• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PANDANGAN UMUM TENTANG ZONA LARANGAN TERBANG A. PENGERTIAN ZONA LARANGAN TERBANG - Pemberlakuan Zona Larangan Terbang Di Suriah Menurut Ketentuan Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PANDANGAN UMUM TENTANG ZONA LARANGAN TERBANG A. PENGERTIAN ZONA LARANGAN TERBANG - Pemberlakuan Zona Larangan Terbang Di Suriah Menurut Ketentuan Hukum Internasional"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PANDANGAN UMUM TENTANG ZONA LARANGAN TERBANG

A. PENGERTIAN ZONA LARANGAN TERBANG

Berdasarkan prinsip hukum udara internasional, masalah penetapan zona larangan terbang merupakan upaya negara – negara untuk mempertahankan kedaulatannya di ruang udara. Sejak sebelum pecahnya Perang Dunia I, sejalan dengan perkembangan teknologi penerbangan, negara – negara di dunia ini berhadapan dengan kenyataan – kenyataan yang mendorong mereka untuk menetapkan zona larangan terbang. Pengalaman sejak Perang Dunia I tersebut telah membuktikan kebenaran konsep bahwa kedaulatan negara kolong terhadap ruang udara nasional di atas territorial negaranya perlu ditegaskan. Keselamatan dan keamanan wilayah udara nasional suatu negara perlu dipertimbangkan dan ditegaskan.

Pada dasarnya wilayah udara suatu negara adalah tertutup bagi aktivitas penerbangan negara lain. Oleh karena itu, setiap penerbangan yang melintasi wilayah udara suatu negara oleh pesawat asing negara lain tanpa izin negara kolong, merupakan pelanggaran wilayah udara. Pesawat terbang mempunyai kemampuan dan kecepatan yang sangat tinggi, sehingga berpotensi untuk digunakan dalam kegiatan kemiliteran. Selain itu, pesawat terbang merupakan suatu media yang berpotensi untuk melancarkan serangan udara oleh pesawat musuh negara kolong.

(2)

wilayah udaranya yang tertentu dan khusus berdasarkan pertimbangan keamanan dan pertahanan yang perlu dilindungi. Pada bagian wilayah udara tertentu, tersebutlah istilah zona udara terlarang atau zona larangan terbang, dimana dinyatakan dengan tegas bahwa kawasan tersebut terlarang bagi penerbangan asing.

Zona larangan terbang yang diciptakan oleh negara – negara maju untuk melindungi kawasan ruang udara dari penerbangan asing, mempunyai batas – batas yang ditetapkan secara sepihak oleh negara pencipta tersebut. Menurut prinsip Hukum Udara Internasional, luas dan lokasi zona tersebut harus didasarkan pada prinsip yang wajar, sehingga tidak menimbulkan konflik yang sesungguhnya pada navigasi udara. 10

Zona larangan terbang diatur dalam Konvensi Paris 1919, yang kemudian diperbaiki dengan Protokol Paris 1929. Pada Pasal 3 Protokol Paris 1929 diatur mengenai bentuk zona larangan terbang yang terdiri dari dua bentuk11

1. Zona larangan terbang yang ditetapkan atas dasar alasan pertahanan dan keamanan atau militer. Zona dengan bentuk semacam ini bersifat permanen, kecuali jika ada perubahan mengenai kepentingan militer atau pertahanan dan keamanan dari negara yang bersangkutan.

, yaitu :

2. Zona larangan terbang yang dinyatakan untuk seluruh atau sebagian udara nasional negara kolong tertutup sama sekali bagi pesawat terbang asing, karena keadaan darurat. Zona dengan bentuk penutupan wilayah udara hanya akan dilakukan sampai situasi dan kondisi pulih kembali.

10

K. Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Buku Kedua, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hal 25.

11

Enna Nurhaina Burhan, Konsep Zona Larangan Terbang dan Hukum Udara Internasional,

(3)

Dari kedua bentuk zona larangan terbang yang diatur dalam Pasal 3 Protokol Paris 1929 tersebut, pembentukan zona larangan terbang harus memenuhi persyaratan secara internasional. Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Larangan terhadap pesawat sipil asing juga berlaku bagi pesawat negara awak. Pada syarat ini, prinsip atau asas tanpa perbedaan harus dipegang teguh karena zona yang ditetapkan bersifat permanen dan bertujuan untuk melindungi pertahanan dan keamanan negara yang bersangkutan. Persyaratan lainnya yaitu pengumuman mengenai penetapan zona harus dilakukan lebih dahulu untuk diketahui oleh negara – negara yang berkepentingan. Hal ini juga termasuk ketetapan mengenai luas dan letak zona larangan tersebut.

2. Penutupan seluruh atau sebagian wilayah negara kolong, disyaratkan bahwa penutupan harus berlaku dengan setara dan benar – benar bersifat sementara dan berlaku untuk semua pesawat asing dengan prinsip tidak ada perbedaan. Penetapan syarat pada zona ini, berkewajiban untuk memberitahukan kepada semua negara peserta atau anggota Konvensi atau Komisi Internasional untuk Navigasi Udara.

Istilah zona larangan terbang digunakan untuk menggambarkan suatu daerah atau wilayah sebuah negara yang dijaga dan diawasi dengan menggunakan kekuatan udara oleh suatu negara berdaulat lainnya atau suatu koalisi. 12

12

Bernard, Alexander., Lessons from Iraqn and Bosnia on the Theory and Practice of No – Fly Zones, The Journal of Strategic Studies, 2004, page 455.

(4)

koalisi International Peace Support Operations (IPSOs) atau operasi pendukung perdamaian internasioal.

Bentuk dari patrol penjagaan dan pengawasan tersebut dilakukan melalui patrol biasa dengan menggunakan pesawat udara, operasi ini dilakukan dengan tidak mengganggu jadwal pelaksanaannya, misalnya beberapa kali dalam sehari sesuai perputaran jadwal, atau hanya pada hari – hari tertentu saja dalam seminggu. Dalam pelaksanaannya, patrol ini harus dilakukan secara tiba- tiba tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Tujuannya agar patroli penjagaan dan pengawasan ini menjadi lebih efektif sebab dilaksanakan secara mendadak tanpa adanya suatu pengumuman terlebih dahulu.Pelaksanaan zona larangan terbang saat ini, mempunyai dua pendahulu atau pelopor terdahulu.

1. Pertama, patroli penjagaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Inggris yang dilaksanakan setelah terjadinya Perang Dunia I dari tahun 1919 sampai dengan tahun 1939.

2. Kedua, ada yang disebut dengan ‘zona pelarangan terbang’, dilaksanakan pertama kali oleh Amerika Serikat di Korea pada tahun 1950. Pemberlakuan zona larangan terbang tidak diberlakukan kembali sampai pada saat Perang Teluk di Persia pada tahun 1991. Pemberlakuan zona larangan terbang seperti yang telah disebutkan di atas menghasilkan pendekatan – pendekatan dari penerbangan militer tersebut, antara lain agar negara yang terkena zona pelarangan tersebut untuk tidak menggunakan pesawat udara dan yang kedua untuk menjadikan property atau asset musuh di daratan sebagai target.

(5)

Akibatnya, setiap pesawat udara yang hendak memasuki wilayah atau zona yang diberlakukan zona larangan terbang tersebut, harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pihak pemberlaku. Apabila pesawat atau helicopter musuh memasuki wilayah dari zona larangan terbang tersebut tanpa izin si pemberlaku ataupun tidak segera meninggalkan wilayah tersebut setelah diminta untuk pergi, maka musuh itu akan dilawan oleh si pemberlaku zona larangan terbang.

Tujuan kedua dari diberlakukannya zona larangan terbang adalah untuk mengawasi atau memonitor posisi ataupun pergerakan dari musuh di daratan, baik di wilayah zona larangan terbang ataupun di bagian luar dari zona tersebut. Selain itu, tujuannya adalah untuk saling bekerjasama atau menjalin kebersamaan atau menjalin kerjasama dengan pasukan atau teman sepasukan yang ada di darat serta bertindak secara serentak melawan setiap ancaman yang timbul. Hal ini juga untuk mencegah musuh melakukan perlawanan dari udara dengan menembaki pasukan dalam jumlah besar di darat. 13

Kadangkala, mengawasi atau memonitor posisi musuh di darat menjadi lebih penting dari aspek larangan terbang yang sesungguhnya. Penggunaan teknologi menjamin pengurangan yang relatif dalam mengadakan perlawanan terhadap pesawat udara musuh yang melakukan pelanggaran terhadap aturan larangan terbang tersebut. Kegiatan – kegiatan di darat cenderung menjadi suatu ancaman yang besar terhadap kesuksesan misi dari International Peace Support Operations (IPSOs) atau operasi pendukung perdamaian internasional.

Ada banyak cara untuk menggunakan instrument kemiliteran yang dapat menciptakan suatu zona atau wilayah yang bebas dari pesawat udara musuh, dimana

13

(6)

secara bersamaan dapat mengawasi pergerakan pasukan musuh di darat. Situasi dan kondisi yang berbeda – beda juga berpengaruh pada jenis – jenis dan tingkatan – tingkatan pemberlakuan zona larangan terbang.Ada tiga bentuk zona larangan terbang.14

1. Pertama, zona larangan terbang dapat digunakan untuk menyediakan pertolongan ataupun bantuan kepada pasukan penjaga perdamaian pada saat situasi – situasi yang berubah – ubah dimana diharuskan untuk berada di daratan. Zona larangan terbang jenis ini dapat disebut sebagai ‘air cover’ atau ‘perlindungan oleh udara’ yang didapatkan dari pemberlakuan zona larangan terbang.

Zona larangan terbang sebagai ‘air cover’ atau ‘perlindungan oleh udara’ adalah ide atau gagasan yang muncul sebagai dampak dari teknologi – teknologi canggih kekuatan dan penguasaan udara pihak Barat. Pihak kemiliteran menggunakan kekuatan udara sebagai penghubung dengan pasukan di darat dimulai sejak awal Perang Dunia I. Namun, sampai saat ini hanya beberapa negara saja yang menggunakan kekuatan udara untuk mencegah terbangnya pesawat udara musuh di daerah yang sudah ditentukan dan juga untuk menyediakan bantuan taktis yang serempak kepada pasukan di darat. 15

Meskipun ada keadaan dimana suatu pihak memiliki kekuatan udara untuk menciptakan sebuah zona yang bebas dari kegiatan udara musuh, akan tetapi pasukan

International Peace Support Operations (IPSOs) atau pasukan operasi pendukung

perdamaian internasional di daratan memiliki kebebasan yang jauh lebih besar untuk mengambil tindakan.

Pasukan bersenjata di darat juga mendapatkan manfaat dari pertolongan atau bantuan yang disediakan oleh kekuatan udara, yaitu dalam menjadikan aset – aset atau

14Ibid. 15

(7)

properti musuh di darat sebagai sasaran dan juga menyediakan pesawat pengintai dari udara. Hal ini memerlukan mekanisme koordinasi yang efisien antara pelaksanaan yang dilakukan oleh komponen – komponen pasukan di udara dan di darat. Pasukan / kekuatan udara juga dapat memberikan bantuan atau pertolongan terhadap daerah – daerah yang telah ditentukan sebagai tempat perlindungan yang aman bagi para non-kombatan (penduduk sipil). Hal ini sangat membantu terutama dalam keadaan-keadaan dimana apabila terjadi perang atau konflik antar kelompok-kelompok atau faksi-faksi, ternyata bahwa tidak mudah untuk membedakan antara anggota-anggota dari kelompok-kelompok tersebut satu sama lain, ataupun dengan beberapa alas an tertentu, keadaan di tempat berlangsungnya perang menjadi terlalu samara tau tidak jelas untuk dilakukan intervensi secara langsung.

‘Air cover’ atau ‘perlindungan oleh udara’ dapat digunakan untuk memberikan

bantuan atau pertolongan untuk misi–misi menjaga perdamaian ataupun melaksanakan perdamaian dan dapat juga mengangkat sebagian beban pasukan darat dari lingkungan yang penuh tekanan dan situasi-situasi yang sering berubah sewaktu-waktu. 16

Kombinasi antara zona larangan terbang dan keikutsertaan dari pasukan di darat diberlakukan pada saat-saat yang sangat genting, dimana baik pasukan udara ataupun pasukan darat tidak dapat secara tersendiri memberikan bantuan ataupun pertolongan yang dibutuhkan sebagai perlindungan.

2. Kedua, yaitu apabila perang atau konflik di darat tidak memerlukan hadirnya pasukan penjaga perdamaian di darat atau apabila pemerintah tidak setuju untuk mengerahkan pasukan darat karena mengkhawatirkan resiko yang kemudian akan terjadi pada situasi semacam itu, maka zona larangan terbang dapat dijadikan

16

(8)

sebagai alternative daripada melakukan intervensi perlawanan di darat. Zona larangan terbang jenis ini dapat disebut sebagai ‘air occupation’ 17

Dalam beberapa keadaan, pasukan darat ataupun negara-negara tidak memberikan perizinan untuk menyediakan pasukan bagi International Peace Support Operations (IPSOs) atau operasi pendukung perdamaian internasional. Dalam beberapa kasus, pemberlakuan zona larangan terbang dapat menjadi alternatif dalam menjaga perdamaian.

atau ‘pendudukan oleh udara’ yang didapatkan dari pemberlakuan zona larangan terbang.

‘Air occupation’ atau ‘pendudukan oleh udara’ memiliki resiko yang lebih kecil

dibandingkan mempertahankan pasukan di darat. Pasukan udara dapat menyelesaikan banyak hal yang sama dengan pasukan darat, misalnya dengan pemakaian amunisi, kemampuan untuk menghancurkan sasaran dalam jumlah yang besar secara lebih mudah, ataupun sekedar untuk memberikan efek tekanan ataupun terintimidasi oleh kehadiran mereka sebagai pasukan udara. Sesungguhnya, cara inilah yang dijadikan sebagai dasar filosofi daripada ‘air policing’ atau patrol/pengawasan di udara yang dilakukan oleh Inggris pada pertengahan abad ke duapuluh. Sejak saat itu, perkembangan teknologi yang semakin canggih secara nyata menaikkan kemampuan dari kekuatan pesawat udara. Dalam beberapa dekade terakhir, kelompok militer Barat telah meningkatkan ketelitian dalam penyimpanan alat senjata, sehingga menurunkan resiko untuk para pilot.

Sebagai tambahan dari resiko yang lebih kecil dalam keikutsertaannya, keuntungan lainnya terdapat dalam kenyataan simbolis bahwa pasukan di darat

kadang-17

(9)

kadang memberi kesan bahwa mereka mempunyai maksud untuk menguasai tempat tersebut secara permanen. Kadangkala, hal ini tidak diinginkan, atau dengan kata lain, bukan hal seperti ini yang akan dilakukan atau diinginkan, sementara pendudukan oleh udara tidak mengalami masalah seperti itu.

Pada kenyataannya, tidak semua hal yang berhasil dilaksanakan pasukan darat dapat pula dilaksanakan oleh kekuatan udara/pasukan udara. Misalnya, kekuatan udara tetap tidak dapat secara efektif melawan infantry atau pasukan dalam jumlah yang besar di daerah pegunungan ataupun di daerah hutan yang lebat ataupun untuk menjadikan musuh yang melakukan perlawanan secara bergerilya sebagai sasaran. Namun apabila kelompok-kelompok atau faksi yang terlibat dalam perang tersebut dapat diidentifikasi dan daerah tempat perang tersebut tidak terlalu sulit dijangkau, maka ‘air occupation’ atau ‘pendudukan oleh udara’ dapat membuat keadaan menjadi lebih stabil di daerah konflik tersebut.

Dalam rangka pemberlakuan ‘air occupation’ atau ‘pendudukan oleh udara’, maka perangkat udara harus diluncurkan secara virtual atau tampak secara nyata. Keberadaan pesawat-pesawat udara ini bukan hanya secara simbolis saja, melainkan benar-benar melakukan penyerangan dengan ancaman ataupun tindakan yang sesungguhnya.18

Situasi yang cocok untuk diberlakukannya ‘air occupation’ atau ‘pendudukan oleh udara’ adalah pada saat-saat atau keadaan yang sering mendadak berganti, berubah sewaktu-waktu ataupun keadaan yang tidak biasa, yang memerlukan pengawasan secara konstan atau terus-menerus terhadap daerah tersebut dan adanya kesiapan untuk mengambil tindakan secara cepat. Sebagai tambahan dari tindakan militer tersebut, pesawat udara yang melakukan ‘air occupation’ atau ‘pendudukan

18

(10)

oleh udara’ dapat pula menyediakan bantuan ataupun pertolongan humaniter dalam hal menjatuhkan persediaan makanan ataupun obat-obatan kepada kelompok-kelompok yang dilindungi, misalnya penduduk sipil dalam daerah yang dilindungi.

3. Ketiga, pemberlakuan zona larangan terbang dapat dijadikan sebagai penahan atau penyangga antara negara-negara ataupun kelompok-kelompok yang bermusuhan untuk menghalangi invasi, agresi ataupun jenis penyerangan lainnya. Zona larangan terbang jenis ini dapat disebut sebagai ‘air deterrent’ atau ‘pencegahan oleh udara’ yang didapatkan dari pemberlakuan zona larangan terbang. 19

Pencegahan ini sudah lama menjadi komponen yang strategis dalam politik/ketentuan asing. Idealnya, jenis ketentuan seperti ini menghindarkan sebuah negara menggunakan kekerasan. Logikanya, ancaman yang terpercaya dari angkatan militer akan mencegah lawan untuk kemungkinan mengambil suatu tindakan tertentu.

Pada masa Perang Dingin, pihak yang sangat cocok untuk diberlakukan ‘pencegahan’ adalah negara-negara kecil yang melakukan perlawanan dalam konflik yang sifatnya kecil atau sebatas di local tertentu. Dalam konflik-konflik jenis ini, kemungkinan gagalnya sistem pencegahan ini cukup besar, karena seringkali dialami kesulitan untuk membawa kepercayaan pada para lawan. Untuk itu negara-negara kadangkala boleh memilih untuk mencegah agresi atau perlawanan dengan menyediakan keberadaan pasukan secara fisik.

Bagaimanapun juga, hal ini tidak diinginkan oleh para pembuat peraturan. Pertama, negara maju sekalipun tidak memiliki kemampuan untuk menyediakan pasukan yang diperlukan untuk banyak daerah secara bersamaan. Kedua, pemerintah dan penduduk Barat tidak ingin untuk membahayakan diri hanya demi ‘pencegahan’.

19

(11)

Zona larangan terbang sebagai ‘air deterrent’ menyatukan elemen positif dari pencegahan dan ancaman.

B. SEJARAH MUNCULNYA PENERAPAN ZONA LARANGAN TERBANG Berbeda dengan moda transportasi laut yang telah lahir jauh sebelumnya, kelahiran moda transportasi udara, baru lahir ssejak permulaan abad ke-17. Pada saat itu Francisco de Lana dan Galier mencoba mengembangkan model pesawat udara yang dapat terbang di atmosfer kemudian diikuti oleh Pater de Gusman di Lisabon yang berhasil terbang di ruang udara dengan menggunakan udara yang dipanaskan, 20

Sebenarnya jauh sebelum Perang Franco – Prusia, pada 1852 Giffard telah berhasil terbang dengan balon yang diberi mesin uap, kemudian pada 1884 Renard bersama Krebbs juga berhasil menciptakan sebuah balon dengan baling – baling bermesin listrik yang digerakkan dengan tenaga baterai, dan terakhir Von Zepplin pada 1889 berhasil membuat balon bebas bermotor yang dapat dikemudikan dan berhasil sedangkan Black berhasil terbang dengan balon yang diisi dengan zat air pada 1767 yang diikuti oleh Cavallo pada 1782. Black terbang juga degan balon yang diisi dengan gas. Percobaan penerbangan tersebut dilanjutkan oleh Montgolfier bersaudara di Prancis dengan balon yang diisi dengan udara panas. Setelah berhasil percobaan – percobaan tersebut, akhirnya Blanchard bersama Jaffies berhasil terbang melintasi Selat Calais dengan menggunakan balon bebas pada 1785 yang pernah digunakan untuk Perang Franco – Prusia tahun 1870 – 1871 untuk mengungsikan para pejabat negara.

20

(12)

terbang melintasi Danau Constance di Swiss pada 1900. Tahun berikutnya Santos – Dumont berhasil terbang di sekitar kota Paris.

Sejak Francisco de Lana pada 1870 sampai dengan 1889, Von Zepplin terbang dengan pesawat udara yang dikembangkan lebih ringan dari udara, sedangkan sejak akhir abad ke-19 Santos-Dummont mulai mengembangkan teknik pembuatan pesawat udara yang lebih berat dari udara, walaupun sebenarnya pemikiran demikian telah diimpikan sekitar abad ke-15. Pada awal abad ke-15 Sir George Cayley juga menciptakan model pesawat udara seperti pesawat terbang laying.21

Penerbangan balon udara dikembangkan lebih lanjut sehingga tercipta pesawat udara yang lebih berat dari udara yang untuk pertama kalinya Wright bersaudara berhasil terbang dengan menggunakan pesawat udara yang lebih berat dari udara di Kota Kitty Hawk Amerika Serikat. Sejak penerbangan Wright bersaudara pada 1903 tersebut, telah terbukti bahwa penerbangan dapat dilakukan dengan pesawat udara yang lebih ringan dari udara maupun pesawat udara lebih berat dari udara. Penerbangan tersebut hanya mungkin dapat dilakukan pada ruang udara yang terdapat gas – gas udara.22

Dalam perkembangannya, pesawat udara yang lebih ringan dari udara maupun pesawat udara yang lebih berat dari udara dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti transportasi udara, keperluan komersial, keperluan militer bahkan dapat digunakan sebagai mata-mata, sehingga semakin menarik perhatian para ahli hukum udara internasional untuk meletakkan dasar hukum internasional. Dikarenakan banyaknya keperluan – keperluan yang dilakukan di udara yang melintasi batas

21

Martono, K, H, Prof, Dr., SH., LLM.; Sudiro, Ahmad, Dr., SH., MH., MM., Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public International and National Air Law), Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hal. 10

22

(13)

kedaulatan suatu negara terhadap negara lain tanpa memperhatikan hak – hak negara di bawahnya, sehingga menimbulkan masalah kedaulatan negara. Hal ini secara resmi dibahas dalam Konferensi Paris 1910. Konferensi yang semula bermaksud meletakkan dasar – dasar pengaturan navigasi penerbangan dan operasi penerbangan internasional tersebut gagal mencapai tujuannya mengesahkan konvensi internasional karena terpukau pada masalah kedaulatan negara di wilayah udara di atasnya serta hak – hak negara kolong.23

Kegagalan konferensi tersebut memaksa Inggris secara sepihak mempunyai kedaulatan secara penuh dan utuh (complete and exclusive sovereignity) di wilayah udara di atasnya dan mengumumkan Aerial Navigation Act of 1911 untuk melindungi keamanan dan pertahanan nasional yang terancam karena adanya penerbangan pesawat udara asing.

Berdasarkan Aerial Navigation Act tersebut, pemerintah Inggris menetapkan zona udara terlarang dan penerbangan di zona tersebut merupakan pelanggaran yang dapat diancam dengan hukuman. Dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1913, pemerintah Inggris memberi wewenang kepada Menteri Dalam Negeri untuk menetapkan kawasan udara terlarang atas pertimbangan keamanan dan pertahanan, serta keselamatan umum untuk menembak pesawat udara yang melintasi zona udara terlarang tersebut.

Tindakan sepihak oleh Inggris tersebut tidak ditentang oleh negara-negara Eropa lainnya, bahkan sebaliknya diikuti oleh negara–negara Eropa seperti Prancis, Jerman, Belanda, Belgia, Denmark dan negara–negara lain sehingga tindakan tersebut dibenarkan oleh hukum kebiasaan internasional. Masing–masing negara

23

(14)

mengumumkan bahwa negaranyan berdaulat penuh dan utuh di ruang udara di atas wilayahnya dan menetapkan zona udara terlarang, karena banyaknya zona udara terlarang yang ditetapkan di berbagai negara Eropa, mengakibatkan penerbangan internasional hanya dapat dilakukan pada jalur – jalur udara tertentu yang menghubungkan tempat – tempat tertentu setelah memperoleh izin.

Setelah perang dunia pertama berakhir, dunia penerbangan menghadapi kenyataan banyaknya ahli penerbangan baik personil darat maupun personil udara serta pesawat udara dan pemuda yang biasanya berperang terpaksa menganggur, memaksa untuk memanfaatkan sumber daya tersebut, tetapi di lain pihak masalah kedaulatan negara dan keamanan nasional harus dipikirkan pula.

Untuk maksud tersebut, telah disahkan Konvensi Paris 1919 yang berjudul “Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation”. Konvensi tersebut pada prinsipnya mengatur prinsip – prinsip dasar penerbangan internasional, kebangsaan pesawat udara, sertifikat kelayakan udara, dan sertifikat kecakapan, izin navigasi penerbangan di atas wilayah negara lain, persyaratan penerbangan internasional, larangan mengangkat barang – barang berbahaya, zona udara terlarang, dan kondisi navigasi penerbangan internasional.

(15)

kedaulatan yang penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayahnya”.24

Di dalam perkembangannya, pasal 3 dirubah dengan protokol yang ditandatangani tanggal 15 Juni 1929. Perubahan tersebut antara lain memberi kekuasaan kepada negara berdaulat untuk mengijinkan pesawat udara sipil nasional terbang di atas zona udara terlarang dalam hal sangat penting. Demikian pula dikatakan dalam hal masa damai negara tersebut berhak untuk menetapkan zona udara terlarang seluruh atau sebagian. Semua negara tersebut berhak untuk menetapkan zona udara terlarang seluruh atau sebagian. Semua bentuk penerbangan dilarang di atas zona tersebut. Bilamana hal ini dilakukan juga, maka harus memberitahukan segera anggota lainnya serta Komisi Navigasi Penerbangan Internasional.

Sedangkan sebagai konsekuensi dari kedaulatan di udara sebagaimana diatur dalam pasal 1 konvensi tersebut memberikan kekuasaan negara berdaulat untuk menetapkan zona udara terlarang atas pertimbangan militer atau keamanan umum. Namun demikian, larangan tersebut harus diumumkan dan diberitahukan sebelumnya kepada negara anggota maupun Komisi Navigasi Penerbangan Internasional. Dalam praktiknya, pemberitahuan tersebut dalam bentuk NOTAM (Notice to Airman) kelas 1. Berdasarkan pasal tersebut, semua pesawat udara sipil nasional maupun pesawat udara sipil asing dilarang terbang di atas zona udara terlarang tersebut sesuai dengan asas The Most Favourable Nation Treatment dalam pergaulan internasional.

Menurut pasal 4 Konvensi yang sama, dalam hal terdapat pesawat udara sipil asing yang berada pada zona udara terlarang, begitu sadar posisinya berada pada zona terlarang, hendaklah segera mengirim tanda bahaya dan segera mendarat di Bandar

24

The High Contracting Parties recognize that every power has complete and

(16)

udara terdekat di luar zona terlarang tempat pesawat udara tersebut terbang. Memang Konvensi Paris 1919 lebih mempertimbangkan segi pertahanan dan keamanan nasional daripada pertimbangan kesejahteraan nasional. Di dalam pasal 26 ditegaskan kembali bahwa tidak ada pesawat udara sipil asing boleh melakukan penerbangan dengan membawa senjata api atau bahan peledak serta peralatan foto yang akan membahayakan pertahanan dan keamanan.

Dasar pertimbangan Konvensi Chicago 1944 yang merupakan produk pengaturan penerbangan sipil internasional setelah perang dunia kedua, berbeda dengan dasar pertimbangan Konvensi Paris 1919. Menurut Konvensi Chicago 1944, angkutan udara internasional dapat menciptakan persaudaraan dan mempererat persahabatan yang penuh pengertian antar bangsa, memperpendek jarak sehingga mempermudah saling berkunjung antar bangsa yang dapat memelihara perdamaian dunia serta meningkatkan kesejahteraan umat manusia, oleh karena itu perlu adanya koordinasi internasional untuk meletakkan dasar – dasar pengaturan penerbangan internasional guna menjamin angkutan udara secara selamat, lancer, tertib, aman dan nyaman serta memberi kesempatan yang sama bagi seluruh anggotanya untuk menyelenggarakan angkutan udara internasional.

(17)

Chicago 1944 berisikan penegakan kembali prinsip – prinsip dasar yang telah disetujui oleh Konvensi Paris 1919. Konvensi tersebut mengatur navigasi penerbangan yang meliputi prinsip – prinsip dasar seperti penerbangan di wilayah lain, ketentuan mengenai navigasi penerbangan internasional, wilayah udara penerbangan, penerbangan tanpa awak pesawat udara, penerbangan di atas laut lepas, izin penerbangan, pungutan biaya penggunaan fasilitas navigasi penerbangan, kebangsaan pesawat udara, fasilitas penerbangan, dokumen penerbangan internasional, sertifikat pendaftaran pesawat terbang, dan sertifikat kecakapan.

Walaupun penekanan pada segi ekonomi cukup besar, Konvensi Chicago 1944 tetap mempertahankan prinsip kedaulatan negara sebagaimana diatur dalam Konvensi Paris 1919, karena semua pengaturan bersumber pada kedaulatan. Sepanjang menyangkut zona udara terlarang diatur dalam pasal 9. Menurut pasal 9, dikatakan bahwa setiap negara berhak menetapkan zona udara terlarang bagi pesawat sipil asing baik untuk penerbangan internasional berjadwal, maupun tidak berjadwal. Larangan terbang di atas zona terlarang tersebut berlaku pula bagi pesawat udara sipil nasional. Perluasan dan perubahan zona udara terlarang baik seluruh maupun sebagian wilayah harus segera diberitahukan kepada ICAO beserta anggotanya.

(18)

dalam Annex 2 Konvensi Chicago 1944 tentang “Rules of The Air”. Dalam hal ini pesawat udara sipil yang di ‘intercept’ harus mengikuti perintah, untuk menghindari resiko yang lebih besar.

Jalur udara yang berlaku di atas laut, diatur dalam pasal 53 United Nation

Convention on the Law of Sea (UNCLOS).25

Sesuai dengan pasal 9 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi :

Berdasarkan pasal tersebut, tidak dijelaskan apakah jalur tersebut berlaku pula untuk pesawat udara sipil ataupun pesawat udara militer. Walaupun demikian, dengan mengingat jalur – jalur penerbangan sipil telah diatur dalam Konvensi Chicago 1944, dapat ditafsirkan bahwa jalur udara yang diatur dalam UNCLOS hanya dimaksudkan untuk pesawat udara milik pemerintah. Jalur udara di atas selat yang dipergunakan untuk pelayanan internasional, ditentukan 25 mil laut ke kanan dan ke kiri dihitung dari sumbu. Dalam hal terjadi suatu pelanggaran yang terbang di luar jalur yang ditetapkan, dapat dipaksa untuk mendarat dan mengirim nota protes melalui saluran diplomatik.

a. “Each contracting State may, for reasons of military necessity or public

safety, restrict or prohibit uniformity the aircraft of other States from flying

over certain areas of its territory, provided that no distinction in this

respect is made between the aircraft of the States whose territory is

involved, engaged in international scheduled airlines services, and the

aircraft of the other contracting States likewise engaged. Such prohibited

areas shall be of reasonable extent and location so as not to interfere

unnecessarily with air navigation. Descriptions of such prohibited areas in

the territory of a contracting State, as well as any subsequent alterations

25

(19)

there in, shall be communicated as soon as possible to the other contracting

States and to the International Civil Aviation Organization.

b. Each contracting State reverse also the right, in exceptional circumstances

or during a period of emergency, or in the interest of public safety, and with

immediate effect, temporarily to restrict or prohibit flying over the whole or

any part of its territory, on condition that such restriction or prohibition

shall be applicable without distinction of nationality to aircraft of all other

States.

c. Each contracting State, under such regulations as it may prescribe, may

require any aircraft entering the areas contemplated in subparagraphs (a)

or (b) above to effect a landing as soon as practicable thereafter at some

designated airport within its territory.

Menurut pasal ini, setiap negara berhak menetapkan kawasan udara terlarang atas pertimbangan keselamatan umum. Alasan keselamatan misalnya karena bencana alam yang membahayakan keselamatan penerbangan seperti gunung meletus. Dalam hal terjadi bencana alam, setiap negara berhak dan wajib melarang semua pesawat udara yang melakukan penerbangan pada jalur tersebut.

(20)

hukum udara yang baru sesuai dengan tuntutan dunia penerbangan internasional di akhir perang dunia kedua.

Ada tiga perkembangan sikap negara-negara di dunia yang penting pada era paska perang dunia kedua yang berkaitan dengan dunia penerbangan internasional.

Pertama, kesadaran akan doktrin kekuatan udara sebagai bagian dari kekuatan nasional. Kuat lemahnya negara ditentukan antara lain oleh tingkat kekuatan negara di wilayah udaranya. Ini berarti kemampuan dana dan teknologi negara kolong tersebut untuk memanfaatkan kawasan udara di atasnya. Kekuatan udara (air power) suatu negara adalah kemampuan negara tersebut untuk memanfaatkan dan bertindak tegas dengan menggunakan media udara. Pada masa damai, kemampuan itu terwujud dalam bentuk kegiatan penerbangan atau angkutan sipil, sedangkan pada masa perang, kemampuan tersebut terbentuk pada armada pesawat – pesawat tempur dan pengangkut senjata/bom untuk aksi serangan gempuran udara.

Kedua, berdasarkan doktrin kekuatan udara serupa itu, maka negara – negara sekarang memandang penyelenggaraan penerbangan udara sipil merupakan hal yang sangat penting untuk kepentingan negara. Penerbangan sipil ini mengarah kepada kegiatan penumpukan kegiatan ekonomi yang berarti penumpukan kekuatan nasional negara yang bersangkutan.

(21)

PELANGGARAN WILAYAH UDARA

1. KOREAN AIRLINES

Pada 1 September 1983, Korean Airlines, nomor penerbangan KL007 ditembak jatuh oleh pesawat udara penyergap militer Uni Soviet yang menelan korban 269 orang termasuk awak pesawat udranya meninggal dunia. Kasus penembakan ini menimbulkan gelombang kemarahan masyarakat internasional. Berbagai pendapat dalam forum internasional baik dari sisi hukum, ekonomi, maupun kemanusiaan dikemukakan sebagai argumentasi. Organisasi Penerbangan Sipil Internasional juga segera melakukan langkah – langkah yang diperlukan untuk mencegah terulangnya penembakan tersebut dan merekomendasikan negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional untuk menahan diri dari penggunaan senjata terhadap pesawat udara sipil. Penyergapan pesawat udara sipil tetap harus memperhatikan keselamatan penumpang, awak pesawat udara, barang – barang yang diangkut, dan pesawat udaranya.26

Sebagai negara berdaulat yang wilayah udaranya dilanggar oleh pesawat udara tanpa izin atau persetujuan lebih dahulu, negara tersebut wajib memberi peringatan adanya pelanggaran pesawat udara tersebut, memerintahkan agar pesawat udara kembali atau meninggalkan wilayah udara tersebut atau memerintahkan untuk mendarat. Bilamana terjadi pelanggaran wilayah, negara tersebut dapat melakukan protes melalui saluran resmi, supaya negara pendaftar pesawat udara minta maaf dan bilamana menimbulkan kerugian dapat menuntut kompensasi atas kerugian yang diderita oleh warga negaranya, tetapi bilaman negara tersebut menggunakan senjata untuk memaksa pesawat udara yang melakukan pelanggaran wilayah, tanpa memberi kesempatan

26

(22)

kepada pesawat udara kembali ke jalur seharusnya atau untuk mendarat, jelas tindakan negara tersebut melanggar hukum internasional.

Menurut ajaran hukum (doctrine) tentang bela diri, yang mengajarkan bahwa penggunaan senjata untuk memaksa pesawat udara yang melakukan pelanggaran wilayah adalah berlebihan dan tidak seimbang dengan ancamana yang dihadapi. Lebih lanjut tindakan negara tersebut dapat dikatakan menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) sehingga negara tersebut dapat dituntut oleh negara pendaftar pesawat udara,

untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang untuk dan atas nama korban. Dalam kasus demikian, tindakan negara yang menembak pesawat udara sipil, juga bertentangan dengan hukum internasional, khususnya hak – hak asasi manusia, karena penumpang yang tidak bersalah menjadi korban. Di samping itu, penggunaan senjata untuk memaksa pesawat udara sipil tersebut tidak sesuai dengan prinsip hukum udara internasional “safety first” yang tersirat27 maupun tersurat ddi dalam Pasal 44 huruf (a) Konvensi Chicago 1944.28 Negara pendaftar pesawat udara dapat menuntut kerugian yang diderita oleh korban kepada negara yang menyergap dan menembak pesawat udara. Sebenarnya tata cara penyergapan pesawat sipil telah diatur dalam Annex 2 Konvensi Chicago29

Korea saat itu tidak mempunyai hubungan diplomatic dengan Uni Soviet, karena itu Korea menuntut melalui Dewan Kemanan PBB agar Uni Soviet mengadakan

tanpa menggunakan senjata, tetapi dalam pelaksanaannya sering pesawat udara yang melanggar wilayah sering ditembak oleh pesawat udara militer di udara maupun di darat.

27

Therefore, the undersigned governments having agreed on certain principles in a safe and orderly manner and that international air transport services may be established on the basis of equality of opportunity and operated soundly and economically.

28The aims and objectives of the organization are to develop the principles and techniques of

international air navigation and to foster the planning and development of international air transport so as to (a) insure the safe and orderly growth of international civil aviation throughout the world.

29

(23)

investigasi penembakan pesawat udara Boeing 747 nomor penerbangan KL007, Uni Soviet meminta maaf kepada Korea, Uni Soviet wajib memberi ganti kerugian, pelaku penembakan harus dipidana dan harus dicegah jangan sampai terulang. Jepang juga menuntut Uni Soviet untuk dan atas nama 25 warga negara Jepang yang menjadi korban, mengirim surat kepada Uni Soviet yang isinya mengatakan tindakan penembakan pesawat udara KL007 merupakan tindakan agresi bersenjata tanpa perikemanusiaan, karena itu Uni Soviet harus bertanggung jawab, pemerintah Uni Soviet harus minta maaf kepada Jepang, melarang warga negara Jepang terbang ke Uni Soviet.

Gelombang protes juga datang dari negara – negara barat seperti Amerika Serikat, Kanada, negara anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO) seperti Jerman, Belgia, Luxemburg, Spanyol, Denmark membatalkan hubungan udara dengan Uni Soviet dan melarang pesawat udara Aeroflot terbang melalui wilayah udara mereka, namun demikian Uni Soviet tutup telinga, bahkan Uni Soviet mengatakan bahwa tindakannya sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang dijamin dalam Konvensi Chicago 1944, karena itu berhak mempertahankan wilayahnya terhadap pelanggaran tanpa izi atau persetujuan terlebih dahulu, bilamana menuntut ganti rugi silahkan minta kepada Korea dan Amerika Serikat karena kedua negara tersebut sengaja melakukan mata – mata di atas wilayah udara Uni Soviet.30

2. AIR FRANCE, EL AL CONSTELLATION

Masalah pesawat udara yang melanggar wilayah kemudian ditembak oleh pesawat udara militer Uni Soviet seperti KL007, bukanlah satu – satunya kasus

30

(24)

pelanggaran wilayah udara. Pada 1952, pesawat udara milik Air France dalam penerbangannya dari Frankfurt ke Berlin, Jerman dituduh oleh Uni Soviet menyimpang dari rutenya dan melanggar wilayah Jerman Timur dan pada 1955 pesawat udara EL AL Constellation dalam penerbangannya dari London ke Israel melanggar wilayah Bulgaria

dan ditembak jatuh oleh pesawat militer MIG-15 Bulgaria.

Pada 1962 telah terjadi empat kali penembakan pesawat udara sipil oleh pesawat udara militer seiring dengan perang dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet. Pada Juni 1969 pesawat udara palang merah (Red Cross) DC-7 dalam penerbangannya dari Pulau Fernando ke Biafra, juga ditembak jatuh oleh pesawat udara militer, dalam tahun berikutnya pesawat udara Alitalia DC-8 ditembak dengan peluru kendali dekat Damaskus, tetapi pesawat udara dapat mendarat dengan selamat. Pada Februari 1973, pesawat udara Libya Boeing 727 dipaksa mendarat oleh pesawat udara militer Israel karena tidak mematuhi pesawat udara yang menyergap.

Penembakan pesawat udara KL007 tersebut bukan pertama kali, sebab dalam bulan April 1978 pesawat udara Boeing 707 ditembak ole Uni Soviet dan terpaksa mendarat di Murmanks dan dua penumpang meninggal dunia. Penembakan pesawat udara sipil yang melanggar wilayah juga dapat dilakukan dari darat seperti terjadi pada 1978 – 1979 dua pesawat udara jenis Viscount dan HS 748 ditembak oleh gerilya di darat, dan semua penumpangnya meninggal dunia. Di samping kasus – kasus tersebut selama 21 tahun telah terjadi 12 penembakan pesawat udara dari darat ke udara seperti pernah terjadi di Congo, Kuba, Angola, Vietnam, Kamboja, Muzambique, dan Chad.31

31

(25)

Sebenarnya Konvensi Chicago 1944 hanya mengatur pesawat udara sipil (civil aircraft), tetapi dalam Pasal 3 huruf (d), dikatakan bilamana negara anggota

mengeluarkan peraturan mengenai pesawat udara negara (state aircraft)32 harus memperhatikan keselamatan pesawat udara sipil. Dalam Annex 2 Konvensi Chicago 194433

Sebagai akibat penembakan pesawat udara KL007, Pasal 3 Konvensi Chicago 1944 disempurnakan dengan Pasal 3 bis, yang antara lain mengatakan bahwa negara anggota agar menahan diri dalam penggunaan senjata untuk memaksa pesawat udara sipil mendarat; dalam hal pengejaran pesawat udara yang melanggar wilayah tetap harus memperhatikan keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara maupun barang – barang yang diangkut.

diatur tata cara penyergapan.

Ketenatuan – ketentuan tersebut tidak boleh ditafsirkan menyimpang dengan ketentuan yang ditetapkan dalam UN Charter, semua negara mengakui bahwa pesawat udara sipil tidak boleh digunakan yang bertentangan dengan maksud dan tujuan Konvensi Chicago 1944, tetapi semua pesawat udara sipil harus mematuhi pesawat udara yang mengejar, karena itu semua negara harus membuat aturan nasional koordinasi antara pesawat udara negara (state aircraft) dengan pesawat udara sipil (civil aircraft) untuk menjamin keselamatan penerbangan, semua negara berhak menetapkan

daerah larangan terbang (prohibited area) dengan memerhatikan norma – norma hukum internasional yang berlaku.

32Aircraft used in military, customs and police services shall be deemed to be state aircraft. 33

(26)

C. PENGATURAN ZONA LARANGAN TERBANG BERDASARKAN KONVENSI INTERNASIONAL

Zona larangan terbang yang diciptakan oleh negara – negara maju untuk melindungi kawasan ruang udara dari penerbangan asing, mempunyai batas – batas yang ditetapkan secara sepihak oleh negara pencipta tersebut. Menurut prinsip hukum udara internasional, luas dan lokasi zona harus didasarkan pada prinsip yang wajar, sehingga tidak menimbulkan konflik yang sesungguhnya pada navigasi udara. Pengaturan mengenai zona larangan terbang ini sendiri terdapat pada Konvensi Paris 1919 yang kemudian diperbaiki dengan Protokol Paris 1929 dan pada Konvensi Chicago 1944.

1. KONVENSI PARIS 1919

Zona larangan terbang diatur dalam Pasal 334 dan 435

Pada saat Konferensi Paris 1910 Prancis mengusulkan negara kolong berhak melarang setiap penerbangan pesawat udara militer melalui ruang udara di atas wilayah

Konvensi Paris 1919. Menurut kedua pasal tersebut setiap negara berhak untuk menetapkan zona larangan terbang atas pertimbangan kepentingan pertahanan dan keamanan nasional dengan ancaman hukuman bilaman terdapat pelanggaran. Ketentuan ini sesuai dengan usul yang disampaikan oleh delegasi Prancis pada saat Konferensi Paris 1910.

34

Pasal 3 Konvensi Paris 1919 : “Each contracting state is entitled for military reasons or interest of public safety to prohibit the aircraft of other contracting state, under penalties provided each private aircraft and those of the other contracting state from flying offer certain areas of its territory. In that case the locality and the extent of the prohibited areas shall be published and notified beforehand to the other contracting state.

35

(27)

udaranya (right of the subjacent state of deny passanger of foreign military and police aircraft trough such airspace), namun demikian zona larangan terbang tersebut tidak

boleh diskriminasi anatar pesawat udara sipil nasional dengan atau pesawat udara sipil asing satu terhadap yang lain. Dalam hal terjadi pesawat udara sipil masuk zona larangan terbang, begitu menyadari berada dalam zona larangan terbang secepatnya meninggalkan zona larangan terbang tersebut sebelumnya harus dipublikasikan kepada negara anggota lainnya.

Zona larangan terbang yang telah diatur dalam pasal 3 dan pasal 4 Konvensi Paris 1919 kemudian diubah dengan protokol yang ditandatangani tanggal 15 Juni 1929. Perubahan tersebut antara lain memberi kekuasaan kepada negara berdaulat untuk mengizinkan pesawat udara sipil nasional terbang di zona larangan terbang dalam hal sangat penting dan darurat. Demikian pula dikatakan dalam masa damai negara tersebut berhak untuk menetapkan zona larangan terbang seluruh atau sebagian wilayahnya.

Semua bentuk penerbangan dilarang terbang di zona larangan terbang. Bilamana hal ini dilakukan juga harus memberitahun CHINA dan negara anggota Konvensi Paris 1919 lainnya. Menurut pasal 4 Konvensi Paris 1919, dalam hal terdapat pesawat udara sipil asing berada di zona larangan terbang, segera mengirim tanda bahaya (distress) sebagaimana diatur dalam pasal 17 Annex D dan segera mendarat di bandar udara terdekat diluar zona larangan terbang tempat pesawat udara tersebut terbang.

2. KONVENSI CHICAGO 1940

(28)

194436

Di Amerika Serikat, berdasarkan ketentuan pasal 1 Konvensi Chicago 1944, juga menetapkan zona larangan terbang sejauh 200 mil dari perbatasan Amerika Serikat yang dikenal sebagai Air Defence Identification Zone (ADIZ). Dalam jarak 200 mil terhitung sejak perbatasan Amerika Serikat, pesawat udara yang tidak dikenal harus setiap negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional berhak menetapkan zona larangan atau pembatasan terbang atas pertimbangan keamanan umum, pertimbangan militer, asalkan tidak ada perlakuan yang bersifat diskriminatif antara pesawat negara nasional dengan negara asing atau pesawat udara asing satu terhadap yang lain. Penetapan zona larangan terbang atau pembatasan tersebut harus wajar dan tidak mengganggu penerbangan internasional. Rincian zona larangan terbang maupun pembatasan tersebut harus segara diberitahukan kepada Organisasi Penerbangan Sipil Internasional serta negara anggota lainnya. Dalam keadaan yang sangat mendesak atau darurat atau kepentingan keselamatan umum negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional juga berhak melarang seluruh maupun sebagian wilayah asalkan tidak bersifat diskriminatif. Bilamana pesawat udara menyadari di zona larangan terbang, segera meninggalkan zona larangan tersebut dan mendarat di Bandar udara atau pangkalan udara terdekat.

36

(29)

menyampaikan jati diri, bilamana hal tersebut tidak dilakukan, pesawat udara tersebut akan menghadapi bahaya. Sikap Amerika Serikat demikian diikiuti oleh adik kandungnya yaitu Kanada. Kanada juga mengumumkan zona larangan terbang (Canadian Air Defence Identification Zone-CADIZ), mewajibkan pesawat udara yang belum dikenal harus menyampaikan jati diri.

Pesawat udara negara (State Aircraft) yang mengejar tidak boleh menggunakan kekerasan, apalagi menembak pesawat udara sipil yang kesasar di zona larangan terbang, karena penembakan pesawat udara sipil tersebut bertentangan dengan hukum internasional, tidak sesuai dengan ajaran hukum (doctrine) bela diri, dan tidak sesuai dengan semangat yang tersirat dalam konvensi Chicago 1944. Menurut hukum internasional, pesawat udara sipil yang ditembak oleh pesawat udara negara (State

Aircraft) merupakan pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), karena pesawat udara

sipil tidak di persenjatai. Disamping itu, penembakan pesawat udara sipil tersebut tidak sesuai dengan ajaran hukum (doctrine) bela diri (Self Defend) yang mengajarkan bahwa perbuatan penembakan tersebut tidak seimbang dengan ancaman yang dihadapi, ajaran hukum bela diri (Self Defend) mengatakan bahwa kalau seseorang akan memukul dengan rotan, kemudian di dahului dipukul dengan kayu dapat disebut membela diri (Self Defend). Penembakan pesawat udara sipil oleh pesawat udara negara tidak sesuai

dengan semangat keselamatan penerbangan (Safety First) yang tersirat dalam pasal 44 huruf (a) Konvensi Chicago 1944.37

37

Referensi

Dokumen terkait

Pada percobaan Efflux Time ini, kemungkinan semakin kecil diameter pipa maka semakin kecil pula waktu yang dibutuhkan fluida untuk turun.. Serta hubungan antara waktu

Bentuk imbalan finansial yang diberikan kepada karyawan berupa gaji, bonus, hari cuti, tunjangan hari raya, tunjangan makan, tunjangan transport, imbalan

• Hutan dan pohon pesisir tidak dapat menyiapkan perlindungan efektif menghadapi seluruh bahaya (seperti gelombang tsunami yang besar dan kuat, banjir dari

Manajemen Pembelajaran merupakan salah satu faktor terpenting dalam menyelenggarakan pengajaran. Dengan adanya manajemen dapat mewujudkan proses pembelajaran yang

penelitian ≥0.05, maka terima H0 dan tolak H1 Tolak H0 dan terima H1 ada perbedaan hasil belajar siswa dan motivasi belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran

Hasil dari penelitian ini adalah (1) RAK untuk PRB merupakan jawaban yang terstruktur sebagai program pemerintah untuk merangkum strategi PRB di suatu komunitas, baik

9 A*at2 a*at yang digunakan da*am "embibitan metode ku*tur .aringan 9 Persyaratanuntuk *aboratorium ku*tur  .aringan. 9 &ena! dan maam ruangan da*am *aboratorium

Membantu Ketua Tim Pelaksana didalam mengevaluasi, men5rusun dan mengajukan rancangan perubahan danf atau penyempurnaan ketentuan petunjuk pelaksanaan