindak berdasarkan kuasa menurut hukum (wettelijke vertegenwoording atau legal mandatory) yang artinya UUPT sendiri yang telah menetapkan direksi menurut hukum berindak mewakili orang atau badan hukum (PT) tanpa memerlukan surat kuasa.

b. Kewenangan Menetapkan Keputusan

Pasal 97 UUPT merupakan gambaran dari Business Judgement Rule cermin kemandirian dan diskresi dari direksi dalam memberikan putusan bisnisnya. Hal ini merupakan perlindungan bagi direksi yang beritikad baik dalam menjalankan tugas-tugasnya. Perlindungan hukum tersebut memberikan jaminan bahwa putusan direksi mengenai aktifitas perseroan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, sepanjang:

1) putusan sesuai hukum yang berlaku 2) dilakukan dengan itikad baik

3) dilakukan dengan tujuan yang benar

4) putusan tersebut mempunyai dasar-dasar yang rasional 5) dilakukan dengan kehati-hatian

6) dilakukan dengan cara yang secara layak diakui sebagai yang terbaik bagi perseroan

5. Penerapan Prinsip Itikad Baik Direksi

(8)

Karena UUPT mengacu pada Undang-Undang Perseroan di Inggris dan negara-negara yang menganut common law system, maka sudah sepatutnya mengacu pada pustaka-pustaka hukum yang ditulis oleh pakar hukum common law system atau common law yang telah menjadi sumber pebuatan UUPT.

Prinsip itikad baik ini secara yuridis sebenarnya tidak ada aturan yang baku, yang secara detail dan rinci mengatur hal tersebut, baik mengenai definisi, metode penerapan, ataupun batasan-batasannya. Jadi prinsip ini adalah masalah integritas moral yang dilaksanakan berdasarkan “corporate culture”. Corporate culture dalam kaitannya Perseroan Terbatas adalah kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang di dalam perusahaan oleh organ-organ dan para karyawan yang ada di dalamnya, dimana kebiasaan tersebut dari waktu ke waktu menjadikan kebiasaan mempunyai kekuatan normatif, sehingga ketika dalam undang-undang tidak memuat aturan secara khusus dan detail mengenai suatu masalah, maka kebiasaan ini dapat dijadikan pedoman, sepanjang kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum, serta yang pasti tidak menyimpang dari ketetapan anggaran dasar dan tujuan utama perseroan.

Sementara corporate culture antara perusahaan yang satu dan perusahaan yang lain pasti ada perbedaan. Jadi corporate culture tergantung dari kebiasaan (yang menjadi aturan) masing-masing perusahaan, tanpa ada interfensi dari perusahaan lain untuk menetapkan kebiasaan tersebut. Sehingga dapat dikatakan pendefinisian, batasan-batasan dan metode penerapan itikad baik berbeda pada masing-masing perusahaan, sekalipun perbedaannya tidak terlalu signifikan, karena pada dasarnya itikad baik itu sendiri adalah bentuk pertanggungjawaban moral terutama pemimpin perusahaan. Berbicara mengenai pertanggungjawaban moral perusahaan pasti tidak lepas dari aturan perusahaan itu sendiri, dalam hal ini adalah masalah kode etik perusahaan. Kode etik yang harus dimiliki oleh direksi ini terbagi menjadi dua, yaitu:

(9)

2) Kode etik ekstern perusahaan, yaitu kode etik yang harus dijalankan oleh direksi dalam menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang ada di luar perseroan, contohnya dalam hal direksi bertugas untuk mewakili perseroan atas perbuatan hukum yang dilakukan di luar perseroan.

Dalam UUPT tidak memberikan aturan detail mengenai penerapan itikad baik ini, tetapi secara implisit dan didukung oleh aturan-aturan lain yang berkaitan dengan itu, maka dapat disimpulkan bahwa direksi dikatakan mempunyai itikad baik, apabila:

1) menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab dan dengan kehati-hatian 2) menetapkan keputusan sesuai dengan hukum yang berlaku

3) penetapan putusan tersebut dilakukan dengan tujuan yang benar, sesuai maksud dan tujuan perseroan

4) segala tindakan dimaksudkan untuk kepentingan dan tujuan perseroan

5) bertindak sesuai dengan arahan dalam RUPS, sebagai pengendali tertinggi perseroan dan mejadikan nasihat-nasihat dewan komisaris sebagai bahan pertimbangan

6) menjalankan tugas sesuai dengan anggaran dasar.

2.2 Akibat Hukum Jika Direksi Mengabaikan Prinsip Itikad Baikdalam Memimpin Perseroan Terbatas

Setiap perbuatan hukum pasti akan mempunyai akibat hukum, seperti halnya direksi yang mengabaikan penerapan prinsip itikad baik dalam mengemban tugsanya memimpin sebuah Perseroan Terbatas (PT) pasti akan mempunyai akibat hukum juga.

(10)

“Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”.

Sementara itu apabila direksi mengabaikan penerapan prinsip itikad baik dalam mengemban tugasnya sesuai dengan pasal diatas, pasti akan menimbulkan akibat-akibat hukum. Konsekuensi atau akibat hukum tersebut tergantung dari akibat yang ditimbulkan oleh adanya penyimpangan dari itikad baik tersebut, atau bahkan menimbulkan akibat yang paling buruk bagi perseroan yaitu kerugian yang berakhir pailit.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 97 ayat 3: “Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2)”.

Sehubungan dengan pasal-pasal yang disebutkan di atas, dihubungkan dengan Pasal 97 Ayat (5) UUPT 2007 barulah nampak di situ adanya pengecualian tanggung jawab penuh direksi dalam pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud di atas. Sementara itu pada Pasal 97 Ayat (5) UUPT 2007 ditegaskan bahwa, “Anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) apabila dapat membuktikan:

1) kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

2) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;

3) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

4) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut”.

(11)

direksi itu sendiri bahwa kebijakan yang diambilnya itu sudah tepat, maka dikembalikan kepada Pasal 97 Ayat (5) di atas.

Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terdapat beberapa hal mengenai pertanggungjawaban yang belum jelas karena harus dibuktikan terlebih dahulu. Dalam praktiknya penerapan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tersebut sebenarnya mengalami kendala, khususnya dalam hal pertanggungjawaban direksi. Hal ini terjadi karena masih belum adanya standar yang jelas untuk mengukur pertanggungjawaban direksi tersebut. Misalnya ukuran “itikad baik” dalam Pasal 97 Ayat (2) belum ada ukuran yang jelas, mungkin karena ini persoalan yang berhubungan erat dengan moral atau hati kecil dari anggota direksi sehingga dalam penerapannya sulit untuk menentukan ukuran kapan seorang direksi itu bertindak dengan itikad baik atau tidak.

Hal itu mengingat pentingnya untuk menentukan apakah seorang direksi dapat dimintai pertanggungjawabannya atau tidak. Karena perusahaan adalah (risk taker) yang bertujuan untuk mencari keuntungan dimana direksi sebagai organ perusahaan dalam mengambil keputusan bisnis seringkali bersifat spekulatif yang bertendensi untuk mengalami kerugian. Di sinilah pentingnya standar mengenai pertanggungjawaban untuk dapat melihat keputusan bisnis manakah yang diambil sesuai dengan prosedur demi kepentingan perusahaan ataukah keputusan bisnis yang diambil untuk kepentingan direktur itu sendiri.

Sehubungan dengan ketentuan dalam Pasal 97 (5) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas seorang direksi perseroan bebas dari tanggung jawab atas kerugian perseroan apabila dapat membuktikan hal-hal yang telah disebutkan di atas. Kemudian Prof. Dr. Bismar Nasutin, S.H., M.H., yang merupakan Guru Besar Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara merumuskannya menjadi lima syarat yaitu:

(12)

5) Telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah kerugian.

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas mengenai penerapan prinsip itikad baik direksi dalam memimpin Perseroan Terbatas, maka dapat disimpulkan:

a) Penerapan prinsip itikad baik direksi dalam memimpin Perseroan Terbatas, yaitu berkaitan dengan pengurusan wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Dalam penerapan prinsip ini memang tidak ada aturan yang baku berkenaan dengan definisi, batasan-batasan maupun metode penerapannya, tetapi secara implisit dan didukung oleh aturan lain yang berkaitan dengan masalah tersebut maka dapat dikatakan bahwa direksi mempunyai itikad baik, apabila:

1) Menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab dan dengan kehati-hatian;

2) Menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab dan dengan kehati-hatian;

3) Penetapan putusan tersebut dilakukan dengan tujuan yang benar, sesuai maksud dan tujuan perseroan;

4) Segala tindakan dimaksudkan untuk kepentingan dan tujuan perseroan; 5) Bertindak sesuai dengan arahan dalam RUPS, sebagai pengendali tertinggi perseroan dan mejadikan nasihat-nasihat Dewan Komisaris sebagai bahan pertimbangan, dan

6) Menjalankan tugas sesuai dengan anggaran dasar.

(13)

sesuai dengan ketentuan undang-undang (dalam hal mengabaikan itikad baik), sepanjang tidak dapat membuktikan:

1) Kerugiaan yang timbul bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; 2) Direktur melakukan kepengurusan dengan beritikad baik dan hati-hati; 3) Kepengurusan dilakukan untuk kepentingan dan tujuan perusahaan; 4) Direktur tidak mempunyai conflict of interest;

5) Telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah kerugian 3.2 Saran

Seharusnya ada aturan yang detail dan rinci sebagai bentuk kepastian hukum tentang masalah itikad baik direksi, dalam hal pendefinisian, metode penerapan dan sebagainya supaya direksi dapat menjalankan tugasnya dengan baik, sesuai dengan aturan yang berlaku. Dan juga diadakannya sosialisi yang merata mengenai aturan-aturan yang berkaitan dengan masalah itikad baik kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

DAFTAR PUSTAKA

Ridwan Khairandy. 2014. Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia. Yogyakarta : FH UII Press

Ridwan Khairandy. 2009. Perseroan Terbatas. Yogyakarta: Total Media

Purwosutjipto, HMN. 1995. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia: Bentuk-bentuk perusahaan. Jakarta: Djambatan

Ali Ridho. 1986. Badan Hkum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan Koperasi, Yayasan, Wakaf . Bandung: Penerbit Alumni

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan obyektif yang ingin dicapai dalam tugas akhir ini adalah merancang dan membuat sebuah aplikasi RFID sebagai penunjang sistem keamanan parkir berbasis

Konservasi Energi merupakan proses penggunaan energi secara efisien dan rasional tanpa mengurangi penggunaan energi yang ada [1], arti prinsip konservasi energi mendorong

Pada tahap ini akan dilakukan analisis pada proses bisnis eksisting yang ada pada Aza Collection untuk menegetahui penerapan yang sesuai dengan sistem produksi OpenERP,

Pada indikator hubungan dengan orang tua TPA Se-Kecamatan Tampan Kota Madya Pekanbaru dengan persentase berjumlah (64,88%) maka indikator tersebut sudah

a) Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh yang signifikan dan positif pada variabel sikap terhadap fashion (attitude toward product) terhadap keputusan membeli (behavior). b)

mengelolah aktiva, kewajiban kepada kreditur, dan kekayaan bersih dari koperasi, (2) Laporan Perhitungan Sisa Hasil Usaha yang menggambarkan kegiatan koperasi dan hasil operasi

Puji serta syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini dengan judul Perancangan dan

Berdasarkan persamaan regresi sederhana di atas dapat diketahui bahwa Koefisien regresi variabel training & development (X1) diperoleh nilai sebesar 0,366 dengan