BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,
pemikiran, ide, semangat dan keyakinan dalam satu bentuk gambaran konkrit
yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa (Soemardjo, 1997:3).
Demikian juga menurut Luxemburg (1992:23) sastra dapat dipandang
sebagai suatu gejala sosial, sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu
langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat pada zaman itu. Sastra
pun dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisis sistem masyarakat. Sastra
juga mencerminkan kenyataan dalam masyarakat dan merupakan sarana untuk
memahaminya.
Sastra dan kaitannya dengan bidang studi lain dapat dengan mudah
ditemukan, misalnya, sosiologi, psikologi, politik, sejarah dan lain-lain.
Salah satu kajian sastra dan sejarah dapat ditemukan pada sebuah karya
sastra dengan latar belakang sejarah. Karya sastra dengan latar belakang sejarah
dapat dijadikan sebagai rujukan atau bahan data untuk mengetahui peristiwa
sejarah.
Dalam menyampaikan karyanya seorang sastrawan biasanya menggunakan
daya khayal. Dengan itu pembaca dapat membayangkan peristiwa-peristiwa yang
terjadi dalam karya tersebut. Daya khayal yang terkandung akan memberi
memberi respon terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sebuah
karya sastra. Tidak ubahnya dengan karya sastra yang dihasilkan dari sejarah.
Salah satu unsur karya sastra yang berperan penting dalam karya sastra
dengan latar belakang sejarah adalah latar.Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro
(1995:216) latar yang disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu: waktu, tempat, dan
sosial. Ketiga unsur itu masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda
dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan
saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting
untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu
seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Pembaca dengan demikian merasa
dipermudah untuk menggunakan daya imajinasinya, di samping itu dimungkinkan
untuk berperan secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar.
Harsono dan Setiyono (2008: 9) menginformasikan bahwa Hiroshima karya
John Hersey pertama kali dipublikasikan sebagai artikel di majalah The New
Yorker, 31 Agustus 1946. Artikel tersebut terdiri dari 31.000 kata dan mengisi
semua halaman dalam majalah tersebut dan dalam tahun yang sama, artikel
tersebut dipublikasikan dalam bentuk buku. Dari judulnya jelas bahwa Hiroshima
karya John Hersey berisi tentang pembom-atoman yang terjadi di Hiroshima,
Sejak dianugerahi penghargaan ‘The Best Works of Journalismin the United
States in the 20th Century’Hiroshima karya John Hersey menjadi sebuah
masterpiece di dunia jurnalistik.Menurut Harsono dan Setiyono (2008: 24)
penghargaan tersebut diberikan pada Maret 1999 di Universitas New York setelah
dipilih oleh 37 sejarawan, jurnalis, penulis dan akademisi.
Hiroshima karya John Hersey ditulis berdasarkan wawancara yang
dilakukan kepada seorang juru tulis, seorang dokter pemilik rumah sakit swasta,
seorang penjahit yang telah menjadi janda, seorang pendeta Jerman, seorang
dokter bedah muda, dan seorang pendeta Gereja Metodis Hiroshima.
Melalui keenam orang ini John Hersey menyampaikan cerita mereka kepada
pembaca dengan merekonstruksi peristiwa pemboman di Hiroshima.
Rothman (Januari 1997) mengatakan bahwa John Hersey belajar di
Universitas Yale dan Universitas Cambridge. Dia bekerja selama beberapa tahun
sebagai seorang jurnalis dan pada awal tahun 1947 dia menghabiskan waktunya
khusus menulis fiksi. Dia memenangkan Penghargaan Pulitzer untuk novelnya
yang berjudul A Bell for Adano, selama dua puluh tahun mengajar di Universitas
Yale, merupakan presiden Ikatan Penulis Amerika, dan sebagai duta Akademi
Seni dan Kesusastraan Amerika. John Hersey meninggal pada 1993.
Hiroshima karya John Hersey bukan merupakan laporan peristiwa sejarah
saja, tetapi juga merupakan gabungan sejarah, karya jurnalistik dan sastra. Ditulis
dengan narasi dengan menambahkan nilai historis, estetis, informatif, edukatif dan
moral yang tidak dijumpai pada penulisan sejarah murni.
Dari keterangan di atas, penulis mencoba memaparkan gambaran keadaan
dan pasca peristiwa bom atom di Hiroshima lewat buku Hiroshima karya John
Hersey. Berdasarkan alasan tersebut, penulis akan membahasnya dalam proposal
yang berjudul “Analisis Latar Cerita Hiroshima karya John Hersey”.
1.2 Perumusan Masalah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring istilah sejarah berarti
asal-usul (keturunan) silsilah; kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada
masa lampau; riwayat; tambo: cerita --; pengetahuan atau uraian tentang peristiwa
dan kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau.
Menilik pada makna di atas dapat ditegaskan bahwa pengertian sejarah
menyangkut dengan waktu dan peristiwa. Oleh karena itu masalah waktu penting
dalam memahami satu peristiwa, maka para sejarawan cenderung mengatasi
masalah ini dengan membuat periodisasi.
Peristiwa pemboman Hiroshima sebagai salah satu peristiwa sejarah dunia
pada masa Perang Dunia II telah menimbulkan efek begitu dahsyatnya terhadap
kondisi tempat dan sosial korban.
John Hersey mulai merangkai dan membangun kembali peristiwa tersebut
lewat enam orang tokoh utama. Ia memilih mereka dari berbagai latar belakang
yang berbeda agar lebih memahami kondisi saat itu. Lewat wawancara yang
dilakukan dihasilkan Hiroshima sebagai karya sastra nonfiksi yang ditulis dengan
gaya narasi.
Kondisi tokoh dan tempat saat itu semua ia tuliskan dengan detail, diksi
yang menarik dan alur yang mengalir dengan baik tanpa mencampurinya dengan
Berdasarkan uraian di atas penulis merumuskan masalahnya sebagai
berikut:
1. Bagaimana latar sebelum dan saat peristiwa pemboman di Hiroshima?
2. Bagaimana latar pasca peristiwa pemboman di Hiroshima?
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Dari permasalahan yang telah dikemukakan di atas, penulis menganggap
diperlukan adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan penelitian ini.
Hal ini dilakukan sebagai upaya agar masalah tidak terlalu luas dan berkembang
jauh dari topik penelitian, sehingga penulisan dapat lebih terarah dan terfokus.
Batas ruang lingkup pembahasan adalah membahas mengenai unsur latar
Hiroshima. Unsur latar dibagi menjadi tiga bagian yakni, latar tempat, latar waktu
dan latar lingkungansosial.
Data dalam penelitian ini menggunakan buku Hiroshima oleh John Hersey
terjemahan bahasa Indonesia oleh Gatot Triwira cetakan pertama, Mei 2008 oleh
penerbit Komunitas Bambu.
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka
Sastra pada hakikatnya adalah citra kehidupan, gambaran kehidupan. Citra
kehidupan (image of life) dapat dipahami sebagai penggambaran secara konkret
faktual sehingga mudah diimajinasikan sewaktu dibaca (Saxby dalam
Nurgiyantoro, 1995:4).
Dalam karya yang lebih luas, struktur tidak hanya hadir melalui kata dan
tata bahasa, melainkan dapat dikaji berdasarkan unsur-unsur pembentuknya
seperti tema, plot, karakter, latar, point of view (Fananie, 2000:116).
Dalam karya sastra, latar merupakan satu elemen pembentuk cerita yang
sangat penting, karena elemen tersebut akan dapat menentukan situasi umum
sebuah karya (Abrams dalam Fananie, 2000:97). Latar pada hakikatnya tidaklah
hanya sekedar menyatakan di mana, kapan dan bagaimana situasi peristiwa
berlangsung, melainkan berkaitan juga dengan gambaran tradisi, karakter,
perilaku sosial, dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis (Fananie,
2000:98).
Menurut Lukens dalam Nurgiyantoro (1995:248) pada sebuah karya sastra,
latar dapat terjadi di mana saja termasuk di dalam benak tokoh, sehingga tidak
terlalu banyak membutuhkan deskripsi tentang latar.
Kajian tentang latar termasuk dalam unsur intrinsik sebuah karya sastra.
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri.
Latar harus mampu membentuk tema dan plot tertentu yang dalam
dimensinya terkait dengan tempat, waktu, daerah dan orang-orang tertentu dengan
watak-watak tertentu akibat situasi lingkungan atau zamannya, cara hidup dan
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu
dan sosial-budaya. Ketiga unsur itu walaupun masing-masing menawarkan
permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada
kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang
lainnya.
Di samping itu, latar juga dapat dilihat dari sisi fungsi yang lain, yang lebih
menyaran pada fungsi latar sebagai pembangkit tanggapan atau suasana tertentu
dalam cerita.
Fungsi latar yang dimaksud adalah :
a. Latar sebagai Metaforik
Penggunaan istilah metafora menyaran pada suatu pembandingan yang
mungkin berupa sifat keadaan, suasana, ataupun sesuatu yang lain. Secara prinsip
metafora merupakan cara memandang (menerima) sesuatu melalui sesuatu yang
lain. Fungsi pertama metafora adalah menyampaikan pengertian, pemahaman
(Lakoff dan Johnson dalam Nurgiyantoro, 1995:241).
b. Latar sebagai Atmosfer
Istilah atmosfer mengingatkan kita pada lapisan udara tempat kehidupan
dunia berlangsung. Manusia hidup karena menghirup udara atmosfer.
Atmosfer dalam cerita merupakan “udara yang dihirup pembaca sewaktu
memasuki dunia rekaan”. Ia berupa deskripsi kondisi latar yang mampu
menciptakan suasana tertentu, misalnya suasana ceria, romantis, sedih, muram,
cerita adalah emosi yang dominan yang merasukinya, yang berfungsi mendukung
elemen-elemen cerita yang lain untuk memperoleh efek yang mempersatukan
(Alterberd dan Lewis dalam Nurgiyantoro, 1995:245).
1.4.2 Kerangka Teori
Dalam penelitian sastra, dibutuhkan titik tolak untuk menganalisis setiap
masalahnya. Pada penambahannya, sebuah karya sastra merupakan suatu
penafsiran atau pemikiran tentang kehidupan. Pengarang sebuah karya sastra
memiliki tujuan tersendiri dalam menuliskan karyanya. Banyak pesan-pesan yang
ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya yang dirangkum dalam hasil
karyanya (Fikri, 2010:8)
Seperti halnya sebuah karya sastra yang diangkat dari peristiwa sejarah,
pengarang ingin menyampaikan gambaran suatu gerak atau adegan kehidupan
yang nyata dalam suatu alur atau keadaan. Sastrawan juga ingin mengungkapkan
kebudayaan dan masyarakat yang tercermin dalam karyanya.
Umar Junus dalam Fikri (2010:67) memberi pengertian karya sastra sebagai
refleksi realitas, yaitu tidak sekedar melaporkan realitas itu sendiri, namun
melaporkan realitas yang telah menjadi pemikiran pengarangnya. Dengan
demikian, realitas hadir untuk kepentingan pemikiran itu sendiri. Di dalamnya
termasuk juga realitas filsafat, psikologi dan sosial.
Karya sastra nonfiksi mencoba mengangkat fakta atau peristiwa-peristiwa
faktual yang dikemas dengan gaya sastrawi sehingga lebih menarik dan
memudahkan pembaca dalam memahami karya tersebut. Sastra nonfiksi yang
Namun dengan diksi yang tepat di dalam narasi sejarah dapat dinikmati tanpa
meninggalkan fakta-fakta yang ada.
Sebuah karya sastra dapat dipahami apabila mengikutsertakan kondisi
lingkungan, kebudayaan dan peradaban yang telah menghasilkannya. Setiap karya
sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural.
Dalam hal ini, analisis latar menjadi penting sebagai salah satu usaha memahami
pemikiran pengarangnya sesuai dengan situasi zamannya.
Latar menjadi salah satu unsur penting dalam menganalisis sebuah karya
sastra berlatar belakang sejarah. Menurut Kusmayadi (2008:61) latar adalah
tempat, waktu, dan keadaan sosial yang melatari dan mewadahi berbagai peristiwa
dalam cerita. Penulis menggunakan teori Sogang University dan Lukens untuk
menganalisis latar yang terdapat dalam buku Hiroshima. Dalam mengidentifikasi
latar,Sogang University menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang dapat
membantu menentukan latar dalam sebuah karya sastra.
Selain itu penulis juga menggunakan pendekatan semiotik. Semiotik
digunakan untuk memberikan makna kepada tanda-tanda sesudah suatu penelitian
struktural. Semiotik hanya dapat dilaksanakan melalui penelitian strukturalisme
yang memungkinkan kita menemukan tanda-tanda yang dapat memberi makna
(Junus, 1988:98).
Semiotik berasal dari kata Yunani: semeion yang berarti tanda.Semiotik
adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut
dianggap mewakili sesuatu objek secara representatif. Istilah semiotik sering
digunakan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama, merujuk pada
Secara umum, semiotik didefenisikan sebagai berikut. “Semiotik biasanya
didefenisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi
tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk
mengkomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal
serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa
diterima oleh seluruh indra yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut
membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau
pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia”.
Tanda (sign) adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh
panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk atau mereprensentasi
hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda terbagi menjadi tiga yaitu simbol,ikon,
dan indeks. Simbol adalah tanda yang muncul dari kesepakatan atau
konvensi-konvensi bahasa. Ikon adalah tanda-tanda yang muncul dari perwakilan fisik.
Indeks adalah tanda yang muncul dari hubungan sebab akibat.
Dalam lingkungan sastra, karya sastra dengan keutuhannya secara semiotik
dapat dipandang sebagai sebuah tanda. Karya sastra akan dibahas sebagai
tanda-tanda. Tanda-tanda tersebut telah ditata oleh pengarang sehingga ada sistem,
konvensi, dan aturan-aturan tertentu.
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui latar sebelum dan saat peristiwa pemboman di
Hiroshima.
b. Untuk mengetahui latar pasca peristiwa pemboman di Hiroshima.
1.5.2 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
a. Bagi penulis sendiri, diharapkan dapat menambah wawasan mengenai
sejarah Jepang khususnya pada peristiwa bom atom
Hiroshima-Nagasaki pada Perang Dunia II.
b. Bagi pembaca dan pelajar-pelajar bahasa Jepang pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya diharapkan semoga penelitian ini bisa
sebagai bahan referensi dan menambah informasi tentang sejarah
Jepang.
c. Untuk pembaca penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
perbandingan dengan penelitian-penelitian lain yang telah ada
sebelumnya.
1.6 Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian, sangat diperlukan metode-metode untuk
menunjang keberhasilan tulisan yang akan disampaikan penulis kepada para
pembaca. Metode penelitian adalah cara pengumpulan data, penyusunan data
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan metode penelitian
deskriptif. Menurut Nazir (1988: 54), metode penelitian deskriptif adalah suatu
metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, kondisi, sistem
pemikiran maupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Metode deskriptif
juga termasuk sebagai metode dalam penelitian kualitatif.
Menurut Moleong (1994: 6), metode penelitian kualitatif adalah merupakan
penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan
fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode
yang ada. Penelitian kualitatif ini bukanlah penelitian kuantitatifikasi yang
berdasarkan angka-angka, tapi menggunakan kedalaman penghayatan terhadap
interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara empiris.
Untuk mendukung deskripsi dan analisis latar pada buku Hiroshima karya
John Hersey ini, penulis juga menggunakan metode studi kepustakaan untuk
mengumpulkan data-data pendukung. Yaitu dengan cara mengumpulkan data dari
berbagai macam literatur buku yang berhubungan dengan masalah penelitian dan
menghimpun data yang bersumber dari internet seperti Google dan blog-blog
yang membahas mengenai permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini.
Kemudian semua data tersebut dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan dan