• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korupsi di Indonesia Kontemporer dan Pen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Korupsi di Indonesia Kontemporer dan Pen"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

Korupsi di Indonesia Kontemporer dan Pengalaman

Sejarah Inggris 1660-1830

1

Peter Carey

“Jarang orang menjadi baik hanya demi kebajikan, mereka menjadi baik karena keadaan mengharuskan.” Mahatma Gandhi2

“Masyarakat tanpa hukum yang ditujukan untuk tegaknya keadilan akan menemukan dirinya terjebak dalam penderitaan.

Yang kuat akan memaksakan kehendaknya pada yang lemah,

yang kaya pada yang miskin, yang memerintah pada yang diperintah. Jadi, keadilan adalah sesuatu yang sangat penting di dalam masyarakat.” Dalai Lama3

“Saya ingin membayangkan bagaimana wajah-wajah baru despotisme akan muncul di dunia ini. Saya melihat kerumunan orang yang tak terhitung jumlahnya, semuanya sama dan setara. Pada diri mereka sendiri terpendam pencarian tanpa lelah pada kesenangan-kesenangan vulgar dan tak penting yang dengannya mereka isi jiwa-jiwa mereka. Masing-masing di antara mereka hidup terpisah, hampir tidak menyadari nasib yang lainnya. Anak-anak dan sahabat-sahabat karib baginya sama halnya dengan manusia lainnya dan warga negara lainnya. Ia berdiri bersama mereka, tetapi tidak melihat mereka. Ia menyentuh mereka, tetapi tidak merasakannya. Ia hanya berada di dalam dan untuk dirinya sendiri [dan] jika ia masih memiliki keluarga [...] ia dapat dikatakan telah kehilangan negaranya.”

Alexis de Tocqueville⁴

I Pendahuluan

(2)

peringkat GDP (US$890 miliar atau US$3.557 per kapita) dan posisi ke-118 dari 176 negara dalam penilaian Indeks Persepsi Korupsi tahun 2012 (CPI 2012) masih sangat mencemaskan.

Namun demikian, gambarannya tidak seluruhnya negatif. Sejak mengarungi proses reformasi pada 1998 menyusul kejatuhan Jenderal Soeharto dan Orde Baru-nya yang kleptokratik (1966-1998), Indonesia menyaksikan perbaikan yang meyakinkan dalam peringkat Indeks Persepsi Korupsi. Pada 1998, Indonesia berada di urutan ke-80 dari 85 negara yang disurvei dan menjadi negara ASEAN yang paling rendah rankingnya. Pada 2006, Indonesia ada di urutan ke-130 dari 163 negara dan berada di atas Kamboja (151) dan Birma (Myanmar) (160). Pada 2012, Indonesia mengambil alih posisi Vietnam dan Laos. Dua tahun kemudian, indeks Indonesia bergeser lagi ke peringkat 107 dari 175 negara yang disurvei (The Economist, 6 Juni 2015). Sekarang (2015) justru turun ke peringkat 117 dari 175 negara dengan skor yang sama (34)⁵ di bawah negara tetangga, seperti Singapura (98), Malaysia (52), Filipina dan Thailand, yang dua-duanya 38 (Kompas, 2015c).

Dalam jajak pendapat Kompas tentang penegakan hukum (6 Mei 2013), korupsi dipilih oleh 94,7 persen (720 responden di 12 kota besar Indonesia) sebagai satu-satunya isu paling penting yang dihadapi negeri ini. Tiga perlima dari keseluruhan responden berpendapat praktik-praktik korupsi dan suap adalah penghalang terbesar pengelolaan keadilan. Lebih dari separuh responden menganggap korupsi sebagai problem paling serius yang menghalangi penegakan negara hukum (rechtstaat). Poling ini memperkuat temuan Mark E. Warren (2004:328-343), profesor kajian demokrasi di Universitas British Columbia (Kanada), bahwa korupsi berdampak langsung pada prospek demokrasi karena membuat hilangnya kepercayaan pada institusi-institusi politik yang mengabaikan penegakan hukum dan mendelegitimasi proses demokrasi yang lebih luas, sesuatu yang jelas bisa dilihat dengan kasus mantan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar (Bab 3), yang diberhentikan sebagai Ketua MK pada 5 Oktober 2013 dan divonis hukuman penjara seumur hidup dalam kasus penyuapan sengketa pilkada (BBC Indonesia,30 Juni 2014).

(3)

turun ke peringkat 117 dari 175 negara dengan skor yang sama (34) di bawah negara tetangga, seperti Singapura (98), Malaysia (52), Filipina dan Thailand, yang dua-duanya 38 (Kompas, 2015c).

Didirikannya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2003, sebuah lembaga pemerintah yang diberi mandat untuk melawan korupsi, beriringan dengan terjadinya perubahan besar toleransi publik terhadap korupsi. KPK mendapatkan dukungan luas dari rakyat. Selain itu, kesuksesan komisi anti rasuah ini dalam menggunakan perangkat-perangkat yang kontroversial, seperti alat penyadapan dan fokusnya pada target-target kelas kakap seperti pebisnis, birokrat, bankir, gubernur, diplomat, anggota dewan, jaksa, pejabat polisi, dan masyarakat Indonesia yang awalnya tak tersentuh, tampaknya telah memunculkan era baru akuntabilitas publik.⁶

Namun jalan panjang masih harus ditempuh. Dari sekitar 16.200 kasus yang dilaporkan ke KPK selama lima tahun pertama sejak berdiri (2003-2008), hanya sedikit yang berhasil diproses ke pengadilan (Erviani, 2008). Kebanyakan kasus itu masih ditunda atau telah dialihkan kepada jaksa lokal di tingkat pemerintah provinsi untuk investigasi lebih lanjut. KPK kekurangan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya. “Masalah utama adalah kemauan politik pemerintah di tingkat daerah dan nasional,” kata pejabat divisi pendidikan publik KPK, Budiono Prakoso, pada Desember 2008. “Kemauan politik masih rendah [dan] segala sesuatu masih berada hanya di tingkat kata-kata” (Erviani, 2008).

Selain keterbatasan sumberdaya dan rendahnya kemauan politik pemerintah untuk memberantas korupsi, KPK menghadapi serangan balas dendam berupa serangkaian kriminalisasi dari institusi pesaing terberatnya, yaitu kepolisian. Pertama, polisi secara kasat mata menjerat Ketua KPK Antasari Azhar dengan dakwaan yang sangat lemah, yakni terlibat dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, seorang pejabat badan usaha milik negara, pada 2009. Seorang saksi kunci, Wiliardi Wizar, mantan Kapolres Jakarta Selatan, mengungkapkan dalam sidang pengadilan bahwa penahanan tersangka, yaitu Antasari Azhar, adalah “dikondisikan” sesuai perintah dari petinggi Mabes Polri. Atas kejadian ini Wiliardi menyesal dan merasa bersalah terhadap tersangka (Detik, 10 November 2009).

(4)

wakilnya, serta serangkaian kejadian berikutnya mengungkapkan kelemahan dukungan politik atas posisi kepemimpinan Presiden Jokowi, sementara partai-partai pendukungnya sekadar memperjuangkan kepentingan politik pribadi dan kelompok masing-masing. Sikap Jokowi yang selalu tunduk pada kemauan Megawati Sukarnoputri, Ketua PDI-P yang mendukung kepresidenannya, menyebabkan dukungan publik kepadanya yang mengusung slogan “jujur, bersih dan sederhana” selama kampanye pemilihan presiden 4 Juni-5 Juli 2014 merosot (lihat Bagian VII).

Pemerintahan Jokowi menghadapi ujian berat. Demikian pula proses reformasi anti-korupsi Indonesia yang berada dalam situasi sangat sulit akibat lemahnya kemauan politik (Butt dan Lindsey, 2015). Kini menjadi jelas bagi rakyat Indonesia bahwa mendukung seorang presiden yang bersih dan reformis saja tidak cukup untuk mempercepat pencapaian cita-cita nasional bila dukungan dari partai-partai politik kurang solid.

II Pengalaman Inggris, 1660-1830

Mungkin kaum reformis Indonesia harus menjadikan Inggris sebagai contoh. Pada “abad XVIII yang panjang”—yang dalam kasus Inggris membentang dari Restorasi (Raja) tahun 1660 ketika kerajaan Stuart dikembalikan setelah era Republik (1649-1653) dan rezim otoriter (Protectorate) Oliver Cromwell (menjabat 1653-1658) hingga The Great Reform Bill (reformasi besar pertama parlemen Inggris) pada 1832—Inggris Raya (Great Britain) yang dibentuk pada 1 Mei 1707 oleh Uni Inggris dan Skotlandia sebenarnya adalah sebuah wilayah korupsi di Eropa. Sepanjang waktu itu, Inggris menjadi negara adidaya dengan kapasitas militer yang signifikan di Eropa dan di dunia luar serta mengalami revolusi industri pertama di dunia. Pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX, waktu pengaruh Angkatan Laut Inggris mulai terasa di perairan Nusantara,⁷ Inggris adalah negara ekonomi perdagangan paling sukses di dunia—yang dalam ungkapan peyoratif Napoleon Bonaparte disebut “bangsa pemilik toko (that nation of shopkeepers)”. Selama dua dekade konflik antara pecahnya perang dengan pemerintah revolusioner Prancis yang dipimpin kubu garis keras Jacobin (anggota partai Republikan Radikal Prancis) pada Januari 1793 hingga Pertempuran Waterloo (18 Juni 1815), Inggris menang atas musuh Eropa utamanya. Namun, Inggris membutuhkan waktu lebih dari 150 tahun (1660-1830) untuk mengatasi masalah korupsi.

(5)

Karena tidak ada pemungutan secara rahasia di Inggris hingga 1872, para tuan-tanah–yang seringkali adalah anggota Majelis Tinggi Parlemen Inggris (House of Lords)–bisa mengusir warga yang tidak memilih kandidat yang mereka dukung. Kandidat-kandidat itu biasanya adalah anak-anak dan anggota keluarga dekat para tuan-tanah itu—sebuah situasi yang tidak begitu asing bagi Indonesia saat ini dimana sering muncul “dinasti” politik di tingkat pemerintah dan parlemen daerah (DRPD) yang marak korupsi. Patronase semacam ini melibatkan raja yang dapat menjamin dukungan politik di parlemen dengan menggunakan “orang titipan” atau “placemen”, yaitu orang yang ditunjuk kerajaan serta memegang jabatan-jabatan sipil dan militer yang secara konsisten mendukung kepentingan raja di Majelis Rendah (Dewan Perwakilan Rakyat).

Penunjukan pada pos-pos yang menguntungkan seperti juru bayar (Paymaster-General atau Paymaster of the Forces) dari Angkatan Bersenjata Inggris hampir pasti akan menjamin pemegang jabatan dengan keberuntungan seumur hidup asalkan semua uang belanja dan penggajian militer yang ditetapkan oleh Parlemen mengalir melalui tangan-tangannya. Administrasi pemerintahan rendahan (sinecure, yakni pos-pos pekerjaan bergaji besar dengan tanggung jawab minimal) dan politik patronase membuka peluang untuk memperkaya para elite dan pemiskinan mendadak yang tak terbayangkan terjadi di zaman yang kurang sukses secara komersial dan militer itu. Bahkan Perdana Menteri Inggris pertama, Sir Robert Walpole (berkuasa 1726-1740), menyelundupkan barang-barang mewah Prancis melalui Sungai Thames menuju kediaman resminya dengan menggunakan kapal-kapal patroli kerajaan.⁸

(6)

Hastings sebenarnya dikirim ke India oleh para Direktur Maskapai Dagang India Timur (English East India Company atau EIC) dan parlemen Inggris untuk membersihkan sistem administrasi yang dituduh sangat korup akibat tindakan temannya, Sir Robert Clive (1725-1774), sang penakluk Bengal. Clive kembali dari India pada 1760 dengan membawa kekayaan pribadi yang pada hari ini sebanding dengan 1,8 triliun rupiah (£90.000.000) dan pendapatan tahunan sebesar 150 miliar rupiah (£7.500.000), hasil dari penyewaan tanah (quit rents), yang diperoleh dari Mir Jafar, kolektor pajak zaman Mughal di Benggala Hilir. Ketika pada 1772 ditanya oleh parlemen tentang kekayaan pribadinya yang fantastis itu, dia menyatakan, “Aku heran atas sikap yang tidak berlebih-lebihanku”. Namun dia juga mengatakan kepada para anggota parlemen yang menuduhnya, “Ambillah uangku, tapi selamatkan kehormatanku!” Pada tahun berikutnya, 1773, parlemen mengesahkan Undang-Undang Regulasi yang meletakkan kekuasaan Maskapai Dagang India Timur (EIC) dalam pengawasan lembaga itu. Setahun kemudian (22 November 1774) Clive meninggal karena bunuh diri.

Kasus Hastings dan Clive menarik dalam pengertian gejala korupsi berkembang. Ini menunjukkan bahwa apa yang dianggap “korup” bergeser dari generasi ke generasi. Hal itu bisa dilihat secara terang dari tanggapan pemerintah Inggris terhadap gejala korupsi di India. Tindakan yang pada awalnya dimaafkan, misalnya pada generasi perintis kolonial seperti Clive, cepat bisa berubah menjadi sesuatu yang haram pada generasi penerusnya (Hastings) waktu penjagaan parlemen Inggris melalui Board of Control (Dewan Pengurus dan Pengawas) Maskapai Dagang India Timur (EIC) menjadi jauh lebih ketat. Namun toh Hastings sendiri, walaupun dituduh oleh musuhnya di dewan pengurus bertindak “korup” sebagai gubernur, ternyata dibebaskan dari semua tuduhan setelah diadili delapan tahun lamanya. Dan kita akan lihat beberapa kasus serupa di bawah ini.

III Munculnya Inggris sebagai Kekuatan Global

(7)

Munculnya Inggris sebagai kekuatan global di abad XVIII dikaitkan dengan pembentukan apa yang oleh sejarawan Inggris abad XVIII sebut “negara fiskal-militer” (Brewer, 1989:xvii-xix, 33-62), yakni sebuah negara yang mampu mewujudkan kekayaan perdagangan dan pertanian dengan memisahkan pengaturan fiskal-finansial. Bank Negara atau Bank of England dibangun pada 1694 dan Land Tax (Pajak Bumi) diperkenalkan pada 1692 (empat uang receh pound sterling pada tahun-tahun peperangan, satu receh pound sterling di masa damai),¹º Bea dan Cukai, keduanya di bawah komisioner yang ditunjuk parlemen Inggris yang bekerja masing-masing pada 1671 dan 1683 setelah Bea dan Cukai diambil-alih dari perusahaan swasta (tax farmers) yang telah mengelola perpajakan pemerintah sejak 1660.¹¹ Ini memungkinkan pemerintah Inggris membangun kekuatan militer sekaligus meminjam uang secara murah (sekitar empat persen per tahun). Memang selama abad XVIII yang panjang itu, anggaran untuk tentara dan Angkatan Laut Inggris antara 50-90 persen dari total anggaran negara. Kemudian pada awal abad XIX, waktu Inggris terlibat dalam perang global dengan Prancis, anggaran belanja militer tahunan adalah 5-10 persen dari GDP nasional ( 450 juta pound sterling, setara dengan 65 miliar pound sterling atau lebih dari 1.300₤

triliun rupiah dalam uang sekarang (Graham dan Marwah 2015, catatan kaki 25 mengutip Williamson 2015).

Elemen kunci keberhasilan Inggris adalah kemampuannya membayar tentara di medan pertempuran dan menghindari pasukan memberontak, suatu kemampuan yang tidak dimiliki selama hampir tiga abad setelah Agincourt (1415). Ini adalah salah satu rahasia dari serangkaian kemenangan Marlborough antara Blenheim (tahun 1704) dan Malplaquet (tahun 1709) (Graham 2015:73-79, 96) serta keberhasilan yang secara susah payah dicapai oleh Wellington di Waterloo (18 Juni 1815). Dalam kasus terakhir, Nathan Mayer Rothschild (1777-1836), yang berasal dari keluarga perbankan terkenal Yahudi di Frankfurt (Jerman), yang menyediakan kredit untuk pasukan Inggris (Graham, 2015:87), juga patut dihargai perannya. Ia membuat analisis awal atas hasil akhir Waterloo (dia mengirimkan berita kepada agen pribadi dagang saham sehari menjelang pertempuran) yang memungkinkan dia memperoleh untung gila-gilaan di bursa saham London pada akhir Juni 1815.

(8)

(Oktober 2015), pada akhir Perang Napoleon tahun 1815 pembayaran utang ini yang terbukti dikelola dengan baik, sehingga memberikan kelayakan-kredit (kredibilitas) yang tinggi bagi Inggris.

Walaupun dalam kasus Inggris pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX gerakan Kristen Injili memainkan peran yang sangat signifikan karena memicu sebuah “revolusi mental” (lihat di bawah), pada awalnya kemauan politik untuk mengatasi masalah korupsi di tingkat elite dipicu ketakutan, khususnya ketakutan terhadap bencana militer seperti yang terjadi pada 1783 ketika Inggris kehilangan koloni di Amerika Utara. Malapetaka dari Perang Kemerdekaan Amerika, dengan peran vital Angkatan Laut Prancis sebagai sekutu Amerika, menghantui elite Inggris dan membuat mereka waspada terhadap ancaman dari luar negeri. Pertama di tangan raja-raja Bourbon Prancis (hingga tahun 1792) dan Prancis Republikan/Napoleonik (1793-1815), lantas kemudian Jerman selama imperiumnya (Reich Kedua, 1870-1918) serta kekuasaan Nazi yang keji itu (Reich Ketiga,1933-1945). Kasus sama yang terjadi di zaman modern adalah ketakutan terhadap keruntuhan ekonomi yang menyertai praktik-praktik perbankan yang buruk, misalnya eksposur bank Irlandia untuk pasar properti selama krisis keuangan pasca-September 2008 yang dipicu kebangkrutan Lehman Brothers atau persaingan komersial yang timbul akibat bangkitnya RRT sebagai kekuatan global serta ketakutan Indonesia terkait ancaman ekonomi dan ambisi politik Jalur Sutera Maritim Tiongkok serta dampak pemanasan global terhadap masa depan negara kepulauan yang rentan kenaikan permukaan laut itu (lihat di bawah).

(9)

Beberapa cara jitu dapat digunakan untuk menanggulangi korupsi. Pertama, mendorong kemitraan publik-swasta, misalnya antara pemerintah dan proyek-proyek yang pada awalnya (sebelum 1671 dan 1683) dimiliki swasta, seperti Bea dan Cukai, atau terus dikelola swasta– seperti Bank of England sejak 1694 di bawah pengawasan komisaris yang ditunjuk parlemen. Pendekatan kedua, mendirikan sebuah komisi khusus parlemen untuk memeriksa laporan keuangan negara (Commission of Public Accounts). Komisi ini dipilih oleh anggota parlemen dari dua partai besar, Tory dan Whig, untuk pertama kali pada 1691 setelah pengaturan baru fiskal dan keuangan setelah penobatan Raja William (1689-1702) memberi wewenang jauh lebih luas kepada parlemen untuk mengawasi belanja dan neraca Departemen Keuangan (Treasury). Mereka berhak memanggil menteri dan pejabat seniornya untuk memeriksa laporan keuangan mereka. Antara 1691 dan 1697, komisi yang kecil ini—hanya beranggotakan tujuh sampai sembilan orang—begitu berhasil karena membongkar kasus penyelewengan uang negara, sehingga pemerintah Inggris akhir 1690-an menjadi takut dan mencoba menghalangi kelanjutannya.¹³

Sejarah ini mengingatkan kita atas nasib Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada masa ini (Oktober 2015) di Indonesia dengan anggota DPR yang mencoba memangkas wewenangnya untuk menghindari pembongkaran kasus korupsi di kalangan birokrasi dan pemerintah. Namun demikian, ada perbedaan dasar antara dua kasus ini sebab Komisi Keuangan Negara di Inggris (Commission of Public Accounts) pada akhir abad XVII terdiri atas anggota parlemen sendiri dan mengawasi uang negara yang berasal—sepertiga¹⁴ —dari Pajak Bumi yang wajib mereka bayarkan sebagai tuan tanah. Sangat berbeda dengan Indonesia masa kini karena KPK tidak ada kaitan dengan DPR dan anggota DPR tidak memikul beban yang berarti dalam pembayaran pajak penghasilan (income tax) untuk negara.

Pendekatan ketiga adalah meningkatkan upah pegawai negeri sipil, termasuk hakim pengadilan tinggi, secara substansial. Ini dilakukan dengan hakim Inggris mulai tahun 1645. Ketika itu gaji hakim senior dinaikkan 500 persen menjadi 1.000 (seribu pound sterling per tahun, setara dengan₤

151.500 atau 3,3 miliar rupiah dengan uang sekarang, Oktober 2015)¹⁵ (Prest, 1991:83). Setelah

(10)

pengadilan luar biasa yang dulu marak dengan korupsi—seperti Star Chamber, Court of Requests, Council of the North, Council in the Marches—antara 1645 dan 1689 dan penerapan prinsip baru untuk mengangkat hakim “asal mereka bertindak baik” (quamdiu se bene gesserit) daripada atas “kemauan sang raja”, sebuah reformasi yang sudah tuntas antara 1701 dan 1714. Tak disangkal suatu era baru dalam sejarah kehakiman Inggris dimulai (Prest, 1991:83, 85). Memang tidak berarti semua hakim Inggris sama sekali lepas dari pengaruh politik, tapi secara profesional mereka mulai bertindak jauh lebih solid dan bisa dipercaya bebas dari suap, sesuatu yang sangat diperlukan ketika pemerintah Inggris mulai menggugat pejabat yang korup pada akhir abad XVIII ketika Economical Reform (Reformasi Penghematan) diterapkan antara 1780 dan dasawarsa 1830-an.

Untuk pegawai negeri yang lain, yaitu 15.000 PNS dan 10.000 perwira militer menengah, prinsip bahwa mereka harus menerima gaji yang layak untuk pangkat mereka sudah diterima, tetapi diikuti syarat bahwa mereka harus bisa menunjukkan keberhasilan untuk melayani masyarakat dengan seksama.¹⁶ Jadi prinsip bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab atas kesejahteraan warga mulai terkuak—sesuatu yang diungkapkan secara jeli oleh Louis Antoine de St. Just (1767-1794), anggota Komisi Tertinggi Revolusi Prancis (Comité du Salut Public), sewaktu debat di Convention (parlemen revolusioner Prancis) mengenai pembagian dari properti émigré (emigran), terutama bangsawan Prancis yang telah melarikan diri, kepada fakir miskin. Ia menyatakan: “le bonheur est une idée neuve en Europe (kesejahteraan adalah sebuah ide baru di Eropa).”

Dalam kasus India yang dikelola Maskapai Dagang India Timur (East India Company) ada kebijakan untuk menaikkan upah pejabat pegawai negeri sipil India pada awal abad XIX. Meskipun gaji PNS di India dinaikkan empat kali lipat antara 1805 dan 1857, hasilnya tidaklah seperti yang diinginkan (Bowen, 2006:178-218). Hanya ketika kekuasaan East India Company (1600-1858) berakhir menyusul bencana pemberontakan India (Indian “Mutiny” alias Perang Merdeka) tahun 1857 dan India jajahan Inggris diambil-alih di bawah kendali pemerintah Inggris di London, perubahan-perubahan penting itu dapat dimasukkan ke dalam etos pegawai negeri sipil India.

(11)

Salah satu tanda bahwa pemerintah serius mengatasi korupsi adalah ketika ia mulai mengalihkan beban beratnya pada pendapatan PNS dan para pejabatnya dalam kasus-kasus yang melibatkan anggota-anggota elite pemilik tanah dan kaum kayaraya. Terkait dengan hal ini adalah kesediaan pemerintah untuk memberikan hukuman berat, termasuk hukuman mati, terhadap kalangan elite yang melakukan tindak pidana, seperti hukuman gantung atas Lord Ferrers pada 1760 yang membunuh pengurus tanahnya (steward)—akan dijelaskan lagi nanti—atau proses pengadilan atas kecerobohan pejabat sipil seperti Thomas Parker, Earl Macclesfield Pertama (1666-1732), yang terlibat dalam kasus korupsi berat waktu menjabat sebagai Lord Chancellor¹⁷ (1718-1725), atau perwira tinggi militer, seperti eksekusi atas Laksamana John Byng (1704-1757) pada 1757.

Dalam analisis akhir, perjuangan melawan korupsi yang terlembaga dalam pemerintahan adalah seperti mengecat jembatan Sungai Forth di Skotlandia—tidak ada ujungnya. Dan apa yang dianggap tindakan korup bergeser dari zaman ke zaman, seperti kita sudah lihat di atas dengan kasus Robert Clive dan Warren Hastings di India. Dalam kasus Inggris, butuh 150 tahun untuk menangani korupsi. Selain itu, juga dibutuhkan semacam “revolusi mental” yang didasarkan atas dua perkembangan baru: pengaruh agama Protestan Injili (Evangelical Christianity) dan filsafat utilitarianism atau “bahagia yang paling besar dari sebanyak mungkin orang” (the greatest happiness of the greatest number).

(12)

kejujuran, integritas, dan tradisi patriarkal, yang membuahkan semacam kebanggaan nasional dalam melaksanakan tugas politik dengan jujur dan seksama. Ini memicu sebuah pergeseran politik dan budaya pada partai Tory, seimbang dengan yang sudah dialami politikus Whig dan Radikal (Graham dan Marwah, 2015, mengutip Harling, 1996:136-196).

Revolusi mental ini juga bisa dilihat dalam filsafat moral yang dikembangkan pemikir dan ahli hukum, Jeremy Bentham (1748-1832), dan adiknya, Samuel Bentham (1757-1831), seorang insinyur militer dan arsitek kapal perang yang menangani reformasi mendasar di galangan kapal Angkatan Laut Inggris antara 1796 dan 1805. Kakak beradik Bentham mempopulerkan doktrin “utilitarianism” yang menitikberatkan kepada unsur sifat hemat (irit), efisiensi, kebersahajaan, dan integritas—kualitas yang juga dikembangkan seorang Diponegoro pada tahun-tahun yang sama di Yogyakarta—di bidang pemerintahan, terutama di bidang keuangan negara (fiskal) dan militer (angkatan bersenjata) serta masyarakat luas dan kalangan partai politik tertentu. Ini memicu gelombang reformasi yang ditangani partai Whig dan Radikal dari anggota partai Whig yang menuntut reformasi mendasar terhadap yang disebut “Old Corruption”, yang mencakup semua yang berbau sistem politik lama, terutama sifat menganggap jabatan pemerintah sebagai semacam properti sendiri dan mengambil ongkos dibanding menerima gaji yang cukup.¹⁹ Sesudah mereka bisa membentuk administrasi tahun 1830, politikus Whig dan Radikal itu langsung menyiapkan legislasi untuk reformasi besar Parlemen dua tahun kemudian (Graham dan Marwah, mengutip Harling, 1996:197-227).

Pembaruan birokrasi Inggris pada dasawarsa 1830-an yang bermuara pada filsafat utilitarian dari Jeremy Bentham bertambah kencang, sehingga menyebabkan Komisi Kerajaan (Royal Commissions) pada 1850-an memperbaiki institusi-institusi penting, seperti Angkatan Darat serta universitas kuno Oxford dan Cambridge yang pernah dirundung malapetaka korupsi yang sangat parah pada abad XVIII. Untuk penyelewengan terakhir, sejarawan Edward Gibbon (1737-1794) dengan jelas menguraikan dalam autobiografinya, “Empat belas bulan (1752-1753) yang aku habiskan (di Oxford) adalah bagian hidupku yang paling sia-sia dan paling tidak menguntungkan” (Gibbon 1897:137). Reformasi Angkatan Darat Inggris juga tersendat lebih dari dua dasawarsa karena panglima besar, sang Duke (Adipati) “Besi” Wellington (1769-1852), pemenang Pertempuran Waterloo, dengan tegas menolak reformasi mendasar tentara Inggris sampai akhir hayatnya (1852) (Strachan, 1984).

(13)

tentang Perang Falklands [Malvinas] pada 2 April-5 Juni 1982). Sorak-sorai terakhir Inggris adalah krisis Suez pada November 1956 ketika juru bayar Amerika Serikat akhirnya kehilangan kesabaran, lalu menolak melanjutkan jaminan keuangan kepada pemerintah Inggris untuk mendukung petualangan-petualangan imperialnya—sesuatu yang telah dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Congress) AS kepada Belanda pada 7 Februari 1949 setelah Politionele Actie Kedua (Operatie Kraai, 19 Desember 1948). Saat itu Belanda disuruh berunding lagi dengan Republik Indonesia untuk mengakui hak daulat Indonesia sebagai negara merdeka. Jika tidak, Belanda diancam akan kehilangan dana dari Program Marshal Aid untuk fiskal 1950-1951 (Soelias, 2015:63).

IV Bagaimana dan Mengapa Isu Korupsi Ditangani?

Mahatma Gandhi pernah mengatakan bahwa “orang jarang menjadi baik hanya demi kebaikan itu sendiri, mereka menjadi baik karena keadaan mengharuskan” (Gandhi, 2000, V.74:193). Tidak ada tempat lain yang lebih tepat dan cocok untuk pernyataan Gandhi itu daripada Inggris abad XVIII dan awal abad XIX. Motivasi utama untuk mengatasi korupsi tampaknya adalah ketakutan. Dalam kasus Inggris pada abad XVIII, motivasi itu lahir bukan dari kepedulian terhadap konsekuensi hukum atau kecaman publik, tetapi dari bencana militer. Dengan sekitar empat setengah juta penduduk pada 1700 dan 9,1 juta pada akhir abad XVIII (sensus 1801), Inggris berada pada ketidakberuntungan demografis yang parah dibandingkan dengan Prancis yang memiliki 20 juta penduduk pada 1720 dan 26 juta pada akhir abad itu, tiga kali lipat dari Inggris.

(14)

emas sampai membara dan menaruhnya di konter supaya tidak ada satupun pemilik deposito bisa mengambilnya.

Setengah abad kemudian, pada Januari 1793 waktu Inggris mulai terlibat dalam perang global dengan Pemerintah Revolusioner Prancis, pemikir radikal dan pendukung gerakan Republikan, Thomas Paine (1737-1809), mengedarkan lagi pamfletnya Prospects on the Rubicon (Prospek atas Rubicon) pada 1787 sebagai Prospects on the War and Paper Currency (Prospek atas Perang dan Uang Kertas) untuk memperingatkan warga Inggris tentang kerentanan sistem perbankan Inggris terhadap gejolak perang berkepanjangan itu.Tiga tahun kemudian, dalam The Decline and Fall of the English System of Finance (Runtuh dan Tumbangnya Sistem Finansial Inggris) tahun 1796, Paine meramalkan keruntuhan total sistem finansial Inggris, sesuatu yang rupanya menjadi mimpi buruk Direktur Bank of England pada 25 Februari 1797 saat mereka terpaksa menangguhkan pembayaran klien bank dengan uang kontan. Rupanya para direktur takut uang di bank akan terkuras akibat panik atas desas-desus invasi Prancis melalui Irlandia bulan Desember 1796 dan Januari 1797.

Para perwira senior militer yang dianggap telah lalai dalam tugasnya benar-benar tak tertolong. Nasib malang Laksamana John Byng (1704-1757), yang dieksekusi regu tembak di kapal induknya di Portsmouth pada Maret 1757 karena gagal mencegah Minorca jatuh ke tangan Prancis tahun sebelumnya, disatirkan oleh filsuf Prancis, Voltaire, dalam novelnya Candide (1759). Di dalamnya seorang protagonis naif diberitahu bahwa “di negeri ini adalah baik membunuh seorang laksamana dari waktu ke waktu untuk memotivasi laksmana-laksamana lain” (dans ce pays-ci, il est bon de tuer de temps en temps un amiral pour encourager les autres).

(15)

Malapetaka Perang Revolusioner Amerika antara 1775 dan 1783 juga membangkitkan keprihatinan elite Inggris atas dampak korupsi dan kejahatan terhadap “kepentingan nasional” yang sudah lama telah menjadi isu bagi mereka. Jauh sebelum perang selesai, ormas akar rumput seperti Pergerakan Asosiasi Wilayah (County Association Movement) mulai melobi parlemen untuk reformasi yang moderat, juga disebut “Economical Reform”, untuk memangkas birokrasi, menghemat ongkos pemerintahan, dan membuat reformasi dasar parlemen.

Walaupun yang terakhir tertunda sampai 1832, reformasi birokrasi dan pemerintahan sudah diawali dengan legislasi (Economical Reform Bill) tahun 1780-an. Itu juga menjadi program partai reformis Whig dan sesuatu yang memicu pergerakan Radikal yang mengkehendaki reformasi konstitusi secara keseluruhan dan pemberantasan Old Corruption (Graham dan Marwah 2015, mengutip Harling 1996:31-55).

Seiring ketakutan terhadap bencana militer dan pembusukan yang disebabkan kekuasaan imperial yang sangat luas, muncul kekhawatiran bahwa kecerobohan keuangan akan merontokkan sistem fiskal dan keuangan yang pernah menaikkan status Inggris sebagai kekuatan raksasa. Inilah pengaturan rumit yang melibatkan anggota elite kaya raya dan tuan tanah yang menanggung beban Pajak Bumi sebagai imbalan atas hak-hak istimewa politik, di antaranya hak pengawasan terhadap anggaran dan neraca belanja negara yang dikuasai parlemen. Hal ini memungkinkan mereka untuk mengawasi dan mengendalikan pengeluaran pemerintah. Dengan cara ini mereka bisa memantau penggunaan pajak mereka, sesuatu yang absen secara mencolok dalam kasus Indonesia karena elite tidak menanggung bagian terbesar dari beban pajak dan mereka jarang terwakili di Dewan Perwakilan Rakyat.

V Kemitraan Publik-Swasta dan Penanggulangan Korupsi

(16)

dan Cukai) serta 1947 untuk kasus Bank of England, yang dinasionalisasi oleh pemerintahan Partai Buruh Clement Attlee (menjabat 1945-1951) di masa setelah Perang Dunia Kedua.

Hal ini penting karena dalam konteks korupsi yang terlembaga di kantor-kantor pemerintah pada awal abad XVIII, lembaga/dewan fiskal dan keuangan swasta bisa menetapkan sendiri standar pemasukan melalui pemeriksaan dan tingkat remunerasi yang kompetitif. Sebagaimana kita ketahui, dalam institusi Indian Civil Service (ICS) awal abad XIX, para kadet yang dilatih di Haileybury bisa mendapatkan gaji di India empat kali lebih banyak ketimbang yang diterima rekan-rekan mereka yang bekerja dalam posisi yang sama di Inggris. Perbedaan ini dilembagakan dalam rangka untuk mencoba—meski awalnya gagal—mencegah para pejabat ICS terlibat dalam korupsi birokrasi.

Di lembaga cukai petugas dikenai kontrol ketat. Mereka, misalnya, tidak diizinkan bekerja di tempat yang di dalamnya terdapat hubungan keluarga atau koneksi lokal. Selain itu, mereka bisa diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran kecil, seperti salah menyalin kala membuat laporan. Menurut sejarawan Inggris abad XVIII, John Brewer (1989:56), “Dinas cukai menunjukkan suatu tingkat efisiensi administratif dan integritas yang didasarkan pada suatu sistem pembukuan, yang diatur sebagai suatu hierarki yang keras dengan mengandalkan pegawai yang berpengalaman dan cakap, yang menunduk kepada sistem disiplin ketat yang ditetapkan kantor pusat. Dinas cukai Inggris adalah dinas yang paling mirip dengan konsep birokrasi Max Weber dari semua dinas (perpajakan dan administratif) lain di Eropa pada abad XVIII.” Menurut pakar sejarah korupsi Inggris, Aaron Graham, sistem pemeriksaan keuangan khusus dinas cukai Inggris, Auditor of Excise, membuat lembaga pajak ini termasyhur selama abad XVIII sebagai lembaga yang paling efisien dan jujur (Graham, 2013:806).

(17)

Kampanye petugas Bea dan Cukai Inggris untuk membongkar dan memberantas mafia penyelundupan di Inggris Raya pada abad XVIII sangat alot.²º Sejak Uni dan Inggris pada 1707, Skotlandia terkenal sebagai wilayah rawan penyelundupan, khususnya impor klandestin teh asal Tiongkok dan India (Assam). Hanya kebijakan pemerintah di London untuk menurunkan tarif teh secara drastis mulai 1770-an bisa meredakan situasi.²¹ Selama abad XVIII istilah

free trade

(perdagangan yang bebas) mengandung arti dagang bebas bea dan cukai, yaitu barang yang diselundupkan, sementara fair trade (perdagangan yang adil), dagang yang mengindahkan pembayaran pabean. Walpole, perdana menteri yang suka menyelundupkan barang mewah dari Prancis dengan memakai kapal patroli kerajaan (lihat Bagian II di atas), mencoba memberantas penyelundupan dengan sebuah Smuggling Act [Akta Penyelundupan] (1736) yang sangat kejam (draconian): eksekusi tanpa pengampunan untuk semua penyelundup yang mencederai seorang petugas pabean. Bahkan seorang penyelundup tanpa senjata yang mencoba menghindar dari penangkapan akan terkena sanksi transportasi seumur hidup ke Amerika (pasca-1783 ke Australia). Namun sanksi yang kejam seperti ini hanya mengakibatkan kekerasan yang parah di kota pelabuhan Inggris, sehingga pemerintah terpaksa berpikir lagi. Akhirnya ancaman penyelundupan mulai diatasi dengan menurunkan tarif pabean dan menghapuskan insentif untuk barang impor mewah dari luar negeri. Jumlah petugas pajak (revenue officers) dan penjaga pantai (coast guards) juga ditambah setelah perang dengan Prancis selesai pada 1815 dan lebih banyak tenaga kerja, contohnya mantan pelaut, bisa didapatkan. Pada akhir dasawarsa 1820-an, sistem blokade sudah mulai terbentuk dengan AL Inggris menjaga semua jalur navigasi menuju pantai dari pengairan teritorial Inggris. Dengan kebijakan sistem perdagangan bebas (free trade) yang mulai diterapkan pada 1840-an, alasan untuk menyelundupkan barang sudah tidak ada lagi. Penyelundupan massal dan kekerasan di pelabuhan yang begitu marak pada abad XVIII di Inggris tinggal sejarah.²²

(18)

tidak mengkhianati kepentingan nasional atau merendahkan martabat negara di mata masyarakat internasional. Jelas mustahil mengambil langkah seperti itu di era Reformasi sekarang di mana tidak ada pemerintahan yang memiliki otoritas sekuat Soeharto.

VI Pemakzulan dan Eksekusi terhadap Kelompok Elite

Selama abad XVIII, ketika Inggris semakin terlibat konflik militer yang mahal di Benua Eropa, Amerika Utara, dan Asia, hubungan pemerintah dengan agen fiskal semakin penting. Jika terjadi pertentangan antara petugas penarik pendapatan dengan kaum elite, pemerintah cenderung memihak petugas cukai. Dalam karya Linda Colley, Britons: Forging the Nation (Britania Raya: Membentuk sebuah Bangsa) (1992:119-120), ada contoh menarik tentang kecenderungan ini di Skotlandia. Kala itu (Oktober 1760) seorang perwira tinggi kavaleri elite Inggris, Letnan Kolonel John Hale, dengan sejumlah perwira anggota resimen dragundernya pulang dalam keadaan mabuk dan mencoba menghindar membayar bandar tol di Ravenshaugh antara wilayah Lothian Timur dan Lothian Tengah. Rombongan berusaha memaksa jalan dan menganiaya pegawai cukai setempat, sepasang suami istri bangsa Skot. Sebagai anggota elite militer Inggris yang baru saja menaklukkan Skotlandia setelah Pemberontakan Jacobit (1745), kesalahannya mungkin akan dimaafkan oleh otoritas sipil. Namun faktanya tidak demikian. Penduduk lokal yang kaya membayar sebuah penuntutan pidana di majelis tinggi di Edinburgh. Bahkan Raja Inggris, George III (bertakhta 1760-1820), menolak mentah-mentah permohonan grasi mereka dan memberi instruksi kepada perwira yang malang itu untuk tunduk kepada keputusan penghakiman Skotlandia “sampai mereka merehabilitasi kembali pamor mereka dan memperoleh lagi kepercayaan rakyat setempat” (Colley, 1992:120).

Nasib lebih malang dialami anggota elite lain, yakni Thomas Parker, Earl Macclesfield Pertama (1666-1732), yang menjabat sebagai Lord Chancellor (lihat catatan 17). Pada 1724, ia dituduh menerima suap 10.000 ( 12.000.000 atau 255 miliar rupiah dalam uang sekarang, Oktober 2015),₤ ₤

sehingga ia terpaksa mundur sebagai chancellor (1725). Walaupun ia teman baik Raja Inggris, George I (bertakhta, 1714-1727), ia tetap dimakzulkan oleh Majelis Tinggi Parlemen Inggris (House of Lords) dan didenda tiga kali lipat ( 30.000 setara dengan 36.000.000 atau 765 miliar rupiah₤ ₤

(19)

Pada 1806, hampir seabad setelah Lord Chancellor yang malang itu, dalam kasus terakhir pemakzulan yang dilakukan Majelis Tinggi Inggris (House of Lords), seorang bangsawan Skotlandia, Henry Dundas (1742-1811), Viscount Melville, pengacara dan teman baik Perdana Menteri Inggris, William Pitt Muda (menjabat, 1783-1801, 1804-1806), dituduh menyelewengkan uang selama menjabat sebagai Bendahara Angkatan Laut antara 1782 dan 1800. Walaupun Dundas tidak terbukti menggelapkan uang negara, ia terpaksa mundur dari jabatan sebagai Adipati Pertama Angkatan Laut (First Lord of the Admiralty) lantaran dianggap lalai dalam melaksanakan tugas. Dia juga dituduh memakai jabatan dan kekuasaan secara korup di wilayah Skotlandia dan India, tempatnya banyak berwenang sebagai presiden dari Dewan Pengawas (President of the Board of Control) Maskapai Dagang India Inggris antara 1793 dan 1801. Setelah mengundurkan diri, Dundas tidak lagi memainkan peran politik sampai meninggal di Edinburgh lima tahun kemudian (1811). Kasus Dundas menarik sebab membuktikan bahwa konsep korupsi tetap berkembang dari waktu ke waktu.Yang dianggap biasa-biasa saja pada awal abad XVIII, misalnya memakai jabatan secara korup (contoh Walpole sebagai perdana menteri dan Macclesfield sebagai chancellor di atas), 80 tahun kemudian tidak ditolerir lagi.

Kasus ketiga, walaupun tidak berurusan dengan korupsi, menarik diamati bahwa Majelis Tinggi Parlemen (House of Lords) Inggris bisa menjatuhkan vonis eksekusi kepada sesama bangsawan. Kasus ini melibatkan Laurence Shirley, Earl Ferrers keempat (18 Agustus 1720-5 Mei 1760), seorang keturunan dari keluarga bangsawan kuno, anggota terakhir dari House of Lords yang digantung di Inggris (karena membunuh pelayannya). Ferrers dinyatakan bersalah oleh rekan-rekannya–yaitu House of Lords–meski ia mengaku tidak waras saat membunuh. Ia dieksekusi di Tyburn oleh algojo umum (public hangman), Thomas Turlis. Ada beberapa ilustrasi dari hukuman gantung tersebut. Ada yang berkata, mengingat pangkat kebangsawanannya, tali yang digunakan untuk menjerat lehernya terbuat dari sutera, bukan tali biasa yang terbuat dari serat manila. Dalam budaya rakyat yang berkembang hingga abad XIX, eksekusi itu digambarkan sebagai bukti kesetaraan hukum dan kisah seorang bangsawan jahat yang dieksekusi “seperti penjahat biasa”.

(20)

gantung terhadap Earl Ferrers yang “tidak waras” di hadapan publik di Tyburn mungkin bisa ditiru dengan cara yang lebih manusiawi di Indonesia, misalnya hukuman penjara yang lama dan tindakan penyitaan finansial yang memiskinkan terhadap mereka yang terlibat korupsi seperti Macclesfield yang didenda tiga kali lipat suap awal. Mungkin bisa dicarikan hukuman yang setara dengan “tali sutera”dalam kasus hukum-hukum gantung atas bangsawan Ferrers dengan sel penjara ber-AC yang dingin atau kerja sosial di kampung kumuh supaya koruptor dihadapkan langsung dengan akibat dari penyelewengan mereka.

Namun hal-hal semacam itu tetap ada batasnya. Pada akhirnya kita harus berpikir bahwa obat kuat untuk menghilangkan korupsi yang terlembaga di Indonesia adalah krisis nasional nyata seperti yang dihadapi Republik Indonesia di Yogyakarta antara Januari 1946 dan Mei 1949. Dengan ukuran apa pun, inilah periode dalam sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan yang memiliki tingkat korupsi terendah dan bisa diketahui alasannya. Jika musuh (dalam hal ini tentara Belanda) menghadang di pintu gerbang, perlu kehati-hatian untuk menjamin kelangsungan hidup negara. Tidak ada ruang untuk kesenangan pribadi atau pemborosan uang negara dalam situasi seperti itu. Mungkin Indonesia harus tetap merasakan perasaan darurat bahwa langkah yang salah akan langsung membawa malapetaka.

Perasaan yang demikian paling terasa di Inggris pada awal Perang Dunia Kedua—sekarang sering disebut sebagai “semangat tahun 1940”. Setelah Prancis jatuh pada Juni 1940, Inggris-adalah satu- satunya negara yang berdiri melawan Nazi Jerman di Eropa selama setahun hingga Hitler menyerang Uni Soviet pada Juni 1941. Ketika Hitler merencanakan serangan lewat laut, yakni Operasi Singa Laut, di Kepulauan Inggris di akhir musim panas tahun 1940, Gestapo atau SS²⁵ menyusun daftar 2.820 nama anggota elite Inggris yang akan segera ditangkap untuk kelak dieksekusi.²⁶ Mereka yang terhindar dari eksekusi akan dikirim sebagai tenaga kerja budak ke wilayah pertambangan (Silesia) dan industri berat (Ruhr) Jerman. Bayangkan skenario yang sama di Indonesia saat ini dengan musuh hebat, mungkin Tiongkok, siap melancarkan serangan amfibi. Agen intelijen militernya mempersiapkan daftar 3.000 pimpinan puncak Indonesia yang akan segera dieksekusi dan telah dibuat rencana untuk menjebloskan kaum laki-laki dari 500 keluarga elite Indonesia dalam kerja tambang batubara di Mancuria. Dengan cara ini, tidaklah sulit membayangkan semangat Yogyakarta 1945-1949 bisa dikobarkan kembali. Dengan cepat semua pikiran untuk mencuri pendapatan negara tentu akan sirna.

(21)

apes. Tiga ratus prajurit khusus dikepung dan dihabisi di pelataran Bhayangkari di Keraton Majapahit. Empat jenderal ditangkap dan dikembalikan ke Tiongkok dengan aib. Sama sekali tidak sebuah ancaman yang berarti. Kalau kita mau mencari bahaya yang nyata dan di depan mata untuk Indonesia sekarang, pasti itu isu ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) dan jumlah besar pendukung generasi muda yang berkiblat Islam Salafi,²⁷ dan pemanasan bumi dan ancaman kehilangan wilayah dan kota (mulai dengan Palembang) akibat naiknya permukaan laut. Saat ini sebenarnya situasi di Indonesia sudah melampaui kritis. Apocalypse sudah didepan mata. Menurut Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, antara 1 Juli dan 20 Oktober 2015 2.089.911 hektar lahan (termasuk 618.574 hektar rawa gambut), tanah mineral, dan hutan dibumihanguskan oleh 69.000 titik api yang dibuat manusia di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali, Jawa, NTB, NTT, dan Maluku (Kompas, 2015b). Dalam tiga minggu (1-20 Oktober 2015) Indonesia telah melepaskan lebih banyak emisi CO2 melalui kebakaran lahan dibanding Jerman selama setahun dan ada banyak hari waktu emisi melebihi Amerika Serikat (15.56 juta ton per hari) (Monbiot, 2015). Sebanyak 43 juta penduduk Indonesia terancam, seperenam dari total (258 juta) terkena dampak asap dan 504.000 warga terkena Infeksi Saluran Penafasan Akut (ISPA). Pada 1997, tahun El Niño panjang yang terakhir, 15.000 anak di bawah umur tiga tahun diduga meninggal akibat ISPA (Monbiot, 2015). Tahun ini mungkin kematian bayi akan melampaui tahun 1997, dan sudah ada laporan dari Papua tentang puluhan anak balita yang meninggal sejak 16 Oktober 2015 akibat ISPA akut dan radang paru (pneumonia) (Kompas, 2015f). Kerugian negara diestimasi akan mencapai USD47 miliar atau seperlima dari GDP (Kompas, 2015a). Malapetaka pembakaran hutan tahun 2015 sudah disebut sebagai “the biggest environmental crime of the twenty-first century (kejahatan lingkungan yang paling besar dari abad XXI)” (Meijaard, 2015).

(22)

sebuah negara hukum. Selanjutnya hukum dikelola secara profesional dan bukannya tunduk pada keinginan pribadi para penegak hukum.

Pada awal abad XIX, hal ini diikuti oleh perubahan tata cara persidangan, khususnya penyederhanaan hukum pidana dan pengurangan tindak pidana yang mengakibatkan hukuman mati. Proses untuk memilih juri juga efisien sebab saksi dan penasihat dibayar. Pada 1836 semua tahanan diberi hak perwakilan hukum di pengadilan. Pembentukan negara hukum yang mantap merupakan elemen kunci pergeseran dari budaya politik laissez-faire awal abad XVIII, dengan korupsi di kalangan pemerintahan cenderung dimaafkan, ke era Victoria yang memiliki moralitas tinggi seperti ditunjukkan oleh orang-orang seperti William Ewart Gladstone (1809-1898) alias “William dari rakyat”—negarawan liberal besar yang bertanggung jawab atas banyaknya reformasi utama di institusi sipil, militer, dan politik Inggris semenjak pertengahan abad XIX.

“Lain ladang, lain belalang,” demikian bunyi pepatah dalam bahasa Indonesia. Karena itu, perbandingan seperti apakah kiranya yang mungkin bisa dipakai di Indonesia pasca-Reformasi yang sejalan dengan contoh di Inggris “abad XVIII yang panjang” guna menginspirasi penegakan Undang-Undang Anti-korupsi dan hukum di Republik ini?

VII Agenda Reformasi, Dimensi Internasional,²⁸ dan Masalah

Korupsi di Indonesia: Sebuah Perbandingan

(23)

korupsi di Kementerian Keuangan (Bab 3). Walaupun tidak tuntas sebab ia terpaksa mundur pada Mei 2010 atas desakan sejumlah elite pengusaha yang dituntut atas penyelewengan pembayaran pajak, sistem kerja-kinerja Mulyani bergaung sampai sekarang. Cara bertindak Gubernur Jakarta Ir Basuki Tjahaja Purnama, yang akrab disapa Ahok (menjabat 2014-2019), dan pendahulunya, Jokowi (menjabat 2012-2014), banyak diilhami contoh Sri Mulyani. Di tingkat pemerintah daerah juga ada segelintir wali kota dan gubernur yang berjiwa reformis, seperti mantan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini (menjabat 2010-2015), dan bupati petahana Batang, Yoyok Riyo Sudibyo (lahir 23 April 1972, menjabat 2012-2017) (Kompas, 2015c, 2015d), yang secara personal tidak hanya jauh dari korupsi, tetapi juga mampu mempengaruhi lingkungan sekitar untuk tidak korup. Sebagai pemenang Bung Hatta Anti-Corruption Award untuk 2015 (Ahok menjadi pemenang 2013), Tri Rismaharini dan Yoyok Riyo Sudibyo dipilih antara lain sebagai pelopor penerapan sistem transparansi karena membangun sistem elektronik untuk menjadi alat kontrol dan memudahkan pelacakan dokumen perizinan dan pelayanan masyarakat (Kompas, 2015c). Bahkan di era kleptokratik Orde Baru (1966-98), keputusan Soeharto mengundang Société Générale de Surveillance untuk mengambil alih beberapa tugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai demi membasmi praktik terburuk korupsi membawa hasil (1986-1996) (lihat catatan 23 di atas). Namun semua inisiatif ini boleh dikatakan piecemeal (satu demi satu). Apalagi contoh SGS sulit ditiru pada masa Reformasi sekarang sebab sangat marak sentimen nasionalis alias benci pada orang asing.

Dimensi internasional ini juga harus diakui sebagai pengaruh yang signifikan dalam menentukan nasib Indonesia kontemporer. Siapa yang tidak ingat peran IMF (International Monetary Fund/Dana Moneter Internasional) yang kurang menguntungkan, bahkan memperkeruh situasi Indonesia pada krisis moneter Asia Juli-Agustus 1997? Usul IMF untuk mengambangkan rupiah secara bebas terhadap pasar mata uang internasional justru mendorong rupiah jatuh bebas terhadap dolar AS (Bab 3). Gelombang demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan massal di Jakarta pada April dan Mei 1998 memberi dorongan akhir bagi Soeharto, sehingga memaksanya mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Campur tangan IMF dalam politik intern Indonesia belakangan diakui Direktur Eksekutif IMF saat krisis Mei 1998, Michel Camdessus. Waktu itu dia membanggakan diri, “Kami menciptakan kondisi yang memaksa Presiden Soeharto mengundurkan diri” (lihat Bab 3 catatan 6).

(24)

Nico Schulte Nordholt (1996), misalnya, merujuk pada praktik birokrasi patrimonial kerajaan-kerajaan Jawa dengan kebiasaan upeti dari para penguasa bawahan raja yang ingin mempertahankan posisi-posisi kekuasaan spesifik mereka. Pola-pola korupsi dengan dimensi internasional yang terus bertahan tampaknya memang bisa ditelusuri sejak masa kolonial. Prototipenya mungkin bisa dilihat pada kawin campur rezim korup patrimonial pribumi dengan maskapai dagang kolonial VOC selama abad XVII dan XVIII yang terus berlanjut dalam praktik korup birokrasi kolonial secara lebih masif dengan kendali utama Binnenlands Bestuur (administrasi dalam negeri Hindia Belanda) (Nordholt, 1996:66-68) dalam bentuk perampokan sumberdaya alam dari negeri jajahan untuk pasar internasional pada era Tanaman Paksa (Kultuurstelsel, 1830-1870). Jadi sebenarnya korupsi pada zaman pranasional itu juga sudah memiliki dimensi internasionalnya. Inilah mata-rantai yang harus disambungkan kembali ketika kita harus melihat akar-akar global korupsi Indonesia sejak Orde Baru, bahkan masa sebelumnya.

Agen-agen finansial global zaman Indonesia modern telah mendikte kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia berturut-turut sejak hari-hari pertama terbentuknya Republik. Kita ingat di sini peringatan Bung Sjahrir dalam pamflet berpengaruhnya pada Oktober 1945 yang berjudul

Perdjoeangan Kita (Our Struggle). Ia menyatakan bahwa masa depan bayi Republik Indonesia akan menjadi sandera bagi kekuatan kapitalis Anglo-Saxon dan kebijakan ekonomi neoliberal mereka. Dalam estimasi Sjahrir, hegemon pasca-Perang Dunia II, Amerika Serikat, yang sejak awal menghadirkan Armada Ketujuh yang dahsyat itu di perairan laut Tiongkok Selatan, adalah pemain kunci di sini.

(25)

Jason Hickel dari London School of Economics (LSE) telah mengembangkan tesis Brandt lebih jauh dengan menganalisis apa yang ia sebut “kesenjangan global yang ekstrem,”³º yang ia lihat tak lain sebagai produk langsung dari sistem ekonomi neoliberalisme, sebuah tesis yang ia akan kembangkan lebih lengkap dalam buku yang akan terbit, The Development Delusion: Why Aid Misses the Point about Poverty. Beberapa statistik penting dalam analisis terakhir Hickel adalah sebagai berikut:

• Tiga ratus orang terkaya di dunia mengumpulkan kekayaan lebih banyak daripada tiga miliar kaum termiskin. Namun situmemiliki kekayaan sekitar 2,7 triliun dolar Amerika Serikat, sementara lebih setengah dari tujuh miliar penduduk dunia hanya memiliki 2,2 triliun dolar Amerika Serikat dalam aset akumulatif di antara mereka.

• Selama dua dekade terakhir (1990-2010), satu persen orang terkaya telah melipatgandakan pendapatan mereka sekitar 60 persen, sebuah periode yang meliputi beberapa krisis keuangan paling serius dalam sejarah pascaperang. Ini berarti kegiatan akumulasi kekayaan para plutokrat ekonomi dunia itu punya korelasi langsung dengan krisis finansial global.

• Kolonialisme menciptakan kesenjangan kekayaan yang besar antara negara kaya dan miskin. Pada 1757 ketika Robert Clive memenangkan kemenangan bersejarahnya dalam Pertempuran Plassey di Benggala Hilir, sebuah kemenangan yang akan membuka seluruh India Utara pada penetrasi ekonomi Inggris, lebih dari 50 persen dari PDB pasar dunia digerakkan oleh hanya dua negara Asia, yakni India dan Tiongkok. Bahkan pada 1850, setelah berakhirnya “abad XVIII yang panjang”, kesenjangan antara negara-negara kaya Utara yang mengalami industrialisasi dan negara-negara Selatan yang kurang berkembang masih hanya 3:1. Meskipun demikian, menurut Hickel, pada akhir masa kolonial di tahun 1960-an, kesenjangan itu telah meningkat lebih dari sepuluh kali lipat menjadi 35:1.

• Kapitalisme pascakolonial kini telah memperlebar kesenjangan hingga 80:1. Dibantu oleh kebijakan-kebijakan WTO, IMF, dan Bank Dunia, perusahaan-perusahaan multinasional terbesar telah menetapkan standar baru keserakahan korporasi di tanah mereka untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam, pelestarian atas rezim upah rendah untuk karyawan lokal, dan perampokan atas sumber daya alam dari Selatan yang miskin.

• Hal ini telah mengakibatkan transfer kekayaan sekitar 500 miliar dolar per tahun dari negara-negara miskin ke negara kaya di Utara (33 kali lipat apa yang Belanda ambil dari Jawa selama 40 tahun Sistem Tanaman Paksa, 1830-1870), sebuah situasi yang disamarkan oleh media global yang sering memberitakan bahwa yang terjadi adalah mengalirnya bantuan keuangan dan hibah dari Utara ke Selatan.

(26)

yang diambil itu rumit, tapi kita bisa menambahkan dua triliun dolar Amerika Serikat lainnya terhadap aliran sumber daya dari negara miskin ke negara kaya.

“Kita perlu mengubah aturan”, begitu kata Hickel, dan kita perlu melakukannya dengan

cepat. Mengingat bahwa kekuasaan yang sesungguhnya sekarang ini secara rutin dipegang

pada tingkat supranasional, kita harus mulai membangun kapasitas demokrasi

global agar bisa mengawasi operasi keserakahan yang merajalela dari para plutokrat raksasa yang wilayah operasinya bersifat global. Ini adalah langkah pertama untuk mengatasi masalah korupsi di tempat-tempat seperti Indonesia. Kita tahu bahwa mereka inilah yang berada di belakang kebijakan-kebijakan IMF, World Bank, dan aturan-aturan zalim WTO demi keuntungan sendiri. Mereka menyandera negara-negara miskin untuk berutang, menjebak dalam utang global, dan akhirnya merampas sumberdaya alamnya secara curang. Inilah sumber korupsi global, yang kemudian ditiru oleh penguasa rezim-rezim yang dijerat utang itu.

Serangkaian kebijakan yang radikal harus dilakukan pada arus global terlebih dulu untuk kemudian diteruskan di tingkat nasional setiap negara, terutama yang telah terjerat oleh tipu muslihat IMF dan World Bank. Ini mungkin berarti mengubah pajak minimum perusahaan global yang akan mengakhiri perdagangan mispricing dan tax havens (wilayah bebas pajak). Ini dapat berarti perubahan upah minimum global yang akan mengakhiri “perlombaan ke bawah” bagi buruh. Tentu pula merebut kendali hukum perdagangan internasional dari tangan bankir IMF dan teknokrat WTO, lantas menempatkannya di bawah lembaga-lembaga baru yang transparan dan demokratis. Dalam hal ini, KPK di Indonesia adalah sebuah contoh kasus. KPK adalah ujung tombak bagi era baru demokrasi dan transparansi ini. Namun KPK harus menyadari bahwa mesin korupsi Indonesia sebagian dioperasikan di tingkat global meskipun energinya diperkuat oleh keserakahan domestik yang baru disaksikan kasus Setya Novanto, mantan Ketua DPR (2014-2019), dan permintaan saham bernilai tiga setengah miliar dolar US (50 triliun rupiah) dari perusahaan pertambangan raksasa AS, Freeport, yang menghasilkan tembaga dan mas di Gunung Grasberg di Papua (8 Juni 2015).

VIII Kesimpulan

(27)

“Revolusi mental” adalah suatu keharusan. Dalam kasus Inggris, ini dipicu oleh pengalaman pahit atas kekalahan dalam Perang Kemerdekaan Amerika (1783) dan perubahan ideologi tiga partai politik besar (Tory, Whig, dan Radikal) tentang program Economical Reform (Reformasi Hemat), yaitu memangkas birokrasi, menghemat ongkos pemerintahan, dan membuat reformasi dasar parlemen dan konstitusi (UUD). Mata rantai yang paling penting untuk membawa perubahan dasar budaya politik ini kepada ranah administrasi pemerintah sehari-hari adalah sifat responsif atau sifat mau mendengarkan keluhan dan kehendak masyarakat yang ada pada sistem parlementer Inggris.

Walaupun ada banyak politikus radikal dan reformis yang menganggap bahwa sistem Korupsi Lama (Old Corruption) yang diwarnai oleh pelobi, sinecure (pos-pos pekerjaan bergaji besar dengantanggung jawab minimal), dan politik patronase yang memakai rotten boroughs (sistem memilih kandidat Majelis Rendah di kota kecil yang busuk) telah menipiskan sistem perwakilan parlementer, sistem politik Inggris tetap berakar kepada suatu proses perwakilan yang memberi ruang untuk opini publik (Harling, 1996:228-254). Parlemen Inggris tetap mempertahankan ruang untuk mengetahui pikiran rakyat dan menjadi tempat di mana isu politik negara bisa didebatkan dan didukung oleh orang yang paling berminat, yaitu warga yang membayar pajak. Proses ini didukung oleh suatu ruang lingkup umum yang sangat hidup. Ini memungkinkan rakyat yang tidak berhak memilih anggota DPR untuk tetap bersuara dan mempengaruhi politik umum. Walaupun proses reformasi lembaga pemerintahan Inggris membutuhkan waktu setengah abad antara 1783 dan dasawarsa 1830-an—suatu proses yang diperlambat oleh politikus konservatif yang melawan reformasi dan tantangan keterlibatan Inggris dalam perang global terhadap Prancis antara 1793 dan 1815—pada akhirnya mereka bisa menyesuaikan diri dengan program reformasi dengan sukses, sesuatu yang membedakan Inggris dengan negara tetangga seperti pemerintah tatanan lama (ancien regime) Prancis yang gagal melakukan reformasi serupa dan akhirnya menjadi bangkrut dan mengalami revolusi yang sangat radikal (Graham dan Marwah, 2015).

(28)

perbudakan pada 1833, mengabungkan para elite politik radikal dan lembaga agama serta politik konservatif dan progresif.

Masa jabatan dan kelangsungan hidup kontraktor pemerintah dan pejabat, termasuk menteri kabinet, mulai tergantung nilai-nilai bebas korupsi. Tekanan ini mulai terasa dalam bentuk pengawasan administratif yang jauh lebih ketat dan sanksi yang kredibel terkait larangan korupsi. Ini juga mencerminkan sikap lebih responsif dari politikus Inggris di Majelis Rendah terhadap pendapat umum walaupun sebelum 1832 mereka masih dilindungi suatu sistem parlementer yang belum direformasikan. Perubahan mendasar tentang pandangan rakyat umum kepada isu korupsi sudah dicatat di atas dalam konteks “revolusi mental” (lihat Bagian III). Proces pemberantasan korupsi di lembaga pemerintahan mulai 1830-an dan kegiatan sehari-hari pemerintah yang tunduk kepada kepentingan nasional adalah sebuah proses yang lebih tergantung pada “revolusi mental” dan budaya dibanding reformasi institusi. Contoh dari Inggris selama abad XVIII yang panjang itu mengarisbawahi korupsi yang terlembaga tidak bisa diberantas dengan tindakan reformasi yang berdiri sendiri atau perubahan kelembagaan yang bersifat satu demi satu, tetapi oleh sebuah perubahan ideologi dan politik mendasar yang memicu suatu perasaan kolektif yang lebih kuat. Ini bisa dipakai melalui suatu sistem politik yang responsif untuk membuat serangkaian perubahan atau reformasi keseluruhan kepada lembaga pemerintah yang mempunyai dukungan penuh dari pendapat umum. Namun suatu perubahan ideologi dan politik mungkin tidak cukup sendiri untuk menghapus atau menurunkan korupsi dalam kasus Indonesia. Suatu ekonomi domestik yang lebih kuat dengan jaminan kesejahteraan rakyat dan infrastruktur yang lebih tangguh mungkin juga diperlukan seandainya pejabat bisa dipisahkan dengan struktur pemerintahan terkait jaringan keluarga dan masyarakat lokal mereka di daerah. Dengan demikian, PNS bisa berfokus pada tugas umum mereka dalam suatu konteks yang benar-benar memisahkan hal-hal pribadi dari yang bersifat umum—suatu sistem birokrasi yang mencerminkan situasi ideal ala Max Weber. Kasus Inggris pada abad XVIII yang panjang menunjukkan bahwa jaringan swasta selalu sangat penting dalam proses mengembangkan lembaga pemerintahan dan memicu perkembangan ekonomi domestik.

(29)

Kalau memang demikian, ini mempunyai implikasi yang sangat penting terkait teori tentang peran institusi dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Institusi baik publik maupun swasta yang cukup kuat untuk menyediakan suatu infrastruktur sosial dan ekonomi untuk rakyat umum mungkin adalah prasyarat untuk institusi pemerintahan yang lebih berkualitas dan bebas korupsi di masa depan Indonesia, bukan sebaliknya.

CATATAN KAKI

1. Tulisan ini pertama kali diterbitkan dalam AE Priyono dan Usman Hamid (peny.), Merancang Arah Baru Demokrasi (Jakarta: Public Virtue Foundation dan

Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), hlm.549-581, dan diterjemahkan dari naskah asli “The Challenge of Corruption in Contemporary Indonesia and the British Historical Experience, 1688-1956” oleh Andar Nubowo. Direvisi secara keseluruhan untuk buku ini setelah penulis sempat berdiskusi di Oxford dengan pakar sejarah Inggris abad XVIII, Profesor Joanna Innes (Somerville College, Oxford), dan ahli ilmu politik yang banyak menyelidiki gejala korupsi di Afrika dan negara berkembang, Profesor Mark Philip (Warwick University). Saya juga berterima kasih kepada Aaron Graham, ahli sejarah korupsi di Inggris pada abad XVIII, yang memberi kesempatan berharga untuk membaca working paper yang dia tulis bersama koleganya, Dr Hanaan Marwah, London School of Economics (LSE), seorang pakar kontrak investasi infrastruktur dan pembangunan di Afrika, terutama Nigeria, yang sekarang bekerja untuk Actis Energy, perusahaan private equity untuk tenaga listrik surya danlain-lain yang paling besar di Afrika, “African ‘Corruption’ in Comparative Historical Perspective: Institutional Arrangements for Government Contracts in Post-Colonial Africa and Pre-Modern Europe” untuk workshop ke-10 “New Frontiers in African Economic History”di Wageningen, Belanda, 30-31 Oktober 2015.

2 Mahatma Gandhi, The Collected Works of Mahatma Gandhi (New Delhi: Publications Division of the Ministry of Information and Broadcasting, Government of

India, 2000), Vol. V, 74, hlm.193.

3 HH the Dalai Lama, Universal Responsibility and Good Heart (Dharamsala: Library of TibetanWorks and Archives, 1995), hlm.106-107 4 Alexis de Tocqueville, L’Ancien Regime et la Révolution (1856), Bab VI

5 Skor dari skala 0-100, dengan 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.

6 Dalam kurun 2004-2015, KPK memenjarakan 23 menteri dan kepala lembaga, 15 gubernur, 49 bupati / wali kota, 87 legislator, serta 120 pejabat echelon I, II

dan III. Bandingkan masa sebelum KPK, pejabat yang dipenjara akibat korupsi bisa dihitung dengan jari, lihat Kompas, 2015g.

7 Peran Angkatan Laut Inggris mulai terasa pada akhir 1795 dan awal 1796 akibat keputusan kepala negara (stadhouder) Belanda, Prins Willem V (bertakhta,

1766-1785/1787-1795). Setelah mengungsi ke Inggris pada 18 Januari 1795 untuk menghindari tentara Prancis Republikan yang telah menaklukkan negaranya (Desember 1794-Januari 1795), ia mengedarkan surat-surat yang disebut “surat dari Kew” (istana Kerajaan Inggris dekat London tempat ia bermukim) kepada gubernur koloni Belanda di Asia untuk memerintah mereka menyerahkan koloninya kepada Inggris untuk diamankan (for safekeeping) dan menghindari jatuh ke tangan Prancis.

8 Untuk uraian tentang sejarah pembajakan dan penyelundupan di Inggris abad XVIII dan awal abad XIX, lihat di bawah Bagian V “Kemitraan Publik-Swasta

dan Penanggulangan Korupsi”.

9 Between 1688 and 1714, the British state underwent a radical transformation, acquiring all the main features of a powerful fiscal-military state, high taxes, a

growing and well-organized civil administration, a standing army and a determination to act as a major European power.”

10 Pada 1798, untuk membayar ongkos perang kepanjangan dengan Prancis, Pajak Bumi digantikan Pajak Penghasilan (income tax) dengan tarif 10 persen

untuk semua penghasilan tahunan lebih dari pada ₤200 pound sterling (385 juta rupiah dalam uang sekarang) dan skala perhitungan untuk penghasilan antara ₤60 dan ₤200 (di bawah ₤60 atau 115 juta rupiah tidak terhitung). Memang jauh lebih berat dan sukar sebab didasarkan atas suatu sistem penaksiran yang bersifat terus-menerus (continuous assessment) daripada kuota tetap pada masa peperangan dan masa damai. Namun sama dengan Pajak Bumi, kewajiban taksiran diberi kepada elite politik lokal daripada birokrat dari Kantor Pemajakan (Office for Taxes) yang kecil di London. Ini menjamin pajak baru ini diterima dengan baik oleh sang pemilik tanah, lihat Graham, 2015:21-22; Jeffrey-Cook, 2010:387.

11 Waktu Bea dan Cukai diambil-alih masing-masing pada 1671 dan 1683, pemerintah Inggris tidak membuat perubahan yang berarti kepada infrastruktur

(30)

12 Skandal Libor merupakan serangkaian aksi palsu terkait dengan Libor (London Interbank Offered Rate), tingkat bunga rata-rata dihitung melalui pengajuan

suku bunga oleh bank-bank besar di London. Skandal ini muncul ketika ditemukan bahwa bank-bank palsu menggembungkan atau mengempiskan tarif mereka sebagai keuntungan dari perdagangan atau memberikan kesan bahwa mereka lebih layak kredit dari yang sebenarnya. Libor mendasari sekitar US $450 triliun derivatif dan dikendalikan oleh Asosiasi Bankir Inggris (BBA). Lihat lebih lanjut Bloomberg, 2015.

13 Lihat Andrew A. Hanham, “The Commissions of Public Accounts, 1691-1714,”www.historyofparliamentonline.org, diakses 12 Oktober 2015.

14 Dua pertiga lain dari Bea dan Cukai. Antara 1689 dan 1713 (akhir Perang Suksesi Spanyol, 1702-1713), pemerintah Inggris menghasilkan pound sterling

₤65.000.000 dari semua jenis pajak negara, setara dengan 400 triliun rupiah dalam uang sekarang.

15 Pada 1714 ada kenaikan gaji lagi untuk hakim senior sampai ₤1.500 (1.500 pound sterling) setara dengan ₤193.600 atau empat miliar rupiah dalam uang

sekarang. Nilai penghasilan (income value) dari gajih ₤1.500 pada 1714 dalam uang sekarang adalah empat juta pound sterling dalam uang sekarang atau 80 miliar rupiah.

16 Wawancara dengan Profesor Joanna Innes, Oxford, 30 September 2015.

17 Pejabat paling tinggi dari Kerajaan, yang bertanggung jawab atas pelaksanaan dan status independen dari pengadilan, yang dulu mengetuai Majelis

Bangsawan (House of Lords) dan pengadilan khusus seperti Pengadilan Tinggi (High Court /Chancery Division) dan Pengadilan Banding (Kasasi).

18 Petrie, 1959:265 menganggap William Pitt Yang Muda sebagai Perdana Menteri Inggris yang paling hebat dalam sejarah Inggris. “If on no other ground than

that he enabled the country to pass from the old order to the new without any violent upheaval....He understood the new Britain.”

19Praktik pegawai negeri untuk mengambil ongkos disbanding gaji yang tidak memadai adalah sesuatu yang sudah lama terlembaga dan sebuah cara yang

lama tidak berubah dalam kebanyakan bidang pemerintahan Inggris, walaupun sistem ini menguntungkan beberapa orang dan merugikan yang lain dengan tidak menggubris fungsi dan jasa (lihat Graham dan Marwah, 2015, catatan kaki 43).

20 Saya berterima kasih kepada Profesor Joanna Innes dari Fakultas Sejarah Oxford atas data tentang masalah penyelundupan di Inggris Raya pada abad

XVIII.

21 Pada 1784, Perdana Menteri William Pitt Yang Muda menurunkan bea untuk teh dari 129 persen(ad valorem) menjadi 12 persen. 22 Lihat “Britain’s Smuggling History – Expansion and Defeat”, www.smuggling.co.uk, diakses 11 November 2015.

23 Lihat Frederick and Worden (1993): “Kompleksitas peraturan perdagangan memberikan banyak kesempatan untuk korupsi di kantor Bea Cukai, yang

mengatur kebijakan dan menilai harga barang impor, sehingga tarifnya yang layak bisa ditentukan. Pada April 1985, kantor Bea Cukai dibebaskan dari tanggung jawabnya dan perusahaan Swiss, Société Générale de Surveillance (SGS), dikontrak untuk memproses semua impor bernilai lebih dari US $5.000. SGS menentukan nilai impor ke Indonesia di pelabuhan asal barang dan mengirim produknya dalam peti tertutup ke tujuan di Indonesia. Importir di

Indonesia melaporkan bahwa biaya impor mereka turun lebih dari 20 persen dalam bulan-bulan reformasi tersebut [...] Pada 1991, kontrak dengan Société Générale de Surveillance diperbarui berdasarkan ketentuan-ketentuan baru yang mewajibkan pelatihan terhadap kantor Bea Cukai, sehingga akhirnya bisa menggantikan perusahaan asing itu.”

24 Kita memperingati nasib malang Laksamana Sir Cloudesley Shovell (1650-1707), panglima besar armada gabungan Inggris, yang pada 2 November 1707

mengambil jalan keliru untuk pulang ke pangkalan Angkatan Laut Inggris di Portsmouth dan tenggelam dengan empat kapal perang, termasuk kapal induknya (flagship) HMS Association, di Kepulauan Scilly. Lebih dari 1.550 nyawa pelaut melayang. Ini adalah salah satu malapetaka yang paling mematikan dalam sejarah maritim Inggris sampai tenggalamnya Titanic pada 14-15 April 1912.

25 Gestapo adalah nama populer untuk polisi rahasia Jerman. Pada 1936, Heinrich Himmler (1900-1945) diangkat langsung oleh Adolf Hitler untuk merombak

struktur Gestapo dan memberinya nama baru, yakni Schutzstaffel (disingkat SS), sebuah organisasi paramiliter terpenting di bawah Hitler dan Partai Nazi. Ini yang menjelaskan mengapa nama SS sering dipertukarkan dengan nama Gestapo atau sebaliknya. Pasukan khusus SS sering bertugas melakukan operasi teror dan operasi-operasi militer kejam lainnya. Di bawah Himmler, khususnya antara 1939-1945, organisasi ini dianggap bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan selama Perang Dunia Kedua. Salah satu grup operator SS yang bernama “Einsatzgruppen” (grup khusus), misalnya, melakukan pembunuhan terhadap dua juta penduduk sipil di Eropa Timur selama perang.

26 “Buku Hitam” adalah julukan pasca-perang yang diberikan atas Sonderfahndungsliste G.B. (Daftar Pelacakan Khusus G.B. = Great Britain), yakni daftar

nama para pentolan Inggris yang akan ditahan dalam kasus penyerbuan Inggris yang sukses oleh tentara Nazi Jerman pada awal Perang Dunia Kedua. Daftar itu disusun oleh Jenderal Nazi SS Walther Schellenberg (1910-1952), terdiri dari 2.820 orang, baik warganegara Inggris maupun para pelarian Eropa yang tinggal di Inggris, yang akan segera ditangkap jika Operasi Singa Laut, penyerbuan Nazi Jerman ke Inggris, berhasil. Lihat Schellenberg (2000).

27 Pengamat Timur Tengah dan cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU), Zuhairi Misrawi (lahir 1977), memberi angka sepuluh juta, atau sekitar empat persen dari

penduduk Indonesia, sebagai jumlah pendukung ISIS sekarang (2015), dengan 2.000 relawan mujahid Indonesia yang bergabung dengan ISIS di Suriah dan Iraq, Diskusi Bulanan Penulis Penerbit Buku Kompas (PBK) dengan tema “ISIS dan Perkembanganya di Timur Tengah”, di Bentara Budaya Jakarta, 17 Desember 2015. Lihat Kompas, 18 Desember 2015.

28 Bagian ini diambil dari Post-Scriptum yang ditulis AE Priyono dan Usman Hamid untuk publikasi versi awal dari bab ini dalam Priyono dan Hamid

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan perhitungan uji hipotesis diperoleh t hit (6,586) > t daf (1,67), maka terima Hi artinya bahwa model pembelajaran berbasis masalah lebih efektif dibandingkan

Laporan yang dapat dipercaya kualitas audit yang baik dapat mengurangi kekhawatiran akan adanya manipulasi dalam laporan keuangan yang disajikan suatu perusahaan dan

Keterampilan proses itu meliputi keterampilan mengamati dengan seluruh alat indera, keterampilan menggunakan alat dan bahan secara benar dengan selalu mempertimbangkan

The Effect of Problem Based Learning toward Students Reasoning Ability viewed from Learning Motivation (Quasi Experiment Study on Geography Lesson Class XI

Untuk menganalisis lebih jelas mengenai pengaruh respon calon pembeli terhadap pemilihan media sosial, pembaharuan informasi terhadap pemilihan media sosial, kualitas dan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan metode Think Pair Share (TPS) yang dilengkapi index card match efektif meningkatkan prestasi belajar siwa pada pokok

Kuat tekan yang dikembangkan oleh beton yang dibuat dengan menggunakan abu terbang sebagai pengganti sebagian semen Portland tipe I tergantung dari umur hidrasi dan jumlah abu

Berdasarkan beberapa alasan, pertimbangan, hasil pengamatan di SMP Syaichona Cholil Samarinda, dan hasil wawancara dengan guru mengenai kegiatan pembelajaran,