• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II BIOGRAFI DATUK BADIUZZAMAN SURBAKTI 2. Biografi Datuk Badiuzzaman Surbakti - Konflik Dan Kekuasaan Suatu Studi Perjuangan Politik Datuk Badiuzzaman Surbakti Dalam Perang Sunggal (1872-1895)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II BIOGRAFI DATUK BADIUZZAMAN SURBAKTI 2. Biografi Datuk Badiuzzaman Surbakti - Konflik Dan Kekuasaan Suatu Studi Perjuangan Politik Datuk Badiuzzaman Surbakti Dalam Perang Sunggal (1872-1895)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

BIOGRAFI DATUK BADIUZZAMAN SURBAKTI

2. Biografi Datuk Badiuzzaman Surbakti

Datuk Badiuzzaman Surbakti adalah tokoh yang lahir dari kerajaan

Sunggal, Serbanyaman, dengan nama lengkap Datuk Sri Diraja Badiuzzaman Sri

indera Pahlawan Surbakti. Beliau lahir di Sunggal, Kecamatan Medan Sunggal,

pada tahun 1845. Ia merupakan seorang putera dari hasil perkawinan antara Raja

Sunggal pada masa itu yakni Datuk Abdullah Ahmad Sri Indera Pahlawan

Surbakti dengan seorang perempuan yang bernama Tengku Kemala Inasun

Bahorok. Ketika beliau menginjak usia yang cukup matang untuk berkeluarga,

maka beliau memperistri seorang perempuan yang bernama Ajang Olong Besar

(2)

lima orang anak laki-laki dan dua oran anak perempuan, antara lain yaitu Datuk

Muhammad Mahir Surbakti, Datuk Muhammad Lazim Surbakti, Datuk

Muhammad Darus Surbakti, Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, Datuk

Muhammad Alif, Amah/Olong Br. Surbakti, dan Aja Ngah Haji Surbakti.

Semasa hidupnya Datuk Badiuzzaman Surbakti merupakan seorang yang

rasa keingintahuannya sangat besar. Beliau belajar kepada siapa saja dan kemana

saja demi menempuh ilmu yang dia ingin pelajari. Dalam perjalanannya beliu

belajar Bahasa Melayu di Sunggal dengan guru kerajaan dibawah bimbingan

pamannya Datuk Muhammad Abdul Jalil Surbakti dan Datuk Muhammad Dini

Surbakti. Mendalami ilmu agama Islam diberbagai tempat, seperti di daerah

Sunggal, Kota Bangun, dan Aceh. Ia menguasai Bahasa Arab dan Ilmu Tauhid,

serta hukum syariat Islam, belajar pada beberapa guru dan ulama, salah satunya

bernama Syekh Maulana Muchtar penasihat spiritual kerajaan Sunggal zaman

Datuk Abdullah Ahmad Sri Indera Pahlawan Surbaki. Menguasai Bahasa Melayu

dengan baik dan Bahasa Karo sebagai bahasa leluhurnya. Datuk Badiuzzaman Sri

Indera Pahlawan Surbakti sebagai putra seorang penguasa tanah Sunggal sangat

tekun mempelajari adat istiadat Karo/Melayu di daerah Sunggal, Jejabi,

Kinangkung, dan Desa Gajah dibawah bimbingan tokoh-tokoh adat Melayu dan

Karo yang sebagian merupakan keturunan dari Ator Surbakti dan Adir Surbakti.

Prinsip dasar seorang pemimpin rakyat dan jiwa seorang kesatria/pahlawan yang

dimiliki oleh ayahnya, Datuk Ahmad Sri Indera Pahlawan Surbakti Raja Urung

Sunggal Serbanyaman VIII selalu mengajarinya tentang sifat-sifat seorang

(3)

Bila ia bersungut maka ia bersungut dawai Bila ia memandang maka ia bermata kucing Bila ia memegang maka ia bertangan besi Bila ia merasa maka ia berhati waja Bila ia berkarib setia ia tiada bertukar

Bila ia berjuang maka ia pantang surut ia biar selangkah Bila ia menjumpai maut, mati ia berkapan cindai

Pesan itu hendak mengatakan bahwa seorang pahlawan harus bersikap

pantang menyerah, pantang surut biar selangkah pun, tetap setia sikap dan prinsip

hidupnya. Bila ia mati maka namanya akan tetap harum, karena hidupnya ditaburi

dengan semangat pengorbanan, rela berkorban, sikap tanpa pamrih pribadi yang

diwujudkan dalam perjuangannya.

Datuk Badiuzzaman Surbakti merupakan putera terbaik pada masa

Kerajaan Sunggal (Serbanyaman), ia merupakan keturunan ke-11 dari

pemerintahan Tradisional Sunggal. Daftar keturunan pemerintahan Sunggal yang

merupakan keturunan dari tanah Karo adalah sebagai berikut :

1. Jolol Karo-Karo Surbakti

2. Sirukati Surbakti

3. Sirsir/Sesser Surbakti

4. Gadjah Surbakti

5. Adir Surbakti (1629-1651) yang merupakan pendiri pertama Kerajaan

(4)

7. Bubud Surbakti (1667-1792)

8. Andan Surbakti (1792-1821)

9. Amar Laut Surbakti (1821-1845)

10.Datuk Abdullah Ahmad Surbakti (1845-1857)

11.Datuk Badiuzzaman Surbakti(1866-1895)

12.Datuk Muhammad munai (1901-1907)

13.Datuk Muhammad Jalih (1914-1923)

14.Datuk Muhammad Hasan (1923-1945)

Selain hal tersebut, sebagai sosok tokoh masyarakat, Datuk Badiuzzaman

Surbakti dalam kehidupan sehari-harinya juga dikenal sebagai seseorang yang

berjiwa besar dan rela berkorban dan memberi teladan kepada masyarakatnya

diantaranya seperti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, seperti keadilan,

keselamatan, dan kesejahteraan rakyat Sunggal. Selalu membina persatuan dan

kesatuan lintas etnis, yakni Karo, Melayu, Aceh, Gayo, dan lainnya dalam upaya

mempertahankan wilayah Sunggal dari penjajahan Belanda. Menerapkan prinsip

musyawarah dan mufakat dalam pencapaian suatu tujuan Konsisten dalam

perjuangan untuk mencapai kebebasan. Menjaga persatuan bangsa atau kaumnya.

Pantang menyerah dalam perjuangan dan rela mengorbankan hidupnya dalam

perjuangan, membela kebebasan dan kesejahteraan rakyat dan masyarakatmya.

Datuk Badiuzzaman Surbakti merupakan Raja ke-7 dari Kerajaan Sunggal.

Ketika ayahnya yaitu Datuk Abdullah Ahmad Surbakti meninggal pada tahun

1857 ia masih berumur 12 tahun dan belum bisa memegang kendali Kerajaan

(5)

sementara diberikan kepada pamannya yaitu Datuk Muhammad Kecil Surbakti.

Datuk Muhamad Kecil Surbakti memimpin Kerajaan Sunggal dari tahun 1857

sampai dengan tahun 1866. Kemudian pada tahun 1866 kepemimpinan Kerajaan

Sunggal dilanjutkan Oleh Datuk Badiuzzaman Surbakti dan ia sudah berumur 21

tahun. Setelah enam tahun ia menjadi pemimpin rakyat Sunggal tepatnya pada

tahun 1872 disitulah awal mula terjadinya Perang Sunggal.

Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti adalah pahlawan dan

pejuang yan berjuang lebih dari 23 tahun lamanya. Perjuangan yang dipimpinnya

adalah perjuangan mengusir penjajah Belanda yan merebut tanah perkebunan

rakyat untuk dijadikan perkebunan tembakau kolonial yang sangat

menyengsarakan rakyat Sunggal. Sejak berkuasa ketika berumur 26 tahun, Datuk

Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti bersama-sama dengan pejuang

lainnya, yakni Datuk Muhammad Jalil Surbakti, Datuk Muhmmad Dini Surbakti,

Datuk Sulong Barat Surbakti, dan Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti

berhasil mempersatukan masyarakat Sunggal, masrayakat Gayo dan Aceh untuk

bersatu padu melawan Belanda, melalui rintangan yang sangat berat, karena selain

harus berhadapan langsung dengan pihak belanda yang mempunyai persenjatan

yang sangat canggih juga harus berhadapan dengan suku bangsa sendiri, yakni

Deli dan Langkat yang memihak kepada Belanda.

Pola perjuangan yang dipimpinya adalah pola perjuangan gerilya dengan

menghindari konfrontasi langsung dengan pihak musuh, dengan menggunakan

daerah pegunungan sebagai medan pertempuran , aksi-aksi sabotase dilakukannya

(6)

dimiliki oleh Belanda setelah terlebih dahulu menempelkan tanda/cap “Musuh

Berngi”. Sedangkan koordinasi dengan komandan laskar pejuang dilapangan

lainnya dilakukan melalui perantara kurir (Suku Karo) dari Istana Kerajaan

Sunggal. Perlawanan rakyat yang dipimpinnya sangat sulit dipadamkan oleh oleh

pihak musuh. Seperti halnya dengan pejuang-pejuang lain yang secara licik

dengan tipu muslihat dibuang oleh Belanda, maka Datuk Badiuzzaman Sri Indera

Phlawan Surbakti mengalami hal yang sama. Beliau dihianati dan ditipu dengan

tawaran berunding oleh Belanda. Kegagalan Belanda melawan perlawanan rakyat

Sunggal terlihat dengan besarnya upaya yang dilakukannuntuk memadamkan

perlawanan yang dipimpin oleh Beliau, mulai dari pengiriman pasukan secara

besar-besaran, penyebaran mayya-mata, politik devide at impera (membagi dan manguasai) yang disebarkan untuk memecah belah rakyat Sunggal, memasukkan

Zending Kristen dari Nederland, sampai tipuan muslihat tawaran damai.

Sejarah telah mencatat bahwa Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan

Surbakti telah berhasil membuka akses perjuangan Karo dan Aceh, dengan sistem

pembagian daerah pertahanan, dimana pasukan Aceh berkedudukan di sepanjang

pesisir Langkat hingga ke pulau Kampai dan mengawasi Kejuruan Bahorok

sampai memanjang di lereng Bukit. Pasukan Sunggal menempati daerah Timbang

Langkat, memanjang sampai ke Hamparan Perak, Tanduk Banua, Sapo Uruk

sampai Sunggal, sedangkan pasukan Karo memanjang dari

Bukum-Buluhawar-Pariama-Tuntungan-Padang Bulan sampai Sunggal. Pola pembagian zona ini

tidak hanya berhasil menghempang gerak maju pasukan musuh, tetapi kemudian

(7)

mengusir penjajah Belanda. Saat ini setelah ratusan tahun berlalu, sejarah

perjuangan politik Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti dan

kawan-kawan menjadikan pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia, sejarah

perjuangan anak bangsa dalam mempersatukan kedaulatan rakyat.

2.1. Datuk Badiuzzaman Surbakti dan Kerajaan Sunggal

Kerajaan Sunggal Serbanyaman yang didirikan oleh keluarga puak

Sunggal yang diawali dengan tokoh Jolol Karo-Karo Surbakti yang mempunyai

anak Sirukati Surbakti. Seperti diketahui, suku bangsa di Sumatera Utara yang

mendiami daerah mulai dari Langkat, Deli, Serdang, dan Asahan bagian

pegunungan dataran sejak paro pertama abad ke-19 datang dari Minangkabau

sampai daerah Mandailing, karena penduduk Tapanuli di sebelah utara

Mandailingsudah terpengaruh agama Kristen yang sejak pertengahan abad ke-19

disebarkan oleh penyiar agama dari Jerman. Dalam masyarakat Batak dikenal

logat Angkola, Karo, Toba, Dairi, Simalungun, dan Mandailing.

Desa adat di tanah Batak (Huta dalam bahasa Toba) terdiri dari sekelompok rumah besar sebanyak 6-10 rumah yang berdiri diatas tiang-tiang

besar dan yang masing-masing didiami oleh keluarga-keluarga luas yang

patrilokal. Kelompok-kelompok kekerabatan yang juga sangat penting dalam

masyarakat Bataka adalah klen-klen patrilineal yang kecil maupun yang besar

disebut marga. Konstruksi rumah Batak Toba terdiri dari tiang-tiang Gelondongan

yang memberi kesan kokoh. Dulu pertikaian antarsuku masih terjadi,

(8)

benteng di atas bukit dan lingkungan belakangnya adalah pagar-pagar pohon yang

rapat. Di dalam lingkungan perumahan tersebut berjajar berhadapan dua tipe

rumah, yaitu rumah jantan yang masuknya dari kolom rumah dan rumah betina

yang masuknya dari depan. Kolong rumah yang setinggi orang dipakai sebagai

kandang ternak. Berbeda dengan Batak Toba, Batak Karo memiliki tipe rumah

pegunungan yang pintu depannya dihadapkan ke arah hulu sungai (julu) dan pintu belakangnya ke arah muara (jahe). Bentuk atap rumah kepala marga berbeda dengan bentuk atap rumah-rumah lainnya, yaitu bermahkota tingkat. Umumya

denah rumah Batak Karo direncanakan untuk keluarga Jamak. Rumah tersebut

mempunyai lorong tengah yang lantai-lantainya lebih rendah dari bagian sisi

rumah lainnya. Di dalamnya terdapat kamar-kamar untuk masing-masing

keluarga. Pria yang beranjak dewasa memiliki ruang sendiri. Di perkampungan

Batak Simalungun biasanya terdapat “Balau Butu” yang berfungsi sebagai gardu

jaga atau tempat bermalam para tamu atau pelancong.25

25

Proseding Seminar Nasional Datuk Badiuzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti Pejuang Penentang Penjajahan Belanda 1872-1895. 2006. PT. Sentrajaya Utama. Jakarta. Hal. 8.

Kembali ke marga

Surbakti tadi, Sirukati Surbakti mempunyai dua orang anak, yakni Kebal Surbakti,

dan Sirsir/Serser Surbakti. Sirsir/Serser Surbakti mempunyai saudara empat

orang, salah satu bernama Kebal Surbakti yang berasal dari Pak Pak (Dairi).

Keduanya melakukan perjalanan dari Pak Pak (Dairi) turun gunung ke Tanah

Karo dan Gayo Alas. Kebal Surbakti kemudian membuat perkampungan di

Lingga dan Sirsir mengembara sampai ke Tanah Alas di Lingg Raja, terus ke

(9)

seorang putri yang dipercayai sebagai penjelmaan dari seekor gajah sehingga

kemudian anaknya dinamai Gadjah Surbakti.

Gadjah Surbakti kemudian membuat kampuing di Sitelu Kuru dan

dinamakan Kampung Gadjah. Dengan demikian tidak heran apabila terjadi

hubungan erat anatara masyarakat Sitelu Kuru, Penghulu Gadjah, Penghulu

Lingga dan marga Surbakti. Gadjah Surbakti mempunyai tiga orang anak, yakni

Ator Surbakti, Nangmelias Br. Surbakti, dan Adir Surbakti. Adir Surbakti

kemudian mendirikan kampung di Sumbuaikan di kaki Gunung Sibayak dan

dinamakan Sunggal. Atas pengaruh Datuk Kota Bangun, ia kemudian memeluk

agama Islam tahun 1632. Adir Surbakti mempunyai anak sepuluh orang, yaitu

sembilan laki-laki dan seorang perempuan yang bernama Nang Baluan Br.

Surbakti. Adir Surbakti adalah pendiri Kerajaan Sunggal yang ketika itu

kekuaaannya cukup kuat meliputi bekas wilayah kerajaan Aru II di Deli Tua. Ia

memerintah dari tahun 1629-1651. Ketika Aceh menaklukkan Deli tahun 1612,

Sultan Aceh menempatkan seorang wakilnya di Deli, yaitu Gotjah Pahlawan.

Melihat Sunggal begitu kuat pengaruhnya di daerah Deli Tua dan orang-orang

Karo di pegunungan, maka ia menikahi Nang Baluan Br. Surbakti sebagai akses

untuk mempengaruhi raja-raja Urung di Tanah Karo. Dari perkawinannya itu

kemudian lahir raja-raja Deli dan Serdang. Pada masa itu dibuatlah kesepakatan

yang dinamakan Konfederasi Deli. Masing-masing raja Urung (Datuk berempat)

(10)

Kerajaan Sunggal pindah ke Kinangkung. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu

Bubud Surbakti dan Tobo Surbakti. Mahbub Surbakti memerintah dari tahun

1651-1667 yang kemudian digantikan oleh anaknya, Bubud Surbakti. Bubud

Surbakti memerintah unggal dari tahun 1667-1792. Ia memindahkan pusat

kekuasaannya ke Tanjung Selamat. Bubud Surbakti mempunyai dua orang anak,

Andan/Undan Surbakti dan Nng/Dayan Sermaini Br. Surbakti. Nang Sermaini

menikah dengan Panglima Mangedar Alam dari Deli. Pada tahun 1723 terjadi

perebutan tahta di Kesultanan Deli, setalah Panglima Paderap meninggal dunia.

Seorang puteranya terusir dari Deli dan kemudian menemui Raja Sunggal yang

merupakan Kalimbubu untuk melaporkan situasi di Deli. Raja Sunggal kemudian

memanggil Raja Urung Sinembah, Tanjung Morawa, dan utusan Aceh. Dari

musyawarah itu ditetapkan bahwa Umar menjadi Raja Serdang dengan Gelar

Tuanku Umar. Oleh karena itu, baik bangsawan Deli maupun Serdang adalah

anak cucu Raja Urung Sunggal marga Surbakti. Andan/Undan Surbakti

mengantikan ayahnya Bubud Surbakti yang telah meninggal dunia, ia memerintah

dari tahun 1792-1821, dan memindahkan pemerintahannay ke Tanjung Selamat.

Ia mempunyai enam orang anak laki-laki, Datuk Amar Laut Surbakti, Datuk

Jalaludin Surbakti, Datuk Keteng Surbakti, Datuk Kojat Surbakti, Datuk Bajing

Surbakti, Datuk Nahu Surbakti, dan dua orang anak perempuan, yaitu Aja

Manyak Br. Surbakti dan Aja Gadih Br. Surbakti.

Datuk Amar laut Surbakti adalah penerus tahta Sunggal yang

memindahkan pusat pemerintahannya ke Jejabi. Datuk Amar Laut Surbakti

(11)

Mereka adalah Datuk Abdullah Ahmad Surbakti, Datuk Abdul Jalil Surbakti,

Datuk Muhammad Dini Surbakti. Datuk Abdul Jalil Surbakti mempunyai

sembilan orang anak, yaitu Datuk Sulong Barat Surbakti, Datuk Riaw Surbakti,

Datuk Lintang Siak Surbakti, Datuk Lingga Surbakti, Datuk Segel Surbakti,

Datuk Long Putra Surbakti, Aja Demban Br. Surbakti, Aja Noor Br. Surbakti, dan

Aja Intan Lara Br. Surbakti. Datuk Abdulah Ahmad Surbakti mempunyai delapa

orang anak. Datuk Muhammad Dini dengan Gelar Datuk Kecil mempunyai anak

Olong Hasyim Surbakti, Datuk Ali Syafar Surbakti, Datuk Ali Usman Surbakti

(Datuk Torong) dan Aja Iting Br. Surbakti. Pada masa pemerintahannya, Sunggal

melepakan semua ikatan yang pernah dibuat dengan Deli dan Aceh. Sunggal

mempunyai bendera sendiri, yaitu merah dan kuning, dengan cap berlambang

gajah. Datuk Amar Laut meresmikan Sunggal merdeka. Pada masa ini Panglima

Mangedar Alam berusaha menaklukkan tetapi usaha tersebut gagal. Datuk Amar

Laut Surbakti naik tahta pada tahun 1845-1857 menggantikan ayahnya dan

memindahkan pusat pemerintahan Sunggal yang letaknya sekarang adalah

disekitar Jalan PAM Tirtanadi, Kecamatan Medan Sunggal, Medan. ia diberi

Gelar Datuk Indera Pahlawan. Datuk itu mempunyai delapan orang anak, enam

laki-laki dan dua perempuan, yakni Datuk Muhammad Mahir Surbakti, Datuk

Muhammad Lazim Surbakti, Datuk Muhammad Darus Surbakti, Datuk

Badiuzzaman Surbakti, Datuk Muhammad Alang Bahar Surbakti, Datuk

Muhammad Alif Surbakti, Aja Amah/Olong Br. Surbakti, Datuk Aja Ngah Haji

Br. Surbakti.pada masa inilah Sunggal diresmikan dengan nama lain yaitu

(12)

Ulon Janji.26

Dalam kehidupan Suku karo yang bertempat tinggal di Sunggal dan

sekitarnya pada masa itu ada beberapa istilah yang mereka gunakan untuk

pemerintahan tradisional serta hubungan-hubungan dengan kerajaan lain. Seperti

misalnya ada istilah perbapaan, yaitu jika suatu Kuta baru didirikan oleh orang-orang dari Kuta (kampung) induk, maka kampung induk itu disebut perbapaan

yang artinya tempat dimana bapak/ayah tinggal, dan kuta yang baru itu tidaklah

merdeka sepenuhnya karena itu jika ada perkara atau suatau masalah dan Ketika Datuk Ahmad Surbakti meninggal dunia pada tahun 1857,

Datuk Badiuzzaman Surbakti masih berusia 12 tahun, sehingga beliau dianggap

belum sanggup untuk memerintah Kerajaan Sunggal, maka atas musyawarah

keluarga, Datuk Kecil ditugaskan untuk memangku Kerajaan Sunggal sampai

Datuk Badiuzzaman Surbakti dewasa. Datuk Muhammad Dini Surbakti (Datuk

Kecil) memimpin Sunggal sampai pada tahun 1866, yaitu pada saat Datuk

Badiuzzaman Surbakti diangkat menjadai Raja Sunggal Serbanyaman dengan

Gelar Datuk Sri Diraja Indera Pahlawan. Pada saat diangakat menjadi Raja

Sunggal umur Datuk Badiuzzaman Surbakti masih 21 tahun, dan enam tahun

kemudian barulah terjadi Perang Sunggal dan umurnya sudah memasuki 27 tahun.

Datuk Badiuzzaman Surbakti memerintah Sunggal hingga tahun 1895, ketika ia

ditipu oleh Belanda dan dibuang ke Jawa seumur hidup.

2.2 Hubungan Antara Kerajaan Sunggal, Sepuluh Dua Kuta, Hamparan

Perak, Suka Piring dan Kesultanan Deli

26

(13)

penduduknya merasa ada sesuatu yang harus diselesaikan, bisa naik banding

kepada putusan kampung perbapaan yang disebut Balai. Suatu perbapan membentuk bersama-sama anak kampungnya satu negeri yang disebut Urung. ada juga beberapa kepala kampung yang berjasa kepada Datuk dan diberi gelar

“Penghulu Kitik”, sedangkan perbapan diberi gelar “Penghulu Belin”.

Pada masa itu ada beberapa bebrapa wilayah dari Datuk (Urung) 4 Suku,

yaitu Sunggal, Sepuluh Dua Kuta, Hamparan Perak, dan Suka Piring, dan wilayah

ini di bagi lagi menjadi dua bagian wilayah :

1. Sinuan Bunga (di mana kapas ditanam). Ini adalah daerah-daerah yang

berbatasan dengan dataran pesisir dimana Suku Melayu tinggal.

2. Sinuan Gambir (di mana gambir ditanam). Ini adalah wilayah-wilayah

penduduk Karo yang berbatasan dan bersatu dengan daerah hulu sampai

ke Dataran Tinggi Karo.27

Dari beberapa Urung yang disebutkan diatas, selain mereka merdeka

dalam wilayah masing-masing, Sunggal adalah wilayah Urung yang terkuat pada

masa itu karena daearah kekuasaannya yang sangat luas apabila dibandingkan

dengan wilayah Urung lainnya. Meskipun demikian, hubungan antara keempat

Urung tersebut sangat erat dan selalu melakukan hubungan-hubungan diplomatik

yang saling menguntungkan bagi Urung-Urung tersebut. Dan tentunya Datuk

Sunggal yang memperoleh posisi Ulon Janji karena kekuasaannya yang lebih

dibanding yang lainnya dan raja-raja Urung yang lain juga sangat menghormati

(14)

akan hal itu. Hubungan diplomatik yang dilakukan oleh para raja-raja Urung

tersebut berlangsung sampai Datuk Badiuzzaman Surbakti menjadi Raja Sunggal.

Hubungan yang saling menguntungkan tersebut dapat dirasakan langsung oleh

masyarakat Sunggal. Ditambah kepemimpinan Datuk Badiuzaaman Surbakti yang

bijaksana selaku penguasa Tanah Sunggal, kehidupan masyarakatnya menjadi

lebih baik, dilihat dari segi kehidupan ekonomi, masyarakat mampu terampil dan

mandiri dalam mengelola kebunnya sehingga menghasilkan sesuatu yang positif

untuk menopang kehidupan masing-masing warganya. Beliau juga merupakan

sosok yang sangat dekat dengan masyarakatnya, beliau berkeliling ke beberapa

daerah dan mendengar keluh kesah dari kehidupan masyarakatnya, sehingga itu

memberikan contoh teladan yang baik bagi masyarakat lainnya untuk hidup saling

menghargai. Pada akhirnya hubungan-hubungan yang baik tersebut menghasilkan

pola interaksi sosial yang bersifat positif, selain antarmasyarakatnya yang hidup

saling menghargai dan mendukung dalam hal untuk mencapai kehidupan yang

lebih makmur, hubungan antara seorang raja dan masyarakat juga timbul dalam

memberikan dukungan-dukungan terhadapa masyrakatnya dan tentunya

masyarakat juga mentaati peraturan-peraturan yang ada sehingga ini semua

menibmulkan rasa kecintaan warga dengan seorang raja yang berujung kepada

kehidupan yang damai dan sejahtera.

Pada masa kepemimpinannya, beliau juga membangun sebuah masjid

untuk tempat peribadatan masyarakatnya yang beragama Islam. Selain untuk

tempat peribadatan, mesjid tersebut juga sering digunakan oleh Datuk

(15)

memecahkan suatu masalah. Menurut Datuk Amansyah Surbakti, yang

merupakan keturanan ke empat pendiri mesjid ini menjelaskan, pada masa itu

pemerintah Belanda melarang semen masuk ke wilayah sunggal karena khawatir

warga pribumi mendirikan benteng pertahanan untuk melawan penjajahan. Tetapi

larangan itu tidak menghentikan niat Datuk Badiuzzaman Surbakti untuk

mendirikan masjid ini. Tak habis akal, beliau terpikir mendirikan mesjid dengan

telur ayam yang saat itu sangat banyak jumlahnya di wilayah sunggal. Ribuan

telur itu dicampur dengan pasir sebagai perekat bangunan. Mesjid yang berada

persis disebelah kantor PDAM Tirtanadi ini berasitektur campuran antara budaya

Jawa dan Melayu. Meskipun tidak terlalu besar, masjid yang didominasi warna

hijau ini dapat menampung sekitar 3 ratus jamaah dan sudah direnovasi pada

tahun 2010. Namun sangat disayangkan, dari sejak berdiri sampai sekarang mesjid

(16)

Masjid Datuk Badiuzzaman Surbakti

Kemudian mengenai hubungan antara Kerajan Sunggal dan Kesultanan

Deli, Sunggal dan Deli sebetulnya bukanlah dua kerajaan yang terpisah sama

sekali. Hubungan kedua kerajaan itu dapat dirunut mulai dari Adir Surbakti si

pendiri kerajaan Sunggal. Kekuasaan Kerajaan Sunggal ketika itu cukup kuat,

meliputi bekas wilayah kerajaan Haru II di Deli Tua. Ia memerintah dari

1629-1651. Ketika Aceh menaklukkan Deli tahun 1612, Sultan Aceh menempatkan

seorang wakilnya di Deli, yaitu Gotjah Pahlawan. Sebenarnya, sebelum Aceh

menempatkan Gotjah Pahlawan di Deli, di daerah Deli ada kekuasaan empat

wilayah hukum Suku Karo yang dikenal dengan Urung (federasi beberapa

kampung). Keempat Urung itu adalah Sunggal, Sinembah, XII kota, dan Suka

(17)

orang-orang Karo di Pegunungan, maka ia mengawini Nang Baluan Surbakti sebagai

akses untuk dapat mempengaruhi Raja-raja Urung di Tanah Karo. Dan

perkawinannya ini kemudian lahir raja-raja Deli dari Serdang. Sesuai dengan adat

Karo, maka Deli adalah “anak beru” dan Sunggal dan sebagai hadiah perkawinan

diserahkan Raja Urung Sunggal jalur wilayah yang terletak di tepi pantai antara

Kuala Belawan dan Kuala Percut sebagai daerah yang diperintah langsung oleh

Deli. Secara ketatanegaraan Deli setaraf dengan wilayah-wilayah Urung, tetapi

karena Deli menguasai pantai dan muara-muara sungai yang vital bagi impor dan

ekspor hasil bumi, ditambah posisi Gotjah Pahlawan sebagai wakil Aceh di Deli,

maka posisi Deli akhirnya menjadi lebih menonjol.

Pada masa itu dibuatlah kesepakatan semacam konfederasi antarkerajaan

itu. Pertama, Sri Paduka Gotjah Pahlawan dan kemudian keturunan keturunannya

raja-raja Deli bertindak sebagai “Yang Dipertuan Agung” dan “Arbiter” (hakim

tertinggi) yang memutus semua sengketa keluar dan ke dalam. Kedua, diberi

posisi sebagai “Ulon Janji” (De Voornamaste Onderhandelaar) sekaligus mertua dan Mahapatih. Oleh karena ia yang paling utama di antara raja-raja Urung di

Deli, maka ia berhak membacakan penabalan atau pengesahan raja-raja Deli.

Ketiga, masing-masing raja Urung (Datuk berempat) merdeka dalam wilayah

masing-masing.

Dalam perjalanannya, hubungan Deli dan Sunggal mengalami pasang

surut. Pada tahun 1822, Deli di bawah Sultan Panglima Magedar Alam merasa

(18)

raja Sunggal saat itu. Akan tetapi, cara seperti ini tidak membuat Sunggal menjadi

bawahan Deli hinga akhirnya pada tahun 1822 Deli menyerang Sunggal.

Tindakan Sultan Deli menyerang Sunggal sangat menjengkelkan Datuk Amar

Laut Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal masa itu. Serangan ini bukan membuat

Sunggal menjadi lemah, tapi malah berakibat buruk bagi Deli, yakni Deli

kehilangan pengaruh atas keempat raja-raja Urung di Deli dan pedalaman Karo.

Akibatnya, hubungan menjadi semakin buruk dan Sunggal di bawah Datuk Amar

Laut (1823) memutuskan untuk menonaktifkan konfederasi Deli (ketika itu pun

Deli takluk pada Kerajaan Siak). Datuk Amar Laut kemudian memproklamasikan

Sunggal merdeka dengan mengeluarkan bendera sendiri berwarna merah dan

kuning, dengan cap/lambang gajah.

Tindakan Sultan Deli menyerang Sunggal sangat menjengkelkan Datuk

Amar Laut Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal masa itu. Dalam pertemuannya

dengan John Anderson di Sunggal, Datuk Amar Laut Surbakti yang telah berusia

45 tahun ditemani ketiga putranya, masing-masing Datuk Abdul Hamid Surbakti ,

Datuk Abdullah Ahmad Surbakti, dan Datuk Mahini Surbakti, menjelaskan bahwa

ia baru saja selesai berperang melawan Sultan Deli dan ia menyalahkan tindakan

Sultan Deli. Ia merasa tidak senang dengan Sultan Deli. Oleh karena itu, meski

telah ada perdamaian, menurut Anderson, konflik akan kembali terjadi antara

Sunggal dan Deli. Ketika itu Sunggal merupakan pusat aktivitas perdagangan

yang ramai dikunjungi orang-orang Batak Karo dari gunung yang menjual

hasil-hasil buminya. Datuk Amar Laut mengusulkan pada Anderson, bila Inggris

(19)

Pengamanan di Pulau Pangkor untuk mencegah aksi bajak laut yang selalu

merampok perahu-perahu dagang dari Sunggal menuju Penang. Dengan begitu,

Sunggal memang sebuah negeri yang merdeka dan menjadi tempat transit

hasil-hasil pertanian yang akan diekspor ke Pulau Penang di Semenanjung Malaysia.

Posisi Sunggal yaag strategis ini menarik perhatian utusan Inggris itu sehingga

perlu dibangun hubungan perdagangan dan politik. Namun, ketika Sunggal di

bawah kepemimpinan Datuk Abdullah Ahmad Surbakti (1845-1857) dan Deli di

bawah Sultan Mahmud, hubungan Deli-Sunggal berubah lagi. Konfederasi Deli

diaktifkan kembali. Sejalan dengan semakin kuatnya pengaruh Belanda di daerah

Sumatera Timur (Deli), ambisi Deli untuk menaklukkan Sunggal terbuka lebar.

Datuk Ahmad bahkan diberi gelar Datuk Indera Pahlawan Wazir

Serbanyaman Ulon Janji. Pada masa inilah diresmikan nama Serbanyaman

sebagai pengganti Sunggal. Ketika Sultan Deli menyewakan tanah-tanah subur di

daerah Sunggal bagi kepentingan industri perkebunan pemerintah kolonial

Belanda, maka hubungan Deli Sunggal kembali memburuk, hingga meletuslah

perlawanan rakyat Sunggal tahun 1872-1895. Perang itu, bagi Deli adalah upaya

klasik untuk melemahkan kekuasaan Datuk Sunggal. Sebaliknya, bagi Sunggal

adalah upaya mempertahankan hak dan kedaulatannya atas wilayah dan

kemerdekaan rakyat Sunggal yang sudah dimiliki sejak lama, bahkan sebelum

adanya Kerajaan Deli.

Datuk Abdullah Ahmad Surbakti menggantikan ayahnya sebagai raja

(20)

Datuk Abdullah Ahmad Surbakti mempunyai saudara Datuk Jalil Surbakti, Datuk

Muhammad Mahini Surbakti (Datuk Kecil) dan seorang perempuan. Datuk Jalil

menikah dengan puteri Kejeruan Selesai dari Langkat dan mempunyai anak

bernama Sulong Barat, Sulong Putra, dan seorang perempuan. Sementara, Datuk

Muhammad Dini (Kecil) menikah dengan puteri Selesai dan mempunyai dua

orang anak laki-laki dan seorang perempuan. Ketika Datuk Abdullah Ahmad

Surbakti meninggal dunia pada tahun 1857, anaknya Datuk Badiuzzaman

Surbakti masih berusia 12 tahun, maka atas musyawarah keluarga, Datuk Kecil

ditugaskan untuk memangku kerajaan Sunggal sampai Datuk Badiuzzaman

dewasa. Karena lingkungan keluarga yang sangat anti Belanda atau anti

penjajahan maka memiliki pengaruh yang kuat pada diri Datuk Badiuzzaman

Surbakti yang didampingi Datuk Kecil hingga tahun 1866.

Sebagaimana sudah dijelaskan, perluasan penanaman tembakau demikian

cepat dan membutuhkan begitu banyak lahan subur di wilayah kekuasaan Urung

Sunggal. Dengan dukungan perangkat hukum Undang-Undang Agraria, pihak

perusahaan perkebunan secara sah menurut hukum bisa menyewa tanah dengan

jangka waktu yang sangat lama, yakni 99 tahun (kemudian diubah menjadi 75

tahun). Undang-undang ini memang sengaja diciptakan untuk mengantisipasi

perkembangan cepat penanaman tembakau di Deli yang sudah mulai terkenal di

pasaran Eropa. Daun tembakau Deli merupakan yang terbaik mutunya di dunia

saat itu sebagai pembalut cerutu. Budidaya tembakau memang membutuhkan

lahan yang luas dan subur dengan masa rotasi tanam yang lama. Sebab lahan yang

(21)

ditanami kembali. Oleh karena itu, dalam masa rotasi ini diperlukan lahan yang

lain agar produksi perkebunan tembakau tidak berhenti. Bila berhenti, maka

pasokan untuk ekspor akan kekurangan dan itu pada gilirannya akan mengurangi

arus pemasukan dalam kas keuangan pemerintah Hindia Belanda.

Pihak pemerintah kolonial Belanda karena kekurangan dana, ketika

melakukan gerakan pasifikasi (usaha memperdamaikan dari kekacauan, baik

karena ada pihak-pihak yang bertikai dan berseteru maupun pembudayaan karena

penduduk pribumi masih dianggap terbelakang) ke Deli, sangat membutuhkan

bantuan investor asing untuk membangun daerah yang baru dikuasainya itu.

Akibatnya, perusahaan perkebunan menjadi bertindak semena-mena karena

didukung oleh kebijakan politik kolonial dan tradisional dari Sultan Deli.

Perubahan cepat yang terjadi di Deli akibatnya mencemaskan para penguasa

Sunggal. Oleh karena itu, pada bulan Desember 1871 Datuk Badiuzaman Surbakti

sebagai Raja Urung Sunggal Serbanyaman beserta seluruh kerabat dan

orang-orang dekatnya, termasuk orang-orang-orang-orang Batak Karo dan pegunungan mengadakan

rapat di sebuah kebun lada. rapat itu dihadiri oleh Datuk Kecil (Mahini), Datuk

Jalil, Datuk Sulong Barat, Nabung Surbakti sebagai komandan pasukan Karo dan

pegunungan, dan Tuanku Hasyim mewakili Panglima Nyak Makam sebagai

komandan Laskar Aceh, Alas, Gayo.

Hasil rapat itu memutuskan untuk melakukan perlawanan terhadap Sultan

Deli dan Pemerintah Belanda. Datuk Sunggal Badiuzzaman Surbakti mengatakan

(22)

Sementara Datuk Kecil berkata, “kalau kita tak turut kita akan diusir Belanda”.

Lalu putranya Sulong Barat menimpalinya bahwa “Belanda dan Sultan Deli setali

tiga uang belaka, merampas tanah rakyat demi kepentingannya sendiri”. Rapat itu

memutuskan beberapa hal, antara lain yang pertama bahwa Sunggal, Karo, dan

Aceh (Alas, Gayo) sepakat membina persatuan dan kesatuan dari segala

perselihan yang dilakukan Belanda dengan politik pecah belahnya harus

dilenyapkan, yang kedua bahwa Sunggal, Karo, dan Aceh (Alas, Gayo) sepakat

menentang Belanda serta mempertahankan setiap jengkal tanah warisan leluhur

untuk masyarakat Sunggal, Karo, dan Aceh (Alas, Gayo) secara bersama-sama

mengusir setiap penjajah yang menjajah daerahnya.

Untuk merealisasikan hasil pertemuan itu, dibentuklah sebuah Badan yang

dipusatkan di Kampung Gadjah yang terletak di kawasan Sitelu Kuru, Tanah

Karo. Badan ini berfungsi untuk memobilisasi pasukan perang yang terdiri dan

orang yang kuat dan mempunyai ilmu dengan kebatinan yang tinggi dan

mempersiapkan logistik lainnya. Badan ini dipimpin oleh Datuk Mahini (Kecil)

dengan mendudukkan wakilnya di Tanah Karo. Badan ini bertanggung jawab

langsung kepada Datuk Badiuzzaman. Orang-orang Sunggal yang ditugaskan

mengurusi badan ini di Kampung Gadjah adalah beragama Islam. Selama

bertugas di Kampung Gadjah, mereka bertemu dengan saudara-saudaranya marga

Surbakti. Hingga sekarang masih ada tempat pemandian mereka yang dikenal

Referensi

Dokumen terkait