BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Nugroho (2008), penelitiannya berjudul Pengaruh Kemampuan Intelektual
dan Kemampuan Emosional terhadap Kinerja Auditor melalui Kepuasan Kerja
sebagai Variabel intervening. Penelitian ini mengunakan sampel 76 orang dengan
menggunakan metode analisi jalur (path analysis) regresi berganda, menunjukan bahwa kamampuan intelektual dan kemampuan emosional berpengaruh signifikan
terhadap kepuasan kerja.
Yunanda (2008), penelitiannya yang berjudul Pengaruh Lingkungan Kerja
terhadap Kepuasan Kerja dan kinerja karyawan Perum Jasa Tirta I Malang, dengan
jumlah sampel 50 orang menggunkan metode analisi jalur (path analysis) regresi berganda. Hasil penelitian menunjukan bahwa Lingkungan kerja berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja.
Setiawan et. al (2010), penelitianya yang berjudul Pengaruh Karakteristik Individu dan Faktor-Faktor Pekerjaan Terhadap Motivasi (Studi Pada Karyawan
CV. Bintang Timur Semarang), dengan menggunakan analisis jalur regresi linier
berganda dengan jumlah sampel 50 orang didapat bahwa, karakteristik individu
dengan indicator, kebutuhan individual, kemampuan dan kompentensi, pengetahuan
tentang pekerjaan dan emosi, suasana hati, perasaan keyakinan dan nilai-nilai. Hasil
penelitian menunjukan kemampuan dan kompetensi berpengaruh signifikan
antara lain: lingkungan fisik dan non fisik hasil penelitian menunjukan lingkungan
fisik dan non fisik berpengaruh signifikan terhadap motivasi.
Badjuri (2009), Pengaruh Komitmen Organisasional dan Profesional
Terhadap Kepuasan Kerja Auditor dengan Motivasi sebagai Variable Intervening,
dengan 105 sampel menggunakan metode path analysis regresi berganda didapat bahwa terdapat pengaruh langsung yang signifikan motivasi sebagai intervening
terhadap kepuasan kerja, pengaruh tidak langsung motivasi sebagai variable
intervening terhadap kepuasan positif dan signifikan, namun pengaruh langsung
komitmen organisasional terhadap kepuasan lebih besar dari pada pengaruh tidak
langsung komitmen organisasional terhadap kepuasan kerja melalui motivasi.
Dapat disimpulkan bahwa pengaruh langsung komitmen organisasional terhadap
kepuasan adalah pengaruh sebenarnya.
Aprilia (2009) judul penelitan Analisis Kompensasi dan Motivasi sebagai
Variabel Intervening Dalam Pengaruhnya Terhadap Kepuasan kerja Pada PT Argo
Pantes, Tbk. Dengan sampel penelitian sejumlah 70 orang, Metode analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji validitas, uji reliabilitas, analisis
nilai rata-rata, dan analisis jalur (path analysis). Hasil analisis jalur menunjukkan
bahwa kompensasi dapat berpengaruh secara langsung terhadap kepuasan kerja dan
dapat juga berpengaruh tidak langsung yaitu dari kompensasi ke motivasi (sebagai
variabel intervening) lalu ke kepuasan kerja, namun koefisien pengaruh langsung
lebih besar daripada koefisien pengaruh tidak langsung jadi pengaruh yang
sebenarnya antara pengaruh dari kompensasi terhadap kepuasan kerja adalah
Firman et al (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Karakteristik Individu Terhadap Prestasi Kerja Staf Perusahaan Konstruksi dengan
metode SEM, responden sebanyak 127 orang (staf perusahaan konstruksi) dengan
variabel-variabel berupa karakteristik individu, kemampuan individu, motivasi,
kepuasan kerja, prestasi kerja, didapatkan hasil bahwa karakteristik individu tidak
berpengaruh secara langsung terhadap prestasi kerja staf. Karakteristik individu ini
memberikan pengaruhnya terhadap prestasi kerja melalui peningkatan kemampuan
individu serta pemberian motivasi kerja yang kemudian menuju pada kepuasan
kerja staf perusahaan konstruksi.
Hunjra et al. (2010) dalam studinya yang berjudul Factors Effecting Job Satisfaction Of Employees In Pakistani Banking Sector, dengan responden sebanyak 450 orang yang bekerja pada industri perbankan di
Rawalpindi-Islamabad-Lahore, melalui statistic regresi, korelasi dan uji T, diperoleh hasil
bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara lingkungan kerja dan
kepuasan kerja, job autonomy dan perilaku kepemimpinan.
Ahmed et al. (2010) melakukan studi yang berjudul Effects of Motivational Factors on Employees Job Satisfaction a Case Study of University of the Punjab, Pakistan, dengan jumlah responden sebanyak 400 orang
staf non-akademik serta
menggunakan peralatan statistik berupa Structural Equation Modelling atau SEM (Factor analysis, path analysis dan regressi), dapat dijelaskan hasilnya bahwa
perilaku karyawan yang didasarkan dari motivasi yang bersangkutan dalam bekerja,
2.2 Landasan Teoritis 2.2.1 Kemampuan Individu
Kemampuan secara umum dapat diartikan sebagai kompetensi. Kemampuan akan mendasari kemampuan kerja di perusahaan yang akhirnya kemampuan tersebut akan menentukan baik buruknya kinerja seseorang, juga akan berkaitan dengan puas tidaknya seseorang akan pekerjaannya. Robbins (2006) menjabarkan mengenai kemampuan individu Kemampuan (ability) adalah kapasitas individu untuk melaksanakan berbagai tugas dalam pekerjaan tertentu. Sedangkan Gibson
(2002), mendefinisikan kemampuan sebagai potensi yang dimiliki oleh seseorang
untuk melakukan pekerjaan maupun tugas-tugas sehingga hasil yang dicapai sesuai
dengan yang diharapkan. Jadi, hasil suatu pekerjaan akan ditentukan oleh
kemampuan yang dimiliki seorang pegawai.Robbins (2006), kemampuan
keseluruhan seseorang pada hakikatnya tersusun dari dua faktor yaitu antara lain :
kemampuan intelektual (IQ) dan kemampuan fisik.
2.2.1.1 Kemampuan Intelektual (IQ)
Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang dibutuhkan untuk
menjalankan kegiatan mental. Tes IQ misalnya, dirancang untuk memastikan
kemampuan intelektual umum seseorang. Pekerjaan membebankan
tuntutan-tuntutan berbeda kepada pelaku untuk menggunakan kemampuan intelektual. Pada
dasawarsa terakhir ini, makna intelgensia berkembang dan dipahami menjadi lebih
baik ketika diuraikan menjadi empat sub bagian; kognitif, social, emosi dan budaya.
pembahasan kemampuan intelektual. Menurut Robbins (2006) ada 7 dimensi yang
membentuk kemampuan intelektual :
1. Kecerdasan numeric adalah kemempuan berhitung dengan cepat dan tepat
2. Pemahaman verbal yaitu kemampuan memahami apa yang dibaca atau didengar
3. Kecepatan perceptual yaitu kemampuan mengenal kemiripan dan perbedaan
visual dengan cepat dan tepat
4. Penalaran induktif kemampuan mengenal suatu urutan logis dalam satu masalah
dan pemecahaanya
5. Penalaran deduktif yaitu kemampuan menggunakan logika dan menilai
implikasi dari suatu argumen
6. Visualisasi ruang yaitu kemampuan membayangkan bagaimana suatu obyek
akan tampak seandainya posisi dalam ruang diubah
7. Ingatan adalah berupa kemampuan menahan dan mengenang pengalaman masa
lalu.
2.2.1.2 Kemampuan Fisik
Kemampuan fisik adalah kemampuan menjalankan tugas yang menuntut
stamina, keterampilan, kekuatan, dan karakteristik-karakteristik serupa. Setiap
individu mempunyai kemampuan yang berbeda. Individu yang sehat dan kuat
berpeluang menyelesaikan tugas dan kewajiban dengan baik. Terdapat sembilan
kemampuan fisik dasar (Robbins, 2006) yaitu terdiri dari: faktor-faktor kekuatan
(dinamik, otot bawah, statis dan eksposif), faktor-faktor fleksibilitas (jangkauan dan
2.2.1.3Kemamapuan Emosional (EQ)
Kemampuan tidak hanya meliputi kemampun intelektual (IQ) namun juga meliputi kemampuan I kecerdasan emosional. Robbins (2006), menyatakan bahwa bukti-bukti terbaru mengungkap bahwa inteligensia dapat dipahami secara lebih baik dengan mengurai menjadi : kognitif,social, emosi dan budaya. Lebih lanjut Robbins (2006) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, dan mengelola emosi.
Kemampuan emosi atau emotional intelligence (EQ) menunjukkan potensi untuk mempelajari keterampilan-keterampilan praktis yang didasarkan pada lima unsurnya: kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain. Kemampuan emosi menunjukkan berapa banyak potensi itu telah diterjemahkan ke dalam kemampuan di tempat kerja (Goleman 2006).
Cooper dan Sawaf (2003) berpendapat bahwa kecerdasan emosional adalah
kemampuan untuk mengetahui yang orang lain rasakan, termasuk cara yang tepat
untuk menangani masalah. Orang lain yang dimaksudkan disini meliputi atasan,
rekan kerja, bawahan dan juga pelanggan. Covey (2005) mengartikan kecerdasan
emosional sebagai kemampuan seseorang untuk memantau perasaan dan emosi, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Selanjutnya Covey menyebutkan ada lima komponen utama kecerdasan emosional yang telah umum diterima yaitu:
2. Motivasi pribadi, yakni yang berkaitan dengan apa yang menjadi pemicu semangat seseorang, visi, nilai-nilai, tujuan, harapan, hasrat, dan gairah yang menjadi prioritas-prioritas mereka.
3. Pengaturan diri atau kemampuan untuk mengelola diri sendiri agar mampu mencapai visi dan nilai-nilai pribadi.
4. Empati, kemampuan untuk memahami cara orang lain melihat dan merasakan berbagai hal.
5. Kemampuan sosial dan komunikasi, yakni yang berkaitan dengan bagaimana cara mengatasi perbedaan, memecahkan masalah, menghasilkan solusi-solusi kreatif, dan berinteraksi secara optimal untuk mengejar tujuan-tujuan bersama.
Goleman (2006) menyatakan terdapat lima dimensi atau komponen
kecerdasan emosional (EQ) yang keseluruhannya diturunkan menjadi dua puluh lima kompetensi. Kelima dimensi atau komponen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pengenalan diri (Self awareness), artinya mengetahui keadaan dalam diri, hal yang lebih disukai, dan intuisi. Kompetensi dalam dimensi pertama adalah
mengenali emosi sendiri, mengetahui kekuatan dan keterbatasan diri, dan
keyakinan akan kemampuan sendiri.
2. Pengendalian diri (self regulation), artinya mengelola keadaan dalam diri dan sumber daya diri sendiri. Kompetensi dimensi kedua ini adalah menahan emosi
dan dorongan negatif, menjaga norma kejujuran dan integritas, bertanggung
jawab atas kinerja pribadi, luwes terhadap perubahan, dan terbuka terhadap
ide-ide serta informasi baru.
menjadi lebih baik, menyesuaikan dengan sasaran kelompok atau organisasi,
kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan, dan kegigihan dalam
memperjuangkan kegagalan dan hambatan.
4. Empati (empathy), yaitu kesadaran akan perasaan, kepentingan, dan keprihatinan orang. Dimensi keempat terdiri dari kompetensi understanding others, developing others, customer service, menciptakan kesempatan-kesempatan melalui pergaulan dengan berbagai macam orang, membaca
hubungan antara keadaan emosi dan kekuatan hubungan suatu kelompok.
5. Keterampilan sosial (social skills), artinya kemahiran dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki oleh orang lain. Diantaranya adalah kemampuan
persuasi, mendengar dengan terbuka dan memberi pesan yang jelas,
kemampuan menyelesaikan pendapat, semangat leadership, kolaborasi dan kooperasi, serta team building.
EQ berorientasi kepada kecerdasan mengelola emosi manusia. Di dalamnya
terdapat unsur kemampuan akan kepercayaan diri sendiri, ketabahan, ketekunan
dan menjalin hubungan sosial. Jika pekerja memiliki kecerdasan rata-rata,
sebenarnya ia dapat meraih prestasi kerja yang tinggi jika adanya kepercayaan
terhadap diri sendiri, tidak terlalu tergantung kepada orang lain. Ketabahan
menghadapi beban kerja, ketekunan dalam bekerja, melakukan kontak-kontak
sosial dalam kerja, akan merubah posisi seorang yang semula berprestasi rata-rata
2.2.2 Lingkungan Kerja
Prestasi kerja dan kepuasan kerja Faktor lain yang berpengaruh terhadap
kepuasan kerja adalah lingkungan kerja. Menurut Rivai (2005) lingkungan kerja
merupakan elemen-elemen organisasi sebagai sistem sosial yang mempunyai
pengaruh kuat di dalam pembentukan perilaku individu pada organisasi dan
berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan prestasi organisasi . Lingkungan kerja
meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial budaya. Lingkungan fisik seperti
kebisingan, tata ruang dan peralatan. Sedangkan yang mencakup lingkungan sosial
budaya meliputi status, sistem administrasi, hubungan sosial, kebijakan dan
kepemimpinan.
Nitisemito (2001) menjelaskan pengertian lingkungan kerja adalah segala
sesuatu yang berada di sekitar pekerja yang dapat mempengaruhi individu dalam
menjalankan tugas-tugas yang dibebankan. Lebih lanjut bahwa keberadaannya
dalam lingkungan kerja terkait perwarnaan, kebersihaan, pertukaran udara,
penerangan, music, keamanan dan kebisingan. Bangunan tempat melakukan
aktivitas bagi karyawan dalam hal ini juga merupakan variabel yang mempunyai
pengaruh terhadap kinerja karyawan. Bangunan tempat usaha dapat dikategorikan
sebagai lingkungan kerja karyawan secara fisik dengan mengingat bahwa setiap
hari kerja karyawan yang bersangkutan memang berada dalam lingkup bangunan
tempat bekerja.
Triguno (2003) mendefinisikan lingkungan kerja adalah sarana dan
prasaranan yang ada di tempat karyawan bekerja dan dapat mempengaruhi motivasi
diutarakan oleh Siagian (2004), bahwa lingkungan kerja memerlukan adanya sarana
dan prasarana kerja yang memadai sesuai dengan sifat tugas yang harus
diselesaikan merupakan kondisi kerja yang kondusif. Faktor lain di dalam
lingkungan kerja dalam perusahaan yang juga tidak boleh diabaikan adalah
hubungan karyawan di dalam perusahaan yang bersangkutan tersebut. Hubungan
karyawan ini juga ikut menentukan tingkat produktivitas kerja dari para karyawan
(Ahyari, 2000)
Lingkungan yang sehat merupakan lingkungan yang harus memenuhi
beberapa unsur lingkungan sehat sebagaimana dikemukakan oleh Budiharjo (2002)
antara lain; kebersihan, kerapian, kesehatan dan keamanan. Kebersihan merupakan
salah satu unsur lingkungan yang sehat dengan alasan bahwa lingkungan yang
bersih merupakan suatu lingkungan yang terbebas dari berbagai hal yang dapat
menyebabkan terjangkitnya suatu penyakit. Kerapian merupakan salah satu unsur
lingkungan yang sehat dengan alasan bahwa kerapian menyangkut kondisi yang
dapat diindera dengan indera penglihatan, sedang indera penglihatan memang
terkait erat dengan kerja otak sehingga secara otomatis juga mempunyai pengaruh
yang berarti terhadap kejadian stress kerja karyawan. Demikian halnya dengan
kesehatan, untuk mampu memberikan unsur-unsur kesehatan dalam suatu
lingkungan yang dimaksud harus memperhatikan beberapa unsur yang mampu
mencerminkan kesehatan itu sendiri. Keamanan juga mempunyai kaitan yang erat
dengan lingkungan yang sehat dengan pemahaman bahwa lingkungan yang aman
2.2.2.1 Lingkungan Kerja Fisik
Lingkungan kerja, menurut Wursanto (2009) dibedakan menjadi dua
macam, yaitu kondisi lingkungan kerja yang menyangkut segi fisik, dan kondisi
lingkungan kerja yang menyangkut segi psikis”. Kondisi lingkungan kerja yang
menyangkut segi fisik adalah segala sesuatu yang menyangkut segi fisik dari
lingkungan kerja. Sedangkan lingkungan kerja non fisik merupakan lingkungan
kerja yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera, seperti warna, bau, suara,
dan rasa.
Menurut Sedarmayanti (2007), lingkungan kerja fisik adalah semua yang
terdapat disekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi pegawai baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pendapat serupa juga diutarakan oleh
Sudarmanto (2009), bahwa lingkungan kerja fisik adalah tempat kerja pegawai
melakukan aktifitasnya. Menurut Sedarmayanti (2007), lingkungan kerja fisik dapat
dibagi 2 (dua) katagori, yakni:
1. Lingkungan yang langsung berhubungan dengan karyawan (seperti: pusat
kerja, kursi, meja dan sebagainya).
2. Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut lingkungan
kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya: temperatur,
kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, geteran mekanis, bau
tidak sedap, warna dan lain-lain.
Melalui uraian definisi, maka ruang lingkup lingkungan kerja fisik meliputi
fasilitas parkir di luar gedung perusahaan, lokasi dan rancangan gedung sampai
kerja. Hal yang sama diutarakan oleh Nitisemito (2001), bahwa indikator
lingkungan kerja meliputi :
1. Pewarnaan, masalah pewarnaan ini bukan hanya dinding saja tetapi sangat
luas sehingga dapat juga pewarnaan mesin, peralatan, bahkan seragam yang
dipakai perlu mendapat perhatian.
2. Kebersihan, secara umum tempat kerja yang bersih akan menimbulkan rasa
senang dan akan mempengaruhi perasaan dan perilaku orang dalam bekerja.
3. Penerangan, bukanlah terbatas pada penerangan listrik tetapi juga penerangan
matahari. Dalam melaksanakan tugasnya seringkali karyawan membutuhkan
penerangan yang cukup, apalagi jika pekerjaan tersebut membutuhkan
keahlian.
4. Pertukaran udara, yang cukup terutama dalam ruang kerja sangat diperlukan
apalagi jika dalam ruangan tersebut penuh dengan karyawan. Pertukaran
udara yang cukup akan menyebabkan kesegaran fisik dari para karyawan.
Sebaliknya, pertukaran udara yang kurang akan dapat menimbulkan rasa
pengap sehingga terjadi kelelahan dari para karyawan, sehingga motivasi
karyawan untuk menyelesaikan tugas-tugasnya menjadi turun.
5. Musik, berpengaruh terhadap kejiwaan seseorang. Apabila musik yang
didengarkan menyenangkan dan menimbulkan suasana gembira akan
mengurangi kelelahan dalam bekerja. Musik yang diperdengarkan adalah
yang disukai banyak orang pada ruangan kerja dan iramanya cukup.
6. Kebisingan, merupakan gangguan terhadap seseorang dimana kebisingan
pekerjaan tertentu yang memerlukan konsentrasi maka kebisingan merupakan
gangguan yang harus diperhatikan, misalnya suara mesin yang gaduh, suara
kendaraan bermotor, dan sebagainya.
7. Jaminan terhadap keamanan, yang dimaksud adalah keamanan terhadap milik
pribadi karyawan atau perusahaan yang menjadi tanggung jawabnya. Untuk
menjaganya, perusahaan perlu memperkerjakan tenaga khusus untuk hal
tersebut, seperti satpam/penjaga.
Pendapat yang relatif berbeda dan simple, disampaikan oleh Robbins
(2006), bahwa faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja fisik yaitu :
1. Suhu, yaitu suatu variabel dimana terdapat perbedaan individual yang besar.
Dengan demikian untuk memaksimalkan produktivitas, adalah penting bahwa
pegawai bekerja di suatu lingkungan dimana suhu diatur sedemikian rupa
sehingga berada diantara rentang kerja yang dapat diterima setiap individu.
2. Kebisingan, Bukti dari telaah-telaah tentang suara menunjukkan bahwa
suara-suara yang konstan atau dapat diramalkan pada umumnya tidak menyebabkan
penurunan prestasi kerja sebaliknya efek dari suara-suara yang tidak dapat
diramalkan memberikan pengaruh negatif dan mengganggu konsentrasi
pegawai.
3. Penerangan, Bekerja pada ruangan yang gelap dan samara-samar akan
menyebabkan ketegangan pada mata. Intensitas cahaya yang tepat dapat
membantu pegawai dalam mempelancar aktivitas kerjanya. Tingkat yang
prestasi kerja pada tingkat penerangan yang lebih tinggi adalah lebih besar
untuk pegawai yang lebih tua dibanding yang lebih muda.
4. Mutu Udara, merupakan fakta yang tidak bisa diabaikan bahwa jika
menghirup udara yang tercemar membawa efek yang merugikan pada
kesehatan pribadi. Udara yang tercemar dapat menggangu kesehatan pribadi
pegawai. Udara yang tercemar di lingkungan kerja dapat menyebabkan sakit
kepala, mata perih, kelelahan, lekas marah, dan depresi.
Selain pendapat diatas, komponen lingkungan kerja fisik juga diawali dari
ruang kerja yang bersangkutan. Robbins (2006) juga menjelaskan bahwa komponen
rancangan ruang kerja meliputi :
1. Ukuran ruang kerja, ruang kerja sangat mempengaruhi kinerja karyawan.
Ruang kerja yang sempit akan membuat pegawai sulit bergerak untuk
melakukan aktivitasnya. Ruang kerja karyawan pada dasarnya tidak hanya
digunakan untuk karyawan itu sendiri maupun rekan kerja satu ruang, namun
juga akan dimanfaatkan oleh pihak lain yang datang untuk melakukan
kordinasi atau sebagai partner dan mitra kerja. Oleh karena itu, ruang kerja
harus proporsional dengan peran karyawan dalam organisasi atau perusahaan
tersebut. Sebagai contoh, karyawan yang berada pada departemen humas
akan lebih banyak membutuhkan space dibandingkan dengan karyawan yang bekerja sebagai tenaga operator server.
2. Pengaturan ruang kerja, jika ruang kerja merujuk pada besarnya ruangan per
karyawan, maka pengaturan ruang kerja akan berkorelasi antara jarak orang
interaksi social. Dalam berbagai riset, lebih memungkinkan berinteraksi
dengan invidu-individu yang dekat secara fisik. Lokasi ruang kerja pada
dasarnya tiap orang atau departemen akan berbeda. Semakin banyak orang
atau departemen tersebut berinteraksi dengan pihak interen dan eksteren
lainnya, maka sebaiknya ruang kerja orang atau departemen tersebut semakin
dekat dengan para mitranya.
3. Privasi, sebagian merupakan fungsi dari besarnya ruang per orang dan
pengaturan ruang itu. Namun privasi juga dipengaruhi oleh dinding, partisi
dan sekatan-sekatan fisik lainnya. Salah satu trend rancangan ruang kerja
yang paling tersebar luas di tahun-tahun terakhir adalah menghapuskan
setahap demi setahap kantor-kanto yang tertutup dan menggantikannya
dengan rancangan kantor yang memiliki sedikit, kalau ada, dinding atau
pintu. Ruang tertutup akan membatasi interaksi. Namun disisi lain, ruang
privasi sangat dibutuhkan bagi perusahaan yang memperkejakan karyawan
yang menuntut konsentrasi tinggi dan cenderung terpish dari yang lain.
2.2.2.2 Lingkungan Kerja Non Fisik
Faktor lain di dalam lingkungan kerja perusahaan yang juga tidak boleh
diabaikan adalah hubungan karyawan di dalam perusahaan yang bersangkutan
tersebut. Hubungan karyawan ini juga ikut menentukan tingkat produktivitas kerja
dari para karyawan (Ahyari, 2000). Hubungan antara karyawan termasuk kedalam
Sedarmayanti (2007), “Lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan
yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan
maupun hubungan sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan”.
Wursanto (2009) menyebutnya sebagai lingkungan kerja psikis yang didefinisikan
sebagai “sesuatu yang menyangkut segi psikis dari lingkungan kerja”.
Berdasarkan pengertian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa lingkungan
kerja non fisik disebut juga lingkungan kerja psikis, yaitu keadaan di sekitar tempat
kerja yang bersifat non fisik. Lingkungan kerja semacam ini tidak dapat ditangkap
secara langsung dengan pancaindera manusia, namun dapat dirasakan
keberadaannya. Jadi, lingkungan kerja non fisik merupakan lingkungan kerja yang
hanya dapat dirasakan oleh perasaan. As’ad (2001) berpendapat bahwa lingkungan
non fisik merupakan suasana lingkungan kerja yang tercipta dari hubungan antara
karyawan dengan lingkungan fisik pekerjaan yang dihadapi karyawan.
Berdasarkan pendapat dan uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
lingkungan kerja non fisik adalah lingkungan kerja yang tidak dapat ditangkap
dengan panca indera manusia. Akan tetapi, lingkungan kerja non fisik ini dapat
dirasakan oleh para pekerja melalui hubungan-hubungan sesama pekerja maupun
dengan atasan. Lingkungan kerja non fisik merupakan lingkungan kerja yang tidak
dapat terdeteksi oleh panca indera manusia, namun dapat dirasakan. Beberapa
macam lingkungan kerja yang bersifat non fisik menurut Wursanto (2009)
disebutkan yaitu:
1. Perasaan aman pegawai, merupakan rasa aman dari berbagai bahaya yang
menjalankan tugasnya. Bahkan rasa aman tersebut juga melingkupi dari
pemutusan hubungan kerja yang dapat mengancam penghidupan diri dan
keluarganya serta rasa aman dari bentuk intimidasi ataupun tuduhan dari
adanya kecurigaan antar pegawai.
2. Loyalitas pegawai, merupakan sikap pegawai untuk setia terhadap perusahaan
atau organisasi maupun terhadap pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya.
Loyalitas ini terdiri dari dua macam, yaitu loyalitas yang bersifat vertikal dan
horizontal. Loyalitas yang bersifat vertikal yaitu loyalitas antara bawahan
dengan atasan atau sebaliknya antara atasan dengan bawahan. Loyalitas ini
dapat terbentuk dengan berbagai cara, antara lain : melakukan kunjungan atau
silaturahmi ke rumah pegawai oleh pimpinan atau sebaliknya, yang dapat
diwujudkan dalam bentuk kegiatan seperti arisan. Selain itu, keikutsertaan
pimpinan untuk membantu kesulitan pegawai dalam berbagai masalah yang
dihadapi pegawai. Bahkan membela kepentingan pegawai selama masih
dalam koridor hukum yang berlaku, termasuk melindungi bawahan dari
berbagai bentuk ancaman. Sementara itu, loyalitas bawahan dengan atasan
dapat dibentuk dengan kegiatan seperti open house, memberi kesempatan kepada bawahan untuk bersilaturahmi kepada pimpinan, terutama pada
waktu-waktu tertentu seperti hari besar keagamaan seperti lebaran, hari natal
atau lainnya. Loyalitas yang bersifat horisontal merupakan loyalitas antar
bawahan atau antar pimpinan. Loyalitas horisontal ini dapat diwujudkan
dengan kegiatan seperti kunjung mengunjungi sesama pegawai, bertamasya
3. Kepuasan pegawai, merupakan perasaan puas yang muncul dalam diri
pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan. Perasaan puas ini
meliputi kepuasan karena kebutuhan social dan psikologisnya berjalan
dengan baik dan terpenuhi.
Singkatnya, lingkungan kerja non fisik tersebut merupakan lingkungan kerja
yang hanya dapat dirasakan oleh pegawai. Karena itu, lingkungan kerja yang dapat
memberikan perasaan-perasaan aman dan puas dapat mempengaruhi perilaku
pegawai ke arah yang positif sebagaimana yang diharapkan oleh organisasi.
Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Wursanto (2009) bahwa “tugas pimpinan
organisasi adalah menciptakan suasana kerja yang harmonis dengan menciptakan
human relations sebaik-baiknya”. Karena itulah, maka pimpinan menjadi faktor
yang dapat menciptakan lingkungan kerja non fisik dalam lingkup organisasi.
Usaha menciptakan lingkungan kerja non fisik menjadi tanggung jawab
pimpinan yang dapat diciptakan dengan menciptakan human relations yang sebaik-baiknya. Karena itulah maka untuk menciptakan lingkungan kerja non fisik
tersebut, dapat diusahakan dengan menciptakan human relations yang baik. Selain itu, pimpinan juga dapat menyediakan pelayanan kepada pegawai sehingga pegawai
merasa aman dan nyaman di dalam organisasi karena kebutuhan psikologisnya
dapat terpenuhi.
Human Relations dapat diartikan dengan hubungan antar manusia dalam sebuah organisasi, karena pegawai secara individu merupakan manusia. Gibson
(2002) berpendapat dalam arti luas ialah interaksi antara seseorang dengan orang
communication untuk membuat orang lain mengerti dan menaruh simpati”. Selanjutnya Handoko (2001) berpendapat bahwa interpersonal communication adalah interaksi tatap muka antar dua orang atau beberapa orang, di mana pengirim
dapat menyampaikan pesan secara langsung, dan penerima pesan dapat menerima
dan menanggapi secara langsung pula. Jadi human relations adalah merupakan interaksi antara satu anggota atau lebih anggota organisasi, dimana aktivitas
tersebut diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi.
Selain human relation, pemberian dan peningkatan fasilitas pelayanan bagi karyawan yang bersifat suplementer dimaksudkan agar karyawan tenteram dalam
bekerja. Program pelayanan ini merupakan bentuk program pemeliharaan
karyawan. Pemeliharaan merupakan suatu langkah perusahaan dalam
mempertahankan karyawan agar tetap bekerja dengan baik dan produktif, dengan
cara memperhatikan kondisi fisik, mental dan sikap karyawannya, agar tujuan
perusahaan dapat tercapai. Pelayanan karyawan ini merupakan salah satu faktor
untuk pembentukan lingkungan kerja karyawan di dalam perusahaan yang
bersangkutan, terutama lingkungan kerja non fisik. Dengan pelayanan karyawan
(oleh perusahaan) yang baik maka para karyawan akan memperoleh kepuasan
dalam menyelesaikan pekerjaannya.
Hakikat karyawan adalah manusia yang ingin dihargai. Dengan
disediakannya kebutuhan karyawan oleh kantor, karyawan tersebut akan merasa
diperhatikan kepentingannya. Sebagai imbalan dari apa yang diberikan, karyawan
mengakibatkan karyawan akan menjadi manja dan jika kurang akan menimbulkan
rasa tidak puas.
Rivai (2005) berpendapat bahwa pemeliharaan karyawan dilakukan dengan
tujuan baik bagi perusahaan maupun bagi karyawan itu sendiri. Bagi perusahaan,
tujuan pemeliharaan untuk menjaga agar karyawan mampu meningkatkan
produktivitas kerjanya, mendisiplinkan diri, memperkecil tingkat absensi,
menumbuhkan loyalitas, mengurangi konflik dan menciptakan suasana yang
harmonis serta mengefektifkan proses pengadaan karyawan. Sedangkan tujuan bagi
karyawan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan dan keluarganya;
memberikan ketenangan, keamanan, sreta menjaga kesehatan karyawan;
memperbaiki kondisi fisik, mental, dan sikap karyawan.
Pelayanan atau pemeliharaan karyawan yang kurang pada tempatnya akan
mengakibatkan berbagai macam kerugian dari perusahaan yang bersangkutan.
Pelayanan untuk para karyawan perusahaan yang diberikan lebih dari semestinya
oleh perusahaan juga akan mempunyai pengaruh yang negatif terhadap para
karyawan tersebut. Selanjutnya untuk melihat baik buruknya fasilitas pelayanan
karyawan akan dilihat dari pelayanan kantin, pelayanan kesehatan dan pelayanan
kamar mandi/WC. Sedangkan pelayanan secara non fisik yaitu disediakannya
kesempatan untuk menyampaikan pendapat atau ide, maupun kesempatan untuk
mengungkapkan permasalahan yang sedang dihadapi pegawai.
Kajian tentang lingkungan kerja non fisik sebagaimana diuraikan di atas
bertujuan untuk membentuk sikap pegawai. Sikap yang diharapkan tentunya adalah
pencapaian tujuan organisasi. Sehubungan dengan masalah pembentukan sikap,
Wursanto (2009) mengemukakan bahwa unsur penting dalam pembentukan sikap
dan perilaku, yaitu adalah sebagai berikut :
1. Pengawasan yang dilakukan secara kontinyu dengan menggunakan sistem
pengawasan yang ketat.
2. Suasana kerja yang memberikan dorongan/semangat kerja yang tinggi.
3. Sistem pemberian imbalan (gaji maupun insentif lain) yang menarik.
4. Perlakuan dengan baik, manusiawi, tidak disamakan dengan robot atau mesin,
kesempatan untuk mengembangkan karier semaksimal mungkin sesuai
dengan batas kemampuan masing-masing anggota.
5. Ada rasa aman dari para anggota, baik di dalam dinas maupun di luar dinas.
6. Hubungan berlangsung secara serasi, lebih bersifat informal, penuh
kekeluargaan.
7. Para anggota mendapat perlakuan secara adil dan objektif.
Pendapat lain dikemukakan oleh Rivai (2005) bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi lingkungan internal karyawan atau sumber daya manusia meliputi
serikat kerja, sistem informasi, karakter/budaya organisasi, dan konflik-konflik
internal. Pendapat tersebut jika disimak cenderung mengarah ke lingkungan kerja
non fisik. Jadi dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang tersebut merupakan faktor
yang mempengaruhi lingkungan kerja non fisik.
Sehubungan dengan pendapat tersebut diatas, maka untuk dapat mengetahui
lingkungan kerja non fisik dapat dilihat dari pelaksanaan pengawasan, suasana
(serikat kerja), hubungan antar individu (sistem informasi), dan perlakuan adil dan
objektif. Beberapa hal tersebut kemudian digunakan sebagai indikator untuk
mengetahui keadaan lingkungan kerja non fisik.
2.2.3 Motivasi
Pada prinsipnya individu karyawan termotivasi untuk melaksanakan
tugas-tugasnya tergantung dari kuatnya motif yang mempengaruhinya. Karyawan adalah
manusia dan mahluk yang mempunyai kebutuhan dalam (innerneeds) yang banyak sekali. Kebutuhan-kebutuhan ini membangkitkan motif yang mendasari aktivitas
individu. Motivasi mempersoalkan bagaimana cara mengarahkan daya dan potensi
bawahan, agar mau bekerja sama secara produktif berhasil mencapai dan
mewujudkan tujuan yang telah ditentukan.
Pentingnya motivasi karena menyebabkan, menyalurkan, dan mendukung
perilaku manusia, supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang
optimal. Menurut Terry dan Rue dalam Suharto dan Budi Cahyono (2005)
mengatakan bahwa motivasi adalah “…getting a person to exert a high degree of effort…” yang artinya adalah “motivasi membuat seseorang untuk bekerja lebih berprestasi”. Nugroho (2003), menyebutkan bahwa motivasi adalah keadaan dalam
pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan
kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan. Dapat juga diartikan sebagai pemberi daya
penggerak yang menciptakan kegairahan seseorang agar mereka mau bekerjasama,
Menurut Luthans, dkk (dikutip Rivai, 2005), sumber motivasi berasal dari dalam diri (intrinsic). Motivasi muncul karena adanya kebutuhan dari dalam diri seseorang yang harus terpenuhi.
2.2.3.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi
Menurut Robbins (2006) teori motivasi hierarki kebutuhan yang diungkapkan Abraham Maslow mengatakan bahwa didalam diri semua manusia bersemayam lima jenjang kebutuhan yaitu sebagai berikut.
1. Psikologis, antara lain rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian dan
perumahan) dan kebutuhan jasmani lain.
2. Keamanan, antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional
3. Sosial, mencakup kasih sayang, rasa memiliki diterima baik, dan persahabatan
4. Penghargaan, antara lain mencakup factor penghormatan diri seperti harga diri, otonomi dan prestasi, serta factor penghormatan dari luar seperti minsalnya status, pengakuan dan perhatian
5. Aktualisasi diri, dorongan untuk menjadi seseorang/sesuatu sesuai ambisinya yang mencakup pertumbuhan, pencapain potenasi, dan pemenuhan kebutuhan diri.
proses kegiatan pemberian motivasi kerja, sehingga pegawai tersebut
berkemampuan untuk pelaksanaan pekerjaan dengan penuh tanggung jawab.
Tanggung jawab adalah kewajiban bawahan untuk melaksanakan tugas sebaik
mungkin yang diberikan oleh atasan, dan inti dari tanggung jawab adalah kewajiban
(Siagian, 2004). Nampaknya pemberian motivasi oleh pimpinan kepada bawahan
tidaklah begitu sukar, namun dalam praktiknya pemberian motivasi jauh lebih
rumit, menurutnya kerumitan itu disebabkan oleh:
1. Kebutuhan yang tidak sama pada setiap pegawai, dan berubah sepanjang waktu. Disamping itu perbedaan kebutuhan pada setiap taraf sangat mempersulit tindakan motivasi para manajer. Dimana sebagian besar para manajer yang ambisius, dan sangat termotivasi untuk memperoleh kepuasan dan status, sangat sukar untuk memahami bahwa tidak semua pegawai mempunyai kemampuan dan semangat seperti yang dia miliki, sehingga manajer tersebut menerapkan teori coba-coba untuk menggerakkan bawahannya.
2. Feeling dan emotions yaitu perasaan dan emosi. Seseorang manajer tidak
memahami sikap dan kelakuan pegawainya, sehingga tidak ada pengertian terhadap tabiat dari perasaan, keharusan, dan emosi.
Menurut Hook (2006) mengembangkan teori hierarki kebutuhan Maslow menjadi teori dua faktor tentang motivasi. Dua faktor itu dinamakan faktor pemuas ( motivation factor) yang disebut juga dengan disatisfier atau extrinsic motivation. Faktor pemuas
yang disebut juga motivator yang merupakan faktor pendorong untuk berprestasi yang bersumber dari dalam diri seseorang tersebut (kondisi intrisik) antara lain:
3. Tanggung jawab ( responsibility) 4. Peluang untuk maju (advancement)
5. Kepuasan kerja itu sendiri (the work it self)
6. Kemungkinan pengembangan karir (the possibility of growth)
Sedangkan factor pemeliharaan (maintenance factor) disebut juga hygiene
factor merupakan faktor yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan untuk
memelihara keberadaan karyawan sebagai manusia, pemeliharaan ketentraman dan kesehatan. Faktor itu disebut dissatisfier ( sumber ketidakpuasan ) yang merupakan tempat pemenuhan kebutuhan tingkat rendah dikualifikasikan kedalam faktor ekstrinsik, antarlain:
1. Kompensasi
2. Keamanan dan keselamatan kerja 3. Kondisi kerja
4. status
5. Prosedur perusahaan
6. Mutu dari supervise teknis dari hubungan interpersonal diantara teman sejawat, dengan atasan dan dengan bawahan.
Parijuwana (2006), menjelaskan bahwa seorang karyawan yang merasa
keinginan, kebutuhan dan hasratnya terpenuhi (kepuasan), maka karyawan tersebut
baru akan memiliki motivasi untuk bekerja dan motivasi tersebut dapat
menciptakan kegairahan seseorang bekerja sama agar mereka mau bekerja efektif
dan terintegrasi dengan segala daya dan upaya untuk mencapai kepuasan.
Seseorang akan merasa puas dengan apa yang dia kerjakan apabila yang menjadi
2.2.4 Kepuasan Kerja
Menurut Rivai (2005), kepuasan kerja pada dasarnya bersifat individual. Setiap individu mempunyai tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dalam dirinya. Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan dirasakan sesuai dengan keinginan individu, maka makin tinggi kepuasannya terhadap kegiatan tersebut. Dengan kata lain, kepuasan merupakan evaluasi yang menggambarkan seseorang atas perasaan sikapnya senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja. Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Kotler (2002) dimana kepuasan kerja diartikan sebagai perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi/kerjanya terhadap kinerja suatu produk dan harapan-harapannya.
Kepuasan kerja pada dasarnya merujuk pada seberapa besar seorang
pegawai menyukai pekerjaannya. Kepuasan kerja merupakan sikap umum pekerja
tentang pekerjaan yang dilakukannya, karena pada umumnya apabila orang
membahas tentang sikap pegawai, yang dimaksud adalah kepuasaan kerja
(Robbins, 2006). Pekerjaan merupakan bagian yang penting dalam kehidupan
seseorang, sehingga kepusan kerja juga mempengaruhi kehidupan seseorang. Oleh
karena itu kepuasan kerja adalah bagian kepuasaan hidup.
Handoko (2001), mengemukakan bahwa kepuasan kerja penting karena hal
itu dapat menciptakan keadaan positif dalam lingkungan kerja perusahaan. Bagi
mereka, kepuasan kerja dapat menimbulkan peningkatan kebahagian hidup,
sedangkan bagi perusahaan kepuasan kerja dapat meningkatkan produktivitas
Gibson (2002), kepuasan kerja muncul apabila karyawan merasa telah mendapatkan imbalan yang cukup memadai. Kepuasan kerja tergantung pada hasil instrinsik, ekstrinsik, dan persepsi karyawan terhadap pekerjaannya, sehingga kepuasan kerja adalah tingkat dimana seorang karyawan merasa positif atau negatif tentang berbagai segi dari pekerjaan, tempat kerja dan hubungan dengan teman kerja.
Adapun salah satu cara untuk menentukan apakah pekerja puas dengan
pekerjaannya ialah dengan membandingkan pekerjaan mereka dengan beberapa
pekerjaan ideal tertentu (teori kesenjangan). Kepuasan kerja dapat dirumuskan
sebagai respons umum pekerja berupa perilaku yang ditampilkan oleh karyawan
sebagai hasil persepsi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya.
Seorang pekerja yang masuk dan bergabung dalam suatu organisasi atau
perusahaan mempunyai seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat dan pengalaman
masa lalu yang menyatu dan membentuk suatu harapan yang diharapkan dapat
dipenuhi ditempatnya bekerja. Kepuasan kerja akan didapat apabila ada kesesuaian
antara harapan pekerja dengan kenyataan yang ditemui dan didapatkannya dari
tempatnya bekerja.
Kepuasan kerja akan didapat apabila ada kesesuaian antara harapan pekerja
dan kenyataan yang didapatkannya di tempat bekerja. Persepsi pekerja mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kepuasan kerja melibatkan rasa
aman, rasa adil, rasa menikmati, rasa bergairah, status dan kebanggaan. Dalam
persepsi ini juga dilibatkan situasi kerja pekerja yang bersangkkutan yang meliputi
interaksi kerja, kondisi kerja, pengakuan, hubungan dengan atasan, dan kesempatan
kemampuan dan keinginan pekerja dengan kondisi organisasi tempat mereka
bekerja yang meliputi jenis pekerjaan, minat, bakat, penghasilan, dan insentif.
Seorang karyawan yang merasa keinginan, kebutuhan dan hasratnya
terpenuhi (kepuasan), maka karyawan tersebut baru akan memiliki motivasi untuk
bekerja dan motivasi tersebut dapat menciptakan kegairahan seseorang bekerja
sama agar mereka mau bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya dan
upaya untuk mencapai kepuasan. Seseorang akan merasa puas dengan apa yang dia
kerjakan apabila yang menjadi motivasi kerja orang itu terpenuhi.
Sedangkan Robbins (2006) menjabarkan bahwa seorang pekerja yang bahagia adalah seorang pekerja yang produktif. Menurutnya, kepuasan kerja memiliki hubungan yang negatif dengan kemangkiran dan tingkat keluarnya karyawan. Dengan demikian kepuasan kerja karyawan sangat penting bagi organisasi, karena : a) ada bukti yang jelas bahwa karyawan yang tidak puas lebih sering mengabaikan pekerjaannya dan lebih besar kemungkinannya untuk mengundurkan diri b) pekerjaan yang terpuaskan memiliki manfaat kesehatan yang lebih baik dan usia yang lebih panjang c) Kepuasan kerja karyawan dibawa pada kinerja organisasi dan ke dalam kehidupan karyawan di luar pekerjaan.
2.2.4.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja adalah
faktor yang berhubungan dengan pekerjaan. Faktor-faktor tersebut adalah faktor
yang berhubungan dengan kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri, faktor yang
berhubungan dengan teman sekerja, faktor yang berhubungan dengan pengawasan,
faktor yang berhubungan dengan gaji. Faktor-faktor tersebut merupakan item
instrumen Job Describsion Index yang digunakan banyak peneliti dalam mengkaji kepuasan kerja (Jewell dan Siegal dalam Juliandi, 2003).
Luthans (2006) menyatakan lima dimensi kepuasan kerja yaitu :
(1) Pekerjaan Itu Sendiri, dalam hal dimana pekerjaan memberikan tugas yang
menarik, kesempatan untuk belajar dan kesempatan untuk menerima tanggung
jawab.
(2) Gaji, sejumlah upah yang diterima dan tingkat dimana hal ini bisa dipandang
sebagai hal dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain dalam organisasi.
(3) Kesempatan Promosi, kesempatan untuk maju dalam organisasi.
(4) Pengawasan, kemampuan penyelia untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan prilaku.
(5) Rekan Kerja, tingkat dimana rekan kerja pandai secara teknis dan mendukung secara sosial.
Robbins (2006) menyatakan bahwa dimensi-dimensi yang mempengaruhi
kepuasan antaralain:
(1) Pekerjaan itu sendiri, Pekerjaan yang secara mental menantang, orang lebih
menyukai pekerjaan yang memberikan peluang kepada mereka untuk
menggunakan keterampilan dan kemampaun mereka dan menawarkan
keberagaman tugas.
(2) Imabalan yang setimpal, karyawan mengharapkan system pembayaran dan
kebijaksanaan promosi yang mereka anggap adil, tidak bermakna ganda dan
(3) Kondisi kerja yang mendukung, karyawan lebih menyukai kondisi fisik kerja
yang tidak berbahaya atau nyaman.
(4) Mitra kerja yang mendukung, orang lebih sering mengundurkan diri dari satu
pekerjaan lebih dari sekedar masalah uang atau pencapaian yang nyata. Bagi
sebaian besar karyawan, pekerjaan juga memenuhi kebutuhan interkasi social.
2.3 Kerangka Konseptual
Sejalan dengan berbagai kajian teori dan referensi seperti yang disebutkan
sebelumnya, maka penelitian akan memiliki kerangka konseptual atau jalur analisis,
sebagai berikut :
Gomes (2003), menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi
yang sifatnya individual adalah kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, sikap dan
kemampuan-kemampuan individu.
Robbins (2006) menyatakan model motivasi intrinsic Ken Thomas
mengemukakan bahwa empat komponen-komponen yang dapat mempengaruhi
motivasi intrinsic pada diri seseorang yaitu adanya pilihan, kompetensi, penuh arti
dan kemajuan. Lebih lanjut Thomas menyatakan bahwa keempat komponen
motivasi intrinsic ini berhubungan erat dengan kepuasan kerja.
Hasibuan, (2007), mengartikan motivasi adalah pemberian daya penggerak
yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama,
bekerja efektif, dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai
(2006), Borzaga (2006) bahwa motivasi berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja
Robbins (2006) kemampuan individu secara langsung mempengaruhi
kepuasan kerja pegawai melalui kesesuaian kemampuan dengan pekerjaan.
Abraham (2000) menemukan bukti bahwa kemampuan emosional menjelaskan
varians yang signifikan dalam kepuasan kerja dan komitmen organisasi.
Triguno (2003) mendefinisikan lingkungan kerja adalah sarana dan
prasaranan yang ada di tempat karyawan bekerja dan dapat mempengaruhi
karyawan di dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan.
Menurut Frederick Herzberg yang dikutif Robbins (2006), menyebutkan
bahwa “kondisi lingkungan kerja dan hubungan antar pribadi yang merupakan
bagian dari faktor hygiene yang dapat mempengaruhi motivasi. Lebih lanjut
Herzberg menyatakan bahwa faktor hygiene ini mencerminkan lingkungan kerja
yang dapat memberikan kepuasan ”. Hendriansyah (2008) “bahwa lingkungan kerja
dan komunikasi memiliki peranan penting dalam meningkatkan motivasi kerja
karyawan.
Rivai (2005) lingkungan kerja merupakan elemen-elemen organisasi
sebagai sistem sosial yang mempunyai pengaruh kuat di dalam pembentukan
perilaku individu pada organisasi dan berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan
prestasi organisasi .Robbins (2006) lingkungan kerja dan hubungan rekan kerja
merupakan indikator yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan.
Berbagai pengertian yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti
perumusan masalah, tujuan penelitian dan hipotesis penelitian yang digambarkan
menjadi sebuah kerangka konseptual penelitian yaitu :
Gambar 2.2
Kerangka Konseptual Penelitian
2.4 Hipotesis Penelitian
Melalui berbagai uraian diatas, maka hipotesa penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
H1. Terdapat pengaruh yang signifikan kemampuan individu terhadap kepuasan
kerja pegawai Politeknik Negeri Lhokseumawe.
H2. Terdapat pengaruh yang signifikan Lingkungan Kerja terhadap kepuasan kerja
pegawai Politeknik Negeri Lhokseumawe.
H3. Terdapat pengaruh yang signifikan Motivasi terhadap kepuasan kerja pegawai
Politeknik Negeri Lhokseumawe. Kemampuan
Individu (Robbins, 2006,
Goleman,2006)
Motivasi (Robbins, 2006)
Lingkungan Kerja (Robbins, 2006 Nitisemito, 2001)
Kepuasan Kerja (Luthans ,2006,
H4. Terdapat pengaruh yang signifikan kemampuan individu terhadap motivasi
pegawai Politeknik Negeri Lhokseumawe.
H5. Terdapat pengaruh yang signifikan Lingkungan kerja terhadap Motivasi
pegawai Politeknik Negeri Lhokseumawe.
H6. Terdapat pengaruh yang signifikan Kemampuan Individu terhadap Kepuasan
Kerja melalui Motivasi
H7. Terdapat pengaruh yang signifikan Lingkungan Kerja terhadap Kepuasan