BAB II
BIOGRAFI DATUK BADIUZZAMAN SURBAKTI
2. Biografi Datuk Badiuzzaman Surbakti
Datuk Badiuzzaman Surbakti adalah tokoh yang lahir dari kerajaan
Sunggal, Serbanyaman, dengan nama lengkap Datuk Sri Diraja Badiuzzaman Sri
indera Pahlawan Surbakti. Beliau lahir di Sunggal, Kecamatan Medan Sunggal,
pada tahun 1845. Ia merupakan seorang putera dari hasil perkawinan antara Raja
Sunggal pada masa itu yakni Datuk Abdullah Ahmad Sri Indera Pahlawan
Surbakti dengan seorang perempuan yang bernama Tengku Kemala Inasun
Bahorok. Ketika beliau menginjak usia yang cukup matang untuk berkeluarga,
maka beliau memperistri seorang perempuan yang bernama Ajang Olong Besar
lima orang anak laki-laki dan dua oran anak perempuan, antara lain yaitu Datuk
Muhammad Mahir Surbakti, Datuk Muhammad Lazim Surbakti, Datuk
Muhammad Darus Surbakti, Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, Datuk
Muhammad Alif, Amah/Olong Br. Surbakti, dan Aja Ngah Haji Surbakti.
Semasa hidupnya Datuk Badiuzzaman Surbakti merupakan seorang yang
rasa keingintahuannya sangat besar. Beliau belajar kepada siapa saja dan kemana
saja demi menempuh ilmu yang dia ingin pelajari. Dalam perjalanannya beliu
belajar Bahasa Melayu di Sunggal dengan guru kerajaan dibawah bimbingan
pamannya Datuk Muhammad Abdul Jalil Surbakti dan Datuk Muhammad Dini
Surbakti. Mendalami ilmu agama Islam diberbagai tempat, seperti di daerah
Sunggal, Kota Bangun, dan Aceh. Ia menguasai Bahasa Arab dan Ilmu Tauhid,
serta hukum syariat Islam, belajar pada beberapa guru dan ulama, salah satunya
bernama Syekh Maulana Muchtar penasihat spiritual kerajaan Sunggal zaman
Datuk Abdullah Ahmad Sri Indera Pahlawan Surbaki. Menguasai Bahasa Melayu
dengan baik dan Bahasa Karo sebagai bahasa leluhurnya. Datuk Badiuzzaman Sri
Indera Pahlawan Surbakti sebagai putra seorang penguasa tanah Sunggal sangat
tekun mempelajari adat istiadat Karo/Melayu di daerah Sunggal, Jejabi,
Kinangkung, dan Desa Gajah dibawah bimbingan tokoh-tokoh adat Melayu dan
Karo yang sebagian merupakan keturunan dari Ator Surbakti dan Adir Surbakti.
Prinsip dasar seorang pemimpin rakyat dan jiwa seorang kesatria/pahlawan yang
dimiliki oleh ayahnya, Datuk Ahmad Sri Indera Pahlawan Surbakti Raja Urung
Sunggal Serbanyaman VIII selalu mengajarinya tentang sifat-sifat seorang
Bila ia bersungut maka ia bersungut dawai Bila ia memandang maka ia bermata kucing Bila ia memegang maka ia bertangan besi Bila ia merasa maka ia berhati waja Bila ia berkarib setia ia tiada bertukar
Bila ia berjuang maka ia pantang surut ia biar selangkah Bila ia menjumpai maut, mati ia berkapan cindai
Pesan itu hendak mengatakan bahwa seorang pahlawan harus bersikap
pantang menyerah, pantang surut biar selangkah pun, tetap setia sikap dan prinsip
hidupnya. Bila ia mati maka namanya akan tetap harum, karena hidupnya ditaburi
dengan semangat pengorbanan, rela berkorban, sikap tanpa pamrih pribadi yang
diwujudkan dalam perjuangannya.
Datuk Badiuzzaman Surbakti merupakan putera terbaik pada masa
Kerajaan Sunggal (Serbanyaman), ia merupakan keturunan ke-11 dari
pemerintahan Tradisional Sunggal. Daftar keturunan pemerintahan Sunggal yang
merupakan keturunan dari tanah Karo adalah sebagai berikut :
1. Jolol Karo-Karo Surbakti
2. Sirukati Surbakti
3. Sirsir/Sesser Surbakti
4. Gadjah Surbakti
5. Adir Surbakti (1629-1651) yang merupakan pendiri pertama Kerajaan
7. Bubud Surbakti (1667-1792)
8. Andan Surbakti (1792-1821)
9. Amar Laut Surbakti (1821-1845)
10.Datuk Abdullah Ahmad Surbakti (1845-1857)
11.Datuk Badiuzzaman Surbakti(1866-1895)
12.Datuk Muhammad munai (1901-1907)
13.Datuk Muhammad Jalih (1914-1923)
14.Datuk Muhammad Hasan (1923-1945)
Selain hal tersebut, sebagai sosok tokoh masyarakat, Datuk Badiuzzaman
Surbakti dalam kehidupan sehari-harinya juga dikenal sebagai seseorang yang
berjiwa besar dan rela berkorban dan memberi teladan kepada masyarakatnya
diantaranya seperti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, seperti keadilan,
keselamatan, dan kesejahteraan rakyat Sunggal. Selalu membina persatuan dan
kesatuan lintas etnis, yakni Karo, Melayu, Aceh, Gayo, dan lainnya dalam upaya
mempertahankan wilayah Sunggal dari penjajahan Belanda. Menerapkan prinsip
musyawarah dan mufakat dalam pencapaian suatu tujuan Konsisten dalam
perjuangan untuk mencapai kebebasan. Menjaga persatuan bangsa atau kaumnya.
Pantang menyerah dalam perjuangan dan rela mengorbankan hidupnya dalam
perjuangan, membela kebebasan dan kesejahteraan rakyat dan masyarakatmya.
Datuk Badiuzzaman Surbakti merupakan Raja ke-7 dari Kerajaan Sunggal.
Ketika ayahnya yaitu Datuk Abdullah Ahmad Surbakti meninggal pada tahun
1857 ia masih berumur 12 tahun dan belum bisa memegang kendali Kerajaan
sementara diberikan kepada pamannya yaitu Datuk Muhammad Kecil Surbakti.
Datuk Muhamad Kecil Surbakti memimpin Kerajaan Sunggal dari tahun 1857
sampai dengan tahun 1866. Kemudian pada tahun 1866 kepemimpinan Kerajaan
Sunggal dilanjutkan Oleh Datuk Badiuzzaman Surbakti dan ia sudah berumur 21
tahun. Setelah enam tahun ia menjadi pemimpin rakyat Sunggal tepatnya pada
tahun 1872 disitulah awal mula terjadinya Perang Sunggal.
Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti adalah pahlawan dan
pejuang yan berjuang lebih dari 23 tahun lamanya. Perjuangan yang dipimpinnya
adalah perjuangan mengusir penjajah Belanda yan merebut tanah perkebunan
rakyat untuk dijadikan perkebunan tembakau kolonial yang sangat
menyengsarakan rakyat Sunggal. Sejak berkuasa ketika berumur 26 tahun, Datuk
Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti bersama-sama dengan pejuang
lainnya, yakni Datuk Muhammad Jalil Surbakti, Datuk Muhmmad Dini Surbakti,
Datuk Sulong Barat Surbakti, dan Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti
berhasil mempersatukan masyarakat Sunggal, masrayakat Gayo dan Aceh untuk
bersatu padu melawan Belanda, melalui rintangan yang sangat berat, karena selain
harus berhadapan langsung dengan pihak belanda yang mempunyai persenjatan
yang sangat canggih juga harus berhadapan dengan suku bangsa sendiri, yakni
Deli dan Langkat yang memihak kepada Belanda.
Pola perjuangan yang dipimpinya adalah pola perjuangan gerilya dengan
menghindari konfrontasi langsung dengan pihak musuh, dengan menggunakan
daerah pegunungan sebagai medan pertempuran , aksi-aksi sabotase dilakukannya
dimiliki oleh Belanda setelah terlebih dahulu menempelkan tanda/cap “Musuh
Berngi”. Sedangkan koordinasi dengan komandan laskar pejuang dilapangan
lainnya dilakukan melalui perantara kurir (Suku Karo) dari Istana Kerajaan
Sunggal. Perlawanan rakyat yang dipimpinnya sangat sulit dipadamkan oleh oleh
pihak musuh. Seperti halnya dengan pejuang-pejuang lain yang secara licik
dengan tipu muslihat dibuang oleh Belanda, maka Datuk Badiuzzaman Sri Indera
Phlawan Surbakti mengalami hal yang sama. Beliau dihianati dan ditipu dengan
tawaran berunding oleh Belanda. Kegagalan Belanda melawan perlawanan rakyat
Sunggal terlihat dengan besarnya upaya yang dilakukannuntuk memadamkan
perlawanan yang dipimpin oleh Beliau, mulai dari pengiriman pasukan secara
besar-besaran, penyebaran mayya-mata, politik devide at impera (membagi dan manguasai) yang disebarkan untuk memecah belah rakyat Sunggal, memasukkan
Zending Kristen dari Nederland, sampai tipuan muslihat tawaran damai.
Sejarah telah mencatat bahwa Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan
Surbakti telah berhasil membuka akses perjuangan Karo dan Aceh, dengan sistem
pembagian daerah pertahanan, dimana pasukan Aceh berkedudukan di sepanjang
pesisir Langkat hingga ke pulau Kampai dan mengawasi Kejuruan Bahorok
sampai memanjang di lereng Bukit. Pasukan Sunggal menempati daerah Timbang
Langkat, memanjang sampai ke Hamparan Perak, Tanduk Banua, Sapo Uruk
sampai Sunggal, sedangkan pasukan Karo memanjang dari
Bukum-Buluhawar-Pariama-Tuntungan-Padang Bulan sampai Sunggal. Pola pembagian zona ini
tidak hanya berhasil menghempang gerak maju pasukan musuh, tetapi kemudian
mengusir penjajah Belanda. Saat ini setelah ratusan tahun berlalu, sejarah
perjuangan politik Datuk Badiuzzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti dan
kawan-kawan menjadikan pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia, sejarah
perjuangan anak bangsa dalam mempersatukan kedaulatan rakyat.
2.1. Datuk Badiuzzaman Surbakti dan Kerajaan Sunggal
Kerajaan Sunggal Serbanyaman yang didirikan oleh keluarga puak
Sunggal yang diawali dengan tokoh Jolol Karo-Karo Surbakti yang mempunyai
anak Sirukati Surbakti. Seperti diketahui, suku bangsa di Sumatera Utara yang
mendiami daerah mulai dari Langkat, Deli, Serdang, dan Asahan bagian
pegunungan dataran sejak paro pertama abad ke-19 datang dari Minangkabau
sampai daerah Mandailing, karena penduduk Tapanuli di sebelah utara
Mandailingsudah terpengaruh agama Kristen yang sejak pertengahan abad ke-19
disebarkan oleh penyiar agama dari Jerman. Dalam masyarakat Batak dikenal
logat Angkola, Karo, Toba, Dairi, Simalungun, dan Mandailing.
Desa adat di tanah Batak (Huta dalam bahasa Toba) terdiri dari sekelompok rumah besar sebanyak 6-10 rumah yang berdiri diatas tiang-tiang
besar dan yang masing-masing didiami oleh keluarga-keluarga luas yang
patrilokal. Kelompok-kelompok kekerabatan yang juga sangat penting dalam
masyarakat Bataka adalah klen-klen patrilineal yang kecil maupun yang besar
disebut marga. Konstruksi rumah Batak Toba terdiri dari tiang-tiang Gelondongan
yang memberi kesan kokoh. Dulu pertikaian antarsuku masih terjadi,
benteng di atas bukit dan lingkungan belakangnya adalah pagar-pagar pohon yang
rapat. Di dalam lingkungan perumahan tersebut berjajar berhadapan dua tipe
rumah, yaitu rumah jantan yang masuknya dari kolom rumah dan rumah betina
yang masuknya dari depan. Kolong rumah yang setinggi orang dipakai sebagai
kandang ternak. Berbeda dengan Batak Toba, Batak Karo memiliki tipe rumah
pegunungan yang pintu depannya dihadapkan ke arah hulu sungai (julu) dan pintu belakangnya ke arah muara (jahe). Bentuk atap rumah kepala marga berbeda dengan bentuk atap rumah-rumah lainnya, yaitu bermahkota tingkat. Umumya
denah rumah Batak Karo direncanakan untuk keluarga Jamak. Rumah tersebut
mempunyai lorong tengah yang lantai-lantainya lebih rendah dari bagian sisi
rumah lainnya. Di dalamnya terdapat kamar-kamar untuk masing-masing
keluarga. Pria yang beranjak dewasa memiliki ruang sendiri. Di perkampungan
Batak Simalungun biasanya terdapat “Balau Butu” yang berfungsi sebagai gardu
jaga atau tempat bermalam para tamu atau pelancong.25
25
Proseding Seminar Nasional Datuk Badiuzaman Sri Indera Pahlawan Surbakti Pejuang Penentang Penjajahan Belanda 1872-1895. 2006. PT. Sentrajaya Utama. Jakarta. Hal. 8.
Kembali ke marga
Surbakti tadi, Sirukati Surbakti mempunyai dua orang anak, yakni Kebal Surbakti,
dan Sirsir/Serser Surbakti. Sirsir/Serser Surbakti mempunyai saudara empat
orang, salah satu bernama Kebal Surbakti yang berasal dari Pak Pak (Dairi).
Keduanya melakukan perjalanan dari Pak Pak (Dairi) turun gunung ke Tanah
Karo dan Gayo Alas. Kebal Surbakti kemudian membuat perkampungan di
Lingga dan Sirsir mengembara sampai ke Tanah Alas di Lingg Raja, terus ke
seorang putri yang dipercayai sebagai penjelmaan dari seekor gajah sehingga
kemudian anaknya dinamai Gadjah Surbakti.
Gadjah Surbakti kemudian membuat kampuing di Sitelu Kuru dan
dinamakan Kampung Gadjah. Dengan demikian tidak heran apabila terjadi
hubungan erat anatara masyarakat Sitelu Kuru, Penghulu Gadjah, Penghulu
Lingga dan marga Surbakti. Gadjah Surbakti mempunyai tiga orang anak, yakni
Ator Surbakti, Nangmelias Br. Surbakti, dan Adir Surbakti. Adir Surbakti
kemudian mendirikan kampung di Sumbuaikan di kaki Gunung Sibayak dan
dinamakan Sunggal. Atas pengaruh Datuk Kota Bangun, ia kemudian memeluk
agama Islam tahun 1632. Adir Surbakti mempunyai anak sepuluh orang, yaitu
sembilan laki-laki dan seorang perempuan yang bernama Nang Baluan Br.
Surbakti. Adir Surbakti adalah pendiri Kerajaan Sunggal yang ketika itu
kekuaaannya cukup kuat meliputi bekas wilayah kerajaan Aru II di Deli Tua. Ia
memerintah dari tahun 1629-1651. Ketika Aceh menaklukkan Deli tahun 1612,
Sultan Aceh menempatkan seorang wakilnya di Deli, yaitu Gotjah Pahlawan.
Melihat Sunggal begitu kuat pengaruhnya di daerah Deli Tua dan orang-orang
Karo di pegunungan, maka ia menikahi Nang Baluan Br. Surbakti sebagai akses
untuk mempengaruhi raja-raja Urung di Tanah Karo. Dari perkawinannya itu
kemudian lahir raja-raja Deli dan Serdang. Pada masa itu dibuatlah kesepakatan
yang dinamakan Konfederasi Deli. Masing-masing raja Urung (Datuk berempat)
Kerajaan Sunggal pindah ke Kinangkung. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu
Bubud Surbakti dan Tobo Surbakti. Mahbub Surbakti memerintah dari tahun
1651-1667 yang kemudian digantikan oleh anaknya, Bubud Surbakti. Bubud
Surbakti memerintah unggal dari tahun 1667-1792. Ia memindahkan pusat
kekuasaannya ke Tanjung Selamat. Bubud Surbakti mempunyai dua orang anak,
Andan/Undan Surbakti dan Nng/Dayan Sermaini Br. Surbakti. Nang Sermaini
menikah dengan Panglima Mangedar Alam dari Deli. Pada tahun 1723 terjadi
perebutan tahta di Kesultanan Deli, setalah Panglima Paderap meninggal dunia.
Seorang puteranya terusir dari Deli dan kemudian menemui Raja Sunggal yang
merupakan Kalimbubu untuk melaporkan situasi di Deli. Raja Sunggal kemudian
memanggil Raja Urung Sinembah, Tanjung Morawa, dan utusan Aceh. Dari
musyawarah itu ditetapkan bahwa Umar menjadi Raja Serdang dengan Gelar
Tuanku Umar. Oleh karena itu, baik bangsawan Deli maupun Serdang adalah
anak cucu Raja Urung Sunggal marga Surbakti. Andan/Undan Surbakti
mengantikan ayahnya Bubud Surbakti yang telah meninggal dunia, ia memerintah
dari tahun 1792-1821, dan memindahkan pemerintahannay ke Tanjung Selamat.
Ia mempunyai enam orang anak laki-laki, Datuk Amar Laut Surbakti, Datuk
Jalaludin Surbakti, Datuk Keteng Surbakti, Datuk Kojat Surbakti, Datuk Bajing
Surbakti, Datuk Nahu Surbakti, dan dua orang anak perempuan, yaitu Aja
Manyak Br. Surbakti dan Aja Gadih Br. Surbakti.
Datuk Amar laut Surbakti adalah penerus tahta Sunggal yang
memindahkan pusat pemerintahannya ke Jejabi. Datuk Amar Laut Surbakti
Mereka adalah Datuk Abdullah Ahmad Surbakti, Datuk Abdul Jalil Surbakti,
Datuk Muhammad Dini Surbakti. Datuk Abdul Jalil Surbakti mempunyai
sembilan orang anak, yaitu Datuk Sulong Barat Surbakti, Datuk Riaw Surbakti,
Datuk Lintang Siak Surbakti, Datuk Lingga Surbakti, Datuk Segel Surbakti,
Datuk Long Putra Surbakti, Aja Demban Br. Surbakti, Aja Noor Br. Surbakti, dan
Aja Intan Lara Br. Surbakti. Datuk Abdulah Ahmad Surbakti mempunyai delapa
orang anak. Datuk Muhammad Dini dengan Gelar Datuk Kecil mempunyai anak
Olong Hasyim Surbakti, Datuk Ali Syafar Surbakti, Datuk Ali Usman Surbakti
(Datuk Torong) dan Aja Iting Br. Surbakti. Pada masa pemerintahannya, Sunggal
melepakan semua ikatan yang pernah dibuat dengan Deli dan Aceh. Sunggal
mempunyai bendera sendiri, yaitu merah dan kuning, dengan cap berlambang
gajah. Datuk Amar Laut meresmikan Sunggal merdeka. Pada masa ini Panglima
Mangedar Alam berusaha menaklukkan tetapi usaha tersebut gagal. Datuk Amar
Laut Surbakti naik tahta pada tahun 1845-1857 menggantikan ayahnya dan
memindahkan pusat pemerintahan Sunggal yang letaknya sekarang adalah
disekitar Jalan PAM Tirtanadi, Kecamatan Medan Sunggal, Medan. ia diberi
Gelar Datuk Indera Pahlawan. Datuk itu mempunyai delapan orang anak, enam
laki-laki dan dua perempuan, yakni Datuk Muhammad Mahir Surbakti, Datuk
Muhammad Lazim Surbakti, Datuk Muhammad Darus Surbakti, Datuk
Badiuzzaman Surbakti, Datuk Muhammad Alang Bahar Surbakti, Datuk
Muhammad Alif Surbakti, Aja Amah/Olong Br. Surbakti, Datuk Aja Ngah Haji
Br. Surbakti.pada masa inilah Sunggal diresmikan dengan nama lain yaitu
Ulon Janji.26
Dalam kehidupan Suku karo yang bertempat tinggal di Sunggal dan
sekitarnya pada masa itu ada beberapa istilah yang mereka gunakan untuk
pemerintahan tradisional serta hubungan-hubungan dengan kerajaan lain. Seperti
misalnya ada istilah perbapaan, yaitu jika suatu Kuta baru didirikan oleh orang-orang dari Kuta (kampung) induk, maka kampung induk itu disebut perbapaan
yang artinya tempat dimana bapak/ayah tinggal, dan kuta yang baru itu tidaklah
merdeka sepenuhnya karena itu jika ada perkara atau suatau masalah dan Ketika Datuk Ahmad Surbakti meninggal dunia pada tahun 1857,
Datuk Badiuzzaman Surbakti masih berusia 12 tahun, sehingga beliau dianggap
belum sanggup untuk memerintah Kerajaan Sunggal, maka atas musyawarah
keluarga, Datuk Kecil ditugaskan untuk memangku Kerajaan Sunggal sampai
Datuk Badiuzzaman Surbakti dewasa. Datuk Muhammad Dini Surbakti (Datuk
Kecil) memimpin Sunggal sampai pada tahun 1866, yaitu pada saat Datuk
Badiuzzaman Surbakti diangkat menjadai Raja Sunggal Serbanyaman dengan
Gelar Datuk Sri Diraja Indera Pahlawan. Pada saat diangakat menjadi Raja
Sunggal umur Datuk Badiuzzaman Surbakti masih 21 tahun, dan enam tahun
kemudian barulah terjadi Perang Sunggal dan umurnya sudah memasuki 27 tahun.
Datuk Badiuzzaman Surbakti memerintah Sunggal hingga tahun 1895, ketika ia
ditipu oleh Belanda dan dibuang ke Jawa seumur hidup.
2.2 Hubungan Antara Kerajaan Sunggal, Sepuluh Dua Kuta, Hamparan
Perak, Suka Piring dan Kesultanan Deli
26
penduduknya merasa ada sesuatu yang harus diselesaikan, bisa naik banding
kepada putusan kampung perbapaan yang disebut Balai. Suatu perbapan membentuk bersama-sama anak kampungnya satu negeri yang disebut Urung. ada juga beberapa kepala kampung yang berjasa kepada Datuk dan diberi gelar
“Penghulu Kitik”, sedangkan perbapan diberi gelar “Penghulu Belin”.
Pada masa itu ada beberapa bebrapa wilayah dari Datuk (Urung) 4 Suku,
yaitu Sunggal, Sepuluh Dua Kuta, Hamparan Perak, dan Suka Piring, dan wilayah
ini di bagi lagi menjadi dua bagian wilayah :
1. Sinuan Bunga (di mana kapas ditanam). Ini adalah daerah-daerah yang
berbatasan dengan dataran pesisir dimana Suku Melayu tinggal.
2. Sinuan Gambir (di mana gambir ditanam). Ini adalah wilayah-wilayah
penduduk Karo yang berbatasan dan bersatu dengan daerah hulu sampai
ke Dataran Tinggi Karo.27
Dari beberapa Urung yang disebutkan diatas, selain mereka merdeka
dalam wilayah masing-masing, Sunggal adalah wilayah Urung yang terkuat pada
masa itu karena daearah kekuasaannya yang sangat luas apabila dibandingkan
dengan wilayah Urung lainnya. Meskipun demikian, hubungan antara keempat
Urung tersebut sangat erat dan selalu melakukan hubungan-hubungan diplomatik
yang saling menguntungkan bagi Urung-Urung tersebut. Dan tentunya Datuk
Sunggal yang memperoleh posisi Ulon Janji karena kekuasaannya yang lebih
dibanding yang lainnya dan raja-raja Urung yang lain juga sangat menghormati
akan hal itu. Hubungan diplomatik yang dilakukan oleh para raja-raja Urung
tersebut berlangsung sampai Datuk Badiuzzaman Surbakti menjadi Raja Sunggal.
Hubungan yang saling menguntungkan tersebut dapat dirasakan langsung oleh
masyarakat Sunggal. Ditambah kepemimpinan Datuk Badiuzaaman Surbakti yang
bijaksana selaku penguasa Tanah Sunggal, kehidupan masyarakatnya menjadi
lebih baik, dilihat dari segi kehidupan ekonomi, masyarakat mampu terampil dan
mandiri dalam mengelola kebunnya sehingga menghasilkan sesuatu yang positif
untuk menopang kehidupan masing-masing warganya. Beliau juga merupakan
sosok yang sangat dekat dengan masyarakatnya, beliau berkeliling ke beberapa
daerah dan mendengar keluh kesah dari kehidupan masyarakatnya, sehingga itu
memberikan contoh teladan yang baik bagi masyarakat lainnya untuk hidup saling
menghargai. Pada akhirnya hubungan-hubungan yang baik tersebut menghasilkan
pola interaksi sosial yang bersifat positif, selain antarmasyarakatnya yang hidup
saling menghargai dan mendukung dalam hal untuk mencapai kehidupan yang
lebih makmur, hubungan antara seorang raja dan masyarakat juga timbul dalam
memberikan dukungan-dukungan terhadapa masyrakatnya dan tentunya
masyarakat juga mentaati peraturan-peraturan yang ada sehingga ini semua
menibmulkan rasa kecintaan warga dengan seorang raja yang berujung kepada
kehidupan yang damai dan sejahtera.
Pada masa kepemimpinannya, beliau juga membangun sebuah masjid
untuk tempat peribadatan masyarakatnya yang beragama Islam. Selain untuk
tempat peribadatan, mesjid tersebut juga sering digunakan oleh Datuk
memecahkan suatu masalah. Menurut Datuk Amansyah Surbakti, yang
merupakan keturanan ke empat pendiri mesjid ini menjelaskan, pada masa itu
pemerintah Belanda melarang semen masuk ke wilayah sunggal karena khawatir
warga pribumi mendirikan benteng pertahanan untuk melawan penjajahan. Tetapi
larangan itu tidak menghentikan niat Datuk Badiuzzaman Surbakti untuk
mendirikan masjid ini. Tak habis akal, beliau terpikir mendirikan mesjid dengan
telur ayam yang saat itu sangat banyak jumlahnya di wilayah sunggal. Ribuan
telur itu dicampur dengan pasir sebagai perekat bangunan. Mesjid yang berada
persis disebelah kantor PDAM Tirtanadi ini berasitektur campuran antara budaya
Jawa dan Melayu. Meskipun tidak terlalu besar, masjid yang didominasi warna
hijau ini dapat menampung sekitar 3 ratus jamaah dan sudah direnovasi pada
tahun 2010. Namun sangat disayangkan, dari sejak berdiri sampai sekarang mesjid
Masjid Datuk Badiuzzaman Surbakti
Kemudian mengenai hubungan antara Kerajan Sunggal dan Kesultanan
Deli, Sunggal dan Deli sebetulnya bukanlah dua kerajaan yang terpisah sama
sekali. Hubungan kedua kerajaan itu dapat dirunut mulai dari Adir Surbakti si
pendiri kerajaan Sunggal. Kekuasaan Kerajaan Sunggal ketika itu cukup kuat,
meliputi bekas wilayah kerajaan Haru II di Deli Tua. Ia memerintah dari
1629-1651. Ketika Aceh menaklukkan Deli tahun 1612, Sultan Aceh menempatkan
seorang wakilnya di Deli, yaitu Gotjah Pahlawan. Sebenarnya, sebelum Aceh
menempatkan Gotjah Pahlawan di Deli, di daerah Deli ada kekuasaan empat
wilayah hukum Suku Karo yang dikenal dengan Urung (federasi beberapa
kampung). Keempat Urung itu adalah Sunggal, Sinembah, XII kota, dan Suka
orang-orang Karo di Pegunungan, maka ia mengawini Nang Baluan Surbakti sebagai
akses untuk dapat mempengaruhi Raja-raja Urung di Tanah Karo. Dan
perkawinannya ini kemudian lahir raja-raja Deli dari Serdang. Sesuai dengan adat
Karo, maka Deli adalah “anak beru” dan Sunggal dan sebagai hadiah perkawinan
diserahkan Raja Urung Sunggal jalur wilayah yang terletak di tepi pantai antara
Kuala Belawan dan Kuala Percut sebagai daerah yang diperintah langsung oleh
Deli. Secara ketatanegaraan Deli setaraf dengan wilayah-wilayah Urung, tetapi
karena Deli menguasai pantai dan muara-muara sungai yang vital bagi impor dan
ekspor hasil bumi, ditambah posisi Gotjah Pahlawan sebagai wakil Aceh di Deli,
maka posisi Deli akhirnya menjadi lebih menonjol.
Pada masa itu dibuatlah kesepakatan semacam konfederasi antarkerajaan
itu. Pertama, Sri Paduka Gotjah Pahlawan dan kemudian keturunan keturunannya
raja-raja Deli bertindak sebagai “Yang Dipertuan Agung” dan “Arbiter” (hakim
tertinggi) yang memutus semua sengketa keluar dan ke dalam. Kedua, diberi
posisi sebagai “Ulon Janji” (De Voornamaste Onderhandelaar) sekaligus mertua dan Mahapatih. Oleh karena ia yang paling utama di antara raja-raja Urung di
Deli, maka ia berhak membacakan penabalan atau pengesahan raja-raja Deli.
Ketiga, masing-masing raja Urung (Datuk berempat) merdeka dalam wilayah
masing-masing.
Dalam perjalanannya, hubungan Deli dan Sunggal mengalami pasang
surut. Pada tahun 1822, Deli di bawah Sultan Panglima Magedar Alam merasa
raja Sunggal saat itu. Akan tetapi, cara seperti ini tidak membuat Sunggal menjadi
bawahan Deli hinga akhirnya pada tahun 1822 Deli menyerang Sunggal.
Tindakan Sultan Deli menyerang Sunggal sangat menjengkelkan Datuk Amar
Laut Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal masa itu. Serangan ini bukan membuat
Sunggal menjadi lemah, tapi malah berakibat buruk bagi Deli, yakni Deli
kehilangan pengaruh atas keempat raja-raja Urung di Deli dan pedalaman Karo.
Akibatnya, hubungan menjadi semakin buruk dan Sunggal di bawah Datuk Amar
Laut (1823) memutuskan untuk menonaktifkan konfederasi Deli (ketika itu pun
Deli takluk pada Kerajaan Siak). Datuk Amar Laut kemudian memproklamasikan
Sunggal merdeka dengan mengeluarkan bendera sendiri berwarna merah dan
kuning, dengan cap/lambang gajah.
Tindakan Sultan Deli menyerang Sunggal sangat menjengkelkan Datuk
Amar Laut Surbakti sebagai Raja Urung Sunggal masa itu. Dalam pertemuannya
dengan John Anderson di Sunggal, Datuk Amar Laut Surbakti yang telah berusia
45 tahun ditemani ketiga putranya, masing-masing Datuk Abdul Hamid Surbakti ,
Datuk Abdullah Ahmad Surbakti, dan Datuk Mahini Surbakti, menjelaskan bahwa
ia baru saja selesai berperang melawan Sultan Deli dan ia menyalahkan tindakan
Sultan Deli. Ia merasa tidak senang dengan Sultan Deli. Oleh karena itu, meski
telah ada perdamaian, menurut Anderson, konflik akan kembali terjadi antara
Sunggal dan Deli. Ketika itu Sunggal merupakan pusat aktivitas perdagangan
yang ramai dikunjungi orang-orang Batak Karo dari gunung yang menjual
hasil-hasil buminya. Datuk Amar Laut mengusulkan pada Anderson, bila Inggris
Pengamanan di Pulau Pangkor untuk mencegah aksi bajak laut yang selalu
merampok perahu-perahu dagang dari Sunggal menuju Penang. Dengan begitu,
Sunggal memang sebuah negeri yang merdeka dan menjadi tempat transit
hasil-hasil pertanian yang akan diekspor ke Pulau Penang di Semenanjung Malaysia.
Posisi Sunggal yaag strategis ini menarik perhatian utusan Inggris itu sehingga
perlu dibangun hubungan perdagangan dan politik. Namun, ketika Sunggal di
bawah kepemimpinan Datuk Abdullah Ahmad Surbakti (1845-1857) dan Deli di
bawah Sultan Mahmud, hubungan Deli-Sunggal berubah lagi. Konfederasi Deli
diaktifkan kembali. Sejalan dengan semakin kuatnya pengaruh Belanda di daerah
Sumatera Timur (Deli), ambisi Deli untuk menaklukkan Sunggal terbuka lebar.
Datuk Ahmad bahkan diberi gelar Datuk Indera Pahlawan Wazir
Serbanyaman Ulon Janji. Pada masa inilah diresmikan nama Serbanyaman
sebagai pengganti Sunggal. Ketika Sultan Deli menyewakan tanah-tanah subur di
daerah Sunggal bagi kepentingan industri perkebunan pemerintah kolonial
Belanda, maka hubungan Deli Sunggal kembali memburuk, hingga meletuslah
perlawanan rakyat Sunggal tahun 1872-1895. Perang itu, bagi Deli adalah upaya
klasik untuk melemahkan kekuasaan Datuk Sunggal. Sebaliknya, bagi Sunggal
adalah upaya mempertahankan hak dan kedaulatannya atas wilayah dan
kemerdekaan rakyat Sunggal yang sudah dimiliki sejak lama, bahkan sebelum
adanya Kerajaan Deli.
Datuk Abdullah Ahmad Surbakti menggantikan ayahnya sebagai raja
Datuk Abdullah Ahmad Surbakti mempunyai saudara Datuk Jalil Surbakti, Datuk
Muhammad Mahini Surbakti (Datuk Kecil) dan seorang perempuan. Datuk Jalil
menikah dengan puteri Kejeruan Selesai dari Langkat dan mempunyai anak
bernama Sulong Barat, Sulong Putra, dan seorang perempuan. Sementara, Datuk
Muhammad Dini (Kecil) menikah dengan puteri Selesai dan mempunyai dua
orang anak laki-laki dan seorang perempuan. Ketika Datuk Abdullah Ahmad
Surbakti meninggal dunia pada tahun 1857, anaknya Datuk Badiuzzaman
Surbakti masih berusia 12 tahun, maka atas musyawarah keluarga, Datuk Kecil
ditugaskan untuk memangku kerajaan Sunggal sampai Datuk Badiuzzaman
dewasa. Karena lingkungan keluarga yang sangat anti Belanda atau anti
penjajahan maka memiliki pengaruh yang kuat pada diri Datuk Badiuzzaman
Surbakti yang didampingi Datuk Kecil hingga tahun 1866.
Sebagaimana sudah dijelaskan, perluasan penanaman tembakau demikian
cepat dan membutuhkan begitu banyak lahan subur di wilayah kekuasaan Urung
Sunggal. Dengan dukungan perangkat hukum Undang-Undang Agraria, pihak
perusahaan perkebunan secara sah menurut hukum bisa menyewa tanah dengan
jangka waktu yang sangat lama, yakni 99 tahun (kemudian diubah menjadi 75
tahun). Undang-undang ini memang sengaja diciptakan untuk mengantisipasi
perkembangan cepat penanaman tembakau di Deli yang sudah mulai terkenal di
pasaran Eropa. Daun tembakau Deli merupakan yang terbaik mutunya di dunia
saat itu sebagai pembalut cerutu. Budidaya tembakau memang membutuhkan
lahan yang luas dan subur dengan masa rotasi tanam yang lama. Sebab lahan yang
ditanami kembali. Oleh karena itu, dalam masa rotasi ini diperlukan lahan yang
lain agar produksi perkebunan tembakau tidak berhenti. Bila berhenti, maka
pasokan untuk ekspor akan kekurangan dan itu pada gilirannya akan mengurangi
arus pemasukan dalam kas keuangan pemerintah Hindia Belanda.
Pihak pemerintah kolonial Belanda karena kekurangan dana, ketika
melakukan gerakan pasifikasi (usaha memperdamaikan dari kekacauan, baik
karena ada pihak-pihak yang bertikai dan berseteru maupun pembudayaan karena
penduduk pribumi masih dianggap terbelakang) ke Deli, sangat membutuhkan
bantuan investor asing untuk membangun daerah yang baru dikuasainya itu.
Akibatnya, perusahaan perkebunan menjadi bertindak semena-mena karena
didukung oleh kebijakan politik kolonial dan tradisional dari Sultan Deli.
Perubahan cepat yang terjadi di Deli akibatnya mencemaskan para penguasa
Sunggal. Oleh karena itu, pada bulan Desember 1871 Datuk Badiuzaman Surbakti
sebagai Raja Urung Sunggal Serbanyaman beserta seluruh kerabat dan
orang-orang dekatnya, termasuk orang-orang-orang-orang Batak Karo dan pegunungan mengadakan
rapat di sebuah kebun lada. rapat itu dihadiri oleh Datuk Kecil (Mahini), Datuk
Jalil, Datuk Sulong Barat, Nabung Surbakti sebagai komandan pasukan Karo dan
pegunungan, dan Tuanku Hasyim mewakili Panglima Nyak Makam sebagai
komandan Laskar Aceh, Alas, Gayo.
Hasil rapat itu memutuskan untuk melakukan perlawanan terhadap Sultan
Deli dan Pemerintah Belanda. Datuk Sunggal Badiuzzaman Surbakti mengatakan
Sementara Datuk Kecil berkata, “kalau kita tak turut kita akan diusir Belanda”.
Lalu putranya Sulong Barat menimpalinya bahwa “Belanda dan Sultan Deli setali
tiga uang belaka, merampas tanah rakyat demi kepentingannya sendiri”. Rapat itu
memutuskan beberapa hal, antara lain yang pertama bahwa Sunggal, Karo, dan
Aceh (Alas, Gayo) sepakat membina persatuan dan kesatuan dari segala
perselihan yang dilakukan Belanda dengan politik pecah belahnya harus
dilenyapkan, yang kedua bahwa Sunggal, Karo, dan Aceh (Alas, Gayo) sepakat
menentang Belanda serta mempertahankan setiap jengkal tanah warisan leluhur
untuk masyarakat Sunggal, Karo, dan Aceh (Alas, Gayo) secara bersama-sama
mengusir setiap penjajah yang menjajah daerahnya.
Untuk merealisasikan hasil pertemuan itu, dibentuklah sebuah Badan yang
dipusatkan di Kampung Gadjah yang terletak di kawasan Sitelu Kuru, Tanah
Karo. Badan ini berfungsi untuk memobilisasi pasukan perang yang terdiri dan
orang yang kuat dan mempunyai ilmu dengan kebatinan yang tinggi dan
mempersiapkan logistik lainnya. Badan ini dipimpin oleh Datuk Mahini (Kecil)
dengan mendudukkan wakilnya di Tanah Karo. Badan ini bertanggung jawab
langsung kepada Datuk Badiuzzaman. Orang-orang Sunggal yang ditugaskan
mengurusi badan ini di Kampung Gadjah adalah beragama Islam. Selama
bertugas di Kampung Gadjah, mereka bertemu dengan saudara-saudaranya marga
Surbakti. Hingga sekarang masih ada tempat pemandian mereka yang dikenal