• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Ampas Sagu Fermentasi dan Non Fermentasi dalam Ransum terhadap Karkas Ayam Kampung (Gallus domesticus) Umur 12 Minggu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemanfaatan Ampas Sagu Fermentasi dan Non Fermentasi dalam Ransum terhadap Karkas Ayam Kampung (Gallus domesticus) Umur 12 Minggu"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1. Rataan bobot potong selama penelitian

Perlakuan Ulangan Total Rataan

U1 U2 U3 U4

Lampiran 2. Analisis sidik ragam bobot potong ayam kampung umur 12 minggu.

SK dB JK KT F Hit

Ket: tn : menunjukkan perbedaan yang tidak nyata

Lampiran 3. Rataan bobot karkas selama penelitian

Perlakuan Ulangan Total Rataan

U1 U2 U3 U4

Lampiran 4. Analisis sidik ragam bobot karkas ayam kampung umur 12 minggu.

SK dB JK KT F Hit

(2)

Lampiran 5. Rataan persentase karkas selama penelitian

Perlakuan Ulangan Total Rataan

U1 U2 U3 U4 Rataan 73.725806 70.82054 70.312097 71.30162 71.54001 Lampiran 6. Analisis sidik ragam persentase karkas ayam kampung umur 12 minggu.

Ket: tn : menunjukkan perbedaan yang tidak nyata

Lampiran 7. Rataan bobot non karkas (kepala) selama penelitian

Perlakuan Ulangan Total Rataan

U1 U2 U3 U4

Lampiran 8. Analisis ragam bobot non karkas (kepala) kampung umur 12 minggu

SK dB JK KT F Hit

(3)

Lampiran 9. Rataan bobot non karkas (organ dalam) selama penelitian

Perlakuan Ulangan Total Rataan

U1 U2 U3 U4

Lampiran 10. Analisis ragam bobot non karkas (organ dalam) selama penelitian

SK dB JK KT F Hit

Ket: tn : menunjukkan perbedaan yang tidak nyata

Lampiran 11. Rataan bobot non karkas (kaki) selama penelitian

Perlakuan Ulangan Total Rataan

U1 U2 U3 U4

Lampiran 12. Analisis ragam bobot non karkas (kaki) ayam kampung umur 12 minggu

(4)

Lampiran 13. Rataan bobot non karkas (darah) selama penelitian

Perlakuan Ulangan Total Rataan

U1 U2 U3 U4

Lampiran 14. Analisis ragam bobot non karkas (darah) kampung umur 12 minggu

SK dB JK KT F Hit

Ket: tn : menunjukkan perbedaan yang tidak nyata

Lampiran 15. Rataan bobot non karkas (bulu) selama penelitian

Perlakuan Ulangan Total Rataan

U1 U2 U3 U4

Lampiran 16. Analisis ragam bobot non karkas (bulu) ayam kampung umur 12 minggu

(5)

Lampiran 17. Konsumsi ransum selama penelitian (gr/ekor/hari)

Lampiran 18. Rataan konsumsi ransum selama penelitian (g/ekor/minggu) Perlakuan Ulangan Total Rataan

Lampiran 19. Analisis sidik ragam konsumsi ransum ayam kampung selama penelitian

(6)

Lampiran 20. Pertambahan bobot badan selama penelitian (gr/ekor/hari)

Lampiran 21. Rataan PBB ayam kampung selama penelitian (g/ekor/minggu) Perlakuan Ulangan Total Rataan Lampiran 22. Analisis sidik ragam PBB ayam kampung selama penelitian

SK dB JK KT F Hit

(7)

Lampiran 23. Pembuatan Ampas Sagu Fermentasi

Dijemur ampas sagu sampai kering dan diayak

Dicampurkan ampas sagu dengan starbio dan air sampai kadar air mencapai 30-40%

Diaduk sampai merata

Dimasukkan ke dalam plastik dan ditutup rapat dalam kondisi anaerob

Dibiarkan selama tiga (3) hari

(8)

Lampiran 24. Kandungan nutrisi masing-masing bahan pakan

Lampiran 25. Formula Ransum Ayam Kampung dengan Ampas Sagu

No Bahan Pakan Perlakuan

P0 P1 P2 P3 P4

(9)

ABSTRAK

FERBINA MALEMTA GINTING, 2014: “Pemanfaatan Ampas Sagu

Fermentasi dan Non Fermentasi dalam Ransum terhadap Karkas Ayam Kampung

(Gallus domesticus) Umur 12 minggu”. Dibimbing oleh Nurzainah Ginting dan

Iskandar Sembiring.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan ampas sagu fermentasi dan non fermentasi terhadap karkas ayam kampung umur 12 minggu. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2014 menggunakan 100 ekor DOC ayam kampung. Rancangan yang dipakai dalam penelitian adalah rancangan acak lengkap(RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan terdiri dari P0: ransum dengan 30% ampas sagu fermentasi dan 0% non fermentasi, P1: ransum dengan 22,5% ampas sagu fermentasi dan 7,5% non fermentasi, P2: ransum dengan 15% ampas sagu fermentasi dan 15% non fermentasi, P3: ransum dengan 7,5% ampas sagu fermentasi dan 22,5% non fermentasi, P4: ransum dengan 0% ampas sagu fermentasi dan 30% non fermentasi. Parameter yang diteliti adalah bobot karkas, persentase karkas dan bobot non karkas.

Hasil penelitian menunjukkan rataan bobot karkas (g) P0:667,50, P1:614,50, P2:645,30, P3:627,65 dan P4:640,15. Rataan persentase karkas (%) P0:71,02, P1:70,51, P2:75,35, P3:70,41 dan P4:70,42. Rataan bobot non karkas (g) P0:257,45, P1:256,9 , P2:247,1, P3:248,05 dan P4:255,75 . Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah ampas sagu dalam ransum memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P≥0,05) terhadap bobot karkas, persentase karkas dan bobot non karkas. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa limbah ampas sagu non fermentasi dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan alternatif dalam ransum ayam kampung sampai level 30%.

(10)

ABSTRACT

FERBINA MALEMTA GINTING, 2014:"Utilization of Fermented Sago Waste and Non Fermented on carcass in theration of Native Chicken (Gallus domesticus) Age 12 weeks". Guided by Nurzainah Ginting and Iskandar Sembiring. The study objectives to determine the utilization fermented of sago waste and non fermented of chicken carcass age of 12 weeks. Research was conducted at the Laboratory of Animal Biology Animal Husbandry Studies Program Faculty of Agriculture, University of North was Sumatra from July to October 2014 and were used 100 DOC. The design used in the study was completely randomized design (CRD) with 5 treatments and 4 replications. Treatments were consisted of P0: 30% ration with sago waste fermentation and 0% non-fermented, P1: 22.5% ration with sago waste fermented and non-fermented 7.5%, P2:15% ration with sago waste fermentated and 15% of non-fermentated, P3: 7.5% ration with sago waste fermented and non-fermented 22.5%, P4:0% ration with sago waste fermented and non-fermented 30%. The parameters were carcass weight, carcass percentage and non-carcass weight.

The results showed the average carcass weight (g) P0: 667.50, P1: 614.50, P2: 645.30, P3: 627.65 and P4: 640.15. Mean carcass percentage(%)

P0: 71.02, P1: 70.51, P2: 75.35, P3: 70.41 and P4: 70.42. The average of non carcass weight (g) P0: 257.45, P1: 256.9, P2: 247.1, P3: 248.05 and P4: 255.75. Results of analysis of variance showed that the utilization of sago waste in rations

give no significantly different effect (P≥0,05) on carcass weight, carcass

percentage and non-carcass weight. The conclusion from this study that non-fermented sago waste can be used as an alternative feed ingredient

in chicken feed to the level of 30%.

(11)

TINJAUAN PUSTAKA

Ayam Kampung

Ayam kampung yang banyak dipelihara sekarang ini secara genetis diperkirakan berasal dari keturunan ayam hutan merah (Gallus gallus) dan ayam hutan hijau (Gallus varius). Akibat proses budidaya dan pengaruh lingkungan hidup yang berbeda-beda, terbentuklah beragam varietas dan tipe ayam. Masing-masing memiliki fisik dan sifat genetik yang berbeda. Kelompok Gallus

domesticus ini dibedakan menjadi ayam buras (ayam kampung) dan ayam ras

(Iswanto,2008).

Ayam buras dengan kata lain ayam bukan ras merupakan jenis ayam yang banyak dipelihara orang di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Banyak nama dipakai untuk menyebut ayam itu. Diantaranya ada yang menyebut ayam lokal, ayam sayur atau ayam kampung (Sarwono 1996).

Taksonomi ayam kampung adalah Filum: Chordata,

SubFilum: Vertebrata, Class: Aves, SubClass: Neornithes, Ordo: Galliformes,

Genus: Gallus, Spesies: Gallus domesticus (Williamson dan Payne, 1993). Dibandingkan dengan ayam ras, ayam kampung juga jauh lebih lincah dan aktif bergerak. Jika dipelihara secara umbaran, terbiasa hinggap atau istirahat di dahan pohon yang cukup tinggi. Selain itu, ukuran tubuhnya juga lebih kecil dibandingkan dengan ayam ras (Sarwono, 1996).

(12)

terhadap makanan yang berkualitas sangat minim, sehingga sangat ekonomis bila cukup diberi pakan murah atau sedang sebagai penghasil daging dan telur (Murtidjo, 1985).

Ayam kampung mempunyai kelebihan pada daya adaptasi tinggi karena mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, kondisi lingkungan dan perubahan iklim serta cuaca setempat. Ayam kampung memiliki bentuk badan yang kompak dan susunan otot yang baik. Bentuk jari kaki tidak begitu panjang, tetapi kuat dan ramping, kukunya tajam dan sangat kuat mengais tanah. Ayam kampung penyebarannya secara merata dari dataran rendah sampai dataran tinggi (Rasyaf, 1992).

Karakteristik Ayam Kampung

Salah satu ciri ayam kampung adalah sifat genetiknya yang tidak seragam. Warna bulu, ukuran tubuh dan kemampuan produksinya tidak sama merupakan cermin dari keragaman genetiknya. Di samping itu badan ayam kampung kecil, mirip dengan badan ayam ras petelur tipe ringan (Rasyaf, 2001).

Ayam kampung memiliki kelebihan yaitu lebih tahan terhadap cekaman dan dagingnya disukai terutama untuk olahan tertentu. Daging ayam kampung memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu 18,1%. Kekurangan ayam kampung adalah perkembangbiakkannya lambat, pertumbuhan lambat, dan kerangka tubuh kecil sehingga pertumbuhan daging memerlukan waktu yang lebih lama (Hardjosworo dan Rukmiasih, 2000).

Kebutuhan Nutrisi Ayam Kampung

(13)

cukup mengandung energi, protein, mineral dan vitamin dalam jumlah yang seimbang. Faktor lainnya adalah perbaikan genetik dan peningkatan manajemen pemeliharaan ayam kampung harus didukung dengan perbaikan nutrisi pakan (Setioko dan Iskandar, 2005).

Sampai saat ini standar gizi ransum ayam kampung yang dipakai di Indonesia didasarkan rekomendasi Scott et al., (1982) dan NRC (1994). Menurut Scott et al., (1982) kebutuhan energi metabolis ayam tipe ringan umur 2-8 minggu antara 2600-3100 kkal/kg dan protein pakan antara 18-21,4% sedangkan menurut NRC (1994) kebutuhan energi metabolis dan protein masing-masing 2900 kkal/kg dan 18%. Standar tersebut sebenarnya adalah untuk ayam ras, sedangkan standar kebutuhan energi dan protein untuk ayam kampong yang dipelihara di daerah tropis belum ada. Oleh sebab itu kebutuhan energi dan protein untuk ayam kampung di Indonesia perlu diteliti.

Tabel 1. Kebutuhan gizi ayam Kampung

Minggu 0-12 12-22 22 keatas

Sumber : Murtidjo (1998) dan Nawawi dan Norrohmah (2002)

(14)

Tabel 2. Kebutuhan pakan ayam kampung

Umur (Minggu) Konsumsi (g/ekor/hari) Berat Badan (g)

1 9 45

Sumber : a. Sudaryani dan Santosa (1995) disitasi Murtidjo (1998).

Kebutuhan gizi pada ternak tergantung pada umur, jenis kelamin, kecepatan pertumbuhan, fase produksi serta keadaan kesehatan ternak (Anggorodi, 1979).

Sifat khusus unggas adalah mengkonsumsi ransum untuk memperoleh energi sehingga jumlah makanan yang dimakan tiap harinya berkecenderungan berhubungan erat dengan kadar energinya. Bila persentase protein yang tetap terdapat dalam semua ransum, maka ransum yang mempunyai konsentrasi ME tinggi akan menyediakan protein yang kurang dalam tubuh unggas karena rendahnya jumlah makanan yang di konsumsi dalam tubuh unggas. Sebaliknya, bila kadar energi kurang maka unggas akan mengkonsumsi makanan untuk mendapatkan lebih banyak energi akibatnya kemungkinan akan mengkonsumsi protein yang berlebihan (Tillman et al., 1991).

Potensi Ampas Sagu Sebagai Pakan Ternak

(15)

dunia (Deptan, 2004). Sagu merupakan salah satu sumber daya alam nabati di Indonesia yang mulai akhir tahun 70-an semakin meningkat pemanfaatannya sebagai akibat dari program pemanfaatan swasembada pangan nasional. Potensi lestari produk sagu sebesar 5.000.000 ton per tahun, namun yang baru dimanfaatkan sebesar 200.000 ton per tahun.

Pada pengolahan sagu terdapat limbah atau hasil ikutan yang berupa kulit batang dan ampas. Ampas yang di hasilkan dari proses ekstraksi ini sekitar 14% dari total berat basah batang sagu (Flach, 1997). Di sentra-sentra produksi, limbah ampas sagu pada umumnya belum dimanfaatkan dan ditumpuk begitu saja yang pada akhirnya akan mencemari lingkungan (Kompiang, 1995).

Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan alternatif dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah mempunyai proporsi pemanfaatan yang besar dalam ransum. Bahan pakan konvensional yang sering digunakan dalam penyusunan ransum sebagian besar berasal dari limbah dan pencarian bahan pakan yang belum lazim digunakan (Azwar, 1983).

(16)

langsung mengkonsumsi di tempat penumpukan ampas tanpa dikontrol (Natamijaya et al., 1988).

Ampas sagu berupa serat-serat yang di peroleh dari hasil pemarutan dan pemerasan isi batang sagu. Ampas sagu mempunyai prospek yang sangat baik, jika mendapat perlakuan yang tepat. Alternatif penggunaan ampas sagu sebagai bahan ransum ternak merupakan hal yang positif walaupun disadari bahwa penggunaannya sebagai ransum mempunyai kendala antara lain kecernaan dan kadar nutriennya rendah karena tingginya kadar serat kasar dan rendahnya kadar protein (Uhi et al., 2007).

Tabel 3. Kandungan zat nutrisi ampas sagu sebelum dan sesudah fermentasi

Zat Nutrisi Fermentasi

Sebelum Sesudah

Protein (%) 3,84 23,08

Lemak (%) 1,48 1.90

Abu (%) 5.40 9.50

Ca (%) 0,32 0,48

P (%) 0,05 0,48

Lemak Kasar (%) 14,51 28,89

Energi (Kkal/kg) 1.352 1.543

Sumber : Haryanto dan Philipus (1992).

(17)

Bahan Pakan Penyusun Ransum Bungkil Kelapa

Bungkil kelapa diperoleh sebagai hasil ikutan dari ekstraksi minyak dari daging kelapa kering (kopra). Meskipun kadar serta kualitas proteinnya lebih inferior dibanding dengan sumber protein nabati lainnya, namun produk ini tersedia dengan harga relatif murah terutama di daerah tropis (Parakkasi, 1999). Komposisi nutrisi bungkil kelapa dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Kandungan nutrisi bungkil kelapa

Nutrisi Kandugan

Sumber : a. Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2008) b. NRC (1994)

Tepung Ikan

Tepung ikan merupakan salah satu bahan baku sumber protein hewani dan mineral yang di butuhkan dalam komposisi makanan ternak. Tepung ikan adalah produk berkadar air rendah yang diperoleh dari penggilingan ikan. Kandungan proteinnya relatif tinggi tersusun oleh asam-asam amino esensial yang kompleks (methionin dan lysin) dan mineral (Ca dan P, serta vitamin B12). Kandungan nutrisi tepung ikan dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Kandungan nutrisi tepung ikan

(18)

Bungkil Kedelai

Bungkil kedelai adalah kedelai yang sudah diambil minyaknya. Bungkil kedelai merupakan sumber protein yang sangat bagus sebab keseimbangan asam amino yang terkandung di dalamnya cukup lengkap dan tinggi. Bungkil kedelai dibuat melalui beberapa tahapan seperti pengambilan lemak, pemanasan dan penggilingan (Boniran, 1999). Bungkil kedelai yang baik mengandung air tidak lebih dari 12 % (Hutagalung, 1990). Kandungan nutrisi bungkil kedelai dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Kandungan nutrisi bungkil kedelai

Nutrisi Kandungan

Kandungan nutrisi tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 7 berikut. Tabel 7. Kandungan nutrisi tepung jagung

Nutrisi Kandungan

(19)

para ahli nutrisi ternak menyarankan agar jagung digunakan dengan kisaran 40-45% (Nawawi dan Norrohmah, 2002).

Minyak

Bahan pakan sumber energi lain yang biasa digunakan untuk pakan adalah minyak goreng. Minyak digunakan dalam ransum hanya sebagai pelengkap dan penambah untuk mencapai kebutuhan energi baik bagi ternak dan untuk meningkatkan palatabilitas. Dengan demikian pemakaiannya hanya sedikit yaitu kurang dari 5 %. Namun beberapa minyak nabati mempunyai kandungan energi yang cukup tinggi seperti minyak kelapa yang mempunyai EM 8600 kkal/kg dan lemak yang bisa melebihi 90 %

Mineral

(20)

bangsa ternak, proses adaptasi, tingkat konsumsi, umur dan hubungan dengan zat makanan lain (Parakkasi, 1985).

Fermentasi

Fermentasi adalah segala macam proses metabolis dengan bantuan dari enzim mikrobia (jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu. Fermentasi merupakan proses biokimia yang dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat dari pemecahan kandungan bahan tersebut (Winarno et al., 1980).

Fermentasi dapat juga diartikan penguraian unsur-unsur organik dengan mokroorganisme dimana bahan yang digunakan dalam keadaan basah (kadar air 60%). Proses fermentasi dapat dikatakan sebagai proses “ protein enrichment” yang berarti proses pengkayaan protein bahan dengan menggunakan mikroorganisme tertentu (Mayasari, 2012).

Fermentasi makanan adalah kondisi perlakuan dan penyimpanan produk dalam lingkungan dimana beberapa tipe organisme dapat berkembangbiak. Proses fermentasi mikroorganisme memperoleh sejumlah energi untuk pertumbuhannya dengan jalan merombak bahan yang memberikan zat-zat nutrien atau mineral bagi

mikroorganisme seperti hidrat arang, protein, vitamin, dan lain-lain (Adams and Moss, 1995).

Probiotik Starbio

(21)

pertumbuhan bakteri patogen/bakteri jahat yang ada di usus hewan (Central Unggas, 2009).

Probiotik berbeda dengan antibiotik, probiotik merupakan mikroorganisme yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan ternak tanpa mengakibatkan terjadinya proses penyerapan komponen probiotik dala tubuh ternak, sehingga tidak terdapat residu dan tidak terjadi mutasi pada ternak. Sementara antibiotik merupakan senyawa kimia murni yang mengalami proses penyerapan dalam saluran pencernaan (Samadi, 2002).

Probiotik starbio merupakan koloni bakteri alami yang terdiri dari: 1. Mikroba Proteolitik

6 x 109 satuan pembentuk koloni/gram bahan. Jenis yang biasa di formulasikan: Nitrosomonas / Nitrobacter / Nitrospira / Nitrosococcus /

Nitrosolobus.

2. Mikroba Lignolitik

6 x 109 satuan pembentuk koloni/gram bahan. Jenis yang biasa di formulasikan: Clavaria dendroidea / Clitocybe alexandri / Hypoloma fasiculare.

3. Mikroba Nitrogen Fiksasi Non Simbiotik

4 x 109 satuan pembentuk koloni/gram bahan. Jenis yang biasa di formulasikan: Azotobacter spp / Beyerinkya spp / Clostridium pasteurianum /

Nostoc spp / Anabaena spp / Tolypothrix spp / Spirillum lifoperum. 4. Mikroba selulotik

8 x 109 satuan pembentuk koloni/gram bahan. Jenis yang biasa di formulasikan: Trichoderma polysporeum / Trichoderma viridae /

(22)

5. Mikroba Lipolitik

5 x 109 satuan pembentuk koloni/gram bahan. Jenis yang biasa di formulasikan: Spirillum liporerum.

(Lembah Hijau Multifarm, 2009).

Penggunaan starbio pada pakan mengakibatkan bakteri yang ada pada starbio akan membantu memecahkan struktur jaringan yang sulit terurai sehingga lebih banyak zat nutrisi yang dapat diserap dan ditransformasikan ke produk ternak. Selain itu, produktivitas ternak akan meningkat, bahkan lebih banyak zat nutrisi yang dapat diuraikan dan diserap (Ritonga, 1992).

Sistem Pencernaan Ayam

Sistem pencernaan unggas berbeda dengan sistem pencernaan pada hewan lainnya. Unggas tidak memiliki gigi sehingga tidak terjadi proses pengunyahan pakan. Pakan akan melewati esofagus dan langsung menuju tembolok. Pakan di dalam tembolok akan mendapatkan sekreta mukus yang berfungsi untuk menghaluskan pakan. Setelah melewati tembolok, pakan menuju lambung kelenjar (proventrikulus) yang merupakan organ berdinding tebal dan berada di depan lambung otot (gizzard). Pakan disimpan secara sementara di proventrikulus dan dicampur dengan enzim pepsin dan amilase yang dihasilkan oleh organ tersebut. Setelah itu, pakan masuk ke lambung otot, yang merupakan organ tersusun dari otot yang kuat, yang berisi bebatuan atau pasir dan di dalamnya pakan akan dihancurkan. Pakan kemudian berpindah menuju usus halus, caecum

(23)

Kapasitas tembolok mampu menampung pakan 250 g. Pada tembolok terdapat saraf yang berhubungan dengan pusat kenyang-lapar di hipotalamus sehingga banyak sedikitnya pakan yang terdapat dalam tembolok akan memberikan respon pada saraf untuk makan atau menghentikan makan (Yuwanta, 2004).

Karkas Ayam Kampung

Karkas adalah bagian tubuh unggas bersama kulit setelah dipotong dan dibuang bulu, lemak abdomen, organ dalam, kaki, kepala, leher dan darah, kecuali paru-paru dan ginjal (Rizal, 2006).

Faktor yang mempengaruhi bobot karkas pada dasarnya adalah faktor genetis dan lingkungan. Faktor lingkungan dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu fisiologi dan kandungan zat makanan dalam pakan. Zat makanan merupakan faktor penting yang mempengaruhi komposisi karkas terutama proporsi kadar lemak (Lesson, 2000).

Untuk mendapatkan bobot karkas yang tinggi dapat dilakukan dengan memberikan ransum dengan imbangan yang baik antara protein, vitamin, mineral dan dengan pemberian ransum yang berenergi tinggi (Scott et al., 1982).

Menurut Siregar (1982) bahwa karkas yang baik berbentuk padat dan tidak kurus, tidak terdapat kerusakan kulit ataupun dagingnya. Sedangkan karkas yang kurang baik mempunyai daging yang kurang padat pada bagian dada sehingga kelihatan panjang dan kurus.

(24)

umur ternak dan jumlah lemak intramuscular dalam otot. Komposisi karkas ayam dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain bangsa, jenis kelamin, umur dan tingkat kepadatan kandang. Produksi karkas erat hubungannya dengan bobot badan. Selain faktor bobot badan, bobot karkas juga mempengaruhi genetis, umur,

mutu ransum, tata laksana dan kesehatan ternak (Soeparno, 1994). Siregar et al., (1982) menyatakan bahwa bobot karkas yang normal adalah

65-75% dari bobot hidup.

Persentase Karkas

Persentase karkas adalah perbandingan antara bobot karkas dengan bobot hidup dikalikan 100% (Siregar, 1994).

Moran et al., (1971) menyatakan bahwa persentase karkas dipengaruhi oleh bangsa, jenis, umur dan kondisi fisik. Persentase karkas akan bertambah dengan bertambahnya umur dan bobot badan.

Kandungan protein ransum sangat mempengaruhi persentase karkas ayam. Menurut Lubis (1992) persentase karkas ayam yang mendapat ransum dengan kandungan protein 23% akan lebih tinggi dibandingkan dengan ayam yang mendapat ransum dengan protein rendah, protein yang tinggi dalam ransum akan menjamin produksi jaringan-jaringan otot (daging) tubuh yang lebih tinggi pula.

Persentase karkas tidak dipengaruhi oleh berat hidup ayam, karena seperti menurut Lubis (1992) bahwa persentase karkas sebagai perbandingan antara berat karkas terhadap berat hidup tidak selalu memperlihatkan berat hidup yang rendah

(25)

Non Karkas Ayam Kampung

Hasil pemotongan ternak terdiri atas karkas dan non karkas yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam tujuan. Di luar negeri bagian non karkas tidak dikonsumsi dan diusahakan sekecil mungkin, namun di negara berkembang seperti Indonesia bagian non karkas seperti kepala-leher, kaki dan organ bagian dalam tidak sedikit orang yang menyukainya.

(26)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara berada pada ketinggian 25 m dari permukaan laut. Penelitian ini dilaksanakan selama 12 minggu dimulai dari Juli 2014-Oktober 2014.

Bahan dan Alat Penelitian Bahan

Bahan yang digunakan yaitu anak ayam kampung umur 1 hari Day Old

Chick (DOC) sebanyak 100 ekor, bahan penyusun ransum terdiri dari tepung

jagung, bungkil kelapa, bungkil kedelai, tepung ikan, minyak nabati, top mix, air minum memenuhi kebutuhan air dalam tubuh yang diberikan secara ad libitum, air gula untuk mengurangi stress dari kelelahan transportasi, rodalon sebagai desinfektan kandang dan peralatan tempat pakan dan minum, formalin 70% untuk fumigasi kandang, vitamin dan suplemen tambahan.

Alat

(27)

sekop,hand sprayer, alat lain berupa plastik, ember dan pisau dan terpal untuk menutup dinding kandang.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 4 ulangan dimana setiap ulangan terdiri dari 5 ekor ayam kampung. Pada ransum diberikan perlakuan sebagai berikut:

P0 = Pakan basal dengan 30% ampas sagu fermentasi dan 0% ampas sagu

Model matematik yang digunakan adalah :

Model Matematik RAL adalah sebagai berikut: Yij = µ + σi + εij

Dimana :

Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke j i = 1, 2, 3, 4, (ulangan)

j = 1, 2, 3, 4, 5, 6 (perlakuan) µ = nilai tengah umum

σi = pengaruh perlakuan ke-i

(28)

Kombinasi unit perlakuan dalam ulangan sebagai berikut:

P0U1 P4U2 P3U3 P2U4

P2U1 P1U2 P0U3 P1U4

P4U1 P3U2 P4U3 P3U4

P3U1 P3U2 P1U3 P0U4

P1U1 P0U2 P2U3 P4U4

Parameter Penelitian Parameter Yang Diamati 1. Bobot Karkas (g)

Bobot karkas merupakan bobot yang diperoleh dari hasil penimbangan karkas yaitu hasil penimbangan dari daging bersama tulang ayam hasil pemotongan yang telah dipisahkan dari kepala sampai batas pangkal leher dan kaki sampai batas lutut, darah dan bulu, isi rongga perut kecuali ginjal dan paru-paru.

2. Persentase Karkas (%)

Persentase karkas merupakan perbandingan antara bobot karkas dengan bobot potong dikalikan 100%.

3. Bobot non karkas (g)

Diperoleh dari hasil penimbangan dari non karkas yaitu kepala, isi perut, kaki, darah dan bulu.

Pelaksanan penelitian

Persiapan Kandang dan Peralatan

(29)

minggu dengan tujuan mensucihamakan kandang dari jamur, bakteri dan bibit mikroorganisme lainnya. Kandang dan peralatan kandang didesinfektan dengan rodalon sebelum digunakan.

Random DOC

Sebelum DOC dimasukkan kedalam kandang yang sudah disediakan, terlebih dahulu dilakukan penimbangan agar bisa diketahui kisaran bobot badan awal yang akan digunakan, kemudian dilakukan pemilihan secara acak (random) untuk menghindari bias (galat percobaan) lalu di tempatkan pada masing-masing plot yang tersedia sebanyak 5 ekor.

Pengolahan Ampas Sagu Fermentasi dengan Starbio

Pengolahan ampas sagu menjadi tepung ampas sagu fermentasi diawali dengan penjemuran ampas sagu sampai kering sampai kandungan kadar air sekitar 40-50 %. Setelah itu dilakukan fermentasi menggunakan starbio dalam kondisi anaerob selama 3 hari. Kemudian ampas sagu diangin-anginkan sampai kering.

Penyusunan Ransum

Bahan penyusun ransum yang digunakan terdiri dari tepung jagung, bungkil kedelai, bungkil kelapa, tepung ikan, minyak nabati, ampas sagu dan top mix.

(30)

Pemeliharaan Ayam Kampung

Hari pertama DOC diberikan minum Vitastress untuk mencegah stress akibat perjalanan dari tempat penetasan. DOC untuk minggu pertama dan minggu kedua dalam pemeliharaannya ditambahkan kertas Koran sebagai alas dan diganti apabila sudah kotor atau basah. Pada setiap plot juga dipasang lampu pemanas. Ransum dan air minum diberikan secara ad libitum, dan tempat pakan diisi setengah bagian untuk menghindari pakan yang terbuang saat ayam makan. Vaksinasi dilakukan dua kali selama penelitian, yaitu vaksin ND pada umur 4 hari dan 4 minggu. Selain lampu pemanas, pada malam hari kandang diberikan lampu penerang di sekitar kandang.

Pengambilan Data

Data diambil setelah umur ayam mencapai umur pemotongan karkas yaitu umur 12 minggu. Pengambilan data dilakukan dengan menimbang dan mengukur parameter yang telah ditentukan.

Persiapan yang dilakukan untuk memperoleh karkas adalah :

1. Pemuasaan, ayam dipuasakan selama enam jam untuk mengosongkan isi tembolok dan mengurangi isi saluran pencernaan.

2. Pemotongan, ayam dipotong di bawah rahang termasuk vena jugularis, pipa tenggorokan dan kerongkongan.

3. Pengeluaran darah, setelah dipotong ayam digantung dengan posisi kepala ke bawah dan biarkan selama dua menit.

4. Penyeduhan (scalding), ayam dicelupkan ke dalam air panas dengan suhu sekitar 60 0C selama 1 menit untuk mempermudah pencabutan bulu.

(31)

6. Pemisahan komponen non karkas, kepala hingga batas leher dipotong, kaki hingga batas lutut dipotong, isi rongga perut ditarik keluar lalu dipisahkan.

Analisis Data

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian diperoleh dari data bobot karkas, persentase karkas dan bobot non karkas ayam kampung umur 12 minggu.

Bobot Karkas

Bobot karkas adalah berat bagian tubuh unggas barsama kulit setelah dipotong dan dibuang bulu, lemak abdomen, organ dalam, kaki, kepala, leher dan darah, kecuali paru-paru dan ginjal (Rizal, 2006). Rataan bobot karkas ayam kampung umur 12 minggu dapat dilihat pada gambar 1 berikut.

Gambar 1. Grafik bobot karkas ayam kampung umur 12 minggu (g)

(33)

Dari gambar 1 juga menunjukkan rataan umum bobot karkas adalah sebesar 639,02 g. Angka tersebut dipengaruhi oleh faktor genetis dan lingkungan. Faktor lingkungan dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu fisiologi dan kandungan zat makanan dalam pakan. Zat makanan merupakan faktor penting

yang mempengaruhi komposisi karkas terutama proporsi kadar lemak (Lesson, 2000).

Rataan bobot karkas ayam kampung umur 12 minggu hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Hendra (2011) bahwa rataan bobot karkas ayam kampung dengan pemanfaatan bungkil biji jarak pagar yaitu sebesar 620,33 gram. Rataan bobot karkas hasil penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian yang dihasilkan oleh Petrus (2013) yaitu sebesar 715,16 gram dengan pemanfaatan tepung ikan pora-pora dan limbah industri pengolahan ikan nila.

(34)

Penelitian ini juga memberikan hasil bahwa bobot badan berkaitan erat dengan bobot karkas. Dari hasil penelitian ini didapat bahwa rataan bobot badan tertinggi terdapat pada perlakuan P0 dan rataan bobot karkas yang tertinggi juga terdapat pada P0. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soeparno (1994) yang menyatakan bahwa produksi karkas erat hubungannya dengan bobot badan. Selain faktor bobot badan, bobot karkas juga mempengaruhi genetis, umur, mutu ransum, tata laksana dan kesehatan ternak.

Bobot karkas yang diperoleh dari hasil penelitian ini yaitu sebesar 71,53 % dari bobot hidup. Angka ini sesuai dengan pernyataan Siregar et al., (1982) yang menyatakan bahwa bobot karkas yang normal adalah 65-75% dari bobot hidup.

Persentase Karkas

Persentase karkas dihitung dengan membandingkan bobot karkas dengan bobot potong. Hasil ini diperoleh dari proses pemotongan hingga pemisahan masing-masing. Rataan hasil persentase karkas ayam kampung umur 12 minggu dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2. Grafik persentase karkas ayam kampung umur 12 minggu (%)

(35)

Dari gambar 2 dapat dilihat bahwa rata-rata persentase karkas tertinggi adalah perlakuan P2 (75,35%), kemudian disusul berturut-turut oleh perlakuan P0 (71,01%), perlakuan P1 (70,51%), perlakuan P4 (70,42%) dan rata-rata bobot badan yang paling rendah adalah ayam kampung yang diberi perlakuan P3 yaitu sebesar 70,41%.

Dari gambar 2 juga dapat dilihat bahwa rataan umum persentase karkas adalah sebesar 71,53 % dan masih tergolong normal. Angka ini sesuai dengan pernyataan Supraptini dan Martojo (1977) yang menyatakan bahwa persentase karkas ayam kampung umur 12 minggu sekitar 76,95 %. Variasi jumlah daging yang dihasilkan dari karkas seperti halnya kualitas daging dan produk daging dipengaruhi oleh faktor genetik termasuk faktor fisiologi dan nutrisi. Umur dan berat hidup juga dapat mempengaruhi jumlah daging yang dihasilkan dari berbagai spesies ternak.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa rataan persentase karkas tertinggi terdapat pada P2 yaitu sebesar 75,35%, ini dapat disebabkan kandungan protein didalam pakan. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Lubis (1992) yang menyatakan bahwa kandungan protein ransum yang tinggi akan mendapatkan persentase karkas yang tinggi pula.

(36)

kandungan protein dalam karkas, dan meningkatnya deposisi protein yang merupakan indikasi dari proses pemanfaatan protein pakan. Deposisi protein yang bernilai positif, berarti ternak tersebut memanfaatkan protein yang tinggal di

tubuh untuk meningkatkan bobot badan. Hal ini juga sesuai pernyataan Boorman (1980) menyatakan bahwa energi yang cukup bagi tubuh ternak akan

mencegah pemanfaatan protein tubuh, sehingga deposisi protein tidak menurun. Pemberian pakan dengan kadar protein tinggi diharapkan dapat meningkatkan jumlah protein yang terdeposisi di dalam tubuh.

Berdasarkan tabel diatas juga diperoleh bahwa rataan persentase karkas yang terendah terdapat pada perlakuan P3 yaitu sebesar 70,41 % dan berat hidup terendah terdapat pada perlakuan P1 yaitu sebesar 870,90 g. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lubis (1992) yang menyatakan bahwa berat hidup yang rendah tidak selalu memperlihatkan persentase yang rendah pula.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa ransum perlakuan dengan perbedaan level ampas sagu fermentasi dan non fermentasi menghasilkan data yang tidak berbeda nyata pada tingkat persentase karkas ayam kampung umur 12 minggu. Menurut Lubis (1992) bahwa kandungan protein dalam pakan serta berat hidup memberi pengaruh terhadap produksi daging.

Variasi berat dan persentase karkas dipengaruhi oleh bobot hidup, kualitas dan kuantitas ransum serta kemampuan yang berbeda dari masing-masing ternak dalam mengubah nutrien yang dimakan menjadi komponen karkas, non karkas atau jaringan tubuh lain.

(37)

kasar yang terlampau tinggi menyebabkan penurunan konsumsi sehingga terjadi penurunan berat jarigan pada karkas.

Bobot Non Karkas

Hasil pemotongan ternak terdiri atas karkas dan non karkas yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam tujuan. Di luar negeri bagian non karkas tidak dikonsumsi dan diusahakan sekecil mungkin, namun di negara berkembang seperti Indonesia bagian non karkas seperti kepala, kaki dan organ bagian dalam tidak sedikit orang yang menyukainya. Rataan bobot non karkas dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Histogram bobot non karkas ayam kampung umur 12 minggu (g) Dari Gambar 3 diatas diketahui bahwa rataan umum berat kepala adalah 47,26 gram, organ dalam (78,32 gram), kaki (44,81 gram), darah (26,68 gram) dan bulu (55,44 gram).

Kepala merupakan bagian organ yang masak dini artinya kepala tumbuh lebih awal, persentasenya menurun dengan bertambahnya umur karena

0,00

Kepala Organ dalam Kaki Darah Bulu

(38)

meningkatnya bobot hidup (Amrullah, 2003). Rataan persentase kepala-leher yang meningkat diduga dipengaruhi oleh berat kepala yang meningkat dengan menurunnya bobot hidup. Kaki digunakan untuk menopang tubuh ternak. Bulu digunakan untuk melindungi tubuh dari kerusakan fisik, panas tubuh dan untuk terbang. Darah berfungsi sebagai zat antara membawa zat-zat makanan ke berbagai bagian tubuh kemudian membuang sisa-sisa metabolisme.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa ransum perlakuan memberikan hasil tidak berbeda nyata terhadap bobot non karkas. Hal

ini dapat disebabkan oleh kualitas dan kuantitas ransum. Menurut Scott et al., (1982) bahwa bobot non karkas dipengaruhi oleh pakan, jika

(39)

Rekapitulasi Hasil Peneltian

Rekapitulasi penelitian terhadap bobot karkas, persentase karkas, dan bobot non karkas, dapat dilihat pada tabel 8 di bawah ini.

Perlakuan Rataan Parameter

Bobot Karkas (g)

Persentase Karkas (%)

Bobot Non Karkas (g)

P0 667,50tn 71,02 tn 257,45 tn

P1 614,50 tn 70,51 tn 256,90 tn

P2 645,30 tn 75,35 tn 247,10 tn

P3 627,65 tn 70,41 tn 248,05 tn

P4 640,15 tn 70,42 tn 255,75 tn

Tabel 8. Tabel rekapitulasi hasil penelitian

(40)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Limbah ampas sagu tanpa fermentasi dapat digunakan sebagai pakan alternatif dalam ransum ayam kampung umur 12 minggu sampai level 30%.

Saran

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Adams, M.R., and M.O. Moss. 1995. Food Microbiology. The Royal Society of Chemistry. New York.

Amrullah, I.K. 2003. Nutrisi Ayam. Cetakan I. Penerbit Lembaga Satu Gunungbudi. Bogor.

Anggorodi, H.R. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Arinto, K., dan F.G. Winarno. 1995. Pola Produksi dan Pemasaran Ayam Buras di Lahan Kering. Pros. Hasil Kerja sama Penelitian Badan Litbang Pertanian dengan Perguruan Tinggi, TA 1992/1993. Proyek ARM-Badan Litbang Pertanian. Hal 205-210.

Azwar, A. 1983. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara. Jakarta.

Bahij, A. 1991. Tumbuh Kembang Potongan Karkas Ayam Broiler Akibat Penurunan Tingkat Protein Ransum Pada Minggu Ketiga-keempat. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Boniran, S. 1999. Quality Control untuk Bahan Baku dan Produk Akhir Pakan Ternak. Kumpulan Makalah Feed Quality Management Workshop, American Soybean Asosiation dan Balai Penelitian Ternak.

Boorman, K. N., 1980. Dietary constraints on nitrogen retention. In: P.J. Buttery and D. B. Lindsay (Editor). Protein Deposition in Animals. Butterworths, London. pp. 147-166.

Central Unggas Lactobacillus.html. [Diakses pada 25 Maret 2014].

Departemen Pertanian. 2004. Produktivitas Perkebuna [Diakses pada 25 Maret 2014].

Dewi, G. A. M. K., G. Mahardika, I. K. Sumadi, I. M. Suasta, dan I. M. Wirapartha, 2009. Peningkatan Produktivitas Ayam Kampung Melalui Kebutuhan Energi dan Protein Pakan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Fapet UNUD. Denpasar. Departemen Pertanian. 2004. Produktivitas Perkebunan.

Flach, M. 1997 . Yield Potential of The Sago Palm and Realisation. Proc . Sago Conference in Serawak. Malaysia.

(42)

Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, A.D. Tillman. 1997. Komposisi Bahan Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Haryanto, B, dan P. Philipus. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius. Yogyakarta.

Hasil Analisa Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Ternak Departemen Peternakan Fakultas Pertanian USU. 2008. Medan.

20 Maret 2014].

Hutagalung, R.I. 1990. Defenisi dan Standar Bahan Baku Pakan. Kumpulan Makalah Feed Management Workshop. American Soybean Association dan Balai Penelitian Ternak.

Iswanto, H. 2008. Ayam Kampung Pedaging. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Jull, M.A. 1979. Poultry Husbandry. Tata McGraw Hill Publishing Co. Ltd. New Delhi.

Kiat, L.J. 2006. Preparation and Characterization of Carboxymethyl Sago Waste and Hydrogel. Tesis University Putra Malaysia. Malaysia.

Kompiang, I.P. 1995. Prospect of Biotechnology on Improvement of Nutritional Quality of feedstuff. IARD Journal. 15 (4): 86 – 90.

Lembah Hijau Multifarm Indonesia. 2009. Lesson, S. and J. D. Summer. 1991. Commercial Poultry Nutrition. University

Books. Guelph, Ontario, Canada. pp. 164-172.

Lubis, A.H. 1992. Respon Ayam Broiler terhadap Penurunan Tingkat Protein dalam Ransum Berdasarkan Efisiensi Penggunaan Protein dan Suplementasi Asam Amino Methionin dan Lisin. Disertasi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Mahfudz, L.D. 2000. Pengaruh Penggunaan Ampas Tahu terhadap Efisiensi Penggunaan Protein oleh Ayam Pedaging. Jurnal Ilmiah, Semarang. Mayasari, N. 2012. Makalah Mikrobiologi Pangan Fakultas Kedokteran. UNDIP

Press.

(43)

Morran, E.T., H.L. Orr, and E. Larmond. 1971. Sex and Age Related Production Efficiency, Grades and Yield with the Small White Broiler Fryer type Turkey. Poult Sci. 50:411.

Murtidjo, B.A. 1985. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Kanisius. Yogyakarta. ___________. 1998. Mengelola Ayam Buras. Kanisius. Yogyakarta.

Natamijaya, A.G., H. Hermawati, Resnawati, dan Habibier. 1988. Penggunaan Tepung Sagu Sebagai Bahan Ransum Anak Ayam Buras. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Forum Peternakan Unggas dan Aneka Ternak II Bogor Pp 231 -237.

Natawihardja, D. 1991. Efisiensi Penggunaan Energi dan Kebutuhan untuk Hidup Pokok pada Ayam Broiler dan Ayam Tipe Petelur Serta Hubungannya dengan Pembentukan Lemak Tubuh. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

National Research Council (NRC). 1994. Nutrient Requirement Of Poultry, 9th Revised Edition. National Academy Press, Washington DC.

____________________________. 1998. Nutriend Requirement Of Poultry. National Academy Of Science, Washington DC.

Nawawi, T., dan Nurromah. 2002. Ransum Ayam Kampung. Penebar Swadaya. Jakarta.

Ningrum, W. 2004. Pengaruh Dosis Inokulum dan Lama Inkubasi dari Produk Campuran Ampas Sagu dan Ampas Tahu Fermentasi dengan Kapang

Neurospora crassa. Skripsi S1 Fakultas Pertanian Universitas Andalas.

Padang.

Parakkasi, A. 1985. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI Press. Jakarta.

__________.1999. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Angkasa. Bandung.

Rasyaf, M. 1992. Memelihara Ayam Buras. Kanisius. Yogyakarta. ________. 2001. Beternak Ayam Kampung. Penebar Swadaya. Depok.

Ritonga, H. 1992. Beberapa Cara Menghilangkan Mikroorganisme Patogen. Hal : 24-26.

(44)

Santoso, U. 1986. Limbah Bahan Ransum yang Rasional. PT. Bhatara Karya Aksara. Jakarta.

Samadi. 2002. Penggunaan Probiotik sebagai Pengganti Antibiotika dalam Pakan Terna

Sarwono, B. 1996. Ragam Ayam Piaraan. Kanisius. Jakarta.

Scanes, C.G., G.E. Brant, dan M.E. Ensminger. 2004. Poultry Science. Pearson Prentice, Upper Saddle River, NJ.

Scott, M.L., M.C. Nesheim, and R.J. Young. 1982. Nutrition Of The Chicken 3rd Edition. M. L. Scott and Associated, Ithaca. New York.

Setioko, A.R., dan S. Iskandar. 2005. Review Hasil Hasil Penelitian Dan Dukungan Teknologi Dalam Pengembangan Ayam Lokal. Hlm 10-19. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Semarang, 25 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

Siregar, A.P., M. Sibarani, dan P. Suroprawiro. 1982. Teknik Beternak Ayam Pedaging di Indonesia. Margie Group. Jakarta.

Siregar, A. P. 1994. Teknik Beternak Ayam Pedaging. Margie Group. Jakarta. Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press.

Yogyakarta.

Sudaryani, T., dan H. Santosa. 1995. Pembibitan Ayam Ras. Penebar Swadaya. Jakarta.

Supraptini, S.M., dan H. Martojo. 1977. Produktivitas Ayam Kampung dan Ayam Persilangan F1 (Kampung X RIR) pada Pemeliharaan dalam Kandang. Seminar Ilmu dan Industri Perunggasan I Cisarua. Bogor. Hal 1-17.

Syamsuhaidi. 1997. Penggunaan Duckweed sebagai Pakan Serat Kasar Sumber Protein dalam Ransum Ayam Pedaging. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumodan S. Lebdosoekojo., 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

(45)

Williamson, G., dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Ilmu Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta (diterjemahkan oleh SGN. D. Durmadja).

Winarno, F.G., S. Fardiaz, dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia. Jakarta.

(46)

PEMANFAATAN AMPAS SAGU FERMENTASI DAN NON

FERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP KARKAS

AYAM KAMPUNG (

Gallus domesticus

)

UMUR 12 MINGGU

SKRIPSI

OLEH

FERBINA MALEMTA GINTING 100306026

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(47)

PEMANFAATAN AMPAS SAGU FERMENTASI DAN NON

FERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP KARKAS

AYAM KAMPUNG (

Gallus domesticus

)

UMUR 12 MINGGU

SKRIPSI

Oleh:

FERBINA MALEMTA GINTING 100306026

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(48)

PEMANFAATAN AMPAS SAGU FERMENTASI DAN NON

FERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP KARKAS

AYAM KAMPUNG (

Gallus domesticus

)

UMUR 12 MINGGU

SKRIPSI

Oleh:

FERBINA MALEMTA GINTING 100306026/PETERNAKAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di FakultasPertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(49)

Judul : Pemanfaatan Ampas Sagu Fermentasi dan Non Fermentasi

dalam Ransum terhadap Karkas Ayam Kampung

(Gallus domesticus) Umur 12 Minggu

Nama : Ferbina Malemta Ginting

NIM : 100306026

Program Studi : Peternakan

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nurzainah Ginting, M.Sc Ir. Iskandar Sembiring, MM. Ketua Anggota

Mengetahui,

Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si Ketua Program Studi Peternakan

(50)

ABSTRAK

FERBINA MALEMTA GINTING, 2014: “Pemanfaatan Ampas Sagu

Fermentasi dan Non Fermentasi dalam Ransum terhadap Karkas Ayam Kampung

(Gallus domesticus) Umur 12 minggu”. Dibimbing oleh Nurzainah Ginting dan

Iskandar Sembiring.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan ampas sagu fermentasi dan non fermentasi terhadap karkas ayam kampung umur 12 minggu. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2014 menggunakan 100 ekor DOC ayam kampung. Rancangan yang dipakai dalam penelitian adalah rancangan acak lengkap(RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan terdiri dari P0: ransum dengan 30% ampas sagu fermentasi dan 0% non fermentasi, P1: ransum dengan 22,5% ampas sagu fermentasi dan 7,5% non fermentasi, P2: ransum dengan 15% ampas sagu fermentasi dan 15% non fermentasi, P3: ransum dengan 7,5% ampas sagu fermentasi dan 22,5% non fermentasi, P4: ransum dengan 0% ampas sagu fermentasi dan 30% non fermentasi. Parameter yang diteliti adalah bobot karkas, persentase karkas dan bobot non karkas.

Hasil penelitian menunjukkan rataan bobot karkas (g) P0:667,50, P1:614,50, P2:645,30, P3:627,65 dan P4:640,15. Rataan persentase karkas (%) P0:71,02, P1:70,51, P2:75,35, P3:70,41 dan P4:70,42. Rataan bobot non karkas (g) P0:257,45, P1:256,9 , P2:247,1, P3:248,05 dan P4:255,75 . Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah ampas sagu dalam ransum memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P≥0,05) terhadap bobot karkas, persentase karkas dan bobot non karkas. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa limbah ampas sagu non fermentasi dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan alternatif dalam ransum ayam kampung sampai level 30%.

(51)

ABSTRACT

FERBINA MALEMTA GINTING, 2014:"Utilization of Fermented Sago Waste and Non Fermented on carcass in theration of Native Chicken (Gallus domesticus) Age 12 weeks". Guided by Nurzainah Ginting and Iskandar Sembiring. The study objectives to determine the utilization fermented of sago waste and non fermented of chicken carcass age of 12 weeks. Research was conducted at the Laboratory of Animal Biology Animal Husbandry Studies Program Faculty of Agriculture, University of North was Sumatra from July to October 2014 and were used 100 DOC. The design used in the study was completely randomized design (CRD) with 5 treatments and 4 replications. Treatments were consisted of P0: 30% ration with sago waste fermentation and 0% non-fermented, P1: 22.5% ration with sago waste fermented and non-fermented 7.5%, P2:15% ration with sago waste fermentated and 15% of non-fermentated, P3: 7.5% ration with sago waste fermented and non-fermented 22.5%, P4:0% ration with sago waste fermented and non-fermented 30%. The parameters were carcass weight, carcass percentage and non-carcass weight.

The results showed the average carcass weight (g) P0: 667.50, P1: 614.50, P2: 645.30, P3: 627.65 and P4: 640.15. Mean carcass percentage(%)

P0: 71.02, P1: 70.51, P2: 75.35, P3: 70.41 and P4: 70.42. The average of non carcass weight (g) P0: 257.45, P1: 256.9, P2: 247.1, P3: 248.05 and P4: 255.75. Results of analysis of variance showed that the utilization of sago waste in rations

give no significantly different effect (P≥0,05) on carcass weight, carcass

percentage and non-carcass weight. The conclusion from this study that non-fermented sago waste can be used as an alternative feed ingredient

in chicken feed to the level of 30%.

(52)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 November 1992 dari ayah Rasad Ginting dan ibu Rosmawati br. Gurusinga. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara.

Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pancur Batu dan pada tahun yang sama masuk ke Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara melalui jalur ujian tertulis Ujian Masuk Bersama Perguruan Negeri Tinggi (UMB-PTN).

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Peternakan (IMAPET) dan aktif dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Katolik (IMK) dan aktif dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Karo (IMKA).

(53)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemanfaatan Ampas Sagu Fermentasi dan Non Fermentasi dalam Ransum terhadap Karkas Ayam Kampung (Gallus domesticus) Umur 12 Minggu”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada orang tua atas doa, semangat dan pengorbanan materil maupun moril yang telah diberikan selama ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada

Ibu Nurzainah Ginting selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Iskandar Sembiring selaku anggota komisi pembimbing. Penulis juga

ucapkan terima kasih kepada semua rekan mahasiswa yang tak dapat disebutkan satu per satu disini yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini..

(54)

DAFTAR ISI

Karakteristik Ayam Kampung ... 6 Kebutuhan Nutrisi Ayam Kampung ... 6 Potensi Ampas Sagu Sebagai Pakan... 8 Bahan Pakan Penyusun Ransum... 11

Bungkil Kelapa ... 11 Probiotik Starbio ... 14 Sistem Pencernaan Ayam Kampung ... 16 Parameter Penelitian... ... 17 Karkas Ayam Kampung ... 17 Persentase Karkas ... 18 Non Karkas Ayam Kampung ... 19 BAHAN DAN METODE PENELITIAN

(55)

Parameter Penelitian... ... 22 Pelaksanaan Penelitian... ... 22 HASIL DAN PEMBAHASAN

Bobot Karkas ... 26 Persentase Karkas ... 28 Bobot Non Karkas ... 31 Rekapitulasi Hasil Penelitian ... 33 KESIMPULAN DAN SARAN

(56)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal

(57)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

(58)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Rataan Bobot Potong Ayam Kampung (gram) ... 40

2. Analisis Sidik Ragam Bobot Potong Ayam Kampung ... 40

3. Rataan Bobot Karkas Ayam Kampung (gram) ... 40

4. Analisis Sidik Ragam Bobot Karkas Ayam Kampung ... 40

5. Rataan Persentase Karkas Ayam Kampung (%) ... 41

6. Analisis Sidik Ragam Persentase Karkas Ayam Kampung ... 41

7. Rataan Bobot Non Karkas (kepala) Ayam Kampung (gram) ... 41

8. Analisis Sidik Ragam Bobot Non Karkas (kepala) Ayam Kampung ... 41

9. Rataan Bobot Non Karkas (organ dalam) Ayam Kampung (gram) ... 42

10. Analisis Sidik Ragam Bobot Non Karkas (organ dalam) Ayam Kampung ... 42

11. Rataan Bobot Non Karkas (kaki) Ayam Kampung (gram) ... 42

12. Analisis Sidik Ragam Bobot Non Karkas (kaki) Ayam Kampung ... 42

13. Rataan Bobot Non Karkas (darah) Ayam Kampung (gram) ... 43

14. Analisis Sidik Ragam Bobot Non Karkas (darah) Ayam Kampung ... 43

15. Rataan Bobot Non Karkas (bulu) Ayam Kampung (gram) ... 43

16. Analisis Sidik Ragam Bobot Non Karkas (bulu) Ayam Kampung ... 43

17. Konsumsi Ransum Selama Penelitian (gram/ekor/hari) ... 44

18. Rataan Konsumsi Ransum Selama Penelitian (gram/ekor/hari) ... 44

19. Analisis Sidik Ragam Konsumsi Ransum Selama Penelitian ... 44

20. Perambahan Bobot Badan Selama Penelitian (gram/ekor/hari) ... 45

21. Rataan Perambahan Bobot Badan Selama Penelitian (gram/ekor/hari) ... 45

22. Analisis Sidik Ragam PBB Selama Peneliian ... 45

23. Pembuatan Ampas Sagu Fermentasi ... 46

24. Kandungan Nutrisi Masing-masing Bahan Pakan ... 47

(59)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati, banyak hewan dan jenis tumbuhan yang hidup dan berkembang dengan baik, seperti ayam kampung. Ayam kampung merupakan ayam lokal yang tersebar di wilayah Indonesia, variasi ayam kampung sangat beragam seperti ayam kedu, ayam sentul, ayam banten, ayam sumatera dan sebagainya. Penamaan ayam kampung bermacam-macam sesuai dengan daerah masing-masing. Ayam-ayam tersebut adalah hasil domestikasi dari ayam hutan liar yang banyak tersebar, mengalami seleksi dan selanjutnya dijinakkan oleh manusia.

Ayam kampung merupakan ayam lokal di Indonesia yang kehidupannya sudah lekat dengan masyarakat, ayam kampung juga dikenal dengan sebutan ayam buras (bukan ras), atau ayam sayur. Ayam kampung mempunyai banyak kegunaan dan manfaat untuk menunjang kehidupan manusia. Dagingnya dapat dikonsumsi dan diterima oleh semua golongan masyarakat sebagai makanan memiliki nilai gizi yang relatif tinggi dengan citarasa yang khas dan merupakan makanan yang telah lama dikenal oleh masyarakat.

(60)

Ditinjau dari aspek produksi, Arinto dan Winarno (1995) melaporkan bahwa usaha pembesaran ayam buras untuk tujuan produksi daging lebih menguntungkan dibanding dengan usaha produksi telur saja.

Karkas merupakan bagian tubuh yang sangat menentukan dalam produksi ayam pedaging. Produksi karkas berhubungan erat dengan bobot badan dan besarnya karkas ayam pedaging cukup bervariasi. Perbedaan ini disebabkan oleh ukuran tubuh, tingkat kegemukan dan tingkat perdagingan yang melekat pada dada (Jull, 1979). Besarnya persentase karkas dari bobot hidup sekitar 65-75% (Rasyaf, 1999).

Peningkatan produksi daging ayam kampung dapat dilakukan dengan cara manajemen yang baik terutama pakan, pakan yang diberikan harus memiliki nilai gizi yang tinggi dan dapat dicerna oleh ayam kampung. Pakan merupakan faktor yang penting dan sangat mempengaruhi tinggi rendahnya produksi ayam kampung. Dalam usaha peternakan yang paling menentukan adalah faktor pakan, karena biaya pakan dalam usaha peternakan sebesar 60-70% dari seluruh biaya produksi (Rasyaf, 1992).

Kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dibidang peternakan membuka wawasan untuk memanfaatkan hasil samping limbah dari perkebunan menjadi pakan ternak yang bermutu serta ekonomis dan tidak bersifat kompetitif dengan bahan makanan untuk manusia (Anggorodi, 1990). Untuk itu dilakukan alternatif pemanfaatan ampas sagu sebagai pakan ternak.

(61)

(Kiat, 2006). Ampas sagu mempunyai prospek yang sangat baik, jika mendapat perlakuan yang tepat. Limbah pemrosesan pohon sagu, khususnya ampas sagu saat ini belum dimanfaatkan secara optimal karena memiliki kandungan protein yang rendah dan kandungan serat kasar yang tinggi.

Ampas sagu berpotensi cukup besar sebagai pakan sumber energi dengan kandungan BETN 77,12%, tetapi kandungan protein kasar yang rendah yaitu 2,70% dan kandungan zat makanan lainnya adalah lemak kasar 0,97%, serat kasar 16,56%, dan abu 4,65% (Ningrum, 2004). Salah satu cara untuk meningkatkan kandungan gizi dari ampas sagu adalah melalui cara fermentasi.

Fermentasi pada prinsipnya adalah mengaktifkan pertumbuhan dan metabolisme dari mikroorganisme yang dibutuhkan sehingga membentuk produk baru yang berbeda dengan bahan bakunya (Winarno et al., 1980). Fermentasi yang akan dilakukan adalah menggunakan mikroba seperti starbio.

Ampas sagu yang difermentasi dapat meningkatkan kandungan gizi ampas sagu tersebut, salah satunya protein. Protein merupakan materi penyusun dasar dari semua jaringan tubuh yang dibentuk, misalnya otot-otot, sel darah untuk pertumbuhan dan perkembangan. Pemberian protein ternak harus dilakukan dengan berkesinambungan melalui ransum untuk pertumbuhan, pergantian sel dan produk lainnya. Jika protein yang diberikan tidak cukup maka akan menyebabkan pertumbuhan dari ternak tidak normal (Santoso, 1986).

Meningkatnya kandungan protein dalam karkas, dan meningkatnya deposisi protein yang merupakan indikasi dari proses pemanfaatan protein pakan. Deposisi protein yang bernilai positif, berarti ternak tersebut memanfaatkan

(62)

(Maynard dan Loosli, 1969). Sehingga dengan adanya penelitian ini diharapkan limbah pertanian seperti ampas sagu dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai pakan ternak, serta dapat membantu peternak ayam buras dalam hal pakan.

Atas dasar pemikiran inilah penulis tertarik untuk meneliti tentang “Pemanfaatan Ampas Sagu Fermentasi dan Non Fermentasi dalam Ransum

terhadap Karkas Ayam Kampung (Gallus domesticus) Umur 12 Minggu”.

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh pemberian ampas sagu fermentasi dan non

fermentasi dalam ransum terhadap karkas ayam kampung (Gallus domesticus) pada umur 12 minggu.

Hipotesis Penelitian

Pemanfaatan ampas sagu non fermentasi sebagai pakan ternak memberi pengaruh positif terhadap karkas, persentase karkas, dan bobot non karkas ayam kampung (Gallus domesticus) umur 12 minggu.

Kegunaan Penelitian

(63)

TINJAUAN PUSTAKA

Ayam Kampung

Ayam kampung yang banyak dipelihara sekarang ini secara genetis diperkirakan berasal dari keturunan ayam hutan merah (Gallus gallus) dan ayam hutan hijau (Gallus varius). Akibat proses budidaya dan pengaruh lingkungan hidup yang berbeda-beda, terbentuklah beragam varietas dan tipe ayam. Masing-masing memiliki fisik dan sifat genetik yang berbeda. Kelompok Gallus

domesticus ini dibedakan menjadi ayam buras (ayam kampung) dan ayam ras

(Iswanto,2008).

Ayam buras dengan kata lain ayam bukan ras merupakan jenis ayam yang banyak dipelihara orang di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Banyak nama dipakai untuk menyebut ayam itu. Diantaranya ada yang menyebut ayam lokal, ayam sayur atau ayam kampung (Sarwono 1996).

Taksonomi ayam kampung adalah Filum: Chordata,

SubFilum: Vertebrata, Class: Aves, SubClass: Neornithes, Ordo: Galliformes,

Genus: Gallus, Spesies: Gallus domesticus (Williamson dan Payne, 1993). Dibandingkan dengan ayam ras, ayam kampung juga jauh lebih lincah dan aktif bergerak. Jika dipelihara secara umbaran, terbiasa hinggap atau istirahat di dahan pohon yang cukup tinggi. Selain itu, ukuran tubuhnya juga lebih kecil dibandingkan dengan ayam ras (Sarwono, 1996).

(64)

terhadap makanan yang berkualitas sangat minim, sehingga sangat ekonomis bila cukup diberi pakan murah atau sedang sebagai penghasil daging dan telur (Murtidjo, 1985).

Ayam kampung mempunyai kelebihan pada daya adaptasi tinggi karena mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, kondisi lingkungan dan perubahan iklim serta cuaca setempat. Ayam kampung memiliki bentuk badan yang kompak dan susunan otot yang baik. Bentuk jari kaki tidak begitu panjang, tetapi kuat dan ramping, kukunya tajam dan sangat kuat mengais tanah. Ayam kampung penyebarannya secara merata dari dataran rendah sampai dataran tinggi (Rasyaf, 1992).

Karakteristik Ayam Kampung

Salah satu ciri ayam kampung adalah sifat genetiknya yang tidak seragam. Warna bulu, ukuran tubuh dan kemampuan produksinya tidak sama merupakan cermin dari keragaman genetiknya. Di samping itu badan ayam kampung kecil, mirip dengan badan ayam ras petelur tipe ringan (Rasyaf, 2001).

Ayam kampung memiliki kelebihan yaitu lebih tahan terhadap cekaman dan dagingnya disukai terutama untuk olahan tertentu. Daging ayam kampung memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu 18,1%. Kekurangan ayam kampung adalah perkembangbiakkannya lambat, pertumbuhan lambat, dan kerangka tubuh kecil sehingga pertumbuhan daging memerlukan waktu yang lebih lama (Hardjosworo dan Rukmiasih, 2000).

Kebutuhan Nutrisi Ayam Kampung

(65)

cukup mengandung energi, protein, mineral dan vitamin dalam jumlah yang seimbang. Faktor lainnya adalah perbaikan genetik dan peningkatan manajemen pemeliharaan ayam kampung harus didukung dengan perbaikan nutrisi pakan (Setioko dan Iskandar, 2005).

Sampai saat ini standar gizi ransum ayam kampung yang dipakai di Indonesia didasarkan rekomendasi Scott et al., (1982) dan NRC (1994). Menurut Scott et al., (1982) kebutuhan energi metabolis ayam tipe ringan umur 2-8 minggu antara 2600-3100 kkal/kg dan protein pakan antara 18-21,4% sedangkan menurut NRC (1994) kebutuhan energi metabolis dan protein masing-masing 2900 kkal/kg dan 18%. Standar tersebut sebenarnya adalah untuk ayam ras, sedangkan standar kebutuhan energi dan protein untuk ayam kampong yang dipelihara di daerah tropis belum ada. Oleh sebab itu kebutuhan energi dan protein untuk ayam kampung di Indonesia perlu diteliti.

Tabel 1. Kebutuhan gizi ayam Kampung

Minggu 0-12 12-22 22 keatas

Sumber : Murtidjo (1998) dan Nawawi dan Norrohmah (2002)

(66)

Tabel 2. Kebutuhan pakan ayam kampung

Umur (Minggu) Konsumsi (g/ekor/hari) Berat Badan (g)

1 9 45

Sumber : a. Sudaryani dan Santosa (1995) disitasi Murtidjo (1998).

Kebutuhan gizi pada ternak tergantung pada umur, jenis kelamin, kecepatan pertumbuhan, fase produksi serta keadaan kesehatan ternak (Anggorodi, 1979).

Sifat khusus unggas adalah mengkonsumsi ransum untuk memperoleh energi sehingga jumlah makanan yang dimakan tiap harinya berkecenderungan berhubungan erat dengan kadar energinya. Bila persentase protein yang tetap terdapat dalam semua ransum, maka ransum yang mempunyai konsentrasi ME tinggi akan menyediakan protein yang kurang dalam tubuh unggas karena rendahnya jumlah makanan yang di konsumsi dalam tubuh unggas. Sebaliknya, bila kadar energi kurang maka unggas akan mengkonsumsi makanan untuk mendapatkan lebih banyak energi akibatnya kemungkinan akan mengkonsumsi protein yang berlebihan (Tillman et al., 1991).

Potensi Ampas Sagu Sebagai Pakan Ternak

(67)

dunia (Deptan, 2004). Sagu merupakan salah satu sumber daya alam nabati di Indonesia yang mulai akhir tahun 70-an semakin meningkat pemanfaatannya sebagai akibat dari program pemanfaatan swasembada pangan nasional. Potensi lestari produk sagu sebesar 5.000.000 ton per tahun, namun yang baru dimanfaatkan sebesar 200.000 ton per tahun.

Pada pengolahan sagu terdapat limbah atau hasil ikutan yang berupa kulit batang dan ampas. Ampas yang di hasilkan dari proses ekstraksi ini sekitar 14% dari total berat basah batang sagu (Flach, 1997). Di sentra-sentra produksi, limbah ampas sagu pada umumnya belum dimanfaatkan dan ditumpuk begitu saja yang pada akhirnya akan mencemari lingkungan (Kompiang, 1995).

Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan alternatif dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah mempunyai proporsi pemanfaatan yang besar dalam ransum. Bahan pakan konvensional yang sering digunakan dalam penyusunan ransum sebagian besar berasal dari limbah dan pencarian bahan pakan yang belum lazim digunakan (Azwar, 1983).

(68)

langsung mengkonsumsi di tempat penumpukan ampas tanpa dikontrol (Natamijaya et al., 1988).

Ampas sagu berupa serat-serat yang di peroleh dari hasil pemarutan dan pemerasan isi batang sagu. Ampas sagu mempunyai prospek yang sangat baik, jika mendapat perlakuan yang tepat. Alternatif penggunaan ampas sagu sebagai bahan ransum ternak merupakan hal yang positif walaupun disadari bahwa penggunaannya sebagai ransum mempunyai kendala antara lain kecernaan dan kadar nutriennya rendah karena tingginya kadar serat kasar dan rendahnya kadar protein (Uhi et al., 2007).

Tabel 3. Kandungan zat nutrisi ampas sagu sebelum dan sesudah fermentasi

Zat Nutrisi Fermentasi

Sebelum Sesudah

Protein (%) 3,84 23,08

Lemak (%) 1,48 1.90

Abu (%) 5.40 9.50

Ca (%) 0,32 0,48

P (%) 0,05 0,48

Lemak Kasar (%) 14,51 28,89

Energi (Kkal/kg) 1.352 1.543

Sumber : Haryanto dan Philipus (1992).

(69)

Bahan Pakan Penyusun Ransum Bungkil Kelapa

Bungkil kelapa diperoleh sebagai hasil ikutan dari ekstraksi minyak dari daging kelapa kering (kopra). Meskipun kadar serta kualitas proteinnya lebih inferior dibanding dengan sumber protein nabati lainnya, namun produk ini tersedia dengan harga relatif murah terutama di daerah tropis (Parakkasi, 1999). Komposisi nutrisi bungkil kelapa dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Kandungan nutrisi bungkil kelapa

Nutrisi Kandugan

Sumber : a. Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Ternak Departemen Peternakan FP USU (2008) b. NRC (1994)

Tepung Ikan

Tepung ikan merupakan salah satu bahan baku sumber protein hewani dan mineral yang di butuhkan dalam komposisi makanan ternak. Tepung ikan adalah produk berkadar air rendah yang diperoleh dari penggilingan ikan. Kandungan proteinnya relatif tinggi tersusun oleh asam-asam amino esensial yang kompleks (methionin dan lysin) dan mineral (Ca dan P, serta vitamin B12). Kandungan nutrisi tepung ikan dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Kandungan nutrisi tepung ikan

(70)

Bungkil Kedelai

Bungkil kedelai adalah kedelai yang sudah diambil minyaknya. Bungkil kedelai merupakan sumber protein yang sangat bagus sebab keseimbangan asam amino yang terkandung di dalamnya cukup lengkap dan tinggi. Bungkil kedelai dibuat melalui beberapa tahapan seperti pengambilan lemak, pemanasan dan penggilingan (Boniran, 1999). Bungkil kedelai yang baik mengandung air tidak lebih dari 12 % (Hutagalung, 1990). Kandungan nutrisi bungkil kedelai dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Kandungan nutrisi bungkil kedelai

Nutrisi Kandungan

Kandungan nutrisi tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 7 berikut. Tabel 7. Kandungan nutrisi tepung jagung

Nutrisi Kandungan

(71)

para ahli nutrisi ternak menyarankan agar jagung digunakan dengan kisaran 40-45% (Nawawi dan Norrohmah, 2002).

Minyak

Bahan pakan sumber energi lain yang biasa digunakan untuk pakan adalah minyak goreng. Minyak digunakan dalam ransum hanya sebagai pelengkap dan penambah untuk mencapai kebutuhan energi baik bagi ternak dan untuk meningkatkan palatabilitas. Dengan demikian pemakaiannya hanya sedikit yaitu kurang dari 5 %. Namun beberapa minyak nabati mempunyai kandungan energi yang cukup tinggi seperti minyak kelapa yang mempunyai EM 8600 kkal/kg dan lemak yang bisa melebihi 90 %

Mineral

(72)

bangsa ternak, proses adaptasi, tingkat konsumsi, umur dan hubungan dengan zat makanan lain (Parakkasi, 1985).

Fermentasi

Fermentasi adalah segala macam proses metabolis dengan bantuan dari enzim mikrobia (jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu. Fermentasi merupakan proses biokimia yang dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat dari pemecahan kandungan bahan tersebut (Winarno et al., 1980).

Fermentasi dapat juga diartikan penguraian unsur-unsur organik dengan mokroorganisme dimana bahan yang digunakan dalam keadaan basah (kadar air 60%). Proses fermentasi dapat dikatakan sebagai proses “ protein enrichment” yang berarti proses pengkayaan protein bahan dengan menggunakan mikroorganisme tertentu (Mayasari, 2012).

Fermentasi makanan adalah kondisi perlakuan dan penyimpanan produk dalam lingkungan dimana beberapa tipe organisme dapat berkembangbiak. Proses fermentasi mikroorganisme memperoleh sejumlah energi untuk pertumbuhannya dengan jalan merombak bahan yang memberikan zat-zat nutrien atau mineral bagi

mikroorganisme seperti hidrat arang, protein, vitamin, dan lain-lain (Adams and Moss, 1995).

Probiotik Starbio

Gambar

Tabel 1. Kebutuhan gizi ayam Kampung
Tabel 2. Kebutuhan pakan ayam kampung
Tabel 3. Kandungan zat nutrisi ampas sagu sebelum dan sesudah fermentasi
Tabel 5. Kandungan nutrisi tepung ikan
+7

Referensi

Dokumen terkait

lainnya secara mandiri, maka Busuu.com layak dikunjungi dan mendaftar sebagai pengguna agar dapat menguasai materi pelajaran bahasa yang telah disusun dengan baik dan

[r]

Sharp Elektronik Indonesia Cabang Palembang yang mampu menginput data pemesanan, data toko, data pengiriman serta output laporan pengiriman, cetak bukti

1) Sistem pendukung keputusan pengadaan raw material pembuatan mie instan menggunakan metode AHP ini menjadi bagian dari proses penentuan pengambilan keputusan raw material

SBI adalah satuan pendidikan yang diselenggarakan dengan menggunakan Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan standar salah satu negara anggota OECD

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tinggi tanaman yang menggunakan semua dosis kascing pada pemanenan pertama menunjukkan nilai yang lebih baik jika dibandingkan dengan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menurunkan zat warna dan parameter pengukuran lainnya (turbidity, COD dan pH) dari limbah cair industri tenun songket,

dilakukan antar pengurus organisasi secara vertikal dan horizontal. Komunikasi ekstern adalah tata hubungan penyampaian informasi resmi IPKI yang dilakukan oleh pengurus