TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Kampung
Ayam kampung yang banyak dipelihara sekarang ini secara genetis
diperkirakan berasal dari keturunan ayam hutan merah (Gallus gallus) dan ayam hutan hijau (Gallus varius). Akibat proses budidaya dan pengaruh lingkungan hidup yang berbeda-beda, terbentuklah beragam varietas dan tipe ayam.
Masing-masing memiliki fisik dan sifat genetik yang berbeda. Kelompok Gallus domesticus ini dibedakan menjadi ayam buras (ayam kampung) dan ayam ras (Iswanto,2008).
Ayam buras dengan kata lain ayam bukan ras merupakan jenis ayam yang
banyak dipelihara orang di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Banyak nama
dipakai untuk menyebut ayam itu. Diantaranya ada yang menyebut ayam lokal,
ayam sayur atau ayam kampung (Sarwono 1996).
Taksonomi ayam kampung adalah Filum: Chordata,
SubFilum: Vertebrata, Class: Aves, SubClass: Neornithes, Ordo: Galliformes,
Genus: Gallus, Spesies: Gallus domesticus (Williamson dan Payne, 1993). Dibandingkan dengan ayam ras, ayam kampung juga jauh lebih lincah dan aktif
bergerak. Jika dipelihara secara umbaran, terbiasa hinggap atau istirahat di dahan
pohon yang cukup tinggi. Selain itu, ukuran tubuhnya juga lebih kecil
dibandingkan dengan ayam ras (Sarwono, 1996).
Keistimewaan ayam buras adalah tahan terhadap pengelolaan yang buruk,
tidak peka terhadap kadar amoniak yang tinggi, dapat diberikan pakan kualitas
yang kurang baik serta tidak mudah stress bila mendapat perlakuan yang kasar.
terhadap makanan yang berkualitas sangat minim, sehingga sangat ekonomis bila
cukup diberi pakan murah atau sedang sebagai penghasil daging dan telur
(Murtidjo, 1985).
Ayam kampung mempunyai kelebihan pada daya adaptasi tinggi karena
mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, kondisi lingkungan dan
perubahan iklim serta cuaca setempat. Ayam kampung memiliki bentuk badan
yang kompak dan susunan otot yang baik. Bentuk jari kaki tidak begitu panjang,
tetapi kuat dan ramping, kukunya tajam dan sangat kuat mengais tanah. Ayam
kampung penyebarannya secara merata dari dataran rendah sampai dataran tinggi
(Rasyaf, 1992).
Karakteristik Ayam Kampung
Salah satu ciri ayam kampung adalah sifat genetiknya yang tidak seragam.
Warna bulu, ukuran tubuh dan kemampuan produksinya tidak sama merupakan
cermin dari keragaman genetiknya. Di samping itu badan ayam kampung kecil,
mirip dengan badan ayam ras petelur tipe ringan (Rasyaf, 2001).
Ayam kampung memiliki kelebihan yaitu lebih tahan terhadap cekaman
dan dagingnya disukai terutama untuk olahan tertentu. Daging ayam kampung
memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu 18,1%. Kekurangan ayam kampung
adalah perkembangbiakkannya lambat, pertumbuhan lambat, dan kerangka tubuh
kecil sehingga pertumbuhan daging memerlukan waktu yang lebih lama
(Hardjosworo dan Rukmiasih, 2000).
Kebutuhan Nutrisi Ayam Kampung
Secara umum, kebutuhan gizi untuk ayam paling tinggi selama minggu
cukup mengandung energi, protein, mineral dan vitamin dalam jumlah yang
seimbang. Faktor lainnya adalah perbaikan genetik dan peningkatan manajemen
pemeliharaan ayam kampung harus didukung dengan perbaikan nutrisi pakan
(Setioko dan Iskandar, 2005).
Sampai saat ini standar gizi ransum ayam kampung yang dipakai di
Indonesia didasarkan rekomendasi Scott et al., (1982) dan NRC (1994). Menurut Scott et al., (1982) kebutuhan energi metabolis ayam tipe ringan umur 2-8 minggu antara 2600-3100 kkal/kg dan protein pakan antara 18-21,4% sedangkan menurut
NRC (1994) kebutuhan energi metabolis dan protein masing-masing 2900 kkal/kg
dan 18%. Standar tersebut sebenarnya adalah untuk ayam ras, sedangkan standar
kebutuhan energi dan protein untuk ayam kampong yang dipelihara di daerah
tropis belum ada. Oleh sebab itu kebutuhan energi dan protein untuk ayam
kampung di Indonesia perlu diteliti.
Tabel 1. Kebutuhan gizi ayam Kampung
Minggu 0-12 12-22 22 keatas
Sumber : Murtidjo (1998) dan Nawawi dan Norrohmah (2002)
Konsumsi pakan dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas ransum serta
faktor-faktor lainnya seperti umur, palatabilitas, aktivitas ternak, tingkat produksi
dan pengelolaannya. Konsumsi ternak ayam kampung dapat dilihat dari Tabel 2
Tabel 2. Kebutuhan pakan ayam kampung
Umur (Minggu) Konsumsi (g/ekor/hari) Berat Badan (g)
1 9 45
Sumber : a. Sudaryani dan Santosa (1995) disitasi Murtidjo (1998).
Kebutuhan gizi pada ternak tergantung pada umur, jenis kelamin,
kecepatan pertumbuhan, fase produksi serta keadaan kesehatan ternak
(Anggorodi, 1979).
Sifat khusus unggas adalah mengkonsumsi ransum untuk memperoleh
energi sehingga jumlah makanan yang dimakan tiap harinya berkecenderungan
berhubungan erat dengan kadar energinya. Bila persentase protein yang tetap
terdapat dalam semua ransum, maka ransum yang mempunyai konsentrasi ME
tinggi akan menyediakan protein yang kurang dalam tubuh unggas karena
rendahnya jumlah makanan yang di konsumsi dalam tubuh unggas. Sebaliknya,
bila kadar energi kurang maka unggas akan mengkonsumsi makanan untuk
mendapatkan lebih banyak energi akibatnya kemungkinan akan mengkonsumsi
protein yang berlebihan (Tillman et al., 1991).
Potensi Ampas Sagu Sebagai Pakan Ternak
Indonesia adalah negara yang memiliki areal tanaman sagu
dunia (Deptan, 2004). Sagu merupakan salah satu sumber daya alam nabati di
Indonesia yang mulai akhir tahun 70-an semakin meningkat pemanfaatannya
sebagai akibat dari program pemanfaatan swasembada pangan nasional. Potensi
lestari produk sagu sebesar 5.000.000 ton per tahun, namun yang baru
dimanfaatkan sebesar 200.000 ton per tahun.
Pada pengolahan sagu terdapat limbah atau hasil ikutan yang berupa kulit
batang dan ampas. Ampas yang di hasilkan dari proses ekstraksi ini sekitar 14%
dari total berat basah batang sagu (Flach, 1997). Di sentra-sentra produksi, limbah
ampas sagu pada umumnya belum dimanfaatkan dan ditumpuk begitu saja yang
pada akhirnya akan mencemari lingkungan (Kompiang, 1995).
Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan alternatif
dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah
mempunyai proporsi pemanfaatan yang besar dalam ransum. Bahan pakan
konvensional yang sering digunakan dalam penyusunan ransum sebagian besar
berasal dari limbah dan pencarian bahan pakan yang belum lazim digunakan
(Azwar, 1983).
Ampas sagu merupakan limbah yang didapatkan pada proses pengolahan
tepung sagu, dimana dalam proses tersebut diperoleh tepung dan ampas sagu
dalam perbandingan 1:6 (Rumalatu, 1981). Jumlah limbah yang banyak tersebut,
sampai saat ini belum dimanfaatkan sebagaimana mestinya hanya dibiarkan
menumpuk pada tempat-tempat pengolahan tepung sagu sehingga menyebabkan
pencemaran lingkungan. Walaupun ada ternak yang memanfaatkannya, hanya
langsung mengkonsumsi di tempat penumpukan ampas tanpa dikontrol
(Natamijaya et al., 1988).
Ampas sagu berupa serat-serat yang di peroleh dari hasil pemarutan dan
pemerasan isi batang sagu. Ampas sagu mempunyai prospek yang sangat baik,
jika mendapat perlakuan yang tepat. Alternatif penggunaan ampas sagu sebagai
bahan ransum ternak merupakan hal yang positif walaupun disadari bahwa
penggunaannya sebagai ransum mempunyai kendala antara lain kecernaan dan
kadar nutriennya rendah karena tingginya kadar serat kasar dan rendahnya kadar
protein (Uhi et al., 2007).
Tabel 3. Kandungan zat nutrisi ampas sagu sebelum dan sesudah fermentasi
Zat Nutrisi Fermentasi
Sebelum Sesudah
Protein (%) 3,84 23,08
Lemak (%) 1,48 1.90
Abu (%) 5.40 9.50
Ca (%) 0,32 0,48
P (%) 0,05 0,48
Lemak Kasar (%) 14,51 28,89
Energi (Kkal/kg) 1.352 1.543
Sumber : Haryanto dan Philipus (1992).
Potensi penggunaan ampas sagu sebagai pakan memiliki faktor pembatas
adalah kandungan protein kasarnya rendah dan serat kasarnya tinggi. Agar
menjadi bahan pakan ternak yang kaya akan protein dan vitamin, maka ampas
Bahan Pakan Penyusun Ransum Bungkil Kelapa
Bungkil kelapa diperoleh sebagai hasil ikutan dari ekstraksi minyak dari
daging kelapa kering (kopra). Meskipun kadar serta kualitas proteinnya lebih
inferior dibanding dengan sumber protein nabati lainnya, namun produk ini
tersedia dengan harga relatif murah terutama di daerah tropis (Parakkasi, 1999).
Komposisi nutrisi bungkil kelapa dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Kandungan nutrisi bungkil kelapa
Nutrisi Kandugan
Sumber : a. Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2008) b. NRC (1994)
Tepung Ikan
Tepung ikan merupakan salah satu bahan baku sumber protein hewani
dan mineral yang di butuhkan dalam komposisi makanan ternak. Tepung ikan
adalah produk berkadar air rendah yang diperoleh dari penggilingan ikan.
Kandungan proteinnya relatif tinggi tersusun oleh asam-asam amino esensial yang
kompleks (methionin dan lysin) dan mineral (Ca dan P, serta vitamin B12).
Kandungan nutrisi tepung ikan dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Kandungan nutrisi tepung ikan
Bungkil Kedelai
Bungkil kedelai adalah kedelai yang sudah diambil minyaknya. Bungkil
kedelai merupakan sumber protein yang sangat bagus sebab keseimbangan asam
amino yang terkandung di dalamnya cukup lengkap dan tinggi. Bungkil kedelai
dibuat melalui beberapa tahapan seperti pengambilan lemak, pemanasan dan
penggilingan (Boniran, 1999). Bungkil kedelai yang baik mengandung air tidak
lebih dari 12 % (Hutagalung, 1990). Kandungan nutrisi bungkil kedelai dapat
dilihat pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6. Kandungan nutrisi bungkil kedelai
Nutrisi Kandungan
Kandungan nutrisi tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.
Tabel 7. Kandungan nutrisi tepung jagung
Nutrisi Kandungan
Jagung (Zea mays) adalah bahan pakan yang mempunyai nilai nutrisi tinggi, sehingga banyak dipakai sebagai bahan pakan penguat terutama pada
ternak ruminansia, non ruminansia, maupun pada unggas. Protein pada jagung
para ahli nutrisi ternak menyarankan agar jagung digunakan dengan kisaran
40-45% (Nawawi dan Norrohmah, 2002).
Minyak
Bahan pakan sumber energi lain yang biasa digunakan untuk pakan
adalah minyak goreng. Minyak digunakan dalam ransum hanya sebagai pelengkap
dan penambah untuk mencapai kebutuhan energi baik bagi ternak dan untuk
meningkatkan palatabilitas. Dengan demikian pemakaiannya hanya sedikit yaitu
kurang dari 5 %. Namun beberapa minyak nabati mempunyai kandungan energi
yang cukup tinggi seperti minyak kelapa yang mempunyai EM 8600 kkal/kg dan
lemak yang bisa melebihi 90 %
Mineral
Mineral merupakan salah satu zat nutrisi yang sangat esensial untuk
kehidupan unggas dan organisme akuatik lainnya. Berdasarkan jumlah kebutuhan
dan keberadaan dalam tubuh unggas, mineral berperan sebagai penyusun struktur
skeleton (tulang dan gigi) dan esoskeleton, pemeliharaan tekanan osmotik dan
mengatur perubahan air dan larutan dalam tubuh unggas. Mineral juga berperan
besar dalam menyusun struktur jaringan lunak unggas, transmisi impuls syaraf
dan kontraksi otot. Di sisi lain berperan sangat vital di dalam keseimbangan
asam-basa tubuh, dan mengatur pH darah serta cairan tubuh lainnya. Mineral juga
berperan serta sebagai komponen banyak enzim, vitamin, hormon, pigmen
pernafasan atau sebagai kofaktor dalam metabolisme, katalis dan aktifator enzim.
Walaupun demikian, kebutuhan mineral dari ternak dipengaruhi beberapa faktor
bangsa ternak, proses adaptasi, tingkat konsumsi, umur dan hubungan dengan zat
makanan lain (Parakkasi, 1985).
Fermentasi
Fermentasi adalah segala macam proses metabolis dengan bantuan dari
enzim mikrobia (jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa dan
reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat
organik dengan menghasilkan produk tertentu. Fermentasi merupakan proses
biokimia yang dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat
dari pemecahan kandungan bahan tersebut (Winarno et al., 1980).
Fermentasi dapat juga diartikan penguraian unsur-unsur organik dengan
mokroorganisme dimana bahan yang digunakan dalam keadaan basah (kadar air
60%). Proses fermentasi dapat dikatakan sebagai proses “ protein enrichment” yang berarti proses pengkayaan protein bahan dengan menggunakan
mikroorganisme tertentu (Mayasari, 2012).
Fermentasi makanan adalah kondisi perlakuan dan penyimpanan produk
dalam lingkungan dimana beberapa tipe organisme dapat berkembangbiak. Proses
fermentasi mikroorganisme memperoleh sejumlah energi untuk pertumbuhannya
dengan jalan merombak bahan yang memberikan zat-zat nutrien atau mineral bagi
mikroorganisme seperti hidrat arang, protein, vitamin, dan lain-lain
(Adams and Moss, 1995).
Probiotik Starbio
Probiotik adalah kultur tunggal atau campuran dari mikroorganisme hidup
pertumbuhan bakteri patogen/bakteri jahat yang ada di usus hewan
(Central Unggas, 2009).
Probiotik berbeda dengan antibiotik, probiotik merupakan mikroorganisme
yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan ternak tanpa
mengakibatkan terjadinya proses penyerapan komponen probiotik dala tubuh
ternak, sehingga tidak terdapat residu dan tidak terjadi mutasi pada ternak.
Sementara antibiotik merupakan senyawa kimia murni yang mengalami proses
penyerapan dalam saluran pencernaan (Samadi, 2002).
Probiotik starbio merupakan koloni bakteri alami yang terdiri dari:
1. Mikroba Proteolitik
6 x 109 satuan pembentuk koloni/gram bahan. Jenis yang biasa di
formulasikan: Nitrosomonas / Nitrobacter / Nitrospira / Nitrosococcus /
Nitrosolobus.
2. Mikroba Lignolitik
6 x 109 satuan pembentuk koloni/gram bahan. Jenis yang biasa di
formulasikan: Clavaria dendroidea / Clitocybe alexandri / Hypoloma fasiculare. 3. Mikroba Nitrogen Fiksasi Non Simbiotik
4 x 109 satuan pembentuk koloni/gram bahan. Jenis yang biasa di
formulasikan: Azotobacter spp / Beyerinkya spp / Clostridium pasteurianum /
Nostoc spp / Anabaena spp / Tolypothrix spp / Spirillum lifoperum. 4. Mikroba selulotik
8 x 109 satuan pembentuk koloni/gram bahan. Jenis yang biasa di
formulasikan: Trichoderma polysporeum / Trichoderma viridae /
5. Mikroba Lipolitik
5 x 109 satuan pembentuk koloni/gram bahan. Jenis yang biasa di
formulasikan: Spirillum liporerum. (Lembah Hijau Multifarm, 2009).
Penggunaan starbio pada pakan mengakibatkan bakteri yang ada pada
starbio akan membantu memecahkan struktur jaringan yang sulit terurai sehingga
lebih banyak zat nutrisi yang dapat diserap dan ditransformasikan ke produk
ternak. Selain itu, produktivitas ternak akan meningkat, bahkan lebih banyak zat
nutrisi yang dapat diuraikan dan diserap (Ritonga, 1992).
Sistem Pencernaan Ayam
Sistem pencernaan unggas berbeda dengan sistem pencernaan pada hewan
lainnya. Unggas tidak memiliki gigi sehingga tidak terjadi proses pengunyahan
pakan. Pakan akan melewati esofagus dan langsung menuju tembolok. Pakan di
dalam tembolok akan mendapatkan sekreta mukus yang berfungsi untuk
menghaluskan pakan. Setelah melewati tembolok, pakan menuju lambung
kelenjar (proventrikulus) yang merupakan organ berdinding tebal dan berada di
depan lambung otot (gizzard). Pakan disimpan secara sementara di proventrikulus dan dicampur dengan enzim pepsin dan amilase yang dihasilkan oleh organ
tersebut. Setelah itu, pakan masuk ke lambung otot, yang merupakan organ
tersusun dari otot yang kuat, yang berisi bebatuan atau pasir dan di dalamnya
pakan akan dihancurkan. Pakan kemudian berpindah menuju usus halus, caecum
dan usus besar dan berakhir di kloaka. Sistem pencernaan pada unggas tergolong
cepat karena membutuhkan waktu cerna hanya 2,5 jam pada ayam petelur dan 8,5
Kapasitas tembolok mampu menampung pakan 250 g. Pada tembolok
terdapat saraf yang berhubungan dengan pusat kenyang-lapar di hipotalamus
sehingga banyak sedikitnya pakan yang terdapat dalam tembolok akan
memberikan respon pada saraf untuk makan atau menghentikan makan
(Yuwanta, 2004).
Karkas Ayam Kampung
Karkas adalah bagian tubuh unggas bersama kulit setelah dipotong dan
dibuang bulu, lemak abdomen, organ dalam, kaki, kepala, leher dan darah,
kecuali paru-paru dan ginjal (Rizal, 2006).
Faktor yang mempengaruhi bobot karkas pada dasarnya adalah faktor
genetis dan lingkungan. Faktor lingkungan dapat dibagi menjadi dua kategori
yaitu fisiologi dan kandungan zat makanan dalam pakan. Zat makanan merupakan
faktor penting yang mempengaruhi komposisi karkas terutama proporsi kadar
lemak (Lesson, 2000).
Untuk mendapatkan bobot karkas yang tinggi dapat dilakukan dengan
memberikan ransum dengan imbangan yang baik antara protein, vitamin, mineral
dan dengan pemberian ransum yang berenergi tinggi (Scott et al., 1982).
Menurut Siregar (1982) bahwa karkas yang baik berbentuk padat dan tidak
kurus, tidak terdapat kerusakan kulit ataupun dagingnya. Sedangkan karkas yang
kurang baik mempunyai daging yang kurang padat pada bagian dada sehingga
kelihatan panjang dan kurus.
Faktor yang menentukan nilai karkas meliputi berat karkas, jumlah daging
yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas yang bersangkutan. Nilai karkas
umur ternak dan jumlah lemak intramuscular dalam otot. Komposisi karkas ayam
dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain bangsa, jenis kelamin, umur dan
tingkat kepadatan kandang. Produksi karkas erat hubungannya dengan bobot
badan. Selain faktor bobot badan, bobot karkas juga mempengaruhi genetis, umur,
mutu ransum, tata laksana dan kesehatan ternak (Soeparno, 1994).
Siregar et al., (1982) menyatakan bahwa bobot karkas yang normal adalah 65-75% dari bobot hidup.
Persentase Karkas
Persentase karkas adalah perbandingan antara bobot karkas dengan bobot
hidup dikalikan 100% (Siregar, 1994).
Moran et al., (1971) menyatakan bahwa persentase karkas dipengaruhi oleh bangsa, jenis, umur dan kondisi fisik. Persentase karkas akan bertambah
dengan bertambahnya umur dan bobot badan.
Kandungan protein ransum sangat mempengaruhi persentase karkas ayam.
Menurut Lubis (1992) persentase karkas ayam yang mendapat ransum dengan
kandungan protein 23% akan lebih tinggi dibandingkan dengan ayam yang
mendapat ransum dengan protein rendah, protein yang tinggi dalam ransum akan
menjamin produksi jaringan-jaringan otot (daging) tubuh yang lebih tinggi pula.
Persentase karkas tidak dipengaruhi oleh berat hidup ayam, karena seperti
menurut Lubis (1992) bahwa persentase karkas sebagai perbandingan antara berat
karkas terhadap berat hidup tidak selalu memperlihatkan berat hidup yang rendah
akan menghasilkan persentase karkas yang semakin rendah pula.
Supraptini dan Martojo (1977) menyatakan bahwa persentase karkas ayam
Non Karkas Ayam Kampung
Hasil pemotongan ternak terdiri atas karkas dan non karkas yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai macam tujuan. Di luar negeri bagian non karkas
tidak dikonsumsi dan diusahakan sekecil mungkin, namun di negara berkembang
seperti Indonesia bagian non karkas seperti kepala-leher, kaki dan organ bagian
dalam tidak sedikit orang yang menyukainya.
Kepala merupakan bagian organ yang masak dini artinya kepala tumbuh
lebih awal, persentasenya menurun dengan bertambahnya umur karena
meningkatnya bobot hidup (Amrullah, 2003). Leher merupakan bagian yang
masak sedang, pertumbuhannya seiring dengan peningkatan bobot hidupnya